Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Pulang

XIX. Cinta


Aneh, bahwa ada solusi yang paling gampang bisa luput dari pikiran saat justru pilihan-pilihan lain yang lebih sulit muncul begitu saja. Ide Jenni agar Ana pindah ke rumahku dan aku balik pindah ke apartment memang simpel, tapi sangat tepat.

Sudah tentu tempat yang paling pas untuk tempat tinggal Ana adalah bersama anak-anak. Anak-anak ada di rumahku, oleh karena itu dia sudah seharusnya juga ada di rumahku. Karena aku ga bisa tinggal serumah dengannya, tempat yang paling cocok bagiku ya apartmentku. Aku tinggal membahas kapan aku boleh menemui anak-anakku, meskipun di rumahku sendiri. Mungkin mereka bisa menginap di apartementku tiap weekend, asal ga sekaligus bertiga dan harus gantian.

Aku memikirkan semua kemungkinan itu di kepalaku saat Jenni menatapku dengan cemas, masih takut aku ga suka idenya yang akan membuatku harus pergi dari rumah ini lagi.

"Kamu benar, Jenni," kataku menenangkannya. "Itu ide bagus. Sudah jelas. Ana akan datang lagi kesini besok bawa barang-barang anak-anak. Kita bisa bicarakan soal itu dengannya nanti."

"Kita?" Gumamnya, "Ada yang harus kerja dan ga bisa sering-sering bolos dari kantor kalau ga mau dipecat."

"Oh, iya juga," kataku meminta maaf, "Maaf. Kamu bisa tolong tangani pekerjaan di kantor saat aku selesaikan dulu urusan ini?"

Dia memelukku. "Tentu saja, idiot! Kamu harus mengurus keluargamu lebih dulu. Tapi ingat, ada meeting di Thailand minggu depan, dua hari mulai hari Selasa."

"Malam ini kamu menginap disini?"

"Tidak," katanya tegas. "Besok aku harus ke kantor pagi-pagi, dan aku sudah terlalu lama ga nginap ditempatmu dan itu artinya kan banyak aktivitas malam, bikin aku ga bisa bangun pagi, dan bukannya kamu sendiri harus mengantar anak-anak ke sekolah? Kita harus bersabar lebih lama sedikit."

Aku sebenarnya merasa lega. Untuk sementara ini aku terhindar dari reaksi dan pertanyaan dari anak-anakku. Dengan Agnes aku sudah ga punya masalah, tapi akan jadi masalah berbeda dengan Leo dan Stefan, terutama Leo!

Jenni berkeliling ke kamar anak-anak untuk pamit, dia dapat pelukan dari Agnes dan pandangan sekilas dan gumaman selamat malam dari Stefan. Dia lalu menemui Leo, mengucapkan selamat malam dan mencium pipinya. Aku hanya memandangi mereka dari ambang pintu kamar Leo, Jenni lalu berjalan ke arahku sambil menyeringai, dan Leo menyentuh pipinya yang sekarang memerah, wajahnya campuran antara kaget dan mabuk.

"Lumayan juga dua dari tiga orang," kataku saat kami menuruni tangga. "Mungkin sikap Stefan akan mencair saat dia melihat sendiri bagaimana reaksi kakak-kakaknya kepadamu."

"Semoga saja!" dia menyeringai. "Aku sudah ga sabar untuk diterima oleh mereka semua dan bisa menginap bersamamu. Ya sudah, aku pulang dulu, selamat malam."

Ciuman selamat malam yang ku terima bukanlah kecupan lembut di pipi tapi lebih seperti undangan seksual yang menjurus ke hal-hal yang lebih lanjut. Kami berdua terengah-engah saat kami melepaskan diri dan diam sejenak saling menatap hangat dan tersenyum lebar, lalu dia pergi.

Merenung kebelakang, aku agak heran kenapa aku ga terpikir sendiri solusi dari Jenni tadi. Aku menikmati kembali ke rumah ini, dan aku suka akibat yang ditimbulkan dari tinggal disini pada pikiran dan ingatanku. Tapi meminta Ana kembali tinggal di rumah ini sepertinya sangat masuk akal, walaupun ada sedikit keraguan di hatiku apakah sebenarnya aku cuma mau dia menjauh dari Hadi - apa aku ingin mencuri Ana darinya sebagai balas dendam bahkan seandainya pun aku ga berniat untuk kembali dengannya.

Bagaimanapun, segala sesuatu berjalan begitu cepat sejak saat itu, dan aku hampir ga punya waktu untuk memikirkan dengan baik.

Anak-anak berjalan ke sekolah keesokan paginya, hari Rabu di minggu awal Bulan Mei. Menurutku mereka senang bisa berjalan kaki lagi saat berangkat ke sekolah. Sudah ga ada wartawan hari ini karena perkembangan kasus ada ditangan Polisi dan jaksa. Ketiga anakku dengan bebas berjalan ke sekolah mereka masing-masing. Aku sendiri sekarang punya waktu untuk membereskan rumah.

Ana datang jam setengah sebelas siang. Kami membawa barang-barang anak-anak di kamar mereka masing-masing dan setelah itu kembali bertemu di dapur. Ana lalu berpamitan untuk pergi lagi.

"Aku akan kembali ke kantor," katanya sambil mengambil tas dan blazernya. "Apa kamu bisa berberes sendirian?"

Aku memandangnya bingung.

"Sudah pasti kamu bisa," dia tersenyum lalu menghela nafas. "Aku sudah terbiasa hidup dengan Hadi. Dia ga bisa diandalkan soal itu. Aku ga pernah bisa meninggalkan anak-anak bersamanya!"

"Ana," kataku. "Kamu ada waktu sebentar sebelum kamu pergi? Aku mau bilang sesuatu."

Dia berhenti dan kelihatan khawatir. "Ya, ada apa?"

"Jenni dapat ide tadi malam."

"Oh ya?" katanya curiga.

"Kamu sedang cari tempat tinggal kan?"

"Iya. Aku sudah bilang itu kan kemarin."

"Kalau gitu, Ana, kenapa kamu ga pindah ke rumah ini saja? Ini tempat yang paling disukai oleh anak-anak. Dan Ini sudah pernah jadi rumahmu juga selama bertahun-tahun. Jadi ga masalah kan kalau kamu tinggal disini lagi?"

Ekspresi di wajahnya menunjukkan bahwa aku sudah mengatakan sesuatu yang sudah ditunggunya. Dia kelihatan kaget, lalu setengah menahan senyuman.

"Sudah pasti aku akan pindah dari sini," tambahku. "Aku masih punya apartment sewaan di Serpong. Disana cukup besar buatku, dan cukup besar seandainya anak-anak mau datang pas weekend, asalkan ga sekaligus bertiga."

Ekspresinya berubah; senyumnya menghilang.

"Oh," katanya.

Emosi lain terlintas di wajahnya yang sayangnya ga bisa kutebak sebelum hilang. Setelah itu seolah-olah dia menenangkan diri dengan menghembuskan nafas panjang.

"Errik," katanya, "Kamu ga perlu berbuat begitu. Kamu sudah membeli rumah ini, ini milikmu sepenuhnya. Aku ga mau kamu meninggalkannya begitu saja buat kami, lalu kamu sendiri tinggal di apartment sempit."

"Itu yang aku mau, dan itu yang kamu butuhkan, Ana," jawabku. "Anak-anak butuh kamu. Kalian bisa bersama lagi di rumah yang kalian semua cintai. Terima tawaran ini demi mereka. Aku yakin kamu juga akan lebih bahagia di sini, daripada harus tinggal di rumah kontrakan. Dan ngomong-ngomong, apartementnya sama sekali ga sempit!"

Dia terdiam lama. Dahinya berkerut tampak berpikir keras dan setelah itu senyumnya kembali muncul, aku tahu dia pasti sudah punya keputusan bulat.

"Oke," katanya, agak enggan, "Tapi ini adalah rumahmu yang sesungguhnya dan kamu harus datang dan pergi kesini sesukamu. Jangan menjauh. Kamu akan datang ke sini untuk melihat anak-anak, kan? Sering?"

Lalu seolah-olah sebagai penutup dan meski lebih pelan aku bisa mendengarnya, "Dan aku juga ingin melihatmu."

"Aku punya dua permintaan untukmu," aku memberanikan diri.

"Apa itu?"

"Pertama, apa kamu bisa tinggal disini menemani anak-anak weekend ini sementara aku mau membersihkan apartementnya? Apartement itu sudah lama ga ditempati, pasti apek dan berdebu."

Dia tersenyum. "Dengan senang hati."

"Jumat malam sampai Senin pagi?"

"Oke. Dan yang kedua?"

"Aku harus pergi ke Bangkok minggu depan, berangkat hari Selasa dan pulang hari Kamis."

"Kamu mau aku menginap di sini lagi?"

"Kalau kamu ga keberatan."

"Ga masalah. Dengan begini terus, aku ga akan sering ketemu Hadi sampai aku benar-benar pindah dari sana." Senyumnya melebar.

"Jadi," katanya. "Aku seharusnya akan bisa pindah secara permanen weekend minggu depan. Aku akan senang bebas dari Hadi, bikin aku muak karena harus tinggal di rumah yang sama."

"Bagus," kataku lega, "Aku akan minta Jenni untuk membantu memindahkan barang-barangku hari Sabtu. Berarti kamu akan pindah permanen kesini mulai Sabtu minggu depan kan?"

Dia mengangguk.

"Dan kalau kamu mau, kamu bisa makan malam di sini bersama anak-anak setiap hari sampai pindah nanti. Kamu ga harus memasak buat Hadi kan?"

"Ga lagi." Rahangnya mengeras lagi saat dia mengatakan itu.

"Satu hal lagi," kataku ragu-ragu. "Tris akan pulang ke Timor Leste Jumat lusa, dia akan datang dan menginap di sini sebelum berangkat dari bandara Soekarno-Hatta."

"Oke," kata Ana riang.

Setelah itu dia pergi kembali ke kantor dan aku memutuskan untuk melakukan hal yang sama. Aku sudah terlalu lama meninggalkan pekerjaanku, itu salah satu keuntungan sebagai pemilik perusahaan yang sudah terlalu sering kupakai. Besok Tris akan datang dan Jumat aku harus mengantarnya ke bandara, aku mungkin ga akan bisa ke kantor seharian penuh selama dua hari itu. Aku benar-benar harus datang ke kantor sebisaku untuk menampakkan diri barang sejenak.

Dan begitulah, keesokan harinya Tris benar-benar datang tapi langsung menuju ke kantorku saat jam makan siang.

"Aku ingin ketemu Jenni dan ngobrol sedikit dengannya," katanya, "Secara empat mata."

Itu cukup sebagai tanda untukku. Aku mengangkat kedua tangan tanda ga akan mendebat dan keluar dari ruangan kantorku. Aku mampir ke ruangan Jeffry dan kami ngobrol tentang tugas ke Thailand.

"Oh iya," kata Jeffry saat kami hampir selesai, "Vivi telepon."

Dia tertawa sebelum melanjutkan, "Aku harus memperingatkanmu, sepertinya dia sedang punya misi tertentu. Dia ingin mengajakmu ke rumahnya untuk makan malam dengan mereka, kamu ada waktu weekend ini?"

"Maaf, Jeffry," kataku, "Weekend ini aku harus membersihkan apartment dan perlu istirahat. Setelah semua yang terjadi belakangan ini, aku perlu waktu untuk bernafas dan berpikir."

Dia tersenyum penuh arti. "Kalau gitu setelah dari Thailand? Hari Kamis setelah kamu balik? Aku diperintahkan untuk memastikan. Kalau aku jadi kamu, aku akan tanya ke Alfon apa dia punya bocoran tentang rencana Vivi ini."

"Oke, Kamis malam itu boleh."

Aku kembali ke ruanganku, dan menemukan kedua pacarku sedang ngobrol santai.

"Sudah selesai?" tanyaku, dengan sedikit masam.

"Sudah," kata Tris, dan tersenyum padaku dengan hangat.

"Sudah," kata Jenni sambil mengedipkan mata.

Aku tahu ga ada satupun dari mereka yang akan memberitahu aku apa yang mereka bicarakan, tapi rasa penasaranku menguap begitu aku aku melihat senyum mereka, mereka senang, aku juga senang.

Tris dan aku pulang ke rumahku. Begitu kami masuk, Tris berbalik ke arahku dan menciumku dengan penuh semangat.

"Kata Jenni anak-anakmu tinggal di sini bersamamu," katanya sambil terengah-engah saat ciuman kami terlepas.

Aku mengangguk.

"Errik," katanya mendesak, "Aku ga mau membuat masalah. Mereka mengira kamu dan Jenni adalah pasangan. Bisakah kita menghabiskan waktu bersama di tempat tidur untuk terakhir kalinya, sekarang? Lalu nanti malam aku bisa tidur di kamar yang berbeda. Kita bisa berpelukan di ruang bawah sebelum tidur, aku ingin mengenang hari terakhir ini."

Aku mengangguk dan kami berlari menaiki tangga dan menelanjangi diri dalam waktu singkat, menjatuhkan diri bersama ke tempat tidur. Kami berciuman, saling menjilat, saling menghisap dan berciuman lagi. Kami membelai dan meremas, saling mencubit, bahkan menampar. Kami making love, dan ga sekedar bersetubuh.

Setelah itu kami saling memandang, kami mengenang kebersamaan kami dalam beberapa tahun terakhir ini bersama-sama, kami mensyukuri hadiah yang berupa kehadiran dan pengaruh satu pada yang lain. Kami tahu betapa dalamnya cinta kami satu sama lain, dan rasa syukur kami. Kami tahu bahwa akan selalu ada ikatan spesial di antara kami, bahkan saat kami berada jauh terpisah ribuan kilometer.

Anak-anak pulang dan aku mengenalkan Tris dengan tenang sebagai temanku yang besok harus pergi ke bandara. Ana juga datang ga lama kemudian dan malamnya kami semua makan bersama. Anak-anak menghilang ke kamarnya setelah makan dan kami bertiga duduk dan mengobrol tentang semua yang sudah terjadi, Ana berterima kasih pada Tris atas intervensinya di restoran, dia bilang bahwa itu sudah menyelamatkannya dari kesalahan yang sangat fatal.

Ana lalu mengucapkan selamat tinggal pada Tris, memeluknya beberapa lama. Dia sekali lagi mengucapkan terima kasih pada Tris dan naik untuk berkeliling ke kamar anak-anak. Setelah itu aku merasa dia memandangku dengan tatapan sedih, mendekat untuk memberikan kecupan di pipiku dan pergi.

Setelah anak-naik ke kamarnya masing-masing, aku dan Tris berpelukan di sofa sambil mendengarkan musik klasik yang menenangkan. Agnes sempat turun dan bilang dia mau belajar dan akan langsung tidur setelahnya. Dia memberikan penekanan khusus saat bilang akan tidur sambil menyeringai nakal. Aku menepuk pantatnya saat dia mendekat pada kami dan dia bereaksi dengan mengaduh manja.

Agnes dan Tris lalu berpelukan dan saling mencium pipi, berjanji akan saling mengirim email ataupun pesan setelah Tris pergi.

"Boleh aku datang kesana kapan-kapan?" tanya Agnes, dan dia mendapatkan jawaban yang dia mau.

"Aku sudah ngecek ke kamar Leo dan Stefan dan mereka sudah tidur nyenyak," tambahnya sambil menyeringai lagi. Dia memelukku dan balas menepuk pantatku. Anak gadisku tumbuh terlalu cepat, dan jadi terlalu nakal!

Aku dan Tris memang sudah berniat untuk menghabiskan malam terakhir kami bersama tanpa seks, tapi dalam waktu setengah jam sejak Agnes masuk ke kamarnya, kami sudah ada di dalam kamarku dengan pintu terkunci. Kami bersetubuh dengan lembut, santai dan yang terutama tidak bersuara, lalu setelah itu saling berpelukan selama satu jam sebelum akhirnya Tris bangkit dan pindah ke kamar tamu.

Ga banyak yang bisa kami katakan, hanya emosi yang terasa diantara kami, yang muncul melalui kenangan dan ingatan yang terasa hidup, begitu nyata membuat kata-kata tidak lagi diperlukan. Hanya pandangan dan lambaian tangan yang seakan begitu lama ketika dia keluar dari pintu sudah cukup mewakili.

Untung saja, karena keesokan paginya semua hiruk pikuk kesibukan pagi hari muncul lagi. Leo dan Stefan berangkat lebih dulu, Agnes akan menyusul sedikit lebih siang. Lalu aku mengantarkan Tris pergi ke bandara dan tiba lumayan mepet dengan batas waktu check in pesawat. Dan setelah pelukan terakhir kami yang terburu-buru diiringi tetesan air mata, dia menghilang dari pandanganku, tapi kami berdua tahu itulah jalan yang terbaik.

Aku kembali ke kantor dengan hati berat. Aku banyak diam dan Jenni menghargai kesedihanku, dia ga banyak mengajak bicara tapi secara diplomatis membantu dalam segala hal, dengan sentuhan ringan yang lembut di lenganku atau belaian di kepalaku, tempat yang seharusnya ada rambut untuk dibelai.

Sorenya saat kami bersiap untuk pulang dari kantor, Jenni meletakkan tangannya di lenganku.

"Apa kamu mau aku datang malam ini untuk bantu membereskan apartment?" tanyanya lembut.

"Ya," kataku singkat. Aku ingin berkata-kata lebih banyak tapi ga ada kata-kata yang keluar.

"Oke," cuma itu yang dia katakan. Aku sangat menyukai kepekaannya itu.

Saat aku sampai di rumah, Ana sudah ada disana dan sudah menyiapkan makan malam. Anak-anak jauh lebih bahagia karena kehadirannya. Mereka kelihatan lebih santai dan, yah bisa dibilang puas.

Aku memastikan pada Ana bahwa dia akan menginap dan dia menegaskan lagi rencananya untuk tinggal disini selama weekend sampai Senin pagi. Dia bilang bahwa dia sudah membawa beberapa barangnya supaya saat pindahan minggu depan bisa lebih mudah.

Aku lega mendengarnya, aku butuh kesempatan untuk berdua saja dengan Jenni. Aku rindu merasakan kehadirannya di tempat tidurku. Mungkin Ana tahu itu, walaupun itu cuma berdasarkan tebakanku saja.

Jadi setelah makan malam, aku memuat sekitar setengah dari pakaian rumahku kedalam mobil, berjanji pada anak-anak bahwa aku akan datang lagi hari Minggu malam untuk menemui mereka, lalu berangkat ke apartment-ku.

Aku sampai disana dan kesan pertama saat membuka pintu adalah bau apek pengap karena sudah lama ga ditinggali. Meskipun sudah cukup malam, aku membuka semua jendela yang bisa dibuka dan udara dalam ruangan bertukar tempat dengan udara baru dari luar yang lebih sejuk.

Ga lama kemudian Jenni tiba dengan membawa koper kecil, tepat saat udara ruangan sudah berangsur membaik. Dan begitu aku menutup pintu, dia berbalik dan menciumku dengan sangat bernafsu. Kami saling melepaskan pakaian satu sama lain dan menjatuhkan diri ke lantai, tangan dan jemari kami saling membelai dan menyelidik seakan-akan untuk mengingat lagi seperti apa rasanya tubuh pasangan kami, lidah kami melakukan eksplorasi serupa dari mulut masing-masing. Aku sudah keras dan dia basah dan tanpa menunggu lebih lama kami melakukan seks dengan gaya misionaris di lantai kayu ruang tamu.

"Lebih kencang! Lebih kencang!" Jenni berteriak, dan itu bukan berarti aku bergerak pelan sebelumnya. Aku sekuat tenaga memacu tubuhku diatasnya, dan dia juga mengangkat pinggulnya menyambut gerakanku sekuat yang dia bisa, lengan dan kakinya memeluk erat tubuhku, kukunya menancap di punggungku, membantu mendorong dan merapatkan tubuhnya sedemikian rupa.

“Ugh... Mpphh... Fuck!!..”

Dengan sebuah dorongan keras dia sampai tanpa menghiraukan sekitarnya, suara teriakan, geraman, dan umpatan memenuhi ruangan apartment, tapi aku ga berniat untuk protes karena aku sendiri juga ga lama kemudian melakukan hal yang sama untuk menyahut pada suaranya.

Setelah hentakan tubuh kami mereda, aku berguling dari atasnya, lalu kami tertawa, berbaring berdua di atas lantai yang keras, berdampingan menatap langit-langit ruangan.

"Ya Tuhan," katanya, "That was so good!"

"Ada serpihan kayu?" Aku bertanya sambil tertawa, meskipun pertanyaanku itu setengah serius, lantai ini ga terlalu rapi dan masih belum sempat dibersihkan.

"Ga ada," jawabnya sambil tertawa setelah meraba pantat dan punggungnya. "Walaupun mungkin besok pagi akan ada memar-memar sedikit. Tapi setimpal dengan hasilnya, kamu kadang bisa sangat buas."

"Begitu juga kamu," jawabku, melihat ke samping pada tubuhnya yang melekuk dengan indah, payudaranya yang mungil membentuk bukit kecil di dadanya, kemaluannya yang masih basah oleh cairan kami terbuka bebas dan kakinya yang panjang meregang saat dia mengeliat untuk membersihkan punggung dan pantatnya.

Dia telentang lagi, lalu bangkit. Dia berusia sepuluh tahun lebih muda dariku, sehat dan segar. Itu terlihat saat dia bangkit berdiri dengan mudah lalu membantuku berdiri, aku mengerang saat harus berdiri dari lantai seperti ini.

"Ayo pak tua," ejeknya. Kami berjalan telanjang ke ruang tamu, lalu aku mengambilkan dua gelas air putih untuk kami, kami duduk bersama di sofa dalam keadaan telanjang, menyesap minuman kami dan iseng menyentuh wajah dan tubuh satu sama lain.

"Aku butuh itu!" Aku akhirnya menghela nafas. "Aku merindukan kamu."

Dia meletakkan gelasnya di meja lalu meringkuk di sampingku, lenganku memeluk bahunya.

"Aku juga," bisiknya. "Sungguh berat kerja denganmu minggu ini. Aku ingin melompat dan merobek bajumu ditempat."

"Seandainya saja aku tahu," kataku seserius mungkin. "Aku sendiri yang akan melepaskannya. Walaupun kalau Widya datang dan melihatku menyetubuhimu di atas mejaku mungkin akan bikin dia kaget."

"Mungkin? Sudah pasti dia akan jantungan!"

Dia diam lalu menyeringai. "Setelah itu dia akan tetap disana untuk nonton, berpikir keras kenapa kamu ga pernah melakukan itu padanya saat dia jadi sekretarismu dulu!"

"Waktu itu aku sudah nikah," kataku dengan lugas, "Tapi kalau seandainya belum, ya siapa tahu?"

Dia menyikut rusukku, untungnya bukan disisi yang memegang gelas.

"Bersiaplah untuk pembalasan!" kataku, lalu meletakkan gelasku di meja dan mengelitik pinggangnya sampai dia minta ampun.

Tawa dan seks, itulah yang aku butuhkan untuk mengatasi rasa sedih karena kehilangan wanita yang sudah merawat aku sampai kembali sehat. Sepanjang sisa malam itu aku sesekali memergoki Jenni memandangiku, diam-diam memeriksa kondisiku, terutama emosiku dan aku sadar betapa beruntungnya aku memilikinya.



Weekend berlalu dengan cepat, dan ga banyak yang sempat kami lakukan. Jumat malam kami masuk kamar lebih cepat dan bercinta untuk kedua kalinya, kali ini di permukaan yang lebih empuk, dan tertidur setelahnya. Hari Sabtu kami bangun agak siang dan menikmati sarapan pagi dengan santai, setelah itu pergi ke supermarket untuk mengisi kembali lemari es yang sudah lama kosong. Siang hari kami mulai membersihkan apartment-nya. Sore hari hujan lebat disertai petir dan kami menghabiskan waktu dengan sedikit membaca dan mempersiapkan pekerjaan yang akan kami bawa ke bangkok.

Malamnya kami main scrabble dan catur, lalu nonton acara sampah di TV sambil berpelukan, yang lalu perlahan-lahan berubah jadi saling meraba. Kami berhenti nonton program di layar kaca dan berkonsentrasi untuk membuka pakaian kami masing-masing.

Lalu aku menundukkan tubuhnya di lengan sofa dan berdiri di belakangnya, mendorong penisku memasuki vaginanya dari belakang, dia sangat menyukainya, setidaknya itu yang kusimpulkan dari rintihan dan desahan dari bibirnya, belum lagi dari pujian sederhana tentang kehebatanku dan permintaannya untuk mempercepat gerakanku. Aku suka melihat pantatnya yang sempurna dan gerakan penisku keluar masuk dari vaginanya yang licin, untungnya pemandangan itu ga membuatku cepat orgasme.

Tapi Jenni sebaliknya, tangannya meremas bantal kursi saat tubuhnya bergetar dan kali ini teriakannya tertahan oleh bantal yang digigitnya. Saat dia sudah agak tenang dia menyuruhku untuk berbaring di sofa dan dia naik mengangkangiku menghadap ke kakiku, reverse cowgirl. Itu memberiku pemandangan yang sama seperti tadi, yaitu lekuk punggungnya dan bongkah pantatnya yang indah saat mereka bergerak naik turun, dan sementara itu juga sekaligus memberikan sensasi yang sama untuknya seperti yang dia dapatkan dari posisi sebelumnya ketika membungkuk dibawah kendaliku.

Kali ini dia yang memegang kendali penuh, dan dia memakai kendali itu untuk menggodaku. Dia tahu ciri-ciri gerakan tubuhku saat aku hampir sampai, dan saat itu dia akan melambat dan mengerakkan tubuhnya secara sensual di atasku, membungkuk ke depan di atas kakiku yang membuat penisku hampir terlepas dan menghilangkan perasaan hampir orgasme di penisku. Setelah itu dia akan melanjutkan lagi sampai dia mendapatkan orgasme beberapa kali sesuka hati, sambil menahan agar aku ga cepat orgasme.

Sampai satu titik aku ga tahan lagi.

"Tolong, Jenni, sudah cukup," aku mengerang.

Dia tertawa, tapi dia merasa kasihan dan berputar diatas penisku untuk menghadapku, lalu sekali lagi bergerak memantulkan dirinya naik turun sampai gelombang besar orgasmeku akhirnya datang, diperkuat oleh semua orgasmeku sebelumnmya yang tertunda, dan semakin dahsyat dengan pemandangan payudaranya yang bergetar dan ekspresi wajahnya saat dia mencapai klimaksnya sendiri.

Setelah itu dia ambruk ke atas dadaku dan tak ada satupun dari kami yang bergerak, TV disebrang sofa yang kami tempati terus menyala tanpa mendapatkan perhatian sama sekali. Sampai akhirnya Jenni bergerak saat organ tubuhku yang lembek terlepas darinya.

"Ya ampun," dia menyeringai. "Kamu sangat tahu bagaimana cara menyenangkan seorang gadis."

"Khusus untuk gadis yang menyenangkan," jawabku.

Tidak ada lagi kata yang terucap karena kami lalu tertidur dalam pelukan mesra. Aku terbangun satu jam kemudian dan menemukan dia berbaring di atas lenganku yang sudah mati rasa dan lemas. Aku mendorongnya kesamping dan harus menarik lenganku dengan tangan satunya. Setelah itu peniti dan jarum mulai terasa di sepanjang lenganku. Selama itu pula Jenni sama sekali ga bergerak, jadi setelah lenganku kembali normal, aku mengambil selimut untuk kami dan kembali tidur di sofa bersamanya.



Hari Minggu kami habiskan dengan bersantai. Jalan santai di pagi hari, makan siang di cafe, dan sore yang tenang untuk kembali mereview presentasi untuk meeting Bangkok, setidaknya Jenni yang mereview.

Aku sendiri mulai mereview ulang apa yang sudah terjadi selama beberapa minggu terakhir, diakhiri dengan apa yang sudah terjadi antara aku dan Ana di hari Rabu saat aku memintanya untuk tinggal di rumah itu lagi.

Aku bisa melihat dia menahan senyum mendengar tawaranku, sempat hilang saat aku bilang akan pindah dan lalu muncul lagi. Apa artinya? Tentu dia ga berharap aku akan tinggal disana bersamanya kan? Kami sudah bercerai dan dia tahu aku sudah punya Jenni. Dari apa yang kulihat, dia ga pernah menunjukkan sikap yang cenderung menginginkanku kembali padanya. Apalagi sepatah kata pun soal itu. Kecuali dua komentar, keduanya juga ga terlalu khusus.

‘Kamu harus datang dan pergi kesini sesukamu; Dan aku juga ingin melihatmu’

Lalu dari cerita Agnes tentang pertengkaran antara Hadi dan Ana yang sepertinya saat itu Ana membelaku di hadapan kekasihnya. Apa itu masuk akal?

Aku sama sekali ga bisa melupakan kurangnya niat Ana untuk menemukan aku, dan ada kecenderungannya yang terus berulang untuk menganggap Hadi selalu jujur dan sebaliknya aku adalah pembohong. Ada juga soal penolakannya untuk menemuiku waktu itu. Setelah dua tahun lebih dan dia juga sudah move on dan sebagian besar waktu itu dia sudah menjalin hubungan dengan Hadi, tunjangan keuangan dalam jumlah besar yang terus kukirimkan padanya melalui perantaraan Alfon, dia seharusnya ga sebegitu marahnya padaku.

Agnes pernah bilang bahwa Ana masih mencintaiku, tapi apa benar itu adalah cinta, atau sekedar rasa bersalah, atau bahkan hanya belas kasihan kepadaku? Saat itu aku pasti menghela nafas dengan keras karena lalu Jenni mendongak memandangku.

"Ada apa? Kamu sampai menghela nafas seperti itu."

"Ga kok. Aku cuma sedang berusaha memahami tingkah Ana dan setiap kali aku mencobanya aku gagal. Semuanya sangat kontradiktif."

"Aku bisa mengerti sedikit yang dia hadapi. Dia diarahkan untuk percaya bahwa kamu sudah menghianatinya dengan kejam, dan lebih memilih pergi dengan wanita lain, meninggalkannya untuk membesarkan anak-anak sendirian. Lalu dia menerima surat atas namamu yang dengan tidak berperasaan menyebutkan kamu sudah ga mencintainya lagi.

"Dia lalu harus menerima laki-laki terbaik kedua didekatnya, yaitu Hadi, dan setelah itu kamu muncul lagi di hidupnya walaupun dia tidak bisa mengenalimu, dan ga tahu apa yang sudah terjadi. Dia pasti benci saat kamu lalu menghubunginya mencoba menjelaskan sesuatu yang dia rasa sudah dia tahu, yaitu bahwa kamu adalah bajingan egois penghianat yang menghancurkan hidupnya tanpa perasaan. Jadi dia menolak untuk ketemu denganmu, dibutakan oleh amarah. Aku pikir kemarahannya justru karena kamu sepertinya muncul begitu saja setelah sekian lama, bukan karena kamu menghilang. Jangan lupa aku juga mendengarnya saat kamu mencoba bicara dengannya di telepon.

"Kemudian kamu mengungkapkan dirimu padanya. Dia tahu apa yang sebenarnya terjadi dan perasaannya mungkin hancur karena rasa bersalah. Di saat yang sama dia melihat pria yang selalu dia cintai bersama dengan seseorang, bukan, dengan dua wanita lain. Jadi dia kehilangan dirimu lagi begitu dia menemukanmu."

"Tapi kenapa dia ga mencariku?" Aku sadar saat itu aku merengek seperti anak kecil. "Itu adalah sesuatu yang ga bisa aku lupakan. Hadi ada di sana sejak awal dan Ana ga berusaha keras menemukanku, dia menyerahkan pencarianku pada Hadi begitu saja! Lagipula, gimana mungkin aku bisa percaya dia mencintaiku, nyatanya dia terus menerus berpihak pada Hadi melawan aku berulang kali. Reaksi pertamanya pada penangkapan Hadi adalah dia menuduh aku sudah merencanakan itu sebagai balas dendam. Mungkin dia memang merasa bersalah dan mungkin juga kasihan padaku. Tapi cinta? Menurutku tidak." Aku mulai kesal.

"Oke, Oke!" dia berusaha menenangkanku. "Pergilah ke sana dan temui anak-anak. Amati Ana dari dekat dan lihat apa itu bisa mengubah pikiranmu. Ubah sudut pandang dan kamu harus berhenti bersedih dan terobsesi untuk menebak apa yang jadi motifnya melakukan semua itu. Kamu tahu kan cepat atau lambat kamu harus bicara terus terang dan menyelesaikan semuanya dengan Ana?"

Dia benar. Sudah waktunya aku pergi ke rumah itu untuk menemui anak-anak sebelum weekend selesai.

Jenni pulang ke apartmentnya, dia ingin mempersiapkan diri untuk kerja besok dan membuat persiapan untuk tugas kami ke Thailand di hari Selasa.

Aku pergi ke rumahku. Ana sudah menyiapkan makan malam dan kami semua makan bersama, dan setelah itu aku menemani Leo dan Stefan bermain di halaman belakang karena malam itu memang cerah.

Kami bermain sepak bola diterangi cahaya lampu dan bulan purnama di langit, Agnes baru keluar untuk istirahat dari belajar dan bergabung dengan kami walau hanya untuk melihat dari samping. Ada banyak tawa dan canda, meskipun Agnes beberapa kali harus mengingatkan adik-adiknya untuk berhati-hati saat mereka berada di dekatku, yang tentu saja tidak didengarkan, tapi untungnya mereka tidak mengenai titik-titik yang lebih rentan pada tubuhku.

Aku melirik ke jendela dapur yang menghadap ke taman belakang dan melihat Ana sedang mencuci piring sambil sesekali menatap kami yang sedang bergulingan di atas rumput. Dia sadar aku melihat kearahnya dan berpaling. Aku merasa sudah cukup malam dan bilang kepada anak-anak untuk berhenti bermain dan masuk ke dalam.

Kami memasuki dapur dan mereka bergegas untuk naik ke kamar mereka masing-masing sebelum waktunya tidur, Agnes memandang Ana sekali lalu menghilang ke ruang tengah. Aku langsung tahu alasannya, Ana menangis. Aku hendak bertanya ada apa, tapi membatalkannya disaat terakhir dan memilih untuk mengambil teko dan membuat teh. Setelah satu atau dua menit, dia bicara, dari belakangku.

"Aku senang melihatmu bermain dengan anak-anak. Mereka sangat membutuhkanmu, Errik. Mereka rindu pada Ayahnya lebih dari yang bisa mereka katakan."

"Yah, sekarang aku sudah ada di sini," jawabku, menyibukkan diri dengan teko, membelakangi dia, "Aku akan berada di dekat mereka sampai tiba waktunya mereka untuk pergi dengan hidupnya masing-masing. Aku akan mencoba menebus waktuku yang terbuang selama ini."

Ada isakan pelan dan Ana meninggalkan ruangan. Apa yang sudah kukatakan tadi? Apa yang sebenarnya terjadi? Begitu banyak tanda dan sikap yang saling bertentangan. Samar-samar aku bisa mendengar percakapan antara Ana dan Agnes. Sepertinya Agnes sedang menghibur ibunya. Gadis itu membawa beban yang cukup berat, dan aku ga yakin itu baik untuknya, terutama dengan ujian yang akan dihadapinya.

Setelah sekitar setengah jam, selama itu aku membuat sepoci teh untuk dua orang dan meminum bagianku, aku mendengar langkah dan suara Ana dari lantai atas. Lalu suara pintu depan ditutup. Dia pergi tanpa pamit. Ada apa dengannya? Sesaat kemudian Agnes masuk ke dapur.

Dia duduk di hadapanku dan menangis.

"Ada apa, Sayang?" Aku bertanya.

"Sayang sekali Ayah ga bisa menanyakan pertanyaan yang sama pada Ibu, Yah," dia menggeram padaku. "Ga bisakah Ayah melihat betapa sedihnya dia?"

"Sedih?" Aku menjawabnya. "Kenapa dia harus sedih? Dia akan ada di sini, di rumahnya sendiri, bersama kalian semua. Dia tahu aku akan selalu siap membantunya."

"Ya ampun, Ayah! Apa Ayah sengaja pura-pura bodoh?"

Aku hendak menegurnya, saat dia melanjutkan.

"Ayah, dia mencintaimu. Dia mau Ayah kembali. Dia melihat kita bermain di halaman belakang, dan itu terlihat seperti dulu, kecuali Ayah ga lagi bersamanya. Ayah bilang akan selalu di sini untuk kami, tapi itu ga termasuk untuk Ibu. Ayah, bukan salah Ibu dia dibohongi."

"Apa dia bilang dia mencintaiku?"

"Yah, memang ga bilang," dia tergagap, "Tapi itu sudah jelas."

"Agnes," jawabku, selembut mungkin, "Aku mengerti apa yang kamu sampaikan, aku juga tahu kamu sudah cukup dewasa, tapi ada banyak masalah di antara kami yang ga akan aku bahas denganmu. Saat ini aku seakan ga mengenal Ibumu lagi. Walaupun ga lengkap, aku punya beberapa ingatan tentang dia yang dulu. Aku lebih suka dia yang seperti itu."

"Ayah mencintainya?"

"Aku ga bisa menjawabnya dengan satu kata, karena itu terlalu rumit. Sejauh yang aku tahu aku ingin dia bahagia."

"Kamu cemburu karena Ibu tidur dengan Hadi!"

Aku duduk diam. Ketidaksenanganku pada pernyataan itu pasti tergambar di wajahku. Agnes tampak sedikit takut.

Akhirnya aku menenangkan diri dan bicara lagi.

"Sayang, kamu ingat kamu pernah salah paham tentang hubunganku dengan Tris dan Jenni. Kamu ga tahu faktanya dan mengambil kesimpulan yang salah. Sekarang kamu melakukan itu lagi."

"Tapi--"

"Biarkan aku menyelesaikannya," potongku. "Cemburu adalah kata yang salah. Fakta bahwa dia tidur dengan Hadi adalah bagian dari itu, tapi bukan seperti yang kamu pikirkan. Itu hanya bagian kecil dari masalah di antara kami. Aku paham kenapa dia ga bahagia, tapi, dengan alasan yang ga akan aku diskusikan denganmu, aku ga bisa berbuat banyak untuk merubahnya.

"Kalau ini bisa membuat kamu merasa lebih tenang, akan tiba waktunya aku dan Ibumu harus menyelesaikan semuanya. Tapi itu hanya antara ibumu dan aku. Ada banyak masalah yang harus kami selesaikan berdua.

"Bahkan ketika nanti kami bisa menyelesaikan semua masalah itu, ada Jenni yang harus dipertimbangkan. Aku ga meniduri wanita tanpa membuat komitmen. Selama Jenni membutuhkan aku dalam hidupnya, aku akan mendampinginya.

"Ibumu dan aku sudah bercerai. Maaf kalau itu membuat dia ga bahagia, tapi aku ga menceraikannya, dia yang menceraikan aku. Aku akan melakukan apa saja untuk membantu Ibumu, tapi saat ini Jenni yang utama. Apa kamu ngerti itu?"

Dia tampak sedih. Lalu dia mengangguk. "Ya, Ayah, aku mengerti. Tapi aku tetap sedih."

"Ya, memang. Yang harus kita lakukan dalam hidup adalah berusaha melakukan yang terbaik yang kita bisa bahkan saat keadaannya ga seperti yang kita harapkan. Kita harus jujur pada apa yang kita yakini benar. Aku memperlakukan kesetiaan dengan sangat serius. Kamu tahu, aku hampir memutuskan untuk menikahi Tris."

Dia mengangguk.

"Aku ga pernah berniat atau sekedar membayangkan akan punya hubungan khusus dengan Jenni," lanjutku. "Keadaan yang menyebabkan kami punya hubungan, tapi aku akan setia padanya sampai dia mengakhiri hubungan kami. Aku ga bisa dan ga akan mengecewakannya."

Dia menangis dan menghampiri aku lalu memelukku, "Aku sayang, Ayah."

"Aku juga sayang kamu. Coba abaikan apa yang terjadi antara Ibu dan Ayah. Konsentrasi pada ujianmu. Semua akan beres pada waktunya."

Dia lalu pergi ke kamarnya untuk melanjutkan belajar. Dia masih punya satu hari libur penuh besok untuk bersiap menghadapi ujian yang dimulai hari Selasa.

Meskipun Ana sudah bilang dia akan tinggal disini sampai Senin pagi, nyatanya dia ga kembali lagi, jadi aku memastikan anak-anak laki-laki tidur dan bersiap untuk sekolah besok dan kemudian pergi ke kamarku. Aku mandi, keluar untuk mengucapkan selamat malam pada Agnes dan kembali ke kamarku untuk tidur.

Anehnya, meskipun secara ga langsung, aku berbagi tempat tidur lagi dengan Ana. Wangi parfumnya di atas bantal membuatku ga bisa tidur. Peristiwa tadi terus berputar-putar di kepalaku.

Agnes bilang padaku bahwa air mata Ana menunjukkan bahwa dia masih mencintaiku, tapi Ana ga bilang apa-apa padaku. Seperti itukah hubungan kami sekarang? Kami dekat tapi ga mau bicara satu sama lain? Aku ingat cerita Agnes tentang kehidupan kami dulu, kami sering tertawa dan bercanda bersama, kami bahkan ‘berisik’ saat di tempat tidur.

Aku melihat Ana sebagai wanita yang menarik, bahkan sangat menarik. Hubungan kami saat ini lebih dari sekadar pertemanan, atau sebagai tim yang bersama-sama menjaga anak-anak. Aku merasa ada sesuatu yang lebih dari itu, tapi aku ga tahu apa itu.

Banyak yang bilang padaku kalau kami adalah pasangan yang sejak dulu saling mencintai dan setia. Mereka bilang bahwa Ana akan jatuh cinta lagi denganku begitu dia tahu kejadian yang sebenarnya. Sepertinya mereka benar soal hal itu.

Jadi seandainya aku ga sedang berhubungan dengan Jenni, apa aku akan kembali pada Ana? Apa aku akan memulai lagi hubungan kami dari awal? Tidak juga. Ada terlalu banyak hal tentang hubungan kami dulu yang belum kuingat dengan pasti, tapi dia tahu semuanya.

Dalam hal itu kami ga sejajar, dan ga bisa memulai dari nol sama-sama. Dia akan selalu lebih tahu dari pada aku. Dia bisa berbohong tentang hubungan kami sebelumnya dan aku ga akan pernah tahu, kecuali setelah itu aku ingat.

Ada satu masalah lagi yang terus berulang dan aku pikirkan berkali-kali tanpa pemecahan, yaitu keberpihakannya pada Hadi, keyakinannya pada aku yang sudah bersalah, dan bahwa dia menyerah dalam mencariku sebelum mencari dengan serius.

Bagaimanapun juga, aku sekarang punya hubungan spesial dengan Jenni, dan aku sungguh-sungguh tentang apa yang kukatakan pada Agnes. Aku punya keyakinan dan prinsip yang kuat pada apa yang kupercaya benar. Aku kadang bingung dari mana aku punya itu. Mungkin aku sudah punya prinsip itu sejak lama, sebelum peristiwa itu dan sebelum aku kehilangan ingatan, jadi bagian diriku sejak dulu.

Salah satunya adalah soal kesetiaan, menjaga kepercayaan dan komitmen dengan orang lain. Terlebih lagi aku dan Jenni dekat dalam banyak hal tidak hanya secara seksual, kami juga partner kerja dan menjalani hidup bersama dengan sangat akrab dan nyaman.

Lalu pikiranku akan berputar lagi dari awal, berulang-ulang sampai akhirnya aku pasti ketiduran dan besok paginya aku bangun dengan perasaan seperti akan mati.

Seharian itu kegiatanku sangat padat, dan saat aku sampai di rumah lagi, Ana menelepon dan dengan acuh, kalau ga dibilang kasar, mengatakan dia ga akan datang untuk makan malam disini, tapi akan datang besok Selasa setelah anak-anak pulang sekolah seperti yang sudah kami sepakati. Dia lalu akan menginap sampai Kamis pagi tapi ga akan datang malamnya untuk makan malam. Dia akan pindah secara permanen mulai Jumat malam.

Setelah dia menutup telepon, aku menatap telepon. Apa kesalahanku sekarang? Aku menahan diri untuk ga meneleponnya balik dan mulai menyiapkan makan malam.

Lalu aku ingat undangan makan malam dari Vivi di Kamis malam, dan meneleponnya. Dia setuju untuk menundanya sampai hari Jumat.

Keesokan paginya aku melepas anak-anak ke sekolah, mendoakan Agnes agar berhasil dalam ujiannya dengan memberikan ciuman dan pelukan, menjemput Jenni dan kami berangkat ke Thailand.



Bersambung... Bab XX
 
Terakhir diubah:
Makasih updatenya

Setelah Tris pergi sekarang Jenni satu-satunya wanita yang mendampingi Erik. Walau begitu Jenni tetap memberikan pandangan yang baik soal Ana ketika Erik berpandangan yang keliru soal Ana. Sampai saat ini pun Erik dengan ingatan yang belum sepenuhnya pulih memang harus didampingi wanita seperti Jenni. Mungkin satu-satunya kunci hubungan Erik dan Ana saat ini adalah Ingatan Erik yang belum pulih.

Disatu sisi ada percakapan antara Tris dan Ana yang tidak diketahui Erik, entah apa isi percakapan kedua wanita itu. Tapi rasanya percakapan itu demi kebaikan Erik.

Ditunggu kelanjutannya
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd