Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Pulang

XVII. Tuduhan Buta


Sabtu malam itu kami semua duduk di ruang tamu setelah sore harinya aku mengajak mereka berjalan-jalan mumpung cuaca cerah. Yang jadi tujuanku sebenarnya adalah agar Agnes dan Jenni terbiasa dengan keberadaan satu sama lain. Yang pasti aku berhasil, kecanggungan mereka mencair dan saat kami sampai di rumah, mereka berdua sudah akrab dan kompak, sekali lagi aku merasa dikeroyok, tapi aku senang untuk itu.

Aku merasa sekarang sudah waktunya untuk mengklarifikasi soal apa yang sedang dicurigai oleh Agnes. Tapi sebelum aku mulai, aku dengar telepon berdering dan ternyata itu dari Hasan.

"Errik," katanya, "Apa aku bisa mempercayaimu untuk menyimpan informasi yang akan aku sampaikan? Maksudku benar-benar merahasiakannya, aku bisa dipecat dengan tidak hormat kalau sampai berita ini bocor."

"Ya. Tentu saja," kataku. "Kamu tahu kapan mereka akan bergerak, kan?"

"Bukan aku yang memberitahumu soal ini, ngerti?"

"Ya, aku paham."

"Senin jam setengah enam pagi."

"Senin bukannya hari libur? Bukannya kalian kekurangan orang?"

"Ya, sengaja agar mereka ga menyangkanya. Kemungkinan besar mereka ga akan kemana-mana."

"Oke. Apa untuk semua?"

"Ya, semuanya, semua di waktu yang bersamaan, lalu dikirim ke kantor yang berbeda-beda. Kami sudah dapat surat perintahnya."

"Terima kasih, Hasan."

Dia memutus sambungan telepon.

Aku tahu aku ga boleh memperingatkan Ana, Agnes atau adik-adiknya, tapi Agnes harus ada di rumah itu sejak Minggu malam untuk mendampingi ibunya, menenangkan adik-adiknya. Aku ga tahu metode apa yang akan dipakai polisi. Mereka bisa masuk paksa dan berlari atau berteriak di seluruh rumah untuk memberi efek kejutan, atau mengetuk pintu dengan sopan dan menunggu dibukakan pintu, tapi mengingat ini adalah kasus percobaan pembunuhan dan dilakukan secara serentak, aku merasa cara pertama lebih besar peluangnya untuk dipakai. Aku memutuskan untuk bertanya pada Agnes seperti apa keadaan di rumah itu.

"Agnes," kataku, memecah keheningan di antara kami saat kami nonton acara TV yang ga jelas, "Gimana keadaan disana sejak pertemuan aku dan ibumu?"

Dia langsung menjawab tanpa ditanya dua kali.

"Nah, begitu sampai di rumah, Ibu cerita ke Om Hadi kalau dia habis ketemu dengan Ayah, dan cerita bahwa Ayah mengalami kecelakaan yang mengerikan. Ibu bilang padanya semua yang Ayah ceritakan padanya. Lalu dia memutuskan untuk membatalkan pernikahan itu.

"Itu membuat mereka mulai bertengkar. Ibu bilang bahwa kalau dia tahu apa yang sudah terjadi padamu, dia ga akan memberi kesempatan Hadi hadir di rumahnya, apalagi di tempat tidurnya. Hadi terus bilang bahwa Ayah adalah masa lalu, dan bahwa Ibu sudah janji padanya. Perdebatan mereka terus berlanjut. Aku pergi tidur. Adik-adik juga sudah di kamar, walaupun Leo masih dengerin musik.”

Agnes terus melanjutkan ceritanya sampai hari Jumat pagi saat Adrian datang ke rumah mereka. Dia bilang Ibunya dan Adrian membahas tentang apa yang sudah kukatakan saat aku menemui Ana malam sebelumnya.

“Mereka penasaran kenapa Ayah baru bilang semua ini dua hari menjelang pernikahan dilaksanakan, dan Om Adrian menawarkan dia akan coba cari tahu apa alasan Ayah melakukan itu, jadi aku bilang padanya aku akan ikut menemui Ayah. Karena itu kami kesini kemarin.



"Saat kami pulang kesana, Om Hadi lagi keluar dan Ibu mindahin barang-barangnya ke kamar satunya. Jadi sepertinya kehidupan percintaan mereka sudah berakhir. Aku tanya kenapa, dan Ibu bilang dia ga bisa bersama Om Hadi saat tahu Ayah masih ada. Sejauh ini setelah kalian bertemu, Ibu merasa masih jadi istrimu, Ayah. Dia bilang berkali-kali kalau menceraikanmu adalah kesalahan besar.

"Lalu Om Adrian cerita ke Ibu semua yang Ayah ceritakan pada kami kemarin. Dia menyampaikannya semuanya persis seperti yang Ayah bilang, dan kenapa alasanmu menemuinya begitu mepet dengan pelaksanaan pernikahan, ya yang soal polisi dan soal Ibu ga mau bicara denganmu. Akhirnya Ibu bilang dia senang karena tahu yang sebenarnya, dia akan merasa berdosa kalau dia sudah menikah dengan Om Hadi lalu baru tahu ternyata selama ini dia sudah salah sangka pada Ayah.

"Om Adrian juga menyebutkan tentang surat yang Ibu terima, dan betapa ga masuk akal kalau Ayah yang menulisnya. Apa Ayah tahu dia mengambil kertas yang sudah Ayah tanda tangani sebagai contoh kemarin? Nah, dia menunjukkannya ke Ibu untuk membuktikan tanda tangan di surat itu bukan tanda tanganmu. Ibu jadi termenung setelah itu.

"Lalu Om Adrian pulang dan Ibu meneruskan pindahan dari kamar Hadi. Menurutku Ibu ga mengizinkan dia menyentuhnya lagi sejak malam itu, jadi aku ga tahu kenapa dia masih di tempat tidur sampai siang, mungkin dia lagi masturbasi."

Jenni mendengus tertawa dan langsung meminta maaf.

"Agnes!" Aku ga bisa menutupi kekagetanku, aku membuka mulut beberapa kali, tapi ga tahu harus bilang apa, hanya menatapnya sampai dia tersipu malu, dia menghela nafas panjang, lalu tertawa sendiri.

"Maaf Ayah, tapi aku sekarang sudah dewasa, aku tahu tentang cowok dan hal semacam itu." Katanya sambil tersenyum.

Senyumannya akan menaklukkan banyak hati anak laki-laki atau mengobarkan nafsu mereka. Senyum indah yang muncul ketika dia tertawa.

"Ayah, mau ngomong apa sih?"

"Jadi, gimana caranya kamu tahu soal cowok'? Pengalaman pribadi? Eksperimen?"

Dia mengangkat kedua tangannya ga berniat menjawab pertanyaanku dan aku tersenyum menyerah, aku ga akan memaksanya. Semua orang akan selalu menganggap anak perempuannya masih terlalu muda untuk tertarik pada anak laki-laki. Aku melirik ke arah Jenni, dan aku melihat senyuman terlebar yang pernah kulihat di wajahnya. Aku tahu dia senang aku percaya pada putriku sendiri, tahu bahwa dia ga akan melewati batas. Jenni punya pengalaman dengan ayah yang keras dan aku ga berencana menjadi ayah yang seperti itu untuk Agnes.

"Terus,“ kataku. "Gimana setelah Hadi pulang?"

Agnes lalu menceritakan bahwa Ana dan Hadi bertengkar, pertengkaran hebat yang akhirnya membuat Agnes pergi dari rumah. “Dia mau tahu kenapa Ibu menolaknya. Apa salahnya? Nah, Ibu bilang dia seharusnya tahu apa kesalahannya sendiri dan Ibu ga perlu memberitahunya.

"Ibu juga bilang padanya kalau dia sudah pindah ke kamar satunya. Aku yakin hubungan mereka sudah selesai. Saat aku membereskan koper, aku bisa dengar nada suara mereka makin tinggi. Om Hadi terus-menerus bilang kalau Ayah sudah merusak hubungan mereka yang indah, dan ga habis pikir kenapa Ibu mau dengan seorang pria cacat, maaf Ayah, tapi itu yang dia bilang, sedangkan Ibu punya laki-laki sehebat dia disampingnya. Kali ini aku harus tertawa. Dia orang yang membosankan! Ibu juga merasa begitu dan bilang padanya kalau Ayah sepuluh kali lipat lebih baik dari Om Hadi. Lalu dia membantah dengan bilang kalau memang begitu, kenapa dia bisa puas di tempat tidur bersamanya.

"Ibu mengingatkannya kalau kami ada di rumah dan kami anak-anak bisa dengar kata-katanya, dan nyatanya kami memang bisa dengar. Kami ga dengar yang Ibu bilang setelahnya karena jelas dia memelankan suara, tapi Om Hadi tetap teriak dan mengatakan apa yang dibisikkan Ibu sebagai kebohongan, karena dia tahu Ibu sangat puas. Lalu ada keheningan, diikuti dengan gumaman. Mereka ada di ruang tamu waktu itu dan aku sudah selesai berkemas, jadi aku meninggalkan catatan itu di dapur dan keluar dari rumah itu."

Perasaanku campur aduk mendengar semua itu, marah, malu karena mereka membicarakan hal-hal tempat tidur di dekat anak-anak, dan juga aku yakin ada perasaan sedih memikirkan semuanya, tapi sebelum itu ada hal yang lebih penting untuk dipikirkan dibanding memikirkan perasaanku, juga apa pengaruh semua cerita itu pada Jenni yang juga ikut mendengarkan dengan saksama.

Aku harus mencari cara untuk membuat Agnes mau kembali ke rumah itu, agar bisa memberi dukungan pada ibunya saat badai menghantam rumah itu Senin besok. Itu artinya dia harus tahu segalanya - selain pengerebekan polisi tentunya.

"Wah, Agnes," aku menghela napas, "Sungguh kacau suasana disana."

Dia ga bilang apa-apa. Ada keheningan. Kedua wanita itu menunggu komentarku dan kalimat sebelumnya jelas ga cukup untuk mereka.

"Agnes," lanjutku. "Kamu boleh menginap malam ini, tapi aku mau kamu besok pulang kesana."

Aku melihat dia akan memohon agar diijinkan menginap lebih lama, jadi aku meneruskan tanpa menunggunya berkata apapun.

"Dengarkan Ayah. Aku mau bilang sesuatu dan setelah aku selesai nanti kamu akan paham kenapa aku minta kamu pulang besok. Tapi sebelum itu sekali lagi aku harus minta supaya kamu ga cerita ke Ibumu atau adik-adikmu, dan terutama ke Hadi, jangan ada yang sampai bocor. Masih ada yang belum bisa kuceritakan ke kamu. Ayah sudah janji ke Om Hasan, kamu tahu kan dia Polisi, dan keberlangsungan pekerjaannya tergantung pada aku menepati janji itu. Kamu janji akan merahasiakan apa yang akan kuceritakan?"

"Ya, Ayah," katanya dengan nada pasrah, "Ya, aku janji."

Aku pura-pura ga dengar nada jengkel saat dia berjanji.

"Kamu ingat aku cerita ke Adrian soal laki-laki berbaju coklat di foto?"

"Ya," katanya ga sabar.

"Nah, namanya Iwan dan dia mengaku ke kami kalau dia dibayar tiga puluh juta untuk membuntuti aku, dan setelah itu melapor ke beberapa orang laki-laki lain. Di salah satu foto yang diperlihatkan Tris ke Ibumu adalah foto aku pergi meninggalkan stasiun bersama dengan Iwan itu.

"Iwan cerita dia sengaja berbohong dan memancingku untuk masuk ke mobil jemputan dari klienku, mobil sedan warna merah. Empat jam setelahnya tiga orang naik mobil sedan merah membuang tubuhku di sebuah tempat pembuangan sampah di Semarang.

"Ibumu ditunjukkan empat foto yang menunjukkan aku dengan tante Emma, sepupuku dari Singapore, tapi ga ada satu foto yang menunjukkan aku bertiga dengan sepupuku dan suaminya atau foto saat aku meninggalkan stasiun bersama Iwan.

"Pengemudi dan pemilik mobil merah itu adalah salah satu pegawai Hadi. Dua lainnya juga orang yang kerja dengan Hadi. Mereka bertiga itu pamer ke Iwan kalau mereka masing-masing dibayar seratus juta 'untuk pekerjaan itu'. Ada yang bilang ke mereka kalau aku mau ke Surabaya dan mereka merencanakan pembunuhan itu."

Aku ga perlu bicara lebih banyak lagi. Agnes sudah kelihatan ketakutan. Akhirnya dia bicara, suaranya bergetar.

"Ayah, aku takut. Apa maksud Ayah, Om Hadi mencoba membunuhmu?"

"Tidak, bukan gitu, Sayang. Aku ga tahu peran apa yang dia punya di kasus ini. Dari semua yang kalian ceritakan, aku ga merasa kamu atau adik-adikmu dalam bahaya sementara ini karena Hadi. Selama ini dia ga pernah mempedulikan kalian memang, tapi itu lebih baik daripada dia membenci kalian. Kalau memang dia yang merencanakan semua ini, yang aku sendiri belum yakin seratus persen, aku ga tahu dia ingin aku mati untuk mendapatkan Ibumu, atau uangku. Tapi dari perkataanmu lagi, dia sepertinya benar-benar jatuh cinta pada Ibumu, dengan caranya sendiri."

"Cinta? cinta?" dia berteriak. "Dia ga tahu apa-apa tentang cinta. Dia cuma mau memiliki Ibu. Aku benci dia!"

Keseriusannya membuatku khawatir. Aku mulai ragu apa dia bisa pura-pura ga tahu apa-apa setelah mendengar ceritaku.

"Agnes," kataku pelan, "Sangat penting kamu ga bilang atau menunjukkan apa yang kamu tahu. Senin pagi kamu akan tahu alasannya. Aku mau saat itu kamu ada di sana untuk membantu ibumu."

"Memangnya hari Senin ada apa, Ayah?" tanyanya, memohon padaku dengan tatapannya, sangat ingin tahu.

"Aku mau kamu percaya saja sama Ayah," jawabku serius. "Lebih baik kamu ga tahu. Seperti yang aku bilang, aku sudah janji sama Om Hasan, tapi Ayah janji kalian akan baik-baik saja."

"Kalau gitu, ini ada hubungannya dengan polisi." itu adalah pernyataan yang dia simpulkan sendiri. Dia tersenyum penuh arti dan aku rasa dia sudah tahu apa yang akan terjadi. Aku berusaha mempertahankan ekspresi datar.

"Satu lagi," kataku. "Kalau kalian punya masalah hari Senin besok, telepon aku. Aku akan bantu sebisaku."

"Oke," katanya, "Aku akan jaga rahasianya, Ayah."

Lalu aku ga ragu lagi dia pasti bisa menjaga rahasia.

"Bagus. Aku akan ada di rumah. Hubungi aku kalau kamu atau Ibu butuh aku."

Aku bangun dan bersiap menyiapkan tempat tidur Agnes di kamar lamanya.

"Waktunya tidur," kataku sambil bangkit berdiri. Jenni sedang mencuci piring dan peralatan masak untuk memastikan semua siap untuk dipakai lagi besok pagi. Agnes tersenyum penuh arti ke arahku sambil melirik Jenni, tapi ga bilang apa-apa. Begitu juga aku yang tetap diam di tempatku.

Ga dapat reaksi apa-apa dariku, dia mengangguk dan naik ke atas. Aku mendengar pintu kamar mandi tertutup. Aku membantu Jenni lalu setelah itu kami menyusul Agnes keatas.

Kami memakai kamar mandi di dalam kamar dan melepas pakaian, aku sengaja masih memakai boxerku. Jenni, telanjang di atas tempat tidur, menatapku penasaran.

"Aku ingat aku selalu mengantarnya sebelum tidur," kataku, merasa agak kekanakan.

"Itu cute banget," Jenni tersenyum.

Aku menunggu, duduk di tempat tidur, sampai aku mendengar Agnes keluar dari kamar mandi dan masuk ke kamar tidurnya. Telanjang dari pinggang ke atas, aku mengetuk pintunya dan dia berteriak menyuruhku masuk. Saat aku memasuki kamarnya. Dia sedang duduk di tempat tidur.

"Fuck!" serunya melihat tubuh dan kakiku.

"Agnes," aku menegur, "Aku ga tahu dari mana kamu belajar ngomong itu!"

Dia tersenyum, "Ayolah Ayah, pasti Ayah sudah pernah dengar yang jauh lebih parah dan begitu juga aku. Aku sudah dewasa sekarang. Tapi badanmu--!"

"Bukan pemandangan yang bagus, kan?" Aku menyambung sambil tersenyum, "Plat di sini, sekrup dan pin di sana, dan aku yakin kamu ga pernah lihat koleksi bekas luka yang lebih banyak."

Dia mulai menangis, membuatku kaget.

Aku duduk di tepi tempat tidurnya dan membelai wajahnya.

"Jangan menangis sayang. Ga ada yang terlalu sakit lagi, cuma beberapa kali nyeri sesekali."

"Bukan itu," isaknya. "Aku teringat betapa tampannya Ayah dulu, teman-temanku selalu iri karena aku punya Ayah yang keren."

"Aku masih orang yang sama di dalam tubuh penuh luka ini, Sayang."

"Aku tahu, tapi ngeri pada apa yang Ayah alami. Laki-laki itu!" nadanya penuh kemarahan.

"Lebih baik daripada mati sayangku, dan aku berhasil lolos dari kematian. Jangan khawatir."

"Ibu harus lihat apa yang dilakukan orang-orang itu, dan juga Hadi, apa yang sudah mereka lakukan ke Ayah. Apa Ayah ga mau balas dendam?"

"Aku marah pada apa yang dia lakukan, kalau dia yang melakukannya," kataku sambil merenung. "Aku marah karena Ibu ga mencariku lebih lama. Aku marah karena dia masuk ke dalam hidup kalian dengan cara paksa."

Jenni muncul di pintu dengan jubah mandi yang sangat pendek. Dia kelihatan cantik.

"Lihat ke pintu Agnes," aku menambahkan, "Aku mendapatkan kasih sayang dari dua wanita cantik, wanita luar biasa. Aku punya teman-teman yang luar biasa, tiga di antaranya sudah bekerja sangat keras untuk membantuku mencari bukti siapa yang melakukan ini kepadaku. Aku sudah menemukan sepupu dan keluargaku di Singapore, yang akan aku ceritakan di lain waktu.

"Aku kembali bekerja di kantor dan, sebagian besar karena Jenni, aku bisa bekerja dengan sangat baik. Aku jadi sangat menghargai hal-hal sederhana dan semua kemampuan yang harus aku pelajari lagi. Aku dapat kebebasan, dan cinta dari anak-anakku."

Aku menyibakkan rambut yang menutupi matanya, "Jadi, ga, aku ga mau lagi balas dendam, apa gunanya aku balas dendam?"

Agnes berbisik, lebih kepada dirinya sendiri, "Dan aku tahu Ibu juga mencintai Ayah."

Aku sebenarnya ga memperhatikan komentar itu. Jenni yang memberitahuku setelahnya

Aku merenungkan lagi kata-kataku tadi, dan memikirkan banyak hal sebelum menambahkan, "Yang sebenarnya aku mau, sayang - aku ingin keadilan. Mereka berbuat salah dan harus dihukum. Mereka harus belajar bahwa mereka sudah melakukan perbuatan yang jahat."

Agnes mengangguk. Jenni datang mendekat dan duduk di tempat tidur, meraih lenganku.

"Kamu lihat Agnes," katanya, "Ayahmu selalu melihat sebuah gelas yang setengah penuh, bukan setengah kosong. Itu artinya dia orang yang optimis. Banyak orang ga sadar apa yang mereka punya sampai mereka kehilangan semua. Ayahmu menghargai apa yang dia punya, karena dia hampir kehilangan semuanya."

Agnes memelukku.

"Ya sudah, selamat malam sayang, mimpi yang indah," kataku.

"Ayah dulu selalu bilang itu tiap malam," bisik Agnes, saat aku mencium keningnya dan Jenni memeluknya.

Lalu aku dan Jenni berjalan keluar.

"Jangan terlalu berisik," Agnes berseru saat kami menutup pintu.

Aku berhenti, tapi Jenni terkikik dan menarikku pergi dan kembali ke kamar tidur kami. Setelah itu kami berusaha supaya ga berisik.

Kami gagal.

Minggu pagi semua berjalan normal. Aku cerita ke Jenni soal apa yang akan terjadi Senin pagi besok. Agnes tidur sampai siang dan saat dia akhirnya muncul, kami keluar untuk makan siang sebelum mengantarnya pulang. Kami berhenti di depan gerbang rumah Hadi dan Agnes turun dari mobil. Saat dia mengambil kopernya dari kursi belakang, Ana berjalan keluar dari pintu depan rumah. Dia mendekati jendelaku dan aku menurunkannya.

Dia melihat Jenni, dan ekspresi bingung terlintas di wajahnya, dan ada ekspresi lain yang ga bisa ku tebak.

"Terima kasih karena sudah mengantarnya balik, Errik."

"Santai saja," jawab aku. "Aku rasa kamu akan lebih tenang kalau dia ada di rumah bersamamu."

"Kamu baik sekali," dia melirik Jenni yang tersenyum padanya.

Dia seperti mau bilang yang lain, tetapi berubah pikiran. Aku berpikir apa mungkin karena ada Jenni sehingga dia mengurungkan niatnya.

"Nah," katanya singkat. "Sekali lagi terima kasih."

Dia berbalik dan pergi, menarik salah satu tas Agnes saat dia berjalan kembali ke rumah.

"Sampai jumpa, Ayah," kata Agnes, memasukkan kepalanya melalui jendela yang terbuka untuk menciumku.

"Bye. Ingat - telepon kalau kamu butuh bantuanku untuk besok, apa saja."

Dia mengangguk dan meraih tas miliknya yang satu lagi lalu berjalan mengikuti ibunya.

Kami kembali ke rumahku dalam diam. Aku punya kesan bahwa Jenni, seperti juga Ana tadi, ingin bilang sesuatu, tapi dia menyimpannya dalam diam.

Ketika akhirnya dia berkata sesuatu, perseptif seperti biasa, yaitu bahwa Senin aku pasti ga masuk kerja, karena memang tanggal merah. Tapi dia juga merasa hari Selasa aku juga ga akan masuk kerja, karena itu kami menghabiskan sisa waktu sore itu untuk membahas pekerjaan yang masih harus kami lakukan. Aku memerintahkannya untuk menyelesaikan pekerjaan secepatnya supaya bisa ambil cuti hari Selasa. Kami sempat makan malam bersama sebelum dia pulang ke apartmentnnya.

Aku tidur awal malam itu, tiga gelas wiski memastikan aku tidur sebelum jam sembilan malam.

------

Seperti yang sudah kuduga, aku dibangunkan oleh dering telepon pada jam enam lewat empat puluh lima.

"Ayah," Telpon dari Agnes. "Om Hadi dibawa pergi Polisi. Mereka datang kesini sejak satu jam yang lalu."

"Apa kamu ga apa-apa?" tanyaku.

"Ya, ga apa-apa" gumamnya, "Cuma sedikit shock."

"Ibumu?"

"Dia kelihatan linglung, dia dari tadi keliling ke seluruh penjuru rumah untuk berberes. Polisi bikin rumah sedikit berantakan. Mereka mengeledah rumah, aku ga tahu apa yang mereka cari. Mereka mengambil komputer dan laptop Om Hadi juga banyak berkas punya Om Hadi. Ibu ga bilang apa-apa padaku. Seolah-olah ga terjadi apa-apa disini. Sekarang dia lagi siap-siap berangkat kerja."

"Usahain supaya dia ga pergi dan diam dirumah. Mungkin dia lupa kalau hari ini hari libur, ingatkan dia. Dia mungkin sedang shock, ga baik kalau dia keluar rumah, apalagi nyetir mobil."

"Oh ya, polisi bilang mereka akan datang lagi untuk bicara dengan Ibu. Seakan-akan mereka mengira Ibu juga terlibat, Ayah."

"Bisa kamu beritahu dia untuk telpon aku? Kalau polisi datang lagi, dia butuh didampingi. Nanti aku akan hubungi Om Alfon untuk minta tolong."

"Oke."

"Adik-adikmu gimana? Mereka ga ketakutan kan?"

Dia tertawa, "Mereka tidur terus, ga ada satupun yang bangun! Bahkan mereka ga tahu kalau polisi ada di kamar mereka saat mengeledah seluruh rumah."

"Baiklah. Bilang sekalian ke Ibu untuk menghubungiku soal menjaga anak-anak itu sementara."

Kami menutup telepon dan aku turun lalu bikin sarapan. Setelah itu bercukur, mandi, dan ganti baju. Aku sedang berjalan menuruni tangga saat telepon berdering lagi. Ana yang menelepon. Suaranya terdengar datar dan stres.

"Errik, kamu sibuk?"

"Halo Ana, aku ga sibuk, ini hari libur. Apa yang bisa aku bantu?"

"Oh, aku yakin kamu ingin membantu, kan?" bentaknya. "Apa belum cukup yang sudah kamu lakukan?"

"Sejauh yang aku tahu, aku belum melakukan apa pun." Aku berusaha keras untuk tetap tenang. "Aku cuma memberitahu Agnes untuk menyuruhmu meneleponku. Dia menceritakan apa yang terjadi tadi pagi."

"Ayolah Errik," jawabnya dengan kesal, "Kamu yang mengatur semua ini. Kamu kan yang melapor ke polisi dan membuat tuduhan buta bahwa Hadi mencoba membunuhmu!"

"Bukan."

"Iya!" dia berteriak di telepon.

Aku menjauhkan telepon dari telingaku.

"Kamu mau Hadi kena masalah," dia masih berteriak, "Karena dia mendapatkan aku dan kamu ga bisa."

"Dari mana kamu dapat pemikiran itu?" Aku merasa makin sulit untuk tetap tenang.

"Itu sudah jelas!"

"Itu ngawur! Kamulah yang membuat tuduhan buta padaku. Ga ada sama sekali aku berniat seperti itu. Aku berani sumpah, Ana. Kamu bisa tanya Adrian. Tanya Agnes. Tanya Jeffry atau Alfon, atau Vivi atau Susan. Aku yakin ga pernah lapor polisi secara langsung apalagi menuduh Hadi terlibat dalam kasus pembunuhanku. Selama ini kami hanya berangkat dari kasusku, kasus orang hilang yang kamu dan Hadi sendiri lah yang melaporkan ke polisi, lalu Hasan dan Jimmy sudah mencari bukti dan petunjuk siapa pelakunya, apa yang mereka simpulkan adalah berdasarkan bukti-bukti itu Aku ga pernah bilang apa-apa."

"Bagaimana mungkin aku bisa mempercayaimu?" Dia lebih tenang sekarang.

"Ana, kamu lebih ingat tentang hidup kita bersama daripada aku. Kamu harus ingat-ingat lagi apa aku orang yang suka bohong ke kamu. Aku tahu bahwa aku bilang yang sebenarnya, lagipula aku dapat apa kalau aku sampai bohong? Dan sebenarnya, kamu memang ga harus percaya kata-kataku, dan aku ga terlalu peduli entah kamu percaya atau tidak.

"Dan soal masalah cemburu yang kamu bilang, lagi-lagi aku rasa kamu sudah mengenalku selama dua puluh tahun, dan aku yakin kamu lebih ingat masa itu dari pada aku sendiri. Apakah selama itu aku pernah jadi tipe laki-laki pencemburu? Apa aku pernah ga percaya kamu?"

Diam lama. "Ya, ga pernah."

"Dengar Ana." Aku akhirnya ga bisa menahan diriku lebih lama lagi. "Saat ini aku punya dua wanita luar biasa yang mencintaiku, mereka berdua cantik dan memberikan cinta mereka sepenuh hati padaku. Jadi, kenapa aku harus iri? Kamu sudah melanjutkan hidupmu. Kamu sudah menceraikan aku. Kamu hidup dengan orang lain yang mencintaimu. Kamu bebas dan aku bebas, dan sejauh ini aku menikmati masa-masa kebebasanku, yang sebenarnya ga pernah aku inginkan, ingat itu. Sampai pagi ini, aku berasumsi kamu juga merasa begitu."

"Jadi, kenapa kamu mau bantu aku?" Dia sudah melupakan argumennya tadi, dan sekarang pindah ke pertanyaan yang tulus tanpa tujuan lain.

"Oh, demi Tuhan, Ana, kamu sudah memberikan dua puluh tahun hidupmu untuk menemaniku. Kamu sudah tertipu sehingga mengira aku sudah meninggalkanmu untuk wanita lain. Sekarang kamu sedang dalam masalah. Sekali lagi aku tanya padamu, apa aku tipe orang yang akan berdiri diam dan ga melakukan apa-apa saat kamu butuh bantuan? Kamu ibu dari anak-anak kita. Nah, sekarang apa itu sudah cukup atau kamu masih butuh penjelasan yang lain?"

"Maaf," katanya tiba-tiba. "Kamu benar. Semua yang kamu bilang tadi masuk akal. Selalu begitu," dia terdengar sedih. "Kamu tahu polisi akan datang lagi? Mereka mungkin akan menangkapku karena membantu Hadi."

"Ya, Agnes yang memberitahu aku."

"Aku ga tahu harus berbuat apa."

"Apa kamu mau aku datang kesana? Kamu sepertinya butuh dukungan moral."

"Kamu ga keberatan? Tapi kalau Hadi melihat kamu di sini--"

"Hadi ga akan pulang hari ini, percayalah. Untuk penyelidikan seperti ini, mereka punya waktu setidaknya satu kali dua puluh empat jam untuk menanyainya."

"Jadi, kamu memang tahu soal ini?"

"Ya. Hasan ngasih tahu aku tadi malam, tapi itu inisiatif dari dia sendiri dalam kapasitas sebagai temanku, bukan sebagai seorang polisi, dan aku sudah bersumpah akan merahasiakannya. Dia akan kehilangan pekerjaan kalau aku membocorkan rahasia. Menurutmu kenapa aku suruh Agnes pulang?"

"Jadi kamu bohong!"

"Bukan, Ana, aku ga bohong. Masalah aku sudah tahu soal penggerebekan polisi belum kita bahas dari tadi. Kamu tadi menuduh aku lapor ke polisi. Aku tidak melakukan itu. Walaupun aku tahu soal penggerebekan, bukan berarti aku yang lapor polisi, mereka bahkan belum menemui aku sama sekali. Hasan memang memberi tahu aku, tapi untuk itu dia harus mengambil risiko kehilangan pekerjaannya. Dia tahu aku cuma ingin memastikan kamu dan juga anak-anak aman."

"Oh."

"Jadi, masih mau aku datang?"

"Ya, tolong."

"Aku akan menghubungi Alfon juga. Kalau mereka ingin menangkapmu, kamu akan butuh bantuannya."

"Apa menurutmu mereka akan menangkap aku?"

"Aku ga tahu, tapi kalaupun seandainya mereka cuma menginterogasimu di rumah, akan lebih baik kalau Alfon ada di sana."

"Errik!" Dia terdengar sedikit panik. "Aku ga tahu apa-apa. Kamu harus percaya padaku!"

"Ana, ingatanku tidak lengkap tapi aku yang aku tahu kamu orang yang jujur. Tentu saja aku percaya kamu."

Dia menghela napas cukup keras sampai bisa kudengar.

"Aku akan sampai di sana setengah jam lagi."

Kami menutup telepon dan aku menelepon Alfon di rumahnya. Dia bilang karena hari ini libur, dia bisa langsung ke tempat Ana. Nyatanya dia tinggal ga terlalu jauh.

Aku sampai di sana lebih dulu. Aku mengetuk pintu dan segera saat pintu depan terbuka, aku disambut dengan pelukan oleh tiga anak muda yang mengelilingiku. Aku melihat ke depan dan di ujung ruang tamu besar itu ada Ana yang berdiri memandang kami. Dia tersenyum melihat kami, tapi aku bisa melihat kesedihan terpancar dari pandangannya. Dia tampak ragu untuk mendekat dan ikut menyambutku, jadi aku melepaskan diri dari anak-anak dan mendekatinya. Aku memeluknya dan mencium pipinya. Anak-anak tampak senang melihat itu.

"Jangan khawatir," bisikku.

Air mata muncul di sudut matanya saat dia berbalik dan mengajakku ke dapur, aku meminta anak-anak untuk tetap di ruang tamu dan menunggu Alfon datang.

Seperti ruang tamu, dapurnya juga sangat besar. Aku penasaran apa semua ruangan sebesar ini.

Ana menyadari aku melihat sekeliling dan berkata, "Ya, semuanya juga besar!"

Aku tertawa. "Kamu selalu bisa membaca pikiranku!"

Dia menyiapkan kopi dan setelah itu duduk di hadapanku.

"Aku ga ngerti semua ini," dia memulai dan air matanya mulai menetes.

"Sejujurnya, Ana," aku meyakinkannya, "Sebaiknya memang kamu ga tahu. Kalau aku memberitahumu apa yang aku tahu, itu hanya akan mempersulit posisimu di hadapan polisi saat mereka datang lagi. Saat mereka sudah mencoretmu dari daftar tersangka, yang aku yakin akan mereka lakukan, aku akan memberitahumu semua apa yang aku tahu. Setuju?"

Dia mengangguk.

"Errik," dia terisak, "Aku merasa jauh lebih tenang karena kamu di sini."

Ana tampak merasa bersalah tapi aku mengulurkan tangan ke seberang meja dan meremas tangannya. Dia tersenyum. Lalu aku mendengar suara mobil saat Alfon datang, mendapat salam yang sama sepertiku dari anak-anak, yang sudah berbulan-bulan ga ketemu 'Om Alfon'.

Aku bilang ke Alfon kalau aku ga ngasih tahu apapun ke Ana dan dia setuju itu yang terbaik untuk saat ini. Dia menjelaskan bahwa Hadi dan semua orang lain yang ditangkap akan diperiksa dengan lengkap. Mereka ga mungkin dilepaskan sampai minimal besok pagi kecuali mereka status mereka sudah ditetapkan sebagai tersangka, dalam hal ini mereka akan diproses lebih lanjut untuk menghadapi sidang. Dia juga memastikan bahwa Ana ga akan sampai ditahan, karena setahu dia ga ada bukti yang menyatakan keterlibatan Ana.

Sementara Alfon bertanya tentang masa-masanya bersama Hadi sejak aku menghilang, sambil aku mendengarkan ceritanya, aku punya kesempatan beberapa waktu untuk benar-benar memandangi mantan istriku.

Ana dari dulu dan sampai saat ini jelas adalah seorang wanita yang cantik dengan kecantikan yang masih terjaga seiring usianya yang memasuki kepala empat, kecantikan seorang wanita dewasa yang matang dengan keanggunannya. Rambutnya masih hitam tanpa ada uban yang tampak. Begitu juga ga terlihat kerutan di kulitnya, meskipun lehernya mulai menandakan usianya.

Tulang pipinya yang tinggi memastikan kecantikan wajahnya akan bertahan lama, mata lebar, hidung mancung, serta bibir yang ranum memberinya penampilan klasik yang tak lekang waktu. Saat dia bangkit untuk pergi ke dapur dan menyiapkan ronde kedua kopi untuk kami, aku bisa melihat jelas bahwa selama ini dia terus menjaga bentuk tubuhnya bahkan setelah melahirkan tiga orang anak. Aku dapat sekilas ingatan saat dia berlatih di gym selama berbulan-bulan setelah melahirkan Stefan. Pantatnya kencang, payudaranya besar, pinggangnya ramping dan betisnya seperti dipahat dengan indah.

Aku sangat sadar bahwa pria mana pun pasti akan tertarik padanya, murni ketertarikan pada bentuk fisik seksual, dan saat ada seorang laki-laki yang baru mengalami perceraian akibat rumah tangga yang berantakan, oh ya, sekarang aku ingat bahwa Hadi sering datang ke rumah kami dan menceritakan keluh kesahnya tentang rumah tangganya yang kacau, dan laki-laki seperti dia itu akan rela menyebrangi langit atau dalam kasusnya neraka, untuk mendapatkan seorang wanita seperti Ana.

Aku merasakan sedih dan marah yang mendalam karena Hadi sudah ‘menusuk’ ku dari belakang. Aku ingat mengajaknya ke cafe bersama teman-teman kami dan membiarkannya menginap semalaman saat dia minum terlalu banyak dan ga mau pulang. Ga lama setelahnya, rasa benci itu menyebar ke wanita yang sedang bicara dengan Alfon di meja dapur. Aku melirik ke luar jendela dan melihat setelah pagi yang cerah tadi, sekarang awan hitam bergelayut di langit dan air hujan mengguyur kaca jendela. Menangis untuk hubungan yang rusak, pikirku, agak terlalu mendramatisir suasana.

Aku mendengar Alfon bertanya padanya, kapan awal tepatnya, kapan dan alasan kenapa dia mulai berhubungan dengan Hadi, lalu terkait 'bukti' fotoku dengan wanita lain yang ternyata adalah sepupuku yang dia dapat, lalu berlanjut ke hal yang lebih pribadi. Aku melihatnya melirik sekilas ke arahku, dan dia sadar aku juga sedang mendengarkan ceritanya. Alfon lalu mulai jengkel saat Ana menghindari menjawab pertanyaan itu.

"Ana," katanya tegas. "Aku ada disini untuk membantumu. Polisi ga akan sesabar aku kalau kamu ga mau jujur."

Aku sadar diri lalu bangkit dan meninggalkan mereka, mulai mengelilingi lantai dasar rumah ini. Hadi tentu saja ga tanggung-tanggung merogoh kantongnya untuk melengkapi fasilitas rumah yang dibangunnya. Aku menemukan kolam renang, gym, ruang keluarga lengkap dengan segala peralatan elektroniknya, dan di ruang kerja, aku bisa melihat jelas tempat kosong di mana seharusnya komputernya berada. Lalu aku menaiki tangga dan menemukan kamar tidur utama.

Itu sepertinya langkah yang buruk. Sekarang aku bisa melihat ranjang tempat mereka tidur. Ruangan itu mewah dengan kamar mandi dalam dan lemari pakaian yang besarnya hampir seperti sebuah kamar terpisah. Lemari itu punya banyak pintu yang berbaris dan laci yang berderet dari lantai sampai ke atap dan ditengah-tengah ada meja rias yang menyatu disana.

Yang paling membuatku terpukul bukanlah tempat tidur atau apa yang pernah terjadi di atasnya, tapi meja rias dan lemari itu. Disanalah terangkum kehidupan intim mereka, di depan meja rias, dan lemari besar itu. Aku bisa membayangkan Ana duduk di meja rias sambil memakai riasan, berkeliaran disana hanya memakai pakaian dalam atau gaun tidur, Hadi sepertinya juga memakai tempat itu untuk berkaca atau bercukur. Mereka melakukan semua itu dalam kemewahan semacam itu, tanpa pernah memikirkan aku yang sementara itu bergelut dengan rasa sakit yang luar biasa di rumah sakit. Mungkin aku salah soal itu, setidaknya pada bagian Ana, tapi itulah yang ada di pikiranku saat itu.

"Bikin muak ya kan," kudengar suara putriku. "Dia menukar rumah kita yang indah dan semua kenangannya untuk semua ini... kemewahan yang ga berguna, bodoh!"

Aku berpaling padanya. "Aku pergi dari dapur. Ibumu sedang menceritakan ke Alfon tentang semua kehidupannya yang indah di sini. Dia merasa terganggu oleh kehadiranku! Itu cukup menjelaskan."

Wajahnya jadi muram. "Ayah, aku ingin tinggal denganmu. Aku bisa gila tinggal di sini dengannya. Sial!"

"Nah, soal itu, Sayang, kita nanti harus bicarakan dengan ibumu."

Dia tampak lega. "Ayah, ayo kutunjukkan isi rumah ini. Kamu sudah lihat di bawah?"

Aku mengangguk, dan dia mengajakku keliling lantai dua rumah itu sambil mengandeng tanganku.

Dia menunjukkan kamar tamu. "Ibu sekarang tidur di sini. Kayaknya aku sudah cerita soal itu."

Ruangan itu sederhana dan rapi, sangat mencerminkan penghuninya, dan entah bagaimana itu membuatku merasa baikan, mungkin itu karena kenyataan bahwa Ana menolak pendekatan seksual Hadi padanya.

Dia berjalan masuk ke masing-masing kamar adiknya dengan aku di belakangnya. Leo sedang memakai laptopnya sendiri, dan Stefan mendengarkan sesuatu memakai headphone. Mereka berdua melihatku datang dan tersenyum padaku.

"Agnes," kataku. "Kamu harus mengetuk sebelum masuk ke kamar mereka. Ini ruang pribadi mereka."

"Maaf Ayah," dia tersenyum, "Tapi bilang itu juga ke mereka, terutama Leo, dia sangat penasaran dengan perempuan, aku yakin dia beberapa kali sengaja masuk kamarku untuk melihatku telanjang."

Itu memberiku sesuatu untuk dipikirkan. Anak-anak ini butuh sosok ayah yang akan mendidik mereka. Aku bermaksud menjadi ayah yang seperti itu bagi mereka.

Aku mendengar bel pintu, Aku mengikuti Agnes untuk turun dan melihat Ana mempersilahkan dua orang polisi masuk. Satu seorang polisi laki-laki dengan kepala dicukur bersih tanpa rambut yang memakai jaket kulit dan seorang polwan yang memakai pakaian bebas yang rapi.

"Anda siapa?" tanya polisi laki-laki itu, bertanya padaku saat aku sampai di bawah.

"Aku Errik Riccardson, mantan suami Ana."

Polwan itu menyenggol rekannya.

"Itu dia," katanya, dan aku bisa melihat dia baru sadar kalau kasus penyerangan kepadakulah yang sedang mereka selidiki. Mereka memperhatikanku dengan teliti, dan aku bisa melihat efek rutin dari bekas lukaku pada mereka. Mereka ga komentar apapun tapi langsung melangkah mengikuti Ana ke ruang tengah.

Agnes dan aku mengikuti mereka. Mereka lalu menunjukkan surat perintah untuk membawa Ana ke kantor polisi karena dicurigai menjadi bagian konspirasi untuk penganiayaan dan percobaan pembunuhanku.

Alfon bertanya apa mereka bisa menginterogasinya di rumah, tapi mereka bersikeras membawanya ke kantor polisi.

Ana menoleh padaku dengan ekspresi khawatir.

"Mereka akan membawaku ke kantor Polisi," katanya sambil melirik Agnes.

"Jangan khawatir, Ana," kataku. "Aku akan mengajak anak-anak ke tempatku. Alfon akan memberiku kabar kalau kamu sudah pulang nanti."

Kami punya beberapa saat untuk bersiap-siap. Aku bilang pada anak-anak untuk mempersiapkan perlengkapan untuk beberapa hari, jadi ada cukup banyak barang yang harus diambil. Sementara itu kedua Polisi menunggu dengan sabar ditemani Alfon. Setelah siap kami keluar dan Ana mengunci rumah. Mereka mengizinkan Ana pergi dengan Alfon karena dia bertindak sebagai pengacaranya.

Aku dan anak-anak berangkat lebih dulu, mobilku penuh dengan segala hal yang mungkin dibutuhkan para pemuda untuk hiburan, mainan, juga baju ganti, seragam sekolah dan buku sekolah mereka, serta perlengkapan mandi. Anak-anak laki-laki ngoceh dengan semangat tentang prospek tinggal di rumah mereka lagi. Aku memikirkan apa mereka akan kangen pada ibu mereka, tapi aku senang Agnes akan ada untuk membantuku menenangkan adik-adiknya. Dia sendiri membawa dua koper besar yang berisi barang-barangnya, aku curiga mungkin dia ga ingin kembali lagi ke rumah Hadi, selamanya.



Bersambung... Chapter XVIII
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd