Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Pulang

XIV. Kesaksian

Aku ingat dulu aku punya kebiasaan saat liburan panjang dan kami ga pergi kemana-mana, aku akan membuat kismis bun di rumah bersama Ana atau Agnes. Roti sederhana yang lembut dengan taburan kismis di bagian atas, resep turun temurun dari ibuku, dan ibuku dari ibunya. Aku ga tahu kenapa aku bisa ingat itu sementara aku ga ingat begitu banyak hal lain yang lebih penting, tapi aku senang aku ingat. Dan untungnya, entah bagaimana aku sudah belanja sebelumnya setelah pindah kesini dan sekarang punya semua bahan yang dibutuhkan untuk membuatnya. Aku bangun pagi-pagi dan sudah mulai membuatnya saat Tris turun dari lantai atas, rambutnya tampak acak-acakan, mungkin juga karena aktivitas malam kami kemarin.

Dia ga bilang apa-apa selain soal dapur yang berantakan dan menghalanginya saat dia membuat teh dan roti panggang. Setidaknya suaranya bisa memecahkan keheningan pagi ini.

"Baunya enak."

"Nah Tris, kamu mungkin pernah makan roti yang namanya kismis bun, tapi ga akan ada yang bisa ngalahin resep dari keluargaku ini."

"Huh!" dengusnya. Aku ga tahu dan ga peduli atau dia meremehkan dan ga percaya pernyataanku atau sebaliknya dia setuju. Dia duduk di meja dan mengunyah roti panggangnya sementara aku masih sibuk sendiri. Saat aku lewat di belakangnya, aku mencium bagian atas kepalanya.

"Kamu cantik banget!" Aku berbisik. Kali ini terdengar dengusan ga percaya.

"Aku serius." Aku menambahkan. Dia mendengus lagi.

Aku menghela nafas. "Ga percaya ya sudah." Ga ada jawaban.

Dia bangkit dan menghampiriku saat aku sedang membentuk adonan roti, menaburkan kismis diatasnya. Dia memeluk perutku dari belakang dan menyandarkan kepalanya di bahuku, "Love you," katanya.

"Love you too," jawabku, "Dan aku akan tunjukin sebesar apa cintaku seandainya aku ga lagi sibuk dengan adonan ini."

Dia menghela napas karena kecewa.

"Aku mandi dulu," katanya, dan dia keluar dari ruangan dapur dan naik ke lantai atas.

Lebih dari satu jam kemudian roti itu sudah dioles mentega diatasnya dan bertabur gula halus, sedang tergeletak di atas rak untuk didinginkan, dan aku menyusul Tris ke atas. Tris tertidur di tempat tidur, masih memakai jubah mandi. Aku masuk ke kamar mandi di dalam kamar dan mandi untuk membersihkan badanku dari sisa tepung dan gula yang menempel.

Aku mengeringkan tubuh lalu kembali ke kamar tidur telanjang bulat, lalu membelai wajah Tris sampai dia membuka matanya sedikit, lalu makin lebar saat dia melihat tubuhku yang telanjang dan penisku yang setengah ereksi. Dia tersenyum, berguling turun dari tempat tidur dan melepaskan jubah mandi dan berjalan untuk menggantungnya di lemari. Saat dia lewat di depan jendela dia berhenti dan melihat keluar, lalu mengangkat jubah yang dipegangnya untuk menutupi tubuhnya.

"Errik, ada seorang gadis muda di jalan masuk rumahmu," katanya dengan heran. "Dia cuma berdiri ngeliat ke arah rumah."

Dia diam sejenak untuk melihat lebih jelas.

"Kayaknya dia nangis. Aku akan turun dan lihat dia kenapa."

Dia lalu bergegas mengambil dan memakai celana training panjang dan kaus di bagian atas, lalu berjalan menuju keluar.

"Pakai bajumu dan cepat turun," katanya. Nadanya lebih seperti minta tolong daripada perintah.

Aku berjalan ke jendela yang terbuka dan melihat keluar. Tris sedang berjalan ke arah gadis itu. Jalanan di luar sepi karena hari libur panjang ini dan aku bisa dengar percakapan mereka dari atas sini. Gadis itu kelihatannya ga asing, tapi wajahnya ga terlalu jelas terlihat dari sini.

"Halo. Apa kamu ga apa-apa?" tanya Tris padanya

"Oh, aku minta maaf! Aku ga bermaksud--"

"Ada apa sayang? Apa kamu dapat masalah?"

"Aku ga apa-apa. Ga apa-apa kok."

"Sudah pasti ada sesuatu kalau kamu nangis gitu. Apa kamu mau masuk? Mau minum jus? Susu? Teh? Ayo masuk dan cerita saja masalahmu."

Tris lalu memeluk gadis itu dan keduanya masuk ke dalam rumah. Di mana aku pernah lihat gadis itu sebelumnya? Di suatu tempat di Serpong mungkin, apa dia kasir minimarket? Aku merasa sering melihatnya. Aku buru-buru - secepat yang aku bisa - berpakaian dan menuruni tangga tanpa suara. Mereka ada di dapur. Tris sepertinya baru membuatkan minuman buat gadis itu, jadi aku ga melewatkan pembicaraan apa pun.

"Jadi, kamu kenapa? Ceritakan semua biar kamu lega." Kata Tris mengawali.

Aku sudah hampir sampai di bawah saat mereka mulai bicara, dan apa yang kudengar membuatku terpaku ga bergerak di anak tangga paling bawah.

"Ga apa-apa kok. Dulu aku tinggal di sini. Ibuku bilang rumah ini sudah dijual. Kami pindah saat Ibu memutuskan untuk tinggal bersama tunangannya. Aku ga mau pergi, aku suka rumah ini. Aku harap Ayahku bisa datang kembali suatu saat nanti. Aku ingin kami tahu di mana dia sekarang. Aku kembali kesini untuk melihat rumah ini terakhir kali. Aku ga suka tinggal di tempat kami sekarang, dan aku benci tunangan ibuku, dia menakutkan. Aku ga suka dia akan menikah dengan ibu. Tapi... Semuanya masih sama seperti saat kami tinggalkan. Dan ada roti kismis. Ayahku selalu bikin roti itu kalau sedang libur panjang seperti sekarang. Bisa kebetulan gitu, aneh!"

"Namaku Tris."

"Agnes."

“Nah, Agnes, pacarku tertarik beli rumah ini begitu dia melihatnya, dan dia mau beli rumah ini dan segala isinya. Sepertinya ibumu ga keberatan meninggalkan isinya jadi dia mau menerima tawaran pembelian ini."

"Iya, kami cuma bawa pakaian, foto, dan barang-barang pribadi lainnya. Apa pacarmu ada disini?"

"Ya. Kayaknya dia masih ganti baju karena baru mandi. Terus, ayahmu. Kenapa dia? Kok kalian sampai ga tahu dia dimana."

"Dua tahun lalu dia meninggalkan kami. Dia pergi keluar kota untuk urusan kantor dan ga pernah pulang sejak saat itu. Mungkin dia tinggal dengan wanita lain entah dimana, ga ada yang tahu dia dimana. Ibu begitu lama tenggelam dalam kesedihan, dan tiap hari dia bilang 'mungkin dia akan pulang'. Sampai suatu saat sepertinya dia ga kuat lagi lalu mulai marah dan benci pada Ayah.

"Saat itulah dia mulai dekat dengan Om Hadi, tunangannya sekarang. Tapi dia ga seperti Ayahku. Ga ada lagi canda tawa di rumah. Om Hadi ga pernah mengajak aku dan adik-adikku main, Ayah biasa mengajak kami main bola setiap ada waktu. Om Hadi membosankan - dia cuma mau menghabiskan waktu dengan ibuku, seakan kami ga ada disana.

"Aku ga ngerti kenapa ayah pergi. Dia dan ibu saling mencintai, mereka sangat bahagia bersama. Gimana mungkin dia bisa tertarik pada wanita lain? Selama kami tinggal di sini, aku selalu merasa suatu hari nanti ayah akan masuk melewati pintu depan itu lagi. Tapi, saat kami pindah ke rumah Om Hadi, mungkin saat itulah harapanku hilang. Andaikata dia sudah ga cinta lagi dengan Ibu, gimana mungkin dia tega ninggalin aku dan adik-adikku begitu saja? Gimana mungkin? Seandainya aku tahu alasannya. Aku kangen banget sama dia."

Aku dengar dia mulai menangis lagi.

Saat itu aku begitu merasakan kehilangan. Bukan cuma hidup dan kesehatanku yang diambil para preman itu, mereka sudah menghancurkan seluruh keluarga, dan keluarga itu, seperti aku sendiri, masih menderita sampai saat ini. Sebelum momen ini aku ga bisa membayangkan itu, tapi sekarang aku bisa merasakan rasa kehilangan mereka. Agnes ga boleh menderita lagi. Dia anak gadisku yang sudah hampir dewasa, tapi caranya bercerita membuatnya seakan gadis kecil yang butuh perlindungan dari ayahnya.

"Aku kedalam sebentar. Aku cuma mau lihat di mana pacarku." Tris masuk ke ruang tengah dan melihatku di tangga.

"Kamu dengar semua?" dia berbisik.

Aku mengangguk. Aku masih shock. Itu adalah Agnes putriku yang duduk di sana, dan dari semua yang kudengar tadi aku tahu dia sangat kehilangan figur seorang ayah. Aku bisa menebak dia ga bisa mengeluhkan semua itu pada Ibunya, orang tuanya yang masih tersisa di dekatnya atau mungkin Ibunya tidak peduli pada keluhannya.

"Kamu mau ketemu dia? Dia butuh kamu, Errik."

Sekali lagi aku mengangguk. Aku ga bisa menolak putriku sendiri, apalagi saat dia begitu membutuhkan aku.

"Tunggu di sini sampai dia lebih tenang dan siap," kata Tris, bijak seperti biasa. "Bisa ketemu denganmu disini sudah pasti akan membuat dia kaget, itu ga akan menyangkanya sama sekali, dan ditambah dengan penampilanmu sekarang akan membuat situasinya lebih parah. Percaya aku, aku tahu apa yang harus dilakukan." Dia berbalik dan kembali ke dapur.

"Dia akan kesini sebentar lagi. Nah, kamu tadi bilang kamu kepingin ketemu ayahmu kan?" Kata Tris pada Agnes.

"Ya, aku selalu berharap dia pulang, tapi sekarang sudah ga ada harapan."

"Dengar, Agnes. Aku pikir hari ini kamu akan kaget pada apa yang mungkin dan ga mungkin."

"Maksudnya?"

"Gimana kalau seandainya aku bilang aku bisa mempertemukanmu dengan Ayahmu?"

"Apa?"

"Aku serius. Aku bisa mempertemukanmu dengan Ayahmu, tapi ada syaratnya."

"Kakak serius? Kakak ga akan bercanda soal itu kan? Kalau gitu aku janji. Aku janji akan setuju apapun syaratnya. "

Aku hampir bisa melihatnya melompat-lompat di kursinya. Aku tersenyum dan air mata mulai mengalir di mataku.

"Pertama. Kamu harus janji untuk ga bilang ke siapapun dia ada dimana. Jangan cerita ke ibumu. Jangan cerita ke kedua adik laki-lakimu."

"Kakak tahu aku punya dua adik laki-laki?"

"Kamu tadi bilang Ayahmu dulu suka main bola dengan adik-adikmu, sudahlah itu ga penting. Sekarang kamu mau janji untuk merahasiakan di mana ayahmu dari siapapun juga? Nantinya dia akan membuka rahasia itu, tapi sekarang belum saatnya."

"Ya, ya, aku ga tahu alasan kenapa aku harus merahasiakan ini, tapi aku janji akan pegang rahasia," Dia sudah ga sabar, "Bisa kita pergi sekarang dan ketemu ayahku?"

"Kedua," kata Tris, mengabaikan permintaannya. "Ada hal-hal lain yang perlu kamu tahu. Aku tadi sudah bilang, kamu akan kaget, dan ga semua kejutannya bagus."

"Oke, Oke!" Aku bisa dengar dia makin ga sabaran.

"Jadi... Ayahmu ga pergi dengan wanita lain."

"Jadi, kenapa--"

"Setelah dia menyelesaikan urusan kantor di Surabaya dan seharusnya pulang, dia diserang oleh beberapa orang penjahat yang mengambil semua barang yang dibawanya, termasuk bajunya. Maaf aku harus bilang ini, Agnes, tapi mereka memukulinya dengan kejam, sangat kejam. Ga ada orang yang melihat kondisinya saat datang ke rumah sakit yang mengira dia akan bertahan hidup. Dan dia cuma pakai celana dalamnya sehingga ga ada yang tahu siapa dia. Dia amnesia dan ga ingat siapa dia, butuh waktu lama sampai akhirnya dia tahu namanya dan punya keluarga."

Aku mendengar seruan kaget. "Tapi aku yakin Ibu sudah menghubungi rumah sakit dan ga ada yang--"

"Rumah sakit itu ada di Semarang. Aku kerja sebagai perawat di sana. Aku ada di sana saat dia dirawat."

"Semarang? Kok bisa?"

"Ga ada yang tahu. Ayahmu ga bisa ingat. Tapi Agnes, kamu harus tahu dia terluka parah. Masih sampai sekarang. Agnes sayang, wajahnya rusak. Mereka merusak wajahnya, itu harus dibentuk ulang dengan beberapa kali operasi saat dia masih koma. Kamu ga akan bisa mengenalinya."

"Aku bisa! Aku pasti bisa mengenalinya!"

Hatiku tersayat-sayat karenanya.

"Oke aku ngerti. Pacarku bisa mempertemukanmu dengan Ayahmu. Aku akan memanggilnya."

Tris datang ke ruang tengah lagi, matanya basah karena air mata.

"Pergilah kesana," katanya padaku dengan terisak.

Mataku basah.

"Ini," katanya, menawarkan tisu padaku. "Hapus air matamu."

Aku mengusap wajahku lalu berjalan ke dapur.

Aku berjalan tertatih tanpa tongkat dan mendekat ke arahnya, mengulurkan tanganku. Aku melihat wajahnya menunjukkan semua reaksi yang biasa, kaget, ngeri, rasa kasihan, dan saat aku mulai bicara, aku tahu dia kenal siapa pria mengerikan yang berdiri didepannya ini.

"Halo Agnes," kataku. "Sekarang kamu sudah ketemu dengan Ayahmu, Agnes," kataku sambil tersenyum, tapi air mata ga berhenti mengalir di mataku.

"Ayah!" dia berteriak, dan melompat berdiri, kursi yang didudukinya terlempar ke belakang saat dia berdiri lalu berlari mengitari meja dan melompat dalam pelukanku.

"Ayah!" dia terisak-isak. Aku bisa merasakan kausku basah karena air matanya, dan air mataku menetes ke kepalanya.

"Sekarang aku sudah pulang, Sayang," bisikku. "Bagaimana bisa kamu menganggap aku mau meninggalkan kalian?"

Dia terisak ga terkendali, begitu juga aku, kami berdiri berpelukan seperti itu lama sekali, tanganku membelai punggungnya, sementara Tris, matanya juga basah, sibuk di belakang kami membuat minuman yang selalu menenangkan dikala emosi sedang kacau, teh manis hangat.

Setelah beberapa saat Agnes sudah lebih tenang dan aku duduk di kursi, Agnes duduk di atas lututku dengan lengannya melingkari leherku. Pasti terlihat aneh, seorang gadis yang hampir lulus SMA berumur tujuh belas tahun duduk dipangkuanku, tapi kami ga peduli.

Kami meminum teh yang sudah dibuat oleh Tris, dia duduk di seberang kami dan tersenyum, memandang bergantian aku dan Agnes. Dia memecah keheningan.

"Agnes, Ayahmu harus belajar segalanya dari awal, gimana cara bicara, toilet, makan dan minum, juga berjalan. Dia berusaha terus menerus agar bisa sesehat mungkin. Dia kehilangan seluruh ingatannya, walaupun sekarang sudah banyak kemajuan pesat sejak dia balik ke Serpong."

Agnes menatapku dengan bangga.

"Kita mirip beauty and the beast, kan?" tanyaku.

"Ayah masih tetap laki-laki paling ganteng yang kutahu!" dia menjawab dengan senyum lebar.

"Pembohong!" Aku berseru.

"Kamu adalah Ayahku. Ga ada yang bisa ngalahin Ayah. Ini senang banget hari ini bisa ketemu Ayah lagi," dan dia mulai menangis lagi.

"Cukup! Jangan ada lagi air mata!" Kataku, berusaha sekuat tenaga menahan agar air mataku sendiri ga menetes.

"Emm, Ayah?"

"Ya,Sayang?"

"Ehmm.. Kak Tris bilang kamu pacarnya."

"Yup."

"Apa itu artinya...?"

"Yup."

"Jangan lupa," sela Tris, "Ayahmu mulai pacaran denganku sebelum dia tahu dia punya istri dan keluarga. Dia butuh seseorang untuk mendampinginya. Dan sepertinya sekarang dia sudah ga lagi punya istri. Ibumu sudah move on dan menemukan orang lain."

"Oh," kata Agnes sedih. "Perceraian." Lalu dia berseri-seri, "Tapi sekarang ayah bisa datang dan bicara dengan Ibu."

"Ga semudah itu, Agnes," kataku. "Segala hal sudah berjalan terlalu jauh, dan ada alasan lain yang belum bisa kuceritakan ke kamu kenapa aku belum bisa menemui Ibumu. Kamu masih Ingat kan harus merahasiakan ini?"

Dia mengangguk.

"Aku janji," aku menambahkan, "Aku akan kasih tahu semuanya setelah keadaan sudah aman untuk menceritakannya. Ada banyak hal yang terjadi yang lebih baik kalau kamu ga tahu. Tapi untuk sekarang ..."

"Aku ga akan bikin Ayah kecewa, tapi tolong, temui Leo dan Stefan secepatnya. Mereka ga akur sama Om Hadi, hidup mereka serasa di neraka disana."

"Aku janji."

"Sekarang," kataku. "Sudah waktunya kamu makan kismis bun buatanku,"

Sudah pasti Agnes menangis lagi, mungkin teringat pada kebiasaan kami di masa liburan dulu yang sekarang terasa begitu berharga. Begitu dia makan roti itu, senyumnya kembali menghiasi wajahnya, wajah putriku yang cantik.


---------​


Benar-benar libur panjang yang menyenangkan, aku berhasil mempertemukan Tris dengan Jenni tanpa ada insiden yang buruk, dan hari ini aku sudah mendapatkan putriku kembali, dan disaat itu jugalah aku harus mulai berhati-hati pada semua yang akan kukatakan, jadi aku banyak diam kalau dia ga bertanya. Agnes sudah pasti ingin dengar semua cerita tentang aku sejak aku masuk ke rumah sakit, separah apa lukaku, gimana rasanya koma, saat aku sadar dari koma dan juga panti rehabilitasi.

Dia terus memegang tanganku di atas meja dapur seakan-akan dia merasa aku akan menghilang lagi kalau sampai dia melepaskan tanganku. Untungnya selama itu dia sudah pindah dan duduk di kursi sebelahku, paha dan lututku selamat untuk sementara ini. Aku membiarkan Tris yang menceritakan kronologis perawatanku di rumah sakit dan juga terapi, yang semuanya diceritakan dengan detail, kecuali terapi khusus kami tentunya.

Begitu ceritanya sampai di bagian aku pulang ke Serpong, dia ganti membiarkan aku yang melanjutkan ceritanya. Aku menceritakan pada Agnes tentang apartment, dan juga saat aku muncul lagi di kantor. Dia menertawakan Widya yang pingsan, tertarik dengan cerita tentang asisten baruku, dan iri dengan kepergianku ke Australia. Aku ga cerita soal pertemuan dengan Emma di Singapore. Dia adalah gadis yang cerdas dan dia akan bisa bikin kesimpulan yang belum saatnya dia tahu.

Setelah aku selesai cerita, dia kelihatan memikirkan sesuatu.

"Ayah," dia memulai dengan ragu-ragu, "Kalau Ibu jadi nikah sama Om Hadi, apa boleh aku tinggal di sini sama Ayah? Aku yakin Leo dan Stefan juga pasti mau."

"Yah, kamu sudah umur tujuh belas tahun, seharusnya sudah dianggap cukup dewasa untuk memilih, aku akan tanyakan ke Om Alfon. Soal adik-adikmu aku ga yakin. Hak asuh untuk anak dibawah umur biasanya jatuh pada ibu, tapi aku akan pastikan mereka boleh ketemu dengan aku. Kami harus berunding soal itu, kalau saatnya sudah tiba."

Dia kelihatan puas dengan jawabanku lalu dia mengajak Tris keliling rumah untuk menceritakan kenangannya saat keluarga kami masih tinggal di sini, aku mengikutinya, mencoba mengingat sendiri kenangan dari cerita Agnes.

Lalu telepon berdering. Ponsel Agnes.

"Halo, Bu."

"...Aku sama... teman."

"... Ya, aku tahu, Bu."

"... Bu, aku cuma keluar sebentar, jangan ngomel cuma gara-gara itu."

"... Bu, aku cuma pergi ke Serpong. Ga usah dijemput, aku bisa pulang sendiri kok. Aku nanti mau sekalian ke rumah Om Adrian."

"... Ya sudah. Nanti kita ketemu di depan stasiun Serpong jam dua, puas?"

"... Bye!"

Percakapan itu hanya kudengar dari sisi Agnes saja, tapi menunjukkan banyak emosi seorang gadis yang baru beranjak dewasa : ketidaksabaran, kekesalan pada orang tua yang cerewet, semua terbungkus dalam nada dan cara bicara yang ga sopan.

"Agnes," kataku pelan.

"Ya?"

"Ingatanku banyak yang hilang. Tolong ingatkan aku. Apa seingatmu aku pernah mencontohkan cara bicara seperti itu pada Ibumu?"

"Yah... ga pernah."

"Apa seingatmu aku pernah ngomong sama kamu atau adikmu dengan nada seperti kamu tadi?"

"Ga pernah."

"Jangan dilakukan lagi, Agnes. Itu bukan seperti putri yang kukenal."

"Maaf, Ayah."

"Oke, Sayang," Kami berpelukan dan selesai.

Setelah itu aku pergi keluar untuk membeli ikan dan kentang goreng untuk makan siang, Agnes tampak termenung saat kami makan, aku membiarkannya. Lalu tibalah waktunya dia pulang. Aku mengantarnya ke stasiun dan menurunkannya disana. Saat dia akan turun dari mobil, dia menoleh ke arahku.

"Ayah, aku boleh datang ke rumah lagi?"

"Ya boleh, Sayang. Itu juga rumahmu, kan. Aku akan buatin kunci cadangan."

"Minggu besok?"

"Boleh. kalau kamu ga ada acara lain."

"Oke. Dan, Yah?"

"Ya?"

"Makasih sudah marah."

"Maksudnya?"

"Itu membuktikan kamu adalah ayahku. Om Hadi ga pernah marah, dia ga peduli, atau mungkin takut. Dah!" Dia menciumku lalu pergi.

Aku tahu dia gadis yang baik, dan aku bangga jadi ayahnya

Saat aku balik ke rumah, Tris sedang di taman berlutut di salah satu petak bunga, mencabuti rumput liar yang tumbuh disana. Itu sebenarnya cocok dengan suasana libur panjang seperti ini, cuacanya cerah dan taman itu memang butuh diperhatikan setelah lama ga ada yang mengurusnya. Tapi aku punya pendapat lain.

"Apa kamu ga mau ngelakuin yang lain?" tanyaku.

"Ga tuh," jawabnya dengan senyum senang, "Aku cuma mau punya kenangan di rumah ini bersamamu. Aku ingin kamu ingat aku pernah ada di taman ini dan di tempat tidurmu." dia menyeringai nakal, "Taman dulu, lalu setelah itu tempat tidur."

Jadi kami akhirnya menghabiskan waktu sore itu dan juga sepanjang hari Sabtu untuk berkebun. Di waktu malam kami berpelukan berdua sambil mendengarkan musik jazz dan aku menyempatkan diri untuk membuat sponge cake untuk besok. Kami mandi bersama, saling mengosok dengan diiringi banyak canda tawa, dan naik ke tempat tidur. Kami making love, bercinta dengan lembut dan penuh perhatian, seolah-olah kami harus mengingat momen ini saat kami sudah berpisah satu sama lain. Kami telah berbagi kehangatan, berbagi cinta sejak berbulan-bulan lalu dan semua sudah pernah kami lakukan, jadi kami hanya saling menyatakan rasa nyaman dan menegaskan bahwa kami saling mencintai satu sama lain. Semuanya sangat memuaskan dan rileks, sesuatu yang perlu setelah momen emosional dengan Agnes.

Hari Minggu, Agnes datang tepat saat jam makan siang dan kami memutuskan untuk jalan-jalan ke mall sekaligus makan siang. Agnes terus meminta penjelasan kenapa aku belum bisa bicara dengan Ana. Aku hanya menjawab dengan janji dia akan jadi orang pertama yang tahu cerita lengkapnya setelah polisi memberi izin, dan disaat yang sama aku mengingatkannya lagi betapa pentingnya untuk merahasiakan kehadiranku untuk sementara ini. Dia kecewa, tapi dia ga membantah lagi, mungkin karena tadi aku menyebutkan polisi.

Kami balik lagi ke rumah dan aku menyiapkan cemilan untuk kami, salad buah, french fries, kue dan teh hangat. Suasananya menyenangkan tapi juga aneh. Tris komentar soal kami bertiga kelihatan cocok dan mirip seperti sebuah keluarga, Agnes setuju dengannya.

Aku bertanya pada Agnes apa dia mau menjalani tes DNA, untuk membuktikan bahwa dia adalah putriku. Dengan senang hati dia mau dan aku memberinya alamat klinik yang pernah ditulis Alfon buatku. Minggu berikutnya dia masih libur sekolah karena persiapan Ujian Nasional, jadi dia bilang akan ke klinik itu hari Selasa. Aku memberinya surat agar tagihan biayanya dikirimkan padaku dan aku yang akan membayarnya.

Kami mengantarkan Agnes pulang, dan untuk pertama kalinya aku melihat bangunan besar yang merupakan rumah Hadi. Rumahku di Serpong besar tapi terlihat kecil dibandingkan dengan rumah mewah ini. Agnes mengerutu bahwa dia benci rumah itu dan menganggapnya kandang sapi. Sebelum turun dia mencium pipi Tris dan bilang mereka akan ketemu lagi sebelum Tris berangkat ke Timor Leste, lalu ganti mencium pipiku dan turun dari mobil, berjalan dengan percaya diri seakan melintasi catwalk, pinggulnya terayun dengan menawan.

"Gadis itu akan bikin banyak pria patah hati suatu hari nanti," kata Tris saat kami memandangnya masuk ke dalam rumah. "Cantik dan seksi!"

Seorang ayah kadang harus diberitahu hal-hal semacam itu. Tanpa kusadari putri kecilku sudah hampir jadi wanita dewasa, dan aku memandang kepercayaan dirinya dengan sudut pandang yang baru. “Aku harus ngobrol soal itu dengan gadis muda itu” kataku.

"Kamu ga perlu begitu!" seru Tris. "Gadis itu mungkin seksi dan menarik, tapi aku yakin dia punya moral lebih baik dari yang pernah aku punya, atau sampai sekarang, ya begitulah pokoknya, dia ga akan berakhir seperti aku."

Sesampainya di rumah, kami duduk berdua menghabiskan waktu bersama, mendengarkan musik dengan teh hangat yang menemani. Kami tahu dia harus balik ke Semarang besok, jadi kami habiskan waktu bersama sebaik mungkin.


----------0----------​


Hari Senin Hasan menjemputku jam delapan malam. Jimmy juga sudah ada di dalam mobil. Kami sempat berpikir untuk masuk dan menunggunya dari dekat sambil minum di dalam bar tempat Iwan berada, tapi Jimmy menentang keras dan berpendapat kita sebaiknya menunggu di mobil.

"Kalau tiba-tiba dia pulang, akan terlihat jelas saat kita semua mengikutinya. Aku pikir kalau dia merasa ga ada orang yang tahu dia bersama kita, dia akan lebih mungkin untuk buka mulut."

Aku dan Hasan mau ga mau setuju dengan pendapatnya, dan tetap di dalam mobil, walaupun harus menahan haus, aku menceritakan pada mereka kalau aku sudah ketemu dengan Agnes. Jam sembilan lewat, informan Jimmy memberitahu Iwan sudah bergerak keluar dari bar, dan ga lama kami melihatnya. Rumahnya ga terlalu jauh dari sini dan dia ga bawa kendaraan, jadi dia akan berjalan dan melewati mobil kami untuk pulang. Kejadian berikutnya mirip dengan adegan film gangster. Jimmy membuka pintu depan, menghalanginya, sedangkan aku membuka pintu belakang lalu berdiri di belakangnya.

"Kamu lagi!" dia bicara pada Jimmy.

"Ya. Masuk ke mobil."

"Aku ga punya urusan dengan kalian."

Hasan muncul dari pintu sopir, mengenggam pistolnya. "Masuk atau kami yang harus paksa. Jangan berbuat bodoh!" Mungkin itu cuma gertakan, tapi dia menurut.

Aku mundur dan dia masuk ke jok tengah mobil, aku mengikutinya. Hasan masuk dari pintu di sisi satunya. Jimmy di depan sambil menyalakan alat perekamnya.

"Soal apa ini?" Iwan bertanya dengan wajah cemberut, kelihatan sedikit takut.

"Kamu ingat pembicaraan kita sebelumnya?" tanya Jimmy, "Nah, sekarang kami butuh nama. Siapa yang menyuruhmu dan siapa tiga orang itu?"

"Ga mungkin!" dia berseru, "Aku masih sayang nyawaku."

"Biar aku jelaskan," kata Hasan, "Orang yang duduk di sebelah kirimu adalah orang yang kamu buntuti waktu itu. Perhatikan dia baik-baik."

Dia melihatku dan bergidik.

"Kamu yang mengantarkan aku kepada mereka bertiga,” kataku dengan suara serak, "Dan mereka bertiga dibayar untuk membunuhku, merusak wajahku, dan membuat aku ga bisa dikenali. Mereka pikir mereka berhasil, tapi mereka gagal. Sekarang aku cuma sedikit.. jengkel karena perbuatan mereka, dan perbuatanmu karena sudah membawaku ke mereka, dan semua itu sudah menghancurkan hidupku. Sekarang, dengan info yang dipunya polisi dan apa yang akan mereka dapat, cepat atau lambat polisi akan mencarimu. Membantu percobaan pembunuhan, berapa lama hukumannya, Hasan? "

"Lima tahun? Tapi pembunuhan berencana pasti lebih dari itu." Kata Hasan.

"Dan kalau ternyata kamu divonis ga bersalah, Wan," aku melanjutkan, "Aku akan datang sendiri mencari kamu. Aku mungkin kelihatan lemah, tapi aku ga selemah itu, aku harus kuat supaya bisa selamat kan. Gimana kalau aku buat penampilanmu nanti seperti aku... Iwan?"

Dia mulai gemetar.

"Jadi," kata Hasan, "Kasih tahu kami nama-nama mereka, dan saat mereka ditangkap, kami yang akan pastikan polisi tahu kalau kamu sudah bantu kami."

"Tapi kami bisa jamin bahwa orang-orang itu ga akan tahu soal pertemuan kita malam ini," Jimmy menambahkan. "Sudah pasti, kalau kamu ga mau kasih tahu, kami mungkin bisa bilang kamu sudah melawan saat ditangkap dan terpaksa ditembak. Jadi, gimana keputusanmu?"

Iwan mulai terlihat gelisah, keringat mulai muncul di wajahnya dan dengan terpaksa dia mengangguk.

"Siapa yang menyuruhmu dan berapa kamu dibayar?" tanya Hasan.

"Aku ga tahu. Aku ga bohong. Ada seorang laki-laki yang mendatangi aku. Badannya tinggi besar. Dia janji akan bayar aku dalam jumlah besar kalau aku mau membuntuti... Anda, dan dia bilang akan kasih tambahan kerjaan proyek kalau aku ga cerita ke siapa-siapa."

Dia bicara dengan suara pelan, dia tampak pasrah, "Aku dapat bayaran tiga puluh juta."

"Apa kamu kenal orang itu?"

"Ga kenal. Kalian tahu Hadi Firmanto? Kontraktor, aku sering kerja sama dia. Nah mungkin orang itu teman atau saudara Pak Hadi karena kalau ga salah beberapa tahun lalu aku pernah lihat orang seperti itu di di kantor Pak Hadi. Jadi aku merasa itu orang yang sama."

"Kenapa kamu merasa begitu?" tanya Jimmy.

"Aku sudah lama jadi anak buah Pak Hadi, dan aku beberapa kali lihat orang itu. Jujur aja, jarang ada orang dengan perawakan seperti itu. Tinggi besar, serem lah, karena itu aku ga berani."

"Terus yang lainnya?"

"Yang lainnya apa?"

"Tiga orang yang mau bunuh aku," gumamku.

"Fajar, Teguh, Imam. Mereka semua pegawainya Pak Hadi."

"Mereka dibayar berapa?"

"Mereka sering pamer, bilang mereka dibayar tiap orang seratus juta."

Ada suara kaget dan "Ya Tuhan!"

"Sekarang mobil mereka," kata Jimmy, "Sedan Merah. Merk dan nomor polisi?"

"Soluna, B 2759 XX, tapi sudah ga ada lagi sekarang, ga tahu dijual atau apa sejak mereka balik dari Semarang."

"Kamu tahu mereka pergi ke Semarang?" Hasan mengejar.

"Mereka bilang mereka habis beresin kerjaan disana."

"Jadi kamu tahu mereka sudah membuang aku ke sana," aku mendesis di telinganya, "Dan kamu biarkan istriku menderita, walaupun kamu tahu semua itu!"

"Aku ga kenal istrimu. Tugasku cuma ngikuti kamu di Surabaya."

Tanganku terkepal dan Hasan bisa melihatnya. Dia cepat-cepat bicara.

"Dengar, bajingan, ga lama lagi kamu akan ditangkap polisi, dan mereka juga. Tutup mulut dan mereka ga akan tahu kamu sudah bocorin ini. Kamu kasih tahu mereka dan kesepakatan kita batal, kami akan biarin kamu ketemu mereka di penjara. Ngerti? "

Dia mengangguk, keringat membasahi wajahnya.

"Oke, keluar." perintah Jimmy.

Aku bergeser, dia keluar dari mobil, dan kami pergi.

Perasaan yang aneh. Setelah sekian lama akhirnya aku tahu, kami bertiga tahu, siapa yang sudah mencoba membunuhku, yang mau aku mati. Aku ga peduli apa motif Hadi, apa dia mau merebut istriku, atau uangku, atau keduanya. Dia adalah seorang pembunuh. Terasa aneh karena sampai saat Iwan menyebut nama Hadi Firmanto, aku merasa pencarian kami adalah untuk orang lain. Sekarang, sudah jelas aku punya masalah pribadi dengannya.

Laki-laki yang sudah mencuri hidupku, masa depan keluargaku, istriku, anak-anakku dan orang yang berencana untuk mengambil uangku dan menghancurkan perusahaanku, lalu hidup bahagia bersama istriku, dan lebih buruk lagi istriku hidup bahagia bersamanya, bahagia tanpa sadar bahwa dia sedang tidur dengan laki-laki yang bisa dibilang sudah membunuh suaminya. Lebih jauh lagi dia mempengaruhinya, berpura-pura sebagai teman yang perhatian dan dalam semua itu sudah menipunya dengan cara yang paling efektif. Sekarang dia berencana untuk menikahinya.

Kami pergi ke Crossroad dan mengajak Alfon untuk datang menyusul agar kami bisa memberinya update soal apa yang barusan kami dengar. Kami lalu tenggelam dalam pikiran kami masing-masing, aku curiga mereka semua ingin memastikan aku ga berbuat bodoh. Kami adalah satu tim, dan mereka selalu percaya dan mendukungku selama ini. Tapi dalam hal ini aku sendirian, hanya aku yang jadi sasaran dan menerima dampak langsung dari kejahatan yang direncanakan laki-laki bajingan itu.

"Pernikahan itu ga boleh terjadi," kataku dengan keras.

"Ga, sudah pasti ga boleh," kata Hasan, "Semua informasi tadi akan sampai ke tim kepolisian besok. Seharusnya ga butuh waktu lama untuk menemukan mobil itu. Kita akan cari sampai ketemu."

"Tapi mereka sudah menjualnya," kata Alfon, "Mobil itu bisa di mana saja."

"Ga masalah, kita sebenarnya belum tahu apa mobil itu dijual atau dibuang begitu saja. Tapi asalkan mobil itu masih utuh, kami akan temukan. Lihat saja."

Hasan lalu harus mengantarkan kami semua pulang, aku yang terakhir.

"Kamu ga akan berbuat bodoh, kan?" tanyanya, saat aku akan keluar dari mobil. "Jangan cerita ke Agnes, itu bukan ide bagus."

"Agnes benci laki-laki itu, apalagi sekarang kami sudah bertemu lagi. Dia ga akan membocorkan. Tapi sebenarnya aku mau dia jadi mata-mataku untuk memantau keadaan mereka. Jangan khawatir, aku akan hati-hati."

"Aku tahu, tapi jangan sampai mengacaukan proses penyelidikan."

Aku mengangguk dan mengulangi, "Aku akan hati-hati. Tujuanku cuma untuk menjauhkan atau memisahkan Ana dari Hadi, tapi kalau aku bisa aku mau dia menderita juga."

"Tolong jangan lakukan apa-apa soal Ana sampai kita membereskan kasus ini. Tolong, Errik!"

"Maaf Hasan," kataku dengan tegas, "Aku tetap akan mencoba menghubungi Ana secepat mungkin. Dia dalam bahaya dan aku ga akan biarkan dia menikah dengan bajingan itu."

"Kalau gitu tolong jangan sampai kamu menuduh Hadi sampai kita punya bukti kuat, kamu tahu kan kata-kata seseorang ga bisa begitu saja dijadikan bukti."

Aku ga suka itu, tapi aku bilang akan mencoba, dia pergi dan aku masuk lalu menyiapkan makan malam seadanya dengan menghangatkan roti kismis di microwave. Aku ga lapar tapi ga mau roti itu terbuang. Setelah makan aku duduk dan memikirkan bagaimana cara agar aku bisa menjauhkan Hadi dari Ana, dan sebelum itu bagaimana aku pada akhirnya harus bicara dengan Ana sendiri, orang yang saat ini hampir ga kukenal lagi, dan orang yang dalam hatiku masih kurasakan ada kemarahan padanya.



Bersambung... Chapter XV
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd