Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Pulang

XXI. Bertolak Belakang


Jenni memperhatikan aku agak abstrak saat masuk kantor hari Senin. Untungnya dia dengan cakap mampu mendiskusikan implikasi proyek kami dari Thailand dengan Jeffry, dan aku untuk sementara hanya mengawasi mereka. Selain itu ada banyak perencanaan yang harus dibuat dan komplikasinya untuk pembelian lahan di sebelah dan membangunnya.

Sorenya sebelum pulang, Jenni bertanya apa aku ingin di temani malam itu. Lalu aku ingat bahwa aku belum memintanya untuk menemaniku saat Ana datang. Sebelumnya aku sudah menceritakan bahwa Ana mungkin akan datang untuk bicara tentang sikapnya selama seminggu sebelumnya dan Jenni menganggap bahwa aku ingin bicara empat mata dengan Ana.

"Jenni," kataku, "Menurutku akan lebih baik kalau kamu ada disana saat dia datang. Selain itu kalian perlu bertemu dan berkenalan dengan benar. Kamu bisa keluar sebentar saat kami bicara dan setelah kami selesai kamu bisa masuk lagi. Setelah itu ranjang!"

Dia berpikir dan kelihatan ragu.

"Tolong?" Aku memohon. "Sikapnya sangat dingin padaku dan aku ga tahu kenapa. Dia perlu tahu bahwa aku punya kamu dan ga butuh dia, jadi dia ga bisa bersikap seperti itu untuk membuat aku mengalah."

Dia berpikir lagi dan akhirnya mau.

Jam tujuh, setelah kami selesai makan, bel pintu berbunyi.

Jenni sudah mengganti baju kerjanya dengan kaos longgar yang bagian leher kausnya lebar memperlihatkan kulit dadanya yang menarik, dibawah dia memakai celana jins ketat yang menempel erat padanya. Dengan pakaian itu dia berjalan ke pintu dan membukanya. Aku lalu mendengar suaranya dari arah ruang tamu.

"Adrian! Senang ketemu denganmu lagi! Hi, Ana! Ayo masuk, Errik sudah menunggu didalam."

Aku mendengar suara jawaban laki-laki dan perempuan yang ga seantusias Jenni.

Kami semua saling menyapa. Ana mencium pipiku, melirik Jenni sekilas, Adrian tersenyum lebar padaku. Kulihat Ana kelihatan bingung dan sedikit khawatir, tapi untungnya ga terlihat ada kemarahan di wajahnya. Aku menyibukkan diri mengambilkan minuman untuk semuanya.

Setelah basa-basi sejenak menanyakan kabar dan pekerjaan, Ana melirik ke arah Jenni dan Adrian. Jenni sadar apa yang Ana maksud lalu tersenyum manis pada Ana.

"Adrian," kata Jenni, "ayo kita keluar, mereka ingin bicara." Adrian hampir seperti melompat berdiri dan mengikuti Jenni keluar dari kamar apartmentku.

Ana melihat sekeliling ruangan. "Apartment yang bagus," katanya. "Pilihan yang bagus dari Alfon dan Vivi."

Aku hanya diam.

"Errik." Dia berkata, dan berhenti.

Aku masih diam.

"Kita ga pernah punya kesempatan untuk bicara dengan sepantasnya."

Aku terus diam dan membuatnya bingung.

"Errik, tolong jangan diam saja?" dia memohon.

"Sekarang bukan waktunya bicara panjang-lebar, Ana," kataku datar. "Pertemuan ini untuk menjernihkan suasana dan memberimu kesempatan untuk menjelaskan sikapmu padaku selama seminggu terakhir,"

"Errik, tolong jangan begitu--"

"Ana, jelaskan saja sikapmu kemarin."

Air mata mulai muncul di matanya.

"Errik, aku minta maaf."

"Kamu sudah dimaafkan. Kamu harus tahu itu, tapi tolong jelaskan karena aku ga ngerti kenapa aku layak mendapat perlakuan seperti itu."

Dia diam sejenak lalu berkata, "Ada dua alasan. Aku sudah latihan untuk mengatakannya selama perjalanan kesini, dan sekarang aku sama sekali ga ingat."

"Ana, langsung saja."

"Oke." Ada jeda cukup lama, lalu, "Ya, saat itu kita semua bersama-sama lagi di rumah. Kamu bermain di taman dengan anak-anak. Itu sudah sering terjadi sebelumnya... tapi sebelumnya kita adalah satu keluarga bahagia yang penuh cinta dan sekarang ini kamu bukan lagi suamiku dan aku sudah sadar sudah membuatmu sangat kecewa.

"Jadi sekarang semuanya kelihatan sama tapi ada yang hilang. Lalu kamu bilang kamu akan selalu ada di sini untuk anak-anak, tapi kamu ga pernah menyebutkan aku. Itu sangat menyakitkan, Errik. Aku ingin semua kembali seperti dulu lagi, tapi itu ga mungkin.

"Errik, Sayang, aku begitu emosi. Lalu weekend kemarin kamu datang lagi dan aku tahu kita ga bisa bersama, aku makin emosi dan marah, bukan padamu, tapi pada situasi itu. Sayangnya, aku melampiaskannya dengan cara yang salah, aku menjauhkan diri darimu. Aku minta maaf. Aku akan memberikan apa saja supaya kamu kembali padaku tapi itu ga bisa."

Dia mulai menangis.

"Ana," kataku lembut, "Bukannya aku ga mau mencoba untuk kembali. Tapi saat ini ada terlalu banyak hal yang ga tersampaikan, terlalu banyak misteri dalam pikiranku.

"Aku menjalin hubungan dengan orang lain yang membutuhkan aku. Aku ga akan bilang alasannya tapi dia memang butuh aku. Aku ga akan membuatnya kecewa. Aku ga bisa memahami perasaanku padamu. Semua orang ingin aku untuk kembali padamu. Aku ga bisa. Bukannya aku ga mau, tapi aku ga bisa. Kamu paham?"

Dia mengangguk, tampak sedih.

Aku melanjutkan, "Beri waktu. Aku ga mau memaksakan perasaanku sekarang, tapi aku bersedia ketemu denganmu dan membicarakan semuanya di lain waktu. Bagaimana?"

Dia mengangguk, "Ya, aku mau."

"Aku ga tahu apa kamu benar-benar mau. Maaf kalau kamu ga suka, ini tentang Hadi--"

"Errik, kebetulan kamu bilang soal Hadi, bisa kita bahas sedikit tentang dia?"

"Aku ragu aku perlu dengar cerita yang ga perlu tentang dia, tapi silahkan."

"Saat aku kembali ke rumahnya di hari Minggu, aku sangat emosi dan merasa sendiri sepanjang perjalanan kesana. Aku sudah meninggalkanmu walaupun aku bilang aku akan menginap disana sampai Senin pagi. Egoku menahanku untuk kembali ke rumahmu. Lalu aku merasa benci pada Hadi karena perbuatannya menghancurkan keluarga kita. Tapi aku ga menyangka akan melihat apa yang kutemukan saat aku sampai di rumahnya."

Dia berhenti dan menatapku, seolah-olah untuk memastikan aku mengerti. Aku memberi isyarat padanya untuk melanjutkan.

"Hadi terpuruk di kursi. Dia mabuk berat. Dia menyapa aku dengan, 'Oh, kamu sudah balik.' Aku berkata ya, aku balik. Dia berkata 'Untuk selamanya', dan aku menjawab tidak. Lalu dia menangis. Dia terisak-isak dan memohon agar aku mau kembali padanya. Dia bilang dia sangat kesepian dan dia ga punya siapa-siapa lagi.

"Aku bilang itu akibat perbuatannya sendiri dan setelah itu dia mulai ngomel bahwa dia ga pernah melakukan apa-apa padamu. Dia ga pernah merencanakan apa pun. Dia cuma mencoba membantu. Dia memohon padaku untuk percaya padanya. Dia bilang dia ga ngerti kenapa kamu mencoba menjebaknya.

"Errik, aku tahu ini akan menyakitimu, tapi aku sudah tinggal bersamanya selama lebih dari setahun dan dia pernah mencoba berbohong padaku sebelumnya, jadi aku tahu saat dia bilang yang sebenarnya. Dia benar-benar ga tahu apa-apa, dan dia merasa kamu dan Hasan sedang mengarang bukti untuk menjebaknya dan membalas dendam. Dia putus asa dan ga punya teman selain aku untuk berkeluh kesah. Menurutku dia ga bersalah."

"Jadi apa yang kamu lakukan setelahnya?"

"Yah, aku--"

"Biar kutebak," kataku, lebih agresif dari yang kuinginkan, "Kamu 'menghibur' dia."

"Yah..."

"Sampai ke kamar tidur."

Dia jadi marah, "Ya! Aku membawanya ke tempat tidur dan aku mengijinkannya menyentuhku lagi, meskipun dia begitu mabuk sampai dia ga bisa ereksi, kamu puas sekarang?"

"Puas karena aku tahu apa yang terjadi. Puas karena aku sekarang tahu alasan kenapa kamu bersikap menjauh dariku. Jadi, apa kamu akan kembali padanya?"

"Tidak, Errik," dia menjawab sengit, "Aku ga akan kembali padanya, tapi aku akan menemuinya lagi. Dia butuh aku."

"Oke," kataku, "Itu menegaskan beberapa hal. Ga sampai sepuluh menit yang lalu kamu bilang padaku bahwa kamu mau aku kembali padamu. Sekarang kamu bilang bahwa kamu mau melanjutkan hubunganmu dengannya. Rasanya itu ga memberiku alasan untuk berusaha bersama memperbaiki hubungan kita kan?”

"Errik," serunya, "Aku memang menginginkanmu, tapi dia butuh aku saat ini. Aku sangat yakin bukan dia yang menginginkan kematianmu. Aku yakin itu!"

"Yah, tidak apa-apa," geramku, "Ada setumpuk bukti yang mengarah padanya, tapi kamu berpihak padanya. Dan aku tahu disanalah letak kesetiaanmu, bukan padaku."

Tiba-tiba dia tampak panik, dan terdiam. Aku ga akan memecah keheningan ini. Pertama, aku ga tahu bagian mana dari kata-kataku yang membuatnya bereaksi seperti itu. Kedua, setelah dia sekali lagi berpihak pada Hadi, aku merasa ga ada lagi yang perlu kukatakan.

Lalu dia berdiri, "Sebaiknya aku pergi," katanya.

"Ana," potongku, "Duduklah sebentar."

Yang mengejutkan buatku dia langsung duduk.

"Dengar," kataku, memilih kata-kataku, "Kita punya keluarga bersama. Mereka butuh kita berdua setidaknya.. ramah satu sama lain, mereka ga butuh salah satu dari kita marah atau diam atau benci pada yang lain. Mereka yang utama kan?"

Dia mengangguk.

"Jadi, katakanlah kita sedang berbeda pendapat pada sesuatu hal, sebaiknya kita simpan masalah itu sampai kita bisa bicara lagi. Kamu masih mau kita membicarakannya?"

"Ya, Errik," jawabnya, "Tapi kamu barusan bilang ga ada gunanya kita bicara."

"Bukan, aku bilang aku merasa kita ga mungkin kembali saat kamu 'bersama' Hadi. Itu berlawanan dengan pernyataanmu bahwa kamu ingin aku kembali. Tapi ga masalah. Kamu adalah wanita bebas, kamu bisa melakukan apa pun yang kamu mau. Tapi aku ga bilang kita ga bisa membicarakan masalah kita. Hanya saja jangan berharap pembicaraan itu akan kembali menyatukan kita."

"Aku--"

"Aku memang merasa kalau kita bicara, mungkin akan menyakitkan. Nah, kamu barusan lihat sendiri contoh betapa sakit rasanya saat kita bicara, dan itu belum seberapa dibanding saat kita membahas masalah-masalah lain diantara kita."

Dia diam dan tampak pasrah. "Aku masih mau bicara," katanya.

"Kalau begitu kita jadi teman demi anak-anak?"

"Iya."

"Tidak ada lagi sikap diam?"

"Ga ada."

"Tidak ada lagi yang bikin aku merasa ga diinginkan di rumahmu?"

"Errik, Sayang, itu rumahmu. Aku minta maaf, itu ga akan terjadi lagi."

"Itu akan jadi rumahmu selama kamu membutuhkannya, untuk selamanya kalau kamu mau. Kalau perlu aku akan membuat surat pernyataan yang menyatakan rumah itu sebagai milikmu lagi, kalau itu membuatmu lebih tenang."

Saat ini air matanya mengalir lagi dan dia mulai bangkit dan mendekati aku berjalan dengan lututnya menuju ke tempat aku duduk dan memelukku erat. Ga ada kata yang terucap dari kami.

Lalu dia berdiri dan berkata, "Sudah saatnya aku pergi. Bisa kita bikin jadwal lagi untuk bicara berdua?"

Aku setuju.

Dia tersenyum. "Apa kamu akan datang lagi untuk makan malam bersama?"

"Sesering mungkin. Kamu mungkin belum dengar, tapi kami sedang mencoba memperluas pabrik dengan membeli lahan sebelah, jadi aku mungkin akan bekerja lebih malam untuk sementara waktu mempersiapkan ekspansi perusahaan, aku mungkin ga sempat masak sendiri."

"Jadi datanglah tiap hari," dia menawarkan sambil tersenyum kecil.

"Jenni juga sesekali?" Aku mencoba bertanya.

Bayangan singkat terlintas di wajah cantiknya tapi dengan cepat dia kembali tersenyum. "Ya boleh saja."

"Kamu tahu anak-anak menyukainya lho."

"Ya, mereka sering tanya kapan dia datang."

"Leo jatuh cinta padanya."

Ana tampak kaget.

"Ana, dia hampir empat belas tahun, hormon puber!"

Dia tertawa. "Kalau dia merebutnya darimu mungkin kesempatanku mendapatkanmu akan lebih besar."

Itu candaan ringan tapi ada harapan didalamnya. Aku memaksakan wajahku ga bereaksi dan tetap tersenyum.

Dia memanggil Adrian dan mereka pulang. Jenni menutup pintu lalu berbalik, kelihatan salah tingkah.

"Jenni?"

"Ya?"

"Kamu suka dia kan?"

"No!" protesnya dengan pipi bersemu merah.

Aku mendengus.

"Dia baik," katanya. "Sangat lembut dan pendengar yang baik, obrolan kami nyambung, tapi kamulah laki-laki yang kuinginkan malam ini."

Malam ini? Tapi bahkan sebelum aku bisa memikirkan tentang kata ‘malam ini’, Jenni sudah melepas kausnya dan sedang melepaskan celana jinsnya, dengan begitu mudah walaupun jeans itu begitu ketat. Aku bisa melihat celana dalam ungu berenda yang hampir transparan. Aku segera melupakan Ana.

-----

Malam berikutnya, aku makan malam di rumah bersama Ana dan anak-anak. Semua berjalan lancar dan aku merasa senang. Aku perhatikan Agnes menghargai bahwa aku dan Ana bisa berbaikan lagi. Lalu menjelang jam delapan aku harus pulang, karena aku punya janji untuk pertemuan ‘kuartet penyelidik’ yang sudah lama sekali ga kami lakukan.

Jam sembilan Hasan menjemputku di apartment dan mewanti-wanti agar aku ga menyebutkan soal rekening Hadi. Aku setuju. Kami menikmati malam reuni yang menyenangkan dan hampir ga membahas soal kasusku.

Hasan dan Alfon akhirnya harus pulang lebih cepat dan aku tetap tinggal untuk menghabiskan satu gelas bir lagi dengan Jimmy, yang sudah janji akan mengantarku pulang.

Saat kami bangkit untuk pulang, aku mendengar seseorang bilang "Itu Errik kan?"

Aku berputar. Aku melihat sekelompok pria dan wanita, sekitar delapan orang, sedang berkumpul dan ngobrol bersama.

"Hei, Errik!" panggil seorang pria dengan rambut di cat merah, "Ayo sini!"

Teman-temannya ikut memandangku dan tersenyum, tapi aku ga kenal mereka. Apa mereka pernah lihat aku di TV? Atau mungkin teman lama? Cuma ada satu cara untuk tahu. Jimmy kelihatan ragu tapi aku mengangkat bahu dan akhirnya dia mengangguk lalu ikut denganku menghampiri mereka.

"Halo," kataku pada si rambut merah, "Apa aku kenal kamu?"

Dia kelihatan bingung.

"Aku Vincent?" katanya. Mereka semua kelihatan bingung.

"Halo, Vincent," kataku sambil mengulurkan tanganku untuk salaman.

"Maaf," lanjutku. "Kalian pasti sudah lihat berita tentangku di TV, kan? Kalau gitu kalian sudah tahu aku hampir tewas. Kamu bisa lihat dari penampilan wajahku yang agak ga biasa, otakku geser." Mereka tertawa.

"Aku kehilangan sebagian besar ingatanku. Jadi, maaf kalau aku ga ingat kamu, atau salah satu dari kalian," tambahku sambil memandang ke arah mereka.

"Sial! Bajingan itu," kata seorang yang lain.

"Apa betul Hadi yang melakukannya?" tanya seorang wanita cantik berbaju abu-abu.

"Aku ga tahu," kataku. "Seperti yang aku bilang, aku ga ingat kejadian itu. Tapi menurut polisi begitu."

Mereka menyuruhku duduk dan aku bergeser untuk memberi tempat buat Jimmy. Kami ditraktir minuman yang harus aku bayar dengan cerita tentang masa pemulihanku. Aku ga menyebutkan Ana, atau Hadi, tapi sepertinya memang mereka memang berniat membicarakan Hadi. Aku diam saja.

"Tikus," kata laki-laki yang lain. "Kalian tahu kenapa dia cerai. Mantan istrinya memergokinya selingkuh dengan istri orang. Hadi mendatangi rumah wanita itu siang-siang saat suami selingkuhannya sedang kerja. Dia mengabaikan pekerjaannya sendiri, karena itulah istrinya curiga, dia ga pernah ada tiap ditelpon di kantor, dan ponselnya ga bisa dihubungi."

Aku jadi terpaku. Aku melihat istri atau pacar laki-laki itu menarik-narik lengan bajunya. Lalu dia sadar.

"Ya Tuhan!" dia salah tingkah, "Wanita itu--"

"Ya," kataku, "Bisa jadi mantan istriku, tapi aku ingin tahu sudah berapa lama perselingkuhan itu berlangsung. Aku ga ingat apa-apa soal mereka."

"Gimana yah--" dia ragu.

"Dengar," lanjutku, "Kami sudah cerai. Dia akan menikahi Hadi. Tapi informasi itu akan membantu aku untuk tahu yang sebenarnya. Kapan tepatnya Hadi bercerai?"

Ada beberapa dari mereka yang diskusi soal itu, tapi mereka akhirnya sepakat bahwa Hadi bercerai di Bulan November 2010, hampir satu tahun sebelum kejadianku di Bulan Agustus 2011.

Aku ingat sekarang, bahwa Alfon atau Vivi pernah bilang sesuatu soal perceraian Hadi sebelumnya dan ketika itu kami sudah membantunya, bahwa Hadi sering datang ke tempat kami dalam masa-masa setelah bercerai. Mungkin dia sudah sering datang ke rumahku sebelumnya, mungkin dia menemui Ana saat aku ga ada di rumah dan ketahuan oleh istrinya. Mungkin mereka sudah saling tertarik jauh lebih lama dari yang kutahu. Atau, mungkin juga orang-orang ini membicarakan wanita lain yang selingkuh dengan Hadi dan sama sekali ga membicarakan Ana.

Aku berterima kasih pada mereka dan pamit diiringi harapan agar aku bisa terus membaik dan undangan agar lain kali aku bisa bergabung dengan mereka lagi di Crossroad.

"Jangan langsung mengambil kesimpulan," saran Jimmy saat kami dalam perjalanan ke apartmentku.

"Ga akan," kataku, "Aku terlalu bingung sampai aku ga bisa menyimpulkan apa-apa meskipun aku mau."

Kami berdua tertawa.

Sesampainya di apartment, aku duduk dan berpikir.

Semakin banyak yang aku tahu tentang Ana dan Hadi, aku semakin penasaran. Lalu terpikir olehku bahwa satu-satunya orang yang bisa menjelaskan dengan siapa Hadi berselingkuh adalah mantan istrinya. Aku memutuskan untuk mencarinya dan menanyakan apa yang dia tahu.

------

Hari-hari berikutnya aku begitu sibuk di kantor, aku bahkan harus mengesampingkan urusan sales dan fokus untuk menyelesaikan persyaratan pembelian lahan dengan pihak bank dan perijinan pembangunan gedung baru. Semuanya rumit, pihak bank memberikan penawaran bunga yang cukup tinggi, kami mencoba menawar tapi mereka tahu kami ga punya tawaran dari Bank lain, jadi mereka jual mahal pada kami. Kami berempat, Jeffry, Widya, Jenni, dan aku secara konsisten terlibat dalam masalah itu, sambil tetap mencoba memastikan semua pekerjaan lain selesai sesuai jadwal. Kami datang lebih pagi dan pulang larut malam.

Ana tahu soal itu dan sadar aku ga akan sempat memasak, jadi dia mengundangku untuk ikut makan di rumah setiap malam. Hari Rabu saat aku kesana dia memintaku untuk mengajak Jenni datang Kamis besok.

Agnes dan Leo sangat senang saat melihat Jenni datang bersamaku, meskipun ekspresi Ana cukup datar, tapi sikapnya terlihat menyambut Jenni dengan tulus. Stefan sepertinya ga peduli, tapi yang pasti tidak bersikap memusuhi.

Jenni lalu ikut ke dapur bersama Ana, dan aku juga mengikuti mereka dari belakang, tapi Jenni bilang dengan tegas bahwa aku ga usah ke dapur. Ana kelihatan gelisah karena itu, mungkin karena aku pernah bilang aku ga suka ditolak di rumahku sendiri saat terakhir kami bicara, tapi melihat wajahku tetap tersenyum di sekeliling anak-anakku yang mondar-mandir, dia jadi lebih rileks. Ga lama kemudian, aku bisa dengar para wanita ngobrol seperti teman lama. Setelah makan mereka juga mencuci piring bersama dan sekali lagi melarangku membantu.

Saat kami pamit pulang lebih awal karena kami sudah terlalu lelah, Ana tampak sedih. Jenni sendiri sangat antusias menceritakan Ana dalam perjalanan pulang kami.

"Aku ingat betapa cantiknya dia saat aku pertama kali melihatnya di pesta, tapi dia cantik bahkan tanpa gaun dan semua make up itu! Sangat ramah! Kami langsung cocok seperti api disiram bensin."

"Aku bisa lihat," kataku. "Aku senang. Bikin hidup jadi lebih mudah."

"Oh ya, dia tanya apa hari Sabtu besok kita bisa jaga anak-anak."

"Seharian?"

"Ya. Malamnya Agnes ada pesta perpisahan dengan teman-teman sekelasnya, tapi kita bisa menjemputnya setelah itu, kalau dia mau. Dia mungkin akan dijemput temannya, laki-laki, dan juga akan diantar pulang."

"Ga mungkin!" Sergahku. "Dia masih terlalu muda untuk itu."

"Omong kosong," kata Jenni sabar, "Beri dia kesempatan, dia gadis yang baik, dan dia sudah umur tujuh belas tahun!"

"Gadis baik gampang dirayu."

"Errik, dia ga bodoh. Dia punya moral yang baik. Percayalah!"

"Oke," aku menggerutu, "Intinya hari Sabtu kita akan menemani anak-anak. Ana mau kemana?"

Ada jeda.

"Dia mau menemani Hadi," Jenni memberanikan diri. "Sepertinya Hadi mulai depresi."

Aku marah. Bahkan mungkin sangat marah. Aku ga bilang apa-apa, tapi Jenni bisa melihat aku menggenggam setir dengan kencang.

"Errik, Ana merasa masih punya tanggung jawab padanya. Dia percaya Hadi bukanlah orang yang merencanakan penyeranganmu. Kalau dia percaya sebaliknya, dia ga akan mendekatinya sama sekali."

"Aku ga paham kenapa dia berpendapat begitu. Ada banyak bukti. Apa dia buta?"

Kami lalu saling diam saat mobil sudah sampai di tempat parkir dan kami keluar untuk naik ke kamar apartment, mengambil minuman saat kami sampai dan duduk di sofa.

Jenni lalu membuka suara.

"Errik, apa betul kamu marah ke Ana karena kesalahan Hadi? Atau mungkin karena cemburu? Apa menurutmu kamu mungkin masih cinta padanya?"

"Tidak mungkin!" Aku menjawab dengan berapi-api.

"Menurutmu dia wanita yang menarik?"

"Ya, dia wanita cantik."

"Dan sesuai dengan tipemu!"

"Aku ga tahu apa 'tipeku' itu. Apa kita bisa ngobrol yang lain?"

Dan itu mengakhiri pembicaraan kami. Kami pergi ke kamar, making love, dan tidur.


Besoknya, Jumat sore, Aku dan Jeffry sepakat kami butuh istirahat dan ga akan mengurus pekerjaan selama weekend. Jenni bilang malam ini dia akan pulang ke apartment nya. Dia harus beberes dan dan cuci baju. Lalu ada janji dengan teman-temannya. Jadi aku memutuskan untuk pergi ke rumah.

Setelah makan, dan kali ini aku diizinkan mencuci, anak-anak menghilang ke kamar mereka dan Aku bersama Ana duduk berdua di ruang tamu.

"Sepertinya kamu ingin menyelesaikan urusan perluasan perusahaan lebih dulu sebelum bisa mengatur waktu untuk kita bicara?" tanya Ana.

"Ya. Urusan itu menghabiskan sebagian besar waktu dan tenaga kami."

"Jenni sudah bilang soal besok?"

Aku mengertakkan gigi, "Ya."

"Aku perlu bilang sesuatu. Aku tahu nantinya kamu akan bilang kalau ini bukan urusanmu, aku wanita bebas, dan seterusnya. Tapi aku ingin kamu tahu ini. Terakhir kali aku menemuinya, kami berakhir di tempat tidur, walaupun dia gagal memulai apa-apa. Saat itu aku membiarkannya, aku merasa dia butuh itu, tapi besok aku mungkin akan memeluknya, menciumnya, tapi cuma itu, aku ga akan berhubungan seks dengannya, dalam bentuk dan cara apapun.

"Dia berada di ambang kehancuran total. Bisnisnya bangkrut, teman-temannya meninggalkannya, dia ga dapat order pekerjaan, dia kehilangan aku dan dia mengoceh sendirian di rumah besar itu. Aku ga peduli apa yang dia sudah perbuat atau ga perbuat, dia butuh dukungan untuk melewati ini. Kalau dia bersalah, dia akan dapat hukumannya nanti, karena sekarang aku harus menyelamatkan nyawanya."

Dia melemparkan semuanya sekaligus, butuh beberapa waktu untuk kucerna. Tapi aku tetap merasa apa yang dia lakukan sama sekali ga logis, walaupun akan tetap dia lakukan dengan atau tanpa pendapatku. Akhirnya dia masih saja meremehkan keseriusan perbuatan Hadi padaku.

"Ana, silahkan lakukan apa yang kamu yakini benar. Kamu ga perlu menjelaskan padaku apa yang akan kamu lakukan."

"Tapi Errik, apa kamu belum paham? Itulah yang seharusnya aku lakukan. Aku menceraikanmu karena kesalahan. Aku dibohongi tapi pada akhirnya aku menceraikanmu. Kalau tidak, saat ini kita masih suami istri. Aku merasa aku sudah selingkuh walaupun itu pilihanku sendiri. Aku masih merasa sebagai istrimu. Aku ingin kita masih satu keluarga, tapi kenyatannya tidak begitu. Dan sayangnya ada pria lain yang bergantung padaku saat ini, dia butuh aku."

"Oke," kataku. "Aku juga punya wanita lain yang butuh aku."

Dia kaget sesaat seakan-akan dia ga pernah memikirkan itu.

"Benar," katanya pelan sambil menunduk.

Aku bangkit lalu berjalan ke atas untuk berpamitan pada anak-anak. Aku kembali ke ruang tamu dan Ana berdiri saat aku memasuki ruangan. Aku pamitan padanya dan hendak mencium pipinya saat dia memutar kepalanya jadi ciumanku mendarat di bibirnya dan dia melingkarkan tangannya di leherku dan menarikku erat kearahnya. Kami berciuman selama beberapa saat, aku bisa mencium aroma parfum dan shampo dari rambutnya, dan payudaranya yang menekan dadaku, dan aku harus mengaku kalau penisku mulai mengeras saat itu, dan dia bisa merasakannya. Ana melepaskan pelukannya, tersenyum sedih lalu mengingatkanku untuk datang agak pagi besok.

Aku kembali ke apartment, setengah berharap Jenni akan datang setelah pergi dengan temannya, tapi sampai jam sebelas ga ada kabar darinya, jadi aku menelepon ponselnya. Dia menjawab. Di mana pun dia sekarang sangat sunyi, ga ada suara obrolan, tawa atau musik. Aku bertanya dia ada dimana kenapa sepi sekali dan dia sempat terdiam lalu bilang dia sudah ada di apartmentnya. Dia merasa sangat capek dan ingin istirahat yang lama.

Kami sepakat aku besok pagi akan menjemputnya sekitar jam delapan, jadi kami bisa sampai ke rumahku relatif lebih awal seperti yang diminta Ana. Setelah itu tiba-tiba telepon terputus. Aku langsung menelepon lagi.

"Tadi putus," kataku. "Cuma mau bilang I love you and goodnight."

"Oh, ya," jawabnya agak kikuk. "Love you too, sampai ketemu besok pagi."


Besok paginya semua berjalan sesuai rencana. Ana pergi menemani penjahat yang jadi kekasihnya. Setelah sarapan, Jenni dan Agnes pergi belanja, sedangkan aku mengajak Leo dan Stefan bermain bowling. Kami semua balik ke rumah jam empat sore, sebelum Agnes bersiap-siap untuk pesta perpisahan dengan teman-teman sekelasnya.

Saat dia turun, aku dan Jenni terkesiap. Penampilannnya seperti wanita sepuluh tahun lebih tua. Dia memakai kemeja crop-top, memperlihatkan perut dan lekuk pinggangnya yang indah dan pusar yang memikat, dan untungnya tidak ditindik. Ada bra di balik bajunya, aku bisa melihat tali di bahunya. Dibawah dia memakai rok lipit yang panjangnya sekitar sepuluh senti diatas lutut, dan terakhir sepasang sepatu dengan hak ga terlalu tinggi.

Dia memakai make up walaupun ga berlebihan, rambutnya diikat keatas, menunjukkan lehernya yang jenjang – mirip seperti ibunya. Jenni bertepuk tangan melihatnya, sementara aku membayangkan sebanyak apa laki-laki yang akan memandangi putriku, berusaha menelanjanginya dengan pandangan mereka. Pemikiran itu pasti terlihat dari ekspresiku karena Agnes menghampiriku dan memelukku.

"Jangan khawatir, Ayah," bisiknya di telingaku. "Aku bisa menjaga diri sendiri di pesta. Aku ga punya pacar dan toh aku belum siap untuk itu. Ada beberapa orang tua yang akan mengawasi di pesta, oke?"

Aku melihat Jenni menyeringai padaku, dan aku merasa mereka pasti sudah kerjasama saat mereka keluar berdua.

"Ayah, apa bisa jemput aku nanti malam setelah acara? Sekitar jam setengah sebelas?"

"Errik," potong Jenni, "Gimana kalau aku yang jemput dan sekaligus kami menginap di apartmentmu? Itu lebih dekat dari tempat pesta. Lebih baik daripada harus jauh-jauh pulang kesini malam-malam."

Aku setuju, dan sebenarnya lega Agnes minta dijemput. Itu bikin aku lebih tenang karena tahu dia ga akan kemana-mana setelah acara. Aku sendiri bisa tidur disini, ada satu kamar tidur tamu. Kamar utama akan tetap dipakai Ana.

Bel berbunyi dan salah satu temannya berdiri di depan pintu, wanita untungnya dengan mobil ibunya di belakang, untuk menjemput Agnes. Gadis itu memakai pakaian yang mirip dengan Agnes, tapi bedanya aku ga bisa melihat bahkan sekedar bayangan tali bra di pundaknya dan rok yang dipakainya begitu ketat dan pendek sehingga saat dia berjalan kembali ke mobilnya, aku bisa melihat isi di dalamnya, thong. Aku menebak-nebak apakah putriku memakai model celana dalam yang sama. Agnes melihat temannya kembali ke mobil dan memelukku. "Aku lebih sopan di bawah," bisiknya.

Sepertinya dia sengaja mengoda ayahnya yang sedang khawatir padanya, tapi disaat bersamaan terus meyakinkan aku dia bisa menjaga diri, bagaimanapun juga aku teringat awal masa remajanya, saat sebagian besar pendidikan moralnya kami bentuk dan sebagian besar perdebatan yang dipacu hormon remajanya kami selesaikan.

Setelah mereka pergi, kami bermain scrabble berempat, dan setelah makan malam Leo dan Stefan masuk ke kamarnya masing-masing.

Jam sembilan malam aku keatas untuk memeriksa anak-anak, Stefan ketiduran di tempat tidur dengan game yang masih menyala di ponselnya, jadi aku membetulkan posisinya dan menyuruhnya tidur. Begitu juga Leo tertidur dengan earphone masih menempel di telingganya tersambung dengan laptop. Jadi aku melakukan yang sama. Aku mencoba mengingat-ingat dan yakin seratus persen bahwa aku tadi sama sekali tidak mencampurkan obat tidur ke dalam makanan mereka.

Setelah aku yakin mereka tidur, aku mematikan lampu dan turun. Aku duduk di sebelah Jenni dan dia meringkuk ke arahku. Kami mendengarkan musik yang tenang, sambil saling membelai sampai aku mulai menjelajah ke balik sweaternya.

"Anak-anak?" tanyanya.

"Aman," jawabku sambil tersenyum. "Mereka ga akan bangun walaupun ada gempa."

Jadi kami ga butuh waktu lama untuk bersetubuh telanjang bulat di atas sofa di ruang tamu. Lembut dan perlahan, aku menyentuh titik-titik sensitif tubuhnya dengan jariku dan Jenni berusaha keras menahan desahannya saat orgasme pertamanya tiba dengan cepat. Lalu aku mengarahkan penisku untuk memasukinya dan memompa perlahan, menciumnya untuk memastikan ga ada suara desahan yang keluar dari mulut kami, dan dia, yang masih panas karena orgasme pertamanya, mendapatkan dua orgasme lagi sebelum aku sendiri ga bisa menahan lebih lama dan dengan satu dorongan kuat, mencapai klimaks yang sangat kuat di dalam dirinya.

Kepuasan membuat rileks seperti biasa, meskipun ada yang beda padanya. Dia tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri. Aku penasaran tapi ada yang menahanku untuk bertanya apa yang dipikirkannya. Tepat jam sepuluh, dia bangkit dan berpakaian, begitu juga aku. Sudah waktunya dia harus menjemput Agnes. Kami berpelukan dan berciuman cukup lama, dia menatapku, seolah ingin bilang sesuatu, lalu dia pergi.

Ga lama setelah Jenni pergi, telepon berdering, dari Ana.

"Boleh aku minta tolong?" dia bertanya dengan ragu-ragu, "Apa bisa kalian berdua menjaga anak-anak sampai besok pagi? Aku khawatir sama Hadi, dia bicara soal bunuh diri dan menurutku dia serius."

"Oke" kataku, berpikir mungkin Ana harus membujuknya untuk mengurungkan niat bunuh diri dengan seks.

"Oh ya, soal Agnes, dia dijemput Jenni dan mereka menginap di apartmentku. Selamat malam."

Dia menutup telepon dan aku mengerutu sambil mengelap sofa dari sisa-sisa persetubuhan sebelumnya lalu pergi ke kamar. Aku marah, pikiranku kacau, semua ga masuk akal. Dunia menjadi tidak nyata. Pikiranku kacau balau.

Ana bilang dia ga akan tidur dengannya, tapi dia menginap disana. Tanpa seks? Ga mungkin! Kenapa dia terus bilang bahwa dia merasa masih istriku, lalu menemui bahkan menginap di rumah laki-laki yang dia tahu sudah mencoba membunuhku?

Kecuali, sudah tentu, mereka punya hubungan yang lebih dalam dari yang dia ceritakan padaku. Dia pasti sudah lama selingkuh dan bodohnya aku ga pernah menyadarinya. Apa mungkin dia kembali kesini hanya karena anak-anak?

Aku merasa senang karena anak-anak membenci Hadi dan itu mungkin sudah menghambat hubungan perselingkuhan mereka.

Itulah yang terlintas di benakku, saat ini aku merasa dikhianati dan dianggap sebagai lelucon, dan aku semakin marah sampai akhirnya aku ketiduran.

Aku bangun pagi-pagi sekali. Matahari terbit dan burung-burung berkicau, pagi yang indah, tapi aku ga bisa mensyukurinya. Aku duduk di dapur yang tenang dan memikirkan kehidupanku yang aneh. Hiruk pikuk pikiranku malam sebelumnya sudah hilang. Sebagai gantinya adalah perasaan depresi, perasaan dimanfaatkan, ketidakpastian tentang masa depanku, dan juga tentang masa lalu. Tapi yang aku punya hanyalah saat ini! Walaupun sulit untuk hidup di saat ini dengan masa lalu dan masa depan yang ga pasti.

Jenni pernah bilang aku masih 'mencintai' Ana. Vivi terus menceritakan tentang betapa aku dan Ana tercipta untuk satu sama lain. Apa mereka benar? Benarkah aku masih mencintai Ana? Rasanya ga seperti sedang jatuh cinta, tapi apa betul aku tahu seperti apa rasanya jatuh cinta? Maksudku, aku mencintai Tris, dan hatiku hancur saat dia pergi. Aku mencintai Jenni, tapi seperti Tris, aku merasa aku ga bisa memilikinya. Aku punya perasaan suatu saat dia akan meninggalkanku demi orang lain. Jadi, apa betul aku jatuh cinta dengan salah satu dari mereka?

Jam sembilan pagi, saat Leo dan Stefan masih belum bangun, pintu depan terbuka dan Ana masuk. Dia berjalan ke dapur dan melihatku.

Dia langsung terlihat merasa bersalah. Dia langsung memulai.

"Errik, aku ga tidur dengannya. Tidak ada seks. Dia tidur di kamar dan aku mengawasinya sampai pagi tadi. Aku tidur di lorong depan pintu kamarnya dengan pintu terbuka kalau-kalau dia mencoba untuk bunuh diri. Tolong percaya aku!"

Aku kaget dengan jawabanku sendiri. Aku begitu marah saat itu. Cemburu mungkin lebih tepat. "Sekarang kamu tinggal dia sendirian?" Aku menggeram. "Apa dia cuma bunuh diri kalau malam?"

Dia memucat, tapi berhasil mengendalikan diri. "Dia lebih tenang pagi ini. Dia janji untuk ketemu dokter besok. Dia sangat putus asa, dan capek. Aku yakin dia ga salah. Dia ga peduli dengan penyelidikan dan apa akibat yang mungkin terjadi padanya. Dia cuma ga paham apa yang sebenarnya dia alami."

Jadi Hadi berpura-pura jadi korban yang ga bersalah? Kelihatan sedih dan bingung? Sangat cerdas. Dia pasti akan mendapatkan perhatian Ana. Ana akan merasa bersalah selamanya kalau sampai Hadi bunuh diri. Jadi dengan mengancamnya terus menerus, dia menganggap Ana akan terus menemuinya. Kenapa Ana ga bisa menyadarinya?

"Maaf," aku memaksakan diri bicara, "Sepertinya kamu ga tahu dia sedang mempermainkanmu. Mungkin juga kamu ga mau tahu. Kamu bilang kamu ingin mengembalikan lagi pernikahan kita. Bahwa kamu masih merasa sebagai istriku. Apa ini yang dilakukan wanita yang sudah menikah, menginap di rumah laki-laki lain? Perbuatanmu ini sama sekali ga membantu hubungan kita."

Dia meledak. "Bukan begitu dan kamu tahu itu. Hubungan kami sudah berakhir, tapi dia sudah jadi tunanganku selama lebih dari setahun. Kamu tahu betul kalau aku bahkan ga akan meliriknya kalau semua ini ga terjadi. Maafkan aku Errik," katanya pasrah, "Tapi aku harus melakukan ini. Aku ga bisa memaafkan diriku sendiri kalau dia bunuh diri."

"Oke," sergahku, sambil bangkit dan berjalan ke pintu, "Sepertinya, apapun yang kamu bilang, aku sama sekali ga penting dalam tujuanmu yang sebenarnya. Kamu selalu berpihak padanya, dan seperti yang sering kubilang, itu cukup menyiratkan bahwa aku adalah pembohong. Sekarang aku harus menjaga anak-anak saat kamu pergi menemaninya semalaman. Sepertinya aku ga berarti apa-apa buatmu. Aku penasaran apa sebenarnya selama ini kamu pernah jujur dan setia padaku."

Aku meninggalkan ruangan sebelum dia bisa menjawab. Aku mengumpulkan barang-barangku dan duduk di kamar menunggu Jenni dan Agnes, yang datang sepuluh menit kemudian.

Aku menuruni tangga.

"Pestanya meriah?" Aku bertanya pada Agnes, dan dijawab dengan anggukan lelah.

"Ayo," kataku pada Jenni, "Kita pergi."

Jenni menatapku bingung, tapi mengikutiku keluar. Ana ga kelihatan. Agnes sudah pergi ke kamarnya.

Saat di perjalanan, suasana hatiku sangat tegang. Jenni merasakannya.

"Dia menginap di rumahnya," kataku.

"Oh." Cuma itu. Jenni selalu tahu kapan harus bicara dan kapan harus diam.

Di parkiran mobil, aku menyandarkan kepalaku di setir.

"Jenni, aku ga ngerti apa yang terjadi di sini. Menurutku Ana selingkuh dengan Hadi jauh sebelum dia mencoba membunuhku. Mungkin dia juga terlibat di dalamnya. Satu saat dia bilang dengan serius berharap aku kembali, bahwa dia merasa masih sebagai istriku, lalu dia menyuruhku menjaga anak-anak disaat dia menemani Hadi dirumahnya.

"Aku ga suka bentuk hubungan yang coba dibangunnya denganku. Ana yakin Hadi ga bersalah? Dia ga sebodoh itu untuk mengabaikan bukti-bukti. Menurutku dia bersandiwara di depanku. Hadi ga lama lagi akan dipenjara. Kenapa Ana berpura-pura didepanku adalah supaya dia punya tempat lain ketika Hadi dipenjara bertahun-tahun."

"Ana bisa saja dibohongi lagi," kata Jenni lembut. "Hadi sepertinya jago akting."

"Ada bukti baru Jenni."

"Apa?"

"Aku seharusnya ga bilang ke siapa-siapa soal ini, tapi hasil pemeriksaan transaksi di rekeningnya menunjukkan bukti bahwa Hadi-lah yang sudah membayar orang yang terlibat dalam percobaan pembunuhanku. Ga cuma itu, tapi aku yakin dia mengira aku sudah mati saat dia memalsukan surat itu, kalau tidak saat aku muncul lagi, seperti sekarang, dia bisa dituduh pembohong, "

"Apa dia sudah mengakui sudah membuat surat palsu itu?"

"Aku ga tahu, tapi ga ada bedanya bagi Ana. Dia benar-benar ada di pihak Hadi dan percaya padanya. Apa yang kukatakan sama sekali ga dianggap."

Dia memelukku dan mengajakku naik ke apartment, di sana dia melepaskan pakaiannya sendiri lebih dahulu dan lalu pakaianku, setelah itu membawaku ke tempat tidur. Dia memeluk kepalaku di dadanya sambil berbaring dan membelaiku dengan lembut, dan aku sadar aku menangis di dadanya. Aku merasa itu adalah akibat stres dan beban yang terus datang, terlalu berat untuk kutahan sendiri.

Jenni mengumamkan lagu lembut, dan aku tertidur di pelukannya.

Saat bangun aku sendirian di tempat tidur, dan bingung aku ada dimana, sekarang jam berapa atau hari apa sekarang. Saat bingung, aku mendengar suara Jenni yang berasal dari ruang tamu, teredam oleh pintu yang tertutup. Kata-katanya ga terdengar jelas tapi nadanya bisa. Dia marah-marah dan mengeluh kepada seseorang. Suaranya naik turun dengan jeda ketika siapa pun yang diteleponnya bicara.

Hujan deras menerpa jendela kamar. Aku melihat jam tanganku, saat itu jam tiga lebih, dan cuaca pagi yang cerah dan tenang sudah berganti jadi sore yang berbadai. Aku bangun dan pergi ke kamar mandi. Saat aku keluar, Jenni berdiri menungguku. Wajahnya memerah dan dia jelas dia kelihatan ga senang.

"Kamu ga apa-apa?" dia bertanya. Aku mengangguk.

"Aku mau keluar sekitar satu jam. Boleh aku pinjam mobilmu?" dia bertanya. Aku mengangguk.

"Aku cuma sebentar kok," tambahnya. Aku mengangguk.

Dia tersenyum, memeluk dan menciumku. "Love you!" dia berbisik.

"Love you too." Kali ini aku menjawab, dan dia pergi.

Aku berjalan ke ruang tamu, dan ke area dapur, lalu menemukan sepoci teh yang baru dibuat. Aku duduk, menuangkan teh ke cangkir dan menangkupkan tanganku di cangkir, memanfaatkan rasa hangat dari telapak tanganku sambil melihat pemandangan di luar yang berangin kencang. Aku merasa lelah, dan hanya duduk merenungkan kejadian beberapa jam sebelumnya.

Aku merasa ga ada gunanya cuma duduk diam disini, aku ga akan dapat penjelasan apa pun tentang semua yang sudah terjadi. Aku lapar dan memotong roti, lalu menghabiskan dua cangkir teh hangat.

Saat sudah merasa lebih baik, aku mengambil proposal kredit pembelian lahan untuk pabrik dan mempelajarinya, mencoba menemukan celah di mana kami bisa menegosiasikan kesepakatan yang lebih bagus. Kami butuh setidaknya pinjaman dengan jangka sepuluh tahun. Bank menginginkan minimal dua puluh tahun. Mungkin aku bisa menawar ke lima belas tahun dengan pilihan pelunasan lebih cepat tanpa penalty.

Aku terlalu fokus mempelajari detailnya dan kaget karena suara dering bel pintu. Aku membuka nya dan melihat Alfon berdiri disana.

"Jenni datang menemui kami. Dia bilang dia akan bawa mobilmu ke apartmentnya dan besok dia akan jemput kamu untuk ke kantor. Kalau sebelum itu kamu butuh mobil, kamu bisa hubungi ponselnya dan dia akan mengantarkannya kesini.” Dia diam sebentar lalu melanjutkan, “Gimana kalau kita keluar? Crossroad mungkin?"

Aku langsung setuju pada idenya.

Duduk di salah satu sudut Crossroad dengan segelas bir pahit di hadapan kami, Alfon mulai bicara.

"Kelihatan kacau," katanya.

"Memang."

"Para wanita sedang ngobrol."

"Oh ya?"

"Aku ga diberitahu ada peristiwa rahasia apa."

"'Peristiwa rahasia' – Pengacara dan olahan katanya."

Dia mengabaikan ejekan itu. "Jenni telepon Vivi. Aku cuma bisa dengan setengah pembicaraan dari sisi Vivi. Setahuku Agnes menelepon dan bilang kalau Ana bermasalah."

"'Bermasalah' – aku ga tahu apa itu istilah yang cocok," komentarku.

Dia menyeringai. "Aku meminta bantuan Jenni untuk menenangkan Agnes. Aku lalu tahu kalau Ana memintamu menjaga anak-anak sementara dia menginap di rumah Hadi."

"Kurang lebih begitu."

Dia menggelengkan kepalanya tak percaya, "Dan dia, maksudku Ana, ga paham kenapa kamu marah?"

"Begitulah. Menurutku marah juga bukan kata ga tepat. Aku ga tahu, tapi mungkin bisa dibilang aku bingung. Aku cuma ga bisa memahami jalan pikirannya."

"Ngomong-ngomong, Jenni minta tolong padaku untuk melihat keadaanmu. Yah sebenarnya aku juga ga dilibatkan dalam pembicaraan mereka dari awal. Jenni ngobrol dengan Vivi cukup lama, lalu Vivi pergi untuk bicara dengan Ana."

Ada jeda saat kami minum bir dan melamun dengan pikiran masing-masing. Lalu dia bicara lagi.

"Errik, apa kamu mencintai Ana?"

"Ya," jawabku tanpa berpikir, "Tapi aku ga suka padanya saat ini. Maksudku, aku tertarik padanya sebagai seorang wanita. Mungkin aku suka pada karakternya. Aku ingin dia hidup nyaman bersama anak-anak. Tapi seperti yang kubilang, aku ga bisa memahami tingkah lakunya. Saat ini aku mencintai Jenni, dan hubungan kami lebih nyata. Aku ga pernah selingkuh dari pasanganku seperti yang dilakukan orang lain."

"Oke," jawabnya, dia sudah paham apa yang kumaksud, dan kami kembali terdiam.

"Alfon," kataku, "Aku semakin yakin kalau Ana dan Hadi sudah selingkuh sebelum aku menghilang. Itu satu-satunya penjelasan yang kupunya kenapa dia terus memilih berpihak pada Hadi dibanding aku. Aku dengar dari beberapa orang bahwa Hadi cerai karena ketahuan selingkuh dengan istri orang, dia sering datang ke rumah wanita itu siang hari saat suaminya kerja. Ayolah, Alfon, apa kamu tahu sesuatu soal itu? "

Alfon kelihatan ragu-ragu, tapi setelah beberapa saat dia sudah membuat keputusan dan menegakkan badannya.

"Aku akan terus terang padamu, Errik, aku mengikuti proses perceraian itu, begitu juga kamu. Istri Hadi punya bukti perselingkuhan Hadi dengan wanita itu dalam bentuk laporan dan foto. Dia mengancam akan menyebarkannya kecuali Hadi menceraikannya dan mau memberikan sebagian besar hartanya.

"Mau ga mau Hadi memenuhinya untuk melindungi kekasihnya. Tapi aku ga pernah dengar atau melihat bukti apapun yang membuatku berkesimpulan wanita selingkuhan Hadi adalah Ana. Seperti yang Vivi sering bilang, Ana mencintaimu, dia memuja tanah yang kamu injak, kamu dan anak-anakmu adalah segalanya bagi Ana.

"Aku ga bohong saat bilang Ana hancur berkeping-keping saat kamu menghilang. Sudah jelas Hadi berusaha mendekatinya sejak itu, tapi Ana cuma merespon ketertarikannya setelah dia menerima surat palsu.

"Begini, menurutku satu-satunya cara kamu akan menemukan jawaban atas keraguanmu adalah pergi menemui Linda Firmanto, mantan istri Hadi. Aku akan mencarikan alamatnya untukmu. Aku sangat yakin setelah kamu bicara dengannya, kamu akan tahu bahwa kecurigaanmu pada Ana itu salah."

"Semoga begitu, Alfon, sungguh. Terima kasih atas semua bantuanmu untukku."

"That’s what friend are for?" katanya sambil tersenyum lembut.

Kami lalu bangkit dan pulang, dia mengantarkanku kembali ke apartment.



Bersambung... Bab XXII
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd