Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Pulang

III. Riwayat Kehidupan

Kami sampai di rumah mereka setelah harus beputar-putar nyasar karena aku salah baca petunjuk dari Alfon, tapi untungnya kami ga telat. Alfon keluar membukakan pintu dan mempersilahkan kami masuk ke ruang tamu yang besar dan dilengkapi dengan perabotan yang terlihat mewah dan bergaya seni tinggi, di sana juga berdiri seorang wanita sangat menarik yang kuperkirakan seumuran denganku. Aku menebak itu adalah Vivi, istri Alfon yang tadi dia sebutkan. Awalnya seperti orang lain dia menatapku dengan ngeri dan kaget lalu akhirnya wajahnya terlihat... kecewa?

"Ini Vivian, Errik," kata Alfon lembut.

"Halo, Vivian," kataku.

Vivian menatapku sedikit lebih lama saat kami bersalaman, lalu kulihat matanya mulai berkaca-kaca.

"Yah," katanya akhirnya sambil menghela nafas, "Kata Alfon, wajahmu berubah. Aku ga nyangka sampai... Aku minta maaf, Errik."

Aku tersenyum padanya dan mengangkat bahu.

"Dan ini Patricia, Vivi. Tris - Vivian," kata Alfon, mengenalkan mereka.

Kedua wanita itu bersalaman sebentar dan aku bisa melihat ekspresi Vivian menunjukkan rasa ga suka pada Tris.

Setelah salam dan perkenalan, kami duduk bersebrangan dipisahkan oleh meja ruang tamu, Tris disebelahku dan Vivi disebelah suaminya.

"Jadi Errik," kata Vivian, "Alfon sudah cerita tentang apa yang terjadi ke kamu. Aku ikut prihatin. Tapi aku bersyukur kamu masih bisa kembali kesini."

Aku tersenyum dan mengangkat bahu lagi.

"Tris adalah perawat di Rumah Sakit di Semarang yang merawatku sejak aku masih koma," kataku padanya, "Dia tahu lebih banyak tentang perkembangan kesembuhanku dibanding aku sendiri. Aku masih koma di awal-awal setelah masa krisis lewat, dan setelah beberapa bulan aku akhirnya sadar tapi aku ga ingat apa-apa tentang sebagian besar masa laluku. Sampai sekarang pun masih begitu. Aku harus bawa buku catatan dan alat perekam untuk bantu aku mengingat semua hal yang penting-penting, selebihnya aku harus ngandalin Tris untuk bantu aku. Aku punya komputer dan bikin buku harian. Setiap hari aku membaca lagi catatan dari hari-hari sebelumnya lagi dan lagi. Ini membantu ingatanku untuk berkembang."

Tris lalu mulai menceritakan cerita yang lebih lengkap dari saat aku masuk ke rumah sakit, menjalani beberapa operasi dan akhirnya kesadaranku perlahan-lahan mulai kembali.

"Dia sangat terobsesi dan bertekad untuk sembuh dan dia juga selalu berusaha sangat keras. Sungguh ajaib dia bisa sampai sejauh ini, dan itu semua harus melewati banyak rasa sakit dan kerja keras," katanya dengan bangga.

"Apa kondisimu akan terus membaik?" Vivian bertanya padaku.

"Ya harapanku sih gitu. Bukan, aku yakin aku akan terus membaik, aku sudah coba jalan ga pakai tongkat sebisaku, tapi kalau tentang urusan wajah, rasanya ga akan jadi lebih baik."

"Kalian berdua pacaran?" Vivi bertanya.

"Untuk saat ini ya." Jawabku tegas.

Vivi mengerutkan kening, terlihat ga suka pada jawabanku. Tris juga kelihatan jengkel karena reaksi Vivi yang terlalu mencampuri urusan pribadi kami.

"Vivian!" bentak Alfon. "Dia baru tahu dia punya istri dan anak minggu lalu. Lagi pula, dari cerita yang kutangkap, dia ga pernah merasa punya istri, karena sampai sekarang ga ada orang yang mencari dia. Patricia adalah perawat di rumah sakit dan dia rela menampung Errik saat ga ada orang lain yang mau."

Wajah Vivi merona merah dan dia terdiam. Tris lebih santai dan sekarang tersenyum.

“Jadi, siapa yang sudah lapar?” tanya Alfon memecah suasana canggung.

Kami berdiri dan mengikuti Alfon pindah ke ruang makan, sambil makan kami ngobrol dengan topik yang lebih santai, tentang perawatanku, tentang keluarga Tris di Timor Leste, tentang Semarang dan banyak hal lainnya. Setelah makan kami kembali ke ruang tamu dan tibalah saatnya bagiku mempersiapkan diri untuk pelajaran sejarah, sejarah hidupku sendiri.

"Alfon, tolong ceritakan padaku seolah-olah kamu sedang cerita ke orang lain tentang Errik Riccardson. Jadi aku ga perlu terus-terusan nanya yang bisa mengganggu ceritamu."

"Ide bagus," katanya.

"Dan kalau boleh," aku menambahkan sambil merogoh kantongku, "Aku mau merekam ceritamu pakai alat perekam ini."

Aku mengeluarkan perekam yang dibelikan Tris dari sakuku. Dia mengangguk.

"Sebelum aku mulai," katanya, "Kalau ga salah Tris bilang kamu ga punya identitas apa-apa saat sampai di rumah sakit?" lanjutnya melirik ke arah Tris.

"Iya betul," kata Tris.

"Nah, sekarang setelah kamu tahu siapa kamu, kalau boleh aku usulkan agar kita segera berusaha membuat ulang dokumen akta kelahiran, akta nikah, lalu paspor, selain KTP dan SIM yang sudah kukerjakan tadi siang. Kamu juga harus berusaha entah gimana caranya untuk bisa dapat bukti DNA."

"DNA? Kenapa sampai sejauh itu?" tanyaku

"Perubahan wajahmu. Sudah jelas kita mungkin bisa punya masalah dengan hukum kalau wajahmu ga sama seperti yang ada di dokumen foto sebelumnya. Kamu nanti bisa dituduh jadi penipu yang mau mencuri uangmu sendiri. Bukti DNA dan juga sidik jarimu, bisa dipakai sebagai bukti bahwa kamu adalah Errik Riccardson, bahwa kamu adalah benar ayah dari anak-anakmu, dan itu akan cukup untuk mengkonfirmasi identitasmu... Just in case kalau situasi memburuk dan ini diperlukan." tambahnya saat dia melihatku menegang, dia ga lupa aku mau tetap merahasiakan identitasku.

"Apa aku dulu punya SIM?" Aku bertanya, penasaran, dan baru ingat kalau kami sudah memproses pembuatan SIM baru. "Dan juga, sebenarnya aku umur berapa?"

"Oh, ya, kamu punya SIM yang dilengkapi dengan.. foto aslimu seharusnya, tapi sekarang hilang kan? Aku yang akan urus pembuatannya yang baru nanti. Soal umur, sekarang ini usiamu 41 tahun dan akan jadi 42 tahun ini. Sekaligus kalau boleh aku butuh contoh tanda tangan yang baru di kertas ini."

Aku ga membantah dan melakukan apa yang dia minta. Dia memeriksa hasilnya sebentar, lalu memeriksa beberapa dokumen yang dia ambil dari tasnya.

"Yah," katanya, "Seharusnya itu sudah lumayan mengingat kondisimu. Sudah dua tahun lebih, dan kamu menderita cedera otak."

“Maksudmu lumayan mirip atau sama sekali ga mirip?” dan dia mengangkat bahu dengan senyum kecut.

"Kenapa aku butuh semua ini?" Aku bingung.

"Baiklah, lebih baik aku mulai ceritain riwayat hidupmu, supaya semua itu jadi jelas."

Dia duduk lagi di kursinya dan mulai bercerita.

"Kamu lahir di Jakarta pada tanggal 23 Maret 1972. Kakekmu berasal dari Singapore dan datang ke Indonesia jauh sebelum kamu lahir. Setahuku dia punya masalah dengan kakak laki-lakinya. Kakekmu lalu menjual bagian saham dari perusahaan keluarga di Singapore ke kakaknya itu, agar dia punya modal dan bisa memulai usaha dari awal di tempat lain.

“Dia lalu pindah ke Jakarta, menikah di sini, anehnya dengan seorang gadis asal Singapura, dan ayahmu adalah satu-satunya anak yang lahir dari pernikahan itu. Ayahmu juga menikahi wanita lain yang berasal dari Singapura, kebetulan yang unik, kan? Masih misteri bagaimana semua itu terjadi. Dan ayahmu lalu melanjutkan bisnis keluarga yang dirintis kakekmu, menjual peralatan dan sparepart untuk perawatan mobil.

"Kamu juga anak tunggal seperti ayahmu, menyelesaikan gelar teknik elektro di Universitas Negeri di Bandung, lalu melanjutkan kuliah selama dua tahun untuk mendapatkan gelar S2. Pada tahun terakhir kuliah S1-mu, ibumu tewas dalam kecelakaan lalu lintas, mengakibatkan ayahmu hancur berantakan karenanya. Dia menjual bisnisnya, lalu semua hasil penjualan itu dimasukkan ke dalam dana asuransi dan tabungan atas namamu, dan aku minta maaf harus bilang ini, dia overdosis obat-obatan dan meninggal beberapa waktu setelahnya. Jadi, kamu sudah ga punya sanak saudara lagi disini, walaupun mungkin kamu punya saudara di Singapore.

"Kamu mendalami bisnis komputerisasi, membuat prosesor khusus untuk mesin pabrik, dan kamu memulai bisnismu sendiri dengan uang yang diwariskan ayahmu, dan bisnismu itu berhasil. Kamu tahu pasar dan cara menjual produkmu dan kamu jadi salah satu pemasok utama di Indonesia bahkan sampai ke luar negeri. Kamu mengajak seorang teman kuliahmu untuk membantumu dan bekerja di perusahaanmu, Jeffry Lukman. Bisnismu makin berkembang dan kamu mendirikan perusahaan bernama PT. Riccardson Global Teknik, dan dengan sangat murah hati menurutku, kamu mengajak Jeffry untuk jadi pemegang sahamnya.

“Jeffry yang sebelumnya menjabat sebagai Managing Director membeli 15% dari saham perusahaan dan membayar dengan cara mencicil, dan kenyataannya keuntungan dari perusahaan yang besar memungkinkan dia untuk melunasinya dalam waktu singkat. Dia sekarang punya 20%. Kamu punya 80% sisanya. Kamu adalah orang yang punya bakat dalam bidang penjualan dan kontrak, dan kamu sering pergi ke seluruh Indonesia, bahkan ke luar negeri, kebanyakan di Afrika dan Amerika Selatan, untuk menjual keahlian elektronik perusahaan dan produknya. Jangan tanya aku apa produknya, tapi yang jelas pembeli menyukainya. Perusahaan ini menghasilkan keuntungan yang luar biasa besar dan ini mungkin bikin kamu kaget, tapi Errik aku bisa bilang kalau kamu adalah seorang jutawan, milyuner atau apalah sebutannya, singkatnya kamu kaya raya."

Dan memang benar, aku kaget!

Tris tersenyum bahagia, "Oh, hebat!" serunya.

Vivian melirik reaksi Tris dan menyela pembicaraan, "Kamu belum bilang apa-apa tentang pernikahannya."

Aku menebak apa yang Vivian artikan dari reaksi Tris pada cerita tadi. Aku merasa kata-kata 'cewek matre' pasti termasuk disana.

"Memang belum," Alfon menjelaskan, "Aku sengaja cerita masalah keuangan dan pekerjaan dulu, tapi kalau kamu mau, kamu bisa cerita soal itu sekarang." Lanjutnya pada Vivi.

"Kamu menikah dengan Ana Gracia setahun sebelum perusahaanmu didirikan," kata Vivian, "Dia dulu dan sampai sekarang adalah wanita yang sangat menarik. Kalian bertemu sekitar satu setengah tahun sebelumnya saat kamu sedang menyelesaikan S2. Sejauh yang kami tahu, rumah tangga kalian berdua sangat bahagia, sampai saat kamu menghilang, Errik.

"Anak-anak kalian bahagia dan sehat. Yang pertama bernama Agnes, dia umur tujuh belas tahun, Leo tiga belas tahun dan Stefan sepuluh tahun. Mereka sudah sangat menderita karena kehilangan sosok ayah sejak kamu pergi. Sungguh aneh, karena saat itu kalian semua adalah sebuah keluarga bahagia, dan tiba-tiba terjadi kekacauan. Kalau Hadi ga ada disana mendukungnya, aku ga tahu apa yang akan dia lakukan."

"Tiga orang anak?" Aku bertanya, dengan heran, "Dua anak laki-laki?"

Dia mengangguk.

"Hadi itu?" tanyaku. "Dia laki-laki yang akan dinikahinya?"

"Betul," jawab Vivi lagi. "Hadi Firmanto. Kalau ga salah pernikahan mereka akan diadakan di bulan Mei. Hadi juga seorang duda, cerai dari istrinya tapi mereka ga punya anak dan kalian berdua kenal baik dari salah satu pekerjaan, dan walaupun ga bisa dibilang kalian berteman akrab tapi kalian sudah sering bantu Hadi sebelumnya. Dia lumayan sering datang ke rumahmu untuk makan malam setelah perceraiannya. Aku tahu kamu juga sering mengajaknya ke cafe atau bar. Dia sangat stres karena perceraiannya, bekas istrinya setengah merampoknya saat mereka bercerai. Mungkin itu sebabnya dia sangat ingin membantu Ana, membalas kebaikan kalian padanya saat dia jatuh, ngerti kan maksudku."

Alfon lalu bicara untuk melanjutkan ceritanya.

"Oke, balik ke soal uang. Ini penting. Suatu hari, di tahun-tahun awal pernikahanmu, kayaknya kalian baru punya anak Agnes pas itu, mungkin waktu Ana hamil Leo, kamu datang ke kantorku bersama Ana dan Jeffry.”

"Jeffry bilang dia khawatirkan soal keselamatanmu pas kamu datang ke beberapa negara yang cukup rawan, kamu tahu kan semacam penculikan, penyanderaan, dan sejenisnya. Kalian semua ingin keberlanjutan perusahaan terlindungi agar kalau sesuatu terjadi padamu, pekerjaan karyawan tetap aman. Dan bukan bermaksud buruk, tapi secara hukum memang semua hal terkait perusahaan dan wewenang akan lebih mudah kalau kami bisa memastikan kamu sudah meninggal dunia dibanding kalau kamu masih hidup tapi ga bisa melakukan tugasmu. Gampangnya, kalau kamu dikonfirmasi meninggal, semua wewenang akan langsung pindah ke ahli waris, tapi kalau ga bisa dikonfirmasi kamu masih hidup atau sudah mati, pemindahan itu ga bisa dijalankan.

“Karena itu kamu ingin menyerahkan perusahaan pada Ana, tapi dia sama sekali ga setuju ide itu. Ana lalu menanyakan tentang semacam Surat Kuasa Khusus, di mana seseorang bisa menunjuk orang lain untuk mewakilinya dalam mengurus segala sesuatu, biasanya kalau sakit. Surat itu membuat kamu tetap pegang kontrol perintah, tapi ini untuk mengantisipasi kalau kamu sedang ga berada disini dan masih hidup di tempat lain,

"Hasilnya adalah dengan keahlianmu menyusun kontrak yang sudah kusebutkan tadi, kamu menyusun surat itu lalu kamu dan Ana menandatangani pernyataan bahwa aku ditunjuk sebagai pengacara kalian dan jadi orang yang akan bertanggung jawab mewakilimu untuk urusan perusahaan dan hanya menerima perintah sebaliknya dari kamu sendiri, Errik. Ketika kamu ga bisa hadir, aku akan punya akses atas urusan bisnis dan keuanganmu, dan sudah jelas akan berkoordinasi dengan Jeffry yang adalah orang yang sebenarnya menjalankan perusahaan saat kamu ga hadir.

"Aku berkewajiban di bawah sumpah dan wewenangku untuk melindungi integritas perusahaan dengan segala cara, untuk memastikan bahwa Ana dan anak-anak dirawat dengan baik dan menjadi perwakilanmu. Satu-satunya cara agar aku dapat dibebaskan dari tanggung jawab itu adalah setelah kematianmu atau kalau kamu dan Ana mencabutnya secara langsung.

"Walaupun sudah ada surat itu, kamu tetap ingin memberikan setengah dari kepemilikan sahammu pada Ana tapi dia ga mau menerimanya. dia ga mau menjalankan tanggung jawab semacam itu. Apa kau paham semua yang kusampaikan ini, Errik?"

Sejujurnya aku mencoba untuk memahaminya ceritanya dari awal, tapi sepertinya cerita itu cukup rumit untuk otakku karena harus memproses informasi sebanyak itu dalam waktu singkat.

"Lumayan," aku menyeringai, "Tapi jangan kuatir, semuanya direkam, aku bisa dengerin ulang sampai jelas nanti."

"Oke. Sekarang kami tahu apa yang sudah menimpamu, tapi itu hanya setelah kamu datang dan menceritakannya. Jadi sekarang aku akan menceritakan padamu apa yang kami tahu dari sudut pandang kami saat kami belum tahu cerita sebenarnya, apa yang diinformasikan pada kami dan apa yang selama ini kami anggap sebagai cerita yang benar.”

Aku mengangguk

"Jeffry menceritakan kenapa kamu pergi ke Surabaya - dan kamu memang pergi ke Surabaya, bukan Semarang. Setahuku kamu janjian ketemu dengan klien yang datang dari luar negeri karena kebetulan klien itu juga akan menghadiri acara lain di Surabaya. Jeffry bilang negosiasimu berhasil dan menghasilkan banyak keuntungan dari kerjasama itu, dokumen perjanjian kerjasama datang menyusul malam itu setelah pertemuanmu dengan klien. Kamu telepon Ana seperti biasa malam itu dan bilang padanya bahwa urusan kerjaanmu sudah selesai dan akan pulang besok. Tapi besoknya kamu ga pernah muncul lagi. Ana menelepon hotel tempatmu menginap dan diberi tahu bahwa kamu sudah check out dan pergi bersama seorang wanita. Ana kaget dan menanyakan nama wanita itu. Nyonya Emma William kalau aku ga salah. Ingat nama itu?"

Aku menggelengkan kepala. "Ga ingat sih, tapi bukan cuma itu yang aku lupa."

"Kamu ga pulang ke rumah di hari seharusnya kamu pulang, atau bahkan besoknya. Ana menelepon ponselmu hampir tiap jam tapi ga ada nada sambung, padahal kamu punya kebiasaan ga pernah mematikan ponselmu saat keluar rumah. Singkatnya kamu menghilang. Langkah selanjutnya adalah lapor polisi. Mereka bilang mereka akan menunggu satu hari lagi, dan sebenarnya mereka memang sudah memulai penyelidikan. Tapi kamu adalah laki-laki dewasa dan mampu untuk pergi kemana saja secara mandiri dan tanpa adanya indikasi sudah terjadi kasus kriminal, kasus itu ga jadi prioritas untuk polisi. Saat itulah Hadi turun tangan dan menyewa DS."

"DS?" Aku bertanya.

"Detektif swasta. Hadi datang ke rumah kalian setiap hari dan tetap disana sampai malam, meskipun Ana dengan susah payah harus memberi tahu kami bahwa Hadi ga pernah menginap. Bagaimanapun juga, dia sudah cerai dan lajang, wajar kalau kami sedikit mempertanyakan. Lalu hasil kesimpulan penyelidikan dari DS selesai dalam waktu singkat dan menyimpulkan Errik keluar dari hotel dengan seorang wanita. DS berhasil mengambil foto dari rekaman CCTV, menunjukkan kamu dan wanita itu berpelukan erat di lobi hotel, foto lain menunjukkan kalian berdua meninggalkan hotel dengan masing-masing bawa koper besar.

"Dia juga menemukan jejak bahwa kamu sedang menuju ke stasiun di mana dia lagi-lagi berhasil dapat foto dari CCTV saat kalian berdua beli tiket. Setelah itu kami ga tahu rincian lebih lanjut. Mungkin dia disewa hanya untuk cari tahu ke mana kamu akan pergi. Dia jelas gagal karena ga ada informasi tentang ke mana kamu pergi dengan wanita ini.

"Ana sudah pasti langsung shock dengan hasil temuan itu. Kami semua mencoba untuk menghiburnya. Dia benar-benar bingung dengan fakta bahwa dia ga merasakan ada perubahan apa pun dalam sikapmu pada dia atau anak-anak Sebelumnya kamu ga pernah lupa bilang sedang ada dimana dan aneh kalau kamu tiba-tiba menghilang. Kita sekarang tahu apa yang terjadi, tapi bagaimana kamu bisa sampai ditemukan di Semarang, itu masih misteri.

"Hadi sangat baik dan sangat sabar mendampingi Ana. Ana selalu percaya bahwa kamu akan kembali padanya begitu kamu bosan dengan selingkuhanmu. Sampai, pada bulan Maret 2013 lalu kalau aku ga salah ingat, Ana jadi sangat marah dan sangat kecewa. Dia bilang pada kami bahwa kamu ga akan pernah kembali, bahwa dia tahu kamu sudah selingkuh darinya selama bertahun-tahun dan sekarang sudah punya kehidupan baru dan berharap Ana untuk bisa move on. Dia ga pernah bilang kenapa dia tiba-tiba merasa seperti itu.

"Dia mendatangiku dan memintaku untuk mengurus perceraian. Aku harus bilang padanya bahwa aku ga bisa melakukan itu, karena aku berada di bawah instruksi dari Surat Kuasa Khusus untuk mewakilimu, Errik, dan kebetulan untuk situasi seperti inilah Surat Kuasa itu dibuat. Aku harus memastikan dengan segala kemampuanku bahwa perusahaan, dan juga keluargamu tetap utuh. Dia bertanya apakah kuasa dapat dibatalkan, tapi aku bilang padanya bahwa itu akan butuh waktu lama tanpa kehadiranmu yang belum pasti hidup atau mati.

"Dia marah karena kenyataan itu. Dia menuduh aku tahu di mana kamu sembunyi dan dia akan menuntutnya lewat pengadilan. Aku bilang padanya bahwa kalau benar aku tahu dimana kamu, aku ga perlu harus bertindak mewakilimu seperti yang disebutkan dalam Surat Kuasa. Dia ga percaya padaku, dan kami ga berteman baik lagi sejak saat itu.

"Dengan kewenangan yang kupunya dari surat kuasa, aku sudah mulai bertindak tiga bulan setelah kamu menghilang. Aku membiarkan rekening gabungan yang pernah kalian buat, tapi membuatkan rekening khusus untuknya yang setiap bulan aku transfer dengan jumlah nominal yang cukup besar. Aku juga menginformasikan padanya lewat surat resmi yang menjelaskan bahwa kalau dia butuh uang lebih banyak aku akan mengirimkan berapapun yang dia butuhkan, walaupun rekening bersama kalian masih punya saldo yang cukup besar untuk keadaan darurat. Aku juga mengirimkan uang tambahan untuk kondisi-kondisi tertentu, liburan, hari raya, tahun baru, ulang tahun, dan lain-lain. Aku menjelaskan dalam surat bahwa aku diperintahkan untuk berhati-hati memakai uang tapi ga boleh pelit untuk hal seperti itu. Ga ada respon dari Ana, tapi dia mulai memakai rekening baru yang kubuatkan, walaupun rekening bersama ga pernah dia sentuh, mungkin juga karena dia sendiri juga punya pekerjaan dengan gaji yang besar saat itu.

"Lalu, yah, dia memulai mengurus proses perceraian Juni lalu. Dia pakai alasan perilaku ga masuk akal karena kamu sudah meninggalkannya dan pergi dengan wanita lain.

"Sekarang di sinilah yang menarik. Pengadilan memproses perceraian dengan memberitahuku sebagai perwakilan untuk diteruskan padamu. Untuk melindungi kepentinganmu, aku harus mencoba mengulur-ulur waktu dan menunda kasus ini sambil mencarimu. Jadi aku membiarkannya berlarut-larut sampai beberapa bulan, dengan alasan bahwa aku menunggumu untuk menghubungiku karena aku ga tahu kamu ada dimana. Lalu aku bilang bahwa aku sudah berusaha mencarimu. Setelah beberapa bulan akhirnya aku harus memberi tahu mereka bahwa kamu ga bisa ditemukan. Jadi pada akhir September tahun lalu, kasus ini diproses tanpa bisa kutunda lagi. Aku masih berharap kamu akan menghubungiku. Aku ga suka melawan Ana, tapi aku ga punya pilihan karena Surat Kuasa memerintahkanku untuk mempertahankan kepentinganmu.

"Poin penting berikutnya adalah bagaimana kamu akan membiayai hidup anak-anak dan aksesmu pada mereka kalau seandainya kamu muncul lagi. Jumlah yang selama ini kamu berikan pada Ana –lewat aku tentu - lebih dari cukup untuk semua kebutuhan mereka bahkan lebih, jadi aku berusaha mencegah kamu harus membayar lebih besar dari itu. Aku bisa memberi bukti ke pengadilan bahwa kamu sudah membuat asuransi pendidikan mereka dan untuk mempersiapkan hidup mereka setelah itu. Sekali lagi dalam jumlah yang sangat besar, bahkan lebih besar dari yang mungkin akan disetujui oleh pengadilan. Ana sempat melarangmu punya akses ke anak-anak tapi akhirnya setuju bahwa kamu harus tetap punya akses ke anak-anak. Semua proses ini sendiri memakan waktu beberapa bulan lagi, semuanya dilakukan secara tertulis lewat sana sini.

"Kemudian, pengacaranya menginginkan kompensasi besar untuk Ana sendiri. Sekarang dia punya pekerjaannya sendiri dengan gaji cukup besar tapi dia bilang dia mau sebagian dari kepemilikan saham perusahaanmu, ironisnya itu sesuatu yang sebelumnya pernah dia tolak. Sekarang kasus makin rumit, tapi aku bilang ke Ana bahwa dalam kasus ini perceraian kalian bisa tetap berlangsung walaupun perselisihan keuangan belum disepakati. Dia ga percaya aku tapi pengacaranya juga bilang hal yang sama.

"Hadi datang menemui aku sebelum tahun baru dan aku punya kesan dari kata-katanya dia menuduhku berbuat curang dan menyalahgunakan kekuasaan yang sudah diberikan padaku.

"Aku menjelaskan bahwa aku punya kewajiban hukum yang harus dipenuhi dan aku ga bisa melakukan sebaliknya dari yang sudah kulakukan sejauh ini. Seandainya kamu bisa ditemukan, itu akan membuat segalanya berjalan lebih mudah. Aku sudah mencoba mencarimu tapi ga berhasil. Aku sebenarnya juga menyewa detektif swasta untuk mencarimu di Singapura berdasarkan jejak yang ditinggalkan wanita yang pergi bersamamu. Alamat yang dipunya pihak hotel adalah wanita itu berasal dari Singapura, tapi alamatnya sepertinya adalah alamat sudah lama dan dia tidak tinggal di alamat itu lagi, DS yang kusewa juga ga menemukan jejakmu disana. Ga mengherankan setelah sekarang kita tahu dari ceritamu, kamu sebenarnya ga pernah meninggalkan Indonesia selama ini,.

"Disaat bersamaan negosiasi masih terus berlanjut dan menurut perkiraanku, kasus akan harus diselesaikan di pengadilan. Ana ingin punya kepemilikan perusahaan tapi aku sudah menunjukkan bahwa paling banyak dia bisa dapat setengah dari sahammu yaitu 40%. Dengan begitu untuk bisa menguasai dan lalu mencairkan aset perusahaan seandainya dia bertujuan kesana, dia harus lebih dulu menjadi pemegang saham mayoritas dan itu berarti membuat Jeffry setuju untuk menjual saham bagiannya karena aku sudah bilang berkali-kali bahwa lagi-lagi berdasarkan surat kuasa aku ga mungkin menjual kepemilikan saham milikmu. Aku juga tahu Jeffry ga akan pernah mau menjual sahamnya, dia tahu itu akan membahayakan perusahaan dan juga karyawan yang bekerja disana.

"Yang bikin aku kaget adalah Ana sama sekali ga peduli dengan nasib karyawan. Awalnya aku pikir dia cuma menggertak, tapi kemudian aku merasa mungkin kehilangan kamu sudah merubahnya sedemikian rupa sehingga dia jadi ga peduli lagi pada orang lain. Itu bikin aku sedih tapi di sisi lain bikin aku lebih bertekad untuk mengawal sebanyak mungkin kepentingamu. Aku juga kaget bahwa selama itu kamu ga pernah sekalipun menarik uang dari rekeningmu.

"Perceraian akan diputuskan pada pertengahan Maret dan lalu kalian akan jadi orang lajang lagi dan dia akan bebas untuk menikah.”

"Saat tahun baru, Hadi dan Ana mengumumkan mereka tunangan dan akan menikah pada Bulan Mei meskipun Ana belum resmi bercerai secara hukum. Pada bulan Januari kami mulai debat dengan sungguh-sungguh untuk menegosiasikan kepemilikan aset. Dan seperti yang kubilang pada akhirnya harus diputuskan lewat pengadilan, aku yakin. Sebenarnya justru aku sendiri yang akan memastikan ini harus diselesaikan melalui proses peradilan.

"Ngomong-ngomong, Ana datang kekantorku beberapa minggu lalu dan bilang bahwa dia sudah pindah dari rumah di Serpong Oktober lalu dan sekarang mereka tinggal dirumah Hadi. Dia juga tanya apa rumah kalian bisa dijual, dan meskipun dia ga bilang, aku bisa menebak dia ingin tahu seberapa banyak yang bisa dia dapat dari hasil penjualannya.

“Aku bilang padanya bahwa menurut Surat Kuasa ku, asalkan anak-anak punya tempat tinggal yang layak, dan kalau kenyataannya Ana sudah ga butuh rumah itu lagi, maka rumah itu bisa dijual dan Ana bisa dapat setengah dari harga jualnya setelah dipotong biaya perpajakan dan lain-lain. Dia kelihatan kecewa tapi bisa menerimanya, dan dia tetap ingin menjual rumah itu.

"Yang terbaru adalah mereka sekarang berusaha menuntut pembatalan Surat Kuasa milikku. Alasannya adalah karena kamu sudah ga pernah menghubungiku selama lebih dari dua tahun, dan ga masuk akal kalau aku terus melanjutkan tanggung jawab ini.

"Kalau berhasil, mereka akan punya kesempatan untuk menguasai separuh perusahaan, karena Ana adalah kerabat terdekatmu, dan akan begitu sampai perceraian disahkan, dan kebetulan dia masih satu-satunya ahli waris yang sudah kamu tunjuk di surat wasiat yang pernah kamu buat dulu. Menurutku surat itu harus diubah, ya kan? Aku sempat khawatir pada tuntutan mereka yang terakhir itu, tapi sekarang karena kamu sudah kembali lagi, mereka ga akan bisa berbuat semaunya. Itulah yang tadi kubilang, kalau situasi memburuk kamu harus muncul di pengadilan, dan semua bukti kamu adalah Errik yang asli akan dibutuhkan disana.

"Yah, sepertinya semua sudah kuceritakan," dia menyimpulkan, "Bukan perkara yang menyenangkan."

Cerita yang panjang dan harus kuakui akan perlu kuulang beberapa kali agar aku paham semuanya dengan baik, tapi diantara semuanya, aku masih penasaran dengan karakter wanita yang pernah membina rumah tangga bersamaku selama bertahun-tahun ini.

Aku bertanya, "Laki-laki itu, Hadi, seperti apa dia? Kenapa Ana memilihnya sebagai pengantiku?"

"Dia laki-laki yang cukup baik. Lumayan ambisius. Perhatian banget sama Ana, tapi mungkin, dia agak gampang cemburu, tapi Ana kelihatannya bahagia bersama dia." Jawab Alfon.

Ada sesuatu yang lain, aku mengejar terus.

"Lalu?"

"Yah, dia punya usaha kontraktor, tapi dia ga terlalu menguasai urusan bisnis. Ga terlalu ahli mengurus keuangan. Dia sedikit bermasalah dengan uang, dia pernah curang dan ketahuan korupsi dana dari beberapa proyek yang dia bangun. Aku tahu ada beberapa kliennya yang ngajuin tuntutan hukum dan bikin dia harus ganti rugi disana-sini. Jadi aku curiga dia butuh uang sebelum dia dinyatakan bangkrut."

"Kapan dia harus melunasi?"

"Paling lama setahun, habis itu dia ga bisa menghindar lagi."

"Kalau perusahaanku sendiri, ga ada masalah kan?"

"Ya, pasti! Jeffry orang yang hebat, jenius. Kontribusinya di perusahaanmu sama besar seperti kontribusimu sendiri. Hanya di urusan marketing titik kelemahannya, dia sepertinya butuh orang yang bisa membantunya di bagian itu, biasanya kamu yang ngerjain itu."

"Apa aku punya harta lain?"

"Saham di beberapa perusahaan lain dan rumah itu. Aku sudah bilang kan kalau setengah rumah itu punyamu.”

"Dan sekarang kamu menjualnya?"

"Bisa dibilang gitu, walaupun aku sebenarnya ga mau. Aku tahu kamu suka banget sama rumah itu."

"Masih sampai sekarang." Aku ga tahu kenapa aku bilang itu tapi aku jadi punya ide.

"Dia sudah pindah, kan? Kami sempat lihat rumah itu kosong dan ada tulisan ‘dijual’."

"Ya, dia sekarang tinggal sama Hadi di Karawaci. Hadi punya rumah modern yang besar di sana. Dia hampir bangkrut, tapi gaya hidupnya ga berubah masih bermewah-mewah."

"Ana yakin mau menjual rumah?"

"Iya."

"Kamu bilang aku kaya raya, kalau gitu jual rumah itu, tapi kepadaku. Atau lakuin apa saja yang bisa bikin rumah itu jadi punyaku seutuhnya. Kalau perlu beli lebih mahal dari harga normal, lalu tambah lagi untuk beli semua perabotannya sampai dia ga bisa nolak tawaran itu. Yakinkan dia untuk terima tawaran itu, dan pastikan bilang sama dia kalau pembeli mau rumah itu dan segala isinya. Ga boleh ada yang kurang. Aku mau rumah itu buatku sendiri seperti dulu. Aku yakin kalau aku tinggal di rumah itu akan bisa bantu balikin lagi ingatanku."

"Kamu tetap harus mengganti kuncinya," kata Alfon setengah becanda.

"Jadi kamu berencana tinggal disini lagi, Errik?" Vivian menyela, "Apa rencanamu soal Ana? Kapan kamu akan memperkenalkan dirimu?"

Aku memperhatikan ekspresi Tris. Sepertinya dia sedikit kecewa dengan kemungkinan itu. Aku terdiam beberapa saat. Alfon menunggu diam dengan sabar.

"Ga ada rencana untuk Ana, Vivi," kataku dengan tegas, "Dia sudah mengajukan cerai. Selesai.”

"Dari sudut pandang netral tanpa ingin nyalahin siapa-siapa," lanjutku, "Sepertinya dia ga berusaha keras untuk mencariku, dan dia sudah nemu penggantiku, bahkan sudah tinggal bersama. Aku agak jengkel karena tahu secepat itu dia nemu laki-laki lain. Sama sekali ga berjuang untukku atau rumah tangga kami."

"Errik, percayalah, dia benar-benar cinta sama kamu," sela Vivian, "Kalian punya rumah tangga yang hebat."

"Nah, kalau gitu coba lihat dari sudut pandangku. Saat ini bisa dibilang aku belum kenal dia sama sekali, meskipun suatu saat ingatanku akan kembali, aku yakin itu. Kamu bilang dia mencintai aku. Jadi kalau misalnya saat ini aku muncul di depannya dan kembali ke dalam hidupnya, apa yang mungkin akan terjadi?” Aku lalu menjawab sendiri pertanyaanku.

"Dia akan melihat laki-laki cacat, lemah dan jujur saja, laki-laki buruk rupa. Di sisi lain, Ana sekarang sudah tunangan sama orang lain, yang aku yakin lebih tampan. Itu akan bikin dia ada di posisi yang sulit. Dia sepertinya jatuh cinta dengan pria itu, jadi siapa yang harus dia pilih? Siapapun yang dia pilih akan membuat dia merasa bersalah. Aku ga akan heran kemanapun dia melangkah, hubungan kami ga akan pernah sama lagi. Misalkan kalau dia memilih aku dan semua ingatanku tentang dia sudah kembali dan aku jatuh cinta lagi padanya, aku akan selalu bayangin apa Ana masih mikirin laki-laki itu, apa dia menyesal ga milih laki-laki yang gagah dan malah milih yang cacat. Dan gimanapun juga, yang jelas saat ini aku ga punya rasa cinta sama sekali padanya."

"Begitukah?" Vivian bertanya, terlihat kaget pada kalimat terakhirku.

"Menurutku kita harus tunda pengumuman kepulanganku untuk sementara. Itu perlu dipikirkan baik-baik."

"Anak-anakmu sama sekali ga menyukainya, Errik. Mereka akan lebih memilih kamu dibanding apapun," kata Vivian, "Dan mereka berhak menemui ayah kandung mereka."

"Oke. Vivi, itu sudah cukup untuk sekarang, ini masih terlalu dini," kata Alfon, ingin melanjutkan ke bahasan lain, "Besok Errik, kamu harus datang ke perusahaanmu, kita ketemu Jeffry dan mungkin itu akan membangkitkan ingatanmu sedikit lagi. Dia pasti akan cerita apa saja yang sudah dia lakukan selama kamu ga ada, dan apa yang kamu lakukan sebelum kamu pergi. Semakin cepat kami membuatmu terbukti sepenuhnya sebagai dirimu sendiri, semakin cepat kita ada dalam posisi yang kuat untuk mempertahankan perusahaan dan hartamu yang lain."

"Apa dia bisa jaga rahasia?" Aku bertanya.

"Pasti. Dia sangat bisa diandalkan."

"Jadi aku harus ngapain sekarang?" Aku agak bingung. "Kalau misalnya aku balik ke Serpong, gimana aku hidup sehari-hari?"

"Seperti yang kubilang, aku punya wewenang untuk mengambil uang dari rekeningmu sampai kamu bisa membuktikan siapa kamu dihadapan hukum. Minggu ini kita bisa periksa rekeningmu secara detail sebagai pertangungjawabanku selama mengelolanya. Dan sebelum rumah itu jadi punyamu sepenuhnya, aku bisa dengan mudah cari apartemen sementara buat tempat tinggalmu."

"Kami cuma punya hari ini dan besok sebelum balik ke Semarang. Tris harus kerja dan aku masih harus terapi," aku meringis.

"Yah, ga perlu terburu-buru. Kita bisa beresin semuanya saat kamu balik ke Semarang, tapi kamu harus punya apartemen untuk ditinggali saat kamu balik ke sini sampai aku bisa beresin urusan pembelian rumah."

"Oke, aku minta tolong urusin semua itu."

Aku memikirkan rintangan lain dalam rencana ini yang perlu dia ketahui.

"Alfon, ada masalah lain," kataku padanya.

Dia tampak khawatir dan bertanya-tanya.

"Bukannya sudah jelas Alfon?" Kataku. "Ana bukan satu-satunya yang sudah move on, kan?"

Dia menatap Tris, sepertinya baru tersadar.

"Jangan khawatir soal aku, Errik," Tris buru-buru berkata. "Kita akan cari solusi sama-sama, kita omongin nanti pelan-pelan."

Aku melingkarkan lenganku pada pinggang Tris, lalu menoleh lagi ke Alfon.

"Terima kasih banyak buat semua yang sudah kamu lakukan buat aku, Alfon." Aku bilang padanya.

"Ga perlu gitu. Kita sudah berteman lama, tapi selain itu kamu juga bayar aku dengan jumlah yang sangat besar untuk jasa ini." Dia tersenyum rikuh.

Tris dan aku bilang terima kasih untuk jamuan mereka dan kami balik ke hotel, janjian untuk ketemu Alfon besok pagi dan Alfon akan mengantar aku datang ke perusahanku. Tris bilang besok dia akan belanja dan setelahnya nunggu di hotel.

Kami ga ngobrol sama sekali dalam perjalanan pulang ke hotel. Aku menebak-nebak tentang perasaan Tris. Menurutku diamnya sudah sangat diluar kebiasaannya. Begitu sampai di kamar hotel aku harus membereskannya.

"Tris," kataku lembut, "Tolong jawab dengan jujur. Sebenarnya kemana arah hubungan kita? Kamu ga suka dengan rencana aku pindah lagi ke sini."

Dia berpikir lama.

"Oke," katanya, "Aku akan bilang sejujurnya. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu sebagai teman baik dan sebagai teman yang hebat di ranjang. Aku akan selalu merasa kamu spesial buatku.”

"Aku menikmati hubungan kita, tapi kalau aku realistis aku tahu ini ga bisa permanen. Yang pertama aku terlalu bebas, kedua tentang perbedaan umur dan yang ketiga aku ga melihat kemungkinan aku akan menetap di Indonesia seterusnya. Aku ingin pulang ke orang tua dan merawat keluargaku di Timor Leste, aku sudah lama selesai kuliah dan sudah punya pengalaman yang lebih banyak sebagai perawat yang bisa kupakai untuk mencari kerja disana."

"Kamu kelihatan kecewa pas aku bicara tentang kemungkinan aku kembali ke sini." Kataku.

"Semuanya terjadi dengan sangat cepat, kita bahkan ga punya bayangan apa yang kita cari disini saat kita berangkat kemarin. Jadi rasanya itu karena aku belum siap untuk melepaskanmu pergi secepat ini. Kamu baik untukku, kamu sudah bikin aku stabil dan lebih dewasa. Aku sudah bayangin kita masih akan bersama-sama sampai beberapa bulan kedepan, dan tiba-tiba sekarang kamu akan beli rumah dan cari apartemen untuk ditinggali di tempat lain yang bikin kita berjauhan. Tapi aku juga sadar tempatmu memang disini, Errik, bukan di Semarang. Di sinilah ingatanmu akan membaik, dan mumpung aku ingat, kamu perlu mindahin terapimu kesini."

"Maksudmu nyari cewek lain buat diajak terapi?" Tanyaku sengaja menggodanya.

"Bukan!" dia tertawa. "Kamu tahu apa yang kumaksud, terapi rumah sakitmu."

"Jadi kamu ga marah?" Aku bertanya. "Kita masih bisa terus ketemu, kamu bisa ke Serpong sesekali atau aku yang ke Semarang, asalkan aku sudah stabil dan bisa mandiri."

"Oh, pasti. Aku ga akan melepasmu semudah itu, kita masih punya banyak hal yang harus dilakukan."

Kami melepaskan pakaian dan naik ke tempat tidur bersama, tapi begitu kami menyentuh bantal kami tertidur. Hari itu sangat melelahkan.


Bersambung... Chapter IV
 
Terakhir diubah:
Bimabet
Mantab...suwun hu

Musuh erik masih misteri besar ???? Gak bakalan ana ama hadi mereka begitu karena sikon.... mungkin ada kaitannya dengan kerjanya eerik..... satu satu kayaknya masalahnya diurut dan dipecahkan.... bakalan tambah seru kedepannya

Lanjuuuuuttttttt
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd