Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Pulang

Sop iler buat update berikutnya..


Malam semakin larut dan larut. Waktu makan malam sudah lewat dan aku masih menunggu. Akhirnya dia sampai jam sepuluh malam. Dia menciumku sekilas lalu berjalan melewatiku begitu saja dan masuk ke ruang tamu sebelum aku sempat bereaksi.

"Maaf," katanya. "Aku ketiduran. Lalu aku harus memuat barang-barangmu ke mobil."

Ada yang salah dengan dia dan aku yakin itu bukan karena alasan yang baru dikatakannya. Aku mendekatinya untuk memeluknya tapi dia berjalan ke pintu.

"Ayo kita masukin barang-barangmu supaya kita bisa santai."

Dia tersenyum tapi aku tahu itu senyum terpaksa. Walaupun begitu aku mengikutinya. Lalu dia memaksa segera menata barang-barangku di tempat yang tepat. Akhirnya aku berjalan ke ruang tamu dan duduk disofa. Tris pergi ke toilet. Dia didalam lama sekali. Ada sesuatu yang ga beres. Dia seperti menghindariku.



Diusahakan malam ini atau besok pagi update.. :Peace:
di tunggu pull fersi nya hu...

Gegara baca sop iler jadi ga sabar nungguin
Sop ilernya ja sudah buat penasaran suhu semoga ja malam ini bisa update
sama sama suka sop iler jgn berebut pasti kebagian iller.. ;) :Peace:
 
Sop iler buat update berikutnya..


Malam semakin larut dan larut. Waktu makan malam sudah lewat dan aku masih menunggu. Akhirnya dia sampai jam sepuluh malam. Dia menciumku sekilas lalu berjalan melewatiku begitu saja dan masuk ke ruang tamu sebelum aku sempat bereaksi.

"Maaf," katanya. "Aku ketiduran. Lalu aku harus memuat barang-barangmu ke mobil."

Ada yang salah dengan dia dan aku yakin itu bukan karena alasan yang baru dikatakannya. Aku mendekatinya untuk memeluknya tapi dia berjalan ke pintu.

"Ayo kita masukin barang-barangmu supaya kita bisa santai."

Dia tersenyum tapi aku tahu itu senyum terpaksa. Walaupun begitu aku mengikutinya. Lalu dia memaksa segera menata barang-barangku di tempat yang tepat. Akhirnya aku berjalan ke ruang tamu dan duduk disofa. Tris pergi ke toilet. Dia didalam lama sekali. Ada sesuatu yang ga beres. Dia seperti menghindariku.



Diusahakan malam ini atau besok pagi update.. :Peace:

makasih sop-iler-nya suhu @Gentile
 
VI. Kuartet Penyelidik


Alfon sekali lagi mengundangku untuk makan malam di rumahnya, tapi kepalaku pusing karena banyaknya kegiatanku hari itu dan aku merasa perlu istirahat barang sejenak, dan dengan penuh rasa terima kasih aku menolak tawarannya. Dia mengingatkanku pada pertemuan kami di cafe malam ini, dan dia bilang akan menjemputku jam setengah delapan malam. Setelahnya aku pulang, makan dan tidur sebentar.

Malamnya Vivi mengantar kami ke cafe dan janji untuk menjemput kami setelah itu, mengingatkan Alfon agar jangan sampai membiarkan aku minum alkohol terlalu banyak karena aku masih minum obat yang terbukti ga cocok dengan alkohol.

Saat sampai di dalam cafe, aku langsung ingat dan mengenali Hasan begitu melihatnya. Dia duduk di pojok dengan sebotol bir di depannya dan Alfon mengajak kami kesana sebelum membeli bir untuk kami berdua. Kami basa-basi sebentar, dia menanyakan kabar kami dan apa saja yang sudah kami lakukan sejak terakhir kali kami ketemu, tapi aku merasa pertemuan ini lebih dari sekadar nostalgia pertemuan antara teman lama. Ternyata aku benar, semuanya akan berubah setelah malam ini. Kami baru duduk sebentar saat seorang pria lain bergabung dengan kami, membawa segelas bir. Aku samar-samar mengenalinya.

Dia melihatku dan mulutnya ternganga. "Errik?" dia bertanya setelah beberapa saat.

Aku mengangguk.

"Errik, ini Jimmy Harsono," kata Alfon. "Dia juga teman baik kita. Perusahaanmu sudah menyuplai beberapa produk untuknya. Dia juga Penyelidik Swasta."

Aku berdiri dan menjabat tangannya.

"Kamu ga ingat siapa aku ya?" dia bilang.

"Ga, Jimmy, sekarang aku ga ingat kamu, tapi ingatanku akan kembali jadi aku akan mengenalmu segera."

"Sayang sekali! Ya Tuhan, mereka benar-benar sampai sejauh itu mengincarmu."

"Oke, sekarang balik ke urusan kita," potong Alfon. Dia tahu aku ga butuh kata-kata simpati saat ini.

Aku mengangkat alis. Urusan?

"Hasan?" Alfon menatapnya.

Hasan menoleh padaku, dengan ekspresi serius. "Errik, kami bertiga sudah merundingkan tentang kamu dan serangan yang kamu alami. Aku sudah menghubungi kepolisian di Semarang dan melakukan pembicaraan yang sangat menarik dengan mereka. Apa ada hal yang menarik perhatianmu tentang seranganmu?"

"Ehmm, polisi yakin kalau itu bukan perampokan acak tapi serangan yang disengaja dan terencana. Mereka terus-terusan tanya apa aku terlibat dalam perdagangan narkoba atau pernah jadi saksi kasus tertentu. Aku bahkan ga ingat namaku, dan mereka menuduh aku terlibat hal seperti itu, dan bahkan nuduh aku bohong untuk menyembunyikannya. Aku ga suka cara mereka bertanya seakan menuduhku sebagai penjahat. Aku menderita karena kesakitan dan mereka terus menerus menanyakan itu berulang kali. Aku sangat jengkel."

"Apa kamu pernah mikir kenapa kamu bisa tiba-tiba ada di Semarang?" Tanya Alfon.

"Ga juga, tapi aku pernah menebak-nebak sendiri bahwa mungkin aku memang ketemu seorang wanita. Mungkin aku kenal sama dia, lalu dia mengajakku ke suatu tempat dimana teman-temannya sudah menunggu, lalu mereka menangkap dan memukuli aku serta mengambil semua barang-barangku."

“Oke," kata Alfon. "Aku ga mau membahas ini saat pertama kali kita bertemu dulu, tapi ada fakta mengkhawatirkan yang perlu kamu tahu."

"Apa itu?"

"Aku pernah cerita kan bahwa Hadi Firmanto menyewa Detektif Swasta untuk mencarimu, dan dia dapat fotomu dari CCTV di stasiun."

Aku mengangguk.

"Nah," lanjutnya, "Ada tagihan di kartu kreditmu untuk transaksi di stasiun itu. Aku minta Jimmy untuk memeriksanya dan dia menemukan bahwa tagihan itu adalah untuk membeli dua tiket ke Malang."

"Ohh," kataku. Aku mulai merasa bersalah. Jadi aku memang adalah suami yang selingkuh dan Ana punya hak untuk meninggalkanku dan menikahi Hadi.

Aku merasa malu. "Aku ga tahu harus bilang apa. Aku sama sekali ga ingat kejadian hari itu, jadi aku ga bisa menyangkalnya. Yang bisa aku bilang cuma aku menyesal ngelakuin itu ke Ana setelah bertahun-tahun kami menikah. Pantas saja kalau dia benci aku."

"Masalahnya adalah," kata Hasan, "Kami ga percaya cerita itu. Kamu jelas sangat mencintai Ana. Kita sering ngobrol bareng seperti sekarang dan tiap kali kami komentar tentang wanita lain, kamu ga pernah tertarik. Kamu selalu jadi orang pertama yang pulang tiap kali kita berempat ngumpul, kamu selalu ingin pulang ke Ana. Kamu ga pernah lewat seharipun ngasih kabar, ngobrol dengannya bahkan saat kamu sedang keluar kota, keluar negeri untuk urusan bisnis, kamu pasti meneleponnya. Ini benar-benar di luar karakter dan kebiasaanmu."

"Kamu ga bisa mengabaikan faktanya, Hasan," kataku muram. "Kamu polisi dan biasa kerja berdasarkan bukti. Dalam hal ini ada bukti nyata kejadiannya memang seperti itu."

"Ga juga," jawabnya. "Lihat semua bukti yang kita punya. Ga ada yang tahu kenapa kamu harus dipukuli?"

"Dan," tambah Alfon, "Transaksi terakhir di kartu kredit itu. Kartu itu diambil darimu saat perampokan itu, tapi ga pernah dipakai. Ga ada yang pernah mencoba mencuri uangmu setelah mereka merampokmu."

"Ya mungkin..." aku berhenti. Aku ga bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Aku melihat orang lain untuk membantuku menjawab.

"Dan kenapa kamu dipukuli sampai separah itu? Ga mungkin karena uang, sekali lagi kamu punya kartu kredit, kartu ATM tapi ga ada yang mereka ambil dari tabunganmu selain barang yang kamu bawa saat kejadian itu."

"Ada satu dugaan," kata Jimmy. "Wanita itu, Emma William, betul ya? Bisa jadi suami atau pacarnya menangkap basah kalian sedang selingkuh. Itu bisa jadi alasan kenapa kamu dihajar separah itu."

"Tapi kalau itu alasannya, kenapa perlu mencuri semua barangku termasuk bajuku dan bikin aku ga bisa dikenali?"

"Mungkin pacar atau suaminya, atau siapapun, mengira kamu sudah mati," kata Jimmy. "Kalau kamu mati dan ga dikenali akhirnya kamu akan dikuburkan tanpa nama. Cerita selesai, ga akan ada yang menuntutnya."

"Lalu apa?" Aku bertanya. "Kemana tujuan kita membahas ini semua?"

"Oke," kata Alfon. "Menurutku penting untuk kita berempat mencoba menyelidiki siapa yang sudah ngelakuin ini ke kamu dan alasan sebenarnya dibalik itu. Apa yang kami bilang cuma sekedar teori. Kami tahu itu ga mungkin cuma perampokan sederhana hanya karena kamu ada di tempat dan waktu yang salah. Kami punya beberapa kemungkinan petunjuk, menurutku kita harus mencoba untuk mengikuti petunjuk itu."

"Aku katakan lagi. Lalu apa? Kalau kita mau menyelidiki ini lebih lanjut, kita harus mulai dari mana?" Tanyaku.

Aku ga tahu apa aku benar-benar ingin ini diselidiki, terutama kalau ternyata ketahuan bahwa aku adalah bajingan yang sudah selingkuh dari istriku, tapi di sisi lain...

Jimmy yang bicara, Hasan mengangguk mendukung, "Menurutku kita bisa coba cari wanita Emma William ini. Kalau kita bisa lacak dia, apa kamu mau pergi ke Singapura untuk bertemu dia, Errik? Alfon, kamu bisa temani Errik? Errik mungkin ingat sesuatu nantinya."

"Singapura," kataku lalu berhenti. "Kenapa Singapura terasa familier denganku?" Aku bertanya pada mereka. Mereka tertawa.

"Keluargamu berasal dari sana, Errik. Sudah pasti kamu akan familier," kata Hasan mengingatkanku.

Sekali lagi Jimmy-lah yang punya ide baru. "Kalian bilang Hadi punya foto CCTV hotel dan dari loket stasiun? Mungkin kita bisa minta kalau Hadi masih punya? Errik mungkin ingat wanita itu. Hotel di Surabaya mungkin punya kontaknya juga, mereka sering menyimpan kontak itu untuk mengirimkan iklan promosi ke pelanggan yang pernah menginap disana sebelumnya."

"Lalu kenapa detektif swasta yang disewa Hadi ga menemukan itu?" tanya Hasan. "Aku kira karena pihak hotel sudah menghapus datanya."

"Iya juga sih," kata Jimmy kecewa. "Kalau detektif itu bagus, dia pasti sudah menemukan datanya. Tapi ada kemungkinan kalau dia ****** atau memang ga becus kerja, mungkin sebaiknya kita coba cek ulang."

"Oke, kalau gitu kita bagi tugas,” kata Alfon. "Aku akan menghubungi lagi detektif yang aku sewa di Singapura. Aku akan meminta dia mencari lagi dengan kontak yang akan kita cari dari pihak hotel di Surabaya. Kalau kita beruntung kita akan menemukannya dan kita harus pergi ke sana menemuinya."

"Tunggu," selaku. "Sebelumnya kamu bilang detektif ini ga berhasil menemukannya?"

"Jujur aku sebelumnya cuma memberikan data alamat wanita itu, ga terpikir mereka mungkin punya nomor telepon atau alamat emailnya. Aku juga menegaskan padanya untuk mencarimu dan cuma kamu. Dia ga boleh menganggu wanita itu. Kalau kalian selingkuh, itu bisa merusak rumah tangganya, asumsi dia sudah menikah. Aku ga mau itu. Jadi aku bilang padanya untuk cuma mencari kamu walaupun ke alamat wanita itu. Aku juga akan minta dia untuk melacak lebih detail dari kontak yang kita akan dapat dari hotel nanti. Hasan, apa bisa kamu coba minta laporan detektif swasta dari Hadi?"

"Ga masalah, aku akan bilang kita sedang menangani kasus orang hilang atas nama kepolisian. Aku bahkan bisa memaksanya kalau dia menolak."

Aku melihat ke sekeliling meja pada ketiga pria ini. Betapa beruntungnya aku punya teman seperti mereka. Meskipun mereka mungkin curiga aku benar-benar selingkuh dari Ana, mereka tetap mau membantuku mencari tahu siapa yang sudah melakukan hal mengerikan ini padaku. Aku mencoba untuk mengungkapkan rasa terima kasih aku dengan terbata-bata, tapi mereka memotongnya dan bilang bahwa aku adalah teman baik mereka dan aku juga sudah banyak membantu mereka sebelumnya.

"Dan yang utama," kata Jimmy, "Aku masih ga percaya kalau kamu ngelakuin itu ke Ana. Aku yakin ada sesuatu yang lain dibalik ini semua."

"Kami juga sama," tambah Hasan. Alfon hanya tersenyum setuju.

Sisa malam itu berlalu dengan kesenangan. Banyak candaan dan ejekan padaku saat mereka menceritakan kisah-kisah tentang masa laluku, ga ada yang aku ingat tentu, dan setelah itu Vivi menjemput aku dan Alfon lalu mengantarkan aku ke apartment. Aku melambaikan tangan pada mereka lalu bergegas naik ke kamarku dan menjatuhkan diri ke tempat tidur lalu tidur nyenyak.


Besoknya aku bangun cukup pagi. Setelah mandi aku baru sadar itu hari Sabtu, bukan karena lupa ingatan tapi karena tiap hari ga terlalu banyak bedanya bagiku.

Sabtu pagi ini hujan deras turun disertai angin kencang. Aku menyalakan TV dan nonton berita selama setengah jam sambil sarapan. Ini cara yang lumayan bagus untuk menghilangkan stres, mengalihkan pikiran ke hal-hal lain diluar hidup kita sendiri. Ga lama kudengar dering bel di pintu. Aku membukanya menemukan security mengantarkan seorang pria yang tampak familier.

"Halo?" Kataku. Aku pasti kelihatan bingung.

"Aku Jeffry. Teman kantor, lupa?" dia menyebutkan namanya, lalu aku mengingatnya.

"Oh.. Sial, masuk Jeff, terima kasih, Pak." Tambahku pada security yang mengantar Jeffry.

"Aku bawain beberapa barang," Dia membawa tiga atau empat kotak dan bungkusan, mungkin karena itu security mengijinkannya naik. "Laptop, scanner, dan printer. Dan beberapa yang lain." Aku membantunya membawa semua masuk.

Aku mengarahkannya ke kamar kedua dan dia mulai memasang semuanya di atas meja besar yang ada disana.

"Aku akan suruh orang untuk pasangin internetnya nanti." katanya, "Koneksi rumahan disini jelek, tapi aku akan daftarin yang untuk kelas kantoran supaya lebih oke. Tapi kayaknya butuh beberapa hari. Tapi selain itu, di laptop ini ada semua detail sejarah perusahaan saat kamu ga ada, dari penjualan, keuangan, riset, proyek khusus, dll. Juga foto dan CV semua staf, semoga ini bisa bantu kamu mengingat-ingat."

Aku pergi ke dapur dan membuat teh, dan kopi buat Jeffry sesuai permintaannya. Saat aku kembali, dia sedang duduk di ruang tamu, memegang sebuah kotak kecil.

"Ini mungkin bisa membantu keseharianmu," katanya, "Aku beli ponsel seperti ini beberapa bulan lalu, dan kepikiran beliin satu buat kamu. Mana ponselmu?"

Aku punya ponsel? Aku terlihat kebingungan.

"Bukannya Alfon beliin satu?"

Lalu aku ingat dan mengambilnya dari kantong tasku. Dia memeriksanya beberapa menit dan lalu duduk bersandar dengan senyum puas.

"Ga ada masalah sama ponselmu yang dari Alfon, tapi yang ini jauh lebih canggih. Aku pindahin dulu SIM cardmu," katanya sambil melakukan itu. "Ponsel ini terhubung dengan GPS dan SATNAV jadi kamu bisa tahu kamu sedang ada dimana kalau misalnya tersesat, dan itu akan memberi tahu arah jalan pulang. Memorinya jauh lebih besar bisa dipakai untuk menyimpan foto dan video tanpa kuatir penuh. Ada nama lengkap dan foto semua orang yang kamu kenal di kontaknya. Pilih foto atau sebutkan nama mereka akan ada menu yang muncul setelahnya berisi informasi dari orang itu. Bisa juga dipakai sebagai buku catatan, tinggal bilang apa yang mau ditulis atau ketik seperti biasa akan langsung terekam disitu. Bisa juga di seting untuk reminder."

Dia menjelaskan cara kerja ponsel itu selama satu jam, lalu menjelaskan cara pemakaian laptop dan program-program yang sudah terisi disana sampai aku ingat cara memakai semuanya. Dia menghubungi ponselku dan saat telepon berdering, layar memunculkan foto dan namanya dan pekerjaannya. Alat ini akan sangat membantuku yang bermasalah dengan ingatanku.

Setelah selesai, dia bilang akan menjemputku hari Kamis minggu depan, saat Tris sudah balik ke Semarang. Aku setuju dan merasa itu akan memberiku kesempatan untuk mempelajari materi yang ada di laptop. Dia juga bilang dia akan meneleponku kalau butuh sesuatu.

Terakhir aku meminta bantuannya untuk memindahkan tempat tidur kembali ke kamar kedua, yang dengan senang hati ia lakukan.

Setelah dia pulang, aku seperti semua orang yang punya mainan baru, bermain-main dengan laptop dan ponsel terus menerus sampai aku jadi terbiasa memakainya.

Jam sebelas hujan sudah berhenti, jadi aku memutuskan untuk keluar sebentar belanja bahan makanan untuk malam nanti, memakai ponsel untuk mencatat daftar belanjaan. Berhasil. Saat pulang, aku mencoba GPS dan layar memunculkan rute terdekat ke arah apartment, yah walaupun sebenarnya hanya di seberang jalan saja dari tempatku belanja, tapi seperti yang kubilang, cukup menyenangkan saat punya mainan baru.

Aku baru saja menyimpan barang belanjaanku di kulkas saat ponselku berdering, menampilkan foto Alfon disana. Aku mengangkatnya dan dia mengingatkanku pada kursus mengemudi yang sudah dipesannya jam 1 siang. Aku akan dijemput di lobi katanya.

Jam lima sore aku sudah duduk di ruang tamu apartmentku, merasa sukses, beruntung, dan optimis untuk masa depanku. Aku bisa mengendarai mobil matic dengan mudah dan tanpa menyebabkan rasa sakit sama sekali. Aku mengemudi mengelilingi Serpong, Karawaci, BSD, dan berusaha mengingat banyak rute jalan yang kulewati. Instruktur bilang aku sepertinya ga butuh kursus mengemudi karena sudah bisa mengemudi dengan aman, sedikit yang dia tahu aku hanya ingin tahu kekuatan dan koordinasi kakiku setelah kejadian itu dan ternyata hasilnya cukup bagus.

Malam ini Tris akan datang, dan untuk menyambutnya, aku sudah beli daging untuk steak, kentang, buncis dan jagung beku - dan es krim. Aku sudah mengupas dan memotong kentang, merendamnya dalam air agar ga berubah warna, dan memotong-motong buncisnya.

Selesai, aku bisa santai menunggu kedatangan kekasihku. Kemarin sore aku sudah meneleponnya di rumah sakit untuk memastikan dia jadi datang atau ga weekend ini. Dia kelihatannya bersemangat dan aku memberikan alamat apartmentku. Dia bilang akan berangkat Sabtu siang dan kemungkinan sampai disini malam hari. Aku juga menitip pesan pada security untuk mengijinkan naik wanita bernama Patricia saat dia datang membawa barang-barangku.

Malam semakin larut dan larut. Waktu makan malam sudah lewat dan aku masih menunggu. Akhirnya dia sampai jam sepuluh malam. Dia menciumku sekilas lalu berjalan melewatiku begitu saja dan masuk ke ruang tamu sebelum aku sempat bereaksi.

"Maaf," katanya. "Aku ketiduran. Lalu aku harus memuat barang-barangmu ke mobil."

Ada yang salah dengan dia dan aku yakin itu bukan karena alasan yang baru dikatakannya. Aku mendekatinya untuk memeluknya tapi dia berjalan ke pintu.

"Ayo kita masukin barang-barangmu supaya kita bisa santai."

Dia tersenyum tapi aku tahu itu senyum terpaksa. Walaupun begitu aku mengikutinya. Lalu dia memaksa segera menata barang-barangku di tempat yang tepat. Akhirnya aku berjalan ke ruang tamu dan duduk disofa. Tris pergi ke toilet. Dia didalam lama sekali. Ada sesuatu yang ga beres. Dia seperti menghindariku.

Saat dia muncul, aku melambaikan tangan memanggilnya untuk mendekat dan duduk disebelahku. Dia mendekat dengan pandangan seperti orang yang ketahuan melakukan kesalahan.

"Jadi?" Aku bertanya.

"Errik, maafkan aku."

"Maaf? Kenapa kamu minta maaf, Tris?"

"Tadi malam," dia berbicara dengan suara pelan dan kepala menunduk, "Aku pergi sama teman-teman ke acara ulang tahun Tony. Kami pergi ke diskotik. Kamu tahu aku sudah lama ga kesana. Oh, itu juga bukan karena salahmu. Aku ga pingin kesana sampai kemarin teman-teman ngajak aku kesana."

"Terus kenapa, ga ada yang salah kan kalau kamu ke diskotik?"

"Bukan itu. Aku mabuk. Dan..."

"Dan?"

"Aku keterusan dan akhirnya berhubungan seks dengan orang lain. Namanya Tommy, dia juga perawat di rumah sakit. Tapi dia pakai kondom." Dia duduk diam menatap lantai.

Wow, pikirku, itu kejutan. Kami memang ga punya status eksklusif, aku ga berhak mengatur hidupnya. Dia bahkan ingat untuk meminta pria itu memakai kondom. Status kami adalah friend with benefit, dengan keuntungan berupa kepuasan seksual, kami mengekspresikan hubungan kami dengan banyak cara dan salah satunya adalah seks.

Tapi ga, aku ga bisa membohongi diriku sendiri, aku tahu aku merasa cemburu dan jengkel. Aku merasa dikhianati seolah-olah kami punya hubungan eksklusif, tapi aku ga bisa bilang apa-apa karena kenyataannya kami ga punya status eksklusif itu.

"Tolong bilang sesuatu" Katanya.

"Tris, aku ga bisa bilang apa-apa. Kamu wanita bebas. Kamu sudah berulang kali bilang bahwa hubungan kita ga punya ikatan apapun. Jadi, apa masalahnya?" tapi walaupun aku bilang seperti itu tapi nada jengkel dalam suaraku yang ga bisa disembunyikan.

"Kamu marah?"

"Kenapa marah? Haruskah aku marah? Kamu bukan punyaku."

"Aku merasa bersalah Errik. Aku merasa sudah mengkhianati hubungan kita. Aku ga paham reaksimu. Kamu bilang ga marah tapi jelas nada bicaramu beda. Kamu marah? Kecewa? Cemburu? Kamu punya hak untuk itu. Aku sudah bikin kamu kecewa."

"Jadi maksudmu hubungan kita bukan sekedar seks tanpa ikatan? Kamu merasa kita punya sesuatu yang lebih dari itu? Tapi disaat yang sama kamu tidur dengan orang lain? Itu yang kamu maksud?"

"Bukan gitu. Kemarin adalah hari valentine dan bukannya menunggu untuk merayakannya denganmu, aku malah tidur dengan teman kantorku. Sekarang aku merasa bersalah karenanya. Maafin aku?"

"Aku cuma ga tahu harus berbuat apa karena ini. Apa ada yang harus dimaafkan? Apa kita punya komitmen yang membuat kamu butuh dimaafkan? Saat kamu mengajakku berhubungan seks pertama kali, kamu bilang itu cuma sekedar seks tanpa ikatan. Minggu lalu kamu bilang ada sesuatu yang lebih, tapi kamu ga pernah bilang bahwa sekarang kita punya ikatan eksklusif. Jadi, kenapa kamu harus merasa bersalah?"

"Errik, tadi malam aku mabuk dan berhubungan seks. Itu hal yang biasa kulakukan dulu, tapi aku ga pernah merasa ingin melakukan lagi dengan orang yang sama. Lalu ada kamu, seks kita berbeda sejak awal dari yang pernah kulakukan. Kamu ga manganggapku sebagai alat untuk mencapai kepuasanmu, tapi kamu memujaku, kamu mencintai dan mengutamakan aku, dan sejak saat itu aku ga mau berhubungan seks dengan orang lain. Ikatan itu adalah kehadiranmu, kamu yang membuatnya. Karena itu aku merasa bersalah."

"Oke, aku memang memberimu cintaku. Awalnya aku ngelakuin itu sebagai rasa terima kasih padamu, tapi lama kelamaan kita makin dekat. Ya, aku mencintaimu dan aku akan selalu begitu. Saat kamu bilang kamu tidur dengan pria lain, aku ga ngerti gimana perasaanku. Mungkin kamu benar. Mungkin rasa posesif. Mungkin aku merasa cemburu. Atau cuma bingung. Aku benar-benar ga tahu."

Apa yang sebenarnya dia mau dari hubungan kami? Aku perlu cari tahu.

"Tris, kalau aku bilang ada seorang sekretaris dari kantor sudah datang padaku, dia mendekatiku dan kami berhubungan seks, gimana perasaanmu?"

"Serius?"

"Ya Tuhan, Tris!" Aku meledak. "Jangan jawab pertanyaanku dengan pertanyaan lain. Bayangin saja aku punya kesempatan untuk berhubungan seks dengan orang lain saat kamu ga di sini. Gimana perasaanmu?"

"Kamu mau balas dendam?" dia mendongak ke arahku dan melihat sorot mataku. "Maaf, maaf. Aku menjawab dengan pertanyaan lagi. Oke. Jujur aku ga akan suka itu. Aku bahkan benci kalau sampai itu terjadi. Aku mau kamu cuma buat aku saat kita bersama. Karena itu aku merasa bersalah, aku mengharapkanmu seperti itu tapi aku sendiri ga bisa setia."

"Berarti kamu mau kita setia satu sama lain. Kalau ada kesempatan seperti kemarin, apa kamu akan ngelakuin kebiasaan lamamu lagi?"

"Ga akan!"

"Kalau gitu, lupain saja. Kita masih saling memiliki, aku punya kamu dan kamu punya aku. Cuma kita sendiri yang bisa melakukan seks tanpa pengaman, dan cuma aku yang boleh mengeluarkan air mani di dalam, itu yang membuat hubungan kita lebih dari yang lain. Aku ga bisa membayangkan aku menuntut lebih dari itu, tapi kalau sampai kamu berhubungan badan dengan orang lain lagi, aku berharap kamu akan cerita, seperti kamu cerita tentang semalam. Jadi aku bisa tetap percaya kamu ga berbuat sesuatu dibelakangku, cukup itu saja. Sekarang, ayo kita makan."

Dia bergerak ke depan dan memelukku erat.

"Aku sangat mencintaimu." dia bergumam. Kami berciuman. Itu adalah ciuman penuh kasih yang lembut dilandasi rasa syukur darinya, dan aku merasa cukup senang karena rasa bersalahnya sudah berkurang. Kami bangkit dan menyiapkan makan malam yang sudah sangat terlambat.

Aku menceritakan padanya tentang pertemuan ‘Kuartet’ aku, Alfon, Hasan dan Jimmy. Dia terlihat memikirkan cerita itu. Dia ga komentar apa-apa saat itu, tapi saat dia akan pulang ke Semarang beberapa hari kemudian dia bilang sesuatu yang menarik.

"Menurutku masalahmu berasal dari sini. Aku merasa orang yang ingin kamu mati ada di sini."

Ketika dia bilang seperti itu, sebenarnya dia seperti mengatakan apa yang sudah kupikirkan juga, dan aku yakin teman-temanku juga punya dugaan itu.

Empat harinya selama disini cukup sibuk. Minggu sore kami datang ke rumah Alfon dan Vivi, dan aku lega karena mereka ga mengungkit obrolan yang biasa tentang Ana. Aku tahu Vivi pasti sudah berusaha keras menahan itu keluar dari bibirnya dan aku mengucapkan terima kasih dengan memberikan pelukan tulus. Aku masih ingat senyum manisnya, dan ekspresi puas Alfon, sepertinya Alfon juga sudah mengingatkannya soal itu, tapi aku tahu usaha Vivi sendirilah yang membuatnya berhasil.

Kami jalan-jalan di sekitar Serpong, nonton bioskop, dan makan malam bersama Jeffry dan Susan. Susan sangat ingin ketemu Tris dan mengenalnya, dan aku senang mereka langsung akrab. Jeffry dan aku membicarakan tentang bisnis, dan Susan serta Tris juga ga berhenti ngobrol. Tris mendapat pelukan dan ciuman perpisahan di pipi dari kedua teman lamaku yang baru kutemukan lagi saat kami pamit pulang.

Sudah pasti kami berhubungan seks. Seseorang biasanya punya posisi favorit dan tahu kesukaan pasangannya, begitu juga kami, tapi ada sesuatu yang berbeda soal itu, perubahan kecil dalam hubungan kami, dan kami berdua menyadari itu.

Saat kami berdiri di dekat mobilnya sebelum dia balik ke Semarang, dia menatap mataku, mencari sesuatu.

"Apa?" Aku bertanya.

"Ada yang berubah, kan?"

"Ya, tapi hubungan manusia berubah seiring waktu. Kita masih orang yang sama, Tris. Kita masih saling mencintai."

"Ya, tapi," dia mengejar, "Perbuatanku, itu membuat jarak di antara kita. Ini salahku dan aku benar-benar minta maaf. Aku ga pernah punya hubungan seperti hubungan kita, sebelumnya aku ga pernah kasih kesempatan orang lain untuk punya hubungan lebih denganku.”

"Aku ga sadar betapa seks bisa mengikat, dalam arti yang baik. Itu membuat kita lebih dekat, membuat kita saling terbuka satu sama lain. Aku merasa karena itu kesalahanku hari Jumat lalu sangat fatal dan kenapa aku merasa sangat bersalah. Apa aku orang yang bodoh?"

Aku tersenyum. "Ga. Itu semua sangat masuk akal. Menurutku itu yang sempat bikin aku jengkel. Mungkin aku ga paham kenapa kamu harus ngelakuin itu. Dengar sayangku, itu sudah lewat sekarang, lepasin masa lalu. Aku tahu kita pasti bisa. Semua one-night stand yang kamu lakukan sebelumnya ga membuat hubungan kita berhenti tumbuh. Lupakan hari Jumat itu dan biarkan berlalu."

"Aku mencintaimu. Kamu baik banget buatku," dan dia menatapku dengan penuh cinta.

"Aku juga mencintaimu. Kamu sudah menyelamatkan hidupku," dan aku tersenyum sambil memandang matanya. Kedekatan kami sebelumnya sudah kembali.

Dan kami berciuman, berpelukan, dan berciuman lagi. Lalu dia pergi.


Aku terbangun di kamis pagi karena suara ponselku yang memberi tahu aku dapat SMS dari Jeffry. Dia bilang dia akan jemput aku jam 8.30. Aku melirik jam di samping tempat tidur yang menunjukkan angka 7.30. Sial aku kesiangan.

Bagi seorang pria dalam kondisi fisik yang sehat, satu jam adalah waktu yang lebih dari cukup untuk mandi, berpakaian dan sarapan. Bagi pria sepertiku itu ga mudah, jadi aku melewatkan sarapan.

Pertama-tama Jeffry mengajakku ke sebuah dealer mobil dan disana dia memintaku memilih sebuah mobil matic yang nantinya akan kupakai, anggaplah mobil dinas kantor. Setelah menyelesaikan segala surat-surat dan pembayaran, SPG berjanji akan mengirimkan mobil itu minggu ini.

Setelah dari dealer kami mengunjungi beberapa customer perusahaanku dan aku melihat Jeffry mencoba melakukan presentasi dan penawaran terkait penjualan produk kami, pekerjaan yang menurutnya dulu sangat kukuasai. Sambil mendengarkan, aku menambahkan beberapa komentar untuk presentasi Jeffry yang entah darimana datangnya dan anehnya komentar-komentar itu sepertinya membantu pekerjaan Jeffry. Dalam perjalanan pulang, Jeffry bilang terima kasih banyak padaku karena tampaknya komentar dan masukan yang kubuat membantu berhasilnya kesepakatan penjualan. Aku ga percaya itu tapi dia mengulangi lagi pujiannya padaku dan meyakinkan aku bahwa memang begitulah adanya. Sesampai di kantor aku meminta kontrak perjanjian yang akan kami tanda tangani dari penjualan tadi. Dan lagi-lagi entah bagaimana aku tahu isinya berantakan dan berpotensi membuat kerugian di pihak kami, jadi aku mengedit ulang di beberapa bagian dan memberikannya pada Widya untuk diketik ulang. Senyum Jeffry semakin lebar.

"Gimana kamu tahu cara ngelakuin itu? Bukannya ingatanmu hilang."

"Aku juga ga tahu," Aku tertawa, "Itu datang gitu aja terlintas di kepalaku."

"Kalau kamu ngelakuin seperti yang kamu kerjakan hari ini, katakanlah, sebulan sekali, kamu akan bisa memastikan perusahaan ini mendapatkan untung." dia tertawa, "Kamu punya bakat alami dalam hal penjualan dan terutama kontrak, pasti sudah mendarah daging di dirimu."

"Ah, itu cuma kebetulan saja," Aku berusaha merendah, karena memang aku ga tau kenapa aku bisa memahami itu, disisi lain, aku berusaha menurunkan ekspektasinya padaku.

Aku mengingatkannya, bahwa aku ga akan bisa kerja full time sementara ini. Aku harus mengatur hidupku lebih dulu, tapi aku janji padanya aku akan bantu kapan pun aku bisa. Aku pulang naik taksi dengan perasaan jauh lebih baik dan mampir ke gym yang ada di apartment dalam perjalanan ke kamar, melakukan latihan singkat di treadmill sekitar setengah jam lalu kembali ke kamarku.

Aku sedang membuat makan malam saat Alfon menelepon.

“Apa kamu mau ikut kumpul dengan geng kita malam ini di cafe Crossroad seperti biasa?”

“Ya, aku mau, asal aku dapat tumpangan.” jawabku

Jadwalnya sama seperti minggu lalu sepertinya, jadi pada jam sembilan malam kami sudah duduk di sudut biasa kami saat Hasan, dan lalu Jimmy datang. Sekali lagi aku merasakan malam ini ada acara hal penting yang akan dibahas.

"Saat kamu sedang asik pacaran, kami semua harus bekerja keras," Alfon berkata sambil memandangku dengan senyum ramah.

"Bagus," jawabku. "Aku benci kalau ada salah satu dari kalian yang nganggur. Lagian, kalian ga punya kerjaan lain, kan?"

Candaanku diterima, mereka tahu aku bermaksud berterima kasih karena mereka sudah rela meluangkan waktu disela kesibukan mereka.

Hasan memulai.

"Aku mencari file di kepolisian dan mencari info tentang kasusmu. Kasus itu masih terbuka setelah sekian lama, jadi aku bilang ke mereka kalau kami sudah menemukanmu tapi kamu sudah jadi korban penganiayaan berat. Aku mau tahu apa mereka punya informasi tentang hari terakhir kamu terlihat. Mereka pada dasarnya sudah bisa menebak informasi apa yang kami ketahui. Aku kenal petugas yang menangani kasusmu disana dan bilang padanya kalau sekarang aku sedang mencoba mencari info tentang kasus itu, dan dia malah memintaku untuk bisa menyelesaikan kasus yang sudah berlarut-larut itu." Hasan menyeringai karena ide akal-akalannya berhasil.

"Itu berarti aku bisa secara sah berhubungan dengan Hadi. Aku mengajak salah satu anak buahku dan menghubungi Hadi untuk ketemu Sabtu pagi kemarin. Yang pasti dia ga senang ketemu kami, tapi pertemuan itu menarik karena Ana juga ikut menemui kami. Aku tanya pada mereka tentang laporan detektif swasta yang dipunya Hadi dan dia bilang kalau mereka cuma butuh laporan itu untuk dokumen perceraian dan sekarang sudah diserahkan ke pengadilan dan mereka ga punya copynya. Jadi aku tanya nama detektif swasta yang dia sewa. Dia bilang dia ga ingat.

"Lalu yang menarik adalah, Ana bilang bahwa dia punya alamat Boy Rolan, nama detektif swasta itu juga foto-foto yang didapatnya, lalu dia masuk dan mencarinya. Hadi kelihatan jengkel. Dia bergumam dan ngomel tentang kehilangan waktu Sabtu paginya karena urusan pencarianmu yang ga berguna, Errik. Lalu Ana keluar lagi bawa catatan kontak detektif itu serta foto-foto ini."

Hasan meletakkannya di atas meja.

Ada empat. Yang pertama menunjukkan pasangan sedang minum kopi bareng, yang kedua pasangan yang sama berciuman, yang ketiga pasangan yang sama di loket pembelian tiket di stasiun kereta api, dan yang keempat pasangan yang sama meninggalkan hotel. Aku memandang Hasan dan menunggu.

"Nah itu kamu, dan wanita yang kita cari." Kata Hasan.

Aku melihat foto-foto itu lagi. Jadi seperti itulah penampilanku dulu.

"Ya," kata Alfon, sangat serius. "Kamu pria yang tampan, setidaknya itu kata seorang wanita yang kukenal. Itu yang direnggut bajingan-bajingan itu darimu."

"Jadi, sekarang ini untuk apa?" Aku menunjuk pada foto-foto itu.

"Aku sudah kirim soft copy foto ini ke teman kita di Singapore," kata Alfon, "Dia senang fotonya cukup jelas. Jadi ada harapan sekarang kita bisa menemukan wanita itu disana." Dia tersenyum penuh semangat.

"Satu lagi," tambah Hasan, "Aku mencari nama yang diberikan oleh Ana ke daftar detektif swasta yang terdaftar di kepolisian dan aku ga bisa nemu nama Boy Rolan itu. Aku cek alamatnya dan ternyata itu alamat restoran fast food. Dia mungkin sudah pensiun atau memang ga pernah terdaftar. Aku sudah minta bantuan ke kantor untuk cek siapa tahu dia terdaftar di tempat lain."

“Kepolisian punya daftar semacam itu?” tanyaku

“Pasti, detektif swasta bergelut dengan usaha mencari data, mencari orang hilang, dan sebagainya tapi yang jelas di banyak kasus mereka butuh akses ke data yang sifatnya rahasia, dan terdaftar di kepolisian akan membantu mereka mendapat akses kesana. Walaupun tetap tidak semua data bisa mereka akses.”

Giliran Alfon bicara. "Teman Singapore itu sudah mulai bergerak. Banyak yang harus dia kerjakan untuk mencari wanita itu, tapi sekarang dia punya fotonya. Jadi kita tinggal menunggu hasilnya."

"Dari apa yang muncul di foto-foto ini," kataku dengan sedih, "Aku pasti punya hubungan khusus dengan wanita ini."

"Jangan langsung bikin kesimpulan," kata Alfon, "Untuk itulah kita menyelidiki semua ini, kan?"



Bersambung... Chapter VII
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd