Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Pulang

XV.Kemenangan Kecil


Hari Selasa Jenni masuk ke kantor dengan wajah lelah tapi bahagia.

"Berhasil?" Tanyaku

"Oh, ya," jawabnya pelan. "Menegangkan, tapi akhirnya semua selesai, kami bisa bernafas lega. Aku bersyukur aku menuruti saranmu."

Aku lalu menceritakan padanya dan bilang ternyata apa yang dia takutkan benar-benar terjadi, dan bukti terbaru yang kami punya mengarah pada Hadi sebagai orang yang bertanggung jawab atas keadaanku. Dia setuju pernikahan Ana dan Hadi sebisa mungkin harus dicegah. Jenni lalu mencari kontak Ana dari Alfon, Widya, dan juga Susan istri Jeffry. Dia akhirnya mendapatkan nomor telepon kantor tempat Ana kerja.

Aku menelepon. Operator bertanya dari mana.

"Errik Riccardson, mantan suaminya," jawabku. "Aku perlu segera ketemu dengannya."

Aku harus menunggu cukup lama, sebelum operator itu kembali.

"Bu Ana bilang dia ga mau menerima telepon atau ketemu dengan Bapak. Silakan sampaikan lewat pengacaranya." Telepon terputus begitu saja.

Wajah Jenni terlihat marah.

"Sini," katanya, "Biar aku yang telepon."

"Halo," katanya saat tersambung, "Ini PT. Riccardson Global Teknik. Tolong disambungkan dengan Ibu Ana."

"...Sekretaris Pak Jeffry Lukman," Dia lalu menunggu, lalu menyerahkan telepon kepadaku.

"Ana," kataku buru-buru, "Tolong jangan tutup teleponnya. Aku perlu ketemu denganmu. Ini penting."

"Berani-beraninya kamu menipuku seperti ini. Dasar brengsek. Kamu menghilang selama tiga tahun lalu mau bicara denganku?" dia berteriak, "Berani banget kamu. Kita sudah cerai. Nikahi pelacurmu dan jangan ganggu aku lagi."

"Ana," aku memohon, "Kamu harus tahu fakta yang sebenarnya--"

"Aku sudah tahu. Aku bahkan punya bukti foto. Hubungi saja pengacaraku." Dia menutup telepon.

Jenni membuatkan teh untukku. Aku butuh itu. Aku sangat marah. Aku emosi, tapi ga ada gunanya mencoba telepon lagi. Aku harus meminta bantuan Alfon untuk mencoba mempertemukanku dengan Ana.

Sepulang kantor aku mampir ke Kantor Polisi dan menemui Hasan untuk memberikan sampel tes DNA terbaru. Lalu aku pergi ke gym dan melampiaskan amarahku disana sampai tenagaku terkuras. Aku baru sampai di rumah saat Agnes menelepon.

"Ayah, apa kamu tadi telpon Ibu?"

"Ya," jawabku dengan nada datar.

"Yah, itu bikin situasi makan malam jadi menarik," dia tertawa. "Ibu marah besar. Dia bilang ke Om Hadi kalau Ayah tadi telpon lalu dia ngomel terus-terusan soal Ayah.

"Tapi yang lucu adalah muka Om Hadi. Dia pasti ga percaya dan saat Ibu berhenti ngomong untuk ambil nafas, dia bilang itu pasti telepon penipuan. Tapi Ibu membantahnya dengan bilang Ayah mau ketemu dengan Ibu.

"Dia menyarankan Ibu untuk setuju, kalau memang itu beneran Ayah, Ibu akan punya kesempatan untuk negosiasi secara langsung, kalau ternyata itu bukan Ayah, Ibu bisa melaporkannya ke polisi. Om Hadi menganggap Om Alfon yang sudah merencanakannya karena kasus pengadilan sekarang membahas tentang uang, apa namanya, tunjangan? "

"Ya semacam itu," jawabku.

"Ngomong-ngomong, Ibu bilang ga mungkin dia mau ketemu denganmu, setelah semua yang kamu lakukan padanya. Lalu Om Hadi bilang pertemuan itu mungkin akan membuat tuntutan keuangannya selesai lebih cepat kalau kalian bertemu. Ibu marah besar! Dia ga tertarik sama uang, tapi cuma itu yang dibahas sama Om Hadi. Om Hadi bilang Ibu bodoh. Saat itu aku pergi dari ruangan mengajak adik-adik."

"Terima kasih sudah memberitahuku, Sayang," kataku, tanpa antusias, "Kamu ga lupa janjimu untuk merahasiakan ini, kan? Aku harus menyelesaikan semua ini dulu dan segera aku akan bisa memberitahumu seluruh cerita."

"Oh, ngomong-ngomong," katanya sebagai penutup, "Aku sudah ke klinik itu, mereka akan mengirimkan hasilnya langsung ke Ayah."

Kami mengakhiri sambungan telepon dan aku duduk sejenak lalu berpikir.

Kenapa dia begitu marah dan ga mau menemuiku? Oke, mungkin dia masih menganggap aku meninggalkannya, tapi itu dua tahun lalu dan sekarang dia sudah punya pria lain dalam hidupnya. Sepertinya ada kebencian dalam sikapnya padaku. Tentunya setelah dua puluh tahun bersama dan tawaranku untuk menjelaskan semuanya, dia seharusnya ingin mendengarkan penjelasanku? Aku ga bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Ana sendiri yang bisa menjawabnya, bukan aku. Yang seharusnya kupikirkan adalah bagaimana cara untuk menemuinya.

Sering kali saat kita mengingat kembali tindakan yang pernah kita lakukan dulu, pertanyaan yang muncul adalah ‘kenapa’. Kita ingat tindakan 'apa' yang kita lakukan tapi sering mencari tahu alasan - 'kenapa'.

Kenapa aku ga pergi dan menemuinya di kantornya? Aku masih belum tahu jawaban pastinya. Aku tahu aku sangat jengkel dan marah karena sikapnya dan kenyataan bahwa dia ga mencari aku lebih serius dari yang sudah dilakukannya. Sekarang aku makin marah karena penolakannya yang ga masuk akal untuk ketemu dan bicara empat mata denganku. Aku bisa jadi orang yang sangat keras kepala dan ga mau merubah apa yang kuyakini.

Yang jelas, cuma ada sedikit waktu dalam beberapa hari ke depan untuk memikirkan masalah ini. Aku dan akan ditemani Jenni, dijadwalkan akan ke Penang, Malaysia, bertemu dengan klien di hari Sabtu dan itu berarti kami akan berangkat kesana dari hari Jumat. Mereka mau bertemu dan mendengarkan presentasi dari kami hari dan langsung menyelesaikan kontrak hari Senin, jadi kami harus mempersiapkan banyak hal agar ga gagal dalam negosiasi ini. Berunding dengan Jeffry dan dengan kepala teknisi kami, persiapan presentasi, hal-hal biasa hanya saja kali ini semua harus dilakukan dalam waktu singkat.

Hari Rabu malam, Hasan menelepon untuk mengabarkan padaku bahwa mobil Soluna merah telah ditemukan. Mobil itu dulu dikendarai oleh seorang anak laki-laki tanpa surat-surat lengkap, dan karena itu sudah diamankan oleh polisi. Mobil itu ga pernah ditebus oleh pemiliknya dan biasanya akan berakhir sebagai besi tua, tapi saat mendaftarkan nomor polisi mobil itu dalam daftar pencarian, Hasan mendapatkan data bahwa mobil itu sudah ditemukan dan segera tim forensik bergerak mengambil alihnya. Hari itu juga Jimmy sedang pergi entah kemana sehingga ‘kuartet penyidik’ hari ini ga ketemu.

Hari Rabu itu juga aku diberitahu oleh Vivi bahwa hari Jumat besok adalah ulang tahun pernikahanku dengan Ana, jadi aku punya ide untuk mengirim kartu ucapan pada Ana dan disana aku menulis :

Di hari ulang tahun pernikahan kita ini aku mau bilang terima kasih untuk dua puluh tahun yang bahagia, aku berharap kamu bahagia dengan pasangan barumu. Tolong pertimbangkan kembali untuk bertemu denganku, aku bisa menjelaskan kemana aku tiga tahun terakhir ini, aku mau kamu tahu kisah sebenarnya.

Errik.


Hari Kamis, Hasan menelepon lagi, kali ini untuk memberitahu bahwa rekening Hadi sudah dibekukan dan dalam proses pemeriksaan. Dia juga menambahkan bahwa Hadi masih mengira polisi melakukan itu untuk pemeriksaan pajak perusahaannya, dan polisi sendiri ga menjelaskan apapun yang sebenarnya pada Hadi untuk menghindari dia panik dan menghilangkan bukti lain.

Jumat, hasil DNA untuk Agnes sudah keluar. Aku juga sudah mengirimkan sampel DNA ku yang sudah diperiksa di klinik di Semarang ke klinik tempat Agnes diperiksa, dan laporan perbandingannya memastikan bahwa secara resmi bahwa Agnes memang adalah anak kandungku, dan itu jelas akan membantuku membuktikan keberadaanku.

Aku dan Jenni menggunakan penerbangan malam untuk pergi ke Penang, dan Agnes menghubungi ponselku saat aku sedang menunggu taksi ke bandara.

"Hei, Ayah," dia memulai dengan nada kesal. "Bagus!"

"Maksudnya?"

"Kartu!" dia hampir berteriak. "Ibu jadi murka! Dia mengoceh ke Om Hadi soal dia tahu semua yang perlu diketahui tentang perselingkuhanmu.”

"Om Hadi bilang tulisan di kartu itu ga seperti tulisan Ayah, dan itu berhasil membuat Ibu diam dan berpikir sebentar. Dia lalu menyimpulkan ini cuma salah satu trik untuk membuatnya penasaran. Nah, dia bilang, itu ga akan berhasil. Sekarang, dia bahkan makin bertekad untuk ga pernah menemuimu lagi apalagi bicara dengan Ayah."

"Oh." Aku pasti terdengar kecewa karena reaksinya sama sekali ga kuduga.

"Ya Tuhan, Ayah," katanya cukup serius, "Tentunya kamu ga merasa mengirim kartu ucapan akan membantu kan? Sekarang Ayah malah membuatnya makin sulit! Ayah kadang-kadang ga mikir panjang sih."

"Sepertinya memang aku ga mikir baik-baik," jawabku. Aku mengucapkan terima kasih pada Agnes dan bilang kalau taksiku sudah datang lalu menutup telepon



Perjalanan kami ke Penang ga berakhir dengan sukses, selain hari Minggu yang sangat menyenangkan berjalan-jalan keliling Penang dan wisata kuliner di sekeliling kota itu, seks dengan Jenni setiap malam, bahkan Senin pagi. Dia bilang sekarang dia sudah mulai minum pil rutin, tapi aku tetap memakai kondom setidaknya sampai beberapa waktu kedepan untuk memastikan, Itu akan memberikan lebih banyak kebebasan dan spontanitas dalam hubungan seks kami.

Kembali ke urusan pekerjaan, intinya adalah bahwa produk kami adalah produk bagus, tapi mereka ga mau menunggu terlalu lama dan mereka ga mau kami subkontrak ke perusahaan lain, dalam hal itu kami ga sanggup memenuhi. Masalahnya kantor sedang menghadapi banyak order dan punya banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Kami mungkin perlu menambah karyawan dan memperbesar perusahaan, tapi itu semua perlu waktu, dan aku memutuskan untuk membicarakan soal ini dengan Jeffry saat kami sudah pulang. Jenni jelas kecewa karena kegagalan negosiasi, ini pertama kalinya kami mengalami kegagalan sejak dia mendampingiku dalam bagian penjualan. The show must go on, jadi Senin malam setelah kami kembali ke hotel aku memeluknya sebentar untuk menghiburnya dan kami langsung tidur setelah itu.

Hari Selasa pagi kami terbang kembali ke Jakarta, dan aku memutuskan untuk langsung masuk kantor. Ga lama setelah aku sampai di kantor, aku mendapat telepon dari Alfon.

"Kamu ingat kan kalau sidang terakhir dilaksanakan hari Kamis?" dia langsung ke pokok pembicaraan tanpa basa-basi. Aku sebenarnya ga ingat.

"Aku pikir kamu yang menangani soal itu," kataku agak singkat.

"Kabar buruk dari Malaysia?" dia menebak.

"Ya, semacam itu lah, aku bahkan langsung ke kantor untuk menemui Jeffry sekarang."

"Ngomong-ngomong," dia melanjutkan dengan cepat, “Ada kemungkinan kamu harus mengungkapkan identitasmu di pengadilan dan karena itu kamu harus hadir. Just in case, kamu paham kan?"

"Oke," jawabku. “Ada dua hal yang mau kukatakan soal itu. Pertama, aku sudah berusaha untuk menelepon dan mengirim surat pada Ana dan hasilnya dia sama sekali ga mau untuk ketemu denganku. Aku kecewa, dan sekarang aku ga mau ketemu dia kalau dia ga mau menemui aku. Dia bilang semua yang ingin kukatakan harus melalui pengacaranya atau lewat kamu, Alfon sebagai perwakilanku. Jadi aku mau kamu mengatur pertemuan kami, kalau bisa sebelum sidang dilakukan.

"Kedua, oke, aku akan hadir di pengadilan, tapi seandainya aku ga berhasil ketemu dia sebelum sidang, aku hanya akan datang sebagai penonton, kecuali benar-benar diperlukan. Aku ga mau ketemu Ana dalam kondisi di pengadilan seperti itu kalau itu mungkin."

"Oke," jawabnya dengan nada pasrah. "Aku akan mencoba menghubunginya."

"Tapi jangan bilang apa-apa soal seranganku, Alfon. Dia harus ketemu denganku dalam keadaan masih percaya aku sudah meninggalkannya dengan wanita lain. Aku ingin punya kesempatan melihat wajahnya saat dia menyadari kejadian yang sebenarnya. Oh, satu lagi, dalam keadaan apa pun aku ga mau Hadi ikut saat aku bertemu dengan Ana."

"Aku paham."

Setelah itu dia bilang akan mengabariku secepatnya, aku tahu dia akan berusaha memenuhi permintaanku sesulit apapun itu. Tapi tampaknya dia mencoba tapi tetap gagal, dan dia memberitahuku satu jam kemudian.

"Maaf," katanya, "Mantan istrimu masih marah dan dendam sepertinya. Aku ga tahu apa yang kamu tulis di suratmu, tapi yang jelas dia sama sekali ga suka. Aku sudah mencoba segala cara, aku bilang bahwa dia akan dapat kesepakatan yang lebih baik darimu kalau dia mau menemui kamu. Gagal, dia bilang biar pengadilan yang memutuskan soal itu. Aku bilang padanya bahwa aku merasa pengadilan justru akan memutuskan dia berhak dapat lebih sedikit dari yang selama ini sudah kita berikan. Dia ga peduli. Aku mencoba bilang kamu punya penjelasan yang akan mengubah pikirannya soal kamu. Dia juga ga tertarik."

"Oke. Kalau gitu kita tunggu keputusan pengadilan dan setelah itu coba menghubungi dia lagi. Kalau apa yang kamu bilang itu benar dan dia dapat lebih sedikit dari yang dia dapat sekarang, dia mungkin lebih bisa menerima tawaranku untuk ketemu."

"Mungkin seperti itu, tapi Hadi pasti mempengaruhinya, lagipula, dialah yang sebenarnya butuh uang tunai sebanyak-banyaknya."

"Kita lihat saja nanti."

Sepanjang sisa hari Selasa dan Rabu aku membahas perlunya perusahaan untuk dikembangkan lebih lagi bersama Jeffry. Kami akhirnya memutuskan bahwa itu memang tindakan yang diperlukan dan akan membutuhkan uang kami sendiri. Kami merasa bank ga akan tertarik untuk mendanai dan memang sebaiknya melibatkan pihak lain jadi opsi terakhir kami. Aku menelepon Alfon dan memberi tahu dia tentang rencana itu dan kami membuat perkiraan nominal angka yang dibutuhkan, juga proses apa saja yang dibutuhkan. Dia menyinggung, investasi semacam itu yang akan mempengaruhi posisi hartaku yang sedang dalam sengketa dengan pihak Ana harus disampaikan ke pengadilan, dan itu berarti sangat mepet untuk sidang putusan di Hari Kamis. Dia sedikit mengeluh, tapi akan melakukan update secepatnya.

Dia mengakhiri telepon dengan mengatakan bahwa dia sebenarnya sudah mengajukan penundaan sidang dengan alasan ada pemeriksaan dari kepolisian pada Hadi, yang merupakan pasangan Ana saat ini, tapi ditolak oleh pengadilan.



Jadi keesokan harinya aku hadir di pengadilan. Mantan istriku jelas berniat untuk membuatku membayar mahal ketidakhadiranku selama hampir tiga tahun dan sudah menyebabkan begitu banyak penderitaan. Aku menganggap di saat yang sama dia juga ingin membantu laki-laki yang dia rasa sudah mendukungnya selama aku menghilang, meskipun alasan kedua ga sampai lebih besar dari kemarahannya padaku.

Kami hadir disana lebih awal dan aku duduk di barisan belakang kursi pengunjung. Hadi, Ana, dan tim pengacara mereka tiba. Pasangan itu memperhatikan kehadiranku dan kelihatan jelas mereka penasaran kenapa aku ada di sana. Aku tersenyum lebar pada Ana, tapi dia tidak membalasnya, membuatku sedikit jengkel. Aku dalam versi cacat ini, ga pernah berbuat salah padanya, aku telah bersikap sopan padanya, dan dia mengacuhkan aku. Itu memperkuat tekadku untuk mengungkapkan identitasku padanya dengan caraku sendiri, dan dalam waktuku sendiri.

Ada sejumlah pernyataan dan prosedur hukum yang berlangsung sengit di sidang ini. Ada adu argumen dan debat dari pernyataan terakhir yang dilakukan oleh pengacara dari kedua belah pihak, yang sebagian besar isinya ga bisa kuikuti dan pahami dengan baik. Daftar aset yang diajukan kedua belah pihak sudah ada di hadapan hakim, dan harus diuraikan dan diperjuangkan dalam debat dalam beberapa seri sidang sebelumnya.

Pengacara Ana yang memulai karena Ana adalah pihak penggugat. Dari sedikit yang aku pahami, aku membuat kesimpulan bahwa apa yang Ana tuntut adalah lebih dari setengah dari apa yang kumiliki, entah itu sudah dihitung matang atau dia hanya mengira-ngira sebanyak apa hartaku. Hartaku bernilai sekitar enam puluh Milyar Rupiah dalam berbagai bentuk, uang, saham, rumah, dan sebagainya. Dan dia menuntut senilai empat puluh milyar, tiga puluh untuknya karena dia sudah menikah dan bersama denganku selama dua puluh tahun dan sepuluh milyar untuk anak-anak kami yang akan didepositokan atas nama mereka.

Hal selanjutnya yang aku pahami dengan jelas, dan itu membuat aku gelisah, adalah tuntutan berikutnya. Salah satu pengacaranya, seorang wanita dengan artikulasi yang tajam dan tenang, menyatakan bahwa Ana harus mendapatkan setengah bagian dalam kepemilikan perusahaanku. Itu berarti empat puluh persen dari saham perusahaanku. Karena perusahaanku adalah perseroan terbatas, itu berarti dia akan berhak untuk memberikan pendapat, atau suara pada setiap pengambilan kebijakan di perusahaan.

‘Pengacaraku' mendengarkan sambil memeriksa daftar aset bersama hakim dan hanya menambahkan bahwa perusahaan sedang dan akan butuh uangku untuk berkembang – terkait dengan pengembangan perusahaan yang beberapa waktu lalu kuceritakan pada Alfon. Itu berarti nantinya akan lebih banyak lapangan kerja yang dibuka, dan pada akhirnya akan menyebabkan lebih banyak keuntungan buat Ana seandainya dia dapat bagian saham di perusahaan meskipun beberapa milyar dari hartaku akan dipakai untuk ekspansi itu. Dia menceritakan sedikit pada hakim mengenai sejarah perusahaan dan bagaimana perkembangannya dari awal dulu.

Setelah beberapa jam yang alot dan tambahan informasi dari Alfon tadi, sidang dihentikan selama dua jam. Aku bersama Alfon dan seorang anggota timnya keluar dan membeli segelas kopi. Mereka bilang bahwa dari apa yang sudah mereka sampaikan dalam sidang terakhir hari ini tadi dan sidang-sidang sebelumnya, hakim, kemungkinan besar akan mendukung kami. Alfon bahkan merasa yakin hasilnya akan berpihak pada kami.

Dia benar.

Butuh beberapa waktu bagi hakim untuk membacakan putusan, tapi berbeda dengan tadi, kali ini aku bisa memahami sebagian besar apa yang disampaikannya.

Dia bilang dalam catatannya, bahwa rumah kami itu telah dijual dan semua hasil penjualannya diberikan pada Ana, dan ini lebih dari seharusnya. Sejak aku ‘membeli’ kembali rumahku sendiri, aku secara nyata telah memberinya setengah dari hasil penjualan yang seharusnya menjadi hakku dan itu berarti aku sudah memiliki secara penuh rumah itu. Hal ini menimbulkan keresahan di kubu Ana. Dia kelihatan marah, dan Hadi terlihat bingung. Sebelum hakim mengatakan itu, dia sama sekali ga tahu kalau akulah yang sudah 'membeli' rumah itu.

Hakim lalu menyatakan bahwa Ana sekarang sedang menjalin hubungan baru, akan menikah sebentar lagi dan punya penghasilan besar dari pekerjaannya sendiri. Oleh karena itu, dia memutuskan bahwa aku ga perlu membayar biaya tunjangan hidup untuk Ana, walaupun dia tetap meminta aku untuk membayarkan tunjangan bulanan untuk ketiga anakku itupun besarnya hanya sepertiga dari apa yang sudah kuberikan padanya selama ini dan juga tunjangan dalam bentuk deposito untuk ketiga anakku masing-masing 5 milyar yang bisa dicairkan saat mereka dewasa. Dia juga bilang bahwa kalau suatu saat anak-anak memutuskan untuk tinggal bersamaku pada tahap apa pun, biaya tunjangan yang harus kubayarkan boleh dihentikan.

Di sisi lain, Ana berhak mendapatkan bagian saham dalam perusahaanku. Aku harus mentransfer 30% kepemilikan sahamku kepadanya. Tapi sebagai perseroan terbatas dia cuma bisa menjual sahamnya kepadaku atau Jeffry. Dia akan berhak dapat dividen, tapi ga bisa mencairkan aset perusahaan. Jadi secara umum, dia akan punya 24% saham, aku sendiri masih punyai 56% dan sisanya Jeffry 20%.

Karena jatah pembagian dari dividen untuk Ana akan meningkat kalau perusahaan tumbuh lebih besar, hakim bilang dia akan mengizinkan aku menginvestasikan hartaku untuk membesarkan perusahaan sebelum dibagi dua sama rata dengan Ana.

Ada wajah-wajah yang terlihat khawatir di meja Ana. Yah, setahuku, Alfon memang sudah memperkirakan dan menyampaikan kepadanya soal semua kemungkinan.

Tapi hakim belum selesai.

"Akan tetapi," kata hakim, "Bahwa saat ini sedang ada penyelidikan polisi mengenai kasus Bapak Errik Riccardson. Oleh karena itu, aku menyatakan bahwa sementara ini pihak tergugat hanya wajib untuk membayaran biaya perawatan anak-anak, sedangkan sisa keputusan akan ditunda sampai penyelidikan itu selesai. Karena itu, aku memutuskan untuk menunda proses ini tanpa batas waktu."

Jadi kesimpulannya, Ana dan Hadi ga akan dapat apa-apa sampai kasus penyeranganku terungkap dan para pelakunya tertangkap dan disidangkan. Ada banyak perdebatan sengit dan bisik-bisik antara Ana dan Hadi dan tim pengacara mereka.

Aku ga bisa membantah bahwa aku merasa cukup puas atas keputusan dari hakim. Aku mungkin akan kehilangan sebagian kepemilikan sahamku, tapi semua itu baru akan terjadi setelah kami tahu siapa yang mencoba membunuhku. Kalau mereka terlibat, mereka ga dapat apa-apa, tapi kalau mereka ga terlibat, aku akan harus memberikan 24% saham perusahaan pada Ana, setidaknya aku dulu pernah akan memberikan jauh lebih besar dari itu untuknya. Aku juga mungkin harus menyerahkan setengah hartaku kepada Ana, tapi aku lebih peduli pada kepemilikan sahamku karena itu akan mempengaruhi kehidupan banyak orang karyawanku dan keluarga mereka. Aku bahkan sangat senang saat aku menyadari kemungkinan lain, sekarang mungkin dia akan setuju untuk bertemu denganku.

Aku tahu Alfon pasti berusaha sekuat tenaga untuk ga langsung memberi selamat untukku, dia menahan diri dan menyimpan seluruh kegembiraannya sampai saat kami duduk di cafe setelah pulang dari pengadilan.

"Aku ga percaya hakim memutuskan seperti itu!" kata Alfon antusias.

Rekannya kelihatan lebih sombong, "Sudah kubilang dia pasti akan berpihak pada bukti-bukti yang kita punya," katanya. "Hakim punya wewenang untuk membuat keputusan apapun, tapi aku yakin dia akan adil dan melihat bukti-bukti yang kita punya. Alasan perceraian karena kehadiran wanita lain sama sekali ga terbukti dan aku rasa dia menyadari unsur keserakahan dalam tuntutan dari pihak mantan istri Anda. Aku ga bilang ini sebagai hukuman untuk dia, tapi kenyataannya hampir seperti itu."



Kami lalu berpisah dan aku mampir ke rumah sakit untuk menjalani fisio rutin. Malam harinya aku sedang bersantai d rumahku untuk memulihkan diri dari efek fisio terapi sore tadi saat Agnes menelepon.

"Ayah, keadaan di rumah sangat hening, mereka bahkan ga tahu kalau aku keluar ke halaman sebentar. Mereka terus-terusan membahas soal putusan pengadilan pagi tadi. Ibu kelihatan sangat sedih. Apa benar mereka sudah kalah dalam kasus ini?"

"Nah, Sayang, sebenarnya ini bukan soal menang atau kalah, mereka cuma gagal dapat apa yang mereka mau."

"Oh iya, Ayah. Ibu dan Om Hadi membicarakan kasusmu yang disebutkan di pengadilan, dan mereka membicarakan tentang kepulanganmu. Om Hadi mengira polisi sedang mengusut tentang seorang penipu dan akan menangkapmu dan Om Alfon karena penipuan, tapi Ibu merasa Ayah memang benar-benar pulang dan ini bukan soal penipu yang mengaku-ngaku sebagai Ayah. Yang jadi masalah adalah Stefan dan Leo dengar mereka membicarakan soal Ayah. Mereka sedih dan kecewa karena Ayah ga menemui mereka.”

Dia berhenti.

"Apa boleh aku mengajak mereka ke rumahmu?"

"Ya, memang sebaiknya begitu, aku juga sudah kepingin ketemu dengan mereka. Besok bisa?"

"Oke, aku akan mengajak mereka kesana besok."

"Agnes, sebelum mereka bertemu denganku, kamu harus memberitahu mereka tentang penampilanku sekarang. Ceritakan pada mereka pada saat perjalanan kesini, jangan di rumah, dan pastikan mereka janji untuk merahasiakan kedatangan kalian kesini. Semuanya sudah hampir selesai. Aku akan ceritakan semua yang aku tahu saat kamu datang sendiri lagi."

"Ok, Ayah." Dia terdengar ceria. "Sampai jumpa besok."

Aku tertarik dengan apa yang dipahami oleh Hadi soal ucapan hakim. Dia jelas meyakini aku sudah mati dan ga akan kembali lagi. Pasti dia sangat kaget saat mendengar hakim ga bilang apa-apa soal kematianku, bahkan menyebutkan bahwa aku sudah membeli kembali rumahku. Tapi entah dia bodoh atau apa dia masih ga sadar kalau polisi mencurigainya terlibat dalam kasus ‘kepergianku’ itu. Selain soal itu, aku sadar bahwa Agnes pantas dan bahkan perlu untuk tahu semua yang aku tahu. Aku berharap dia bisa merahasiakan semua sambil mengawasi mereka dari dekat.

Keesokan harinya hari Jumat dan seperti biasanya Jenni akan datang sepulang kerja untuk menginap saat weekend, tapi saat dia tahu Agnes dan kedua anak laki-lakiku akan datang, dia dengan senang hati menunda kedatangannya ke rumahku dan menunggu sampai anak-anakku pulang sebelum dia datang kemari.

"Mereka sudah pasti akan punya beban berat untuk menerima kehadiranmu dengan penampilan baru," katanya sambil tertawa, "Akan sangat berat kalau harus menerima kenyataan kamu sudah punya pacar, dan bahkan, kalau dipikir-pikir lagi, Agnes akan harus menerima kenyataan bahwa kamu, ayahnya punya dua orang wanita sebagai pacar. Walaupun bisa jadi dia justru akan kagum."

Aku bilang pada Jenni, itu ga mungkin terjadi, tapi berterima kasih atas perhatiannya dan analisanya pada situasi yang mungkin terjadi.

Jumat sore aku pulang lebih awal dan mampir ke gym dalam perjalanan pulang dari kantor. Aku tahu aku mungkin terlalu memaksakan diriku soal fisioterapi dan gym, tapi itu penting untuk kemajuan pemulihan fisikku. Tubuhku menjadi kencang dan otot-ototku semakin kuat, membantu untuk ‘mengikat’ tulang-tulangku yang sedikit rentan karena pernah patah di beberapa tempat. Semua itu hasil kerja keras dan sejauh ini mendominasi aktifitasku di waktu luang. Aku bahkan merasa, latihanku mempengaruhi daya ingat dan juga pemulihan mentalku dengan membuat ku lebih tenang, mengalihkan perhatian dari hal-hal yang membuatku stres berlebihan.

Aku sudah selesai mandi, dan sedang mempersiapkan beberapa kue bikinan sendiri yang sudah kubuat sebelumnya ketika kudengar bel pintu berbunyi. Saat aku membuka pintu, aku segera bisa mengenali mereka. Mereka kelihatan jauh lebih besar dan lebih tinggi dari yang kukira. Leo anak keduaku, menatapku dan bibirnya bergetar. Stefan berdiri dibelakang kakaknya sambil memegang tangan Agnes dan tampak ketakutan. Kami berempat hanya berdiri diam beberapa detik di depan pintu masuk tetapi terasa lama sekali.

"Ayo, masuklah anak-anak," kataku, bergeser kesamping dan memberi jalan untuk Agnes yang menuntun adik-adiknya ke ruang tamu. Setelah melewati pintu, mereka segera mencair. Keduanya lari dan naik tangga ke kamar mereka di lantai dua. Kami bisa mendengar teriakan berisik mereka saat menemukan barang-barang yang sudah mereka tinggalkan, dan poster mereka masih menempel di dinding. Agnes kelihatan jengkel melihat tingkah mereka.

"Mereka masih anak-anak, Agnes," aku menegurnya, "Beri mereka kesempatan."

Beberapa saat kemudian mereka beriringan menuruni tangga dan masuk ke dapur.

"Kue Stef!" teriak Leo. "Kue buatan Ayah!"

Kami mengikuti mereka ke dapur. Leo langsung mengambil beberapa potong kue, begitu juga Stefan yang mengikutinya. Agnes dan aku saling tersenyum. Suasana kaku sudah pecah. Mereka sudah merasa ada dirumah sendiri.

"Duduk dulu, anak-anak," kataku, dan mereka duduk di tempat mereka biasa duduk di meja makan. Aku mengambil tempat duduk di seberang mereka dan Agnes duduk di sampingku setelah mengambilkan segelas susu untuk mereka masing-masing dari lemari es.

"Aku ingat kue ini, Ayah," kata Stefan malu-malu.

Aku tersenyum lalu Leo tersedak saat meminum susunya. Aku mengangkat alis, atau setidaknya disanalah alisku seharusnya berada dulu. Tapi wajahku pasti kelihatan lucu karena kedua anak laki-laki itu tertawa terbahak-bahak. Agnes tersenyum rikuh, dan aku meletakkan tanganku di atas tangannya.

“Ayah, mukamu kelihatan lucu banget pas lagi senyum,” Leo masih tertawa. "Agak miring!"

"Syukurlah kalian menganggap itu lucu." Aku tersenyum, itu lebih baik daripada mereka takut melihatku.

"Apa sakit saat orang-orang itu memukulmu?" tanya Stefan, mulai percaya diri di dekatku.

"Maaf, Stefan," jawabku. "Aku ga ingat apa-apa tentang kejadian itu."

"Agnes bilang kamu koma selama hampir setahun," tambah Leo.

Setelah itu pembicaraan kami mengalir dengan topik tentang masa pemulihanku, dan kedua anak lelaki itu benar-benar sudah merasa rileks. Mereka bahkan hampir kelihatan bangga pada Ayah mereka yang babak belur tapi berhasil selamat, namun pada akhirnya pertanyaan sulit mulai muncul dari mereka.

"Sekarang kamu sudah balik lagi, Ayah," Stefan memulai, "Apa kamu akan mengajak Ibu pulang kesini juga?"

"Stefan, ga segampang itu," kataku padanya. "Ibu sudah sama orang lain sekarang. Kami sudah berpisah dan dia akan menikah dengannya minggu depan. Jadi ga mungkin kan aku mengajak Ibu kembali kesini?"

"Tapi saat dia melihatmu, dia akan sangat menyesal dan dia akan batalin pernikahan dan kalian bisa bersama lagi." Logikanya sempurna untuk anak berumur sepuluh tahun.

"Aku juga berharap segala hal akan berjalan semudah itu, Nak," jawabku, mencoba sebisaku untuk mencari cara menyampaikan berita buruk ini selembut mungkin. "Sudah dua tahun kami berpisah dan dia mencintai Hadi sekarang."

"Tapi dia ga asyik!" kata Leo meledak, anak laki-laki yang beranjak remaja dan semakin frustrasi dengan jawabanku. "Ayah ga tahu. Dia ga pernah menganggap kami ada. Dia cuma memandangi Ibu terus-terusan. Bikin aku mual!" Dia membuat suara orang muntah dan dua anakku yang lain tertawa.

"Betul, Ayah," kata Agnes. "Aku yakin Ibu ga terlalu bahagia. Menurutku dia mau menikah dengan Om Hadi karena cuma dialah yang terbaik dari kandidat yang bisa dia temukan. Dia ga pernah menyanyi saat dia berada di rumah seperti dulu lagi."

"Ga seperti Ayah dan Ibu yang sering ketawa," Stefan menambahkan.

"Dan kalian dulu sering saling usil satu sama lain, dan kalian selalu bercanda. Jujur mereka sekarang bosenin!" kata Leo.

Aku sedih mendengarnya. Gambaran tentang keluarga membosankan tanpa humor itu terasa menyakitkan. Aku ingat saat kami menghabiskan waktu bersama sebagai keluarga, becanda, saling menjahili, bermain di taman.

"Dan," tambah Agnes, "Dia ga pernah membantu pekerjaan di rumah. Ayah dulu memasak, bersih-bersih dan bahkan menyetrika baju. Ayah membagi pekerjaan dengan Ibu, kalian mengajarkan kami untuk melakukan semuanya sendiri, karena itu kita ga pernah punya pembantu, atau sopir, atau tukang kebun. Sekarang laki-laki itu cuma pulang berleha-leha di sofa, dan karena dia mungkin ga punya uang untuk membayar orang lain, jadinya Ibu yang harus melakukan semua pekerjaan rumah sendiri, tapi dia juga masih harus pergi kerja. Aku curiga dia mengajak Ibu pindah kesana sebenarnya untuk itu, aku sering membantu Ibu sih, tapi tetap saja.."

"Ayah?" Kata Leo sebelum aku sempat berkomentar.

"Ya Leo?"

"Kalau Ibu menikah sama Kerbau...”

"Kerbau?”

"Itu sebutan kami buat dia, dia bodoh dan malas" Stefan menyeringai. Agnes juga tersenyum malu.

"Terusin Leo," kataku, ga mau komentar.

"Kalau Ibu menikahinya, aku ingin pulang kesini dan tinggal bersamamu."

Nah, sudah mulai.

"Aku juga mau!" sahut Stefan. "Boleh kan?"

Sekali lagi aku ga bisa menjawab.

Aku masih memikirkan jawaban yang cocok saat Agnes menambahkan sesuatu yang mengkhawatirkan.

"Aku juga mau tinggal bersamamu, Ayah," dan lalu menambahkan dengan suara pelan, "Aku ga suka caranya menatapku."

Aku pura-pura ga dengar kalimat terakhirnya meskipun itu membuatku khawatir. Pada tahap tertentu aku harus menindaklanjuti soal itu.

"Anak-anak," kataku, "Kalau semua terserah aku, kalian bisa datang dan tinggal di sini dan aku ga keberatan dengan itu, tapi apa kalian tega meninggalkan Ibu kalian? Dia menyayangi kalian, kalian tahu itu kan? Dan sebelum itu kita harus menuruti keputusan dari pengadilan. Ibu yang mendapatkan hak asuh kalian karena kalian masih anak-anak, dan aku cuma punya hak akses untuk bisa menemui kalian. Kalau mau merubah itu, Ibu kalian pasti ga akan setuju."

Mereka diam dan cemberut sedih.

"Maaf," tambahku. "Bukan aku yang membuat peraturan."

"Tolong, Ayah," kata Agnes. "Tolong bicara sama Ibu. Dia akan menikahinya minggu depan. Aku yakin Ibu akan berubah pikiran kalau dia bisa ketemu denganmu. Pernikahan itu salah dan ga seharusnya terjadi."

Dalam hati aku setuju. Saat dia tahu alasan sebenarnya, dia akan tahu betapa salahnya pernikahan itu, tapi sekarang belum waktunya untuk memberitahunya.

Tapi, sudah waktunya untuk membicarakan strategi dengan anak-anakku. Aku menjelaskan pada mereka bahwa ada hal-hal yang sedang terjadi yang tidak seharusnya diketahui oleh ibu mereka dan aku ga bisa mengambil risiko menceritakan pada mereka dan ada kemungkinan mereka membocorkannya tanpa sengaja. Tapi, mereka akan segera tahu cerita lengkapnya. Aku juga bilang bahwa aku sudah mencoba beberapa kali untuk menemui Ibu mereka tapi dia menolak.

"Dia sangat marah padaku," kataku pada mereka, "Karena perbuatan yang menurutnya telah aku lakukan, tapi aku ga bisa menceritakan keseluruhan ceritanya karena itu akan membocorkan beberapa penyelidikan yang sedang dilakukan polisi. Begitu aku tahu sampai dimana hasil penyelidikan mereka dan aku bisa, aku akan mencoba lagi untuk menemuinya dan setelah itu mungkin aku akan membuatnya kaget dengan cerita yang sebenarnya."

"Om Hadi merasa kasus Ayah yang sedang diselidiki polisi adalah karena Om Alfon menyuruh orang berpura-pura jadi Ayah," kata Leo.

"Yah, sebenarnya bukan itu yang diselidiki," jawabku, "Tapi aku belum bisa bilang apa-apa sekarang."

"Apa boleh kami bilang ke Ibu kalau kami sudah ketemu dengan Ayah?" tanya Agnes. "Siapa tahu dia jadi mau ketemu kalau dia merasa Ayah ingin merebut kami darinya."

Aku ga pernah kepikiran ide itu. Ada risiko mereka akan bicara terlalu banyak. Kalau Hadi sampai tahu bahwa aku masih hidup tapi terluka parah, dia akan jadi waspada, dan bisa jadi dia mungkin akan memberi tahu orang-orang yang sudah menyerang aku.

Aku memutuskan untuk mengambil risiko.

"Oke," kataku, "Kalian bisa bilang ke Ibu kalau kita pernah ketemu, tapi ada aturannya. Anak-anak, aturan ini sangat penting dan kalian harus selalu ingat. Satu kesalahan dan kalian bisa merusak penyelidikan polisi. Jangan bikin aku kecewa."

"Kami janji ga akan lupa aturannya, Ayah," mereka menegaskan. Aku berharap mereka bisa menepati janji itu.

"Aturan pertama," kataku. "Jangan menceritakan seperti apa penampilanku. Aku sehat dan segar bugar, cuma itu yang perlu dia tahu. Aku yakin dia tahu di mana aku tinggal sekarang, tapi dia ga boleh sampai tahu soal luka-lukaku. Apa kalian paham?"

Mereka bingung, tapi mengangguk.

"Aturan kedua. Masih terkait dengan aturan pertama, jangan cerita soal Ayah dipukuli orang. Kalau Ibu tanya apa Ayah bilang kemana aku pergi selama ini dan meninggalkan kalian, kalian bisa bilang ke Ibu untuk bicara langsung denganku agar dia tahu cerita yang sebenarnya terjadi. Kalian bisa jadi saksi aku ga meninggalkan kalian karena wanita lain. Tapi, kalau dia mau bukti suruh dia ketemu langsung dengan Ayah. Yang pasti, dia ga boleh sampai tahu kalau Ayah sudah dipukuli orang. Oke?"

Mereka mengangguk.

"Aturan ketiga. Jangan cerita informasi yang ga dia minta. Jawab pertanyaan dari Ibu, tapi kalau dia ga tanya kalian ga perlu cerita apa-apa. Mengerti?"

Mereka mengangguk lagi.

"Kalau dia tanya apa aku sama wanita lain saat ini, Leo dan Stefan, bilang kalian ga tahu. Agnes tahu. Jadi bilang ke Ibu untuk tanya ke Agnes. Tapi kalian bisa lihat, ga ada orang lain yang tinggal di sini bersamaku saat ini.

"Tolong anak-anak," aku memohon, "Jangan mengecewakan Ayah dalam hal ini. Kalau ini sampai bocor, kalian bisa merusak banyak penyelidikan polisi yang sedang mencari siapa yang sudah melakukan ini ke Ayah. Oke?"

Untuk pertama kalinya sejak mereka tiba, Leo datang mendekat memutari meja dan memelukku. Aku terharu. Ga gampang bagi seorang anak remaja untuk melakukan itu. Stefan menganggap itu sebagai tanda dan mengikuti kakaknya lalu duduk di pangkuanku, lengannya melingkari leherku. Aku menahan air mata. Mata Agnes berair. Kami menjadi satu keluarga lagi, retak, tapi tetap utuh.

Hari sudah mulai malam dan sudah waktunya untuk mereka pulang. Sebelum mereka pergi, mereka memelukku dan Agnes mencium pipiku.

"Agnes," bisikku. "Datanglah lagi secepatnya. Ada yang harus kuceritakan padamu."

Dia mengangguk dan tersenyum dan mereka pergi.



Bersambung... Chapter XVI
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd