Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Pulang

XVI. Pernyataan Diri


Aku sekali lagi memikirkan apakah yang kulakukan sudah benar. Aku terus kembali ke perasaan bahwa mungkin lebih baik kalau aku menjauhi Ana dan membiarkan dia melanjutkan hidupnya tanpa aku, bahkan kalau seandainya dia ga bersama Hadi. Dia wanita yang menarik dan pasti akan dengan mudah menemukan laki-laki lain menjadi pendampingnya, dan dari pengalaman sebelumnya dengan Hadi, ga butuh waktu lama baginya untuk bisa berada di ranjang pria lain.

Aku menampar pipiku dan menghilangkan pikiran itu. Walaupun aku benci perbuatannya, tapi aku ga boleh mengabaikan fakta bahwa dia sudah menunggu satu tahun dan sepertinya sudah menolak pendekatan dari Hadi selama masa sebelum itu.

Di sisi lain, aku ga bisa membayangkan dia akan menerima penampilan burukku. Aku sendiri ga menikmati hidup dengan wajah seperti wajahku, juga tidak menikmati tubuh yang penuh bekas luka dan rusak seperti yang kupunya sekarang. Oke, memang peralatan seksualku masih berfungsi (aku sudah buktikan dengan tanganku sendiri berkali-kali cuma untuk memastikan, dan lebih lagi Tris dan Jenni sudah pernah merasakannya), suaraku ga terganggu meskipun nadanya sudah berubah, dan anehnya, di wajah yang hampir sepenuhnya direkonstruksi, bibirku tidak tersentuh, masih sama seperti dalam fotoku yang lama. Di pihak lain, aku tahu aku sendiri akan menolak Ana. Aku ga akan bisa hidup dengan belas kasihannya, bukan cinta. Aku ga merasa hubungan seperti itu akan berhasil.

Kalau dipikir lebih jauh lagi, dia seperti ga percaya sama aku. Dia malah percaya pada semua yang dikatakan oleh tikus itu padanya. Tidak. Aku ga bisa membayangkan kami akan bersatu lagi, tapi aku akan pastikan dia tahu siapa Hadi dan apa yang sudah diperbuatnya sebelum dia masuk penjara.

Aku bisa merasakan gelombang depresi muncul lagi dan menyerangku. Aku merasa putus asa dan takut harus sendirian seumur hidup. Wanita mana yang mau dengan seorang laki-laki cacat yang mengerikan? Aku ga bisa berharap pada Jenni, dia pantas dapat laki-laki yang lebih baik. Aku putus asa dan menangis.

Pikiran-pikiran dan kekecewaan pada kondisiku sendiri berputar dalam kepalaku, lalu berhenti karena suara telepon. Dari Jenni.

"Apa kamu sudah siap menyambutku?" tanyanya dan aku sadar bahwa waktu sudah berlalu dan sekarang sudah cukup larut.

"Ya," kataku, meskipun suaraku ga terdengar bersemangat.

"Aku bakal sampai sana beberapa menit lagi."

Dan begitulah yang terjadi beberapa menit kemudian. Dia memelukku dan tanpa sadar aku menangis lagi, jadi dia menuntunku ke tempat tidur dan dalam waktu singkat aku tertidur dalam dekapan dadanya yang hangat dan belaian tangannya di kepalaku.

Kami menghabiskan waktu sepanjang weekend berdua saja. Aku setengah berharap Agnes akan datang lagi tapi ga ada kabar apapun darinya, membuatku penasaran dengan apa yang terjadi disana.

Seperti Tris, Jenni tahu cara untuk membangkitkan semangatku. Dia melakukan semua itu di tempat tidur, di kamar mandi dan balik ke tempat tidur lagi, tapi ga cuma untuk itu dia ada disini, dia juga mengajak aku jalan-jalan dan mau mendengarkan semua keluh kesahku tentang apa yang sudah terjadi ataupun yang ga terjadi, terutama soal semua penolakan Ana untuk bertemu langsung denganku.

Aku bilang pada Jenni bahwa aku hampir yakin harus meminta Alfon untuk menceritakan yang sebenarnya pada Ana, dan saat itulah dia memberikan saran yang menarik.

"Kalau kamu mau ada orang lain yang menceritakan semua padanya, orang yang paling tepat adalah Tris. Dia secara pribadi terlibat dekat denganmu sejak kamu diantarkan ke rumah sakit. Kenapa kamu ga coba meminta bantuannya?"

Aku merasa idenya bagus dan memuji kecerdasannya.

"Karena Itu aku jadi asistenmu, dan juga selirmu!"

"Oh! Jadi aku punya selir sekarang?" Kataku sambil tertawa

Kami lalu kembali bergumul di tempat tidur, saling memuaskan satu sama lain

Setelah itu dia menambahkan satu lagi ide.

"Kenapa kamu tanya ke Agnes, lewat SMS, apa ibunya punya pesta pranikah, semacam pesta lajang? Aku tahu dia sudah pernah menikah, tapi siapa tahu saja, dan mungkin itu kesempatan terakhir untuk membatalkan pernikahan mereka, Tris akan punya peluang lebih besar kalau dia menemui dia disana, disaat suasana hati Ana seharusnya sedang senang."

"Aku senang punya kamu untuk membantuku berpikir," kataku kagum.

Dia tersenyum puas.

"Tugasmu bikin aku orgasme terus dan aku akan terus berpikir untukmu." katanya, dengan percaya diri membuka lebar kakinya.

Dan beberapa menit kemudian dia sudah merasakan orgasme lagi, dua kali, dan 'berpikir' aku harus menjalankan idenya yang tadi dulu. Aku menelepon Tris dan mengirim SMS ke Agnes.

Tris bilang dia akan mengajukan cuti dan datang ke Serpong kalau waktunya sudah pasti.

Agnes membalas SMS.


Aku sedang dihukum karena mengajak Leo dan Stefan pergi sampai malam saat ke rumah Ayah.
Ada pesta kecil untuk keluarga dan teman Ibu @ Moon Garden Resto hari Kamis 19.30

Love You



Aku menelepon Tris sekali lagi dan dia bilang dia akan datang hari Kamis pas jam makan siang, tapi dia harus langsung balik hari Jumat pagi karena cutinya cuma sehari. Sekali lagi dia melakukan apa yang sudah berkali-kali dia lakukan buat aku sejak aku masuk ke rumah sakit, mendukungku, menjadi orang yang bisa kuandalkan.


Hari Senin Alfon menelepon untuk bilang bahwa dia sudah mencoba sekali lagi untuk mempertemukan aku dengan Ana, tapi ditolak mentah-mentah. Selasa malam Jenni menginap untuk ‘menghibur’ aku, dan hari Rabu dia ikut denganku untuk pertemuan ‘Kuartet Penyelidik” di Crossroad, kegiatan rutin yang sudah beberapa lama ga kami lakukan.

Aku memesan minuman di meja bar dan membawanya ke meja tempat mereka duduk.

"DNA-mu ditemukan di dalam mobil, di salah satu sudut bagasi yang sepertinya ga pernah terjangkau cairan pembersih" kata Hasan, "Sebenarnya aku ga yakin aku perlu memberitahumu soal itu. Yang jelas akan ada penangkapan tersangka.”

"Kapan?" Tanyaku, memikirkan pernikahan Ana.

"Kalau yang ini aku yakin aku ga boleh memberitahumu," kata Hasan serius, "Tapi saat itu terjadi semua orang yang dicurigai terlibat akan ditangkap secara bersamaan dan ditahan di tempat terpisah untuk diinterogasi dan keterangan masing-masing akan dicocokkan. Polisi harus memastikan keberadaan mereka semua sebelum disergap bersamaan."

"Dari pengalamanku dulu," kata Jimmy menambahkan, "Sepertinya ga akan terjadi minggu ini, apalagi ketika weekend, akan butuh banyak personel polisi untuk melakukan operasi serentak, dan weekend bukan waktu yang pas. Paling cepat Selasa atau Rabu karena Senin juga tanggal merah."

"Jadi pernikahan mereka Sabtu besok akan tetap berlanjut," kataku sedih, "Dan Ana akan kehilangan Hadi segera setelah dia mendapatkan suami. Apa kamu sudah perhitungkan mereka mungkin akan pergi bulan madu? Hadi mungkin ga akan ada di kota ini, bahkan mungkin mereka keluar negeri."

"Dia pasti akan diawasi," kata Hasan. "Dia ga akan dibiarkan pergi ke luar negeri. Aku yakin soal itu juga."

"Aku sudah mencoba sekali lagi untuk mengatur pertemuanmu dengan Ana," kata Alfon. "Tapi aku gagal. Aku ga bisa percaya betapa keras kepalanya dia."

"Aku bisa," kataku sambil tertawa. "Salah satu kenanganku adalah bertengkar dengannya, bukan soal yang serius, tapi begitu dia sudah punya keputusan, dia sulit untuk diubah. Besok Tris akan datang dan kami akan datang ke pesta pranikahnya. Aku pasti akan bicara dengannya besok."

"Jadi," kata Jenni, untuk pertama kalinya bicara disini. "Dalam beberapa hari ke depan semuanya akan selesai. Pasti akan bikin kamu lega, Errik."

Yang lain mengangguk setuju.

"Tapi ingat," kata Hasan, "Saat ini aku cuma yakin Iwan dan ketiga orang itu pasti akan dianggap sebagai tersangka, tapi itu ga berarti bahwa Hadi sudah pasti akan ditangkap, kita belum punya bukti untuk menghubungkan mereka semua dengan Hadi, dan yang utama bukti bahwa Hadi yang menyuruh mereka. Kalau dia punya penjelasan yang tepat tentang apa yang dituduhkan, dia mungkin bisa lolos dari hukuman."

Alfon menambahkan: "Aku berani taruhan ketiga orang itu akan ditangkap, tapi Hadi mungkin akan dapat penangguhan penahanan kalau kita ga dapat bukti lain. Nasib Iwan akan tergantung apa dia mau bekerja sama dengan polisi atau malah melindungi rekan-rekannya.”

"Sidang juga belum tentu langsung dilaksanakan," kata Hasan. "Pengadilan akan menunggu sampai berkas dan tuntutan untuk mereka lengkap sebelum menjadwalkan sidang."

"Menurutku kita harus pasrah pada kenyataan bahwa Hadi mungkin bisa membuat Ana percaya bahwa dia sama sekali ga bersalah atas keterlibatan apa pun di kasus ini," kata Alfon. "Kita tahu dia penipu ulung."

Pertemuan itu berubah jadi hening dan suram. Kami mungkin tahu faktanya dengan jelas, tapi kasus pengadilan ga pernah bisa ditebak hasilnya. Ga ada yang pasti.

Kemarahan mulai kurasakan muncul dalam hatiku, karena dia mungkin bisa lolos dari hukuman akibat mencoba membunuhku. Saat itu juga aku memutuskan sendiri bahwa dia ga akan bisa bebas begitu saja. Kalau hukum ga bisa memberikan keadilan, aku yang akan mencari jalan sendiri. Determinasi itu pasti terlihat di ekspresi wajahku.

"Jangan membuat kesimpulan dari apa yang belum terjadi," tegur Alfon. "Kamu belum tahu apa reaksi Ana nantinya. Sebentar lagi dia akan tahu bahwa Hadi bukan orang yang jujur, tapi sebaliknya dia akan tahu kalau kamu selalu jujur dan setia kepadanya. Tunggu dan lihat situasinya, Errik."

Seperti biasa dia memakai akal untuk berpikir, aku mengangguk, dan Jenni meremas lenganku dan memelukku dari samping. Aku sadar teman-temanku mengangkat alisnya melihat itu, tapi ga ada pertanyaan yang keluar, jadi aku pura-pura ga tahu.

Jenni memutuskan untuk pulang ke apartmentnya. Dalam hati aku tahu dia ga mau ada di rumahku saat Tris datang besok, bukan dalam bentuk kecemburuan, tapi seolah dia ingin bilang bahwa aku saat ini punya hubungan secara seksual dengan dua orang yang terpisah dan sedekat apapun dia dengan Tris, sedekat apapun mereka, tetap perlu ada jarak di antara keduanya. Aku rasa aku bisa memahami perasaan itu.

"Aku rasa sebaiknya besok kamu ga usah kerja," katanya. "Atur dan selesaikan semuanya bersama Tris. Kamu harus tahu apa yang akan harus dia katakan pada Ana."


Besoknya, Tris sedikit terlambat dan saat dia akhirnya sampai, hari sudah mulai sore. Kami membahas apa yang akan dia lakukan, atau lebih tepatnya Tris memberi tahu aku gimana cara dia nanti akan melakukannya dan aku merasa usulnya bagus. Apa ada cara lain yang lebih baik? Mungkin, tapi aku sedang ga bisa berpikir jernih.

Aku dan Tris memasuki restoran jam delapan malam, restoran dalam keadaan cukup sepi setelah lewat jam makan malam.. Restauran ini cukup luas dan bergaya oriental. Ruangan utama besar dan terbagi-bagi menjadi beberapa bagian ruangan lebih kecil yang dibatasi oleh pilar sampai ke atap dan penyekat ruangan dari kayu dan kertas.

Ga sulit untuk menemukan mereka, karena Agnes juga ikut acara itu dan mengarahkan kami. Ada lima belas orang yang mengelilingi meja di satu sisi ruang utama.

Aku bisa melihat orang tua Ana, adik laki-laki dan perempuannya. Ya, aku bisa mengenali mereka, aku ingat mereka. Sisanya pasti keluarga atau temannya, aku ga melihat kedua anak laki-lakiku, bagus. Kami memasuki restoran lewat sisi lain yang ga terlihat langsung dari tempat Ana duduk.

Sepertinya desain awal restoran ini memang dibagi menjadi beberapa ruangan tertutup, tapi lama kelamaan keberadaan pintu mulai hilang dan menyisakan celah kosong yang menghubungkan ruangan satu dengan yang lain. Tris menuntunku ke salah satu ruangan kosong, berada di sudut dan ga terlihat oleh kelompok mereka.

"Kamu akan dengar semuanya dari sini. Setelah aku selesai dengannya, aku yakin Ana akan datang dan menemuimu disini. Kamu yakin mau aku melakukan ini?"

"Ya. Dia harus tahu semuanya. Aku ga bisa membiarkan dia menikahi Hadi tanpa tahu fakta yang sebenarnya. Kamu bawa fotonya?"

"Ya, dan percayalah, Errik, aku juga menunggu-nunggu saat ini."

Dia bangkit dan pergi. Ada cermin di dinding seberang meja mereka dan aku bisa melihat Tris sampai di meja mereka.

"Nyonya Ana?" Aku dengar kata-katanya.

"Iya?" Ada suara Ana lagi, memicu emosi amarah dan kejengkelanku.

"Aku minta maaf karena sudah datang dan mengganggu pestamu, tapi ini penting. Aku datang ke sini mewakili mantan suamimu. Dia perlu bertemu denganmu. Dia ingin kamu tahu--"

"Ga tertarik. Bilang ke bajingan itu bahwa dia sudah membuat terlalu banyak kesalahan. Dan beraninya dia mencoba mengacaukan pikiranku sebelum pernikahan. Aku punya pengacara, bilang ke dia untuk bicara dengannya."

"Nyonya Ana, tolong. Sebaiknya anda bicara langsung dengannya karena ini demi kepentinganmu sendiri."

"Tinggalkan tempat ini, Nona--"

"Tris."

"Ibu!" itu suara Agnes. "Kenapa Ibu begitu keterlaluan? Mungkin Kak Tris bisa menceritakan apa yang mau Ayah katakan."

"Oke," kata Ana, suaranya terdengar lebih sabar dan lembut. "Nona Tris. Sampaikan apa yang harus anda katakan."

Pestanya hening sekarang. Semua orang memperhatikan mereka.

"Boleh aku duduk?" Aku menganggap jawabannya adalah ya, karena Tris lalu duduk di samping tempat Ana berdiri.

"Aku punya beberapa foto. Beberapa di antaranya sudah pernah anda lihat. Ini."

Aku bisa melihat Tris mengeluarkan foto yang dibawanya. Dia meletakkannya di atas meja satu per satu.

"Aku sudah pernah melihat foto ini sebelumnya," kata Ana dengan nada sabar yang seperti mengejek. "Itu fotonya dengan wanita selingkuhannya."

"Di hotel. Ya, aku tahu. Lihat tanggal dan jamnya. Dan yang ini di restoran hotel, lima menit setelahnya. Ini di hari dia menghilang." Kata Tris

"Ya, Ya," Ana mulai kesal. "Dan yang itu foto mereka berciuman di lobi dan yang satu itu adalah mereka yang sedang membeli tiket. Terus kenapa?"

"Sebelum aku menunjukkan foto berikutnya, lihat lagi keduanya. Lihat pria berbaju cokl;at dibelakangnya itu? Apa anda kenal dia?"

"Ga kenal, tapi aku rasanya pernah lihat dia."

"Oke. Sekarang yang ini, perhatikan tanggal dan jamnya, tiga menit setelah yang terakhir di stasiun tadi." Lanjut Tris

"Tapi..."

Aku tersenyum, sekarang ada keraguan dalam suaranya.

Ana sekarang kaget, "Aku belum pernah lihat foto ini sebelumnya."

"Ada satu pria lain dalam foto bersama wanita itu dan mantan suami anda. Dia adalah suami wanita itu. Wanita itu sebenarnya adalah sepupu Errik dari Singapore. Mereka ketemu secara ga sengaja di hotel. Errik sedang membeli tiket untuk keduanya. Suaminya harus bertemu dengan klien di saat-saat terakhir dan wanita itu ga bisa membeli tiket, jadi Errik membelikan tiket untuknya. Sekarang yang ini."

"Itu foto Errik keluar dari stasiun dengan pria baju coklat tadi. Tapi--"

"Nyonya Ana. Anda perhatikan dia ga pergi dengan wanita itu. Sekarang, apa anda paham kenapa anda harus bicara sendiri dengannya."

"Tetap saja dia meninggalkan kami tanpa kabar. Jadi pasti ada wanita lain. Aku dapat surat darinya yang bilang bahwa dia sudah memulai hidup baru dengan seorang wanita dan dia menyuruhku untuk melupakannya."

Surat? Itu informasi baru untukku, tapi Tris belum selesai bicara.

"Ya, dia memang ga menghubungi kalian. Aku punya foto lain. Tapi sangat ga menyenangkan untuk dilihat. Tolong kuatkan diri anda."

Ada keheningan. Lalu, "Itu menyeramkan. Siapa itu? Dia hampir ga punya wajah. Sekujur tubuhnya penuh luka. Apa hubungannya ini dengan--"

"Pertama, apa anda perhatikan jam dan tanggal? Hari yang sama, sekitar empat jam setelah foto di stasiun?"

"Ya, tapi aku ga—“

"Nyonya Ana, itu foto mantan suamimu."

Ada teriakan tertahan dan keributan dari kelompok mereka.

"Tidak, tidak. Kamu pasti salah. Kenapa kamu berbuat ini padaku? Apa kesalahanku padamu sehingga kamu membuat lelucon yang sama sekali ga lucu? Pergi!"

"Nyonya--"

"Cepat keluar! Keluar!" Ana berteriak pada Tris

Ada teriakan dari yang lain, suasana menjadi kacau. Lalu teriakan Agnes terdengar mengelahkan hiruk pikuk keributan di meja mereka, "DNA!"

"Apa?" Suara Ana terdengar lagi karena suasana yang mendadak sunyi lagi.

"Bukti DNA, Bu. Kak Tris ga bohong. Itu memang Ayah." Sekarang selain hening, tak ada satupun dari mereka yang berani bergerak, bahkan beberapa tampak menahan nafas.

"Tapi bagaimana bisa..?"

"Kami butuh bukti bahwa dia benar-benar Ayah, jadi aku mengikuti tes DNA. Dan dia memang ayahku!"

"Tapi, aku ga ngerti? Aku sudah mencari ke rumah sakit."

"Ini RSUD Semarang, aku perawat. Aku anggota tim yang menerimanya saat dia datang."

"Semarang? Tapi dia ada di Surabaya."

"Nyonya Ana. Apa anda bersedia ketemu dengan mantan suamimu?"

Diam. Lalu disusul, "Ya. Aku mau."

Terdengar suara kursi bergeser dan ga lama kemudian mereka muncul dari sudut. Aku duduk di kursi yang menempel ke dinding menghadap jalan masuk.

"Halo Ana. Sulit sekali mengajakmu bicara." Sapaku

Aku melihat dia mengenaliku dari pertemuan kami beberapa kali sebelumnya. Lalu dia memandangku penuh selidik. Nada suaraku familier baginya, lalu dia paham, lalu ngeri pada kondisiku sekarang, lalu kemarahan lagi. Kemarahan akhirnya lebih mendominasi.

"Errik? Itu betul kamu?"

"Iya."

"Kamu ketemu denganku di restoran itu dan ga bilang apa-apa. Lalu kamu berdansa denganku saat Makan Malam, demi Tuhan, dan kamu masih ga bilang apa-apa. Kenapa kamu mempermainkan aku?"

"Duduklah Ana," kataku tajam.

Dia tampak kaget dengan nada dinginku, tapi dia menurut dan duduk.

"Aku akan menceritakan padamu dan setelah itu kamu bisa pergi. Aku yakin kamu ga mau memandangi wajahku lebih lama dari yang diperlukan." Kataku sinis

Dia membuka mulutnya tapi ga ada kata yang keluar, jadi aku melanjutkan sebelum dia bisa bilang apapun.

"Aku akan menceritakan padamu semua yang aku tahu. Sebagian besar bagian awal yang ga bisa kuingat. Tris inilah yang sudah memberitahuku. Aku sampai sekarang masih ga ingat hari dimana aku berakhir di rumah sakit di Semarang.

"Aku dibawa ke rumah sakit. Kamu bisa kira-kira seberapa parah keadaanku? Kepalaku sudah diinjak-injak dan tengkorakku retak. Wajahku hancur, sebagian besar gigiku hilang, hidung tinggal secuil, rahang dan pipi patah, dan itu cuma kepalaku. Tiga tulang rusuk, dan satu tulang kering dan tulang paha satunya patah, kedua pergelangan kaki sama. Aku ga akan cerita soal luka dalamku. Batang tenggorokanku lolos. Alat vitalku selamat. Tubuhku penuh dengan plat, pin dan sekrup.

"Orang-orang yang memukuliku sudah melucuti pakaianku menyisakan celana dalamku, mengambil semua barang-barangku dan sebagai akibat dari perbuatan mereka, wajahku seperti yang kamu lihat bahkan ga bisa dikenali sekarang. Ga ada cara untuk bisa mengetahui identitasku.

"Lukaku sangat parah sehingga dokter berkesimpulan bahwa penjahat itu berniat untuk membunuhku, dan bagaimanapun pada akhirnya aku ga akan bisa bertahan hidup. Aku dalam keadaan koma, dan aku tetap koma selama hampir satu tahun. Saat itu aku ga akan bisa memberi tahumu di mana aku. menurutmu apa mungkin aku bisa setelah luka-luka yang kamu lihat dalam foto tadi?

"Kamu bilang sesuatu soal surat. Gimana mungkin aku bisa nulis surat saat aku koma dan hilang ingatan?

"Sebelum aku siuman, para dokter menyimpulkan aku ga akan sembuh, aku sudah lama ga sadarkan diri. Tapi ga ada keluarga, ga ada istri, yang memberi izin untuk mematikan alat pendukung hidup. Mereka harus ke pengadilan untuk mendapatkan izin. Saat mereka akhirnya dapat izin dan mematikan mesin, aku tenyata bisa terus bernapas mandiri.

"Lalu tibalah berbulan-bulan masa rehabilitasi yang panjang. Kasusku adalah kasus langka, aku ga punya ingatan sama sekali, bahkan namaku, suatu kondisi yang hampir belum pernah ada. Aku harus belajar bicara meskipun wajah baruku membuat aku sulit untuk dipahami. Rasa sakitnya luar biasa dan butuh perjuangan panjang. Dokter dan polisi menganggap aku bohong soal ingatanku, aku dituduh menyembunyikan sesuatu, mungkin narkoba dan jadi alasan aku dipukuli. Kamu ga tahu berapa jam aku diinterogasi sebelum akhirnya mereka mempercayaiku.

"Kalau ga salah Januari kemarin aku ingat namaku, dan aku juga ingat bahwa aku tinggal di Serpong. Tris mengantarku ke sini dan mencari dari data asuransi secara ilegal. Dia berhasil menemukan alamat tempat tinggalku dan bahwa aku sudah menikah denganmu dan punya seorang putri bernama Agnes. Kami sedang berkeliling jalan di Serpong dan aku mengenali nama Alfon di papan nama depan kantornya.

"Sejak itu, dengan bantuan teman-teman dan terutama Alfon, aku sudah mengumpulkan ingatan dan bukti, tentang penyerangku dan rencana konspirasi untuk membunuh aku."

Ana sudah lebih tenang sekarang, walaupun dia beberapa kali kaget saat mendengar ceritaku. Matanya terus memandangku entah dengan cinta atau hanya rasa kasihan? Suaranya sekarang lembut.

"Kenapa kamu ga menemuiku saat kamu tahu siapa aku?"

"Aku ga bisa mengenalimu."

Dia menatap dengan heran.

"Aku ga mengingatmu," lanjutku, "Alfon harus memberitahuku siapa kamu saat kamu datang ke restoran. Tapi setelah kamu mendekat dan dan bicara, dan aku mencium bau parfummu, yang kubelikan untukmu, sepertinya itu memicu kenangan, banyak sekali yang datang membanjiri pikiranku dalam satu waktu dan aku ga bisa mengendalikan diri. Karena itulah kenapa aku pergi dari restoran itu."

"Aku ga tahu harus bilang apa," matanya berkaca-kaca, "Saat aku memikirkanmu... sendirian menanggung semua itu... dan aku malah..."

Dia ga mampu melanjutkan dan mulai terisak pelan. Aku ikut sedih karenanya, tapi cuma itu saja. Aku ga berani melakukan apapun karena takut akan memperburuk keadaan.

"Aku ga sendirian, Ana. Aku ga tahu apa-apa tentang apa pun juga saat itu. Tapi salah satu perawat muncul menjadi sinar bagiku dan rela menghabiskan waktu bersamaku di luar jam kerja. Seperti yang bisa kamu tebak, perawat itu adalah Tris. Jadi jangan khawatir soal kesendirianku.

"Sebenarnya aku sekarang menjalin hubungan dengannya. Aku ga ingat kamu atau siapa pun di sini. Tris adalah duniaku. Dia memintaku datang ke sini dan menata lagi hidupku. Karena itulah sebabnya dia ada di sini sekarang."

"Dia pacarmu?" katanya, menyeka matanya.

Tris selama ini diam, dan kurasa kami sudah melupakannya, meskipun dia duduk bersama kami. Tapi sekarang dia bicara, "Salah satunya. Dia juga punya yang lain."

Ana mengabaikan ucapan itu meskipun jelas dia bisa mendengarnya.

"Tapi, kamu bisa mengenaliku di acara dansa, dan kamu ga bilang apa-apa."

"Ada alasan untuk itu. Polisi memintaku untuk merahasiakan identitasku sampai mereka mengungkap kasus ini. Mereka punya daftar beberapa orang yang menurut mereka mungkin mendalangi ini. Orang-orang yang berasal dari sini. Tapi aku sudah mencoba untuk bicara denganmu. Kurang lebih sudah tiga minggu aku sudah mencoba. Kamu sebenarnya bisa tahu kebenarannya sejak saat itu."

"Tapi aku istrimu!"

Saat itu aku menjadi marah.

"Bukan!" Aku mencibir, "Kamu bukan istriku. Kamu lupa kamu sudah menceraikan aku? Kamu mencoba menghancurkan perusahaanku demi kepentinganmu pribadimu sendiri, meskipun selama ini aku tetap memberikan nafkah dengan transfer ke rekeningmu, tentu kamu ingat soal surat kuasa Alfon.

"Berapa lama kamu benar-benar serius mencariku? Ga usah repot-repot menjawab, aku sudah tahu. Kalau kamu yang hilang waktu itu, aku masih akan mencarimu sampai sekarang, kamu tahu itu!

"Semua orang bilang kepergianku sama sekali di luar karakterku, mereka ga percaya bahwa aku sudah selingkuh dengan wanita lain, tapi kamu percaya, langsung! Kamu percaya Hadi. Kamu sudah mencintaiku selama dua puluh tahun, tapi kamu lebih percaya padanya. Jadi jangan bilang sekarang kalau kamu adalah istriku!"

Aku bangkit dan pergi meninggalkannya. Tris mengejarku. Kami masuk ke dalam mobil, dia yang mengemudi.

"Puas?" tanyanya getir.

"Ga juga," jawabku. "Dia perlu tahu kenyataannya, dan aku memberitahunya. Dia sekarang tahu bahwa dia menjalin hubungan dengan Hadi atas dasar kebohongan. Dan sekarang dia juga sadar dia sudah menceraikan laki-laki yang ga bersalah, pria yang mencintainya. Aku belum bilang kalau Hadi mungkin adalah otak perencana usaha pembunuhan suaminya. Aku sekarang menjalani hidup baru dengan dua orang wanita cantik. Aku ga butuh dia lagi. Dia sudah mengecewakanku."

"Oke," dia tahu ini bukan saatnya untuk berdebat, tapi malam itu dia mencurahkan rasa cintanya padaku, memelukku erat-erat, menempelkan dirinya padaku saat dia tidur disampingku sesudahnya.

Tapi aku ga bisa langsung tidur, aku memikirkan soal Ana. Aku tahu dia sudah mendampingiku selama bertahun-tahun, dan bahwa kami saling mencintai. Aku tahu aku punya hutang padanya. Tapi, dua tahun terakhir dan perilakunya, ditambah lagi aku belum bisa menyusun rangkaian kenangan pribadi kami secara sempurna membuat aku merasa kami ga mungkin untuk melanjutkan hubungan kami, justru karena sebenarnya hubungan itu sudah ga ada lagi. Itu bukanlah perasaan yang membahagiakan. Pikiran terakhir yang terlintas di kepalaku sebelum aku tertidur adalah, dia bahkan ga mau mendengarkan penjelasanku dulu.

Kami bangun pagi-pagi sekali keesokan harinya. Sekarang hari Jumat dan Tris harus pulang untuk kerja shift sore. Dia harus kembali ke Semarang untuk menjalani satu minggu terakhir dia bekerja sebelum resmi resign dari pekerjaannya. Dia akan kembali lagi kesini hari Kamis depan sebelum berangkat ke Timor Leste hari Jumat. Saat itu akan jadi terakhir kali aku bertemu dengannya, lalu berpisah untuk entah berapa lama.


Hari itu aku cuti dan sekali lagi ga masuk kerja. Aku sudah meminta Jenni untuk datang ke rumah sejak jam makan siang dan memberi update soal meeting selanjutnya dengan klien kami. Dia juga bilang bahwa dia akan menginap selama weekend. Dia sedikit memaksa, mengingat Ana akan menikah hari Sabtu, aku menyerah dan mengijinkannya, tapi dalam hati aku harus bilang aku bersyukur aku ga sendirian di rumah saat itu. Pagi hari kuawali dengan mengganti seprei tempat tidur. Aku merasa ga sopan membiarkan Jenni tidur di atas seprei yang sama dengan yang telah menjadi saksi aktifitas seksual aku dan Tris malam sebelumnya. Lalu aku belanja untuk persediaan kami selama weekend.

Aku memasak sup untuk makan siang dan dia datang tepat pada waktunya untuk makan siang. Sambil menyantap makanan sederhana, aku menceritakan tentang pertemuanku dengan Ana kemarin malam.

"Kalau gitu kamu masih punya perasaan padanya," katanya setelah aku selesai cerita.

"Bukan, rasanya ga begitu."

"Errik, kalau kamu merasa begitu marah karena satu kesalahan Ana yang ga dia sengaja, itu berarti kamu memang masih punya perasaan padanya."

"Itu kan menurutmu," aku menjawab dengan nada pasrah, tapi aku jadi penasaran apa benar yang dibilang Jenni tadi.

"Jadi dia masih belum tahu tentang keterlibatan Hadi dalam kasusmu."

"Belum. Aku juga ga akan bilang soal itu kecuali dia tanya. Bagaimanapun juga dia akan menikah dengan Hadi besok di jam ini. Dia akan tahu rasanya punya suami seorang narapidana."

"Errik, itu ga adil. Itu dendam buta."

"Maaf Jenni, dia yang sudah memilih untuk hidup dengan laki-laki itu, jadi... Ya, kamu tahulah konsekuensinya."

"Errik, aku tahu ini sudah sering kamu dengar sebelumnya, tapi nyatanya dia memang memberikan cintanya padamu selama dua puluh tahun. Aku ga bisa membayangkan gimana perasaannya sekarang."

Kami mungkin akan terus berdebat seandainya bel pintu ga berbunyi. Jenni keluar untuk membukanya, dan aku mengikuti dari belakang untuk melihat siapa yang datang.

Jenni membuka pintu, dan di tangga pintu masuk berdiri Agnes, dan juga yang cukup aneh untuk kuingat, Adrian, adik laki-laki Ana. Ada beberapa saat dimana ga satupun dari kami yang bicara atau bergerak. Adrian cuma menatap ke arah Jenni dengan pandangan penuh kekaguman. Aku sudah sering melihat banyak pria menatap Jenni seperti itu. Itu mengingatkanku betapa beruntungnya aku. Agnes juga memandang Jenni dan aku baru sadar dia belum pernah bertemu dengannya sebelumnya. Jenni sendiri juga sudah pasti belum pernah ketemu mereka sebelumnya.

"Halo!" kata Jenni, dan aku tahu dia berkata sambil memberikan senyum khasnya yang sudah kuhafal.

"Halo," kata Agnes, "Aku Agnes."

"Halo, Agnes. Aku Jennifer, asisten pribadi Ayahmu."

"Ini Om Adrian, adik Ibuku."

Ya, aku ingat melihatnya kemarin malam di restoran. Dia pria yang cukup tampan tapi sepertinya kurang percaya diri dalam hal wanita. Sifat pemalunya membuat dia belum pernah dekat dengan seorang wanita, umurnya sudah pertengahan tiga puluhan, tapi masih single, maksudku single sejak dia lahir.

"Halo, Adrian," kata Jenni. "Silakan masuk."

Aku melihat Adrian tersipu dan aku tersenyum sendiri.

Aku berbalik kembali ke dapur dan duduk sebelum mereka menyusul. Lalu aku berdiri lagi saat mereka memasuki ruangan.

"Adrian!" Ucapku hangat. "Aku senang bisa ketemu kamu lagi!"

Kami berjabat tangan.

Adrian memucat saat melihat wajah dan kepalaku. Dia menelan ludah tapi berhasil tersenyum. Agnes pasti sudah memberitahunya. Untungnya dia ga komentar apa-apa, aku sudah dengar segala macam komentar yang mungkin muncul tentang itu, dan ga ingin mendengar sekali lagi komentar semacam itu.

"Sini Agnes!"

Dia memelukku dan menciumku.

"Ayah," kata Agnes. "Ibu membatalkan pernikahannya. Dia sangat kecewa. Om Hadi marah luar biasa. Dia bilang pada Ibu bahwa Ayah, Om Jeffry dan Om Alfon berusaha untuk menghancurkan 'hubungan indah yang mereka miliki'. Yeuck!" katanya sambil memperagakan orang muntah.

"Errik," kata Adrian. "Aku ga tahu apa yang kamu bilang padanya semalam, tapi dia kembali ke meja kami dengan sangat lemas. Dia bilang dia mau pulang, dia kelihatan sangat sedih." Aku memperhatikan saat dia bicara, dia kadang melirik Jenni dengan penuh kekaguman.

"Oke, Adrian," jawabku, “Aku kemarin mungkin sedikit lepas kendali. Dia protes karena aku ga memberi tahu dia bahwa aku sudah kembali dan ga memberitahu siapa aku saat kami bertemu, dia menambahkan bahwa sebagai istriku, dia berhak untuk tahu.

"Aku katakan padanya bahwa sejak dia menceraikan aku, dia ga punya hak apa pun dari aku. Rasanya aku juga menegaskan bahwa kenyataannya dia ga berusaha mencariku lebih lama dari seharusnya, dan bahwa dia terlalu gampang percaya dengan cerita aku selingkuh dengan wanita lain, bahkan ketika itu sama sekali ga sesuai dengan karakterku.

"Kamu akan merasakan yang sama seandainya kamu baru kembali dari kematian setelah dua tahun lebih, lalu tahu bahwa istri yang kamu cintai tinggal dengan laki-laki lain dan sudah menceraikan kamu."

Dia tampak berpikir, masih melirik Jenni sesekali, lalu berkata, "Kami semua ingin tahu kenapa kamu merahasiakan semua ini sampai sebelum dia menikah."

"Hei! Jangan salah, aku sudah mencoba ketemu dan bicara dengannya dari tiga minggu lalu. Dia ga mau bicara denganku. Jadi, jangan bilang aku sengaja muncul tepat sebelum pernikahannya."

"Sudah pasti kamu mau membuat pernikahan mereka batal. Betul kan?"

"Ga juga, apa yang dia lakukan sekarang bukan lagi urusanku. Kami sudah cerai, ingat? Aku ingin dia tahu kenyataan sebenarnya. Dia sudah lama membenci aku tanpa alasan."

"Tapi Agnes bilang kamu sudah kembali kesini beberapa bulan lalu. Kenapa kamu menunggu begitu lama?"

"Begini, Adrian. Polisi mau aku tutup mulut. Biar aku tunjukkan beberapa bukti padamu. Cuma berdasar bukti. Aku ga akan bilang apa-apa lebih dari itu. Kamu bisa buat kesimpulan sendiri setelahnya. Aku ga bisa cerita semuanya, tapi ini akan memberimu petunjuk.

"Dalam foto-foto yang diperlihatkan Tris pada Ana, menunjukkan ada seorang laki-laki berbaju coklat yang mengawasi aku dan sepupuku. Kamu sudah tahu kan kalau ‘wanita lain” itu adalah sepupuku dan suaminya?"

Dia mengangguk.

"Salah satu temanku malacak dan mengajak aku menemui orang berbaju coklat itu karena dia berasal dari sini juga. Laki-laki itu bilang padaku sendiri bahwa dia sengaja menyuruh aku untuk masuk ke mobil, dan bilang bahwa klien yang kutemui perlu menanyakan sesuatu soal kontrak kami. Mobil itu sedan Soluna warna merah. Aku dibuang dari sedan merah di tempat pembuangan sampah di Semarang. Ada dua orang lain bersama pengemudi mobil itu. Mereka juga berasal dari sini. Polisi menduga ada seseorang yang menyewa mereka bertiga untuk membunuh aku. Dengan kata lain, apa yang kualami ini bukan perampokan random.

"Sejak aku kembali, Polisi sudah bekerja mengumpulkan banyak bukti. Mereka lebih suka aku untuk merahasiakannya dari siapa pun, dan khususnya ga mau aku menghubungi Ana. Mereka tegas tentang peraturan itu. Karena ingatanku hilang, aku ga bisa mengenali Ana pada awalnya, itu ga masalah, sampai saat aku bisa mengingatnya lagi. Aku menimbang untuk menghubungi Ana dan melawan perintah polisi, tapi saat akhirnya aku yakin untuk menghubunginya, dia ga mau bicara denganku.

"Bisakah kamu bayangkan perasaan Ana kalau dia menikah lalu menemukan kenyataan bahwa suami yang dia kira sudah pergi dengan wanita lain, ternyata adalah korban percobaan pembunuhan?

"Seperti yang aku bilang, aku mencoba menemuinya berkali-kali tapi dia selalu menolak aku. Tris mengambil alih dan kamu ada di sana, kamu lihat sendiri hasilnya.

"Apa cerita ini sudah cukup buatmu?"

Adrian terdiam beberapa saat, berusaha mencerna informasi yang baru dia dapatkan.

"Tapi aku ingat," kata Adrian, "Tahun lalu, Maret kalau ga salah, Ana bilang dia dapat surat darimu. Kamu bilang kamu sudah hidup dengan orang lain dan ga akan pernah kembali. Saat itulah dia baru benar-benar kecewa dan marah. Menurutku sebelum itu dia terus berharap kamu kembali. Dia menunjukkan padaku surat itu, isinya kasar dan ga berperasaan. Aku ga percaya itu surat darimu, aku tahu kamu ga mungkin menulis seperti itu. Tapi saat semua tertulis hitam diatas putih..."

"Nah, Adrian, kamu ga percaya aku akan menulis surat seperti itu. Tapi Ana percaya, dengan gampang! Gimana mungkin saat aku ga punya ingatan tentang kalian di sini, aku bisa menulis surat seperti itu? Aku tebak ada tanda tanganku disana. Apa kamu sudah pernah lihat tanda tanganku sejak aku bisa menulis lagi? "

Aku mengambil beberapa lembar kertas dan alat tulis, menulis namaku dan menunjukkan kepadanya.

Adrian menghela napas, "Itu surat palsu."

Aku tersenyum. Suasana jadi hening. Memang ga ada lagi yang bisa dikatakan, tapi saat mereka pulang, Agnes seperti biasa memelukku, dan Adrian menjabat tanganku erat-erat.

Mereka pergi dan Jenni memelukku.

"Sangat terkontrol," dia tersenyum, "Kalau mereka punya otak, mereka akan sadar bahwa Hadi terlibat dalam percobaan pembunuhanmu. Tapi kita ga perlu memikirkan itu, sekarang saatnya untuk sedikit relaksasi."

Dia menuntunku ke atas dan melepaskan pakaianku, lalu melepas pakaiannya sendiri secara perlahan dan sengaja menggoda, terutama saat menurunkan celana dalamnya yang dia geser sedikit demi sedikit ke bawah dan lalu membiarkannya jatuh, melangkah untuk melepasnya dari kakinya dengan anggun. Dia mendudukkan aku di tepi tempat tidur dan berlutut di depanku. Penisku sudah setengah keras saat tadi melihat dia berangsur-angsur menelanjangi diri. Tubuhnya bagaikan mimpi basah yang menjadi nyata. Dia membawa penisku ke dalam mulutnya, dan membuat penisku mengeras sempurna dengan keajaiban lidahnya, dia lalu menjauhkan wajahnya dari kemaluanku.

"Kamu mau keluar di mulutku atau di tempat lain?" dia menyeringai lalu menyibakkan rambut pirangnya dari depan wajahnya.

"Di tempat lain!" jawabku.

"Kondom, aku ga bawa obat."

Dia mengambil satu di laci dan memasangnya di penisku, lalu berdiri dan mengangkangi aku, sebuah gerakan yang membuat vaginanya terbuka tepat dihadapanku, memperlihatkan kilauan basah yang mengalir di pahanya. Aku mencondongkan tubuh ke depan dan mencoba untuk melakukan oral ke vaginanya. Tapi dalam posisi aku duduk di tempat tidur, dan dia berpijak di lantai mengangkangiku, lidahku ga bisa mencapai vaginanya. Lidahku terjulur keluar tapi sebelum bisa menyentuh kelentitnya, hidungku sudah menabrak perut bawahnya. tidak bisa mencapai kelentitnya, apalagi bibir vaginanya. Kami berdua tertawa terbahak-bahak, dan tawa itu terus bersambung, sampai menjadi sebuah situasi di mana hampir ga bisa ditahan. Setiap kali kami menghela nafas, kami akan mulai tertawa lagi.

Akhirnya dia mengambil alih dan mendorongku berbaring telentang dan naik untuk mengangkangi wajahku, lalu berkata, "Aku janji ga akan membuatmu mimisan lagi." tapi celetukan itu sekali lagi menimbulkan tawa yang ga terkontrol. Jadi dia berguling dari atasku dan kami berbaring berdampingan sambil cekikikan, sampai akhirnya kami kelelahan.

"Aku butuh itu," kataku setelah kami berhasil berhenti tertawa, "Hidupku sudah terlalu lama jadi terlalu serius."

"Setuju!" kata Jenni dengan nada puas. "Tertawa kadang lebih baik daripada seks."

"Kata siapa!" Aku membantahnya, lalu duduk dan menariknya ke tepi tempat tidur.

Dia tahu apa yang akan kulakukan, dan berbaring dengan satu kaki menjuntai ke lantai dan yang satunya tertekuk di atas tempat tidur, melebarkan pahanya saat aku berlutut di lantai.

Dalam posisi ini aku membuktikan perkatannku, lidahku ga pernah lepas dari biji kacangnya. Dan dia ga tertawa saat dia mencapai orgasme dari permainan lidah dan jariku di sekitar kemaluannya.

“Ngghh.... Hhhhaahh...” Dia mendesah panjang.

"That was good!" katanya, lebih pada dirinya sendiri.

"Apa pendapatmu tentang Adrian?" Aku tiba-tiba bertanya. Aku rasa aku sudah membuatnya kaget, bahkan aku sendiri kaget aku menanyakan itu.

Dia diam, lalu.

"Dia sangat tampan."

"Adrian orang yang sangat-sangat pemalu," kataku. "Dia adalah salah satu contoh laki-laki baik yang pemalu yang pernah kubilang dulu. Dia ga akan pernah membayangkan kamu akan tertarik padanya."

"Memang ga. Aku sudah punya kamu."

"Aku mengawasi gerak-geriknya dan dia naksir kamu setengah mati, tapi kamu terlalu cantik sehingga kamu bikin dia hampir mati ketakutan. Kamu yang harus inisiatif untuk memegangnya dengan tanganmu."

"Dan mulut?"

"Itu juga!"

"Dan..." Dia mengangkat alis dengan seringai di bibir.

"Ya, itu juga," aku tertawa, "Dan ngomong-ngomong soal lubang itu, aku punya peralatan yang cocok untuk mengisinya, dan dari tadi dia sudah lumayan lama dibungkus karet."

Dia bangkit, turun dari tempat tidur, berlari ke kamar mandi, dan ga lama kembali naik ke tempat tidur.

"Oke, Bos," dia terkikik, "Isi! Isi sampai penuh!"

Jadi aku menurutinya. Kami bersetubuh dengan gerakan yang seirama, dia mendorong pinggulnya keatas untuk menyambut doronganku di saat yang pas.

"Jen, kamu hebat!" Aku terengah-engah.

"Ohh... Errik... kamu yang... hebat!" dia menjawab terbata-bata.

Segera setelah itu dia melakukan kebiasaan yang paling aku suka darinya. Dia diam ga bergerak setiap kali gelombang pertama orgasmenya melanda.

Aku menghentikan gerakanku.

Lalu dia melepaskan perasaannya dengan teriakan, menggelinjang dan menggeliat seolah ingin melemparkan aku dari atasnya. Aku bertahan sampai kejangnya berkurang, dan setelah itu menyetubuhinya dalam tempo cepat sampai tiba giliranku untuk diam ga bergerak saat semburan pertama air maniku keluar, dan kemudian mendorong penisku sedalam mungkin sementara dia menekan pantatku dengan kedua tangannya saat aku terus ejakulasi, diperas oleh vaginanya yang berkedut hangat.

“Fuck.. Nikmat banget,” geramnya.

Aku menggerutu setuju saat aku melepaskan diri darinya dan melepas kondomku.

Kami lalu berbaring berpelukan, kepalanya di bahuku, dia menghela nafas, "Aku ga butuh orang lain, Sayang. Kamu sudah cukup untukku."

Aku ga bilang apa-apa, tapi aku memikirkan soal itu. Aku ga yakin bahwa rasa syukur karena kebutuhan seksualnya terpenuhi sudah cukup baginya. Aku ga bisa menghilangkan perasaan bahwa hubungan kami ga sempurna. Akan lebih baik kalau dia punya hubungan yang seimbang dengan seorang pria, dalam segala hal, ga cuma seks. Tapi untuk saat ini, aku akan menikmati saat-saat berada di tempat tidur bersama wanita seperti dia. Biarkan masa depan membuka jalannya sendiri.

Pada saat itulah aku baru ingat apa yang dibilang Agnes soal pernikahan Ana. Adrian sudah mengalihkan perhatianku dari Ana ke kasus penyeranganku, tapi sekarang aku sudah menerima dengan baik berita yang dibawa oleh Agnes.

Ana membatalkan pernikahannya. Aku merasakan kelegaan dan kepuasan yang dalam. Sebelum mereka menikah, Hadi ga punya kemampuan untuk menguasainya. Dia ga punya hak atas harta Ana, kecuali kalau Ana memberikan padanya. Aku ingin tahu apa Ana akan ingat kata-kataku yang berhubungan dengan proses pemulihanku dan surat palsu yang dia terima. Dia wanita berpendidikan dan cukup cerdas. Kalaupun dia ga sadar, Adrian yang akan memberinya fakta itu. Aku penasaran apa setelah itu dia akan mencari siapa yang mungkin membuat surat palsu itu, dan apa Hadi akan jadi salah satu kandidat yang dipikirkannya?

Aku akan senang seandainya aku bisa melihat langsung percakapan mereka. Lalu aku memikirkan Agnes. Dia pasti akan membuka mata dan telinganya lebar-lebar untuk menyerap segala informasi baru yang muncul. Aku mungkin masih punya peluang untuk tahu perkembangan mereka.

Hari Sabtu pagi aku dan Jenni sama-sama bangun kesiangan dan aku memutuskan untuk membuat teh hangat, Jenni mengikutiku masih memakai gaun tidurnya yang tipis. Kami sudah duduk santai di meja makan sambil membaca koran saat bel pintu berbunyi. Aku berjalan menyusuri lorong untuk melihat siapa yang datang. Dari jendela aku melihat kalau yang datang adalah Agnes. Saat aku membuka pintu, dia berjalan melewatiku ke ruang tamu dengan membawa dua buah koper. Dia meletakkannya di lantai, lalu berbalik dan memelukku.

"Ayah," katanya sambil memandang wajahku dengan cemas, "Boleh ga aku tinggal di sini? Aku ga tahan ada di rumah itu lagi,"

"Yah, sepertinya kamu sudah yakin jawabnnya ya!" Aku tersenyum, mengangguk ke arah kopernya dan mengangkat bahu, "Kamu boleh menginap disini malam ini dan nanti kita akan bicarakan pengaturan yang lebih permanen. Apa Ibumu tahu kamu ke sini?"

"Ga. Aku meninggalkan catatan di dapur yang bilang aku pergi dari rumah karena aku ga tahan tinggal bersama laki-laki itu lagi."

"Kita harus memberitahunya, dia pasti akan khawatir."

Dia mengangguk pasrah dan berjalan ke dapur, lalu berdiri diam di ambang pintu. Aku mendengar Jenni bicara.

"Hai, Agnes," katanya.

"Oh... Hai," kata Agnes, suaranya mengandung banyak pertanyaan.

"Kamu tahu di mana semuanya, kalau kamu mau silahkan ambil, ga usah sungkan-sungkan," lanjut Jenni. "Aku mau naik dan ganti pakaian."

Dia berjalan ke lorong dengan wajah cemberut.

"Selamat berjuang!" dia bergumam saat melewatiku dan menaiki anak tangga. Aku ga bisa menebak suasana hatinya.

Aku berjalan ke dapur.

Agnes sedang duduk di meja, segelas susu di depannya.

"Ada apa ini, Ayah?" Maksudnya jelas. "Kenapa dia di sini?"

"'Dia' bernama Jenni," balasku dengan ketus, "Dan kenapa dia disini bukanlah urusanmu."

"Tapi Ayah sudah punya Kak Tris. Kenapa Ayah harus menduakannya dengan ‘dia’"

"Agnes, aku ga suka kalau kamu ga sopan seperti itu. Kalau kamu ga tahan dengan keberadaan Jenni disini, pulanglah ke rumah ibumu. Ayo! Pergilah!"

"Tapi Ayah--"

"Aku serius Agnes. Pulanglah. Ibumu memutuskan tinggal dengan Hadi karena dia ga tahu yang sebenarnya tentang aku. Dia membuat kesimpulan yang salah. Sekarang kamu juga sama. Pulanglah."

Dia mulai menangis. Aku cuma menunggunya. Aku teringat saat Agnes masih berumur dua belas tahun memakai cara yang sama saat kemauannya ga dituruti, tapi ini berbeda. Aku ga akan mengalah.

Tapi akhirnya aku ga tega melihatnya menangis dan mengambil telepon. Aku menghubungi Tris. Dia menjawab, terdengar bingung kenapa aku mendadak menghubunginya, dia sepertinya sedang packing.

"Tris," kataku, "Maaf mengganggu kamu berkemas, tapi apa kamu bisa bicara dengan Agnes, dia ingin bilang sesuatu."

"Oke sayang, lagipula aku butuh istirahat sebentar." Jawabnya.

Agnes menatapku, sekarang kelihatan khawatir, menggelengkan kepalanya kearahku.

"Ga, Agnes, beri tahu Tris ada apa di sini."

Dia dengan malas mengambil telepon dari tanganku, lalu mereka mulai bicara, aku hanya bisa mendengar dari sisi Agnes.

"Kak Tris?" dia mulai dengan ragu-ragu, "Apa kamu tahu kalau Ayah selingkuh dengan Jenni?"

"...Aku ga ngerti."

"...Tapi kenapa Kakak bisa--"

"...Kapan?" Lalu ada jeda lama saat Tris bicara panjang lebar.

"...Tapi kalian berdua, sekaligus?"

"...Oh. Terima kasih. Apa kita sempat ketemu sebelum kakak pergi?"

"...OK, terima kasih, Bye."

Dia menatapku, wajahnya terlihat menyesal.

"Maaf Ayah. Aku ga tahu."

"Ga, Agnes, kamu memang ga tahu. Kebetulan aku kenal dengan dua wanita yang sangat penyayang dan perhatian. Tris bilang dia akan berangkat hari Jumat?"

"Ya," jawabnya termenung, "Katanya Ayah berhak punya pendamping lain karena sekarang dia akan pergi. Dia bilang dia senang kamu bersama Jenni. Dia menyukainya."

"Jenni juga menyukainya," aku tertawa. "Mereka kerja sama mengeroyokku saat mereka bersama."

"Kalian ga...?"

"Ga, Agnes. Ga ada Threesome."

Dia tersipu malu. Aku pikir dia sudah cukup dewasa untuk memahami itu.

Jenni muncul, sudah berganti pakaian. Aku tahu dari tadi dia menunggu di lorong, mendengarkan pembicaraan kami.

Agnes mendongak, sekali lagi dia tampak merasa bersalah.

"Maaf, Aku tadi langsung mengambil kesimpulan sendiri."

"Kemarilah," kata Jenni dan memeluk gadis itu. "Kita semua menyayangi Ayahmu. Ada banyak hal yang ga kamu tahu, tapi dia sangat baik padaku. Bisa dibilang dia sudah mengubah hidupku."

Agnes mengangguk dan menoleh padaku.

"Boleh aku menginap, Ayah? Aku janji ga akan menganggu kalian!" Dia menyeringai. Agnes yang kuingat sudah kembali.

"Ya, tentu boleh," jawabku, "Tapi kita harus beri tahu ibumu kalau kamu ada disini. Saat ini dia punya cukup banyak masalah, soal pembatalan pernikahan dan menurut dugaanku masalah dengan Hadi. Jangan sampai dia makin pusing karena putrinya menghilang."

Aku sadar aku ga tahu nomor telepon rumahnya, tetapi Agnes memberitahuku dan aku meneleponnya.

Hadi yang menjawab.

"Hadi, Ini Errik. Aku perlu bicara dengan Ana soal--"

"Ga perlu," bentaknya. "Kamu sudah mengacaukan semua, sekarang dia milikku, bukan kamu," lalu dia menutup telepon.

Aku menghela nafas.

"Agnes," kataku pasrah. "Bisa kamu telpon Ibu lewat ponselnya. Hadi ga mengijinkan aku bicara dengan Ibumu."

Bibir Agnes melengkung. Dia menekan nomor di ponselnya, dan memberikan teleponnya padaku.

Ana menjawab.

"Agnes? Kamu di mana? Ada apai?"

Dia panik.

"Ana," kataku, "ini Errik, jangan khawatir, Agnes ada di sini denganku. Aku mencoba menghubungimu lewat telepon rumah tapi Hadi ga mengijinkan aku bicara denganmu. Aku cuma mau menenangkan pikiranmu. Dia aman di sini, dan ingin menginap. Apa boleh?"

"Oh, kamu," kata Ana dengan datar. "Ya, rasanya ga masalah dia menginap disana. Kamu mau mempengaruhi pikirannya untuk melawanku?"

"Ana, tolong, jangan mulai berpikir seperti itu. Kamu tahu aku ga akan melakukan itu. Kita selalu jadi satu tim ketika berurusan soal anak-anak."

"Maaf," katanya. "Iya, aku tahu. Aku ga pantas menilaimu seperti itu setelah apa yang sudah aku perbuat."

"Bukan gitu, Ana," aku buru-buru meralatnya. "Aku minta maaf karena membentakmu saat kita ketemu. Kamu bisa paham kenapa aku begitu emosional tentang apa yang sudah terjadi. Kamu shock dan itu salahku. Maafkan aku?"

"Ya, tentu saja," dia terdengar lebih ceria. "Kita perlu ketemu untuk bicara tentang hak akses anak-anak, tapi Agnes bisa tinggal disana selama yang kalian berdua mau. Dia kesulitan beradaptasi dengan keberadaan Hadi. Kamu sudah tahu aku membatalkan pernikahan? Kamu bisa tebak ada suasana yang ga nyaman di sini sekarang."

"Aku paham, aku akan menyuruhnya segera pulang secepatnya. Menurutku kamu butuh dia saat ini."

Kami memutuskan sambungan dan aku merasa lega karena pembicaraan kami yang lebih konstruktif. Agnes menggelengkan kepalanya, tapi ada yang harus kami bicarakan, dan menurutku pada saat kami selesai dia akan setuju untuk pulang.

“Jadi aku lebih enak panggil kakak atau tante Jenni?” Kata Agnes sambil menyeringai.



Bersambung... Chapter XVII
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd