Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Pulang

XVIII. Mengalah

Kami mampir ke supermarket dalam perjalanan pulang ke rumahku, ada tambahan tiga buah perut kelaparan yang harus diisi. Aku membiarkan mereka bertiga memimpin di depan berkeliling ke penjuru supermarket sambil mereka mengisi troli dengan semua jenis sampah, lalu aku melengkapi dengan beberapa bahan makanan yang layak untuk makan malam nanti, plus sayur dan buah.

Saat kami pulang dan tiba di rumah, ada kerumunan orang di depan rumahku yang menghalangi jalan kami. Ada satu unit mobil liputan langsung dari sebuah TV nasional parkir tepat di depan rumah, satu lagi di seberang jalan dan beberapa motor yang diparkir sembarangan di sepanjang jalan sekitar rumah, dan pastinya sejumlah reporter yang entah sudah berapa lama berada disini. Mereka mundur untuk memberi jalan pada mobil kami, sebelum kilatan kamera fotografer dan todongan alat perekam beserta pertanyaan menghujani saat kami harus berhenti dan membuka pagar.

Kami parkir di depan rumah dan Agnes membantu adik-adiknya menurunkan barang-barang mereka dan masuk ke dalam rumah, sementara aku berjalan keluar menuju ke kerumunan wartawan dan meminta mereka untuk pergi dari sini. Pertanyaan terus mengalir dengan cepat dan acak, dan aku ga menjawab satu pun sampai mereka semua berada di luar pagar. Di depan todongan mikrofon dan alat perekam, aku mengangkat tanganku kedepan.

"Saya ga punya komentar apa-apa yang harus dikatakan, justru karena saya ga tahu apa-apa. Saya ga ingat peristiwa yang mengarah pada penangkapan hari ini, atau hari-hari sebelum itu dan juga setelahnya, jadi maaf, saya ga bisa komentar apa-apa."

"Pak Errik," kata salah satu wartawan, "Gimana perasaan Anda sekarang setelah polisi melakukan penangkapan?"

"Capek."

"Apa Anda sudah mengambil alih anak-anak dari ibunya untuk menjaga keselamatan mereka?"

"Ibu dari anak-anak itu sedang membantu polisi, dan sebagai ayah mereka, saya menjaga mereka atas permintaannya sampai dia pulang."

"Tapi anda membawanya ke sini."

"Ya, karena di sinilah saya tinggal. Mereka dulu juga tinggal di sini. Di saat yang seperti ini lebih baik mereka ada di tempat dimana mereka merasa familier dan nyaman."

"Apa Anda senang orang-orang ini ditangkap?"

"Kenapa saya harus senang? Sejauh yang saya tahu mereka membantu polisi. Seperti yang saya bilang tadi, saya ga tahu apa-apa."

"Tapi Anda pasti senang karena sudah ada kemajuan."

"Kalau sudah ada kemajuan, itu berarti bagus. Tapi saya ga tahu apa memang ada kemajuan sejauh ini. Sekarang saya minta tolong kalian untuk meninggalkan kami dengan tertib dan damai, terima kasih."

Saat itu aku mengunci gerbang dan berbalik, mengabaikan pertanyaan yang diteriakkan dari belakangku, tentang perceraianku dan hubungan Ana dengan Hadi.

Saat aku memasuki rumah, telepon rumah mulai berdering. Aku sengaja membiarkan mesin penjawab yang merespon, setelah itu aku mengubah pesan di mesin penjawab.

"Kalau Anda dari media atau pers anda ga akan mendapat jawaban. Keluarga dan teman, tinggalkan pesan dan aku akan menelepon balik."

Aku bilang pada anak-anak untuk ga mengangkat telepon, dan lama kelamaan kami terbiasa dengan deringnya, yang berulang kali berbunyi walaupun sudah dikecilkan. Akhirnya lama-kelamaan jumlah telepon masuk berkurang dan berhenti dengan sendirinya.

Hujan rintik-rintik, yang sudah menguyur sejak aku ada di rumah Hadi tadi terus berlanjut sepanjang hari tapi anak-anak sepertinya ga ada yang mempermasalahkan itu. Begitu mereka masuk, mereka mengambil tas mereka dan membawanya ke kamar lama mereka masing-masing. Agnes sudah menghilang ke dapur dan aku mendengar suara siulan dari ceret saat air di dalamnya mendidih. Aku mengambil seprei dan membereskan tempat tidur Leo dan Stefan, berjaga-jaga kalau Ana ga diperbolehkan pulang sampai besok. Tempat tidur Agnes sudah disiapkan sejak terakhir kali dia menginap sebelumnya. Leo dan Stefan sudah tenggelam dalam game mereka masing-masing dan hampir ga memperhatikan aku sama sekali. Itu melegakan, ga lama lagi mereka baru akan sadar Ibu mereka ga ada disini.

Tris meneleponku lewat ponselku untuk bilang bahwa dia akan datang ke Tangerang Kamis sore, sebelum keberangkatannya hari Jumat. Aku menawarinya untuk menginap Kamis malam itu dan dia menerimanya. Aku menawarinya tempat tidurku untuk malam itu dan dia tertawa, lalu sekali lagi menerimanya.

Siang itu aku membuatkan roti panggang, dengan isian telur rebus dan kentang goreng lengkap dengan saus di samping untuk mereka. Sederhana, tapi mereka terlihat sangat bahagia.

"Ayah," Leo membuka suara, "Kami belum pernah makan seperti ini sejak ..." dia ga menyelesaikan kata-katanya.

"Sejak aku menghilang, Leo?" Aku menyelesaikan untuknya. "Sejak aku dipukuli? Sejak aku hampir dibunuh? Kamu bisa menyebutkannya lho."

"Maaf Ayah," katanya.

"Ga perlu, Nak," jawabku. "Kamu tahu kan kamu boleh bilang apa saja ke Ayah."

"Apa Ayah akan mengajak Ibu tinggal disini?" tanya Stefan, merasa dia juga boleh bilang apa saja padaku.

Sekali lagi aku ditembak di tempat. Aku merasa ga ada peluang itu akan terjadi. Aku sudah memikirkan tentang kejadian pagi tadi sambil merapikan tempat tidur dan membuatkan makanan mereka tadi. Ana merasa terganggu untuk menceritakan hubungannya dengan Hadi saat aku ada didekatnya tadi. Aku disingkirkan dari sana. Ya, oke memang aku sendiri yang pergi dari sana, tapi itu hanya karena akan lebih memalukan kalau seandainya Alfon yang harus memintaku pergi agar Ana bisa bicara lebih bebas. Efeknya sama saja bagiku.

Ada hal-hal dalam hidupnya yang ga boleh aku ketahui. Ada pertanyaan yang muncul dalam benakku apakah sejarah hubungan Ana dan Hadi ternyata lebih panjang dari yang sudah kuketahui. Apa mereka sudah punya hubungan itu sebelum aku ‘disingkirkan’? Tanpa punya ingatan yang jelas tentang hari-hari dan minggu-minggu terakhir sebelum aku diserang, aku ga bisa menduga. Apa Ana juga terlibat dalam penyerangan itu?

Aku menepis pikiran itu. Dia jelas kaget saat tahu bahwa ternyata aku ga kabur dengan wanita lain, tapi nyatanya aku sudah diserang dan dipukuli. Dia sudah menjauh dari Hadi dan membatalkan pernikahan mereka saat dia tahu aku masih hidup. Tapi entahlah, mereka bisa saja sudah punya hubungan sebelumnya dan menjadi alasan kenapa Hadi harus menyingkirkanku. Apapun kondisinya, kami ga punya peluang untuk bersama lagi. Terlalu banyak yang sudah terjadi, walaupun kami bisa tetap berteman.

"Ga sesederhana itu, Stefan," ada banyak emosi dalam jawabanku. "Banyak yang sudah terjadi, dan kami sekarang sudah bukan suami istri lagi. Menurutku ga mungkin aku mengajaknya tinggal disini. Tapi kami berdua sayang kalian dan sejak saat ini kalian akan sering melihat kami berdua."

"Aku ga mau balik lagi ke sana!" kata Leo, dan yang lainnya mengangguk setuju.

"Ayah," kata Agnes bersemangat. "Dia mencuri Ibu darimu. Si bajingan licik itu menusukmu dari belakang! Dan untuk melakukan itu dia mencoba--"

"Agnes!" Aku berkata dengan tegas, dan dia berhenti, sadar dia sudah lupa pada janjinya.

"Dengar, Anak-anak," kataku dengan lebih tenang. "Kita akan bicarakan soal itu dengan Ibumu nanti."

"Ayah," tanya Leo, "Kenapa polisi membawa Ibu pergi? Dan di mana Om Hadi?"

Sekarang aku merasa aku harus menjawab dengan hati-hati, tetapi Agnes mendahuluiku. "Polisi menganggap dia melakukan tindakan kriminal, dan mereka membawa Ibu untuk ditanya sebagai saksi."

"Ga kaget kalau dia berbuat kriminal," gumam Leo.

Aku suka dengan jawaban Agnes dan merasa ga perlu menambahkan apa-apa lagi.

Sore berlalu begitu saja. Kerumunan di depan gerbang rumahku semakin menipis dan ketika matahari terbenam, akhirnya jalanan kembali kosong. Agnes sedang belajar di kamarnya, dia akan menghadapi Ujian Nasional mulai minggu depan. Aku khawatir bahwa semua guncangan ini akan mengganggu ketenangannya di saat-saat yang genting seperti ini. Leo dan Stefan seperti biasa main game di kamar mereka, aku ga tahu, mungkin mereka terbiasa bermain sendiri sejak aku menghilang. Menjelang malam, aku sibuk di dapur untuk menyiapkan makan malam.

Jam tujuh kami makan malam bersama dan setelah itu Leo mengerjakan tugas sekolahnya, kebiasaan anak laki-laki, bikin tugas menjelang deadline. Agnes memilih mandi sebelum melanjutkan belajar di kamarnya. Stefan ga punya PR yang harus dikerjakan. Memikirkan sekolah mereka besok, aku baru ingat mereka masih sekolah di sekolah di dekat sini, saat mereka pindah ke rumah Hadi, sepertinya mereka harus diantar atau naik kendaraan umum untuk kesini tiap hari. Tapi berangkat dari rumah ini, mereka bisa berjalan kaki.

Aku menyalakan TV untuk melihat berita. Aku ga menduga berita yang akan kulihat. Ada seorang reporter yang melaporkan ‘live’ dari luar Kantor Polisi Tangerang. Leo masuk ke ruangan saat reporter itu mulai bicara.

"Polisi menggerebek beberapa tempat di sekitar Karawaci dan Serpong hari ini dan menangkap lima orang pria sehubungan dengan kasus penyerangan brutal terhadap seorang pengusaha lokal dua tahun lalu. Sejak pagi tadi Polisi sudah meminta keterangan dari orang-orang yang ditahan dan salah satunya diketahui adalah pengusaha konstruksi bernama Hadi Firmanto. Selanjutnya, seorang wanita yang merupakan tunangan dari Hadi Firmanto juga dibawa ke kantor polisi. Wanita bernama Ana Gracia itu diketahui merupakan mantan istri dari korban penyerangan, Errik Riccardson. Polisi direncanakan akan memberikan keterangan tentang kasus itu malam ini.

"Errik Riccardson terluka parah dan waktu itu diperkirakan tidak akan bertahan hidup. Dr. Ahmad dari Rumah Sakit Umum Semarang mengatakan bahwa saat masuk, dokter memperkirakan peluang hidup korban hanya tiga persen."

Pembaca berita lalu bertanya kepada reporter: "Kenapa butuh lebih dari dua tahun bagi polisi untuk melakukan penangkapan?"

Reporter: "Ya, menurut informasi yang kami dapatkan, korban menderita luka parah sampai wajahnya hancur dan tidak bisa dikenali, begitu juga tidak ada identitas apapun untuk mengidentifikasinya, dan saat dia sadar dari koma, korban menderita amnesia."

Aku bersyukur mereka ga menayangkan rekaman saat aku diwawancara di depan rumah siang tadi.

Leo berdiri terpaku.

"Mereka sedang memberitakan Ayah, benar kan?"

"Iya."

"Apa itu benar? Apa Om Hadi yang melakukan ini ke Ayah?"

"Leo. Duduklah. Sebentar, sebelum itu sekalian panggil Stefan dan Agnes."

Dia menurut dan sekarang mereka bertiga sudah duduk didepanku. Aku mematikan TV.

"Oke," kataku. "Kejadian pagi ini baru saja masuk dalam berita. Aku ingin kalian dengarkan baik-baik apa yang mau Ayah sampaikan ini. Tidak ada o Tian dengarkan baik-baik apa yang mau Ayah sampaikan inirang yang bersalah sampai mereka terbukti bersalah. Ingat itu dulu.

"Hadi memang sudah ditangkap karena dicurigai, perhatikan ya, dicurigai, terlibat dalam usaha membunuh aku. Tiga orang karyawannya dicurigai sebagai pelaku langsung dalam perbuatan itu. Satu orang lain yang juga pernah kerja dengan Hadi dicurigai sebagai orang yang menjebakku untuk menemui tiga orang itu. Mereka dicurigai karena itu."

"Tapi polisi pasti punya alasan kuat," kata Leo.

"Ya, menurutku juga begitu."

Aku lalu menceritakan pada mereka fakta yang perlu mereka tahu, Aku mulai hafal dengan cerita itu.

"Menurutku mereka semua bersalah," kata Agnes kemudian.

"Tapi kecuali Ibu," Stefan menambahkan. "Dia ga akan melakukan itu. Dia sayang sama Ayah."

Stefan sepertinya adalah yang paling loyal pada ibunya dari mereka bertiga dan aku mengagumi kesetiaan yang ditunjukkannya, dan aku setuju dengannya. Aku ga bisa menerima kemungkinan bahwa Ana akan ikut bersekongkol untuk membunuhku. Itu bahkan terlalu terlalu ga masuk akal untuk dibayangkan.

"Aku tahu, Stefan, dan aku juga setuju denganmu, tapi aku ingin kamu ingat yang Ayah bilang tadi, tidak ada orang yang bersalah sampai mereka terbukti bersalah. Ibu memang ikut ditangkap. Tapi ditangkap bukan berarti bersalah. Jelas?"

"Ya, Ayah," jawab mereka serempak lalu berdiri dan memelukku sebelum kembali ke kamar mereka.

Saat mereka kembali ke atas, aku mendengar Leo bilang, "Aku berani taruhan Om Hadi bersalah," dan Stefan, "Aku juga."

Aku sudah melakukan apa yang aku bisa.

Agnes sekali lagi menghilang untuk belajar, meskipun bagaimana cara dia belajar sambil menyetel musik dengan suara keras, aku ga tahu.

Jam sembilan malam masih belum ada kabar tentang Ana, jadi aku menyuruh anak-anak untuk tidur lebih dulu. Lalu mampir memeriksa pesan di mesin penjawab. Ada pesan aneh dari orang ga dikenal, beberapa kasar, satu dari Jenni dan satu dari Tris meminta aku untuk menelepon kembali ketika keadaan sudah tenang. Alfon menelepon pada pukul sepuluh di ponselku dan bilang kalau menurutnya mereka akan segera selesai.

Agnes turun lagi saat dia mendengar ponselku berbunyi, dan setelah aku memberinya kabar dari Alfon, dia balik ke kamarnya. Jam sepuluh empat puluh lima bel pintu berbunyi. Aku membuka pintu dan disana ada Vivi, dan Ana yang terlihat pucat dan lemas bersamanya.

"Masuk," kataku. Mereka berjalan langsung ke dapur. Aku mengikuti lalu memasak air panas dan menghangatkan sup di panci. Mereka duduk di meja dan setelah air mendidih aku bergabung dengan mereka.

"Ana," kataku. "Kelihatannya kamu sudah diinterogasi habis-habisan."

"Ya, tapi sekarang dia sudah dilepaskan, Errik," kata Vivi. "Alfon menyuruhku memberitahumu bahwa yang lain akan dituntut dan perkara akan mulai dilimpahkan ke kejaksaan dalam waktu dekat."

"Aku ga ngerti," kata Ana. "Aku ga percaya Hadi akan bisa melakukan hal seperti itu. Polisi pasti membuat kesalahan. Dia orang yang sangat lembut. Kenapa polisi bisa mencurigainya?"

"Apa polisi ga bilang apa-apa?" Aku bertanya.

"Ga satupun. Mereka ingin tahu tentang... hubunganku dengan Hadi. Mereka mencoba mendalami dugaan aku membantu Hadi."

"Benarkah?" Aku bertanya.

Dia memulai.

"Tidak!" dia meninggikan suaranya. "Gimana bisa kamu percaya itu? Aku mencintaimu."

"Iwan bilang bahwa orang yang menyuruhnya tahu kapan aku akan pergi ke Surabaya dan dimana aku akan menginap selama disana."

Ada suasana hening yang mencekam setelah aku mengatakan itu, dan wajah Ana bergantian terlihat khawatir dan merasa bersalah.

"Ana?" Aku bertanya.

"Sepertinya aku mungkin sudah pernah cerita ke Hadi soal itu."

"Kapan kamu melakukan itu, Ana?"

"Errik!" sela Vivi. "Dia sudah diinterogasi polisi seharian. Sekarang kamu juga!"

"Maaf," kataku. "Aku cuma mau menunjukkan bahwa polisi mungkin punya alasan untuk menangkapmu, Ana."

Suasana kembali tegang. Aku berdiri dan mengaduk sup itu dan menyiapkan beberapa mangkuk.

"Kalian berdua sepertinya butuh makan sesuatu. Tunggu sebentar aku siapkan."

Aku membawa mangkuk ke depan mereka dan mereka makan dalam diam. Saat mereka selesai dan meminum teh mereka, aku melihat wajah Ana berangsur-angsur tersenyum dan wajahnya sudah ga terlalu pucat. Aku diingatkan lagi betapa cantiknya dia, dan betapa banyak aku telah kehilangan.

Lalu aku teringat pada berita tadi.

"Ana," kataku. "Leo melihat berita malam ini. Aku mengumpulkan mereka dan menegaskan bahwa tidak ada orang yang bersalah sampai terbukti bersalah. Sepertinya aku ga terlalu berhasil. Mereka semua percaya Hadi bersalah. Mereka ingin tinggal di sini. Aku cuma mau memperingatkanmu lebih awal."

"Apa kamu sekarang berusaha mempengaruhi mereka melawanku, Errik? Apa itu rencanamu?"

"Ana, kalau aku berniat begitu, aku ga akan memberitahumu soal ini. Mereka punya mata, mereka punya telinga. Aku cuma mau kamu siap seandainya mereka menanyakan soal ini."

"Tapi kamu ingin mereka tetap di sini."

"Tolong, Ana," kataku, semoga dengan nada sabar. "Apa yang aku inginkan sama sekali tidak relevan. Aku ga masalah di sini sendirian, tapi mereka adalah anak-anakku. Yang penting bagiku adalah apa yang terbaik bagi mereka. Secara pribadi menurutku mereka lebih baik denganmu, tapi mereka takut pada Hadi – Aku ga bilang apa-apa, " tambahku buru-buru.

"Oh."

Vivi menyela. "Sudah waktunya kita pergi," katanya pada Ana. Apa aku melihat kekecewaan di wajah Ana?

"Apa boleh aku mengucapkan selamat malam ke anak-anak?" Ana bertanya.

"Ya ampun, Ana," kataku. "Tentu boleh. Kamu ga perlu bertanya!"

Dia tersenyum dan meninggalkan ruangan.

Vivi ga buang-buang waktu setelah Ana keluar dari ruangan.

"Errik," katanya pelan. "Ana sedang ada dalam kondisi yang buruk. Dia sering mendapatkan pukulan telak selama beberapa minggu terakhir dan hari ini adalah puncaknya. Dia sedang sangat bingung; pertama dia dibangunkan jam setengah enam oleh polisi yang membawa tunangannya pergi tanpa memberitahunya apa-apa, yang dia tahu hanya dia ditangkap karena terlibat percobaan pembunuhan, lalu dia sendiri dibawa ke kantor polisi dan dihajar interogasi non-stop selama hampir delapan jam. Hanya bantuan dan jaminan dari Alfon yang membuat mereka akhirnya melepaskannya. Ga ada yang memberitahunya apa-apa sebelumnya tentang penyelidikan polisi itu dan dia sedang bingung dan takut. Cobalah kamu bantu dia, Errik. "

"Bukannya tunangannya yang harus bantu menjawab?" jawabku dingin. Kenapa semua orang menganggap aku punya tanggung jawab pada Ana?

"Dia sedang ga ada dan mungkin ga akan ada sampai persidangan."

"Kamu tahu itu bohong, Vi. Aku dan teman-temanku, termasuk suamimu adalah orang yang menyelidiki ini semua, dan kami tahu kami ga punya bukti kuat yang mengaitkan langsung Hadi dengan mereka bertiga, aku yakin besok dia akan bisa keluar dengan jaminan, dan mungkin Iwan juga. Hanya tiga eksekutor itu yang akan disidangkan, DNA ku ada di mobil mereka."

"Errik, tolong," pintanya. "Jangan melampiaskan rasa frustrasimu padaku. Ana sekarang dalam posisi serba salah, dia ga tahu apa dia bisa percaya Hadi atau tidak. Dia ga tahu semua faktanya dan dia perlu diberi tahu. Tolong Errik? "

Aku mengalah. "Oke, Vi," kataku, saat Ana kembali ke ruangan. "Kalau dia ingin tahu semua, dia yang harus datang padaku. Aku ga akan mencarinya."

"Mencari siapa?" tanya Ana.

"Kamu." Kataku singkat.

"Waktunya pergi," kata Vivi, sekali lagi menyela.

"Anak-anak gimana, Ana? Aku bisa mengantar mereka ke sekolah besok, tapi apa kamu mau mereka pulang ke rumahmu besok sore?"

"Aku ga tahu apa yang akan terjadi besok. Apa boleh mereka kesini dulu, Agnes juga?"

Aku mengangguk.

"Boleh aku datang besok? Aku perlu bicara denganmu."

"Kenapa ga datang awal, sebelum mereka pulang dari sekolah."

Vivi tersenyum padaku dengan penuh terima kasih. Ya, aku menyerah, tindakan bodoh. Ana juga terlihat sangat bersyukur dan bilang dia akan menelepon untuk mengabari lebih dulu. Aku bilang padanya untuk telepon ke ponselku. Aku ga tahu apa aku akan ke kantor besok.

Saat kami sampai di pintu, Vivi memelukku erat.

"Terima kasih," bisiknya. "Kamu orang baik."

"Aku orang bodoh!" Aku bergumam di telinganya, dan dia terkikik.

Ana mendekat untuk memelukku juga, dan sekali lagi aku merengkuhnya dalam tanganku, membawa kembali kenangan akan keintiman masa lalu kami. Dia mencium pipiku dan aku mencium pipinya. Ada air mata di wajahnya dan itu cukup untuk membuat tenggorokanku tercekat.


------​

Aku jarang masak sarapan selama hari kerja, jadi aku punya beberapa kotak sereal di lemari dapur, sebotol susu segar yang datang setiap hari, dan bertentangan dengan gaya hidup sehatku, setoples gula. Menyiapkan sarapan untuk putri dan putra sulungku yang bangun pagi-pagi terbukti merupakan tugas yang berat, tapi mengingat pagi hari sebelumnya yang mereka alami, aku ingin menyiapkan hari ini sebaik mungkin untuk mereka, Stefan juga sudah bangun dan terlihat riang. Aku bilang pada mereka untuk kembali kesini nanti sore sepulang sekolah karena kami masih belum tahu apa mereka akan menginap lagi nanti malam.

Awalnya aku meminta mereka untuk berjalan ke sekolah. Sekolah Stefan ga terlalu jauh dari sini dan sekolah kedua kakaknya hanya berjarak beberapa menit dari situ, tapi saat aku melihat keluar jendela aku melihat sudah ada sekelompok kecil wartawan di luar pagar rumah, jadi aku memilih mengantar anak-anak naik mobil, hampir menabrak beberapa wartawan nekat dalam prosesnya.

Saat aku kembali, barisan wartawan sudah hilang, jadi aku bersiap-siap dan berangkat ke kantor. Aku dapat pelukan dan ciuman sensual dari Jenni begitu kami sudah aman berada di ruanganku.

"Kangen," bisiknya.

Aku jawab aku juga kangen. Dia ingin tahu kejadian kemarin, jadi aku menceritakan itu padanya. Terakhir aku bilang Ana akan datang hari ini untuk bicara denganku, jadi aku akan pulang lebih awal. Aku ga bisa membaca ekspresi wajahnya, tapi ada sedikit ekspresi kekhawatiran disana. Aku ga komentar apa-apa.

Jam satu lewat, Jeffry masuk keruangan untuk bilang padaku bahwa di berita jam satu tadi dia melihat tayangan Ana dan Hadi meninggalkan kantor polisi. Semua berkas tersangka sudah diproses ke pengadilan untuk persiapan peradilan seperti yang kuduga, tiga orang eksekutor masih di tahan polisi, dan Hadi dan Iwan boleh pulang dengan penangguhan penahanan. Tampaknya ada hal yang kurang lengkap dari berkas mereka dan polisi diharuskan melengkapinya lebih dulu.

Jam dua siang, Ana menelepon.

"Errik," katanya dengan suara agak terengah-engah, dan bayangan tentang mereka berhubungan seks setelah bersatu kembali langsung muncul di benakku. Aku mengelengkan kepala untuk ga membayangkan yang tidak-tidak dan kembali mendengarkan.

"Apa kamu free sekarang?" dia bertanya. "Aku sudah di mobil menuju kesana."

Aku menghitung aku akan butuh lima menit untuk bersiap-siap pulang dari kantor, dan setidaknya sepuluh menit lagi untuk perjalanan pulang ke rumah.

"Dua puluh menit lagi aku sampai rumah," kataku.

Jenni dan aku berberes dan pergi bersama-sama. Saat kami keluar, ada beberapa wartawan yang memotret dan menghentikan kami. Mereka sengaja datang untuk mewawancarai kami, tapi aku sedang buru-buru untuk pulang sebelum Ana sampai. Jenni berhenti dan menemui mereka, dan aku pulang.

Aku baru masuk ke dalam rumah saat Ana tiba. Dia cuma memakai kaos dan jeans tapi terlihat sangat cantik, tapi seingatku dia terlihat cocok memakai apa saja.

Aku ga perlu basa-basi menanyakan dia mau minum apa dan mulai membuatkan teh untuknya. Dia duduk di meja dapur tanpa bicara sampai ada cangkir di hadapan kami masing-masing.

"Bisa kita pindah ke ruang tengah?" dia bertanya. Aku mengangguk dan kami pindah ke sana. Aku duduk di kursi besar berlengan dan dia di sofa. Dia menatapku dan aku merasakan pandangan permusuhan yang ditahan.

"Kenapa kamu melakukan ini pada Hadi?"

Pertanyaan itu kasar dan membuatku tertegun sejenak, tapi aku bisa menenangkan diri dan menjawab, "Seingatku kita pernah membahas ini sebelumnya. Aku tidak melakukan apa-apa pada Hadi."

"Tapi Hadi bilang begitu. Dia bilang kamu yang bertanggung jawab dalam hal ini."

"Oh ya? Wah kalau gitu sudah pasti Hadi benar, dan karena dia selalu jujur, tentu aku yang sudah berbohong." Kataku sinis.

"Dia bilang dengan jelas kamu menuduhnya mencoba membunuhmu."

"Ana, aku sudah bilang sebelumnya, kalau kamu bisa menemukan satu orang saja yang bilang aku melaporkannya ke polisi atas tuduhan apa pun, aku akan kagum, karena aku ga pernah melakukan itu. Aku ga pernah melaporkan Hadi ke Polisi. Tapi, sebelum itu, kenapa dia yakin dia ditangkap polisi karena laporanku?"

"Tapi kamu percaya dia yang sudah melakukan ini."

"Oh sejauh ini iya, tapi itu hal yang sama sekali berbeda dari melaporkan dia ke polisi."

"Maksudnya? Aku ga paham."

"Oke," kataku. "Aku akan menyampaikan seperti apa yang sudah kulakukan selama ini ke orang lain. Aku akan memberikan semua fakta yang aku tahu. Aku akan memberi kesempatan padamu untuk membuat kesimpulan sendiri, sama seperti siapapun yang sudah aku beri informasi ini. Jadi, kamu bisa menganalisanya dan memberikan pendapatmu sendiri. Gimana?"

"Errik," katanya sedih. "Ga ada yang pernah memberitahuku apa pun soal penyelidikan Hadi ini. Aku perlu tahu semuanya."

"Oke." Kataku lagi. "Kita mulai. Kamu tahu kan aku ga ingat apa-apa tentang peristiwa penyeranganku, atau waktu sebelum atau sesudahnya? Semua informasi itu datang dari orang lain. Gimana aku bisa menuduh seseorang? Aku ga tahu apa-apa soal itu dari pengalamanku sendiri. Agnes bilang bahwa Adrian sudah banyak memberitahumu apa yang kuceritakan. Aku akan mengulangnya sedikit secara langsung padamu.

"Aku ketemu Emma, sepupuku, secara kebetulan di hotel. Kamu ingat pria berbaju coklat di foto itu? Namanya Iwan, dia ada di hotel dan juga di stasiun. Kamu ingat fotoku pergi dari stasiun bersama Iwan? Baru-baru ini dia mengaku pada Hasan, Jimmy dan aku bahwa dia dibayar tiga puluh juta untuk membuntuti aku dan membawaku ke tiga orang lain, yang lalu dia sebutkan namanya dan akhirnya juga muncul di peristiwa penangkapan kemarin.

"Ketiga pria itu mengendarai Soluna Merah. Polisi menemukan mobil itu - minggu lalu kalau ga salah, Dan juga DNA-ku di bagasi mobil. Pada saat peristiwa penyeranganku, mobil itu terdaftar sebagai milik dari salah satu dari tiga orang itu. Mereka adalah pegawai di perusahaan Hadi. Iwan sendiri adalah subkontraktor yang sering dipakai oleh Hadi dan dia bilang bahwa ketiga orang itu pamer padanya bahwa mereka masing-masing dibayar seratus juta 'untuk menyelesaikan pekerjaan'.

"Ada seorang saksi mata yang melihat tiga orang menurunkan tubuhku ke lokasi pembuangan sampah tempatku ditemukan di Semarang dari bagasi sebuah mobil sedan merah.

"Berikutnya. Kembali ke foto, kamu cuma pernah melihat empat foto yang membuatku seolah punya hubungan dengan wanita lain. Dua foto lainnya, yang sebenarnya akan ‘membebaskanku’ dari tuduhan perselingkuhan itu ga pernah ditunjukkan padamu. Boy Rolan, kamu ingat dia adalah penyelidik yang kalian sewa, dia menemukan juga foto itu, kenapa ga ditunjukkan? Hasan menyebut istilah latin, 'Cui bono?' "

"Ya, aku tahu artinya,” sela Ana. "Artinya 'Siapa yang diuntungkan?'"

"Betul, dan itulah pertanyaan yang harus kamu jawab, bukan aku. Siapa yang diuntungkan dari disembunyikannya kedua foto yang tersisa itu?

"Semua orang bilang padaku bahwa kamu ga berhenti berharap aku akan kembali sampai kamu menerima surat yang konon dari aku memberi tahu kamu dengan enteng bahwa aku sudah ga mencintaimu lagi. Secara fisik, saat kamu menerima surat itu aku belum bisa menulis lagi, aku bahkan belum punya ingatan tentang kamu atau anak-anak pada saat itu. Itu jelas adalah pemalsuan. Jadi sekali lagi 'cui bono'?

"Sekarang," aku punya satu potongan puzzle lagi untuk kuberikan padanya. "Siapa yang mendesakmu untuk bercerai? Siapa yang mendesakmu untuk menuntut setengah kepemilikan saham perusahaan? Perusahaan konstruksi siapa yang sedang mengalami kesulitan keuangan yang parah dan butuh banyak uang dengan segera?"

Wajah Ana jadi semakin pucat dan gelisah saat ceritaku berlanjut.

"Hadi, tapi dia ga pernah bilang apa-apa soal perusahaannya sedang bermasalah," katanya pelan.

"Aku dapat informasi itu dari Hasan dan Jimmy, yang jelas-jelas tahu soal informasi rahasia semacam itu, Alfon sudah dengar soal kasus perusahaannya dari lingkungan pengadilan, Jeffry telah mendengar desas-desus soal itu, dan bahkan Agnes sedikit menebak kalau Hadi mungkin ga punya uang untuk membayar pembantu rumah tangga dibalik semua kemewahan rumahnya. Jadi bisa dibilang itu rahasia umum."

"Dan dia ga pernah memberitahuku," katanya termenung.

"Ana," kataku lembut, "Apa aku sudah menuduh Hadi dan melaporkannya ke Polisi? Tidak. Aku sudah menyampaikan faktanya padamu, sejauh yang aku tahu. Aku ga perlu menuduhnya, Ana. Fakta yang berbicara sendiri."

"T-tapi," seraknya, "Aku sudah berhubungan bersamanya selama ini, dan ternyata dia yang melakukan ini padamu? Aku merasa..."

"Kamu ga tahu semua itu."

“Errik. Dia sudah berbohong sejak awal. Dia memintaku untuk menunggu dan mengurus anak-anak dan mengijinkan dia mengambil alih pencarianmu.”

Dia terdiam. Aku melihat wajahnya. Itu menunjukkan penderitaannya, tapi lambat laun kemarahan menggantikan kesedihan di wajahnya. Aku menunggu, dan menunggu. Lalu dia bicara. Ada tekad kuat dalam suaranya, dan sekali lagi itu memicu ingatan yang lebih jelas tentang Ana yang aku kenal dan cintai. Dia bukan wanita lemah yang tidak berdaya, tapi wanita yang kuat dan mandiri. Aku rasa tragedi dalam hidupnya saat dia merasa suaminya meninggalkannya sudah menghancurkan kepercayaan diri dan ketegasannya. Surat palsu itu sudah memberinya bahan bakar pada kemarahannya padaku. Sekarang kemarahan itu diarahkan ke tempat lain.

"Yah, dia benar-benar tinggal sejarah sekarang. Aku perlu cari tempat untuk kami tinggali." Dia tersenyum kecut, "Lagipula aku memang ga suka harus mengurus rumah sebesar itu sendirian.”

Apa ini Ana yang dulu? Bahkan dalam situasi seperti ini dia bisa sedikit bercanda.

"Sekarang apa rencanamu selanjutnya, Ana? Maksudku malam ini?"

"Oh, aku akan kembali ke sana." Ketegasan terlihat lagi di rahangnya.

Dia berpikir sejenak.

"Boleh ga kalau anak-anak tetap di sini? Aku bisa menjaga diriku sendiri tapi aku ga mau mereka ada di sana."

"Apa kamu yakin," tanyaku, "Itu artinya kamu akan sendirian dengannya di rumah itu?"

"Errik," katanya sabar. "Hadi itu laki-laki pengecut. Dia ga akan melakukan kekerasan... dengan tangannya sendiri. Dan aku harus mengakui dia sangat mencintaiku," dia menambahkan dengan sombong, "Ingat juga, dia belum dapat apa pun dariku sejak aku bicara denganmu dan membatalkan pernikahan, kecuali kalau dia sudah melakukan beberapa ‘Do it Yourself’."

Kami berdua tertawa mendengarnya, dan telepon berdering, dari Jenni.

"Gimana keadaannya?" dia bertanya. "Apa kamu mau aku kesana?"

"Hai Jenni, "jawabku sambil memperhatikan wajah Ana. "Agak sedikit rumit. Ana menjemput Hadi pulang dari kantor polisi dan sekarang di sini. Anak-anak akan menginap lagi. Mau datang malam ini?"

Dia berpikir sejenak.

"Apa Ana akan menginap juga?" dia bertanya.

"Ga. Dia akan balik ke rumah Hadi malam ini. Dia punya masalah yang harus diselesaikan dengan dia. Lalu dia akan cari tempat lain untuk tinggal. Ada ide?"

"Belum ada, aku pikirin dulu dan kabari lagi." Jawab Jenni lalu menutup telepon.

Aku biasanya cukup cermat dalam membaca ekspresi wajah. Itu adalah skill yang sepertinya kembali lebih awal setelah aku mulai pulih. Ini skill penting untuk orang yang terlibat dalam penjualan dan negosiasi.

Tapi emosi di wajah Ana selama dia mendengarkan percakapan di telepon itu tidak tertangkap olehku. Apa itu kecewa, atau mungkin pasrah? Aku ga tahu. Yang jelas adalah itu bukanlah ekspresi wajah yang bahagia, tapi itu mungkin juga karena dia baru mengetahui tipu daya Hadi.

"Ada apa Ana?" Aku bertanya. Dalam hati, aku merasa yakin Jenni yang ada dipikirannya saat ini.

"Ga ada apa-apa," jawabnya dengan nada tenang yang membuatku ga bisa melanjutkan pertanyaan itu. Aku tahu lebih baik mengubah topik pembicaraan daripada mencoba tanya lagi.

"Nah, gimana tadi soal anak-anak?" pertanyaanku berikutnya.

"Oh," katanya. "Bisa kamu tolong jaga anak-anak sebentar? Aku tahu mereka akan senang ada di sini, ini lebih seperti rumah buat mereka. Aku akan mengumpulkan semua barang mereka besok saat Hadi pergi bekerja dan aku akan membawa semua ke sini."

"Oke, ga masalah," kataku. "Agnes sudah ketemu Jenni, dan Stefan dan Leo juga harus ketemu dengannya. Dia pintar bergaul dengan anak-anak, jadi seharusnya ga ada masalah."

Aku bergegas ke pertanyaan berikutnya: "Gimana kamu akan menyelesaikan masalah dengan Hadi?"

"Aku rasa ga perlu. Aku akan bilang bahwa anak-anak akan tinggal bersamamu, tapi selain itu aku akan pura-pura ga tahu apa-apa. Aku pernah hidup dengan kebohongannya, dan dia bisa hidup dengan kebohonganku, atau dalam hal ini aku yang pura-pura ga tahu apa-apa. Dia mulai terbiasa tidur sendirian. Aku mungkin sudah membatalkan pernikahan, tapi aku masih tetap tunangannya. Aku bisa menahan untuk ciuman dan pelukan sesekali. Aku juga perlu cari tempat untuk disewa, dan kalau sudah dapat, aku akan bersenang-senang dengan pikirannya."

Dia melihatku yang bingung dengan maksudnya.

"Aku akan beri tahu dia apa yang sudah aku putuskan. Errik, aku akan membatalkan semua klaim atasmu secara finansial. Aku ga ingin punya bagian kepemilikan saham perusahaanmu, aku ga pernah mau itu dari dulu. Waktu itu aku melakukan apa yang menurut Hadi adalah yang terbaik, dan sekarang aku sudah tahu alasannya.

"Ya Tuhan! Aku begitu mudah dibodohi! Aku juga akan membatalkan semua tuntutan atas uang pemeliharaan apa pun. Lalu aku akan memberitahunya. Itu berarti ga akan ada uang untuknya, lalu aku akan lihat apa dia akan lakukan. Aku hanya ingin tahu sejauh ini yang dia lakukan adalah untuk mendapatkanku atau uangku.

“Akan lebih mudah kalau seandainya dia mengusirku. Aku tinggal memindahkan semua barangku dan akhirnya bilang padanya bahwa hubungan kami sudah selesai."

Aku harus mengakui bahwa aku harus mengagumi cara berpikir dan kesadisannya yang penuh perhitungan. Itu adalah sisi dirinya yang ga aku ketahui atau ga ingat, dan dengan cepat memutuskan bahwa aku ga ingin mengingatnya.

"Mau menunggu anak-anak pulang sambil minum teh?" Aku bertanya.

"Boleh," jawabnya sambil tersenyum. "Akan menyenangkan ada di dekat anak-anak yang ga merasa stres karena ada Hadi, mereka benar-benar membencinya, tahu."

"Ya, aku tahu," jawabku dengan menyeringai. "Mereka sudah bilang. Oh ya, Agnes juga bilang hal lain yang bikin aku sedikit khawatir. Dia bilang dia ga suka cara pria itu memandangnya."

Ana tampak terkejut lalu bibirnya melengkung cemberut karena jengkel. "Lebih baik Agnes pindah permanen dari sana kalau gitu." Ada jeda dan alisnya berkerut. "Itu memang bikin khawatir."

Aku memutuskan untuk sekaligus menyiapkan makanan untuk nanti, memasak potongan daging dalam remah roti dengan nasi, jagung dan buncis, dan setelah itu membuat pai apel. Dia ingin membantu dan kami kembali ke dapur dan bekerja sama menyiapkan semuanya agar siap saat anak-anak datang.

Saat Leo dan Stefan akhirnya pulang, mereka bersorak kegirangan saat melihat ibu mereka dan mungkin terutama karena melihatnya bersamaku di dapur seperti yang mereka harapkan.

Setelah mereka memeluknya, pertanyaan yang tak terhindarkan dimulai.

"Apa kamu juga ikut pulang, Bu?" tanya Leo

"Apa Ibu juga akan tinggal dengan Ayah sekarang?" sambung Stefan.

"Satu per satu!" teriak Ana, saat dia berusaha untuk bernafas karena dijepit oleh pelukan erat anak-anaknya. "Ibu sudah minta sama Ayah supaya kalian bisa tinggal di sini dulu, sampai Ibu bisa menemukan tempat tinggal baru."

"Apa itu artinya kita ga akan tinggal lagi dengan dia?" tanya Stefan.

"Ya," katanya. "Kalian ga akan pernah kembali ke rumah itu lagi."

"Mantab!” senyum lebar menghiasi wajahnya, seperti juga Leo.

"Apa Ibu juga akan pulang?" desak Leo.

"Leo, ga semudah itu. Ayah sudah sama orang lain sekarang, namanya Jennifer, dan sampai sekarang pun Ibu masih tunangan Om Hadi."

"Apa ga bisa Ayah tinggalin dia, seperti Ibu akan meninggalkan Om Hadi?"

"Leo!" seru Ana, "Ada alasan bagus kenapa aku akan meninggalkan Om Hadi."

"Ya, dia mencoba membunuh Ayah," kata Stefan.

"Dari mana kamu dengar itu?" Ana bertanya dengan agresif dan menatap ke arahku dengan tajam.

"Beritanya ada di TV, Bu."

"Dan apa yang sudah aku bilang ke kalian, Stefan?" Aku bertanya padanya.

"Tidak ada orang yang bersalah sampai mereka terbukti bersalah," sela Leo.

Ana kelihatan lega, tapi aku tersinggung. Dia menganggap aku yang sudah mempengaruhi anak-anak bahkan setelah aku bilang padanya aku ga melakukan itu. Aku balik menatapnya dan dia terlihat malu pipinya memerah walaupun dia berhasil mempertahankan keanggunannya.

"Tapi Ibu meninggalkan dia berarti Ibu juga setuju dia bersalah," tambah Leo.

Sekarang Ana kelihatan bingung.

"Menurutku ada cukup bukti untuk khawatir pada keselamatan kalian," katanya tanpa menjelaskan lebih detail, "Dan karena itulah aku mau kalian tetap di sini. Segera setelah Ibu bisa menemukan tempat tinggal baru, aku akan mengajak kalian kesana. Sementara ini aku akan balik ke tempat Hadi sendiri."

Aku sudah cukup mendengar perdebatan mereka.

"Oke, anak-anak," kataku tegas. "Dengar. Kalian bertiga akan tinggal di sini bersamaku. Ibu harus menyelesaikan masalahnya dengan Om Hadi dengan cara yang benar, dan dia harus mencari tempat tinggal baru. Dia ga bisa tinggal bersamaku karena aku sudah punya pacar yang ga akan aku ‘tinggalkan’ seperti yang kamu katakan tadi, Leo. Kamu akan ketemu dengan Jenni nanti malam atau besok. Dia wanita yang baik dan kalian harus bersikap sopan padanya. Agnes sudah ketemu dan menyukainya. Perdebatan selesai."

Pada titik ini Agnes sampai, "Siapa yang aku suka, Ayah?" tanyanya, masuk melalui pintu.

"Jenni."

"Oh, ya," katanya dengan antusias. "Dia sangat keren. Oh, halo Ibu!"

Kalimat terakhir dikatakan dengan nada kaget bercampur senang dan dia mendekat ke Ana dan memeluknya.

"Ibu ga buru-buru kan?" tanyanya, dan dijawab dengan anggukan Ana.

Anak-anak bubar dan naik ke kamar masing-masing untuk ganti pakaian, dan beberapa jam kemudian aku dan Ana sudah selesai menyiapkan makan malam. Ini salah satu makanan favorit anak-anakku dan biasanya disipakan saat ada perayaan tertentu, ulang tahun mereka misalnya. Memori lain yang muncul.

Malamnya kami makan bersama di ruang makan seperti yang selalu kami lakukan dulu. Suasana yang hangat dan terasa seperti seharusnya, tapi disaat yang sama ada perasaan ini bukan momen nyata karena saat ini kami bukan lagi satu keluarga yang utuh. Meskipun begitu, percakapan diantara kami tetap mengalir dengan banyak bahasan tentang sekolah dan teman. Ada banyak tawa dan canda diantara kata-kata, Ana juga berusaha untuk sebaik mungkin meniadakan jarak diantara kami, dihadapan anak-anak.

Sekali lagi aku diingatkan dengan lebih jelas dari sebelumnya betapa cantiknya dia, betapa ekspresif wajah anggunnya, betapa cerdas dan cepat daya pikirnya, dan bagaimana senyumnya menjadi bagian terbaik darinya. Lalu kemarahan muncul karena semua yang kami miliki, semua kehidupan keluarga yang bahagia ini sudah dihancurkan begitu saja oleh pria yang kepadanya Ana akan pulang.

Setelah makan, Ana harus pulang, tapi dia bilang akan datang lagi besok untuk mengantarkan barang-barang anak-anak. Bagi anak-anak, itu jadi semacam konfirmasi yang mereka perlukan bahwa artinya mereka ga akan kembali kesana dan itu membuat mereka kelihatan senang dan puas.

Setelah Ana pulang, Jenni menelepon. Dia bilang dia punya ide yang entah aku suka atau ga, tapi akan dia ceritakan saat dia sampai disini. Dia juga bilang dia ga akan menginap malam ini, karena Leo dan Stefan baru saja pindah dan mungkin ga nyaman jika ada orang lain yang menginap disini.

Dia sampai dan aku memanggil kedua anak laki-laki untuk berkenalan dengannya.

Stefan menemuinya, bilang "Halo" dan balik lagi ke game-nya.

Tapi Leo cuma berdiri dan aku harus menahan tawaku. Dia menatap Jenni dan aku kenal jenis tatapan itu. Dia sudah jatuh cinta pada pandangan pertama. Dia malu-malu dan ga bisa berkata-kata, tapi pandangannya ga bisa berpaling dari Jenni. Remaja tiga belas tahun jatuh cinta pada seorang wanita berumur lebih dari dua kali lipatnya!

"Halo, Leo," kata Jenni lembut sambil tersenyum.

"H-halo," dia tergagap lalu berbalik dan lari.

Jenni menoleh ke arahku dan tampak bingung.

"Kenapa dia?"

"Dia jatuh cinta padamu," aku tertawa.

"Apa?"

"Dia terpikat. Kamu sudah mencuri hatinya! Aku punya saingan. Apa kamu akan meninggalkan aku karena dia?"

Dia paham maksudku dengan segera.

"Yah, dia jauh lebih muda darimu, dan jauh lebih tampan! Aku bisa tergoda!"

Kami lalu menertawakan itu, dan pergi ke ruang tengah.

"Aku punya ide," kata Jenni, "Mungkin kamu ga akan setuju."

"Teruskan."

"Nah, Ana kan butuh tempat tinggal."

"Wah, jago banget analisamu," kataku dengan sedikit sarkasme.

"Mau tahu ideku atau ga?"

"Maaf, Jenni, lanjutkan. Aku janji ga nakal," aku berusaha terlihat menyesal dan gagal. Jenni menghela napas, jengkel.

"Kamu masih punya apartment yang sewanya belum habis kan?"

Aku segera mengerti idenya, walaupun ternyata salah. "Memang, tapi disana kurang besar untuk dia dan anak-anak, dan jauh dari sekolah mereka."

"Biar aku selesaiin dulu." dia menggeram, jadi makin jengkel.

"Maaf."

"Kenapa Ana ga tinggal disini?"

"Ga mungkin," jawabku. "Kami sudah cerai dan terlalu banyak masalah untuk kami bisa kembali bersama, lagipula aku sudah punya kamu."

"Errik!"

"Maaf."

"Ana tinggal disini bersama anak-anak. Kamu yang pindah ke apartment."

Aku kaget. Itu ide menarik yang ga pernah terpikir olehku. Mengalah bukan berarti kalah.



Bersambung... Chapter XIX
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd