Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Pulang

XI. Terbuka

Jamuan makan malam yang disiapkan Victor sangat menyenangkan untuk dinikmati. Victor juga memperkenalkan istrinya yang sangat cantik dan jauh lebih muda darinya. Tapi dari pengamatanku aku melihat mereka berdua pasangan yang sangat cocok, dan itu membuatku sempat terpikir tentang kenapa aku ga mau lebih serius tentang hubunganku dengan Tris. Yah, sekarang sudah terlambat pikirku.

Setelah kami ngobrol beberapa lama, mungkin Victor melihat aku sedikit kelelahan. Victor lalu menawarkan untuk mengantarku pulang ke hotel. Dia memanggil taksi yang datang beberapa menit kemudian. Aku naik ke taksi dan kaget saat Victor ikut naik ke taksi.

"Errik," katanya. "Aku have another idea I’d like to tell you. Won’t take long, but you could give it a thought.”

Aku pikir aneh kalau dia punya ide baru saat pesanannya yang dulu sudah jadi dan tinggal proses negosiasi, tapi bagaimanapun dia pembelinya, dan pembeli adalah raja. Jadi kami kembali ke hotel tempatku menginap bersama-sama dan setelah sampai langsung menuju ke ruang meeting yang sudah kami sewa untuk dua hari dan kami sudah meninggalkan banyak barang kami di ruangan itu. Saat kami masuk, ruangan sudah sepi, Jenni dan Denis pasti sudah selesai meeting dan saat ini mungkin sedang kencan di bawah.

Kami lalu duduk dan Victor menyampaikan idenya, mengubah beberapa spesifikasi pesanan, ga terlalu sulit, tapi akan butuh proses beberapa waktu untuk menyelesaikannya.

Dia lalu merasa haus dan ingin memesan minuman, "I also need to speak to Denis. Do you know where he’ll be?"

"Bar?" Aku mengusulkan kami turun dan membeli minuman dibawah sekaligus kalau dia ingin menemui Denis, jadi kami pergi ke bar dan juga restoran hotel, tapi ga menemukan keberadaan Denis ataupun Jenni. "Maybe they’ve gone up to our suite."

"You share a room with her?" dia mengangkat alis.

"Only one suite left. Don’t get it wrong, Victor. I mean, look at me!" Aku mengatakannya sambil tersenyum agar dia ga merasa ga nyaman. Dia tersenyum balik.

"Point taken. Can we gatecrash their party?"

"I don’t think there’s a party in there. She doesn’t like him much, i’ll be surprised if anything going on, Victor." Aku ingat pada apa yang dikatakan Jenni tadi sore, dan aku yakin dia gadis yang ga gampang berubah pikiran.

I believe he can be persuasive.” Sepertinya Victor masih yakin Denis akan berhasil merayu Jenni.

Kami berdua naik ke kamar suite-ku. Aku memasukkan kartu untuk membuka kunci pintu, Victor menyentuh bahuku dan mengangkat telunjuknya ke bibir, dan kami mengendap-endap masuk tanpa bersuara. Ruang tamu kosong ga ada orang, tapi kami bisa dengar ada suara-suara dari dalam kamar tidur. Kami berdiri dan mendengarkan.

"Come on, Jenni, you know you want to."

"Denis, get out of my bedroom. You want to use the bathroom and now you’re done. Now, out!" Kudengar Jenni mengusir Denis dari dalam kamar.

"Jenni, you are a beautiful woman, you have needs, you know it. I can give you a wonderfull good time."

Refleks aku menyalakan alat perekamku. Aku merasa kami butuh rekaman untuk ini.

"No, you can’t. Sorry, Denis, but i just dont fancy you."

"You dont know what you’re missing. I’ll blow your mind. Promise." Mungkin Victor benar bahwa Denis bisa sangat persuasif agar mendapatkan apa yang dia mau.

"Get out, Denis. Go home. I’m not interested." Tapi aku juga tahu Jenni ga akan mudah terpengaruh.

"I think you will be. You want this contract. I have to go to Victor tomorrow and give my recommendation. Which way do you want it to go?"

"You blackmailing me for sex, Denis? Is that how you get women into bed?"

Aku terkejut saat menyadari arah pembicaraan mereka, sekarang aku tahu kenapa aku merasa harus merekamnya, dan terus mendengarkan sambil melangkah mendekat ke arah pintu.

"I’m only doing it to help you, flower. So what’s it to be? Contract recommendation or turned down?"

"You bastard. You cant’do this. You know our stuff is better than our competitor."

"But Victor doesn’t. So start get your clothes off and let’s do this. Here, i’ll help you."

"Get off me! Let me go!" Sekarang terdengar suara pergumulan dari dalam kamar.

"Shut up, you bitch!"

Ada erangan dan geraman dan aku bergegas menuju ke pintu kamar tidur. Mereka ada di atas tempat tidurku. Denis menindih Jenni, dan tangannya terselip masuk ke dalam rok Jenni. Jenni menggeliat untuk melepaskan diri dari tindihan Denis.

"I think she want you to leave her alone," kataku.

Dia kaget lalu menoleh ke arah pintu, "Get out!" dia berteriak. "This whore is mine!"

"I don’t think so," aku bicara dengan suara pelan sehingga dia harus mencondongkan kepalanya untuk mendengarku. "This is assault and rape, and if this is your way to conduct business, I'm afraid we don't want to supply you, and I'll be informing Mr. Victor Belling why."

Dia mencibir meremehkan ancamanku. Jenni sekarang masih di bawahnya, tapi dia sudah menarik tangannya dari dalam rok Jenni.

"Your word against mine. I know who he'll believe, certainly not some minor technician and his whore of a sales girl. I'll tell that stupid old man you set me up so you could get out of the deal because it was too big for you"

"That stupid old man don’t think you will."

Suara itu datang dari belakangku, sama tenangnya tapi juga sangat berwibawa. "Denis, you will collect your effects from your desk first thing tomorrow.you are no longer work for me."

Denis melompat berdiri dan menghadap kami, ereksinya mendorong celana dalamnya keluar dari resletingnya yang sudah terbuka. "You can’t do that, Victor. I will sue you. You have no evidence of anything happen here."

Sementara mereka berbicara, aku sudah menyiapkan alat perekamku, dan sekarang berdiri di belakang Victor. Aku memutar ulang rekamannya dan dia memucat mendengar suaranya di dalam rekaman, tidak terlalu keras, tapi jelas.

Sekarang dia tahu ini bukan semata soal dia dipecat, tapi ini jelas usaha pemerkosaan, dan nasibnya bisa jadi lebih buruk dari ga punya pekerjaan.

Dia berlari hendak merebut alat perekam. Aku melangkah mundur dan Victor menjulurkan kakinya, menjegal Denis yang jatuh terkapar. Kami berdua berdiri di sampingnya.

"You really are a very stupid man," kata Victor. "Apart from what we heard, this is the owner of the company we've been negotiating with, and he's a personal friend. I would have believed him over you any time. Now get out of here."

Dia bergegas berdiri dan tersandung lagi saat berlari keluar.

"How’s Jenni?" tanya Victor.

I'll see to her. I think it better if you leave her to me."

"You're right, see you tomorrow. I'll do the final contract with you, or Jenny if she's up to it.

Dia memelukku dan aku balas memeluknya. Aku memindahkan rekaman ke flashdisk kosong dan memberikan kepadanya, lalu dia pergi.

Aku kembali ke kamar tidur. Jenni berbaring telungkup dan gemetar, terengah-engah.

"Jenni," bisikku, dan menyentuh punggungnya dengan tanganku.

Reaksinya spontan. Dia berbalik, bangkit untuk melihat siapa yang menyentuhnya, lalu segera memelukku, menangis tersedu-sedu. Aku balas memeluknya erat-erat sambil membelai rambutnya dan menenangkannya. Butuh waktu yang lama.

Lalu dia mulai bicara, kepalanya bersandar di pundakku saat aku duduk di tempat tidur dan memeluknya.

"Di hari ulang tahunku yang kedelapan belas, pacarku datang dan kami berdua sedang di kamarku dan ga ada orang lain di rumah, entah siapa yang memulai tiba-tiba kami berdua sudah telanjang. Tapi mungkin kami lupa mengunci pintu karena pamanku – adik ayahku - tiba-tiba masuk ke kamar. Aku tertangkap basah sedang memegang penis pacarku dan jarinya terselip di vaginaku. Pamanku marah dan mengusir pacarku dari rumah lalu kembali ke kamar.

“Ayahku orang yang keras dan sangat kolot, dan kalau sampai dia tahu, sudah pasti aku akan diusir dari rumah. Aku sudah kelas 3 SMA waktu itu dan pingin banget bisa kuliah.

"Pamanku memberi tahu harga supaya dia tutup mulut dan kamu bisa tebak apa itu. Dia memintaku melayaninya berhubungan seks berulang kali setelah itu. Dia akan kirim SMS supaya aku datang ke rumahnya, Dia ga peduli penolakanku dan terus menjadikan aku sebagai alat pemuas seksnya. Ga pernah lama, hanya untuk memuaskan nafsunya saja.”

Jenni mendengus.

"Suatu hari aku ga tahan lagi dan cerita ke ibuku. Dia ga percaya ceritaku, dan bilang aku pelacur dan pembohong, tapi malam itu aku dengar ayah dan pamanku berdebat. Pertengkaran yang sangat menakutkan dan lalu ayahku naik ke atas, ke kamarku. Wajahnya merah padam.

"'Apa itu benar?' Dia bertanya.

"Aku tahu apa yang dia maksud, dan mengangguk.

"'Dan apa yang kamu lakukan dengan anak laki-laki itu juga benar?

"Aku mengangguk lagi, aku berkata, 'Kami cuma saling raba, ga lebih.'

"Wajahnya berubah dan dia kelihatan sangat sedih. Lalu dia berbalik dan turun. Lalu ada keributan lagi dan sejak saat itu kami ga pernah ketemu dengan pamanku lagi.

"Ayahku ga pernah membahas masalah itu lagi, tapi aku tahu dia masih sangat marah karena kejadian itu, dan aku juga ga pernah lagi membagi rahasiaku dengan ibuku sejak saat itu, aku sudah terluka sejak dia ga mau percaya padaku.

"Setelah itu aku bekerja keras dan fokus pada kuliahku. Mengerjakan tugas, belajar berjam-jam di perpustakaan. Aku juga ga pernah berhubungan lagi dengan pria mana pun.

“Seks terakhirku adalah dengan paksaan pamanku. Aku ga pernah membuka hati untuk orang lain. Aku juga sudah bilang aku ga suka laki-laki yang agresif. Mungkin mereka ga seagresif pamanku, tapi bagiku rasanya tetap seperti itu. Ga ada laki-laki lembut dan romantis yang pernah mendekati aku.

"Malam ini. Semuanya terjadi lagi. Kekerasan, pemaksaan. Kamu, Errik, kamu menghentikan semuanya. Kamu ga macho atau kasar dan sejujurnya itu justru akan membuatnya lebih buruk. Kamu memakai kata-kata. Kamu lembut. Aku menganggapmu lemah saat pertama kali kembali bekerja. Bodoh.

Dia diam sejenak lalu menghela nafas panjang.

"Errik, aku mau tidur sekarang. Aku capek banget."

Aku berusaha bergeser dan bangkit tapi dia meraih lenganku.

"Kamu bisa bantu aku?" Dia ga menunggu jawabanku. "Bisa tolong bantu lepas bajuku dan temani aku tidur?"

Bisakah aku? Tentu aku bisa. Dia berdiri dan aku melepaskan resleting di belakang gaunnya dan mengangkatnya melewati atas kepalanya, lalu memasangnya di gantungan saat dia menunggu. Lalu celana ketatnya. Dia mengangkat kakinya bergantian saat aku membungkuk untuk menurunkannya. Lalu perhiasannya. Dia sekarang berdiri menghadapku hanya memakai satu set bra dan celana dalam berenda di tubuhnya. Aku berhenti.

"Semua." katanya, matanya tertutup.

Aku mengulurkan tangan kebelakang punggungnya untuk melepaskan pengait dan menariknya bra-nya lepas. Lalu sekali lagi membungkuk untuk melepaskan celana dalamnya. Dia telanjang bulat. Payudaranya ga terlalu besar tapi terlihat kencang. Bulu kemaluannya dicukur rapi. Tubuhnya ramping dan padat. Walaupun dia sudah berumur tiga puluh tahunan, dia mengulurkan kedua tangannya kedepan seperti gadis kecil minta digendong. Aku meletakkan satu tangan di belakang lututnya dan yang satunya di punggung lalu mengangkatnya. Dia melingkarkan lengannya di leherku untuk berpegangan. Aku menggendongnya pindah dari tempat tidurku ke tempat tidurnya dan membaringkannya disana. Aku membelai pipinya lalu membungkuk dan mencium dahinya, menarik selimut menutupi tubuh telanjangnya.

Aku lalu keluar dari kamar lalu kembali setelah mengambil susu dari kulkas (Hotel selalu menyediakan susu segar setiap hari), yang lalu dia minum setengahnya lalu meringkuk lagi di tempat tidur. Dia tersenyum dan menutup matanya.

Saat itu sudah jam sebelas lewat, jadi aku membersihkan diri di kamar mandi, dan saat aku selesai aku menganggap dia sudah tidur, lalu aku membuka pakaianku sampai telanjang, dan baru akan memakai celana kolorku saat suaranya menghentikanku.

"Ga usah dipakai, Errik. Mau ga kamu peluk aku malam ini? Aku butuh dipeluk."

Apa yang bisa kulakukan? Aku berjalan ke tempat tidurnya dan berbaring di belakangnya. Dia berbalik dan memeluk pundakku, mengeluarkan suara lenguhan kecil dan tertidur lelap. Mungkin dia sedikit mabuk dan lelah, tapi kupikir itulah yang dia butuhkan saat ini. Pelukan non-seksual pertama setelah belasan tahun meskipun kami berdua telanjang saat ini. Ga lama aku ketiduran.

Hari baru mulai terang saat aku bangun di pagi hari. Aku menghadap ke tepi tempat tidur, dan saat aku membuka mata aku bisa melihat tempat tidurku sendiri, lalu aku sadar aku ada dimana dan berbalik dengan hati-hati. Tapi dia juga sudah bangun dan menatap mataku.

"Selamat pagi!" dia berbisik.

"Selamat pagi!" Aku balas berbisik. Kami berdua tertawa dan dia bergeser untuk menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku memeluknya dan dia membalas dengan menyelipkan tangannya di bawah pinggangku. Dia mengangkat wajahnya dan secara insting aku tahu dia menunggu ciuman dariku, jadi aku menurut. Dia balas menciumku. Kami berciuman selama beberapa saat.

"Terima kasih, Errik. Aku harus ke toilet," dan dia keluar dari balik selimut masih telanjang bulat.

Jadi aku juga bangkit telanjang dan keluar ke dapur untuk bikin kopi, masih menyesal karena ga nemu teh di area minibar. Dia muncul di belakangku dan menempelkan dirinya ke punggungku, puting payudaranya yang keras terasa tajam menekan punggungku. Bulu kemaluannya menempel di pantatku yang telanjang dan aku merasakan saat dia menggosokkannya ke tubuhku. Respon fisikku langsung terasa. Dia melepas pelukannya. Aku mengambil cangkir, berbalik untuk menawarinya secangkir kopi dan dia melihat penisku yang ereksi.

Dia tertawa, "Apa itu karena aku?" dia tahu jawabannya.

"Ya," jawabku, mencoba bersikap biasa saja, "Sekarang pakai bajumu. Masih ada kerjaan yang belum selesai."

"Ah, merusak suasana," dia cemberut.

"Jenni," sekarang aku serius, "Kamu sudah hidup tanpa cinta dan perhatian dari keluargamu. Tapi aku ga tahu kenapa sejaauh ini kamu bisa tetap jadi orang yang hangat dan ramah. Nikmati saja kenyamanan hubungan yang kita punya untuk saat ini, sambil kita jalani sedikit demi sedikit. Aku yakin ini cuma reaksi pada kejadian mengerikan yang kamu alami tadi malam. Aku ga boleh memanfaatkan kondisi mentalmu."

"Boleh!" dia tersenyum, kepalanya miring ke satu sisi, dan satu pinggulnya turun, satu tangannya menopang di pinggung yang lebih tinggi, sambil dia mengedipkan mata. "Maksudku kamu boleh kok memanfaatkanku!"

"Ga sekarang," kataku. "Cepat pakai baju!" Aku melangkah mendahuluinya ke dalam kamar dan bergegas ke kamar mandi, sekuat mungkin menahan agar ga membiarkannya masuk walaupun dia beberapa kali mengetuk pintu. Beberapa saat kemudian aku selesai dan keluar hanya memakai handuk di pinggangku, menemukannya sedang duduk di tempat tidur masih belum berpakaian. Jadi aku menariknya dan sekali lagi mengendongnya dan menurunkannya di kamar mandi, lalu menutup pintunya dari luar.

Kami sarapan dan langsung menunggu di ruang meeting kemarin untuk menyelesaikan urusan kontrak dengan Victor dan anak buahnya, kali ini tanpa Denis Lemay. Aku sempat menyarankan Jenni untuk ga usah ikut, tapi dia bersikeras. Setelah seorang dari bagian legal mereka membaca draft kontrak yang sudah kususun, aku dan Victor Belling menanda tangani kontrak. Victor sekali lagi mengundangku untuk makan malam, kali ini bersama Jenni. Kami setuju. Setelah mereka pergi Jenni mengirimkan hasil scan kontrak lewat email kepada Jeffry.

Kami membereskan ruang meeting dan sorenya kami sempat berjalan-jalan untuk belanja. Malam itu berjalan dengan lancar. Kami pulang dari rumah Victor ke hotel naik taksi, kali ini dia ga mengantar.

Jam sepuluh malam kami bersiap untuk tidur. Kali ini kami melepas pakaian tanpa perlu menunggu yang lain keluar dari kamar, kami bahkan saling menatap tubuh satu sama lain. Dia kelihatan memandang tubuhku dengan campuran kesedihan dan nafsu. Aku memandang tubuhnya dengan murni seratus persen nafsu. Aku ke kamar mandi lebih dulu, lalu dia masuk setelah aku selesai. Saat dia keluar, aku sudah berbaring di tempat tidurku memakai selimut. Dia mendekat.

"Boleh aku masuk?" dia bertanya dengan serius, sadar dan yakin sepenuhnya.

"Cuma sekedar peluk, Jenni. Sebelum kita melakukan lebih dari itu, kita harus bicara. Kamu ngerti? Hidupku rumit."

"Oke," katanya, "Cuma pelukan saja. Permisi!"

Aku bergeser saat dia masuk ke bawah selimut. Lalu kami berpelukan. Dia menghela nafas nyaman saat dia mendorongkan dahinya ke leherku dan menciumku. Lalu kami tidur.

Sabtu pagi kami bangun, urusan bisnis sudah selesai, dan sisa satu hari kami disini kami pakai untuk berwisata. Kami melihat pemandangan kota dari Kings Park, menyebrang ke Rottnest Island, dan belanja di Fremantle Markets, menikmati berbagai toko dan kios yang menyediakan bermacam pilihan souvenir dan oleh-oleh. Kami mencicipi berbagai jenis makanan kecil, dari yang gurih, asin sampai yang manis, dan Jenni membeli beberapa pernak-pernik perhiasan murah. Sore hari kami naik bus pergi ke Pantai Cottesloe, duduk dan minum kopi sambil menyaksikan matahari tengelam. Hari sudah gelap saat kami berjalan di pasir pantai dan aku memutuskan sudah waktunya untuk bicara.

"Jenni, kamu sudah tahu kisahku sejauh ini. Kamu tahu ada begitu banyak hal yang belum bisa kuselesaikan, begitu banyak hal yang ga pasti dalam hidupku. Tris adalah perawatku dan sebelum hubungan kami sampai ke tahap... tidur bersama, dia bilang bahwa itu adalah hubungan seks tanpa ikatan, tapi pada akhirnya itu ga mungkin. Sepertinya aku ga bisa melakukan seks tanpa ikatan. Tris bisa pada awal hubungan kami, tapi lama kelamaan dia butuh lebih dari sekedar orgasme dalam hubungan seks.

"Tris dan aku merasa nyaman menjalani hubungan seperti itu karena kami sama-sama tahu akhirnya akan seperti apa. Dia akan kembali ke keluarganya di Timor Leste, dan disisi lain aku belum memutuskan soal hubunganku dengan Ana. Kamu tahu kan apa yang terjadi saat aku bertemu dengan Ana. Aku begitu bingung dengan perasaanku tentang dia atau setidaknya sejarah kami.

"Coba kamu pikirkan, seandainya kita ngelakuin seks apa itu akan bikin hubungan kita punya ikatan? Kalau iya, lalu Ana tiba-tiba mau kembali padaku dan aku juga mau kembali padanya, terus gimana? Katakanlah kita sedang menjalin hubungan seksual dan terikat setelahnya, apa itu ga bikin kamu merasa ditinggalkan? Kamu akan merasa dikhianati, dikecewakan, ditolak, dan sekali lagi dimanfaatkan oleh laki-laki. Pasti itu akan bikin kamu ga mau lagi punya hubungan dengan laki-laki lain. Aku bisa lihat hubungan seperti itu ga sehat.

"Berikutnya ada fakta bahwa kita bekerja di kantor yang sama, bahkan kerja bareng. Kalau seandainya hubungan kita berakhir, gimana nanti hubungan kita di kantor? Kita ga bisa terus kerja bareng, kan?"

Kami lalu terus berjalan di pasir tanpa kata, sampai akhirnya dia bicara.

"Errik, ketika aku tahu siapa kamu dan gimana caramu menghadapi masalah dalam hidupmu, aku kagum padamu. Kamu sangat bijaksana. Kamu lebih mementingkan perasaan mantan istrimu dan masalah yang akan dia hadapi kalau kamu muncul di depannya, dibandingkan dirimu sendiri. Saat kamu bertemu dengannya dan membuat perasaanmu hancur, kamu jujur padaku tentang perasaanmu yang hancur. Saat itulah bagiku itu lebih dari sekedar rasa kagum. Aku ingin menghiburmu, aku ingin memelukmu, aku menginginkanmu.

"Kamu selalu begitu lembut. Kamu mengatasi kesulitan yang luar biasa dengan keceriaan. Semua pria yang tertarik padaku selalu egois, mereka menganggapku sebagai trofi hadiah karena kehebatan mereka. Mungkin itu kutukan karena aku cantik. Oh, ya, aku tahu aku cantik, sudah sering orang bilang begitu. Aku tahu keberadaanku menimbulkan hawa nafsu pada laki-laki, semalam contohnya. Ga ada yang sedekat dia hampir menjadikanku alat pemuasnya sejak...

"Aku mau mengaku. Saat aku memintamu untuk membuka pakaianku, kamu tahu secara emosional aku sangat kacau, tapi yang kamu ga tahu adalah sesungguhnya aku sedang berusaha membuatmu menyetubuhiku. Aku ingin dicintai dan disayangi tapi sejauh ini belum ada laki-laki yang memberikan itu, jadi aku berharap padamu. Tapi apa yang kamu lakukan? "

Sampai di sini dia tertawa.

"Kamu memperlakukanku seperti anak gadismu. Aku yakin kamu memeluk Agnes seperti kamu memelukku. Begitu kamu menurunkanku di tempat tidurku, aku sudah ga peduli lagi apa yang akan terjadi. Kamu menunjukkan cinta dan menghargaiku tanpa sedikitpun maksud untuk menjadikanku alat pemuasmu, jadi aku mengajakmu tidur di ranjangku. Kalau saat itu kamu menyetubuhiku, aku ga akan menolak, setidaknya aku akhirnya akan dapat cinta dan kasih sayang walaupun dibarengi dengan nafsu. Seandainya ga... Ya, kamu memang ga ngelakuin itu. Aku akan jadi putrimu untuk satu malam dan kamu adalah ayahku. Rasanya begitu aman, aku lupa kapan aku merasa begitu aman, begitu disayangi. Ayahku sendiri ga pernah menyayangiku seperti itu," dan dia tenggelam dalam lamunannya sendiri.

Aku ingin bicara tapi aku ga ingin. Aku ingin... Aku ga tahu apa yang ku inginkan. Aku melingkarkan lenganku di bahunya dan dia melingkarkan lengannya di pinggangku.

"Lihat?" katanya sambil tersenyum padaku, "Reaksimu selalu untuk peduli. Aku yakin kamu adalah ayah yang hebat. Ya Tuhan! Anak-anakmu pasti kangen banget. Jadi ya, aku sadar, bukan, aku yakin bahwa hubungan kita hampir mustahil akan bisa langgeng. Maksudku kalau kita melakukan seks.

"Kamu sudah menolongku, kamu menyelamatkan aku. Aku sangat bersyukur atas pekerjaan yang mengharuskan kita kesini. Aku bersyukur kamu percaya padaku untuk melakukan negosiasi kesepakatan. Aku bersyukur bahwa bajingan itu mencoba memperkosa dan memerasku. Kamu tahu kenapa? Karena saat kamu campur tangan aku merasa seseorang mencintaiku seutuhnya, bukan hanya wajahku atau tubuhku. Bahkan kemarin, saat aku menyerahkan diriku padamu, kamu masih khawatir padaku.

"So i want you to make love to me. Aku butuh bentuk fisik dari perhatian dan rasa pedulimu. Aku sudah dipakai sebagai alat oleh laki-laki selama hampir setahun penuh dan setelah itu aku menghindari cinta dan laki-laki. Aku ingin tahu seperti apa cinta sejati dari pria lain, Maksudku cinta semacam itu, cinta secara fisik."

Aku berpikir sejenak. Aku masih merasa ini ga bagus buat hubungan kami kedepannya. Aku ga bisa berkomitmen setia padanya, dan aku percaya kalau kami make love hubungan kami ga akan bisa putus begitu saja saat diperlukan. Tapi dia adalah seorang gadis dewasa, dia sudah umur tiga puluhan! Itu menimbulkan pemikiran lain di kepalaku.

"Aku masih ragu tentang ini tapi kalau kamu ingin punya hubungan seperti itu. Tolong jangan salahkan aku kalau kamu terluka saat kita putus."

Dia menghela nafas lega, "Aku sungguh membutuhkan kamu dalam bentuk itu."

"Jadi sebaiknya kita cari tempat untuk beli kondom."

"Oh, ga perlu. Saat pertama kita, aku ga mau ada karet di antara kita."

"Tapi--"

"Begini, Errik, aku mungkin sudah lama ga berhubungan seks, tapi aku ga bodoh. Beberapa hari lagi, bahkan seharusnya besok aku akan haid, dan jadwalnya ga pernah meleset, jadi aku aman. No Condoms!"

Itu mengakhiri pembicaraan kami. Kami kembali ke hotel, dan begitu sampai di kamar hotel, dia melepas pakaiannya dan berlari ke kamar mandi hanya memakai bra dan celana dalamnya. Aku mendengar shower menyala, jadi duduk tenang untuk menunggu giliran. Ga lama dia muncul.

"Sekarang kamu," katanya dengan gembira, dan aku menurut, menelanjangi diri dan mandi. Dia benar, jalan-jalan hari ini membuat kami banyak berkeringat. Saat aku keluar dia sudah berbaring di tempat tidurku, selimut menutupi sampai ke lehernya. Aku menarik selimut kebawah dan melihatnya telanjang.

“Aku malas pakai baju lagi, toh nanti akan dilepas. Kamu keberatan?”

Aku menatap kecantikannya yang telanjang, payudaranya berdiri tegak dengan bangga seperti dua bukit kecil, perutnya yang rata, dan kakinya yang ramping panjang.

"Gak," kataku padanya yang tersipu saat aku memandanginya dari atas ke bawah. "Aku sama sekali ga keberatan. Kamu tetap cantik pakai apapun, atau ga pakai."

Kalimat pujian kuno yang receh tapi dia makin tersipu dan tersenyum puas.

"Bagus kalau kamu suka," katanya, "Aku ga mau bikin kamu kecewa."

"Itu mustahil."

Aku menarik kakinya dengan lembut sampai ke ujung bawah tempat tidur, melebarkan kakinya sehingga vaginanya terbuka didepanku. Lalu aku mengambil dua buah bantal dan meletakkan satu di bawah kepalanya, dan yang satu lagi lainnya di bawah pantatnya.

"Buat apa?" dia heran.

"Santai saja," jawabku, saat aku berlutut dan membungkuk di ujung tempat tidur, wajahku mendekati bibir kemaluannya. "Berbaring saja dan nikmati."

Aku segera menjulurkan lidahku ke belahan vaginanya, menyusur dari belakang ke depan, sengaja ga menyentuh klitorisnya, lalu turun lagi kebawah. Dia tersentak. Bagus. Aku memang berusaha membuatnya tersentak. Lalu, aku memakai jariku untuk membuka celahnya, dan mendorong lidahku bergerak lebih dalam.

"Oohh.. Errik!" dia mengerang. Makin bagus. Itu berarti dia mulai menikmatinya, dipastikan dengan vaginanya yang makin basah.

Jadi aku terus mengulanginya sampai satu saat lidahku bergerak naik, dia mendorong kemaluannya kearahku, berusaha untuk menempelkan klitorisnya pada lidahku. Aku menghindar dan dia mengeluarkan erangan kecewa. Setelah itu aku sengaja hanya bergerak di sekitar lubang masuk vaginanya, membuatnya makin ga sabar dan makin agresif mengerakkan pinggulnya, berharap aku mau menyentuh biji kacang di atas kemaluannya. Jadi setelah mempermainkan gairahnya selama beberapa saat, aku merasa sudah waktunya mengabulkan keinginannya. Lidahku naik dan kali ini aku mengeseknya lembut di klitorisnya. Dia terlonjak. Pinggulnya terangkat, ga ingin kehilangan sentuhan dari lidahku.

"Oohh!"

Lidahku sekarang bergerak menyentil klitorisnya berulang kali, membuatnya makin cerewet. Bukan dalam bentuk kata-kata tapi gabungan dari suara desahan, erangan serak, dan teriakan tertahan. Dia semakin basah dan gerakannya makin liar saat aku terus mengerakkan lidahku di sekitar klitorisnya, bagian yang awalnya kuhindari.

Dan dia sampai. Kakinya menjepit kepalaku dan jeritannya melengking diikuti dengan nafas yang terengah-engah dan sentakan kejang tubuhnya.

Setelah beberapa waktu dia sudah cukup rileks dan aku bisa melepaskan diri dari jepitan kakinya dan mengganti lidahku dengan jari, yang bergerak membelai perlahan, selaras dengan kedutan tubunya yang melemah.

Begitu dia sudah tenang, aku bangkit dari posisiku di ujung tempat tidur dan merangkak ke atas tubuhnya, lengannya menyambutku dengan pelukan dan dia menarikku ke arahnya.

"Oh, Errik!" dia terisak, "Aku belum.. Aku ga pernah ngerasain itu sebelumnya."

Aku menciumnya, dan dia membalas dengan melumat bibirku yang basah, tangannya membelai punggungku, berhenti di setiap bekas lukaku disana. Aku bingung kenapa wanita suka meraba bekas lukaku? Tapi siapa yang peduli? Rasanya enak.

Aku ga mau kalah, meraba bagian-bagian sensitif di tubuhnya, meremas di beberapa tempat yang membuatnya mendesah, menghujaninya dengan ciuman, dan ga lama gairahnya bangkit lagi.

"Tolong, Errik," desahnya, "Sekarang masukin. Aku sudah ga tahan. Sekarang?"

Aku menariknya ke atasku dan dia menurut lalu mengangkangi aku, aku memegang tangannya dan membimbingnya untuk menyentuh penisku yang sudah keras.

"Kamu yang masukin."

Dia tampak ragu, tapi dengan segera mengarahkan penisku ke bibir vaginanya dan perlahan menurunkan tubuhnya kebawah sambil mendesah dan mengerang puas. Setelah dia ga bisa lebih jauh, dia tetap diam, menatapku dengan sayu, membiarkan vaginanya terbiasa dengan penisku.

Kemudian, tanpa terasa dia mulai bergerak. Bukan naik turun tapi dengan gerakan memutar pinggulnya, menggosokkan gundukan vagina dan klitorisnya kepadaku. Aku ga ingat pernah mengalami ini, tapi jelas gerakan itu punya efek seperti yang diharapkannya, karena gerakannya jadi lebih intens dan cepat sampai dia sekali lagi terengah-engah, kepalanya mendongak dan matanya tertutup rapat. Lalu dia berhenti sejenak, matanya terbuka lebar, menatapku seakan ragu, sebelum terpejam lagi dan dia menggosokkan lagi kemaluannya dengan gila-gilaan padaku sampai dia berteriak dan ambruk ke depan, kedua tangannya menopang di samping kepalaku.

Setelah itulah dia mulai naik turun, pantatnya membentur pahaku berkali-kali saat dia bergerak, tubuhnya condong ke depan di atasku, payudaranya berayun di atas wajahku, nafasnya memburu berpacu dengan setiap sentakan yang membawanya lebih dekat ke tujuan. Aku menangkap payudaranya dan memilin putingnya, membuat matanya terbuka lebar dan dia mempercepat gerakannya sampai aku pada gilirannya mulai menyuarakan sendiri klimaks yang hampir sampai.

Ada kilatan senyum di bibirnya yang sekarang terengah-engah, dan determinasi gerakannya menunggangi aku, sampai orgasmeku tiba, gemetar dan kelojotan, merasakan air mani berkumpul di pangkal penisku dan naik lalu menyembur kencang di dalam dirinya.

“Nnng... Ahkk... Ahhh...”

Mulutnya terbuka dan wajahnya meringis sambil terpejam saat kehangatan maniku yang menyembur mengantarnya mencapai klimaks berikutnya. Dia perlahan-lahan memperlambat gerakannya dan ambruk sepenuhnya ke atasku, bibirnya menempel di bibirku.

"Amazing!" dia terengah-engah. "Benar-benar... Benar-benar! Oh!" saat dia menarik diri untuk menatap mataku, payudaranya tergantung dengan indah.

Aku dapat gambarannya. Aku menyeringai. Tanpa kata-kata, hanya senyum saja. Dia juga tersenyum, senyum kepuasan.

Penisku sekarang sudah lembek, dan terlepas darinya. Aku meraih beberapa tisu dari meja di samping tempat tidur dan menyalipkannya di bawah kemaluannya. Dia kelihatan bingung.

"Supaya tempat tidur tetap kering!" Aku mengedipkan mata, dan dia tertawa.

"Kalau basah kita bisa tidur bareng di tempat tidurku," dia terkekeh, "Aku suka rasa spermamu mengalir di kakiku."

Jadi aku segera menyingkirkan tisu yang tadi kuselipkan. Dia tertawa terbahak-bahak!

Saat kami makan malam dia banyak cerita tentang masa saat dia dilecehkan oleh pamannya, dan juga ketidakpercayaannya pada hubungan dengan laki-laki karena kejadian itu.

"Aku sudah menyia-nyiakan banyak waktu," katanya panjang lebar. "Umurku sekarang tiga puluh satu dan waktuku hampir habis. Aku masih ingin punya anak."

"Aku punya pertanyaan buat kamu,” kataku, “Kamu bilang sekarang kamu umur tiga puluh satu, dan kamu memilih kerja sebagai sekretaris biasa di sebuah perusahaan kecil, tapi sejujurnya kamu punya kemampuan untuk mencapai lebih dari itu. Jadi selama ini kamu ngapain saja?"

Dia lalu menceritakan tentang lembaran hidupnya sejak menyelesaikan kuliah S2-nya - Aku kaget dia punya gelar S2. Dia bilang dia sebenarnya berasal dari keluarga yang cukup berada, dan setelah lulus dia memutuskan untuk keliling dunia, sesekali kerja sambilan disana dan sini, bukan untuk uang tentu saja, tapi mengumpulkan banyak cerita dan pengalaman untuknya, dan setelah enam tahun dia memutuskan untuk pulang ke Indonesia. Ini adalah pekerjaan serius pertamanya.

"Aku ga tahu aku nyari apa, tapi hari ini aku menemukan sesuatu dan seseorang. Aku ga pernah tahu seks bisa seperti apa sampai hari ini. Aku... Aku sudah jelas pernah masturbasi sendiri. Tapi hari ini..." Dia ga melanjutkan, pipinya memerah dan dia tersenyum malu-malu.

"Kamu tahu ga," kataku, "Kamu sering bilang tentang laki-laki yang sombong, yang tampan, dan juga tentang cowok biasa-biasa saja yang terintimidasi dan merasa ga pantas mendekatimu. Kamu tahu kamu yang harus lebih aktif untuk mendapatkan laki-laki baik yang pemalu dan ga percaya diri. Tapi di saat yang sama kamu harus tenang dan lembut untuk memberikan mereka kepercayaan diri."

"Mungkin aku yang ga cukup percaya diri untuk memulai inisiatif. Dan tolong, jangan bilang seperti itu, itu membuatku merasa kamu sudah akan meninggalkan aku. Apa kita masih bisa bersama lebih lama?"

"Aku bukan mau meninggalkanmu. Tentu kita masih bisa bersama. Aku cuma ga mau kamu buang-buang waktu bersama aku andaikata kamu ketemu orang lain, seseorang yang mungkin agak pemalu. Walaupun sebenarnya ada juga pria percaya diri yang baik. Umur tiga puluh belum terlambat. Aku ga mau kamu menutup semua kesempatan yang muncul hanya karena aku."

Dalam hati aku mengutuk perbuatan laki-laki yang sudah merusak masa depannya, perbuatan Jenni dan pacarnya memang salah, tapi pamannya lah yang telah membuatnya hancur. Jenni melihat ekspresi wajahku berubah.

"Ada apa?"

"Ga apa-apa. Dan ya, aku ga akan meninggalkan kamu."


Saat kami kembali berada di kamar hotel, dia melepaskan pakaianku, dan aku melepaskan pakaiannya. Kami lalu berbaring berdampingan, dan aku mulai membelai kulitnya yang halus dan kencang, membuat pola dengan jariku. Kali ini aku ga menggodanya lagi. Kalau tanganku lewat di vaginanya, jari-jariku akan menembus lipatan dan membelai klitorisnya, begitu juga payudaranya yang kuberi banyak perhatian dibanding sebelumnya, putingnya berdiri tegak menantang. Dia sudah benar-benar tenggelam dalam gairahnya, bergerak dengan lembut merespon sentuhanku di kulitnya.

Lalu dia bilang, "Tolong, Errik, lakukan sekarang. Kamu di atas. Setubuhi aku. Aku mau tahu gimana rasanya."

Jadi aku berguling dan menempatkan diri diatasnya, menatap matanya. Dia mengangguk dan menarik pantatku, membentangkan kakinya lebar-lebar.

"Sekarang," katanya.

Aku mengarahkan penisku ke bibir vaginanya, menyelipkannya ke lubang yang basah dan hangat, mendorong dengan kuat. Dia tersenyum dan mengangkat pinggulnya untuk menyambut dan mendorongnya lebih dalam.

"Setubuhi aku."

Aku mengabulkannya, sodokan panjang yang berangsur-angsur semakin cepat, sementara dia menghembuskan napas dan terengah-engah, terus mendorong dirinya ke arahku, mengelinjang saat dia sudah mendekati pelepasannya.

Dia orgasme tanpa suara, jari-jarinya menancap di punggungku, kedua kakinya melingkar di belakangku, mata dan mulutnya setengah terbuka saat dia menahan napas sebelum kedutan dan kejang dimulai. Remasan dari vaginanya yang sempit sudah cukup untuk membuatku mencapai hal yang sama, mendengus dengan sensasi kenikmatan tiada tara.

"Enak, nikmat..." katanya sambil mengatur napasnya agar normal lagi. "Rasanya beda banget. Aku suka! Aku seperti terbang."

Aku tersenyum dan bangkit, keluar untuk mengambil dua gelas wine lalu kami duduk di tempat tidur dan minum. Kemudian kami bangun dan bersiap untuk pulang ke Indonesia besok. Penerbangannya malam, tapi kami harus sudah di airport beberapa jam sebelumnya. Setelah membereskan koper, kami tidur di ranjang satunya saling berpelukan. Aku bisa terbiasa dengan ini, pikirku, saat aku menatap pada gadis cantik yang tidur nyenyak di sampingku.


Perjalanan pulang kami adalah pengalaman yang ga layak untuk diingat. Terbang hampir enam jam bersama bayi yang terus menangis dibelakang kami terasa berjam-jam lebih lama. Apalagi buat Jenni, dia benar, dia mens dan membuat perutnya terasa nyeri selama penerbangan. Kami berangkat pada hari Minggu malam dan sampai di pagi hari pada hari Senin. Kami sampai di apartmentku sebelum waktu makan siang dan mengabaikan rasa lapar kami langsung ke kamar dan tidur sampai sore. Kami pesan makan malam lewat telepon dan setelah makan dia menciumku lama dan penuh nafsu, lalu dia pulang.

Saat aku bangun besoknya, Aku membongkar koperku, mengirim baju kotor ke laundry dan setelah itu membereskan dokumen-dokumen yang kubawa. Setelah makan siang aku masuk ke mobil dan pergi ke kantor. Jenni belum masuk. Bagus, pikirku.

Aku mengajak Jeffry memeriksa dokumen-dokumen kontrak itu dan menyimpulkan bahwa perjalanan dinas kami kali ini sukses. Aku terus-terusan menguap dan akhirnya Jeffry menyuruhku pulang.



Bersambung... Chapter XII


Ya sudah karena banyak yg nanya, saya pindahin kesini translatenya walaupun ga semua..


Dia lalu merasa haus dan ingin memesan minuman, "Aku juga perlu untuk bicara dengan Denis. Apa kamu tahu dia dimana?"

"Bar?" Aku mengusulkan kami turun dan membeli minuman dibawah sekaligus kalau dia ingin menemui Denis, jadi kami pergi ke bar dan juga restoran hotel, tapi ga menemukan keberadaan Denis ataupun Jenni. "Mungkin mereka naik ke kamar kami."

"Kamu berbagi satu kamar dengan dia?" dia mengangkat alis.

"Cuma satu kamar yang tersisa. Jangan salah paham, Victor. Maksudku, lihat penampilanku!" Aku mengatakannya sambil tersenyum agar dia ga merasa ga nyaman. Dia tersenyum balik.

"Aku paham. Apa kita boleh merusak pesta mereka?"

"Aku rasa ga akan ada pesta disana. Jenni ga terlalu suka padanya, Aku akan kaget kalau ada yang terjadi, Victor." Aku ingat pada apa yang dikatakan Jenni tadi sore, dan aku yakin dia gadis yang ga gampang berubah pikiran.

“Aku yakin dia pandai membujuk.” Sepertinya Victor masih yakin Denis akan berhasil merayu Jenni.

Kami berdua naik ke kamar suite-ku. Aku memasukkan kartu untuk membuka kunci pintu, Victor menyentuh bahuku dan mengangkat telunjuknya ke bibir, dan kami mengendap-endap masuk tanpa bersuara. Ruang tamu kosong ga ada orang, tapi kami bisa dengar ada suara-suara dari dalam kamar tidur. Kami berdiri dan mendengarkan.

"Ayolah, Jenni, kamu tahu kamu mau."

"Denis, keluar dari kamarku. Kamu mau ke toilet dan sekarang kamu sudah selesai. Sekarang, keluar!" Kudengar Jenni mengusir Denis dari dalam kamar.

"Jenni, kamu wanita yang cantik, kamu punya hasrat, kamu tahu itu. Aku bisa memberimu kesenangan."

Refleks aku menyalakan alat perekamku. Aku merasa kami butuh rekaman untuk ini.

"Tidak, kamu ga bisa. Sorry, Denis, tapi aku ga menyukaimu."

"Kamu ga tahu apa yang kamu lewatkan. Aku akan membuatmu senang. Sumpah." Mungkin Victor benar bahwa Denis bisa sangat persuasif agar mendapatkan apa yang dia mau.

"Keluar, Denis. Pulanglah. Aku ga tertarik." Tapi aku juga tahu Jenni ga akan mudah terpengaruh.

"Aku rasa kamu akan tertarik. Kamu menginginkan kontrak ini. Aku harus menghadap Victor besok dan memberi rekomendasiku. Ke arah mana kamu mau?"

"Kamu memerasku untuk seks, Denis? Apa itu caramu membuat wanita jatuh ke tempat tidurmu?"

Aku terkejut saat menyadari arah pembicaraan mereka, sekarang aku tahu kenapa aku merasa harus merekamnya, dan terus mendengarkan sambil melangkah mendekat ke arah pintu.

"Aku cuma melakukan ini untuk membantu kamu, flower. Jadi mau bagaimana? Rekomendasi kontrak atau pembatalan?"

"Bajingan kamu. Kamu ga bisa melakukan itu. Kamu tahu produk kami lebih bagus dari saingan kami."

"Tapi Victor ga tahu itu. Jadi mulai buka bajumu dan ayo kita selesaikan. Sini, aku bantu kamu."

"Menjauh dariku! Lepaskan aku!" Sekarang terdengar suara pergumulan dari dalam kamar.

"Diam, Jalang!"

Ada erangan dan geraman dan aku bergegas menuju ke pintu kamar tidur. Mereka ada di atas tempat tidurku. Denis menindih Jenni, dan tangannya terselip masuk ke dalam rok Jenni. Jenni menggeliat untuk melepaskan diri dari tindihan Denis.

"Aku pikir dia mau kamu meninggalkannya sendiri," kataku.

Dia kaget lalu menoleh ke arah pintu, "Keluar!" dia berteriak. "Pelacur ini punyaku!"

"Kurasa bukan," aku bicara dengan suara pelan sehingga dia harus mencondongkan kepalanya untuk mendengarku. "Ini adalah penyerangan dan pemerkosaan, dan kalau ini adalah caramu untuk menyelesaikan bisnis, aku rasa kami ga mau menyuplai kalian, dan aku akan memberitahu Tuan Victor Belling alasannya."

Dia mencibir meremehkan ancamanku. Jenni sekarang masih di bawahnya, tapi dia sudah menarik tangannya dari dalam rok Jenni.

"Kata-katamu melawan kata-kataku. Aku tahu siapa yang akan dia percaya, pastinya bukan teknisi rendahan dan sales girl pelacur.Aku akan bilang ke orang tua bodoh itu kamu menjebakku supaya kalian bisa membatalkan kontrak karena kalian ga sanggup memenuhi pesanan kami."

"Orang tua bodoh itu pikir kamu ga akan melakukan itu."

Suara itu datang dari belakangku, sama tenangnya tapi juga sangat berwibawa. "Denis, kamu akan mengemasi barang-barangmu dari kantorku besok. Kamu ga bekerja untukku lagi."

Denis melompat berdiri dan menghadap kami, ereksinya mendorong celana dalamnya keluar dari resletingnya yang sudah terbuka. "Kamu ga bisa melakukan itu, Victor. Aku akan menuntutmu. Kamu ga punya bukti apa yang sudah terjadi disini."

Sementara mereka berbicara, aku sudah menyiapkan alat perekamku, dan sekarang berdiri di belakang Victor. Aku memutar ulang rekamannya dan dia memucat mendengar suaranya di dalam rekaman, tidak terlalu keras, tapi jelas.

Sekarang dia tahu ini bukan semata soal dia dipecat, tapi ini jelas usaha pemerkosaan, dan nasibnya bisa jadi lebih buruk dari ga punya pekerjaan.

Dia berlari hendak merebut alat perekam. Aku melangkah mundur dan Victor menjulurkan kakinya, menjegal Denis yang jatuh terkapar. Kami berdua berdiri di sampingnya.

"Kamu memang laki-laki bodoh," kata Victor. "Terlepas dari apa yang kita dengar, dia ini adalah pemilik perusahaan yang sedang negosiasi dengan kita, dan dia temanku. Aku akan lebih percaya dia daripada kamu. Sekarang keluar dari sini."

Dia bergegas berdiri dan tersandung lagi saat berlari keluar.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd