Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Pulang

XIII. Dugaan dan Mimpi


Besoknya hari Jumat aku pulang lebih awal, aku punya janji dengan Alfon untuk mengambil kunci rumah baruku di kantornya, jadi aku mampir kesana. Alfon menawarkan untuk menemaniku tapi aku bersikeras untuk pergi sendiri. Dia lalu menyerahkan kunci rumah dan selembar kertas yang berisi petunjuk di atasnya.

"Setelah kita tahu orang yang mencelakaimu berasal dari sini, aku sudah memasang alarm di rumahmu. Tetap pakai kunci ini untuk buka pintu, tapi kalau setelah itu alarm ga segera dinon-aktifkan, alarm akan berbunyi dan menurut promo dari vendornya, akan ada orang yang memeriksa, jadi pastikan kamu langsung me non-aktifkan alarm setelah masuk rumah. Jangan lupa!" Kata Alfon dengan tegas.

Lalu aku mengucapkan terima kasih dan berangkat untuk menuju ke rumahku, dipenuhi dengan rasa gelisah dan harapan. Tapi overall aku menikmati perjalanan ke sana, cuaca hangat sore hari, pohon-pohon besar yang entah sudah berapa lama tumbuh di tepi jalan ini. Setiap meter terasa menarik dan indah. Kawasan ini memang tempat yang asri dan nyaman untuk ditinggali, sebagian besar rumah adalah bangunan kuno yang belum tersentuh oleh pembangunan dari pengembang besar perumahan.

Dua puluh menit kemudian aku sudah sampai di depan gerbang rumah. Jalan masuk memanjang didepanku, tiga puluh meter sampai ke pintu depan rumah. Aku membuka gerbang dan mengendarai mobilku dengan perlahan. Kenangan itu membanjiri pikiranku lagi.

Aku turun dari mobil dan memandang ke sekelilingku, berpikir untuk menurunkan koper yang sudah kusiapkan sejak kemarin tapi memutuskan untuk berkeliling lebih dulu, lalu berjalan ke pintu depan. Aku ragu-ragu. Ada sedikit rasa takut yang muncul. Seharusnya ga ada alasan untuk itu. Atau ada?

Aku memasukkan kunci ke lubangnya, dan membuka pintu. Aku melangkah masuk dan memandang sekeliling, menghirup nafas perlahan tidak ingin melewatkan aroma familier dari rumah yang menusuk ke alam bawah sadarku. Tiba-tiba terdengar suara bip yang keras berkali-kali. Alarm! Aku mencari mesin alarm dan menemukan sebuah kotak yang menempel di dinding dekat pintu di dalam rumah, mesin itu berkedip meminta empat digit angka, dan aku bergegas memasukkan nomornya. Suara bip itu berhenti. Aku membaca sebuah kata ‘Singapura’ yang ditempelkan di bagian bawah kotak alarm tapi ga tahu apa maksudnya.

Beberapa detik kemudian kembali aku dikagetkan suara keras yang tiba-tiba muncul, kali ini ponselku yang berdering. Aku mengangkatnya. "Halo?"

"Tolong password-nya."

"Maaf ini dari siapa?"

"Perusahaan alarm. Tolong sebutkan password-nya."

"Singapura?" jawabku menebak ragu-ragu.

"Baik, terima kasih. Apa ada masalah di rumah anda?"

"Bukan, ga ada masalah, aku baru beli rumah ini dan aku mau pindah kesini."

"Ini dengan Pak Errik Riccardson?"

"Eh, ya betul. Aku harus bilang aku mengalami amnesia sementara. Aku kadang lupa sesuatu yang harus aku kerjakan. Aku butuh waktu lebih lama untuk mengingat sesuatu."

"Kami bisa setting delay time-nya lebih lama, jadi ga harus buru-buru memasukkan pin."

"Oh ya, boleh tolong di setting lebih lama. Aku ga mau panik seperti tadi setiap kali aku pulang."

Diskusi kecil kami selesai, dan aku mulai menjelajahi rumah. Ya, ini terasa familier. Dapur jelas langsung muncul di kepalaku. Yang bikin aku kagum adalah semua peralatan masih ada di tempatnya, seperti yang kuingat. Ada beberapa peralatan baru yang hanya mengantikan peralatan lama yang mungkin rusak. Aku ga perlu beli apa-apa lagi. Alfon atau Vivi pasti sudah membersihkan dan membereskan semuanya, bahkan menyalakan lemari es dan mengisinya dengan banyak buah-buahan dan minuman ringan.

Ruang tamu tampak familier, meskipun sepertinya aku ga ingat soal perabotannya. Tapi jendela besar yang menerangi, lampu antik yang tergantung diatas, memberikan rasa nyaman yang kucari. Dua ruangan berikutnya sepertinya adalah ruang kerja atau ruang belajar dan ruang makan. Ruang kerja itu dilengkapi komputer. Ruang makan punya meja, kursi, dan lemari pendek di samping dinding, walaupun ga ada isi di dalamnya.

Di bawah tangga ada pintu dan saat aku buka ada tangga batu yang menuju ke basement. Aku turun dan melihat ruang bawah tanah besar yang anehnya ga terasa pengap, ada satu meja biliard dan meja tenis meja. Ada dart board menempel di pintu kayu di seberang tempatku berdiri, aku membuka pintu itu dan melihat ruangan lain yang berisi rak-rak yang berisi tumpukan kardus. Mungkin Ana merasa barang-barang di dalamnya ga berguna atau ditinggalkan disini sebagai bagian dari perjanjian ‘pembelian rumah dan segala isinya’. Mungkin kalau ada waktu aku akan coba memeriksanya.

Aku naik dan langsung menuju ke lantai dua, kamar mandi dan toilet ga ada sesuatu yang istimewa. Lalu kamar tidur. Ada lima di rumah ini. Saat aku memasuki kamar pertama, kenangan itu datang lagi. Ini adalah kamar tidur 'kami'. Ada kamar mandi dalam, ada dua lemari dan meja rias. Aku membuka laci dan berdiri dengan kaget. Ada tumpukan kaus kaki dan celana dalam pria. Di lemari ada jas dan sweater, serta kemeja dan dasi. Laci lainnya kosong, tapi di lemari satunya ada beberapa daster dan rok yang digantung. Aku melihat bayangan Ana memakai salah satu dari daster itu, bermain di taman dengan anak-anak. Mungkin ingatanku memang dipicu oleh apa yang kulihat, walaupun ga selalu berhasil.

Aku menemukan laci berisi seprei dan mengeluarkan satu set. Aku membukanya dan membiarkannya terkena angin sebelum kupasang. Itu adalah kebiasaan yang diturunkan dari ibuku. Memori lain yang muncul. Dan berturut-turut otakku yang rusak menyusun keping puzzle hidupku yang muncul satu demi satu. Aku dapat ingatan yang jelas tentang Stefan yang kesakitan saat jatuh. Memori yang aneh. Kenangan saat kami dan semua anak-anak becanda di tempat tidur kami suatu pagi. Aku menangis mengenang semuanya. Rumah itu melakukan keajaibannya seperti yang kuharapkan. Aku bahkan ingat kami dapat kiriman susu dari tukang susu langganan, dan memutuskan untuk membelinya lagi kalau dia masih ada.

Ya, aku sudah seharusnya ada di dalam rumah ini, dan rumah ini dan segala kenangan yang akan terbuka adalah milikku. Aku melihat ke papan tulis kecil di samping TV besar di ruang keluarga dan melihat sebuah kertas menempel disana, dari Alfon.


Errik temanku

Aku mengisi lemari es dengan bahan makanan. Aku juga melampirkan daftar restoran yang bisa delivery di sekitar situ. Aku juga menuliskan nomor telepon toserba tempatmu biasa belanja dulu. Aku juga sudah memasang telepon dan internet. Coba nyalakan komputer di ruang kerja. Selamat datang kembali di rumahmu.

Alfon



Dia teman yang sangat baik!

Aku bikin teh dan duduk di dapur menikmati suasana tempat itu. Rasanya memang seperti di rumah sendiri. Malam itu aku ga punya banyak waktu, tapi besok aku punya waktu seharian untuk memeriksa sekeliling rumah lebih detail, memeriksa taman, membongkar tas, dan mencoba komputer itu. Aku menyalakan radio tua yang ada di ruang keluarga dan mendengarkan musik yang mengalun syahdu. Aku melihat jam dinding dan merasa sudah waktunya aku pulang, aku mencari handuk lalu mandi dan bersiap kembali ke apartment. Aku akan mulai pindah kerumah ini besok.

Aku membaca lagi petunjuk dari Alfon, dan menyetel ulang alarm, lalu mendengar suara bip beberapa kali membuatku sedikit panik dan membaca lagi petunjuk dari Alfon. Oh, aku harus menutup pintu dan beberapa saat kemudian suara itu berhenti. Aku lalu balik ke apartment, mengemasi sisa baju dan barangku lalu tidur.

Hari Sabtu aku sarapan dan memasukkan barang-barangku ke mobil, berangkat ke rumahku, menurunkan semuanya lalu kembali ke mobil dan berputar-putar mengelilingi area rumahku. Lalu aku mampir ke toserba langgananku dan belanja lagi buat seminggu kedepan, bahan makanan yang belum disiapkan oleh Alfon sebelumnya. Aku akhirnya belanja jauh lebih banyak dari yang kukira dan untungnya aku bawa mobil. Aku pulang dan bersyukur tadi ga menyalakan alarm, jadi ga ribet saat harus masuk kali ini.

Ponselku berdering, dari Jenni yang menanyakan apa sekarang dia sudah bisa datang. Aku menyebutkan alamat rumahku dan dia bilang dia akan langsung berangkat.

Berada di rumah dan lingkungan yang sudah dikenal sangat membantu ingatanku. Perasaan kosong dan terombang-ambing di dunia ini sekarang sudah mulai menghilang, aku khawatir perasaan itu akan muncul lagi saat aku pindah ke rumah ini lagi. Tapi sejauh ini aku merasa seperti di rumah sendiri, apa aku sudah pernah bilang itu sebelumnya?

Jenni sampai. Kami berpelukan dan berciuman.

Aku mengajaknya berkeliling rumah, menunjukkan hal-hal yang sebelumnya memicu ingatanku muncul perlahan-lahan.

"Rumah ini akan sangat bagus untuk proses penyembuhanmu," kata Jenni, "Ini rumah tua yang masih bagus, penuh karakter," katanya saat kami balik ke dapur. Aku dengan bahagia duduk berhadapan dengannya di meja dapur. Aku ada di rumahku dan salah satu wanita favoritku menemaniku disini.

Ada yang bilang waktu akan cepat berlalu kalau kita sibuk, dan begitulah hari itu. Kami menghabiskan sebagian besar waktu di jalan bolak-balik dari rumah ke apartmen, membawa barang-barang yang belum sempat terbawa, membongkarnya di rumah, menata dan mencari tempat yang cocok untuk semuanya. Ternyata semua pakaian pria yang tertinggal di rumah itu sesuai dengan ukuranku, Jenni bilang mungkin baju-baju itu memang punyaku. Aku menyisakan beberapa baju ganti dan perlengkapan mandi cadangan di apartment. Bagaimanapun juga masa sewanya untuk enam bulan, dan aku memutuskan untuk membiarkannya, siapa tahu akan berguna nantinya.

Kami juga bersih-bersih karena beberapa sudut rumah itu kelihatan berdebu setelah lama ga dihuni. Sudah jam sembilan saat kami pesan makanan lewat nomor telepon yang ditinggalkan Alfon kemarin. Malam itu kami terlalu capek untuk seks, tapi terbayar lunas plus bunga keesokan harinya.

Ada sesuatu yang unik tentang seks di Minggu pagi. Mungkin itu adalah perasaan untuk santai, untuk menikmati waktu tanpa terburu-buru, mengerakkan tanganku membelai rambut pirang yang lentur, lembut, dan halus dari seorang wanita yang sangat cantik, mendengar reaksinya yang bersuara karena belaianku yang bervariasi di semua bagian tubuhnya yang bisa kuakses dengan bebas. Gigitan kecil di putingnya membuatnya tumbuh dan memanjang, rabaan jariku naik turun ke lekukan tulang belakang di balik punggungnya, usapan lembut di bongkah pantatnya, olesan ringan jempolku dibibirnya yang membuatnya membuka mulut dan menghisapnya, membelitkan lidahnya di sekelilingnya, sebagai reaksi adanya kegiatan lidah lain yang jauh lebih ke bawah.

Matanya terpejam karena sensasi yang dirasakannya, jari-jarinya mencengkram pahanya sendiri, menarik keduanya lebar menggoda, memberikan undangan untuk pemeriksaan di bagian paling rahasianya yang ga diberikan untuk pria lain. Melihat wajahnya yang tenggelam semakin dalam ke dalam sensualitas perasaannya, mendengar napasnya semakin berat dan memburu, dihembuskan dengan dengusan keras karena beberapa bagian tubuhnya yang sensitif tersentuh olehku.

Tangannya tanpa sadar merambat dan menyentuh penisku, bergerak acak ke pantatku, menyusuri celah diantaranya dan kembali ke depan membelai batang penisku yang sudah pasti ereksi sejak tadi. Tangannya yang lain bermain-main di kepalaku, menjambak rambutku, menarik-narik daun telinggaku, dan setelah beberapa saat menuntut untuk masuk ke mulutku, dan kuhisap dengan segera. Dia lalu bangkit, mengangkangi perutku menghadap ke kakiku, lalu perlahan menunduk sambil memijatku dari paha sampai ke jari kaki lalu kembali, sesekali mencium disana-sini, penisku terhimpit di antara perutku dan dadanya.

Aku ga bisa menahan diri melihat pemandangan vaginanya di depan mataku. Tanganku terulur ke pinggangnya, menariknya mundur sampai vaginanya tepat di depan wajahku, dia menoleh dan tahu apa yang kumau. Jenni menuduk lagi kali ini langsung memasukkan penisku ke sela bibirnya, aku membalas dengan menguak celah kemaluannya dan mencucukkan lidahku ke lipatannya yang sudah basah kuyup. Kami bertahan pada posisi klasik 69 sampai tubuhnya bergetar tanda klimaksnya hampir sampai, lalu dia bergeser di atas tubuhku sebelum menghujamkan penisku masuk dengan lancar ke vaginanya. Kemudian terdengarlah suara benturan tubuh kami, derit tempat tidur tua yang makin kencang, beradu dengan erangan dan desah nikmat saat orgasme kami tiba. Tangannya mencengkram lututku saat tubuhnya membungkuk, bergetar dan berkedut, lalu reda dan tubuhnya ambruk ke belakang, kelamin kami masih bersatu dan merasakan kepuasan di pelukan satu sama lain.

Aku bangkit dan membuat empat lembar roti bakar dan juga kopi untuk sarapan. Aku lalu membawa semuanya ke kamar dimana Jenni masih terbaring kelelahan. Aroma kopi membuatnya membuka mata, lalu tersenyum saat dia menerima hidangan sarapan kesiangan sederhana yang kusiapkan. Kami menghabiskannya di tempat tidur sebelum dia lalu meraih penisku dan memasukkannya ke mulutnya sampai aku ejakulasi disana.

“Belum kenyang ya?”

Kami membersihkan diri dari sisa-sisa percintaan kami, memakai baju lalu pergi untuk mencari makan siang dan berjalan-jalan sampai sore, lalu dilanjutkan dengan teh, roti lagi, kali ini dengan selai dan mentega. Lalu ciuman dan sebuah permintaan.

"Errik, sayang."

"Ya, cintaku."

"Ada sesuatu yang aku mau kamu lakukan buatku. Ga ada orang lain yang pernah melakukannya padaku, cuma kamu."

"Oral?" Aku bertanya.

"Kok kamu bisa tahu?"

"Kamu suka saat pertama kali di Perth, dan dari kemarin kita belum melakukan itu, setidaknya kamu ga sampai orgasme tadi." Aku menjelaskan tebakanku. "Sini."

"Tunggu dulu." Dan dia lari ke kamar mandi. Aku mendengar gemericik air dan tahu dia sedang membersihkan diri sendiri. Aku tersenyum dan membersihkan meja. Lalu dia balik ke dapur.

Setelah aku melepaskan celana dan celana dalamnya, aku menyuruhnya naik ke meja dapur, dia setengah duduk bertumpu pada tangannya di belakang, kakinya tergantung di tepi meja. Aku menarik kursi dan duduk didepannya, mencondongkan tubuh untuk menikmati hidangan penutup.

Aku bergerak perlahan, untuk menggodanya, sampai dia memohon agar aku serius, yang sayangnya harus kupenuhi. Dia tampak sangat menikmatinya, dan akhirnya orgasme dengan hebat, kakinya menjejak bahuku dan mengangkat pantatnya dari meja, vaginanya menghantam hidungku dan daguku terbentur ke atas meja, dan saat matanya terbuka dia melihatku menggosok daguku yang terasa sakit. Dia berteriak tertahan, menatapku dengan pandangan cemas.

"Kenapa?" Aku bertanya saat aku berdiri.

"Kamu berdarah!" dia berteriak lagi.

Aku mimisan.

"Biasanya yang berdarah yang cewek lho," katanya sambil terkikik. "Tapi sebenarnya... Kok bisa--?"

"Gara-gara kamu!" Aku pura-pura marah, tapi aku gagal. Dia tertawa.

"Mana mungkin karena aku?"

"Ya memang! Pas kamu orgasme tadi. Kamu satu-satunya wanita yang kukenal yang bisa bikin mimisan dengan pukulan vagina!"

"Oh, Errik, I’m Sorry!"

"Ga perlu. Salahku sendiri karena menyuruhmu naik ke meja."

Dia menarik celana dalam tipisnya dan celana pendek jinsnya, lalu dengan lembut membersihkan darah dari wajahku dan lalu mengumpulkan barang-barangnya. "Besok kerja." katanya berusaha menjelaskan kenapa dia mau pergi. Dia mendekat dan menciumku cukup lama dan bergairah. "Terima kasih!" katanya, "Ini weekend yang menyenangkan."

"Aku yang terima kasih," balasku, dan kami berciuman lagi, sebelum dia melepaskan diri dan naik ke mobilnya.

Aku masuk kembali ke rumah, yang sudah memberiku banyak kenangan dan menyimpannya untuk kutemukan lagi, tapi aku ga bisa meramalkan masa depan, aku ga bisa menebak hari esok akan seperti apa setelah apa yang kualami. Apapun itu akan kuhadapi saat sudah tiba, masa depan ga perlu kupikirkan sekarang, karena aku masih punya masalah dengan masa lalu.

-----------0----------​

Pekerjaan di kantor sudah ga lagi jadi masalah buatku, ya sebenarnya ga mungkin bermasalah kalau punya asisten seperti Jenni. Dia pandai menjaga jarak di antara kami, sangat tepat, bahkan saat ga ada orang lain yang bisa melihat. Itu salah satu hal yang aku suka darinya. Dia sangat profesional dan punya prinsipnya sendiri.

Hari Selasa kami harus melakukan kunjungan dinas, ga sampai keluar kota sih. Salah satu perusahaan yang jadi korban kegagalan Solcomp menyelesaikan pesanan. Masih belum tahu apa kami bisa memperbaiki kesalahan mereka atau harus membuat alternatif lain. Saat kami kembali ke kantor, kami mempersiapkan dokumen dan presentasi untuk perjalanan ke Malaysia minggu depan, sebagai penganti perjalanan ke Jerman yang dibatalkan.

Sore harinya Alfon menelepon untuk memberi tahuku bahwa dia sudah ketemu dengan Ana dan pengacaranya untuk mencoba merundingkan permasalahan keuangan. Mereka masih menuntut kepemilikan perusahaan dan kali ini ga harus dalam bentuk saham tapi mereka bersedia kalau diganti dalam bentuk uang tunai yang dari jumlahnya akan memastikan perusahaan secara otomatis berhenti beroperasi dan mereka kelihatannya ga peduli dengan dampak pada karyawan yang bekerja di perusahaan kami. Jadi perselisihan itu sekarang akan dibawa ke pengadilan.

Hari Rabu aku ingat Tris bilang akan datang besoknya, tapi aku lupa bahwa aku harus menelponnya untuk konfirmasi dan memastikannya lagi.

"Jenni?" Kataku, "Apa besok kamu mau ketemu Tris sebelum kamu pulang ke rumah orang tuamu?"

Dia tampak ragu-ragu.

"Jenni, kamu akan cocok dengannya. Jangan lupa dia akan berangkat ke Timor Leste ga lama setelah liburan Paskah. Ini mungkin satu-satunya kesempatanmu untuk ketemu dia. Tanpa dia, aku ga akan ada di sini. Dia yang mendukungku untuk lebih dekat denganmu."

Dia tampak agak lega dan bilang dia akan datang besok.

"Aku ga akan datang malam ini," katanya, "Aku ga mau bikin kamu keenakan hari ini dengan aku, besok dengan Tris, gonta-ganti wanita sesuka hati."

Dia mencoba becanda, tapi aku tahu dia ga suka melihatku memeluk Tris didepannya. Aku ga bisa berbuat apa-apa, keduanya wanita yang penting buatku saat ini. Aku pernah bilang padanya bahwa seks bisa membuat orang jadi posesif. Entah mengajaknya menemui Tris adalah ide bagus atau malah sebaliknya.

Saat aku keluar dari kantor, ponselku berdering. Dari Jimmy. "Aku perlu ketemu kamu dan yang lain malam ini. Apa kamu bisa datang?"

Malam ini Jenni ga datang, jadi aku bebas.

"Ya, bisa," jawabku, "Aku ga mau ketinggalan pertemuan kuartet penyidik kita."

"Kuartet ya. Oke, seperti biasa, jam setengah delapan?" dia berkata.

"Oke. Di Crossroad?"

"Dimana lagi?" dia tertawa lalu menutup telepon.

Aku pulang dan sempat merapikan rumah, mandi, makan. Aku tahu kami pasti akan minum alkohol disana, jadi menyetir bukan pilihan yang bagus jadi aku menelpon taksi dan berangkat ke cafe. Aku sampai paling terakhir, ketiga temanku sudah ada disana dan kelihatan suram.

"Wah, kelihatannya ga terlalu bagus." Kataku saat aku duduk, segelas bir ada di tanganku. Aku meneguk minumanku dan meletakkan gelasnya di meja, melihat sekeliling ke arah mereka. "Oke, aku sudah siap buat berita buruk, jadi gimana?"

"Aku kebetulan lewat depan kantor Solusindo," Jimmy memulai, "Aku sudah lama ga lewat jalan itu. Aku lihat mereka punya gedung baru di samping kantor lamanya dan bikin aku ingat sesuatu. Aku berhenti di pinggir jalan dan mikir soal kasusmu. Jadi aku keluar dari mobil dan berjalan balik, lalu masuk ke lobby kantor mereka.

"Kenapa aku kesana aku ga tahu, kecuali bahwa kita memang membahas soal mereka saat terakhir kita ketemu. Aku bilang ke resepsionis kalau aku kebetulan lewat dan lihat gedung baru mereka. Aku bilang kepikiran untuk renovasi kantorku sendiri dan tanya siapa yang sudah membangun gedung mereka.

"Perhatikan ini. Dia bilang kalau ga salah kontraktornya Iwan dan anaknya. Dia bilang dia ingat karena Iwan sering ga datang dan penyelesaian pembangunan jadi molor, butuh hampir dua tahun untuk menyelesaikannya bangunan kantor. Jadi itu memastikan bahwa ada hubungan antara Iwan dan Solcomp.

"Tapi masih ada lagi, salah satu karyawan lewat dan pasti dia dengar obrolanku dengan resepsionis. Dan dia menambahkan bahwa setahunya Iwan disubkontrak oleh perusahaan lain, karena selain dia dan anaknya, beberapa kali ada tiga orang yang bertugas jadi mandor dan memimpin pekerjaan. Kalian paham ke mana arahnya? Aku pikir juga begitu. Dia juga mau membantu lebih dan memakai komputer resepsionis dan membuka dokumen mereka. Dia mencarikan nama kontraktor utamanya buat aku. Tebak siapa? Hadi Firmanto."

Itu berita yang mengagetkan. Aku mencoba untuk memahami informasi yang baru kami temukan dan seberapa jauh itu bisa membantu dalam penyelidikan kami kami.

"Jadi ada kemungkinan baik Solcomp atau Hadi sendiri yang melakukan ini padaku? Tapi gimana cara kita memastikan itu benar? Kalaupun benar, siapa di antara mereka yang jadi dalang kasus ini, kalau infonya benar ya."

Hasan menganalisa pertanyaanku.

"Cui Bono - siapa yang paling diuntungkan dari kejadian itu?" katanya menambahkan keterangan singkat dari kata-katanya, dan melanjutkan tanpa menunggu jawaban.

"Solcomp punya motif karena kamu mengambil pekerjaan mereka. Jadi mereka pasti masuk dalam kriteria tadi. Tapi Hadi Firmanto? Apa mungkin dia berusaha menyingkirkanmu hanya agar dia bisa mendekati Ana? Itu sedikit terlalu berlebihan menurutku."

"Perusahaan Hadi sudah mengalami krisis keuangan beberapa tahun terakhir ini," sela Alfon, "dan semakin buruk sampai sekarang. Dia butuh suntikan dana segar untuk membayar gugatan dari pelanggannya yang dirugikan. Sepertinya dia lumayan putus asa – sudah hampir bangkrut karena itu.

"Perhatikan juga apa yang dia dan Ana tuntut – kepemilikan saham atau kalau kitu menolak bisa diganti dalam bentuk uang yang jumlahnya milyaran dari perusahaan. Kenapa dia minta sebanyak itu? Aku ga yakin itu untuk dia dan anak-anak. Dia berkecukupan dengan pekerjaan yang bagus dan dapat gaji bulanan yang besar.

"Ga ada alasan lain, kecuali untuk menutup hutang-hutang Hadi. Jadi kita tahu Hadi juga punya motif. Menyingkirkanmu selamanya agar ga menghalangi jalannya, Errik, lalu menggantikan tempatmu di hati Ana dan menikahi dia. Lalu dia akan ada di posisi yang bagus untuk menyelesaikan krisis keuangan perusahaannya, bahkan kalau setelah itu mereka cerai, dia masih akan dapat bagian dari harta Ana. Selain itu, kalau dia berhasil membuat Ana jatuh cinta padanya, Ana akan mau melakukan apa saja untuk Hadi. Dengan strategi itu dia ga bisa kalah."

"Kecuali kalau kamu selamat, atau kalau mereka berhasil membunuhmu tapi identitasmu dikenali, akan ada polisi yang terlibat disana." tambah Jimmy muram.

"Ya Tuhan!" Aku shock, "Itu kemungkinan yang ngeri! Aku masih ga percaya, tapi kalau betul dia sampai berniat membunuhku agar bisa mendapatkan Ana, seberapa aman Ana saat mereka sudah menikah? Dia bisa mendapatkan segalanya sebagai suaminya kalau sampai Ana meninggal, kecuali Ana punya surat wasiat yang menyebutkan Hadi bukan penerima warisannya, tapi aku ragu ada wasiat seperti itu kalau Hadi berhasil membuat Ana jatuh cinta padanya."

"Sialan!" seru Hasan, "Itu adalah kemungkinan yang ga aku pikirkan. Kalau Hadi yang mendalangi ini semua, dan ga ada yang tahu niatnya, ingat, menurutku Ana benar-benar dalam bahaya. Itu mengubah banyak hal. Anak buahku harus lebih fokus pada Hadi. Kita perlu memeriksa rekeningnya dan kita harus melakukan interogasi untuk membuat profil psikologis yang lengkap tentang dia. Termasuk juga kita harus interogasi mantan istrinya.

"Dan terus ada si Iwan. Dia tahu sesuatu. Menurutku kita harus memeriksanya lebih lanjut. Menakut-nakutinya dengan tuduhan percobaan pembunuhan, hukuman penjara beberapa tahun. Itu mungkin cukup untuk membuatnya buka mulut."

Jimmy berbicara dengan memelankan suaranya karena pelayan baru saja lewat untuk mengirimkan pesanan meja sebelah.

"Hasan, aku rasa kalau kita tangani Iwan secara ga resmi tanpa melibatkan kepolisian akan memberikan hasil yang lebih bagus, kita bertiga saja, tanpa Alfon. Mungkin dia perlu tahu apa yang dihasilkan oleh peran kecilnya dalam kasus ini padamu, Errik."

"Aku agak ragu soal itu," kata Hasan, "Iwan juga ga tahu kalau aku polisi, tapi katakanlah dia memilh mengungkapkan pada kita dibanding ke polisi yang lebih resmi. Itu pasti akan bikin heboh, kamu tahu kan, Errik, kalau sampai pelakunya tertangkap dan kasus ini sampai ke wartawan, kamu akan terkenal."

"Aku sudah ga suka kemungkinan itu," kataku sambil menggigil.

"Aku tahu di mana Iwan nongkrong tiap Senin malam," kata Jimmy. "Dia akan nongkrong di salah satu bar dekat kantor walikota. Kita bisa 'mewawancarainya' saat dia keluar. Kalau kalian berdua free Senin besok, aku akan hubungi kalian kalau dia muncul. Dia biasanya datang awal dan pulang sekitar jam sembilan malam.”

"Kita butuh informasi ini," kataku, menyadari sesuatu. "Kalau itu benar, kita harus membatalkan pernikahan mereka. Ada nyawa yang dipertaruhkan di sini. Kalau benar dia mencoba membunuh aku, dia ga akan segan untuk membunuh Ana, dan belum lagi anak-anak."

Ada keheningan yang serius karena kami tenggelam dalam pikiran kami masing-masing. Lalu Alfon memecahkannya.

"Errik, aku tahu sifatmu dan aku yakin kamu pasti akan mencoba menghubungi Ana. Tapi menurutku itu harus ditunda sampai kita tahu fakta yang sesungguhnya. Kita ga mau Hadi tahu dan kabur seandainya dia memang bersalah." Itu masuk akal, meskipun aku ga suka ide itu.

"Makin banyak alasan untuk menemui si Iwan ini dan mencari fakta. Tapi kalau Hadi yang ada dibalik percobaan pembunuhanku, aku akan langsung menemui Ana."

Hasan lalu berkata, "Errik, apa kamu bisa datang ke kantorku lagi untuk mengambil sampel DNA?"

Aku ga tahu untuk apa, tapi aku setuju dan pertemuan kami bubar sampai di sana.

Beberapa saat kemudian aku sudah duduk di rumah dengan segelas whisky – kutemukan di gudang basement saat bersih-bersih bersama Jenni, aku memikirkan perkembangan terbaru tadi. Kemungkinan tentang Solcomp sebagai penulis naskah kematianku kelihatannya terlalu ekstrem, bahkan dengan motif yang mungkin ada, perusahaanku ga akan berhenti karena kematianku, masih ada Jeffry yang akan mengelolanya untuk bersaing termasuk dengan Solcomp. Tapi motif kumulatif panjang dan rumit yang mungkin dipunyai Hadi, menempatkan dia sebagai kandidat utama orang yang menginginkan kematianku. Aku mulai merasa benci pada pria itu lebih dari sebelumnya.

Tapi, aku harus tetap realistis, kami butuh bukti kuat sebelum menuduhnya, dan Iwan yang akan menyediakannya dengan cara apapun kami memperolehnya. Aku menghabiskan minumanku dan mengambil susu untuk dibawa ke kamar, dengan harapan cairan itu akan menangkal banyaknya alkohol yang kuminum hari ini.

Keesokan harinya akan jadi hari yang menarik, aku ga punya pengalaman melerai dua wanita yang berkelahi. Aku berpikir lagi apa aku sudah berbuat benar saat mengajak Jenni untuk ketemu Tris.

-----​

Suara bel pintu membangunkan aku. Aku buru-buru bangkit dan turun ke bawah untuk membuka pintu dan menemukan Jenni berdiri di depan pintu dengan senyum lebar di wajahnya.

"Apa aku kepagian?" dia bertanya, "Aku sudah bawa beberapa roti untuk sarapan."

"Kalau gitu pas, kamu ga kepagian," jawabku, menariknya mendekat untuk kucium.

"Awas rotinya!" dia protes, memegang bungkusan rotinya ke samping kanan saat aku memeluknya.

Aku bikin kopi, walaupun lebih suka teh dipagi hari, tapi karena Jenni minta kopi jadi aku juga sekalian bikin untukku.

"Jam berapa sekarang?" Aku bertanya sambil merebus air panas.

"Sepuluh."

Jadi aku bangun kesiangan. Aku berpikir untuk menceritakan hasil pertemuan kuartet kami semalam, tapi memutuskan lebih baik menunggu sampai Tris datang. Tris! Ponselku berdering tepat saat aku ingat seharusnya kemarin aku meneleponnya.

"Tris, aku minta maaf, seharusnya aku telpon kamu kemarin. Ada kemajuan penyelidikan. Aku ketemu dengan mereka bertiga tadi malam. Kamu di mana?"

Dia tertawa. "Jangan khawatir, aku tahu kamu masih punya masalah kecil dengan ingatan, dan aku tahu itu paling sering muncul saat kamu lagi stres. Tapi kamu masih ingat aku kan?"

"Ya ampun, Tris, kamu tahu aku ga akan bisa melupakan kamu," aku merayu, dan aku harus menjauhkan telepon karena suara tawanya yang keras. Jenni mengangkat alis.

"Serius," setelah dia berhenti tertawa, "Kamu ingat kan hari ini hari Kamis? Artinya aku punya libur panjang dan lama setelah berhari-hari jadwal lembur yang kudapat. Mau aku kesana?" sekali lagi dia terkikik.

"Pastinya, Jenni baru saja sampai. Di mana kamu? Di rumah?"

"Yah, sebenarnya aku ada di rest area tol. Ga sampai sejam lagi aku sampai Tangerang. Minta alamatnya lagi, aku ga ingat jalan kesana." Dia bilang akan telpon lagi kalau dia sudah dekat.

Aku dan Jenni merubah rencana dan menikmati roti panggang dan teh, menyimpan kopi dan roti yang dia bawa sampai Tris datang, yaitu empat puluh lima menit setelahnya. Aku membuka pintu.

"Wow!" serunya, melompat ke pelukanku, menciumku dan melepasnya setelah kehabisan nafas. "Rumah yang bagus! Bahkan lebih bagus saat sudah di dalam!"

Aku mengajaknya ke dapur dimana Jenni menunggu kami. Aku mengenalkan mereka dan menyaksikan saat mereka saling sapa, sambil saling menilai satu sama lain. Pemandangan itu menghiburku. Aku meninggalkan dapur dan keluar untuk mengambil koper Tris dari mobilnya dan membawanya ke kamar tidurku.

Pada saat aku kembali ke dapur, mereka berdua sedang asyik ngobrol, bertukar informasi, kebanyakan tentang aku.

"Sayang, tolong tuangin kopinya?" perintah Jenni.

"Dan Jenni bilang tadi dia kesini bawa roti, sekalian pindahin ke piring dan bawa ke sini ya, sayang?" perintah Tris.

Mereka saling pandang dan cekikikan. Mereka sudah kerja sama dan aku kalah jumlah. Aku melakukan perintah mereka lalu ikut duduk bersama mereka. Wah, apa yang sudah mereka rencanakan.

Setelah menikmati hidangan kecil, Jenni mengajak Tris untuk keliling seisi rumah, meninggalkanku sendirian di dapur. Aku membayangkan reaksi Jenni saat melihat tas Tris ada di kamar tidur kami, tapi aku ga menemukan rasa cemburu sama sekali darinya.

Tris balik ke dapur sendirian, Jenni harus ke kamar mandi setelah keliling rumah.

"Dia cantik!" kata ‘pacar nomor satu’. "Jangan sampai lepas!"

Mereka usul agar kami keluar dan makan siang di resto dekat sini. Jenni bilang dia yang bawa mobil saja, karena nanti dia sekalian pulang.

"Aku ga mau kamu merasa harus pergi karena aku datang," kata Tris.

"Bukan itu kok, ga usah khawatir, aku harus packing. Aku mau pulang ke rumah orang tua selama libur panjang ini."

Dia lalu menceritakan kisah hidupnya pada Tris sambil mengendarai mobilnya, Tris duduk di sampingnya, dan aku di jok belakang. Kami berkendara ga terlalu jauh dan menemukan sebuah cafe yang terlihat nyaman, lalu turun dan mulai memesan makanan.

"Jadi begini," kata Jenni pada Tris, "Errik membuatku sadar bahwa aku harus coba berdamai dengan orang tuaku dan menyampaikan semua hal yang menjadi pikiranku selama ini pada mereka, dan aku harap mereka juga terbuka padaku."

"Dia benar," jawab Tris seolah-olah aku ga ada di sana. "Dia punya ide-ide yang bagus - kadang!"

Dia menatapku sambil senyum.

"Ngomong-ngomong soal berdamai, ada kabar apa soal Ana?"

Aku lalu menceritakan informasi baru dari pertemuan malam kemarin dan semua yang jadi kekhawatiranku. Kedua wanita cantik di depanku jadi serius dan ikut prihatin.

"Dia akan hancur saat dia tahu dia tinggal dengan pembunuh suaminya," kata wanita yang lebih tua.

"Aku ga bisa bayangin gimana perasaannya setiap ingat suaminya, dia pasti sangat sedih," sahut wanita yang lebih muda.

"Sebentar, kalian berdua," balasku. "Aku belum mati, atau selama ini kalian ga sadar kalau aku masih, boleh dibilang, aktif."

Mereka berdua tertawa.

"Apa dia cukup 'aktif' buatmu" Tris bertanya pada Jenni sambil terkikik.

"Oh ya!" Jenni menjawab juga sambil terkikik. "Sangat! Tapi menurutku keahliannya saat 'aktif' adalah karena rutin menjalankan terapi darimu."

"Hei!" Aku keberatan. "Aku ada di sini, jangan bahas soal itu. Dan balik soal Hadi, kita ga tahu apa memang dia yang bersalah."

"Belum tahu!" kata Tris.

"Sama sekali," aku menambahkan. "Kami berencana menjebak Iwan dan membuatnya cerita, dengan segala cara."

"Kami tahu dia pasti orang yang bersalah," kata Jenni. "Tapi jangan sampai melakukan hal konyol, Errik."

"Kurasa sudah jelas Hadi-lah yang bersalah," kata Tris. "Aku berani taruhan soal itu. Dia harus dihentikan. Kamu ga akan biarin pernikahan mereka berlanjut, kan?"

"Kasihan wanita itu." gumam Jenni.

Setelah itu seperti sudah disepakati, topik pembicaraan berganti ke hal-hal lain, urusan wanita. Aku mungkin seharusnya ga ada di sana karena ga tahu apa yang mereka bicarakan. Banyak pria punya fantasi tentang betapa menyenangkannya punya dua kekasih. Tapi Itu cuma sekedar fantasi saja. Terlepas dari seks, keduanya terus-menerus bicara tentang pakaian dan make up dan segala macam hal yang aku sama sekali ga tertarik.

Aku juga ga akan melakukan hubungan seks bertiga di tempat tidur dengan mereka, aku juga ga tertarik soal itu. Aku punya hubungan yang penuh cinta dengan masing-masing wanita menarik ini, masing-masing berbeda, dan terpisah, dan aku ingin tetap seperti itu. Tapi aku sangat lega karena mereka bisa berteman dengan baik. Tris lalu pergi ke toilet.

"Dia cantik!" kata ‘pacar nomor dua’. "Sayang dia akan pergi. Kami bisa jadi sahabat baik. Kamu pasti akan kangen banget saat dia pergi, ya kan?"

Aku mengangguk. "Aku sangat beruntung punya dia untuk membantuku melewati semua, dan sekarang kamu. Kalian berdua adalah wanita yang cerdas dan perhatian dengan hati yang lapang."

"Dan punya persepsi yang sama tentang sosok pria sempurna saat mereka melihatnya," kata Tris sambil mencium bagian atas kepalaku yang botak saat dia balik dari toilet dan lewat dibelakangku. Lalu dia duduk lagi di kursinya. 'gadis-gadis' itu duduk berdampingan di hadapanku. Pemandangan yang bagus untukku, dan itu bukan karena penampilan fisik mereka.

Waktu berlalu dengan cepat, dan kami bertiga lagi-lagi memilih untuk makan malam di salah satu restoran dan setelah itu Jenni harus pulang untuk bersiap-siap pulang ke rumah orang tuanya besok. Dia menurunkan kami di rumah, memeluk dan menciumku dengan sangat antusias saat Tris tersenyum menyeringai. Kedua wanita itu saling berpelukan dan lalu Jenni pergi.

"Errik," kata Tris, "Jangan sampai dia lepas. Dia wanita yang tepat buatmu. Dia punya segalanya, sifat penyayang, penampilan menarik, sangat cerdas, dan dia menghormatimu sebagai laki-laki terbaik di dunia"

"Aku ga tahu kenapa aku sampai pantas dapat dua orang wanita dengan kualitas seperti itu," kataku sambil tersenyum penuh cinta padanya.

"Dan kamu selalu punya kata-kata yang tepat untuk semuanya." dia menjawab. "Tapi kita punya janji. Waktuku hampir habis dan aku mau menagih jatahku darimu."

Jadi kami langsung masuk ke kamar dan making love. Pada satu kesempatan malam itu, aku sempat memikirkan tentang bagaimana perasaan Jenni, karena dia pasti tahu apa yang aku dan Tris lakukan malam ini.

Tris seperti biasa bisa membaca pikiranku, karena dia lalu meremas lenganku dan berbisik, "Ga usah khawatir, Errik sayang, aku tahu dia bahagia kalau kamu bahagia."

Di saat-saat seperti itulah aku merasa aku sedang bermimpi dan ga mau bangun. Karena hal seindah itu ga akan terjadi di kehidupan nyata.


Bersambung... Chapter XIV
 
Terakhir diubah:
Halo semua..
Cuma mau info, setelah update ini, selama 1 minggu kedepan bahkan lebih kemungkinan besar ga ada update.. maklum lagi masa-masa audit di RL dan sepertinya akan luar biasa sibuk..

Harap sabar menunggu..
Terima kasih..
Ziapppp..zuhu.. selamat berkarya, episode.. kek nya makin seru... Ditunggu updatenya om zuhu @Gentile
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd