Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Pulang

Bimabet
X. Bangkit Perlahan


"Jadi sebenarnya ini bukan persoalan karena dia ga bisa menemukan aku, tapi kenyataannya adalah dia ga mencari dengan sungguh-sungguh. Dan kenapa begitu? Karena dia sudah punya orang lain yang siap untuk mengantikan posisiku. Hadi sudah hadir jauh sebelum jejakku benar-benar hilang. Semuanya berjalan lancar bagi dia, ya kan? Suaminya hilang dan dalam waktu singkat ada laki-laki lain yang mengantikan posisinya di tempat tidurnya juga dalam kehidupannya. Kamu seharusnya juga ada disana biar bisa lihat tingkah mereka, mereka sudah seperti pasangan suami-istri, aku berani sumpah saat dia datang ke meja kami, dia hampir bilang 'istri' bukannya 'tunangan'."

Sekali lagi aku meluapkan kemarahanku dan Tris mendengarkan semuanya dengan sabar. Dia langsung menarikku ke tempat tidurnya saat aku sampai di asramanya dan kami bersetubuh dengan lembut selama berjam-jam bahkan sebelum dia bertanya apa-apa. Sebenarnya itu bahkan bukan pertanyaan tapi penyataan darinya.

"Kamu sudah ketemu Ana, dan kamu ingat."

Jadi setelah dia bilang begitu aku harus menceritakan semua kejadiannya. Aku menceritakan gimana ingatanku mengalir deras ke dalam pikiranku. Sekarang, setelah ocehanku selesai, dia punya kesempatan untuk bicara. Dia ga mencoba mempengaruhi pendapatku, dia ga mencoba mencarikan solusi apa pun. Aku tahu kalau aku ada di posisinya aku akan melakukan itu, tapi di posisiku saat ini, aku ingin didengarkan, bukan diceramahi soal salah dan benar.

"Errik, kamu pasti shock parah. Kamu menderita karena beban pikiranmu yang bertumpuk, dan kamu harus menjalani semuanya sendirian."

Rasa cintaku padanya melonjak seketika, dia mengerti aku, dia tahu apa yang ku alami. Kami bangkit dari sesi seks maraton kami, dan makan masakan yang dia siapkan untukku sayangnya aku hampir ga sempat menikmati rasanya. Begitu kami mulai makan, aku cuma sekedar memasukkan semua ke mulutku dan menelannya, lagi dan lagi, dan sama sekali ga ada protes darinya, atau tanda-tanda kecewa karena masakannya ga dihargai.

"Waktunya tidur," cuma itu yang dia katakan selanjutnya. "Besok kita punya waktu seharian. Kamu butuh banyak istirahat."

Waktu masih terlalu awal untuk mengakhiri hari, tapi bagaimanapun aku menurut dan kami naik ke tempat tidur, lalu saat dia memelukku, aku segera menghilang ke dalam tidur yang nyenyak dan tanpa mimpi.

Keesokan paginya saat aku sadar, tempat tidur disampingku sudah kosong dan kulihat dari jendela kamar matahari sudah tinggi di angkasa. Sepertinya aku kesiangan, sangat kesiangan karena matahari sudah setinggi itu. Aku bergegas ke kamar mandi untuk meringankan tekanan di kantung kemihku karena tidur terlalu lama, dan saat aku keluar setelah sempat mencuci muka dengan air dingin, aku melihat Tris sedang duduk di tempat tidur membusungkan dada untuk memamerkan payudaranya yang indah, sambil meminum secangkir teh. Cangkir teh untukku ada di atas meja samping tempat tidur dan aku mendekat lalu melakukan hal yang sama, meminum teh sambil duduk di tempat tidur termasuk membusungkan dadaku, tentu hasilnya ga seindah yang dia lakukan.

Saat cangkir sudah kosong, kami bergeser ke tengah tempat tidur, dan dia perlahan mulai menelusuri bekas luka di seluruh tubuh, wajah, dan kepalaku. Sentuhannya membuatku hampir seperti terkena hipnotis dan aku terhisap kedunia dimana hanya ada dia di sana dan segala yang lain menghilang begitu saja.

Saat aku benar-benar rileks, tangannya meluncur di atas penisku, jari-jarinya bergerak hampir terasa seperti ujung bulu di kulit penisku, membuatnya tumbuh membesar. Kepalanya menunduk dan dia memberi beberapa kali ciuman pada anggota tubuhku yang sekarang berdiri tegak, ke atas dan ke bawah di bagian samping memberikan sentuhan basah dari bibirnya yang hangat.

Aneh bahwa sampai saat itu aku sadar aku belum sekalipun memikirkan tentang Ana pagi itu, atau tentang pertemuan pertama dengannya di restoran, sampai saat itu, dan saat akhirnya pikiran itu muncul, sama sekali ga menyebabkan perasaan marah atau depresi seperti biasanya. Seolah-olah peristiwa itu terjadi di dunia lainnya. Dunia yang ga lagi penting, cuma dunia ini yang penting, dunia di mana wanita yang penuh kasih ini sedang berusaha menyembuhkanku dengan kelembutan mulutnya.

Mataku tertutup, dan setelah itu kurasankan itu bukan lagi mulutnya, tapi sesuatu yang jauh lebih hangat, dan kehangatan itu menyelimuti seluruh penisku dengan pijatan lembut. Aku membuka mata dan melihat dia mengangkangi kemaluanku, perlahan-lahan menunggangiku, mengatur berat badannya agar ga membebaniku, naik turun dengan sangat lembut seakan memastikan aku ga terlalu cepat keluar, tapi tetap memberikan sensasi intens pada dinding vaginanya. Matanya terpejam dan dia tampak tersesat di dunianya sendiri.

Ini berlangsung cukup lama sampai aku mulai ga sabar dan menggerakkan pinggulku keatas untuk menyambut pinggulnya yang bergerak kebawah.

"Ahhss..."

Matanya langsung terbuka dan dia tersenyum, berguling dari atasku dan menarikku ke atasnya. Dia memegang penisku dan mengarahkannya ke vaginanya dan batangku yang keras kembali menyelinap ke lubang yang licin dan ramah menyambutnya. Lalu kami bergerak bersama dengan tujuan yang lebih jelas, doronganku semakin dalam dan pinggulnya menyambut ke atas lebih aktif dan kami segera bergerak dengan lebih cepat dan keras.

"Ngnn...hk.....

Aku melihat rona merah menyebar di dadanya dan dia mulai terengah-engah, sampai tiba-tiba dia menahan nafas. Dia jadi diam, kaku, dan tangannya meremas seprei tempat tidur. Lalu setelah beberapa saat dia mengejang, mengerang dan tubuhnya bergetar dan mulutnya terbuka, seolah berteriak tapi tanpa ada suara yang keluar sebagai konfirmasi tentang intensitas orgasme dahsyat yang melanda tubuhnya yang lentur. Seluruh tubuh berkedut lagi dan lagi, kali ini setiap gerakan disertai dengan suara parau seperti tercekik. Aku tetap bergerak diatasnya saat tubuhnya bergetar hebat seakan ingin melemparkanku dari atasnya. Saat gerakannya mereda, aku sampai pada puncak kenikmatanku sendiri, dalam dan panjang, merasakan cairan berkumpul di sepanjang penisku sebelum menyembur ke dalam dirinya.

"Yessss..." semburan pertamaku membuatnya terkesiap diikuti desisan panjang dari bibirnya, menyambut semburan-semburan berikutnya yang datang, sampai aku ambruk di atasnya.

Kami berbaring ga bergerak, lelah tapi puas dan membiarkan tenaga kami terkumpul sedikit demi sedikit. Lalu dia mendorongku kesamping dan memelukku. Apa kami tertidur sebentar? Mungkin begitu, karena berikutnya aku merasakan dia turun dari tempat tidur dan menghilang ke kamar mandi, dan setelah itu dia kembali ke tempat tidur, mencondongkan tubuh ke atasku, payudaranya tergantung dengan indah, dan memberikan ciuman yang panjang dan lembut. Aku balas mencium dan membelai payudaranya, mengusap jari-jariku ke putingnya dan membuatnya menghela nafas dengan senang.

"Ayo, sayangku," gumamnya, "Ayo kita keluari dari sini biar hari ini ga berlalu begitu saja."

Dia mengajakku ke pantai lagi, mengemudikan mobilku yang dia suka, dan sore itu kami berjalan di tepi pantai sambil menikmati hembusan angin. Suara ombak terdengar berirama, seakan mengusir semua perasaanku yang terpendam, dan melengkapi percintaan lembut yang penuh kasih pagi tadi.

Aku ga bilang apa-apa dan memang aku juga ga banyak berpikir. Aku ingin tinggal selamanya di dunia lain yang berirama ini, bersama wanita penuh kasih yang luar biasa ini yang seperti biasa sudah merawatku secara menyeluruh dan sepertinya tahu persis apa yang dibutuhkan oleh tubuh dan jiwaku. Dia juga ga banyak bicara, ga ingin menganggu ketenanganku dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengingatkanku pada kenyataan hidupku. Kami berjalan sampai matahari terbenam, lalu makan seafood ditepi pantai sebelum kami pulang.

Malam itu kami habiskan dengan mendengarkan musik dan main scrabble, game kesukaannya untuk mengalihkan perhatian, dan yang biasanya dia menangkan dengan mudah. Kami ambruk ke tempat tidur dengan kelelahan total yang berasal dari kegiatan fisik kami tadi pagi, perjalanan ke pantai, dan juga kegiatan otak kami malam ini.

Malam itu aku tidur dengan lengannya melingkari pingangku dan lenganku melingkari lehernya, kepalanya bersandar di bahuku. Kami berdua bangun cukup awal di Minggu pagi, dan setelah masing-masing bergantian ke toilet, kami bersetubuh dengan gaya yang lebih cepat dan kasar, benar-benar kebalikan dari yang kami lakukan kemarin. Kami berdua hanya fokus untuk memberikan orgasme untuk yang lain, membelai tubuh kami satu sama lain dengan hasil yang memuaskan. Setelah itu kami kembali berbaring bersebelahan saling memandang.

Kami bangun dan sarapan sereal dan roti panggang, lalu berjalan-jalan di sekitaran asrama untuk sekedar menghirup udara pagi yang segar, kami makan siang di cafe dekat simpang lima.

Di sore hari dia mengajakku untuk bertemu dengan teman-temannya di ruang istirahat rumah sakit, sudah lama aku ga ketemu dengan sebagian besar dari mereka yang sudah merawatku dulu. Seperti biasa ada banyak candaan, gosip, dan saling ejek antara rekan kerja, tapi semua tetap dalam suasana santai dan aku bisa membaur diantara mereka dengan baik.

Aku bilang semua orang santai, kecuali satu orang perawat pria yang kelihatan gugup dan berkali-kali kulihat memandang padaku. Saat aku pergi ke kamar kecil, pria itu mengikuti aku. Dia adalah seorang pemuda dengan badan lebih tingg dariku dan cukup tampan. Kami berdiri berdampingan di hadapan urinoir masing-masing.

"Errik," katanya sambil menatap lurus ke tembok di depannya.

"Ya?" Aku menjawab dengan cara yang sama.

"Aku Tommy."

"Oh. Halo Tommy, senang akhirnya kita bisa kenalan."

Diam sejenak lalu dia menoleh ke arahku dan berkata, "Cuma itu?"

"Ya... Harusnya sih kita salaman kalau kenalan, tapi tanganku lagi penuh," Aku tertawa pendek karena gurauanku sendiri.

"Tapi--"

"Gini, Tom," kataku lembut, "Apa yang sudah kamu dan Tris berdua lakukan, bikin dia merasa sangat bersalah. Waktu itu aku bilang padanya bahwa dia ga punya keharusan untuk setia padaku, tapi dia sendiri yang bilang kalau dia mau setia cuma sama aku selama kami masih punya hubungan. Aku juga ga masalah kalau dia merasa begitu. Tapi yang jelas aku ga mengikatnya dengan kewajiban apapun. Dia sudah ngelakuin lebih banyak buat aku dibanding siapa pun juga sejak kami kenal, jadi aku berterima kasih buat apapun yang dia kasih buat aku."

Dia menghela nafas. "Aku takut kamu marah karena kami..."

"Seperti yang aku bilang, ga usah khawatir soal itu."

"Ohh, aku lega kalau gitu."

Dia kelihatannya laki-laki yang baik, dan dia berani mengakui perbuatannya. Mereka sudah dewasa dan apa yang mereka perbuat adalah kemauan berdua bukan paksaan dari salah satu pihak.

Kami kembali ke dalam bersama-sama. Tris memandangku dengan khawatir, tapi aku tersenyum dan dia kelihatan lega.

Saat kami pulang ke asramanya, kami duduk bersebelahan di tempat tidur.

"Oke, Errik. Gimana perasaanmu?"

Aku memikirkan sejenak dan menjawab.

"I feel good. Aku sepertinya butuh istirahat, pekerjaan di kantor cukup padat dan aku berusaha beadaptasi secepatnya juga harus mengenal dan bekerjasama dengan Jenni sebaik mungkin. Terus masalah penyelidikan tentang kasusku. Ketiga temanku bekerja sangat keras untuk itu, dan jujur aku merasa sedikit.. entahlah, mereka rela menghabiskan begitu banyak waktu untuk bantu aku.”

"Lalu yang terakhir Alfon membuatku kaget karena merencanakan pertemuanku dengan Ana dan Hadi. Aku merasa beban pikiranku sudah kelewat banyak untuk itu. Kita sudah bersama-sama menjalani weekend yang menyenangkan berdua, tapi kamu bahkan ga bilang apa-apa soal urusan Ana ini. Seperti biasa, kamu sudah ngelakuin hal yang benar dengan mengalihkan pikiranku dari masalah itu. Sekarang aku sudah merasa jauh lebih baik."

"Kamu masih marah soal Ana?"

Aku berpikir lagi, "Aku sudah ga marah lagi, ada sedikit kesal tapi aku ga mau mikirin itu dulu."

"Kamu akan pulang besok. Aku mau bilang beberapa hal soal urusan Ana. Kamu keberatan?"

"Ya ga lah," jawabku. "Kamu lebih berhak untuk ngasih nasihat buat aku dibanding siapapun."

"Aku bukan mau ngasih nasihat, tapi aku cuma mau bilang beberapa hal yang sudah aku pikirin sejak lama, bahkan sebelum pertemuanmu dengan Ana juga."

"Oke, bilang aja."

"Rasanya kamu sudah tahu semua yang mau aku bilang.” Katanya, tapi tetap melanjutkan.

"Sebelum ketemu Ana kamu bebas mengambil sikap apapun. Tapi sekarang beda. kamu tahu persis apa yang diambil dari kamu sehingga ini jadi masalah pribadi. Apa yang kita omongin selama itu sebagian besar berupa pertanyaan. Kenapa Ana ga nyari kamu lebih lama? Kenapa dia begitu cepat move on dengan si Hadi ini? Apa dia masih punya perasaan buat kamu? Gimana reaksinya saat dia lihat wajah dan tubuhmu yang sekarang?"

"Aku tahu jawaban yang itu. Dia kasihan dan menganggapku menjijikkan. Aku lihat dari ekspresi wajahnya." Potongku.

"Kalau gitu, ganti pertanyaan lain. Seandainya dia tahu kalau itu kamu, apa itu akan mengubah sikapnya? Secara pribadi, aku bicara sebagai sesama wanita, menurutku itu akan membuat semuanya berbeda."

Tris bukan orang pertama yang bilang itu.

"Ya tapi, dia sebentar lagi mau nikah," jawabku, "Itu artinya dia bahagia dengan kehidupannya sekarang. Hidup itu yang harus terus dia jalani, begitu juga aku. Dia mungkin mau balas dendam lewat pembagian harta perceraian, itu bagian darinya yang ga pernah aku ingat sebelumnya."

"Itu karena dia tahunya kamu sudah meninggalkannya demi wanita lain. Dia pikir kamu selingkuh. Kalau dia masih marah, menurutku itu artinya dia masih punya perasaan yang sangat kuat padamu.” Jawabnya memberi alasan.

"Satu lagi. Pikirin tentang kebersamaan kalian selama bertahun-tahun, apa menurutmu setelah semua waktu dan juga cinta yang dia berikan selama itu, dia ga pantas untuk tahu yang sebenarnya sebelum dia menikah? Apa adil dia menikah dengan membawa kesalahpahaman masa lalu yang besar? Kalaupun akhirnya kalian cerai dan dia menikah lagi atau dia ga jadi nikah, itu harus dalam keadaan dia tahu fakta yang sebenarnya, biarkan dia punya pilihan."

Sekali lagi Tris bicara dengan memakai akal sehat padaku. Pikiranku sudah diliputi kemarahan dan kebencianku, menghalanginya untuk melihat dengan jernih. Ana mungkin ga pantas dapat cintaku lagi, tapi dia pantas untuk tahu yang sebenarnya dan itu adil. Aku memandang wajah cemas Tris yang sedang menunggu tanggapanku.

"Tris, seperti biasanya, kamu benar. Kenapa kamu bisa selalu tahu apa yang harus dilakukan? Aku memang harus bertemu dengannya, aku ga tahu gimana perasaanku sekarang, tapi kamu benar, aku harus ketemu dan menceritakan semuanya ke Ana. Terima kasih buat semua yang sudah kamu berikan selama weekend ini, itu bikin aku lebih tenang dan lega. Masih ada waktu sebelum dia nikah. Aku akan menemuinya setelah aku pulang dari Perth."

Ada keheningan yang tak terasa, sebelum dia bertanya sambil memandang ke arah lain, "Jenni juga ikut?"

Nada cemburu! Jadi dia memang peduli dengan siapa aku dekat.

"Iya, dia ikut."

Diam lagi, kali ini lebih lama.

"Dengar, Errik," dia berkata pelan, "Aku tahu kamu mau hubungan kalian tetap profesional, tapi kalau seandainya dia... Aku cuma mau bilang ikuti arus, biarin semuanya mengalir. Kamu bisa dibilang sudah cerai dan aku sudah mau pergi. Dari ceritamu dia kelihatannya gadis yang baik, jadi..."

"Kamu ga keberatan?" Tanyaku.

"Aku pasti keberatan!" Nada suaranya meninggi, lalu dia melanjutkan, "Jangan salah sangka tapi bukan itu intinya. Dia akan ada di sini dan aku ga ada disini, karena itu aku harus melepaskanmu. Aku selalu rela dan siap kalau kamu mau balik ke Ana, dan kalau itu ga mungkin, aku akan lebih senang kalau ada orang lain yang bisa mendampingimu setelah aku pergi."

"Aku masih beranggapan hubungan teman sekantor itu ga baik. Ketika atau seandainya mereka putus, nantinya, mereka ga mungkin bisa kerjasama, ya kan? Dia asistenku, Tris. Kalau kami punya hubungan khusus lalu putus, dia akan harus berhenti kerja, karena aku ga bisa, aku yang punya kantor dan ga mungkin aku bisa mengalah dan aku yang berhenti kerja. Menurutmu apa itu adil buat dia?"

"Iya, aku paham. Aku cuma mau bilang, dia gadis yang pandai, jadi kalau dia mau ambil risiko itu, jangan tolak dia. Kalian bisa bicarain dari awal seperti hubungan kita. Aku sudah bilang itu cuma sekedar seks, tanpa ikatan."

"Tapi ternyata ga gitu kan sekarang?"

Dia mengangkat bahunya. "Oke, kamu menang, sekarang hubungan kita memang ga sesimpel itu, tapi setidaknya awalnya dulu begitu. Dan kalau aku bisa mengulangnya, aku ga akan merubah apa-apa, aku suka hubungan kita sekarang, walaupun akan sakit saat harus meninggalkanmu."

Kami lalu naik ke tempat tidur, sempat melakukan seks sebentar lalu tidur sambil berpelukan seperti biasanya. Kami bangun bersamaan, jam 5.30 pagi, jadi aku ikut mandi dan sarapan agar bisa mengantarnya ke tempat kerja. Setelah itu aku kembali ke kamarnya, minum secangkir kopi sebelum naik ke mobil dan berangkat ke Serpong.

Aku langsung menuju ke kantor tanpa pulang dulu. Saat aku masuk ke ruanganku ternyata ga ada orang didalam, tapi sebelum aku sempat bertanya, Widya muncul dan bilang kalau Jenni sedang di ruangan Jeffry, jadi aku berjalan keluar lagi menuju ke ruangan Jeffry yang ada disebelah ruanganku. Aku masuk tanpa mengetuk pintu dan melihat mereka berdua membungkuk sedang memperhatikan setumpuk kertas A3 diatas meja.

"Lebih baik terlambat daripada ga sama sekali," kata Jeffry sambil tersenyum saat melihatku masuk.

Jenni tersenyum juga, tapi senyumnya cenderung karena menyambutku dibanding karena candaan Jeffry tadi.

Jeffry menoleh lagi ke kertas dan melanjutkan, "Ini adalah spesifikasi yang akan kita tawarkan ke Tristar Inc., seharusnya sesuai dengan kebutuhan yang mereka sampaikan dalam proposal. Kamu masih inget kan kalian akan berangkat ke Perth hari Rabu untuk presentasi pada mereka?"

"Ya, aku ga lupa kok. Coba aku lihat," dan aku bergabung dengan mereka.

Jeffry mulai bicara untuk menjelaskan, tapi aku memotongnya.

"Biar Jenni yang jelasin ke aku."

Wajah Jenni memerah dan kelihatan ragu-ragu.

"Ayo, kamu coba," kata Jeffry. "Jelasin ke Errik. Anggap Errik sebagai calon pembeli."

Dan Jenni mulai menjelaskan. Dia kelihatan sudah menguasai detail dan istilah-istilah teknis, dia juga paham kelebihan dan kelemahan produk serta bagaimana cara mengatasi kelemahan itu, terakhir dia menyebutkan penyesuaian khusus yang kami buat untuk mengakomodir kebutuhan Tristar Inc. Terutama kebutuhan mereka untuk memakai produk kami di mesin besar yang mereka produksi. Dia sempat ragu-ragu, tapi lama kelamaan dia jadi lebih percaya diri dan saat membahas tentang harga, dia sudah mengendalikan keadaan, tapi tetap saja aku melihat harga yang akan kami tawarkan terlalu tinggi.

"Terlalu mahal. Aku ga mau bayar sebanyak itu. Bisa ga kalian turunkan harga produksinya supaya lebih murah?" Aku bilang, masih berpura-pura sebagai pembeli.

"Itu harga untuk satu unit," katanya. "Produk ini sudah dipatenkan dan bisa kalian nilai sendiri secara teknis dia lebih modern dari kompetitor kami, dan meskipun kalian mungkin bisa dapat harga lebih murah di tempat lain, tapi aku yakin produk mereka ga bisa diupdate dan disesuaikan ulang seperti produk kami."

Kami meneruskan debat babak tawar-menawar di mana dia menawarkan diskon untuk pembelian dalam skala besar dan perdebatan berakhir dengan harga yang masuk akal untuk mereka tapi masih memberikan keuntungan besar buat kami sendiri.

"I’m impressed," kataku senang. "Oke, Jenni. kamu bisa pegang presentasi penjualan dan negosiasi awal dan aku akan selesaikan urusan kontrak di belakang."

"Serius?" tanyanya, tiba-tiba tampak ga yakin, tapi Jeffry tersenyum puas melihat hasil presentasinya.

"Serius," aku menegaskan. "Kamu sudah tahu semua yang harus diketahui soal spek produk. Kamu presentasikan dengan sempurna untuk aku, dan jangan lupa akan ada komisi kalau kamu berhasil melakukan penjualan. Tapi, bisa kan kamu buat dalam bentuk PowerPoint untuk presentasi ke mereka nanti?"

Ya pasti bisa lah, pertanyaan konyol! Semua kata-kata itu terangkum dalam nada suara yang dikeluarkan saat dia bilang 'Ya' singkat.

Jenni keluar untuk membuatnya di ruangan kami sambil membawa dokumen-dokumen yang diperlukan, aku mengikutinya tapi Jeffry memintaku untuk tinggal sebentar.

"Errik," dia tersenyum, "Kamu masih belum berubah. Selalu ngasih kesempatan bagi orang lain untuk berkembang. Dia ga akan mengecewakanmu."

"Menurutku juga begitu, dia orang yang cerdas."

"Ngomong-ngomong, Victor Belling, presdir Tristar Inc. dan pemilik perusahaan sebelum mereka go public, kenal denganmu. Kalian berteman dengan baik sejak sekitar enam bulan sebelum kamu diserang orang. Dia datang ke sini mencari kita untuk memesan produk yang sudah kita buat ini. Kalian berdua langsung akrab, begitu juga Ana. Dia pasti akan kaget saat melihat kondisimu sekarang."

"Jeffry, aku merasa pernah ke Perth sebelumnya. Benar ga?"

"Ga sih. Setahuku kamu belum pernah ke sana."

Ah, ya sudahlah, kadang perasaanmu benar, kadang bisa salah.

Besok paginya aku dan Jenni mengulang lagi presentasinya dan mengambil contoh prosesor produk kami. Mengagumkan bagaimana teknologi berkembang, bahwa benda sekecil ini kan mengendalikan mesin produksi raksasa, tanpa benda kecil ini akan banyak proses yang kacau.

Jenni menyerahkan tiket dan kelengkapan dokumen yang harus kubawa dan aku baru tahu Jenni sudah mengatur segalanya untuk perjalanan dinas pertama kami, termasuk hotel bintang empat yang punya pemandangan pantai di Perth. Hari itu kami pulang lebih awal sebelum jam makan siang untuk packing karena siang nanti kami sudah harus terbang ke Perth.

“Semoga kalian sukses, dan jangan sampai dipukuli orang.” Kata Jeffry sambil tersenyum lebar.

Aku tahu terakhir kali aku keluar kota untuk urusan bisnis, aku baru pulang lebih dari dua tahun setelahnya. Aku lalu mengendarai mobilku pulang dengan perasaan bahwa hidupku sudah hampir kembali seperti semula. Perasaan yang terus bertahan saat aku berkemas di kamarku, sampai kudengar ponselku berdering, dari Alfon.

"Maaf temanku, tapi aku harus memberitahumu ini, aku sudah dapat kabar dan putusan mutlak perceraianmu. Mulai hari ini kamu resmi jadi seorang duda."

Aku ga merasakan apa-apa, "Oke, terima kasih, Alfon," kataku singkat.

"Kamu ga apa-apa?"

"Iya, Alfon, aku ga apa-apa. Aku sudah tahu itu akan terjadi kan, itu hampir ga ada artinya sekarang buatku. Dia sudah memutuskan untuk menjalani hidup barunya sejak lama. Aku menyesuaikan diri dengan lancar di kantor. Aku punya Tris dan asisten hebat yang ikut ke Australia denganku. Ana dan aku punya kehidupan yang terpisah sekarang, meskipun kami masih harus membahas tentang akses ke anak-anak."

Entah kenapa setelah mengatakan demikian panjang malah ada perasaan lain yang muncul, tapi aku mengabaikannya.

"Segera setelah kamu balik dari Australia?" Dia bertanya.

"Iya."


------0-----​


Perjalanan ke Perth memakan waktu yang lama, kami berangkat jam dua siang ke bandara lalu pesawat berangkat jam 4 sore, penerbangan sendiri memakan waktu sekitar lima jam, lalu urusan imigrasi dan juga perjalanan ke hotel kami akhirnya check in jam sebelas malam.

Setelah check in kami naik ke kamar kami yang ada di lantai paling atas. Aku membuka pintu dan disambut ruangan yang cukup besar dilengkapi ruang tamu kecil dan yang membuat aku kaget adalah ternyata cuma ada satu kamar tidur dengan dua tempat tidur ukuran queen size.

Jenni kelihatan malu. "Semoga kamu ga keberatan. Sesuai SOP perusahaan, jika pemilik perusahaan melakukan perjalanan dinas, maka minimal adalah type suite di hotel bintang empat. Ini satu-satunya kamar suite yang masih tersisa dan walaupun hanya satu kamar, tapi punya dua tempat tidur terpisah."

Aku tersenyum. Bayangan untuk melihat asistenku yang cantik hanya memakai baju tidur atau bahkan pakaian dalamnya sama sekali ga membuat aku keberatan.

"Ga, Jenni, ga apa-apa, selama kamu juga ga keberatan dengan ini, tapi seandainya kamu keberatan aku bisa tidur di sofa depan."

"Oh, ya, aku ga keberatan kok, kita bisa tidur bareng di kamar." jawabnya lega.

Aku berusaha mengartikan kata-katanya senormal mungkin tanpa ada arti lain yang mungkin ada. Tapi ga bisa kucegah pikiran liar melintas di kepalaku, walaupun aku tahu hubungan profesional kami terlalu penting untuk dirusak oleh nafsu pribadi.

Yang jelas kami lelah sekali dan lapar. Jam di ponselku menunjukkan sekarang jam sebelas malam lewat, tapi di waktu Perth sekarang sudah lewat tengah malam. Aku usul agar kami pesan makan malam lalu mandi sambil menunggu makanan datang. Jenni setuju lalu berbalik dan mengamati buku menu di sebelah telepon. Aku memintanya memilihkan spaghetti dan berjalan untuk memakai kamar mandi lebih dulu.

Mandi dengan air hangat memang lebih nyaman tapi kali ini aku mengguyur kepalaku dengan air dingin, sekedar menyegarkan tubuhku, juga menghilangkan pikiran-pikiran aneh di kepalaku tadi. Aku keluar dari kamar tidur dan memanggil Jenni agar dia mengambil gilirannya untuk mandi. Aku memandang keluar jendela dan melihat deretan lampu yang berbaris sepanjang pantai. Lamunanku terhenti karena suara bel dipintu, aku membukakan pintu untuk melihat petugas hotel mengantarkan spaghetti dan sepiring salad, wanita dan aturan jam makan malamnya, pikirku.

Makanannya terasa luar biasa, tapi memang begitulah seharusnya sebab kami sudah terlalu lapar, bayangkan kami harus makan malam jam dua belas malam. Kami juga masing-masing minum segelas wine dari botol yang tersedia di minibar, sekedar untuk menghangatkan badan karena suhu udara Perth yang sedikit lebih dingin dibanding Jakarta.

Jenni ganti baju di kamar mandi, dan saat dia pergi kesana, aku melepas celana panjangku dan tetap memakai celana kolorku. Aku ga bawa baju tidur karena menyangka kami punya kamar sendiri-sendiri dan biasanya aku memang tidur telanjang dada. Dia keluar dari kamar mandi setelah sekitar dua puluh menit memakai gaun piyama sutra putih. Potongannya ga terlalu ketat, tapi tetap ga bisa menyembunyikan bentuk tubuhnya yang menawan.

"Lihatnya jangan terlalu lama," katanya, "Aku ga cantik tanpa make up."

Itu adalah penipuan terang-terangan dan aku bilang itu padanya, membuatnya terlihat makin cantik karena tersipu malu. Aku berjalan masuk ke kamar mandi, dan saat aku keluar dia sudah tidur. Aku melepaskan kaosku dan masuk kebawah selimut di tempat tidurku sendiri, ga lama aku tertidur.

Aku bangun jam lima pagi, lagi-lagi bingung aku ada dimana, tapi ga lama sudah ingat. Dari pintu terbuka yang mengarah ke pintu masuk aku bisa melihat cahaya dan mendengar suara samar. Aku berjalan keluar dari kamar tidur dan menemukan Jenni sedang duduk di meja tulis menghadap laptopnya, memeriksa ulang power point untuk presentasinya. Dia mendengar langkahku dan berbalik. Tangannya terangkat ke mulutnya dan di wajahnya ada ekspresi ngeri yang sering kulihat. Aku baru sadar bahwa aku cuma pakai celana kolor tanpa atasan.

"Maaf bikin kaget," aku memulai, "Aku tadi dengar suara--"

"Errik! Badanmu! Kakimu!"

Sekarang aku tahu kenapa dia begitu kaget. Jenni baru pertama kali melihatku telanjang dada dan reaksinya mirip dengan Vivi saat di apartmentku.

"Oh, maafkan aku," kataku datar. "Aku lupa seperti apa penampilanku. Maaf kalau kamu takut."

"Bukan!" katanya, penuh perhatian. "Aku sudah biasa lihat wajah dan kepalamu, tapi aku ga sadar lukamu--"

"Sebanyak ini?" Kataku sambil tersenyum. "Sekarang kamu bisa lihat kenapa dokter bilang kesempatan hidupku sangat kecil waktu itu.”

Jenni masih memandang tubuhku, lalu sadar aku sedang menatapnya. Pipinya memerah saat dia kembali menghadap ke laptopnya.

“Kamu sedang apa, Jen?"

"Oh... Aku tadi kebangun dan ga bisa tidur lagi, jadi aku sekalian memastikan persiapan hari ini sekali lagi biar lancar."

"Tenang saja, kamu pasti bisa. Percaya diri dan kerjakan seperti yang sudah kamu latih berkali-kali."

"Iya, ini tanggung sudah hampir selesai. Aku akan lebih tenang kalau sudah ngecek ulang semuanya sekarang."

Aku pergi ke minibar dan membuat kopi untukku dan Jenni, lalu kembali ke kamar tidur untuk baca novelku yang ga selesai-selesai kubaca. Aku pasti ketiduran karena Jenni memanggil namaku sambil menggoyang-goyangkan tubuhku. Aku membuka mata dan melihat jam, sekarang sudah jam tujuh pagi, Jenni sudah berpakaian rapi dan sudah siap untuk meeting dengan Tristar. Aku turun dari tempat tidur dan pergi ke kamar mandi, merasakan pandangannya tertuju ke tubuhku yang penuh bekas luka.

Dua puluh menit kemudian aku sudah selesai mandi, Jenni menunggu di ruang tamu untuk memberiku kesempatan memakai baju. Aku keluar dan mengajaknya turun untuk sarapan.

Setelah sarapan, Jenni menunjukkan arah ke ruang meeting kecil yang sudah kami booking untuk dua hari.

"Mereka mau kita meeting di kantor mereka, tapi menurutku lebih baik kita meeting di tempat netral," katanya.

"Pintar. Semoga mereka ga sadar tempat ini ga netral, kita tinggal disini sekarang," Kataku.

Dia tersenyum. Kami balik ke kamar hotel untuk mengambil berkas-berkas dan laptop Jenni lalu menunggu di ruang meeting. Dia kelihatan gugup, bahkan sangat gelisah. Tapi aku membiarkan Jenni mengatasinya sendiri, aku mau dia berkembang, dan ini kesempatan yang bagus untuk menujukkan kemampuannya.

Ada telepon dari lobby yang memberi tahu bahwa tamu kami sudah datang, jadi aku keluar dan menemui tamu kami. Ada tiga orang. Seorang pria tinggi berperawakan kurus hidung mancung, dan rambut yang sudah mulai memutih, dia memperkenalkan dirinya sebagai Victor Belling. Dia sepertinya ga bisa mengenaliku jadi aku membiarkan urusan itu untuk nanti agar ga menganggu urusan bisnis perusahaan.

"Heri Wicaksono, Sales Consultant" kataku sambil menjabat tangan Victor.

Dia memandangku sekali lagi, tapi lalu memperkenalkan anggota timnya. Yang pertama seorang pemuda bernama Denis Lemay yang menjabat sebagai Chief Resource Manager . Dia lebih tinggi dariku dan bertubuh atletis dengan bahu lebar dan lumayan berotot. Dia pemuda yang tampan dan sepintas aku melihat kesombongan dalam sikap dan pandangannya padaku. Dia sangat tampan dan aku pikir aku mendeteksi sentuhan arogansi pada gerak-gerik sikapnya. Yang kedua sedikit lebih tua dari temannya bernama Grant Concliffe, bagian teknis mereka, berbeda dengan temannya, Grant agak pendek dan cenderung gemuk. Wajahnya bulat kemerahan dengan hidung kecil dan telingga besar yang ujungnya sedikit lancip. Sepintas mirip dengan kurcaci besar, butuh usaha ekstra untuk ga memandangnya terlalu lama, seperti mereka juga memandangiku cukup lama.

Tapi bos mereka lah yang berkomentar pertama. Dia mengangguk ke arahku dan bilang satu kata, "Accident?"

"No. Robbery."

Dia mendengus dan mengelengkan kepala. Kami berempat naik lift menuju ke ruang meeting tanpa banyak bicara. Saat kami masuk ruang meeting, Jenni sudah menyambut kami dengan senyum lebar. Aku bisa melihat perubahan ekspresi mereka. Mungkin mereka kaget karena kami mengutus seorang wanita untuk urusan teknik seperti ini?

Jenni berpakaian seperti yang biasa dia pakai saat dikantor, setelan bisnis biasa tapi tampak menarik saat dia yang memakainya. Blouse putih sedikit ketat di bagian dada, dilapisi blazer abu-abu dan dibawah memakai rok ketat yang panjangnya sekitar 10 cm diatas lutut. Aku tersenyum melihat ketiga tamu kami terpesona, semoga mereka bisa tetap fokus agar meeting ini cepat selesai.

Aku lalu memperkenalkan Jenni pada mereka, dan bilang bahwa Jenni yang akan presentasi dan mewakili kami dalam negosiasi dan aku sendiri akan mengurus finalisasinya nanti.

Aku usul pada Victor agar kami lihat presentasi Jenni, lalu keluar saat negosiasi dimulai, dia mengangguk setuju. Jenni sendiri berhasil melakukan presentasinya dengan sempurna dan aku mengajak Victor untuk pindah ke ruangan sebelah. Di situlah aku memperkenalkan diriku yang sebenarnya.

"Mr Belling, Victor," aku memulai, "We’ve met before. You know me."

Dia tampak bingung karena aku bilang kami pernah ketemu.

"Errik Riccardson," aku menyebutkan namaku.

Dia terkejut sesaat lalu berkata, "You disappeared soon after we had those meeting at your place. I remember sending condolences to your lovely wife." Sepertinya dia masih ingat aku dan juga kasus kepergianku secara misterius, dia juga ingat Ana.

"You can see i was comprehensively beaten up. I lost my memory after that, and i’ve only recently realised who am i and where i live. In the meantime my wife has divorce me." Aku menjelaskan dengan singkat apa yang terjadi padaku.

"I’m so sorry," katanya dengan nada yang tulus. "You were an ideal couple. I know everyone envied you."

Aku berterima kasih atas perhatiannya dan kami melanjutkan obrolan sambil sesekali memeriksa proses negosiasi dari balik kaca yang menembus ke ruang meeting.

"So, why aren’t you in charge for this order? Why get the young girl to do it?" Tanyanya sambil memandang ke arah Jenni di luar sana.

"The young girl is in her thirties, Victor, and she’s talented. I just giving that talent a room to grow."

Dia mengangguk dan tersenyum. Kami mendengarkan sebentar diskusi mereka dan dia mengangguk lagi, setuju akan penilaianku pada Jenni. Kami bergabung lagi dengan mereka setelah diskusi berlangsung terlalu lama tanpa ada titik temu. Grant kemudian memberikan update pada Victor terkait spesifikasi teknis yang kami tawarkan.

"I need to talk about this with Victor, and we will have meeting this afternoon," kata Denis pada kami, "But how about we meet for dinner and drink this evening?" Kali ini dia bicara hanya pada Jenni, undangan makan malamnya ga berlaku untukku.

Jenni melirik sekilas ke arahku dan aku mengangguk tanpa sadar, membuat Jenni dengan anggun menerima undangannya. Victor sendiri juga mengundangku ke rumahnya untuk makan malam dan aku menerimanya dengan senang hati, itu akan lebih baik daripada harus makan sendirian karena Jenni akan makan malam bersama Denis.

Aku menunggu di ruang tamu saat dia berganti pakaian, dan saat dia muncul, sekali lagi dia kelihatan sangat menawan. Gaya berpakaiannya sangat sederhana. Gaun hitam berpotongan leher rendah yang memperlihatkan sedikit belahan dadanya, panjangnya sekitar 10cm diatas lutut yang kelihatannya memang ukuran panjang yang dia sukai, dilengkapi kalung dan anting sederhana. Kurang lebih sama seperti pakaiannya saat pertama kali kami makan malam berdua.

"Kamu akan bikin dia ga berkedip semalaman," kataku kagum. "Apa aku harus pesan kamar lagi untuk malam ini?"

Dia tampak ngeri.

"Jangan becanda, Errik!" dia kelihatan tersinggung. "Aku ga suka pria itu. Ini murni untuk urusan bisnis dan sebelum kamu meminta yang aneh-aneh, aku bukan pelacur. Aku ga akan memakai tubuhku untuk jualan." Dia marah.

Aku kaget pada reaksinya, "Maafkan aku, Jen. Aku sama sekali ga bermaksud begitu, apalagi sampai menganggapmu merayu laki-laki untuk urusan penjualan. Aku cuma merasa kamu mungkin akan suka sama dia, dia laki-laki yang tampan, dan aku ga lihat cincin di jarinya."

"Kebiasaan laki-laki!" sahutnya, kali ini lebih lembut. "Memangnya kamu ga lihat sikapnya? Dia benar-benar type laki-laki yang kelewat percaya diri. Seingatku aku pernah cerita soal laki-laki semacam itu sebelumnya. Maka itu jangan terlalu lama di rumah Victor, karena kamu masih punya tugas untuk naik kuda putih dan jadi Prince Charming untuk menyelamatkanku dari Prince yang sok Charming."

Kami berdua tertawa, lalu pergi terpisah dengan teman kencan kami sendiri-sendiri.


Bersambung... Chapter XI
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd