Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Pulang

XX. Puzzle


Perjalanan dinas kami ke Bangkok berjalan lancar. Klien kami yang merupakan sebuah Universitas ga mengharuskan pekerjaan kami selesai dalam waktu dekat, dan kami akan punya waktu yang cukup untuk mempersiapkan spesifikasi pesanan dari mereka. Kami menyelesaikan semua meeting di hari Rabu dan Jenni berhasil mendapatkan tiket penerbangan pulang kami di hari Kamis pagi, setelah, sudah pasti, beberapa aktivitas seksual yang intens di Rabu malam.

Setelah kami mendarat di Jakarta, Jenni menelepon Jeffry dan memberi tahu dia bahwa kami akan tiba lebih awal dari jadwal semula, dan setelah itu kami mengambil mobilku yang ku parkir di bandara dan langsung menuju ke kantor. Kami sudah dekat dari kantor saat Jenni meminta untuk mampir di kios koran untuk membeli majalah. Dia kembali ke mobil dengan senyum di wajahnya dan kami melanjutkan perjalanan.

Saat kami berbelok memasuki gerbang perusahaan, aku kaget. Aku melihat seluruh karyawan yang bekerja di perusahaan kecilku sedang berbaris di kanan kiri jalan menuju lobby, sambil bertepuk tangan dan bersorak-sorak menyambut kami. Saat kami berhenti di seberang pintu masuk kantor dan keluar dari mobil, kami melihat Jeffry menyeringai lebar di depan pintu.

Seorang gadis muda dan cantik yang kukenali sebagai salah satu resepsionis berjalan mendekat dengan membawa buket bunga yang besar. Widya berjalan disampingnya, "Selamat datang di perusahaanmu Bapak Heri Wicaksono, atau lebih tepat kita panggil Bapak Errik?" Widya tertawa saat menyerahkan buket bunga yang dibawa gadis tadi padaku dan mencium kedua pipiku diiringi jepretan kamera di sekeliling kami. Aku ga bisa berkata-kata.

Ada beberapa wartawan di situ, begitu juga Alfon dan Vivi yang pipinya terlihat basah karena air mata. Para karyawan masih terus bertepuk tangan dan bersorak mengelu-elukan aku dan juga teriakan "Pidato!"

Seperti yang barusan aku bilang, aku ga bisa berkata-kata tapi akhirnya aku memenuhi permintaan mereka. Aku berterima kasih pada mereka semua untuk sambutan yang mereka berikan padaku dan meminta maaf atas kebohongan yang melibatkan Heri Wicaksono tapi aku menganggap mereka semua sudah tahu alasannya sekarang.

Aku menambahkan bahwa karyawan kami adalah tim yang hebat dan aku benar-benar merasa pulang kembali kepada mereka. Aku menutup dengan pengumuman pada mereka bahwa seandainya mereka belum tahu, perusahaan kami sedang dalam proses pengembangan, dan semoga kedepannya nanti kami bisa meningkatkan bonus karyawan sebagai hasil pengembangan perusahaan. Tepuk tangan meriah terdengar dan setelah itu mereka mulai masuk ke dalam gedung lagi. Ada senyuman di wajah mereka.

Wartawan mengajukan pertanyaan tentang perusahaan dan tentang kesuksesan kami. Lalu seperti yang sudah kuduga, berlanjut ke soal kasus penyeranganku dan proses penyembuhanku, semua pertanyaan relatif mudah dijawab. Pertanyaan terakhir adalah tentang penangkapan polisi, apa aku senang dengan penangkapan itu, dan apa benar bahwa mantan istriku tinggal dengan salah satu terdakwa. Aku ga mau menjawab tentang kedua pertanyaan itu.

Kami lalu masuk dan di dalam ruang kantorku, Jeffry sudah menyiapkan sampanye untuk merayakan, aku memilih minum jus jeruk karena aku harus mengemudi mobil, tapi yang lain tidak keberatan dan Jeffry berkeliling mengisi gelas mereka.

"Ga ada gunanya melanjutkan peran Heri Wicaksono," kata Jeffry. "Semua orang sudah tahu kisah tentangmu! Para karyawanlah yang punya usul untuk mengadakan penyambutan untukmu."

Aku merasa tersanjung.

Di sisi lain ruangan, aku melihat Jenni sedang ngobrol serius dengan Vivi dan sesekali dia memandang ke arahku, tapi aku sendiri sedang berbincang dengan Jeffry tentang proyek di Bangkok dan usahanya untuk membeli lahan pabrik di sebelah yang sedang kosong. Vivi lalu datang dan memastikan bahwa besok aku akan datang untuk makan malam di rumahnya. Alfon kemudian bergabung dengan istrinya untuk memberi selamat dan pamit pulang, aku memutuskan untuk sekalian pulang agar anak-anak ga sendirian saat pulang sekolah.

Sesampainya di rumah aku melihat tumpukan barang milik Ana yang sudah dibawa kesini tapi belum dirapikan lagi ke dalam lemari.

Saat makan malam aku memberi tahu anak-anak bahwa Ana akan pindah permanen kesini mulai besok, dan ternyata mereka bilang mereka sudah tahu. Aku juga memberi tahu mereka aku ada acara di rumah Alfon dan Vivienne besok malam, tapi akan kesini lagi hari Sabtu. Agnes menjawab dan bilang kalau Ana ingin bicara denganku, dan aku mengangguk.

Jumat pagi sibuk seperti biasanya. Aku sepertinya ga mampu jadi orang tua tunggal dan merasa kewalahan mempersiapkan anak-anak untuk pergi ke sekolah, membuat Agnes harus membantuku disaat dia sakit perut karena sedang mens. Hari ini dia sudah selesai ujian dan akan datang ke salah satu Perguruan Tinggi Negeri untuk memeriksa persyaratan pendaftaran mahasiswa baru. Aku memberinya kunci cadangan rumah dan menyuruhnya pulang kalau perutnya masih belum membaik.

Siangnya di kantor kami membahas pesanan yang kami dapatkan dari Bangkok, mulai membuat jadwal dan penugasan tim yang akan menangani pesanan itu. Lalu meeting untuk pembelian lahan pabrik kosong di sebelah. Aku harus menginvestasikan hartaku dalam jumlah besar untuk pembelian dan juga pembongkaran bangunan lama setelah tempat itu kami miliki.

Masalah muncul saat pihak bank tiba-tiba menyatakan bahwa mereka ga punya cukup bukti bahwa aku adalah Errik yang sebenarnya, dan butuh peringatan dan ancaman tuntutan hukum agar mereka setuju untuk mencairkan dana milikku saat kami membutuhkannya, namun tetap saja proses tidak akan berjalan cepat. Kami segera membahas opsi kedua yaitu dengan pinjaman Bank, kami tahu kami ga ingin melibatkan bank sebagai pihak ketiga, tapi, setelah semua perkembangan terbaru, mengajukan kredit ke bank bisa jadi pilihan saat ini. Semua stres dan tekanan memuncak siang itu.

Di tengah-tengah semua kesibukan itu, Agnes menelepon dan minta dijemput dari kampus, dia merasa perutnya makin parah. Aku menjemputnya dan dalam perjalanan mampir ketempat Alfon untuk menceritakan kasus dengan pihak bank tadi. Lalu setelah itu aku sempat menelepon Ana untuk menceritakan keadaan Agnes. Dia tidak banyak bicara dan sambungan telepon tba-tiba terputus sebelum aku selesai bicara. Apa maksudnya? Apa lagi kesalahanku?

Untungnya, Jenni memberi dukungan maksimal untuk aku bisa melewati hari itu dengan lancar, terus-menerus mengingatkan aku pada langkah yang harus kuambil selanjutnya, stres mempengaruhi ingatan jangka pendekku membuatku sering lupa, dan dia harus bekerja keras memastikan aku tetap pada jalur yang benar. Hari itu berakhir larut dan baru saat kami duduk lagi di sofa di ruangan kami, aku ingat untuk menanyakan pada Jenni apakah Vivi juga mengundangnya untuk makan malam.

"Dia kemarin memang tanya apa aku mau datang," katanya tanpa sedikit pun tampak kesal, "Tapi aku bisa melihat jelas kalau dia sebenarnya ga mau aku datang, jadi aku bilang padanya aku akan sibuk mencuci dan berberes selama weekend."

"Ya ampun," desahku. "Akan ada lagi sesi pujian tentang betapa baiknya Ana dan betapa aku harus kembali padanya lagi. Aku mulai malas datang ke rumahnya malam ini."

"Ayolah sayang," dia tersenyum. "Salah satu karakternya yang paling menonjol adalah kesetiaannya, kepadamu dan kepada Ana, kesetiaannya memperjuangkan hubungan kalian kembali seperti dulu. Kamu ga bisa menyalahkannya karena mencoba menyatukan kalian lagi."

"Oh, aku tidak menyalahkannya," kataku walau ragu. "Aku cuma berharap dia ga akan melakukan itu semalaman."

"Nah itu ga mungkin!" dia tertawa. "Itu harga yang harus kamu bayar untuk menikmati masakannya yang lezat. Sana pergi, daripada kamu terlambat."

Memang benar, masakan Vivi selalu luar biasa enak, standar restoran bintang lima.

Kami mengambil tas kerja dan laptop kami lalu berjalan bersama menuju ke pintu keluar. Tangan kami sama-sama penuh dan Jenni-lah yang mengalah untuk meletakkan tasnya dan membuka pintu. Lalu dia melakukan sesuatu yang benar-benar di luar kebiasaannya. Dia memegang kerah bajuku dan menarik kepalaku untuk dicium, ciuman yang panjang dan penuh gairah dan aku membalasnya sebaik mungkin.

Saat kami melepaskan ciuman karena kehabisan nafas, aku menatapnya.

"Buat apa itu?" Aku bertanya. "Kita sedang di kantor."

"Aturan dibuat untuk dilanggar," katanya riang. "Aku cuma mau berterima kasih padamu, dan aku sudah memeriksa, ga ada orang lain disini." dan dia menyeringai nakal.

Aku mengangkat bahu. "Bukannya aku keberatan sih."

Kami lalu pulang, ke apartment masing-masing.


Aku lalu mandi dan berangkat ke rumah Alfon, seperti biasa masakan Vivi luar biasa dan sejauh ini topik pembicaraan tentang Ana membuatku penasaran, namun justru karena dari tadi kami sama sekali ga menyingung soal itu. Namun, rasa penasaranku ga lama. Aku sedang mengobrol ringan dengan mereka, menunggu rentetan pembicaraan baru mengalir dengan sendirinya. Aku sedang meminum gelas kedua whisky sejak kami selesai makan malam, dan peluru pertama yang sudah kutunggu mulai ditembakkan, sudah jelas dari siapa, Vivi.

"Errik, menurutmu apa Jenni ga terlalu muda untuk jadi pendampingmu?"

Aku sudah mengantisipasi topik Ana, tapi ga menduga soal Jenni dijadikan peluru pertama dan sempat membuatku ga bisa menjawab untuk beberapa saat. Aku kaget karena mendapat serangan tak terduga dari pertanyaan atau malah pernyataan dari Vivi.

"Vivi," jawabku setelah akhirnya bisa menahan kesabaranku. "Aku rasa usia ga punya pengaruh besar dalam hubungan kami. Saat ini dia ingin aku untuk jadi kekasihnya dan dengan senang hati aku penuhi."

"Jadi dia cuma pasangan sementara daripada kamu sendirian?"

"Vivi," bentak Alfon. "Itu bukanlah urusanmu dan dengan pertanyaanmu tadi kamu sudah menghina Errik dan juga Jenni."

"Tidak, aku ga menghina!" dia menegaskan ulang. "Aku cuma mencoba membuat Errik sadar bahwa masa depannya bukanlah dengan Jenni."

Ada keheningan lagi di mana Alfon tampak semakin ga nyaman karena istrinya, dan Vivi semakin berharap aku akan menjawab. Aku mulai merasakan kejengkelan yang membesar.

"Dengar Vivi, urusan antara Jenni dan aku adalah urusan kami dan bukan urusanmu atau orang lain. Kamu dan Alfon adalah teman baikku, dan karena itulah aku menghargai komentarmu sebelumnya dengan sebuah jawaban, tapi aku peringatkan, kamu sudah terlalu jauh."

"Errik," dia bingung, "Aku ga bermaksud--"

"Aku tahu kamu ga bermaksud menghinaku. Kamu mencoba membuat semuanya benar dari sudut pandangmu. Sayangnya aku ga punya sudut pandang sepertimu. Kamu mencoba untuk mengarahkan aku ke Ana. Aku sudah memberi tahumu masalah yang kupunya dengannya. Jika ini bisa menyenangkan hatimu, aku beri tahu kalau besok aku akan bicara dengan Ana."

"Tapi, dari apa yang sudah kamu lakukan untuknya, memberikan rumah itu untuk dia tinggali, menunjukkan bahwa kamu masih cinta padanya!"

Aku menggelengkan kepalaku, "Tidak, Vi, sama sekali bukan karena itu."

Dia terngangga kaget, tapi aku melanjutkan sebelum dia sempat bicara.

"Sudah kubilang sebelumnya, aku ga 'masih' cinta padanya karena aku ga ingat pernah mencintainya dulu."

Nah, sampai disitu aku bohong; Aku sekarang sudah ingat sebagian dari kehidupanku bersama Ana.

Aku melanjutkan. "Aku menerima apa pun kenangan yang kalian semua katakan soal hubungan kami dulu, tapi tetap saja meskipun aku punya kenangan tentang kami sebelumnya, aku ga punya perasaan bahwa kami saling cinta.

"Aku menawarkan rumah itu demi anak-anak. Mereka ga suka tinggal bersama Hadi dan aku yakin kamu sudah tahu Ana memutuskan untuk meninggalkan Hadi dan karena itu dia butuh tempat untuk tinggal bersama anak-anak. Itu adalah solusi yang paling gampang untuk masalah ini. Aku mulai tinggal di apartment lagi sejak weekend kemarin."

"Oh," dia terdengar datar. "Aku pikir--"

"Akan lebih baik kalau kamu ga memikirkannya, dan soal Jenni, ada banyak hal yang kamu ga tahu tentang dia. Dia membutuhkan aku saat ini. Tapi siapa tahu? Di masa depan dia mungkin ketemu orang lain. Nah saat itu kamu bisa mulai main jodoh-jodohan lagi."

Aku dan Alfon sama-sama tertawa, dan Vivi kelihatan malu.

"Ngomong-ngomong," aku menambahkan untuk membuatnya semakin gelisah, "Apa kamu melarang Jenni agar ga ikut denganku malam ini? Meskipun ga secara langsung."

"Tentu saja tidak! Aku cuma mau tahu apa dia akan datang supaya aku tahu aku harus menyiapkan untuk berapa orang."

"Oh sebenarnya ya, sayang," sela Alfon sambil tertawa. "Kamu bilang padanya bahwa kamu ingin bicara pribadi dengan Errik!"

"Yah, mungkin iya kalau begitu," dia memerah.

"Jangan khawatir," aku menenangkannya. "Aku tahu niatmu murni untuk kebaikanku."

"Tapi kamu tahu kan Ana masih mencintaimu?" tambah Vivi, ga mau menyerah. "Aku sudah bilang, begitu dia tahu siapa kamu, dia akan tetap mencintaimu." Dia terus melanjutkan. "Dia merasa bersalah karena ga berusaha lebih keras menemukanmu. Dia menyerahkannya begitu saja pada Hadi. Dia sangat baik, mengambil alih beban dari Ana, dia benar-benar berantakan."

"Dia sangat baik!" teriak Alfon mengejek. "Dia merencanakan pembunuhan Errik!"

"Yah, Ana ga tahu saat itu. Sampai sekarangpun, dia masih ga percaya Hadi akan bisa melakukan hal seperti itu. Jangan lupa dia sangat mengenal dan mempercayai Hadi."

Dia berhenti, sadar dia sudah salah bicara.

"Tepat Vi," Aku menyambung segera. "Dia jauh lebih percaya pada Hadi daripada aku. Bukan dasar yang bagus untuk kami bisa rujuk kan? Membuatku berpikir seberapa baik sebenarnya mereka 'mengenal' satu sama lain sebelum aku menghilang."

"Omong kosong Errik," dia menjawab. "Kamu adalah cinta pertamanya."

Sekali lagi dia sadar apa yang dia katakan salah.

"Dan Hadi yang kedua, tepat di belakangku? Vivi, saat kamu jatuh ke dalam lubang, berhenti menggali, atau kamu akan semakin terkubur! Atau apa sebenarnya kamu tahu lebih banyak daripada yang kamu bilang?"

"Kamu ga serius percaya kalau Ana ga setia, kan?" Dia jadi gelisah mengetahui arah pikiranku.

"Aku ga tahu harus percaya apa. Aku ga tahu apa yang sudah terjadi sebelum aku menghilang, kamu juga ada disana saat dia mengakui bahwa dia mungkin pernah bilang ke Hadi bahwa aku akan pergi ke Surabaya. Aku sebenarnya ingin tahu kapan tepatnya dia menyampaikan itu padanya, yang jelas bukan saat aku ada bersamanya!"

Mungkin apa yang kukatakan ini ga fair. Bisa dibilang semua karyawan di kantorku tahu aku akan pergi ke Surabaya, jadi apa Ana memberi tahu Hadi soal itu sama sekali ga penting. Tapi, ga ada salahnya untuk membuat Vivi merasa sedikit ga tenang.

Ada keheningan di ruangan itu. Di sisiku, aku sedang mencoba memahami apa yang kukatakan barusan. Apakah sebenarnya yang kukatakan itu merupakan kecurigaan yang tanpa sadar ada dalam hatiku? Dan aku baru sempat mengatakannya sekarang. Aku ga tahu. Tapi jelas bahwa Ana dan Hadi pernah bertemu untuk sekedar bicara berdua atau mungkin, lebih dari itu? Ya Ampun, sekarang aku ga bisa berhenti memikirkan kemungkinan-kemungkinan lain.

Alfon memecah keheningan.

"Errik," katanya pelan, "Menurutku Ana dan Hadi ga mungkin selingkuh. Jangan lupa, Ana baru menerima Hadi hanya setelah ada surat palsu itu."

"Ya, memang, tapi aku curiga sebelum itupun hubungan mereka sudah lebih dari sekedar teman. Aku rasa Hadi sudah lama mendekatinya sebelum itu, dan aku ga tahu seberapa dekat mereka, seberapa jauh Ana mengizinkan Hadi mendekatinya, dan sejak kapan."

Itu mengakhiri pembicaraan. Aku punya kesan Vivi merasa bersalah dan sekarang hanya diam saja mungkin menyesal dia sudah memulai pembahasan tentang Ana, aku cukup puas melihat itu.

Aku mengosongkan gelasku dan segera berpamitan pada mereka, sedikit menebak-nebak apakah perdebatan tadi sudah merusak hubunganku dengan pasangan suami istri itu.

Dalam perjalanan pulang sekali lagi aku memikirkan kembali perkataanku dan juga reaksi Vivi yang hanya diam. Apakah dia sebenarnya tahu lebih banyak soal hubungan Ana dengan Hadi? Seandainya dia tahu, dia ga mungkin bilang ke Alfon yang dia tahu pasti akan langsung memberitahuku. Aku terus menebak-nebak sendiri saat taksi yang kutumpangi sampai di lobby apartmentku.

Aku berencana untuk menelepon Alfon saat aku sampai di apartment, sekedar memastikan bahwa 'diskusi' kami yang berujung pada perdebatan sebelumnya ga membuat hubungan kami rusak. Sebelum aku menekan nomor teleponnya, aku mendengar suara air dari arah kamar mandi, dan Jenni muncul dari sana.

"Maaf, Errik," dia kelihatan sama kagetnya. "Besok aku berencana ketemu orang tuaku sekaligus datang ke pesta ulang tahun temanku di hari Minggu. Jadi, aku butuh kamu malam ini."

Aku tersenyum lebar. "Dengan senang hati. Aku memang butuh ketenangan setelah dapat ceramah dari Vivi."

"Aku ga berencana untuk 'menenangkan'," katanya menggoda, dan membuktikannya kata-katanya dengan membuka ritsleting gaunnya dengan perlahan, dan menunjukkan tubuh langsingnya hanya dalam balutan satu set pakaian dalam bergambar teddy bear merah dan hitam. Di kakinya masih terpasang sepatu hak setinggi sepuluh senti.

"Agak kekanakan, semoga kamu ga keberatan dengan teddy bear merah dan hitam, atau aku harus melepasnya juga?" dia tersenyum menggoda, lalu membalikkan badan dan melepaskan kaitan di punggungnya sebelum menurunkan tali dari bahunya.

Aku sama sekali ga punya masalah dengan teddy bear, tapi aku juga ga keberatan kalau dia harus melepasnya, "No comment," aku menjawab, sambil menurunkan celanaku sendiri dan melepas kausku.

Dia masih membelakangiku, membungkuk dengan kaki lurus saat dia mendorong celana dalamnya ke bawah kakinya yang melebar, membiarkan vaginanya terlihat tanpa malu-malu dihadapanku. Aku bisa melihat dia sudah basah. Dan aku sendiri sudah keras.

"Kamu terlalu senang saat ketemu aku atau ada orang lain yang sudah membuatmu basah sebelum aku datang?" Aku bercanda sambil mendekatinya dari belakang lalu menelusuri vaginanya dengan jariku sementara dia membungkuk di depanku.

"Aku harus diantarkan oleh satpam untuk naik kesini," dia terkikik. "Apa lagi yang bisa kulakukan untuk berterima kasih?"

Aku mengganti jariku dengan penisku yang tegang dan mendorong masuk.

"Yess..!" dia tersentak dan mendongakkan kepalanya.

Vaginanya begitu basah membuat kepala penisku bisa memasukinya dengan mudah. Aku lalu memegang kedua pinggulnya dan menariknya ke belakang sampai seluruh batang penisku terbenam sepenuhnya. Lalu aku menariknya lagi keluar dan mengulang gerakan sebelumnya beberapa kali. Sepatunya yang tinggi sangat membantu untuk membuat posisinya ideal untuk penetrasiku

"Tunggu!" katanya tiba-tiba. "Aku mau pegangan di sandaran sofa."

Kami tertatih-tatih bergeser ke sofa tanpa melepaskan persatuan kelamin kami. Dia menahan nafasnya saat gerakan kami menimbulkan gesekan nikmat di kelaminnya.

"Sekarang, kekasihku. Ayo lanjutkan!"

Aku mendorong. Lagi dan lagi. Dia mendengus, dan mengerang. Berulang kali. Aku menggumamkan kata-kata untuk mengambarkan kenikmatanku sendiri, sambil menatap pantatnya yang bulat dan sempurna. Suaranya mulai terdengar sebagai erangan tertahan sampai kemudian dia menjerit dan mengejang, vaginanya mengurut penisku, dan aku membalas menyemburkan air mani kedalam vaginanya yang berkedut hangat.

Aku berhenti mengejang dan menepuk pantatnya. Bukan bermaksud kasar, tapi pantatnya sejak tadi seakan-akan meminta perhatian lebih, kencang dan padat.

"Lagi!" dia terkikik.

Dan aku menamparnya lagi, dengan lebih lembut. Dia menengok ke belakang dan menyeringai sambil menggoyangkan pantatnya.

"Mungkin aku perlu lebih dari itu setelah kita pindah ke kamar, atau aku perlu minta bantuan ke satpam?" katanya menggoda.

Dan kami melakukannya lagi di tempat tidur, dengan sesi kedua yang lebih santai dan lembut, dan tertidur setelah itu dan ga bangun sampai pagi.

Sabtu pagi Jenni bangun lebih awal dan bergegas pergi untuk mengunjungi orang tuanya, dan aku sendiri bersiap untuk datang ke rumahku. Aku sudah hampir berangkat saat telepon berdering, dari Hasan.

"Errik," katanya pelan. "Apa kamu di rumah? Aku punya berita baru tapi sebaiknya ga kuceritakan lewat telepon."

"Aku di apartment," jawabku. "Aku baru mau pergi."

"Apa kamu bisa tunggu sebentar?"

"Ya bisa."

Dia datang beberapa menit setelahnya dan aku mempersilahkannya masuk.

"Sekali lagi, Errik," katanya membuka ceritanya setelah duduk di ruang tamuku, "Rahasiakan berita ini dan simpan untukmu sendiri."

"Oke."

"Jadi kami sudah memeriksa komputer Hadi dan rekeningnya. Kami menemukan transfer sebesar empat ratus tiga puluh juta rupiah dari rekening bisnis Hadi.

"Transaksinya ga sekaligus tapi dilakukan beberapa kali selama beberapa minggu sebelum 'kecelakaan' kamu dan ditransfer secara internet banking ke sejumlah rekening lain atas nama Hadi dan juga ke sejumlah rekening lainnya, tapi banyak yang sudah ga aktif sekarang. Kami berhasil melacak uangnya dengan cukup mudah, sepertinya memang ga berusaha untuk disembunyikan lebih jauh. Transfer dibuat seolah Itu adalah pembayaran tagihan biasa ke rekening vendor.

"Yang menarik adalah uang yang ditransfer tadi, semuanya ditarik bersamaan dalam waktu tiga hari setelah seranganmu. Jelas sekali terlihat polanya. Lalu empat hari setelah seranganmu salah satu dari tiga orang yang menjadi eksekutor penyeranganmu menyetor seratus juta rupiah tunai ke rekeningnya di sebuah koperasi simpan pinjam. Itu bodoh sekali. Kalau kita ingat lagi dari cerita yang disampaikan Iwan kepada kita, ada selisih seratus juta tambahan yang belum ditemukan. Aku berasumsi bahwa itu untuk orang yang berperan sebagai pengatur rencana serangan dan belum bisa kita identifikasi sampai sekarang."

"Oh. Semuanya makin memperkuat tuduhan ke Hadi kan? Atau apa masih ada lagi yang kurang?"

"Ya, seperti analisa awal kita, Iwan memberikan pernyataan ke Polisi yang kurang lebih sama dengan apa yang dia katakan pada kita. Bahwa sebenarnya Hadi tidak pernah memerintahkan mereka secara langsung, kita kehilangan satu mata rantai pelaku dalam kasus ini, mungkin cepat atau lambat salah satu eksekutor akan buka suara. Tapi bukti ini, seperti yang kamu bilang, menggerakkan kami lebih dekat ke arah Hadi. Dia harus menjelaskan kemana uang itu pergi, dan alasannya. Akan sulit baginya kalau dia ga bisa menjelaskan itu ke penyidik. Ga mungkin kan dia ga tahu dia kirim uang sebesar itu kepada siapa?

"Menurutku dia mungkin mengubah ceritanya saat dia dihadapkan pada bukti baru yang sudah kami kumpulkan. Kita harus menunggu dan melihat kondisi setelah itu. Hadi adalah satu-satunya nama yang terdaftar sebagai penanggung jawab rekening bisnis itu, ga ada orang lain yang bisa mengkonfirmasi pengiriman uang itu. Jumlah dan waktu transaksi, semuanya terlalu cocok untuk dibilang hanya kebetulan. Dia orang yang kita cari."

Jadi akhirnya terbukti benar. Hadi mencoba membunuhku. Dia sudah merencanakannya dengan sangat hati-hati untuk menjauhkan dirinya dari tuduhan. Setelah itu dia berpindah fokus untuk mendapatkan istriku. Aku marah, emosi dihatiku memuncak. Aku pernah mengharapkan keadilan, sekarang bertentangan dengan semua prinsipku, aku ingin balas dendam padanya.

"Terima kasih Hasan."

Emosiku pasti sudah terpancar dari suaraku karena Hasan jadi khawatir padaku.

"Errik," pintanya, "Tolong jangan melakukan sesuatu yang konyol. Setelah semua yang kamu lalui, kamu ga ingin berakhir di penjara juga kan."

Aku menatapnya dan terpaksa mengangguk setuju, dia kelihatan lebih lega.

"Aku harus memberitahu itu padamu, sebagai temanmu," gumamnya, lalu dia pergi.

Dengan mendapatkan informasi baru yang dirahasiakan ini, aku berangkat ke rumahku untuk menghabiskan hari Sabtu bersama keluargaku. Saat aku mengemudikan mobil kesana, awan mendung terbelah dan sinar matahari menerobos masuk. Pada saat aku sampai di rumah, langit sudah cerah dan sepertinya akan cerah seharian penuh, tapi sebaliknya suasana hatiku gelap.

Sedikit lebih terang saat aku disambut dengan antusias oleh anak-anakku. Mereka memeluk dan melompat-lompat di sekitarku dan aku melihat Ana berdiri di pintu depan. Ga ada senyuman di wajahnya tapi dari pandangannya aku melihat dia sedang memikirkan sesuatu, membuatku sedikit khawatir. Dia berbalik dan masuk dan kami semua mengikutinya kedalam.

Aku mengusulkan kami jalan-jalan ke Taman Kota, berganti suasana sedikit ke pepohonan hijau, anak-anak bisa bermain layang-layang atau frisbee. Ana kelihatan jengkel sebentar mendengar usulku, tapi ga lama dia bilang akan menyiapkan bekal untuk makan siang disana.

Perjalanan itu memakan waktu sekitar tiga puluh menit, selama itu banyak obrolan dan percakapan di dalam mobil, kecuali antara aku dan Ana, meskipun anak-anak ga menyadari sikap acuh Ana padaku ini, karena dia tetap tertawa dan bercanda dengan mereka seperti halnya aku.

Wisata singkat kami hari itu cukup menyenangkan. Kami sempat berjalan mengelilingi taman beberapa kali, dan sepertinya anak-anak cukup kaget dengan staminaku, meskipun aku harus membawa satu tongkat untuk berjaga-jaga. Salah satu anak bergantian berjalan disampingku, mengandeng tanganku yang tidak memegang tongkat, tapi Ana terus menjaga jarak. Ada apa dengannya?

Menjelang sore, Ana menemani Leo dan Stefan bermain layang-leyang, sementara aku duduk di dalam mobil untuk mengistirahatkan kakiku dengan ditemani oleh Agnes. Saat itulah Agnes menyampaikan ganjalan di hatinya.

"Ayah, Ibu bertingkah ga seperti biasanya. Dia sama sekali ga mau bicara denganmu. Dia sepertinya marah pada Ayah. Dia sebelumnya baik-baik saja sampai dia pulang lagi ke rumah Om Hadi, dan setelah itu dia kelihatan punya beban pikiran. Dia ga sebahagia dulu. Kemarin kami sedang menertawakan sesuatu dan Leo komentar bahwa itu menyenangkan karena kami hampir ga bisa tertawa sama sekali dengan adanya Om Hadi. Lalu Stefan bilang dia senang jauh dari Om Hadi karena apa yang sudah dia lakukan padamu. Ibu membentaknya. Dia bilang, 'Apa yang dikatakan Errik pada kalian?' Aneh, dia ga pernah menyebutmu dengan nama di depan kami, selalu 'Ayah'."

Aku menenangkannya dan mengingatkannya lagi bahwa aku nanti akan bicara dengan Ana, dan semoga setelah itu akan lebih jelas alasannya. Aku lalu menganti topik dan membicarakan kejadian selama beberapa minggu terakhir, juga tentang ujiannya, sampai Ana datang bersama kedua anak laki-laki.

Kami kembali ke rumah dengan perasaan senang dan capek. Aku masuk ke dapur untuk membuat minuman dan tiba-tiba Ana bilang bahwa dia dan Agnes yang akan menyiapkan teh. Malamnya setelah makan, aku hendak bangkit untuk mencuci piring dan sekali lagi Ana bilang dengan kasar, bahwa dia yang akan mencuci piring, tapi setelah itu dia keluar dari dapur, meninggalkan anak-anak saling pandang bingung dan menatapku.

Sudah cukup. Aku marah, aku ga suka sikapnya dan tersingung. Ga mungkin aku akan bicara dengan dia setelah mendapatkan perlakuan seperti itu. Aku bangkit lagi dari kursiku.

"Aku pergi," Kataku dengan suara keras. "Kalau salah satu dari kalian ingin ketemu denganku, aku besok akan ada di apartment seharian."

"Aku akan kesana," kata Agnes. "Aku butuh istirahat."

Aku menuliskan alamat di buku catatan yang kebetulan ada di meja, dan menyerahkannya padanya.

"Apa boleh kami juga ikut?" tanya Leo.

"Ya boleh. Sekarang aku pergi dulu."

Agnes ikut mengantarku ke pintu depan.

"Ayah," katanya pelan. "Bukannya Ayah mau bicara dengan Ibu?"

"Seperti yang kamu bilang tadi, Agnes, Ibumu bertingkah aneh. Dia menghindari aku sepanjang hari dan memperlakukan aku seperti tamu yang ga diundang di rumahku sendiri. Kalau dia mau bicara, dia yang harus datang padaku, tapi kapanpun itu, dia harus telpon dulu untuk bikin janji."

"Wow, Ayah, Itu agak berlebihan."

"Maaf, Agnes, aku ga suka ada yang memperlakukanku seperti itu, bahkan Ibumu. Aku ga akan balik ke sini sampai aku dapat permintaan maaf."

"Oke, Ayah. Sampai jumpa." Dia tampak kecewa saat dia masuk ke dalam dan menutup pintu.

Saat mobilku mulai melaju, aku melihat pintu rumah terbuka lagi dan Ana muncul disana. Dia melambaikan tangan tapi saat itu aku sudah ga berniat untuk berada disana lebih lama.

Aku sampai di apartment dua puluh menit kemudian, melepas baju bersiap untuk tidur dan menyadari hari masih belum terlalu malam, jadi aku keluar lagi dan membaca novel di ruang tamu. Aku baru duduk saat telepon berdering. Aku berdiri dan mengambil telepon, dari Agnes, aku menjawabnya dan segera mendengar isakan.

"Ayah..." teriaknya. "Saat Ayah pergi, Ibu berlari ke pintu tapi Ayah sudah jauh, setelah itu dia mulai menangis dan lari ke kamarnya. Dia ga keluar lagi sejak itu. Aku barusan menyuruh Leo dan Stefan untuk masuk ke kamar dan tidur. Mereka ketakutan, Ayah. Aku ga tahu harus berbuat apa."

Hatiku sedih karena itu. Itu memang ga adil buat mereka. Aku dan Ana selalu jadi tim untuk urusan anak-anak, kan? Sekarang kami membuat mereka sedih karena perilaku kekanakan kami.

"Buatkan dia teh manis hangat, dan beri tahu dia dengan perlahan bahwa aku marah karena caranya memperlakukan aku hari ini, terutama karena melarangku melakukan sesuatu di dapurku, di rumahku sendiri, seolah-olah aku ini tamu yang ga diundang. Bilang pada Ibumu untuk datang dan menemui aku hari Senin malam dan nanti kami akan bicara. Kalau dia memang ingin bicara, itu akan menenangkannya"

Dia terisak, "Oke Ayah. Terima kasih."

"Jangan sedih, aku dan Ibumu punya masalah, sudah dua setengah tahun lho, dan kami akan menyelesaikannya demi kalian."

"Ya Ayah. Bye."

Sekarang aku ga tahu apa semua masalah kami bisa selesai dalam sehari, tapi mau ga mau aku harus menunggu sampai hari Senin, itupun kalau seandainya memang Ana mau datang menemuiku disini.



Hari Minggu pagi aku baru saja sarapan saat bel pintu berbunyi dan saat aku membuka pintu di sana berdiri kedua putraku dengan senyum lebar di wajah mereka.

"Hai Ayah!" mereka dengan riang menyapaku dan melewatiku begitu saja untuk masuk ke ruang tamu dengan teriakan "Wow keren!" pada apa yang aku sendiri ga tahu. Aku melihat lagi ke luar pintu apartment, tapi ga melihat seorang pun. Ga ada seorang pun yang datang bersama mereka. Membingungkan.

Aku berbalik dan menutup pintu untuk menemui mereka.

"Bagaimana....?" Aku memulai.

"Kami diantar Om Adrian. Agnes juga ikut, tapi dia balik lagi untuk menemani Ibu. Semalam setelah Ayah pulang, Ibu menangis dan masuk kamar, tapi pagi ini dia kelihatan ga terlalu sedih. Apa Ayah punya makanan?"

Nah, itu memberikan pencerahan buatku.

"Kalau gitu kalian belum sarapan?"

"Om Adrian datang pagi-pagi," kata Stefan, "Dan kami harus cepat-cepat ganti pakaian. Ibu mau menyiapkan sarapan buat kami, tapi Agnes bilang kami bisa makan di tempat Ayah. Jadi, Ibu mengijinkan kami pergi."

"Seram setelah Ayah pergi kemarin," tambah Leo, "Ibu seperti saat Ayah dulu... menghilang. Dia menangis terus, dan biasanya Om Hadi mengantarnya ke kamar untuk menenangkannya."

"Apa dia berhasil?" Aku bertanya dan menyesal bertanya itu pada anak-anak, tapi untungnya mereka ga paham maksud tersembunyi dari pertanyaanku.

"Oh, ya. Ibu akan jauh lebih tenang," kata Stefan, menjawab dengan kepolosan anak-anak.

Aku mulai mempersiapkan sarapan untuk mereka. Sereal, roti bakar dengan telur dan ham, juga sosis.

Mereka menghabiskan semua makanan yang kusiapkan dalam sekejap.

Lalu, "Nanti siang kita makan apa, Ayah?" tanya Leo.

Aku paham dia sedang dalam masa pertumbuhan.

"Apa kita boleh beli pizza?" pinta Stefan. Aku ingin memberikan usul lain untuk makanan yang lebih sehat, tapi wajah mereka yang penuh harap memenangkan perdebatan tanpa kata diantara kami.

"Di mana Tante Jenni?" tanya Leo tiba-tiba.

"Dia pergi ke rumah orang tuanya dan dia akan datang ke acara ulang tahun temannya malam ini jadi dia ga akan datang ke sini.”

Leo tampak kecewa. Aku ga komentar apa-apa.

Hari ini diawali dengan cuaca yang cerah penuh dengan sinar matahari, tapi awan mendung dengan cepat datang dan mengubah cuaca, menurunkan hujan dengan deras. Siangnya anak-anak nonton film di TV setelah menghabiskan dua kotak pizza medium. Sorenya aku mengantarkan mereka pulang karena mereka harus mengerjakan PR untuk persiapan sekolah besok. Aku menurunkan mereka di depan gerbang dan pulang.

Ga lama telepon berdering. Itu dari Ana.

"Aku mau bikin janji untuk ketemu denganmu besok." Suaranya datar dan tanpa emosi.

"Oke," kataku, "Jenni mungkin akan datang ke apartment, tapi dia ga akan keberatan untuk keluar sementara."

"Oke." Dia menutup telepon.

Sekarang aku jadi sibuk memikirkan pertemuanku dengan Ana besok malam. Hubungan kami mulai terasa seperti sekotak puzzle lama, yang sayangnya gambar di kotaknya sudah hilang dan aku ga punya petunjuk untuk bisa menyusun semua potongan dengan baik. Aku juga tahu bahwa kemungkinan besar potongan puzzle yang saat ini aku punya sudah ga lagi lengkap. Kacau!



Bersambung... Bab XXI
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd