Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Pulang

VII. Secercah Harapan


Ga kusangka Hari Jumat keesokan harinya mobil baruku sudah datang, entah berapa yang dibayar Jeffry untuk membuatnya bisa datang secepat dan selancar itu. Buku panduannya tebal dan terperinci tapi aku memilih membacanya sekilas dan mencari penjelasan singkat untuk bagian yang penting dan perlu aku tahu. Aku mencoba mengendarainya keliling sampai aku merasa familier dengan fitur di mobil itu, lalu memberi kabar ke Jeffry. Setelah itu aku memakainya ke rumah sakit untuk melakukan fisioterapiku yang sudah dipindahkan ke sini. Kemajuan kondisi fisikku sejalan dengan ingatanku. Aku merasa keduanya makin membaik walaupun lambat.

Setelah terapi aku tiba-tiba teringat pada Tris, jadi aku meneleponnya dan bilang besok aku akan datang ke Semarang.

"Mau periksa apa aku selingkuh lagi ya?" Tris bertanya. Itu pertanyaan iseng dan hanya becanda tapi membuatku tersentak. Kami sama-sama terdiam dalam suasana yang ga nyaman.

"Oh ya ampun, Errik, sorry, aku ga bermaksud seperti itu, aku tahu itu ga pantas, maaf. Kamu berhak untuk itu."

"Ga apa-apa, aku yang seharusnya ga terlalu sensitif. Mungkin seharusnya aku ga usah kesana."

“Jangan! Kamu boleh kok kesini. Aku kangen banget sama kamu beberapa hari ini. Tommy ngajakin aku jalan lagi tapi sudah aku tolak. Aku bilang kemarin itu cuma kesalahan karena aku mabuk dan pacarku tahu kita sudah ngapain. Sepertinya Itu bikin dia takut."

Dia tertawa lalu melanjutkan. "Jadi aku sampai sekarang ga mau ngulang kesalahan itu lagi, meskipun aku terpaksa harus masturbasi sekali."

"Gadis mesum!" Kataku tegas. "Kamu sepertinya harus dihukum karena ga bisa nahan nafsu."

"Oh, yes.. please," katanya sambil mendesah sensual. "Aku memang harus dihukum. Datanglah besok. Aku pasrah mau dihukum apa saja." Katanya tertawa.

"Ya Tuhan, Tris, kamu memang suster nakal yang mesum."

"Memang, tapi kamu suka kan."

Besoknya aku merasa belum siap harus mengemudi sendiri ke Semarang, jadi Sabtu pagi aku ke stasiun, untungnya masih ada tiket yang tersedia. Ingatan jangka pendekku masih sering tiba-tiba blank, tapi sekarang aku lebih berani bepergian sendiri karena ponsel yang diberikan Jeffry sangat membantu di sisi itu. Saat aku sampai di asrama Tris sore itu, dia sudah pulang dari kerja shift pagi.

Saat dia membuka pintu, kelihatan jelas dia sudah menungguku. Dia memakai blus putih polos yang menunjukkan bra putih di baliknya, kaus kaki putih selutut dan rok lipit kecil biru tua yang cuma bisa menutupi pantatnya. Dia mendekat lalu hampir melompat memeluk leherku sambil menciumku, refleks tanganku melingkar di pantatnya agar aku ga terjengkang jatuh, telapak tanganku langsung menyentuh celana dalamnya saat roknya terangkat ketika dia bergerak.

Kami berciuman cukup lama dengan penuh gairah dan ereksiku mulai bangkit membuatnya terkikik. Tanganku meremas pantatnya dan bergerak naik ke karet pinggang celana dalam kecilnya, tapi dia menahanku.

"Sebelum kamu terusin lebih jauh, ada yang harus kamu lakukan lebih dulu," katanya dengan pandangan menggoda, dan menarikku berdiri berhadapan di samping tempat tidur. "Sekarang kamu harus kasih hukuman buat aku karena sudah nakal," katanya sambil menyeringai.

"Aku harus dipukul." Katanya sambil mendorongku duduk di tepi tempat tidur, lalu dia menelungkup di pangkuanku, roknya yang pendek tertarik keatas menampilkan celana dalam putih yang ada dibaliknya. Ini adalah sesuatu yang baru buatku. Selain cakaran atau pukulan ringan yang ga disengaja saat kami mendekati orgasme ketika berhubungan badan, kami belum pernah melakukan hal seperti ini, aku ga yakin ingin melakukan ini, tapi aku tetap melanjutkan.

"Lepasin celana dalammu!" Aku memberi perintah, mencoba mengikuti permainannya.

Dia meraih ke bawah roknya dan menarik kain itu ke bawah.

"Berhenti!" Aku berseru, saat kain itu masih berada di pertengahan pahanya. Dia berhenti dan membiarkannya di sana. Tanpa adanya penghalang, aku bisa melihat pantatnya yang bulat terpampang di depanku, aku memiringkan tubuh dan bisa melihat celah vaginanya mulai basah bahkan sebelum aku menyentuhnya, aku sendiri mendapat efek yang sama, aku yakin dia bisa merasakan ereksiku mendorong perutnya.

"Sekarang, hukum aku," erangnya. "Aku siap."

Jadi aku mulai. Aku menarik roknya sampai ke pinggangnya dan memukul bongkah pantatnya dengan lembut, lagian ini cuma permainan sebelum seks.

"Kurang!" dia menjerit. "Lebih keras! Pukul yang keras."

Aku ga bisa ngelakuin itu.

"Lebih keras!"

Aku mencoba dan gagal, "Maaf, aku ga bisa, Tris."

"Aku harus dihukum karena ga setia. Please, Errik!"

Kenapa dia jadi ngotot ingin dihukum?

"Gini aja," kataku, "Sebagai hukuman, aku mau blowjob. Lalu saat aku hampir orgasme, aku akan menyetubuhimu dari belakang dan aku selesaiin sebelum kamu orgasme. Biar kamu ngerasain frustasi sampai malam nanti sebelum kita tidur."

Dia duduk dan menatapku. "Beneran?" dia bertanya, ga percaya.

"Ya, aku ga terangsang karena mukulin pantatmu."

"Tapi aku bisa ngerasain tadi, kamu sudah ereksi." dia tersenyum.

"Bukan, itu bukan karena mukul pantatmu, itu karena ngeliat celana dalammu yang putih bersih turun sampai setengah paha," aku terkekeh. "Pemandangan itu yang bikin aku ereksi. Sekarang, apa kamu masih mau dihukum?"

Dia ga menjawab, tapi bangkit lalu berlutut di depanku, celana dalamnya masih ada di tengah pahanya, terentang lebar di antara kedua pahanya yang terbuka. Dia membuka kancing celanaku dan aku mengangkat pantatku agar dia bisa menariknya ke bawah sekaligus celana dalamku. Dia menyelipkan penisku di bibirnya dan mengerakkannya dengan lembut seperti kesukaanku.

Ga butuh waktu lama untuk membuatku mendekati orgasme, dia bisa merasakannya dan menarik diri, membalikkan badan, lalu membungkuk bertumpu pada lutut dan kedua tangannya, menunjukkan kemaluannya yang sudah sangat basah. Aku berlutut di belakangnya dan mendorong penisku kedalam. Dia sangat becek, penisku bisa masuk dengan mudah. Aku mulai memompanya dengan gerakan yang lambat dan dalam, menahan diri agar ga orgasme, membuatnya bergairah. Lalu, saat dia mulai mengerang dan mendekati orgasmenya, aku mempercepat gerakan dan mendorong dengan kuat, jauh ke dalam dirinya saat aku menyemburkan air mani jauh ke dalam dirinya. Lalu aku segera mundur mengeluarkan penisku dan mendengar erangan frustrasinya.

"Kamu sudah hampir sampai?" Tanyaku, meraih celahnya yang segera menghisap jariku.

"Ya.. Tapi aku kan dihukum ga boleh orgasme. Keluarin jarimu."

Aku tersenyum mendengarnya, sepertinya dia sudah bertekad untuk mendapat hukuman, jadi aku menuruti kata-katanya.

Lututku sakit karena berlutut di lantai, tapi dia melihatnya dan membantuku berdiri. Lalu kami berpakaian dan pergi makan di luar. Ga ada satu pun dari kami mengungkit apa yang terjadi sebelumnya di antara kami dan aku merasa kami sama-sama menghindari topik itu. Namun Tris kelihatan sudah ga terlalu memikirkan masalah itu.

Kami pergi keluar untuk makan malam dan menghabiskan waktu berjalan-jalan sebelum kembali ke asramanya. Sesampainya di tempat tidur, Tris memeluk tubuhku, menggosokkan kemaluannya di pahaku. Aku tahu masa hukumannya sudah selesai dan dia berusaha menagih penuntasan birahinya yang belum terpuaskan sejak sore tadi, tapi aku pura-pura ga tahu apa yang dia mau, sampai dia menghela nafas putus asa. Dia ga mau bilang terang-terangan bahwa dia butuh melepaskan rasa frustasinya.

Tapi, penisku bangkit selama dia menggosokkan tubuhnya padaku, membuka kedokku dan saat pahanya menyentuh ereksiku, dia terkekeh mengetahui itu. Tangannya terulur kebawah dan meraih penisku dari luar celana, jarinya bergerak secara ajaib di atasnya membuatnya makin mengeras. Aku menyerah dan membelai tubuhnya, memunculkan suara-suara desahan kecil akibat permainan tangannya yang menimbulkan gelitik nikmat di sepanjang batangku.

Aku sengaja menghindari sentuhan di titik-titik sensitif ditubuhnya sampai dia ga sabar dan menarik kedua tangganku ke payudara dan vaginanya. Baru setelah itu aku bergerak lebih jauh dan membelai payudaranya dengan satu tangan dan tangan yang lain menyusuri belahan di selangkangannya sampai dia mulai terkesiap dan tersentak beberapa kali. Saat vaginanya sudah sangat basah, aku berguling keatasnya dan langsung menghujamkan penisku ke vaginanya. Kakinya melingkar di punggungku saat dia mengerakkan pinggulnya berputar dan berusaha mendorong penisku lebih dalam, mendorong pinggulnya keatas dengan kuat sampai penisku terbenam sepenuhnya.

“Ngghh... penuh...”

Aku terus bergerak dan butuh waktu sedikit lebih lama dibanding biasa karena sudah orgasme tadi sore, tapi ga butuh waktu lama buat Tris mencapai orgasmenya.

“Mphh... Akhhh.... Errik.”

Pinggulnya masih bergerak-gerak untuk memperpanjang orgasmenya, awalnya gerakannya liar dan sangat intens saat dia terengah-engah, mengeram dan menjerit tertahan, lalu saat intensitasnya berkurang aku masih bisa merasakan pijatan lembut dari dinding vaginanya, dia mulai menghela nafas desah lega. Itu menjadi tanda bagiku untuk bergantian memegang kendali, jadi aku mendorong lagi dengan keras dan cepat, dan mengejar puncak kenikmatan untukku sendiri.

Aku merasa kami berdua begitu cocok saat sedang bersama, dan itu membuatku sangat bahagia. Inilah aku, pria berumur empat puluh tahun lebih, cacat karena wajahku sudah direkonstruksi dan tubuh yang tercabik-cabik oleh bekas luka, dan dia berumur pertengahan dua puluhan, cantik, indah, dan berkaki panjang. Itulah sebabnya aku ga berharap hubungan kami akan abadi atau sekedar komitmen setia darinya, aku tahu aku bukanlah bagian dari masa depannya yang masih panjang, dan itu jugalah alasan kenapa aku ga bisa memahami kenapa dia begitu merasa bersalah karena perbuatannya dengan Tommy, aku tahu komitmen ga pantas ada dalam hubungan kami.

Aku memandang wajahnya yang tampak damai di sampingku, butir keringat muncul di dahinya, matanya terpejam, di bibirnya tersungging senyum kepuasan. Dia lalu mulai bicara seolah-olah pada dirinya sendiri.

"Saat aku masih SMA, aku jatuh cinta dengan seorang teman sekelasku. Kami berhubungan seks dan aku sangat menyayanginya, tapi setelah beberapa minggu dia meninggalkanku. Dia sudah dapat apa yang dia mau, dia mengambil keperawananku. Dia menceritakan itu ke teman-temannya di sekolah. Aku merasa malu. Lalu banyak teman-temannya mulai mendekatiku. Setelah mereka semua tahu aku sudah ga perawan, aku dianggap gadis murahan. Tapi aku adalah gadis yang sedang mencari cinta, jadi setelah kencan pertama, ga ada satupun dari mereka yang kuanggap serius, aku tahu mereka hanya mengincar tubuhku. Lalu sekitar enam bulan setelahnya aku benar-benar jatuh cinta pada laki-laki lain dan hubungan itu bertahan selama beberapa minggu sampai kami berhubungan seks. Setelah itu dia meninggalkanku juga.

"Jadi saat aku baru umur sembilan belas tahun, sudah dua kali aku patah hati dicampakkan pria setelah mereka mendapatkan tubuhku. Jangan salah, aku juga menikmati seks, tapi sekali lagi aku mencari cinta. Salah satu sahabatku bilang semua laki-laki cuma ngejar satu hal, mereka cuma nyari kesenangan. Jadi kenapa seorang gadis ga boleh senang-senang juga, wanita juga berhak menikmati seks asal jangan sampai hamil karena mereka sendiri yang akan rugi. Saat itu aku mendengarkannya dan aku setuju dengannya. Laki-laki memakai wanita untuk kepuasannya sendiri, jadi kenapa wanita ga boleh melakukan yang sama. Jadi itulah kisah hidupku sampai... "

"Sampai kamu bertemu denganku?" sahutku.

"Sampai aku bertemu denganmu. Keadaanmu waktu itu membuatmu membutuhkan aku, tapi untuk hal lain dan itu bukan seks, aku senang jadi orang yang dibutuhkan mungkin karena naluri seorang perawat. Hubungan kita tumbuh tanpa seks sebagai tujuan utama. Aku kadang juga memilih pria karena penampilannya tapi utamanya selalu memastikan mereka pria yang lembut dan sopan, aku ga bisa tahan bersama pria yang sombong yang merasa bisa mendapatkan semua wanita yang mereka mau.

"Kamu memang ga tampan tapi kita bersama sudah melewati masa-masa terburuk pemulihanmu. Kita berbagi hidup kita dan secara perlahan aku mulai menyukaimu. Kali ini bukan karena penampilan macho seorang pria tapi keberanian dan tekad seorang pria yang membuatku tertarik padamu. Aku ingin menghabiskan waktuku bersamamu termasuk dalam hal seksual dan aku memakai rasa takutmu untuk keluar dari kamarmu agar punya alasan untuk melakukan yang kumau denganmu.

"Awalnya aku pikir aku yang akan memegang kendali, aku yang akan mengajarimu tentang seks. Tapi... saat pertama kali kita ngelakuin itu... aku merasa kamu begitu menghargaiku dan mencintaiku, kamu memikirkan kepuasanku juga. Kamu memberikan dirimu untukku, dan aku merespon dengan memberikan diriku untukmu juga. Jadi itu pertama kalinya aku making love, ga sekedar seks. Betul, kan?"

"Iya." jawabku

"Aku ga pernah dekat sama pria yang pernah kusetubuhi. Cuma beberapa dari mereka yang pernah lebih dari sekali. Seks mereka lumayan, tapi soal making love mereka ga bisa bikin aku puas. Aku memang dapat orgasme, tapi ada lebih banyak hal dari sekedar orgasme yang jauh lebih dalam dan intim.

"Sekarang denganmu aku sadar bahwa seks bisa menjadi alat untuk menyatakan cinta satu sama lain. Oh.. aku tahu sepertinya kita ga akan bisa bersama seumur hidup kita, tapi saat sekarang, saat ini, yang kita lakukan hanya tentang itu, tentang cinta.”

"Saat aku... pergi dengan Tommy, itu terjadi karena kebiasaan. Itu hal yang sudah kulakukan selama bertahun-tahun, mabuk dan lalu mencari pria terbaik yang bisa kutemukan untuk kupermainkan. Lalu saat dia meniduriku, aku sadar bahwa aku ga dapat apa-apa darinya bahkan orgasme. Dia berusaha bikin aku orgasme tapi gagal dan akhirnya aku harus pura-pura orgasme agar dia berhenti. Tapi aku ga bisa menghentikan rasa bersalah yang muncul."

Dia terdiam sesaat, tubuhnya menegang dan aku meremas lengannya lembut untuk menenangkannya.

"Tris, kamu ga perlu terus merasa bersalah," kataku lembut, aku sadar aku sudah mengatakan itu berulang kali padanya. "Kamu mencintaiku, dan aku tahu itu saat kamu menemaniku melewati masa-masa yang sangat suram. Kamu berbuat salah sekali? Mungkin saat itu kamu hanya rindu dengan kehidupan lamamu yang bebas sebelum terjebak bersamaku.”

"Dari lubuk hatiku aku berterima kasih atas apa pun dan semua yang sudah kamu lakukan untukku. Aku ga bisa berkomitmen padamu, kita sudah pernah ngomongin soal itu, jadi aku ga berharap kamu setia padaku. Dan sekali lagi, jangan lupakan semua perbedaan kita."

Dia memelukku dan aku merasakan air matanya membasahi dadaku.

"Kenapa kamu menangis?"

"Aku cuma merasa bahagia bersamamu, itu saja."

"Ga ada lagi perasaan bersalah?"

"Ga ada, tapi aku sudah membuat keputusan akan meninggalkan kebiasaan lamaku, aku ga akan ngelakuin seks sembarangan lagi. Kamu sudah mencukupi kebutuhanku disisi itu. Saat aku jatuh cinta sebelumnya, itu hanya pengaruh hormon puber masa remajaku, tapi cintaku untukmu, dan mungkin untuk siapapun laki-laki yang akan datang di masa depan nanti lebih terukur, ga terlalu mengebu-gebu, tapi sangat kuat. Aku lebih suka yang seperti itu."

Dan begitulah. Kami lalu tidur. Sejauh yang kuingat kami ga pernah membahas lagi tentang hubungan kami, selain sekedar bilang kami saling mencintai satu sama lain.

Minggu pagi kami dibangunkan oleh suara telepon. Itu dari Alfon.

"Maaf membangunkanmu. Aku berusaha mencarimu sejak kemarin di apartmentmu. Teman kita di Singapore sudah menemukan wanita itu. Kamu mau liburan ke Singapore hari Selasa?"

Aku ga perlu berpikir lama. Alfon bilang dia akan menyiapkan tiket dan hotel disana. "Aku ceritain detailnya di perjalanan. Besok aku kabari jam pesawatnya. Kamu besok sudah balik kesini?"

Aku mengangguk lalu sadar dia ga bisa melihatku, jadi aku menjawab ya sebelum kami menutup telepon.

Pagi itu kami ga bisa tidur lagi, jadi ya.. kami melakukan lagi sesi ‘terapi’ spesial kami. Setelah itu kami berpakaian dan berjalan ke minimarket untuk membeli roti buat sarapan. Tidak banyak hal lain yang kami lakukan hari itu selain menghabiskan waktu berdua, tidur, makan, nonton DVD, bercinta. Ga ada banyak kesempatan buat pasangan LDR seperti kami untuk punya quality time yang bagus.

Tris masuk siang selama seminggu kedepan jadi Senin pagi dia bisa mengantarku ke stasiun. Dia janji akan gantian datang ke Serpong Sabtu depan saat dia dapat libur tambahan.

Sesampainya di Jakarta aku naik taksi ke Apartment, memeriksa keadaan apartment sebentar lalu pergi ke pabrik. Widya tersenyum saat melihatku memasuki ruangan, lalu dia mempersilahkanku langsung masuk, lagipula aku pemilik tempat ini kan.

Jeffry sudah tahu aku besok akan ke Singapore dan dia memberikan kartu nama dan juga kontak Jason Thomas, klien dari Singapore yang kutemui di Surabaya.

"Mungkin bisa membantu untuk membangkitkan ingatanmu sedikit," dia menyeringai.

Dia memberiku gambaran tentang keadaan perusahaan dan aku memutuskan untuk melihat ulang beberapa kontrak yang dibuat saat aku pergi. Aku sekali lagi minta maaf karena ga bisa ada di kantor sesering yang seharusnya, tetapi dia menertawakannya.

"Kamu datang ke sini dua jam aja sudah menghasilkan banyak uang untuk perusahaan ini, Errik," katanya, "Ngomong-ngomong, Jason Thomas ini salah satu klien terbesar kita, jadi aku harap kamu punya jas yang cukup resmi saat bertemu dengannya."

“Aku punya banyak kemeja, tapi seingatku belum ada jas.”

Siang itu Jeffry mengajakku ke penjahit langganannya, tapi untuk jas tentu lebih bagus yang dijahit khusus dibanding yang langsung beli jadi, sedangkan besok aku sudah harus berangkat ke Singapore, Jadi kami memutuskan untuk membeli mantel panjang yang hampir menyerupai jas dan cukup resmi.

Setelah selesai, aku mengantarnya kembali ke pabrik dan lalu pulang ke apartment. Alfon menelepon lagi memberitahu jadwal penerbangan dan juga dia bilang sudah menyiapkan passportku. Dia telah memesan sebuah hotel di pusat kota karena kami belum tahu kapan dan dimana akan bisa menemui wanita itu. Aku juga bilang padanya kalau aku berencana menemui rekan bisnis setelah urusan wanita itu selesai.

Aku menyiapkan tas dan tidur lebih awal.

Aku bangun jam tujuh, jadi aku sempat mandi dan sarapan sebelum Alfon datang menjemputku naik taksi. Penerbangan berjalan lancar dan kami tiba mendarat di Singapore sekitar jam 2 siang. Kami makan siang di bandara, lalu memilih naik bus menuju ke pusat kota agar kami bisa dapat tempat duduk. Di perjalanan aku tertarik bukan pada gedung-gedung pencakar langit yang menghiasi di kanan dan kiri, tapi pada perasaan familier yang muncul karenanya. Entah sudah berapa kali aku pergi ke negara ini sebelumnya, atau mungkin malah aku pernah tinggal disini menginggat keluargaku berasal dari sini.

Bus mungkin pilihan yang bagus agar mendapat tempat duduk, tapi lalu lintas yang macet membuat perjalanan menjadi sangat lambat. Kami sampai di hotel sudah hampir gelap tapi untungnya hotel terasa nyaman dan staf mereka sangat ramah dan penuh perhatian, dan resepsionisnya sangat cantik. Dia berwajah campuran melayu dan china, kulitnya putih, dia juga punya mata yang sangat indah. Wajahnya seakan meminta untuk ditatap dengan rasa kagum dan itu kami lakukan dengan patuh.

Dia jelas sudah terbiasa dengan tatapan semacam itu dan tersenyum manis saat dia melayani proses check in kami dalam suara yang mendayu-dayu. Dia ga bereaksi sedikitpun pada penampilanku yang membuatnya makin istimewa di pikiranku.

Dia berbalik dan bicara dengan wanita lain di belakang meja dan saat dia berbalik, aku berterima kasih padanya dan bertanya di mana liftnya.

"Turn left along that corridor and you'll find it on your left."

"Thank you."

"Well," katanya, "If there's anything you need, ask for Agnes."

"That’s my daughter’s name."

"Oh, you have a wife and family?"

"A family and an ex-wife." Kataku membetulkan

"I'm sorry. Anything you want, anything, just ask." Dia tersenyum lalu aku berbalik dan berjalan ke arah lift bersama Alfon disampingku.

"Sepertinya kamu dapat jackpot," dia tertawa. "Pas dia bilang kalau kamu butuh apapun, itu artinya apapun juga. Aku bisa lihat dari ekspresi dan nada suaranya."

"Patricia," kataku dengan serius, menatapnya tajam.

"Noted," tapi dia tertawa lagi, "Aku cuma merasa kalau gadis secantik itu sangat langka, kesempatan sekali seumur hidup."

"Gadis seperti Tris jauh lebih langka," jawabku dengan nada lebih ringan. "Dia lebih dari cukup buatku."

Alfon tersenyum disampingku, "Itu yang kami bertiga maksud tentangmu saat kita ketemu di cafe. Kamu bukan tipe pria yang akan selingkuh. Kamu adalah tipe pria yang setia. Aku masih merasa ga mungkin kamu melakukan hal semacam itu."

Lalu dia menambahkan lagi, “Ngomong-ngomong, apa kamu sadar tadi kamu bicara dalam bahasa Inggris yang lancar dengannya?”

Aku berhenti dengan bingung dan lalu berjalan mengikutinya.

Kami sampai di kamar dan kami membuat rencana untuk besok pagi. Teman detektif kami, Tony Ling, sudah menanyakan apa besok kami bisa menemui Emma, wanita yang kami cari, karena rupanya dia sudah mengajukan cuti besok. Alfon mengiyakan dan kami janjian ketemu di lobby hotel jam 10.30.

Setelah itu kami memesan makan malam untuk diantarkan ke kamar dan sambil makan kami membahas rencana untuk pertemuan besok.

"Menurutmu sebaiknya sebaiknya kita mulai darimana?" tanya Alfon.

"Aduh, kamu yang pengacara. Bukannya kamu sudah terbiasa dalam hal semacam ini."

"Oke," kata Alfon tegas. "Kita bisa tanya apa yang dia ingat tentang hari itu dan mulai dari sana."

"Kita harus hati-hati, mungkin saja dia salah satu anggota komplotan yang bertanggung jawab atas penganiayaanku."

"Aku yakin dia ga akan mengenalimu, jadi, kita kasih kesempatan dia cerita, lalu kita tanya dengan hati-hati. Kita dengarkan cerita dari versinya. Kita harus tunggu memperkenalkan identitasmu sampai kita tahu lebih jelas."

Setelah sarapan pagi keesokan harinya, aku berjalan-jalan di sekitar hotel, berdiri di tengah arus manusia yang berjalan mungkin menuju ke kantor mereka masing-masing. Menjelang siang aku kembali ke kamar dan kulihat Alfon sudah siap dengan membawa kertas, bolpoin dan perekam.

"Kita ga akan perlu ini kalau dia kooperatif," katanya. "Pernyataan apa pun yang dia buat di atas kertas bisa berguna nantinya."

Kami turun ke lobi dan menunggu di salah satu meja yang tersedia di sudut lobby, beberapa saat kemudian wanita yang kulihat ada di foto memasuki pintu hotel. Alfon juga melihatnya dan berdiri untuk menemuinya, mengajaknya untuk bergabung di meja kami. Belakangan kami tahu dia cukup fasih berbahasa Indonesia.

"Nyonya Emma, kalau anda ga keberatan, untuk sementara ini saya ga akan memperkenalkan teman saya ini. Nanti kami akan beritahu alasannya. Mohon dapat dimaklumi."

"Ya, No problem. Well, apa yang bisa saya bantu?"

"Ini tentang penyelidikan orang hilang. Saya adalah pengacara pria yang hilang itu dan aku harus mengumpulkan sebanyak mungkin informasi untuk kasus pengadilan. Anda terlihat berada di Surabaya pada akhir Agustus tahun 2011 yang lalu?"

"Ya, saya kebetulan ada event di sana Agustus."

"Saya punya foto dari rekaman CCTV yang memperlihatkan anda bertemu dengan seseorang. Bisa tolong ceritakan tentang dia?" Alfon menunjukkan foto itu padanya.

"Oh!" serunya.

"Anda ingat dia?"

"Ya, saya ingat dia, karena dia buat marah. Dia bilang dia akan call tapi sampai sekarang nothing. Saya coba call ponselnya setelah satu atau dua minggu, tapi nomor itu not active."

"Bisa tolong ceritakan lebih lengkap? Itu akan sangat membantu kami, dan bolehkah saya merekam pembicaraan ini?"

Dia mengangguk dan mulai bercerita. "Kami sudah ada di Surabaya selama satu minggu untuk holiday. Ya, half holiday, karena Alfred, suami saya, juga ada urusan pekerjaan disana. Waktu itu Alfred harus ketemu kliennya selama satu jam, so saya yang urus check out hotel.

"Errik, laki-laki di foto itu, dengar saya sebutkan nama dan spell it di meja resepsionis, lalu dia say hi dan tanya, apa saya berasal dari Singapore, dan apa benar nama belakang saya Riccardson? Tentu saja karena Riccardson adalah nama belakangku sebelum menikah, dan setelah kami ngobrol, kami tahu bahwa kami ternyata adalah se.. cousin, ya sepupu. Kami berdua sedang check out dari hotel, so setelah itu kami pergi bareng untuk coffee. Foto itu saat kami baru saja ketemu.

"Dia penasaran why keluarga kami lost contact satu sama lain, and saya ceritakan padanya sejarah sedih kedua kakek kami yang berselisih pendapat, mereka adik kakak.

"Dan, suddenly saya ingat saya harus pergi ke station atau akan ketinggalan train. Alfred belum datang. Errik meminjamkan ponselnya untuk call Alfred. Dia, Alfred, suruh saya langsung ke station. dan kami akan ketemu di sana.

"Errik bilang dia akan pergi ke station juga, jadi kami pergi. Lalu saya baru ingat, Alfred yang pegang Credit Card, so i tidak bisa beli train ticket ke Malang. Errik baik sekali dan dia tawarkan untuk pakai Credit Card dia beli tiket untuk kami.

"So I hug him to say thank you, itu next foto. Lalu kami naik taksi ke station dan dia bayar ticket I dan Alfred. I.. Saya minta dia call or text me, kasih alamat kami and email. Dia janji akan keep contact.

"Last minute Alfred baru datang dan kami cepat-cepat naik ke kereta. Kereta sudah pergi saat saya ingat belum ganti biaya tiket, till now. Saya ga punya kontak lain other than nomor yang ga pernah aktif."

"Nah, Nyonya Emma.."

"Please, call me Emma."

"Nah Emma, Errik-lah yang sedang kami cari. Sebenarnya setelah foto-foto itu ga ada kabar lagi tentang dia. Dia menghilang begitu saja."

Dia memucat dan tangannya terangkat untuk menutupi mulutnya. Alfon buru-buru menenangkannya.

"Tidak apa-apa, Emma, dia sudah ditemukan, tapi aku takut kamu akan kaget. Dia ditemukan dipukuli dengan brutal di Kota Semarang beberapa jam setelahnya."

Emma tiba-tiba menatapku, "Errik?" dia bertanya dengan gemetar.

"Ya, Emma, ini aku. Seperti yang bisa kamu lihat, mereka membuatku seperti ini. Ceritanya panjang. Perjalanannya panjang sampai ke titik kita bisa bertemu sekarang, dan I’m sorry i can’t remember you or anything that happen that day. Itulah yang sedang kami coba lakukan, mengumpulkan cerita dan kemungkinan tentang apa yang sudah terjadi padaku. Foto-foto itu dipakai oleh istriku untuk menceraikanku. Dia menganggap kita adalah kekasih gelap dan akan pergi bersama."

Emma terlihat semakin terkejut.

"Alfon," kataku mendesak. "Tolong, pesankan minuman untuk kita. Emma sepertinya butuh sesuatu untuk menenangkannya."

"Kopi." dia buru-buru berkata. "Aku bawa mobil dan ga ingin minum alkohol, hukumnya ketat disini."

Alfon memesan tiga kopi dan kami minum dalam diam untuk beberapa saat. Lalu Emma kelihatan sudah lebih tenang.

"Istrimu harus diberi tahu. Apa kamu mau aku bicara dengannya?"

"Sudah terlambat untuk itu, Emma," kataku datar. "Dia sudah merencanakan pernikahan dengan orang lain. Aku ga mau mengacaukan hidupnya lagi."

"But, you not. Bukan kamu yang mengacaukan hidupnya."

"Dia sedang menyusun kehidupan baru. Dia pria yang baik dari apa yang kutahu tentang dia. Aku ga mau membuat masalah untuk mereka."

Dia berpikir sejenak, lalu, "Eh, Kalian dua orang harus datang ke rumahku dan makan malam dengan kami, lah." Dia tersenyum lebar. "Kami bisa bayar biaya tiket kereta waktu itu."

Dia ga mau menerima penolakan dan kami diajak ke rumahnya, di mana kami menghabiskan waktu sampai Alfred pulang kerja. Sebagian besar waktu digunakan oleh Alfon untuk mengetik pernyataan Emma dan membuatnya sebagai pernyataan tertulis. Cerita dari sisi Alfred juga direkam dan diperlakukan dengan cara yang sama.

Setelah itu sudah pasti mereka harus mendengar seluruh kisah hidupku setelah peristiwa itu. Aku sudah semakin lancar menceritakannya. Mereka senang aku bertemu Tris, tapi menyesal karena tampaknya hubungan itu ga akan bertahan selamanya.

Sebagai balasannya Emma menceritakan sejarah keluarga, sampai pada akhirnya kisah tentang kakek kami masing-masing.

Ternyata dulu kakekku bertunangan dengan seorang gadis dan mengajak gadis itu tinggal di rumah keluarga kakek. Suatu ketika dia harus pergi karena urusan bisnis perusahaan keluarga dan saat dia kembali beberapa minggu kemudian, dia mendapati kakaknya, kakek Emma, sudah menghamili tunangannya bahkan menikahinya. Mereka ga pernah bicara lagi satu sama lain. Kakekku lalu meninggalkan Singapore untuk selamanya. Dia berkelana ke Jakarta, menikah dan mempunyai seorang putra, ayahku, anak satu-satunya. Kedua pihak keluarga kehilangan kontak satu sama lain sejak saat itu.

Emma menceritakan saat ayahku baru mulai kuliah, dia datang ke Singapore dan berusaha mencari dan memperbaiki hubungan dengan keluarga kakek Emma. Dalam proses itulah dia bertemu dengan ibuku, dan setelah pacaran singkat selama dua minggu, dia kembali ke Indonesia mengajak ibuku. Tapi mereka berdua rutin pergi ke Singapore bahkan mengajakku saat aku masih kecil untuk mengujungi keluarga di Singapore, tapi setelah mereka berdua meninggal aku kehilangan kontak dengan keluarga di Singapore.

Kami pamit pada Emma dan Alfred dengan janji untuk tetap saling berhubungan. Aku juga janji untuk ga dipukuli lagi dalam perjalanan pulang, dan kali kami saling tukar menukar kontak agar ga lagi kehilangan hubungan keluarga.

Kami ga ingin merepotkan mereka lebih lama, jadi kami memilih balik ke hotel naik taksi. Karena waktu masih menunjukkan pukul 9 malam, kami mampir ke bar di lantai 3 hotel, mendiskusikan hasil temuan kami hari ini.

Aku dan Alfon sepakat bahwa cerita dari Emma dan Alfred telah memecahkan satu misteri. Emma, gadis yang ada dalam foto bukanlah anggota komplotan orang-orang yang menganiayaku. Ada komplotan yang menggunakan gadis cantik sebagai umpan untuk menjerat laki-laki yang jadi sasaran mereka, tapi dalam kasusku bukan itu yang terjadi, dan itu juga berarti aku ga pernah selingkuh dengan wanita lain. Tapi di sisi lain itu berarti kami ga punya petunjuk baru terkait dengan peristiwa pemukulanku itu sendiri. Kami belum bisa menemukan alasan, motif atau apapun selain perampokan acak, sampai pada kenyataan kenapa aku yang bisa secara misterius sampai ditemukan di tempat pembuangan sampah di Semarang, diturunkan dari mobil merah yang juga masih misterius.

"Ada hal lain lagi, "kata Alfon sambil menyesap birnya." Foto-foto dari rekaman CCTV ini ga satupun yang menampilkan Alfred baik di hotel ataupun di stasiun. Kenapa ga? Setidaknya di stasiun dia pasti berjalan menghampiri kalian sebelum naik ke kereta. Mengapa Boy Rolan ga menangkap moment itu?"

"Kalau dipikir-pikir," aku merenung, "Boy seharusnya akan mencari gambar dari CCTV hotel terlebih dulu, dan saat itu Alfred pasti sudah pergi. Jadi, dia ga akan mencari orang ketiga selain aku dan Emma. Dia akan berhenti mencari begitu dia menemukan kami di tempat pembelian tiket, dan Alfred, dari apa yang dia bilang, hanya sebentar menemui kami sebentar di sana sebelum mereka berlari mengejar kereta yang hampir berangkat.

"CCTV bisa saja sama sekali ga menangkap gambarnya. Hasan bilang CCTV di stasiun masih tipe lama yang hanya merekam gambar berupa foto setiap beberapa detik dan bukan berupa video seperti CCTV jenis baru. Sayang sekali. Itu akan membuat segalanya lebih jelas bagi Hadi dan Ana kalau Alfred terlihat bersama kami, dan berjabat tangan denganku. Ana mungkin masih akan menunggu kabar, dia mungkin akan mencariku lebih keras, bahkan menemukanku."

"Sepertinya ga juga. Menurutku ga ada peluang dia menemukanmu di Semarang. Jangan lupa kamu ga punya identitas saat ditemukan dan wajahmu ga bisa dikenali."

Aku harus setuju pada pendapatnya. Jadi kami harus puas dengan temuan yang kami punya sekarang ini.

Keesokan harinya sebelum kami pulang ke Indonesia, kami menemui Jason Thomas, klien yang bertemu denganku di Surabaya. Kami mendatangi kantornya, tapi selain kaget dan simpati pada kondisiku, dia ga bisa membantu apa-pun. Dia sudah check out dari hotel lebih awal hari itu, dan juga ga menemuiku lagi karena dia pergi pagi-pagi sekali. Dia bisa menjadi saksi bahwa aku ga pernah menemui wanita mana pun saat berada di hotel. Jadi setidaknya sekarang aku punya tiga saksi berbeda yang setuju bahwa aku setia kepada Ana sepanjang waktu.

Itu ga banyak berguna dalam proses perceraian. Jika aku menemui Ana dan Hadi pada tahap ini, ada banyak kemungkinan reaksinya pada diriku yang baru, dan keharusan dia memilih Hadi atau aku. Aku sudah memikirkan itu berulang kali, dan sejauh ini aku yakin itu ga akan berhasil menyelamatkan pernikahanku. Perceraian tetap akan terjadi. Sial, aku bahkan belum bertemu dengan Ana sampai sekarang.

Aku menyampaikan pikiranku itu pada Alfon dan dia bergumam bahwa sudah waktunya aku bertemu dengan wanita yang sudah kurelakan pergi.

Jadi hari Kamis kami pulang dengan membawa tiga surat pernyataan tertulis dan banyak pengetahuan tentang keluargaku di Singapore yang ga pernah aku ketahui sebelumnya, jadi perjalanan kami kesana ga terlalu sia-sia.



Bersambung... Chapter VIII
 
Terakhir diubah:
Makasih updatenya

Ada sedikkt info dari keluarga Erik dan Emma. Belum cukup tapi setidaknya itu membuktikan Erik tidak selingkuh.

Jadi apa next update Erik dan Ana bakal bertemu? Bagaimana respon Ana ya

Ditunggu kelanjutannya
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd