Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Pulang

XII. Temuan dan Pertemuan


Aku baru saja sampai di apartment saat ponselku berdering. Aku memaki pelan. Aku mau tidur. Kulihat nama penelepon, ternyata dari Jimmy.

"Errik, aku tahu kamu masih jet lag, jadi aku ga akan lama-lama. Selama kamu pergi, aku berhasil melacak laki-laki yang ada di rekaman CCTV-mu di Surabaya. Aku mengajak Hasan dan berhasil menemuinya di sebuah bar remang-remang. Aku seperti biasanya merekam pembicaraan kami. Kita semua sebaiknya ketemu dan mendengarkannya lagi sama-sama, kamu bisa ke tempat biasa besok malam?"

"Ya. Oke. Aku ga bisa berkonsentrasi sekarang. Memang lebih baik besok saja."

"Bagus. Apa yang dibilang orang itu cukup mengagetkan. Memberikan petunjuk baru untuk kasus ini."

Sepuluh menit kemudian, telepon berdering lagi. Alfon kali ini.

"Maaf, teman lama," dia memulai. "Aku akan singkat. Ada undangan untuk lelang amal yang diselenggarakan oleh Ikatan Pengusaha hari Kamis nanti. Apa kamu punya waktu untuk datang? Ada pesta dansa, jadi bawa pasangan kalau bisa."

Aku bilang aku akan kabari lagi besok, dan dia menutup telepon setelah memberikan detail tambahan untuk acara.

Aku ambruk ke tempat tidur. Mungkin aku sudah tidur sebelum kepalaku menyentuh bantal. Besok paginya, lagi-lagi aku mengalami sakit kepala dan rasa sedikit mual. Aku bikin teh dan setelah sarapan aku minum beberapa macam obat untuk meredakan rasa sakitnya. Aku beruntung bahwa aku ga perlu masuk kerja hari ini – kalaupun masuk, Jeffry pasti akan mengusirku pulang seperti kemarin.

Satu jam kemudian rasa sakit di kepalaku berangsur membaik. Aku memikirkan lagi kejadian beberapa hari terakhir.

Pertama, seks dengan Jenni. Oke, seperti pemikiranku di awal, itu bukan ide yang bagus tapi saat itu sepertinya tindakan yang tepat untuk dilakukan, karena dia cantik dan hebat di ranjang! Bukan, bukan karena itu, tapi lebih karena trauma masa lalunya. Dia ga percaya lagi pada laki-laki, dan kalau aku menolaknya begitu saja, akan memperbesar luka di hatinya. Tapi mungkin juga itu hanya alasanku saja. Yang jelas aku memutuskan untuk memintanya menemaniku ke pesta dansa Ikatan Pengusaha.

Yang kedua, seperti janjiku pada Tris aku harus menemui Ana, pikirku, dan mengungkapkan semua kesalahpahaman ini. Lalu aku berpikir lagi dan memutuskan untuk menunggu sampai setelah pesta dansa. Aku masih belum yakin soal perasaanku padanya dan juga soal urusan polisi, aku ga tahu apa sebenarnya aku boleh memberitahu yang sebenarnya pada Ana atau tidak. Aku suka kenangan kami. Menurutku dia adalah seorang wanita yang cantik dan wajar sebagai pria normal kalau aku menginginkannya kembali. Tapi, ada banyak hal lain dan terutama statusnya sebagai tunangan orang. Dari semua cerita orang tentang Ana, sepertinya dia adalah wanita yang setia, begitu dia sudah berkomitmen, dia akan menjaganya sekuat tenaga, dan dia sudah punya komitmen dengan Hadi. Lebih baik aku fokus untuk dapat akses ke anak-anakku dan membiarkan Ana melanjutkan hidupnya.

Pikiran itu menyakitkan tapi kurasa sudah seharusnya seperti itu. Aku dan Ana adalah sejarah, di masa lalu. Sekarang kami harus terus melanjutkan hidup kami masing-masing, tapi harus bebas dari rasa penyesalan dan kebencian. Bicara soal melanjutkan hidup masing-masing, sekarang aku punya dua orang wanita cantik yang rela mendampingi aku.

Untuk itu aku menelepon Jenni. Dia sudah bangun dan terdengar bersemangat. Aku langsung tanya padanya tanpa basa-basi.

"Mau datang ke pesta dansa sekaliguas makan malam besok? Acara Ikatan Pengusaha? Jeffry dan Susan akan datang, Alfon Syarif dan istrinya Vivi juga datang. Ini acara formal, dasi hitam, gaun panjang, dll."

Dia hampir menjerit kegirangan.

"Mau banget, Errik! Mau aku jemput?"

"Kita sama-sama jet lag, jadi lebih baik kita naik taksi saja, gimana?"

Dia dengan senang hati setuju dan setelah janjian untuk waktu berangkat, menutup telepon.

Menjelang sore aku menelepon Tris dan menceritakan padanya tentang perjalanan ke Australia. Dia diam saja. Lalu aku cerita tentang keberhasilan Alfon membeli kembali rumahku dan dia ikut bahagia lalu memberikan selamat untukku. Dia bilang dia bisa dapat cuti selama long weekend Paskah, setidaknya Kamis sampai Senin dan kalau boleh dia mau ke Serpong untuk melihat sendiri rumah itu.

"Tris," kataku, berusaha agar suaraku ga terdengar gugup, "Jenni dan aku berhubungan seks. Tapi aku ga tahu status hubungan kami saat ini. Ada luka masa lalu yang terlibat dan dia butuh kehadiranku saat ini. Aku mau kamu tetap kesini, tolong. Aku akan ceritakan semua saat kamu datang. Menurutku kalian harus ketemu."

Suara Tris terdengar makin riang dan dia berjanji akan datang hari Kamis. Aku bilang akan menghubunginya lagi hari Rabu untuk memastikan lagi.


Malam itu kami berempat berkumpul di Cafe tempat kami biasa bertemu. Wajah Hasan dan Jimmy kelihatan suram. Alat perekamnya ada di atas meja. Saat bir pesanan kami masing-masing sudah ada di meja, Jimmy memulai.

"Ini bukan berita bagus, Errik, tapi penting untuk kita tahu." Dia melihat ke sekeliling meja, kami semua mengangguk padanya. Dia melanjutkan. "Aku akan memutar kaset rekaman itu apa adanya, dan kita akan bahas setelahnya."

-----

Jimmy: Kamu yang namanya Iwan?

Iwan: Iya, kalian siapa?

Jimmy: Kami sedang menyelidiki kasus orang hilang.

Iwan: Kamu polisi? .

Jimmy: Aku detektif swasta.

Iwan: Ya, ingatanku ga terlalu bagus.

Jimmy: Biar aku pesankan minuman kalau gitu.

Iwan: Nah gitu dong, siapa tahu bisa bantu daya ingat.

Jimmy: Ga cuma itu, bisa dibilang, ada bonus juga kalau kamu bisa bantu.

Iwan: Mantab.

Jimmy: Tiga tahun lalu Bulan Agustus, kamu ada di Surabaya.

Iwan: Masa?

Jimmy: Ini foto kamu di hotel.

Iwan: Ah, iya. Waktu itu aku ikut fun bike dalam rangka tujuh belasan disana.

Jimmy: Lihat fotonya. Lihat laki-laki dan perempuan itu? Pria itu yang kami cari. Ini satu foto lagi, yang ini di stasiun. laki-laki dan perempuan yang sama, dan kamu ada di dekat mereka. Sekarang yang ini, foto kamu meninggalkan stasiun bersama laki-laki itu.

(Jeda)

Jimmy: Gimana?

Iwan: Gimana apanya? Apa yang mau kamu tahu?

Jimmy: Nah, pertama, apa kamu kenal orang itu?

Iwan: Mungkin.

Jimmy: Kami menghargai setiap informasi yang berguna, kami yakin kamu paham maksudnya.

Hasan: Kamu sepertinya mengawasi mereka di kedua foto itu.

Iwan: Oke, laki-laki itu bernama Errik. Pemilik perusahaan komputer kalau ga salah.

Jimmy: Jadi kenapa kamu mengawasinya? Apa alasanmu mengikuti mereka terus?

Iwan: Aku dibayar.

Hasan: Oleh siapa?

Iwan: Ga mungkin aku bilang lah, aku masih sayang nyawaku.

Jimmy: Saingan bisnis?

Iwan: Bisa dibilang begitu.

Jimmy: Jadi, kamu dibayar untuk apa?

Iwan: Laki-laki itu. Dia pergi ke Surabaya untuk urusan bisnis, dan aku disuruh mengikutinya. Kebetulan aku mau ikut fun bike itu disana.

Hasan: Lalu untuk apa kamu disuruh mengikutinya? Ngomong yang benar, jangan berbelit-belit.

Iwan: Ada tiga orang yang menyuruhku untuk mangawasinya dan bilang ke mereka saat dia check out dari hotel. Lalu aku harus menunggu dia sampai di stasiun dan bilang padanya bahwa customernya datang lagi dan mau ketemu dengannya.

Hasan: Customer?

Iwan: Aku dapat info dari orang yang membayarku kalau Errik itu ke Surabaya untuk ketemu sama customer perusahaannya.

Jimmy: Terus?

Iwan: Aku harus beritahu dia bahwa ada mobil di luar yang menunggu untuk menjemputnya kembali ke hotel, dan mengantarnya ke mobil. Dia masuk ke mobil dan pergi, cuma itu tugasku.

Hasan: Berapa orang di dalam mobil?

Iwan: Cuma sopir. Dia salah satu dari tiga orang yang aku ceritakan tadi.

Jimmy: Apa kamu kenal ketiga orang itu?

Iwan: Ya kenal. Kami sama-sama orang Cirebon.

Hasan: Namanya?

Iwan: Ga mungkin. Aku sayang nyawaku. Aku dibayar mahal untuk tutup mulut. Aku sudah cerita ke kalian terlalu banyak. Kalian sebaiknya ga banyak tanya soal kasus ini. Bisa bikin celaka. Kalau aku jadi kalian, aku akan lupakan semuanya. Bilang ke klienmu, istrinya bukan? Lebih baik biarkan saja.

Jimmy: Oke, Terima kasih, Iwan.

Iwan: Oh, terima kasih Pak!

Hasan: Oh iya, satu lagi. Mobilnya warna apa?

Iwan: Sedan Soluna merah.

Hasan: Nomor Polisi?

Iwan: Jangan becanda!

------

Hasan memulai diskusi.

"Oke. Kita bisa menyimpulkan beberapa hal dari percakapan itu. Yang pertama adalah bahwa penganiayaan Errik bukan perampokan random, itu adalah percobaan pembunuhan yang sudah direncanakan, dan kami yakin direncanakan dari sini, Serpong. Kami sudah curiga dari awal. Yang kedua adalah tiga orang yang Iwan ceritakan kemungkinan besar adalah para eksekutornya. Mereka naik mobil merah, cocok dengan keterangan saksi dari Semarang yang lihat kamu diturunkan dari bagasi mobil merah. Itu kemajuan."

"Ini memang satu langkah maju," kata Alfon, "Tapi sampai Iwan mau menyebutkan nama ketiga orang itu, aku ga yakin seberapa jauh kemajuan kita?"

"Menurutku ada kemungkinan petunjuk lain," kata Jimmy. "Aku tahu Iwan adalah mandor bangunan, kadang jadi tukang batu, tukang kayu, apa saja. Dia sering dapat pekerjaan dari kontraktor yang mensubkontrakkan kerjaan bangunan padanya. Seharusnya kita bisa cari tahu selama beberapa tahun terakhir ini dia sudah kerja sama siapa. Ada peluang dari orang-orang yang pernah kasih dia pekerjaan itu, salah satunya adalah orang yang membayarnya untuk mengikutimu, Errik."

"Pertanyaan berikutnya adalah," kata Alfon, "Gimana bisa orang yang menyuruh Iwan ini tahu bahwa kamu akan pergi ke Surabaya dan bertemu customer? Menimbulkan pertanyaan apakah mungkin ada mata-mata yang menyusup di perusahaanmu?”

"Bisa jadi perusahaan sainganmu melakukan hal semacam itu? Walaupun harus diingat, mereka mungkin hanya disuruh untuk melukaimu, tapi orang-orang bayaran dari Cirebon itu hilang kontrol dan melewati batas. Kasus semacam Itu pernah terjadi sebelumnya."

Aku lalu memikirkan soal kemungkinan itu. Dari perbincangan belakangan ini dengan Jeffry, aku tahu ada tiga atau empat perusahaan kecil yang bersaing di bidang kami. Tapi aku ga yakin salah satu dari mereka akan melakukan hal seperti itu. Kecuali Solusindo Computer. Menurut Jeffry, Cecep Avianto pemilik Solcomp bukan orang yang baik.

"Satu-satunya yang kupikir bisa melakukan hal seperti itu adalah Solcomp. Beberapa kali mereka mengalahkan kami dalam tender tapi lalu gagal menyelesaikan order, kami yang kebagian bersih-bersih. Cecep Avianto mungkin punya dendam pada kami, dan dia juga orang Cirebon, sama seperti tiga orang itu.

"Tapi karyawanku sangat setia, kami bayar mereka lebih besar dari di tempat lain dan kami masih memberikan skema bonus yang ga ada di tempat lain. Jeffry mungkin tahu kalau ada diantara mereka yang mencurigakan. Ingat, kejadian itu hampir tiga tahun lalu. Orang itu mungkin sudah resign."

"Besok aku telepon, aku mungkin akan ke kantormu juga," kata Hasan. "Dan kamu harus tahu bahwa aku menyerahkan semua bukti ini ke pihak kepolisian. Mereka seharusnya punya cukup materi untuk melanjutkan penyelidikan, dan sekarang ini benar-benar jadi masalah polisi. Aku akan tekankan untuk petunjuk tiga orang dengan sedan Soluna merah. Aku akan terus kabari."

Jimmy menambahkan, "Aku akan coba cari tahu siapa yang paling sering ngasih kerjaan ke Iwan. Ini mungkin akan mengarah ke petunjuk lain, atau anak buahmu yang akan ngurus itu?" dia bertanya pada Hasan.

"Ga dalam waktu dekat," jawab Hasan. "Cepat atau lambat kami akan menginterogasi Iwan. Kita akan lihat apa tuduhan jadi anggota komplotan pembunuhan berencana lebih menakutkan daripada orang yang menyuruhnya, tapi sementara itu kamu lanjutkan saja lebih dulu."

Aku membayar semua yang mereka pesan malam itu. Orang-orang ini tak ada hentinya berusaha membantuku. Itu yang bisa kulakukan untuk mereka saat ini.

Sekali lagi Vivi menjemput kami di cafe dan mengantarku pulang. Aku agak goyah terpengaruh alkohol, dan langsung naik ke tempat tidur yang seakan bergoyang seperti di tengah laut setiap kali aku menutup mata. Aku berdiri dan berjalan sempoyongan ke kamar mandi dan beruntung berhasil memuntahkan bir enak ke dalam toilet. Lalu aku bisa tidur.

Kamis pagi aku bangun dengan perasaan sangat bugar. Aku sarapan, mandi lalu pergi ke kantor. Jenni membantuku menyelesaikan beberapa masalah spesifikasi pada beberapa pesanan dari customer.

Hasan datang menjelang siang dan Jeffry memeriksa catatan karyawan. Ada dua orang yang sempat bekerja disini, tapi hanya dalam waktu singkat. Salah satunya seorang cleaning service yang sudah resign ga lama setelah aku menghilang, tapi dia sudah kerja disini selama bertahun-tahun sebelumnya. Jeffry memberikan alamat mereka pada Hasan. Jeffry menegaskan bahwa hampir semua karyawan tahu ke mana aku pergi waktu itu, itu bukan rahasia. Bahkan beberapa orang sempat becanda bahwa aku kesana untuk jalan-jalan bukan kerja.

Saat jam makan siang, aku, Jeffry, dan Jenni pulang lebih awal untuk mempersiapkan diri mengikuti acara malam nanti. Jenni sudah berkali-kali membahas apa yang harus dia pakai ke pesta, sampai aku dengan agak jengkel menyuruhnya untuk telepon Susan, istri Jeffry. Sebelum kami berpisah aku mengingatkannya lagi agar sudah siap jam setengah tujuh malam.


Jam setengah tujuh lewat lima menit, aku menghubunginya dari depan lobby resepsionis. Jenni menjawab dan menyuruhku langsung naik. Aku meminta sopir taksi untuk menunggu, dan masuk menuju kamar apartmentnya. Pintu ga dikunci dan aku mendorongnya lalu masuk. Dia ada di area kamar tidur, memakai strapless bra dan celana dalam mini yang senada, berusaha menarik gaun merah tua mencolok keatas, gaun itu juga ga punya tali di bahunya dan dia sedang menahannya ke dadanya agar ga melorot.

"Tolong bantu tutup resletingnya, Errik," katanya, dan aku mendekat untuk membantunya, saat dia menahan rambutnya keatas dan memamerkan lehernya yang jenjang, dan setelah itu dia siap. Gaun itu punya lipatan memanjang di kiri dan kanan yang memanjang dari pinggangnya sampai ke bawah, membuatnya tetap bisa bergerak dengan bebas walaupun gaun itu cukup ketat menempel di tubuhnya yang ramping. Di lehernya tergantung kalung emas dengan desain yang senada dengan antingnya. Penampilannya dilengkapi sarung tangan jaring berwarna hitam, sepatu hak setinggi tujuh centi dengan tali tipis, dan juga tas tangan berpayet hitam kecil melengkapi semuanya. Dia terlihat menakjubkan.

"Jenni, kamu benar-benar kelihatan cantik," aku terpukau.

"Ayo, nanti kita telat!" dia menjawab sambil menyeringai. Ada nada kemenangan dalam suaranya.

Saat bersiap-siap sore tadi aku merasa cemas, dan terus terang aku takut untuk hadir di acara malam itu karena aku tahu bahwa Ana dan tunangannya juga akan hadir disana, mengingatkanku pada dampak yang terjadi saat aku melihatnya di restoran, tapi satu pandangan ke Jenni membuatku jadi sangat bersemangat mengawal wanita cantik ini ke acara itu. Aku tahu aku akan bikin iri semua orang di sana. Untuk sesaat aku merasa mungkin disana dia akan ketemu dengan laki-laki lain yang lebih muda dan tampan lalu pulang bersamanya.

Jenni mungkin melihatku melamun dan memukul pelan lenganku.

"Errik!"

"Ya, Jenni?"

"Nanti kita pulangnya gimana? Kita naik taksi lagi kan?"

"Ya tapi--"

"Pokoknya aku mau ikut pulang sama kamu malam ini, maksudku ke tempatmu.”

Dia lalu mendekat dan berbisik, “Tapi aku ga yakin soal seks, aku baru selesai mens. Aku sempat beli kondom sih, online. Kalau bisa nanti pulangnya kita mampir dan ngambil barang-barang untuk kerja besok?"

"Ya, boleh saja. Kita bisa ke kantor bareng besok. Itu pasti akan bikin gosip dikantor!"

"Karena itu aku nanti mau mampir ke apartmentku dulu buat ambil barang-barang sekaligus baju ganti untuk keperluan ke kantor besok."


Momen kedatangan kami adalah hal yang ga akan terlupakan. Kami datang terlambat. Aku menunjukkan undangan kami ke penjaga pintu, lalu kami berjalan melewati pintu dan kami berhenti beberapa langkah dari pintu masuk karena mencari tempat duduk Jeffry dan Alfon.

Pandangan mataku tertuju pada Hadi dan Ana yang duduk bersama teman-teman mereka. Aku merasa mengenali beberapa orang. Tapi yang menarik adalah ekspresi ketidakpercayaan di wajah Hadi yang tak ternilai harganya. Aku bisa melihat dia kaget sekaligus bingung bagaimana bisa orang sejelek aku datang mengandeng wanita secantik Jenni.

Ana mendongak, mengikuti arah pandangan Hadi, ekspresi kaget terlintas di wajahnya sebelum digantikan oleh senyum lebar saat dia menyenggol Hadi, dan aku mendengarnya, atau mungkin melihat gerakan bibirnya, saat dia berkata, "Hadi! Sekarang kamu yang memandangi wanitanya." dan Ana tertawa.

Sungguh aneh kenapa bisa hal sepele seperti tertawa bisa menyebabkan reaksi yang begitu besar. Untuk sesaat aku merasa marah, dan semua kemarahanku yang sudah ditampung oleh Tris untuk membuatku tenang muncul lagi. Aku sadar Jenni menatap wajahku dan itu membuatku kaget dan tersadar, pikiranku kembali ke tempatku berdiri dan wanita luar biasa yang datang bersamaku.

"Ga apa-apa, Jenni," kataku. "Kalau ketemu mantan. Lihat dia tertawa bisa mempengaruhi emosi!" dan aku tersenyum padanya.

Aku juga tersenyum pada Ana dari jauh sebelum kemudian Alfon memanggil kami dari meja mereka dan kami bergabung dengan mereka. Untung saja perhatianku teralihkan, karena aku masih bisa merasakan kebencian di hatiku meningkat.

Kami hanya berenam di meja ini, mungkin orang lain enggan duduk semeja dengan laki-laki cacat sepertiku, tapi aku ga ambil pusing soal itu, teman-teman yang duduk semeja denganku sudah lebih dari cukup.

Hidangan makan malamnya luar biasa, tujuh macam hidangan yang bergantian diantarkan ke meja kami. Lalu ada beberapa barang yang dipamerkan dan mulai di lelang, ga ada yang membuatku tertarik, lalu ada pidato dari penyelengara acara, dan terakhir bagian depan panggung dibersihkan membentuk tempat kosong yang sepertinya disediakan untuk dansa, karena kemudian musik mulai dimainkan dan beberapa orang dimulai dari ketua penyelenggara dan pasangannya.

“Jangan bingung,” kata Alfon, “Dalam semua acara yang diadakan oleh mereka selama beberapa tahun terakhir, selalu ada sesi dansa, mungkin itu hiburan yang masuk akal untuk para pengusaha yang rata-rata berusia ga muda lagi.”

Aku dulu cukup jago berdansa. Setidaknya itu kata Vivi dan Susan padaku, tapi sekarang walaupun aku sudah bisa jalan tanpa tongkat, tapi aku yakin dansa ga akan semudah itu. Banyak perubahan arah gerakan yang pasti akan membebani pergelangan kaki dan lututku, dan aku tahu aku belum mampu melakukan itu.

Ketiga wanita di meja kami semuanya mengajakku berdansa dan aku harus menjawab bahwa itu ga mungkin. Jadi karena kami hanya berenam disini, Jeffry dan Alfon berdansa dengan istri masing-masing dan dengan Jenni, jadi setiap kali, ada satu wanita yang ga punya pasangan dan menemaniku untuk ngobrol. Banyak pria yang mengajak Jenni untuk dansa dengan mereka walaupun Hadi ga termasuk salah satunya. Jenni dengan sopan menolak mereka semua.

"Terima aja, Jen," aku mendorongnya. "Kamu bisa dansa, mungkin salah satu hal yang kamu pelajari saat keliling dunia, dan aku tahu kamu jelas suka dansa. Bersenang-senanglah!"

"Errik, aku datang kesini sama kamu, bukan dengan mereka."

Lalu dia memberiku ciuman yang lembut dan perlahan.

"Ayo," kata Jenni. "Kamu ga usah banyak gerak, cukup ikuti aku," dan dia menarikku untuk maju.

Dia menuntunku ke tempat yang ga terlalu ramai, lalu berbalik menghadapku dan melingkarkan lengannya di leherku.

"Kamu terganggu soal Ana, kan?" Itu terdengar lebih sebagai pernyataan daripada pertanyaan.

"Aku mencoba menerima semua kenangan tentang dia yang sekarang kupunya. Bukan hanya itu, tapi juga kenyataan bahwa sepertinya dia berhasil keluar dari semua akibat peristiwa ini dengan cukup baik, aku memikirkan seluruh situasi saat ini. Hidupku hancur, dan semua yang aku cintai dan hargai sudah direnggut dariku. Aku jelas ga bahagia saat ini."

Lengannya turun ke pinggangku, memaksa tanganku melorot ke pantatnya, dan dia menarikku ke arahnya. Aku bisa merasakan tubuhnya menempel di tubuhku, bau parfum dan harum shamponya, dengan cepat penisku bereaksi dan membesar, dia bisa merasakannya dan terkikik.

"Kamu butuh pengalih perhatian. Gimana hasil kerjaku?"

"Oh, selamat kamu sukses," aku mengeram. Dia tertawa lagi mendengarnya, dan menempelkan dirinya makin rapat padaku. Tubuhnya terasa luar biasa nyaman dan tekanan dari payudara yang ga terlalu besar tapi padat itu membuat penisku semakin bersemangat.

Saat lagu pengiring hampir selesai, Jenni dengan perlahan melepaskan pelukannya, dan mengandeng tanganku kembali ke meja untuk duduk kembali, membuatku harus mengendap-endap menyembunyikan bagian depan celanaku yang menonjol.

Acara lelang kembali dilanjutkan, tiga buah perabotan mewah tebuat dari kayu jati pilihan berhasil menemukan pemilik barunya, setelah itu kembali break diisi dengan sesi dansa kedua. Jenni berdansa dengan Alfon.

"Gimana perasaanmu melihatnya lagi?" tanya Vivi yang kebagian giliran untuk menemaniku duduk.

"Ya, sampai sekarang aku masih berusaha mengatasinya. Dan itu sama sekali ga gampang."

"Alfon bilang kamu sudah ingat, soal kenangan kamu dan Ana, jadi.. kapan kamu akan menemuinya untuk bicara?"

"Menurutku aku harus bisa mengatasi perasaanku dulu. Aku juga ga mau kemunculanku merusak hubungannya dengan pasangan barunya, selain itu urusan polisi juga jadi pertimbanganku. Sejauh ini aku lihat dia bahagia dan nyaman bersamanya, tapi memang aku harus menemuinya untuk membicarakan akses ke anak-anakku secepatnya."

"Nah gitu dong, aku tahu Agnes kangen banget sama ayahnya, dan kedua anak laki-lakimu juga ga seceria dulu. Menurutku Hadi ga pernah mengajak mereka main atau sekedar memberi mereka perhatian. Mereka benar-benar butuh sosokmu sebagai ayah mereka, sudah seharusnya kamu memperhatikan mereka."

"Oke, oke, Viv," balasku tajam. "Malam ini sudah cukup berat, jangan ditambah lagi dengan kuliah darimu."

"Maaf Errik, aku memang bodoh. Aku seharusnya sadar pasti berat buatmu melihat mereka bersama, tapi kamu memilih pengalih perhatian yang bagus!"

Aku langsung menyesal sudah sempat jengkel. "Ga, aku yang minta maaf, Viv, Ini bukan salahmu. Aku tahu kamu dan suamimu terus mendukungku menghadapi semua ini."

"Jadi, siapa wanita cantik yang membuat suamiku tergoda dan meninggalkanku disini?" Katanya sambil tersenyum, memberi tahu kalau dia ga marah.

"Dia sebenarnya asistenku di kantor."

"Cuma itu?"

"Yah..." mereka kembali ke meja menyelamatkanku dari penjelasan tambahan.

Aku bisa mendengar Vivi bicara pada dirinya sendiri: "Dua wanita di waktu yang sama!"

Acara kembali dilanjutkan dengan lelang, dan aku kembali ngobrol dengan mereka sambil menikmati makanan kecil yang disajikan. Dua puluh menit kemudian, MC mengumumkan sesi lelang akan kembali break sebelum lelang utama dilakukan, dan dia bilang kali ini dia ingin para wanita yang memilih pasangan dansanya, dan segera beberapa wanita meninggalkan pasangannya masing-masing untuk menemukan pasangan dansa yang disukainya. Aku duduk membelakangi panggung, aku bingung saat melihat tiba-tiba teman-temanku terdiam dan tampak tegang, segera aku merasa pasti ada seorang wanita yang menuju ke meja kami, entah mau mengajak Alfon atau Jeffry. Lalu aku mendengar suara itu.

"Maaf, apa boleh aku minta ditemani berdansa kali ini?"

Aku tahu dan ingat betul Itu adalah suara Ana, dan dia sedang bicara kepadaku. Untuk sesaat aku pikir aku sudah ketahuan dan dia tahu siapa aku. Sebuah pikiran yang salah, karena kalau benar dia sudah tahu itu aku, bukan itu pertanyaan yang akan ditanyakannya.

Aku menoleh padanya, "Maaf, dengan keadaanku aku ga bisa menemanimu dansa, tapi terima kasih buat tawarannya, aku merasa terhormat." Aku melirik Jenni untuk membantuku, tapi dia terlihat sama paniknya denganku.

"Aku tadi melihatmu bisa bergerak dengan sangat lembut, aku juga akan bergerak lembut. Please? Aku perlu bantuanmu untuk memberi pelajaran ke seseorang."

Aku lalu tahu apa yang sedang dia coba lakukan. Aku baru mau menolak dan minta maaf saat Alfon ikut campur.

"Ayo, Er... Heri, jangan bikin dia kecewa."

Dia hampir keceplosan. Aku menatapnya dengan marah, tapi disaat yang sama aku bisa lihat semua temanku yang lain ingin aku menerima ajakan Ana. Vivi, Jeffry, atau yang lain bisa saja kelepasan seperti Alfon kalau aku tetap disini, jadi aku menerima ajakannya.

"Baiklah. Terima kasih ajakannya, aku akan berdansa denganmu," aku bangkit dengan kaku, akibat terlalu lama duduk, dan meraih tangannya.

Ada yang bilang ada sentuhan yang seperti mengalirkan listrik, tapi memang cuma itu satu-satunya cara untuk menggambarkannya. Mengambarkan apa yang terjadi pada saat tanganku menyentuh pertama kali jemari tangan dari mantan istriku, cinta di kehidupan masa laluku.

Kami berjalan beberapa langkah menuju ke tempat dansa, lalu seperti Jenni dia melingkarkan tanganya di leherku dan aku di pinggangnya, lalu bergerak perlahan mengikuti musik lambat yang mengiringi.

"Semoga anda ga terlalu keberatan, tapi tunanganku sangat kasar padamu saat kita ketemu di restoran dan aku bosan dengan kecemburuannya yang berlebihan. Ini hukumannya."

Aku merasakan gelombang emosi. Dia mengajakku cuma untuk memanfaatkan aku dalam mempermainkan tunangannya. Aku menahannya semampuku. Dia terus bicara.

"Anda sepertinya terluka sangat parah. Gimana bisa sampai begitu?"

"Ya... Aku dipukuli oleh tiga orang yang berencana membunuh aku. Mereka membuangku di sebuah tempat pembuangan sampah di Semarang dan mengira aku sudah mati. Itu adalah percobaan pembunuhan berencana. Ada yang mau aku mati dan mayatku ga bisa diidentifikasi. Jadi mereka mengambil baju dan semua identitas yang bisa membuatku dikenali."

Dia kelihatan kaget. "Tapi anda selamat."

"Tidak, aku mati," aku tetap memasang wajah datar, sesaat dia tampak bingung lalu kemudian tertawa. Tawa itu lagi.

"Melawan semua prediksi medis, ya, aku selamat. Koma selama hampir setahun, lalu aku harus mulai dari awal, belajar semuanya, benar-benar semuanya, semua dari hal yang paling mendasar. Bulan Januari kemarin aku mendapatkan lagi sebagian ingatanku dan aku tahu aku berasal dan tinggal disini, di Serpong. Alfon Syarif membantuku beradaptasi lagi disini. Dia dan istrinya sangat baik kepadaku."

Dia diam saja dan aku bisa melihat dia seperti mencari sesuatu di wajahku.

"Ada apa?" Aku bertanya padanya.

"Ada sesuatu.. Aku ga tahu apa itu, tapi aku serasa pernah melihatmu sebelumya--"

"Di restoran kan?"

"Bukan, sebelum itu, tapi--"

Tepat pada saat itu ada keributan dari mejaku. Aku dan Ana menoleh kesana disaat yang bersamaan dan melihat Hadi sudah ada disana, berusaha mengajak Jenni untuk dansa dengannya. Bukan dengan cara kasar tapi terus terusan memaksa dan sesekali mencoba melawak. Jenni kelihatan jadi sangat ga nyaman, Alfon kelihatan berusaha untuk ga ikut campur tapi terus mengawasi mereka. Ana memisahkan diri dariku dan menghampirinya.

"Hadi!" suaranya meskipun sangat pelan, seakan menghentikan waktu. Hadi berhenti dan menoleh. Ana meraih lengannya, sedikit kasar. Saat dia menyeretnya lewat di depanku, kelihatan jelas dia marah besar. Dia melupakanku begitu saja disana.

Aku tersenyum. Ga ada yang harus dikatakan lagi. Dia sudah memanfaatkan aku dan sudah dapat apa yang dia mau. Dia sepertinya selalu dapat apa yang dia mau. Di sisi lain, aku merasa lega dan agak berterima kasih kepada Hadi. Ana sudah begitu dekat dengan kebenaran, aku ga yakin bisa membohonginya lebih lama kalau dia terus bertanya, jadi aku senang mereka bertengkar. Aku ga akan gampang lupa kalau dia sudah memanfaatkan aku untuk tujuannya sendiri. Itu ga baik. Aku akan ingat itu.

Penghuni meja itu tampak kaget sekaligus penasaran.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Vivi.

"Dia memanfaatkanku untuk membuat tunangannya cemburu. Aku sangat senang sekali karena aku berguna untuknya." Kataku, kepahitan jelas terlihat dari wajahku. Alfon lalu menceritakan tentang kejadian di restoran.

Viv berdiri dan bergerak, "Dia harus diingatkan. Itu ga sopan!" Alfon mencoba menahannya tapi gagal.

"Semoga dia ga mengeluarkan kucing dari dalam karung," katanya dengan wajah tampak cemas, "Itu adalah hakmu untuk memberi tahu Ana siapa kamu, bukan dia."

Aku duduk di kursi lain dan bisa melihat ke arah mereka. Vivi berhenti di dekat meja. Dia bicara dengan penuh semangat. Ana kelihatan kaget, melihat ke arah kami dan tampak menyesal. Dia bangkit dan datang bersama dengan Vivi.

"Aku minta maaf," kata Ana. "Vivi benar. Aku sudah sangat ga sopan. Aku cuma mikir untuk membuat Hadi cemburu, dan aku seharusnya ga memanfaatkanmu seperti itu. Hadi dan aku sedang bertengkar saat ini." Dia tertawa pendek. "Yang belum sempat aku sampaikan tadi adalah bahwa aku benar-benar mau minta maaf atas perilakunya di restoran. Itulah alasan utamaku mengajakmu berdansa. Maukah anda memaafkan aku?"

Aku mengangguk. "Sudah aku maafkan. Lupakan saja."

Dia kelihatan bingung lagi, "Aku ga bisa menghilangkan perasaan bahwa aku kenal anda."

Aku mengangkat bahu dan dia menggelengkan kepalanya lalu kembali ke mejanya sendiri.

Mungkin Jenni memang bisa membaca pikiran, karena dia mengusulkan agar kami pulang duluan, dan setelah bilang terima kasih ke teman-teman kami, kami beranjak pulang.


"Mantan istrimu benar-benar bikin kamu pusing, kan?" Kata Jenni setelah kami dalam perjalanan pulang ke apartmentku setelah sempat mampir dan mengambil barang-barang di tempatnya.

"Setiap kali aku ketemu dia, itu mengingatkanku pada apa yang kurindukan. Aku punya kehidupan yang bahagia bersama istri dan keluargaku. Kami sangat bahagia. Dan sekarang... Itulah yang jadi pikiranku. Dia sudah move on. " Aku berpikir sejenak. "Tapi aku punya kamu dan Tris, dan itu cukup menghiburku."

"Ya. Tris," kata Jenni. "Ngomong-ngomong soal Tris, apa dia akan kesini pas long weekend Paskah?" Aku ga bisa menebak perasaannya saat dia menanyakan itu.

"Ya, sepertinya begitu, dia bilang mau datang hari Kamis depan dan pulang hari Senin. Apa kamu ada rencana liburan?"

"Sejujurnya aku senang kamu ga mencariku selama dua hari terakhir ini, jadi aku punya kesempatan untuk mikir, dan aku sedang haid kemarin."

"Lalu?"

"Lalu kupikir sudah waktunya untuk waktunya aku bertemu orang tuaku dan menyelesaikan permasalahan kami. Kami pura-pura ga terjadi apa-apa setiap kali aku kesana, tapi masalah ini sudah menggantung selama sepuluh tahun lebih, dan aku tahu itu ga baik untuk hubunganku dengan mereka."

"Aku ikut senang. Sudah terlalu banyak masalah di dunia ini, ga ada salahnya kalau satu masalah terselesaikan."

"Ya. Setelah kejadian tadi, kamu juga akan menyelesaikan masalahmu tentang Ana dan anak-anak, kan?"

"Aku akan ketemu Alfon hari Senin dan minta bantuannya untuk mengatur pertemuan."

Kami berdua merasa lebih lega setelah bikin keputusan itu. Jam sepuluh lewat kami sampai di apartmentku dan setelah kegiatan rutin di kamar mandi dan minum segelas susu hangat kami bersiap untuk tidur. Saat kami sudah berbaring di tempat tidur, sebuah ide terlintas di kepalaku.

"Jenni, besok aku akan menyelesaikan serah terima rumah lama tapi baruku dan aku berencana untuk pindah hari Sabtu. Mau ga bantu aku buat pindahan selama weekend?"

"Sudah pasti, itu sudah tugasku." serunya. "Nah sekarang, aku sudah ga berdarah lagi sejak pagi tadi, jadi kalau ga keberatan kamu pakai kondom dan lakukan tugasmu pada pacarmu."

"Maaf? Pacar yang mana?"

Dia meninju lenganku, "Yang sedang di ranjang sama kamu."

"Apa punya tugas apa dari pacarku yang ada di ranjang sama aku?"

"Fuck her."

"Yang sopan, Jennifer!" Kataku dengan tegas.

Dan aku melakukan tugas darinya. Dia memasangkan kondom buatku. Sejenak bayangan Ana menjauh dari pikiranku saat aku memacu kenikmatan bersama asistenku yang cantik.



Bersambung... Chapter XIII
 
Terakhir diubah:
Makasih up date nya suhu ...

Ini yang bikin kesel ....
Errick selalu menarik kesimpulan sendiri dan gak mau balikan ke ana lagi ( dengan alasan sudah mobe on )...
Apa dia gak kasihan ya, walau pun mantan tapi jatuh ke tangan orang gak baik ( kasar ) dan tidak mau menolong ... Ah itu berarti Errich dendam sama Ana dan membiarka Ana menderita ...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd