Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Pulang

XXIV. Tamu


Jumat pagi aku tiba di kantor yang kosong. Dimana Jenni? Apa dia sudah mengundurkan diri karena hubungan kami berakhir? Aku menelepon Widya dan menanyakan soal Jenni.

"Dia ada acara keluarga terkait kematian pamannya, dan hari ini ga akan datang ke kantor. Apa dia belum bilang?"

Lalu aku ingat. Dia memang sudah bilang sebelumnya. Dalam arti tertentu, itu bikin lega. Itu menunda percobaan apa kami masih bisa kerja sama dalam kondisi baru ini.

Pikiran tentang kemungkinan masalah yang akan kami hadapi tersingkir sejenak karena suara telepon.

"Pak Errik," sepertinya salah satu resepsionis baru yang meneleponku "Ada Pak Hadi yang datang dan ingin ketemu Bapak."

Tak terduga adalah deskripsi ringan dari kejadian ini.

"Aku sekarang sedang rapat, tapi akan selesai sebentar lagi, tanyakan padanya apa dia mau menunggu."

Dia mau.

Aku pergi menemui Jeffry. Dia ikut denganku dan dia akan pura-pura kerja di meja Jenni. Kami ga sempat membahas kenapa Hadi datang untuk menemui orang yang coba dia bunuh.

"Suruh dia masuk," kataku pada resepsianis tadi, dan ga lama kemudian ada ketukan di pintu, dan laki-laki yang belum pernah kutemui lagi sejak acara pesta ikatan pengusaha memasuki ruangan. Aku menyalakan alat perekamku.

"Errik," katanya serius dengan tangan terulur. Aku ga bereaksi, dan tetap duduk. Dia melirik Jeffry, lalu kembali memandang padaku, menurunkan tangannya yang tidak mendapat sambutan.

"Duduklah Hadi," kataku cepat, "Apa yang kamu mau?"

Dia mulai kelihatan gelisah, yang aku anggap sebagai rasa bersalah tapi ucapan pembuka membuktikan sebaliknya.

"Aku akan langsung ke intinya," dia memulai. "Meskipun aku senang kamu sudah pulih dari luka-lukamu, kamu harus sadar bahwa Ana sudah move on. Kamu juga sudah punya hubungan dengan orang lain, tapi sepertinya kamu berusaha menahan Ana jauh dariku dengan menyebarkan kebohongan dan fitnah tentang aku.

"Jadi aku minta kamu untuk bilang padanya bahwa aku ga pernah melakukan apa-apa padamu, biarkan dia pergi dan kembali padaku. Dia sudah bahagia sampai kamu kembali lagi dan dia merasa bahwa kamu akan mengajaknya untuk kembali bersamamu."

"Tunggu sebentar Hadi," aku menyela. "Aku ga pernah menahan dia, dan aku belum pernah membuat pernyataan apapun ke polisi soal keterlibatanmu dalam kasusku."

"Aku tahu kamu bohong," katanya dengan keras. "Kamu, Hasan dan Alfon, kalian semua sudah menyatakan bahwa aku yang menyebabkan 'kecelakaan' kamu.

"Silahkan membuat kesimpulan seperti itu kalau kamu mau, Hadi, tapi itu salah."

"Tapi kamu yakin aku bersalah."

"Oh ya, Hadi, aku yakin, tapi itu masih jauh dari memberitahu orang lain tentang apa yang kucurigai. Ana meminta bukti karena ga ada yang memberitahunya sebelumnya. Dan aku memberinya bukti, cuma itu saja."

"Ga ada bukti, kamu tahu itu. Itu cuma dugaan."

"Aku ga akan berdebat denganmu Hadi, itu akan diputuskan oleh pengadilan. Jadi, apa yang kamu mau dengan datang kesini?"

"Ana cuma merasa kasihan padamu dan dia merasa bersalah karena dia ga mencarimu lebih keras. Itu bukan bentuk cinta padamu, karena dia jelas mencintaiku. Dia terus kembali kepadaku laki-laki yang jauh lebih baik darimu, tapi rasa bersalah dan kasihannya padamu membuatnya kembali padamu.

"Dia ada di tempat tidurku dua kali minggu lalu saat kamu pergi bersama anak-anak. Kamu ga tahu itu kan? Dia kembali padamu cuma karena ingin menebus kesalahannya yang kamu anggap sebagai kelemahan pada kesetiaannya. Aku ingin kamu memintanya meninggalkanmu dan kembali padaku. Cepat atau lambat dia akan melakukan itu, dia membutuhkan perhatian dan kasih sayang dariku."

"Sejujurnya aku ga tahu apa yang Ana rasakan," sergahku. "Aku belum bertanya padanya. Yang dia bilang padaku hanyalah dia ingin kembali padaku. Dia ingin mengulang apa yang kami punya sebelum aku menghilang. Kalau dia merasa kasihan, itu adalah kasihan padamu."

Mendengar ini wajahnya berubah pucat dan dia melompat berdiri. "Itu hanya satu lagi dusta darimu, Errik. Kamu mau tahu sesuatu? Dia menginginkan aku, dia lebih memilih aku, sebelum kamu menghilang. Kami sering bertemu berdua selama berbulan-bulan sebelum kamu hilang. Dia selalu bilang bahwa aku punya lebih banyak hal untuk ditawarkan di tempat tidur daripada yang pernah kamu berikan. Jadi kamu kalah di sana. Aku mencintainya dan dia hanya akan benar-benar bahagia bersamaku."

Dia berbalik dan berjalan menuju ke pintu keluar.

"Jadi, kamu selingkuh dengannya sebelum merencanakan kematianku?" Kataku dengan pelan. Dia berhenti, dan berbalik.

"Ya, kasihan kamu. Kamu sama sekali ga sadar. Dia dapat semua kepuasan seksualnya dari aku, sementara dia mendapatkan biaya hidupnya darimu. Itu sudah sering terjadi."

"Terima kasih Hadi. Itu membantu aku memastikan hal lain yang aku curigai. Jadi, kamu bilang dia sudah membohongiku."

"Masalah Ana adalah dia ingin menyenangkan semua orang, tapi itu ga bisa dilakukan, dan aku yakin aku bukan yang pertama kali melakukannya."

"Jadi kenapa kamu butuh satu setengah tahun untuk membuatnya mau tinggal denganmu?"

"Dia ga mau merusak posisinya seandainya kamu kembali. Dia masih butuh uang darimu."

"Jadi karena itu kamu membuat surat palsu itu?"

"Ya. Dia butuh dorongan. Itu sudah cukup baginya. Dia juga senang dia akhirnya bisa bersamaku, kami adalah keluarga yang bahagia sampai kamu datang lagi."

"Oke, Hadi," kataku, mengakhiri pertemuan, "Sebaiknya aku ga menahanmu terlalu lama disini. Ngomong-ngomong, ga ada gunanya juga kalau sekarang dia kembali padamu, kamu ga akan terlalu lama bisa mendampinginya, kan? Aku yakin polosi akan memberitahumu dalam waktu dekat."

"Brengsek!" dia menggeram dan pergi.

Aku mematikan alat perekam dan memindahkan isinya ke laptopku. Aku menoleh ke arah Jeffry yang sedang menatapku dan kami berdua mengangkat bahu. Dia kembali ke kantornya tanpa bilang apa-apa.

Malamnya aku bertemu dengan ketiga sahabatku dan kami ngobrol menghabiskan malam. Jimmy sama sekali ga menyebutkan bahwa aku sudah meminta dia mengawasi Ana, aku juga ga menyebutkan kedatangan dan pembicaraanku dengan Hadi dan untungnya topik bahasan kami hari itu tentang politik, olahraga dan keuangan. Alfon memberiku alamat dan nomor telepon Linda saat kami pulang dan Hasan mengantarku pulang. Dia bilang belum ada kabar baru soal kasus dari pengadilan.

Saat aku sampai di apartment, aku memeriksa ramalan cuaca dan menemukan bahwa besok akan berawan, mendung tapi diperkirakan ga sampai hujan. Karena hari ini aku ga datang ke rumah, aku menelepon Ana dan tanya ada kabar apa tentang anak-anak. Dia bilang besok sore Leo akan pergi ke pesta, dan Stefan diajak pergi oleh teman sekolah dan keluarganya seharian. Agnes juga akan pergi dengan temannya. Ana sendiri sudah janjian untuk pergi belanja dengan Vivi sore harinya.

Aku bilang padanya aku akan tetap datang kesana sekitar jam makan siang, dan besoknya begitu aku sampai di rumah, aku langsung bergegas menuju ke taman, yang jelas butuh perhatian. Sore itu aku menghabiskan waktu yang indah diluar ruangan dan aku pulang sebelum Ana pulang dari belanja.

Malamnya aku makan di salah satu cafe dekat apartment. Aku pulang lebih larut dari yang aku rencanakan, karena ternyata malam itu ada band jazz yang mengisi slot live music di sana dan aku memutuskan untuk mendengarkan sebelum pulang. Sesampainya di apartment aku minum whisky lagi dan tertidur lelap setelahnya.

Minggu pagi aku kesiangan dan terbangun karena dering telepon. Dari Susan, istri Jeffry. Sepertinya aku lupa bahwa hari ini mereka mengundangku makan siang di rumah mereka. Aku minta maaf, dan bilang padanya bahwa aku ketiduran, dan akan segera berangkat ke sana. Dia tertawa dan bilang padaku bahwa aku masih punya waktu dua jam sebelum waktunya makan siang, dia cuma memastikan aku ga lupa rencana itu. Aku bilang padanya untung dia menelepon karena karena kalau ga aku akan melewatkan kebaikan mereka yang sudah mengundangku. Di memastikan lagi bahwa aku mengingat rumah mereka dan ga akan nyasar.

Dua jam kemudian, dia menyambutku di depan pintu rumah mereka yang indah, memelukku dan bertanya "Apa kamu baik-baik saja?"

"Kamu sudah dengar?"

"Sudah. Apa kamu baik-baik saja?"

"Susan, aku sudah tahu ini akan terjadi sejak awal. Dia akan lebih baik bersama Adrian. Dia adalah laki-laki yang dibutuhkan oleh Jenni."

"Tapi sekarang kamu sudah kehilangan dua..." di sini dia kehilangan kata-kata yang tepat.

"Wanita?" Aku berusaha tertawa. Dia tersipu dan mengangguk lalu wajahnya mendadak serius.

"Jangan bicara soal pekerjaan selama ada aku, aku juga sudah bilang begitu ke Jeffry," dia mengingatkanku.

Aku mengangguk dengan patuh. Lalu dia mengajakku masuk!

Hari itu sinar matahari masih tertutup mendung seperti kemarin, suasana cukup teduh jadi aku memilih menunggu di teras bersama Jeffry menikmati taman sambil ngobrol bebas, selain soal pekerjaan.

Akhirnya kami dipanggil saat makan siang sudah siap, kedua putra dan putri Jeffry yang sudah remaja kali ini muncul untuk makan bersama dan membuatku merasa disambut, keduanya cerewet dan lucu, sebelum menghilang ke kamar mereka sendiri setelah selesai makan.

Kami duduk di ruang tamu setelah makan, aku di kursi berlengan, dan mereka berdua di sofa panjang. Pembicaraan kami seru dan ada banyak tawa. Susan memutar musik pelan dan kami rileks dan menikmati suasananya. Suasana yang damai, sampai akhirnya Susan memecah keheningan, merusak kedamaian dan juga membalik suasana relaks jadi tegang.

"Jadi, Errik, bagaimana kabarnya?" tanyanya, jelas sedang memancing.

Aku menegang, mencoba merasakan ke mana arah pembicaraan itu.

"Baik."

"Sering ketemu dengan Ana dan anak-anak?"

Sekarang aku tahu ke mana arahnya.

"Susan, tolong jangan pergi ke arah situ."

Dia tampak kaget, "Arah mana?"

"Jangan pura-pura ga tahu. Kamu tahu betul apa yang kumaksud."

Jeffry menegakkan duduknya dan mencoba memberi isyarat pada istrinya dengan beberapa gerakan tangan bahwa topik itu adalah wilayah terlarang.

Aku melanjutkan, "Kamu bilang ga boleh membicarakan pekerjaan. Nah, bagi kalian para wanita, hubunganku dengan Ana sepertinya jadi pekerjaan besar untuk kalian. Jadi, tolong jangan mulai membahas soal itu, oke?"

"Maaf," katanya, dan memang dia terlihat menyesal, "Hanya saja--"

"Oke," aku memotong, "Satu pernyataan dariku. Aku ikut senang untuk Jenni. Aku merasa senang dengan pilihannya. Sekarang aku single dan aku butuh waktu untuk diriku sendiri. Aku marah karena Ana dan Vivi bersekongkol untuk memisahkan Jenni dariku jadi aku akan bisa kembali ke Ana. Aku sangat ga suka itu dan aku harap kamu ga ikut terlibat dalam hal itu. Ga ada peluang sama sekali bahwa setelah pengkhianatan itu aku akan mempertimbangkan untuk menjalin hubungan dengan Ana, dan aku menemukan bukti bahwa hubunganku dengan Ana dulu ga sesempurna yang selama ini aku yakini. Puas sekarang? "

Dia mundur, dan Jeffry kelihatan ga nyaman.

"Bagaimana itu akan mempengaruhi hubunganmu dengan Jenni di kantor?" dia bertanya dengan ragu-ragu. Aku merasa dia berusaha mengalihkan pembicaraan dari Ana.

"Kita cuma bisa menunggu dan melihat. Dari sisiku aku ga punya masalah dengan itu, tapi aku ga tahu bagaimana dia akan menghadapinya."

"Oke, kedengarannya masuk akal," katanya. Pengalihan itu tepat waktu, dan sekarang aku tahu dia mengalihkan perhatianku dari Susan. Dia sedang mencoba menjadi suami yang diplomatis dan disaat yang sama melindungi istrinya dari kejengkelanku. Aku kagum padanya karena itu, dan menganggap itu sebagai isyarat dari Jeffry agar kami mengubah topik pembicaraan.

Jam empat lebih, aku beranjak untuk pulang karena aku ada janji ketemu dengan Ana di apartmentku. Di pintu keluar, Jeffry mengucapkan salam perpisahan dan masuk lebih dulu kedalam rumah, meninggalkan aku sendiri dengan Susan.

"Errik," kata Susan, "Aku minta maaf soal tadi. Aku tahu itu aku bikin kesalahan. Aku sudah tahu tentang rencana mereka untuk Jenni tapi ga cerita apa-apa ke Jeffry karena aku tahu dia akan memberitahumu. Aku menyesal, tolong maafkan aku."

Aku merentangkan tanganku dan dia maju mendekatiku, memelukku dan mengangkat wajahnya untuk mencium pipiku.

"Sudah dimaafkan dan dilupakan," kataku sambil membalas pelukannya sebentar.

Dipeluk dan dicium oleh wanita cantik punya efek secara fisik dan aku melepaskan diri dengan lembut dengan senyuman sebelum dia dapat merasakan reaksi tubuhku. Tapi sepertinya sedikit terlambat, senyum penuh pengertian di wajahnya membuktikan itu.

"Senang bisa tahu aku masih dianggap menarik bagi laki-laki!" dia berbisik.

"Ayolah Susan, kamu tahu kamu selalu menarik!" Kataku lalu berbalik untuk pergi ke mobil.

"Kamu tahu kamu bisa datang kapan saja kesini, mampirlah untuk ngobrol sesekali," katanya saat aku sudah sampai di mobil. Dia berdiri di bawah kusen pintu, cahaya dari dalam rumah membingkainya. Aku bilang aku pasti akan mampir kapan-kapan, lalu sengaja menggodanya dengan menatapnya dari atas ke bawah dengan mesum. Dia berbalik dengan lambaian tangan yang seolah berkata 'Dasar, Laki-laki!' dan senyum lebar lalu masuk ke dalam.

Aku pulang dengan perasaaan yang lebih ringan, tapi saat aku semakin dekat ke tujuan dan akan bertemu dengan Ana, perasaan enteng itu menghilang, dan kebingungan muncul kembali. Aku ga terlalu semangat ketemu dengan Ana lagi.

Aku punya waktu kurang lebih dua jam sebelum Ana datang. Aku ganti baju dan celana lalu sedikit membereskan apartment. Aku sudah lama ga bersih-bersih, dan terus terang tempat itu kelihatan lumayan berantakan. Tapi pada akhirnya aku sadar bahwa aku bersih-bersih karena aku sedang merasa gelisah dan gugup. Untuk alasan yang sama aku ga ingin makan apa pun, meskipun aku menyiapkan setoples kacang mete, yang menurut Susan disukai Ana.

Aku baru saja selesai saat kudengar ketukan di pintu.

Tiba-tiba aku merasa, lihat penampilanku, aku terlihat begitu berantakan. Lalu disusul oleh pikiran, kenapa aku harus merasa begitu?

Aku mengangkat bahu bingung dan bergegas ke pintu. Saat aku membukanya, aku sadar kenapa aku tadi sempat bingung dan khawatir. Apa itu sesuatu yang berasal dari ingatanku saat aku datang ke rumah, atau mungkin dari ingatan sebelumnya kejadian itu?

Ana terlihat sangat menakjubkan. Ga ada kata lain untuk mengambarkannya. Reaksi pertamaku adalah apa dia sengaja tampil seperti ini sebagai bagian dari taktiknya agar aku luluh, atau sebagai rayuan? Itu adalah reaksi sinis di pikiranku dan aku sadar itu. Seolah-olah setiap ujung sarafku sudah terbiasa. Aku kenal perasaan itu, perasaan itu sama dengan yang aku rasakan saat aku sedang negosiasi dengan seorang customer.

Dia memakai setelah hijau yang menawan, jaket warna hijau muda berpotongan rapi, dan rok yang tingginya beberapa centimeter di atas lutut. Di balik jaket ada blus ringan dengan warna hijau yang lebih muda dengan aksen bunga besar warna merah muda di atasnya. Kancingnya terbuka sampai ke titik tepat di atas bra-nya seharusnya ada. Dia ga pakai celana ketat atau stoking, dan ada sepasang sandal dengan hak setinggi lima centimenter. Rambutnya dipotong model feather cut, lurus rapi di atas membentuk kepalanya dan bertumpuk-tumpuk tergerai di bagian bawah, make upnya sederhana tapi tampak sempurna. Ini adalah gaya berpakaian yang bertujuan untuk menarik perhatian tanpa terlihat seksi, sambil menegaskan bahwa di sini ada seorang wanita yang sangat cantik.

Semua penilaian itu terjadi dalam sekejap, aku membuka pintu lebar-lebar dan dia masuk, berhenti didepanku lalu meletakkan tangan di bahuku dan mencium pipiku, diikuti dengan senyuman.

"Halo, Ana," kataku, penasaran kenapa dia tampil sangat percaya diri.

Dia berjalan ke area ruang tamu. "Aku boleh duduk disini?" dia bertanya.

Aku menunjuk ke sofa panjang dan aku sendiri duduk di kursi lain.

Kami duduk sejenak saling memandang.

"Jadi?" Aku memulai. Aku sebenarnya ga tahu harus mulai dari mana, tapi kami harus mulai bicara ga cuma saling pandang, dan dialah yang berdandan untuk pertemuan ini, jadi dia bisa mulai menyampaikan apa yang dia tawarkan.

Dia duduk diam cukup lama, seolah ga yakin bagaimana harus memulai, tapi saat dia akhirnya bicara, dia tenang, dan dia menatap mataku selama dia bicara.

"Errik, bisakah kamu janji bahwa ga peduli seberapapun buruk pembicaraan kita nanti, kita akan terus ketemu dan bicara, sampai kita sama-sama sepakat pada kesimpulan yang kita ambil?"

Aku sudah memikirkan itu. Kami berdua bersama-sama sebagai orang tua dari tiga orang anak, dan harus terus bekerja sama untuk membesarkan mereka. Jadi aku bilang padanya soal sudut pandangku itu, dan betapa pentingnya itu lalu kami berjanji akan terus ketemu apapun yang terjadi dalam pembicaraan kami. Dia tersenyum tipis dan wajahnya jadi lebih cantik.

"Baiklah, aku mulai.” Katanya, “Aku mencintaimu selama bertahun-tahun sebelum kamu menghilang, dan sekarang kamu sudah kembali, aku masih tetap mencintaimu seperti dulu. Hatiku hancur karena keadaan kita sekarang ini, dan aku ingin kamu kembali. Aku ingin kamu tinggal bersamaku. Aku ingin bersamamu di tempat tidurku. Aku ingin bangun tidur setiap hari dengan kamu ada disampingku.

"Aku ga peduli dengan penampilanmu, cukup banyak teman kita yang bilang kamu khawatir aku cuma akan kasihan pada kamu. Ga seperti itu. Aku mencintaimu, sebagai laki-laki. Kalaupun kamu benar-benar cacat dan maksudku cacat sepenuhnya (dia melirik selangkanganku dan aku mengerti maksudnya), aku masih tetap menginginkan kamu, dan ingin menjagamu. Kamu selalu jadi satu-satunya laki-laki bagiku, dan sekarang setelah aku tahu kamu sudah kembali, ga akan ada orang lain selain kamu, ga peduli apa pun keputusan yang akan kamu ambil. Nah, aku sudah bilang semuanya."

Lalu dia bergeser kebelakang, menyandarkan tubuhnya di sofa dengan wajah tanpa ekspresi, bukan, lebih tepatnya wajah yang lega tanpa beban saat dia menunggu tanggapan dariku.

Aku merasakan sekilas amarah, bukan, bukan amarah, kejengkelan. Jadi dia cinta aku tapi punya cara yang aneh untuk menunjukkan itu. Aku menahan diri dan berharap bisa tetap tenang.

"Kamu sudah menyangkal sendiri pengakuan cintamu padaku,"

Dia membuka mulutnya untuk bicara, tapi aku menyuruhnya diam, "Tadi aku sudah mendengarkanmu, Ana, sekarang dengarkan aku. Setelah itu kamu punya waktu semalaman untuk bisa menjawabnya."

Dia relaks lagi dan memberi isyarat padaku untuk melanjutkan perkataanku.

"Pertama. Perbuatanmu dengan Vivi dalam rangka menjauhkan Jenni dariku adalah licik dan curang. Aku berasumsi bahwa Vivi lah yang punya ide agar kamu mengajak Adrian saat terakhir kamu datang kesini, tapi toh kamu setuju saja. Lalu ada serangan kerja sama kalian pada Jenni sendiri di saat acara pesta kantor. Aku yakin Vivi yang menyerang perbedaan usia aku dan Jenni dan betapa Adrian lebih cocok padanya, sementara bagianmu adalah memuji ukuran penis adikmu sendiri."

Mendengar hal ini Ana mulai kelihatan merasa bersalah dan malu, dan berusaha untuk bicara lagi. Aku mengangkat tanganku dan dia sekali lagi mundur kebelakang.

"Kamu sengaja memisahkan Jenni dan aku. Bagiku itu perbuatan yang egois dan menyakitkan, dan Jenni sendiri marah saat dia sadar dia sudah terperangkap. Dia berpikir untuk meninggalkan Adrian untuk selamanya dan tetap bersamaku. Kamu ga sadar itu, ya kan? Kamu bisa merusak hubungan Jenni dan Adrian karena kamu ikut campur dalam hubungan mereka."

Kali ini dia menyela. "Kalau memang begitu kenapa sekarang mereka masih bersama?" katanya kesal.

"Lihat kan?" jawabku, agak ketus, "Sekali lagi kamu ga percaya dan merasa aku sudah bohong. Sepertinya itu sudah jadi kebiasaanmu.

"Aku, yang sudah meyakinkan Jenni bahwa dia ga boleh membiarkan campur tangan Vivi dan campur tanganmu mempengaruhi hubungan yang sangat baik dengan Adrian. Aku menyuruhnya untuk melanjutkan hubungannya dengan Adrian dan mengakhiri hubungan kami. Ya, Adrian lebih cocok untuknya; ya, mereka pantas untuk satu sama lain. Itu sebabnya aku melepasnya untuk menjalani hubungan itu.

"Itu bukan berarti kamu ga punya salah. Perbuatan yang kamu lakukan adalah mementingkan diri sendiri dan menurutku itu perbuatan yang bodoh. Kalau menurutmu menyingkirkan Jenni akan membuat peluang aku kembali padamu lebih besar, izinkan aku kasih tahu, setelah perilakumu itu, yang terjadi adalah kebalikannya."

Sekarang dia kelihatan sedih. "Errik, maafkan aku. Vivi sudah menjalankan rencana ini sejak dia tahu tentang hubunganmu dan Jenni. Aku bukan berusaha menyangkal kesalahanku sendiri, aku salah mengikuti nasihatnya. Aku merasa bodoh."

Aku mengabaikan kata-katanya dan melanjutkan.

"Kedua. Ada hubunganmu dengan Hadi. Itu adalah batu penghalang besar bagiku. Ada begitu banyak pertanyaan yang belum terjawab di sana, aku bahkan ga ingin mulai menyebutkannya. Ga sekarang, aku akan tunggu sampai aku mencari tahu lebih banyak dan sedikit lagi memikirkannya, tapi pada dasarnya aku ga punya niat untuk hidup bersama lagi dengan wanita yang punya dan tetap mempertahankan hubungan dengan pria yang sudah mencoba membunuh aku."

"Tapi, hubunganku dengan Hadi sudah selesai sepenuhnya. Kamu tahu itu, kan?" katanya mendesak.

"Aku ingat setelah kamu pulang ke rumah setelah kamu menginap semalam di rumahnya, kamu bilang kalau hubunganmu dengan Hadi sudah selesai, walaupun kamu akan tetap membantu dan mendukungnya. Benar gitu, bukan?"

"Ya itu betul."

"Lalu jelaskan kenapa kamu sepertinya sudah ga sabar dan langsung melompat kembali ke tempat tidurnya begitu aku pergi liburan dengan anak-anak."

Ada keheningan yang menegangkan. Aku membiarkannya semakin kelam sebelum melanjutkan.

"Apa kamu akan bilang padaku kalimat yang sama, 'Itu bukan seperti yang kamu pikirkan?' karena memang itulah yang kupikirkan. Terutama malam kedua, dan memang betul kan, kamu menginap di rumahnya, lebih tepatnya di kamarnya dua kali, dan saat malam kedua itu kamu memberikan semacam pertunjukan striptis khusus untuknya."

"Gimana kamu--"

"Ana, aku ga percaya kamu, jadi aku meminta bantuan Jimmy untuk mengawasimu. Aku memang punya alasan untuk ga percaya, ya kan?"

"Kamu menyuruh orang untuk memata-matai aku?" dia jadi marah.

"Ya, dan itu sudah menyelamatkan aku dari percaya semua omong kosong yang bilang kamu cuma mencintai aku seorang. Oh, dan ngomong-ngomong, Jumat kemarin Hadi datang menemui aku di kantor. Banyak hal yang dia katakan."

"Hadi berbuat apa?" Sekarang dia bingung.

"Dia cerita banyak padaku, dan kamu sendiri yang bilang bahwa dia benar-benar orang yang jujur dan bisa dipercaya, dia ga akan berbohong. Dan kemarin dia mengaku didepanku bahwa dialah yang sudah menulis surat itu, surat palsu itu, yang akhirnya membuat dia bisa membawa kamu ke tempat tidurnya. Dia juga menceritakan yang lain. Apa boleh aku menganggap kamu juga akan menceritakan hal yang sama saat pembicaraan kita berlanjut?"

Dia ga bisa berkata-kata. Lalu dia menggelengkan kepalanya.

"Kenapa dia datang menemuimu?" dia bertanya. Dia kelihatan linglung.

"Dia ingin aku menyerahkan kamu padanya, melepasmu pergi. Menurut Hadi, aku sudah bikin kamu tertahan di dekatku karena kamu kasihan pada keadaanku dan juga karena kamu merasa bersalah ga mencariku lebih lama dan malah menjalin hubungan dengan, apa istilah yang dia sebut? Ah ya, 'laki-laki yang jauh lebih baik.'"

Ada keheningan lagi. Aku segera memecahkannya.

"Aku pikir ini waktu yang tepat untuk menghentikan pembicaraan kita malam ini. Kamu bisa pulang dan memikirkan lagi apa yang sudah kukatakan padamu. Sementara itu, aku harus menemui orang lain, untuk memastikan apakah satu hal lagi yang diceritakan Hadi padaku betul, dan kalau memang betul, hubungan kita sudah selesai, walaupun rasanya kita belum memulai lagi."

"Tolong, Errik," pintanya, "Bilang padaku apa lagi yang dia katakan!"

"Tidak, Ana. Pulang dan pikirkan baik-baik. Ngomong-ngomong, aku sebenarnya tahu bahwa setelah tidur dengannya pada dua malam yang tadi kusebutkan, kamu sudah mengakhiri hubunganmu dengannya. Kalau kamu masih ingin kita bicara lagi, kamu ga akan menghubunginya lagi atau mengizinkan dia untuk menghubungimu. Namun, sekali lagi seperti yang kamu bilang, kamu adalah wanita bebas, kamu sudah dan bisa melakukan apa saja yang kamu mau. Tadi itu cuma konsekuensi yang harus kamu pikirkan."

Dia menatapku tajam. "Kamu benci aku, ya kan?"

"Tidak, aku bukannya benci. Aku cuma bingung dengan apa yang sudah kamu lakukan. Aku bingung karena kamu bilang sesuatu tapi sepertinya melakukan hal lain yang berlawanan. Aku kecewa, aku punya ekspektasi tinggi karena semua orang bilang bahwa kamu adalah orang yang jujur, dan itu juga yang aku ingat. Jadi sekarang lebih baik kamu pergi. Aku akan menghubungimu lagi."

Dia menyerah dan berdiri, menarik nafas panjang untuk menenangkan diri, lalu pergi. Aku tetap duduk.

Yah, pikirku, pembicaraan hari ini ga terlalu sukses.

Aku sudah menyiapkan keperluanku untuk besok dan sudah bersiap-siap untuk tidur. Aku sedang membaca novel saat telepon berdering. Itu dari Ana.

"Errik, aku minta maaf tentang malam ini. Sekarang aku paham alasan kenapa kamu ga bisa atau ga mau kembali padaku. Apa kamu mau datang untuk makan malam minggu ini?"

"Hari apa?" Tanyaku, meski lembut. Aku bisa dengar dia jengkel karena aku harus tanya sampai sedetail itu. Bukannya aku mau kejam dan menganggap pertemuan dengan Ana dan anak-anak ga penting dan harus dijadwalkan sedemikian rupa, tapi aku cuma menyampaikan maksudku bahwa ga ada gunanya kami terus ketemu dan bicara selama dia ga bisa jujur kepadaku.

"Bagaimana kalau hari Selasa?"

"Oke, sampai jumpa hari Selasa."

Dia menutup telepon, seolah dia ingin cepat-cepat menjauh dariku.

Sepuluh menit kemudian Alfon menelepon.

"Errik," katanya. "Boleh aku minta bantuanmu?"

"Bantuan apa?"

"Datanglah kerumahku untuk makan malam besok. Aku tahu kamu sedang ga mau ketemu dengan Vivi, tapi datanglah sebagai temanku."

"Kenapa?"

"Kita perlu menjernihkan suasana. Ada yang ingin Vivi sampaikan padamu. Bisa?"

Betapa bodohnya aku!

"Oke," kataku. "Jam berapa?"

"Jam enam. Dan Errik?"

"Iya."

"Vivi sudah mendapatkan pelajarannya. Ga ada lagi jebakan."

Aku tertawa. Aku curiga bahwa ada hubungan antara telepon dari Ana dan dari Alfon. Ga ada lagi jebakan. Apa aku barusan melihat sapi terbang? Bukan, tapi keduanya sama-sama ga mungkin.

Besok paginya aku sampai di kantor lebih awal dan menelepon Linda Firmanto. Dia ada di rumah dan menjawab teleponku.

"Aku ragu itu ide yang bagus, Pak Errik. Kejadian itu sudah lama berlalu dan ga ada gunanya diingat-ingat lagi."

"Bu Linda, aku punya pertanyaan yang cuma Ibu yang bisa menjawabnya. Ingatan yang kupunya tentang kejadian menjelang kejadian yang menimpaku sangat terbatas dan ada perbedaan dari cerita orang-orang, termasuk mantan istriku, yang disampaikan kepadaku. Sudah pasti itu berarti salah satu atau beberapa dari mereka sudah membohongiku dan aku ga tahu yang mana. Aku mohon pada Ibu untuk bisa membantuku. "

"Yah," dia sepertinya sedang berpikir, "Mungkin aku bisa memperlihatkan barang-barang bukti dari kasus perceraianku dulu. Mungkin itu bisa membantumu. Bapak bisa datang ke rumahku hari Rabu malam, sekitar jam delapan? Cuma hari itu aku punya waktu luang."

Aku setuju dan menutup telepon setelah berterima kasih.

Ga lama setelahnya, Jenni sampai di kantor. Dia kelihatan berseri-seri dan sangat bahagia. Itu membuat aku merasa sedikit lebih lega karena sudah membiarkannya pergi. Dia datang ke mejaku dan menciumku.

"Terima kasih" cuma itu yang dia katakan.

Aku tahu apa yang dia maksud. Hubungannya dengan Adrian pasti sudah ada kemajuan dan sekarang sudah jelas mereka resmi pacaran, dan kami bisa mengatasi transisi itu dengan mulus.

"Gimana acara keluargamu?" Aku bertanya.

"Lancar. Adrian ikut denganku dan ketemu orang tuaku. Mereka menyukai dia."

"Aku ikut senang," kataku, dan sejujurnya aku memang ikut senang.

Hari itu berjalan dengan lancar. Jeffry kelihatan cemas sampai dia melihat sendiri bagaimana aku dan Jenni berinteraksi bersama dan kemudian lebih rileks saat memberitahukan jadwal kami minggu ini. Hari Kamis, kami, aku dan Jenni harus pergi ke Jogja untuk rapat dengan perusahaan alarm. Mereka mau membuat upgrade pada sensor yang sudah ada di peralatan mereka. Bukan pekerjaan yang terlalu sulit untuk dirancang dan dikerjakan, tapi mereka punya reputasi sangat alot saat melakukan negosiasi. Kami sebenarnya sudah punya cukup banyak order yang harus diselesaikan dan bisa menolak order kecil dari mereka, jadi kami ada dalam posisi yang cukup kuat karena kami nothing to lose. Selain itu, kami punya pengalaman yang lebih banyak dengan jenis sensor yang mereka mau dibandingkan dengan perusahaan lain saingan kami.


Malamnya aku memenuhi janji dan datang ke rumah Alfon naik taksi, aku mengantisipasi, dan bahkan berharap, tawaran perdamaian akan diakhiri dengan alkohol untuk merayakan.

Alfon menyambut aku di depan pintu, tapi aku penasaran karena ga ada tanda-tanda keberadaan Vivi. Alfon sepertinya tahu itu dari ekspresiku dan dia mengajakku masuk ke ruang tamu lalu mengeluarkan sebotol bir dingin. Awal yang bagus!

"Silahkan diminum, supaya lebih rileks" katanya, "Oh ya, Vivi akan keluar sebentar lagi."

Aku tersenyum.

"Nah, itu dia." katanya.

Lalu Vivi memasuki ruang tamu.

"Hai, Errik," dia menyapaku, lalu berjalan mendekat ke arahku dan kami salng bertukar ciuman di pipi. "Apa aku bisa dimaafkan?" dia bertanya.

"Tergantung apa kamu sudah bertobat atau belum," kataku, berusaha untuk serius, tapi dia dan Alfon sudah terlalu banyak membantuku selama ini, dan aku luluh dengan cepat.

"Errik," dia menarik napas, "Aku sudah sangat bersalah, baik dalam membaca situasi antara kamu dan Ana, atau situasi antara kamu dan Jenni, tapi kesalahan terbesarku adalah mencampuri urusan kalian.

"Aku sadar bahwa perbuatanku bisa berakhir dengan hasil yang berbeda. Bahwa sekarang Jenni dan Adrian bisa bersama sepenuhnya adalah karena kebaikanmu, dan itu adalah hal berikutnya yang membuat aku harus minta maaf, aku ga sadar betapa kamu ga egois soal Jenni. Aku salah menilai semuanya. Aku sangat menyesal."

"Vivi," aku tersenyum, "Kamu sudah dimaafkan, tapi tolong jangan mencoba apapun lagi soal aku dan Ana. Kamu cuma tahu sedikit tentang apa yang sudah aku dengar dan pelajari soal hubungan Ana dan Hadi. Tolong ga usah ikut campur lagi. Oke?"

"Aku janji," katanya.

Aku memeluknya lagi, dan dia tersenyum penuh rasa terima kasih.

"Aku sangat lega," katanya. "Aku benci kalau harus kehilangan teman seperti kamu."

Seperti biasa, makanannya enak, dan setelah makan kami kembali ke ruang tamu, aku menyampaikan satu hal yang aku lupa apa Alfon pernah memberitahuku. Aku sendiri mendengarnya dari orang-orang kutemui di Crossroad beberapa waktu lalu bersama Jimmy, nah aku butuh konfirmasi dari Alfon.

"Aku ga sengaja dapat informasi tentang Ana," kataku. "Tolong ingatkan aku. Kapan pertama kalinya Ana ketemu Hadi?"

Diam. Alfon kelihatan gelisah.

"Alfon?" Aku mendesak.

"Tunggu Errik, aku mencoba untuk mengingat-ingat."

Dia meneriakkan pertanyaan itu pada Vivi yang sedang membuat kopi di dapur.

"Desember 2009," jawabnya saat Vivi datang dari dapur. "Waktu itu acara pesta tahun baru yang kita selenggarakan. Aku ingat karena semua orang membicarakan tentang pemilu, Errik juga termasuk salah satunya, mengaitkan hasilnya dengan bisnis, hukum dan seterusnya. Ana merasa bosan, jadi aku mengajaknya menyingkir dan mengenalkannya pada Hadi. Mereka cepat sekali akrab."

"Alfon, Vivi," kataku pelan, "Istri Hadi meminta cerai karena Hadi selingkuh dengan wanita yang sudah menikah dan punya anak, yang sering dia datangi saat suami wanita itu ga ada di rumah. Kalian tahu itu?"

"Ya, tahu," gumam Alfon, melihat hubungan dari cerita yang baru kusampaikan, "Tapi siapa pun wanita itu, kami yakin itu bukan Ana. Demi Tuhan, Errik, siapa pun bisa melihat dia benar-benar setia kepadamu. Kamu adalah dunianya!"

"Errik," pinta Vivi, "Tolong jangan langsung mengambil kesimpulan seperti itu. Ana selalu setia padamu, kami yakin itu."

"Apa salah satu dari kalian ada di dekat rumahku seharian?" Aku bertanya.

"Yah. Ga juga."

"Kalau gitu seperti halnya aku, kalian juga ga tahu," kataku tegas. "Ngomong-ngomong, tetangga sebelah melihat Hadi datang ke rumahku rata-rata dua kali seminggu saat siang hari. Pakai informasi itu untuk mengartikannya sesuka kalian."

Vivi bangkit dan kembali ke dapur.

"Sebenarnya aku belum mengambil kesimpulan apa-apa," kataku sambil merenung. "Seperti kamu tahu, ada orang yang harus kutemui lebih dulu."

"Linda Firmanto." Kata Alfon.

"Betul. Mungkin dia punya lebih banyak informasi daripada yang dikeluarkan saat perceraian. Kalau ga salah ingat, kamu pernah bilang Hadi membayar mahal dengan menyerahkan sebagian besar hartanya kepada mantan istrinya, hanya untuk membuatnya bungkam dan tidak menyebutkan nama wanita itu. Linda Firmanto jelas tahu siapa wanita itu, dan itu akan membuktikan Ana sudah lama selingkuh dengan Hadi atau tidak."

Vivi mendengar kata-kataku saat dia muncul lagi membawa kopi dan tampak khawatir.

"Vivi," kataku tajam, "Jangan membuat Ana khawatir dengan informasi itu. Kamu tadi sudah janji ga akan ikut campur dalam hubungan kami. Aku harap kamu akan menepatinya,"

Dia mengangguk. "Jangan takut, Errik, mulai sekarang apa pun yang kamu lakukan dengan Ana adalah urusanmu sendiri."

Sisa jamuan makan malam mereka berjalan dengan baik dan aku pulang dari sana membawa persahabatan dengan mereka berdua yang kembali pulih dan utuh.


Sebagian besar pasangan yang punya anak biasanya akan kesulitan untuk punya waktu membicarakan hal-hal selain yang praktis sehari-hari. Pertemuanku dengan Ana hari berikutnya juga ga terkecuali. Aku tahu bahwa sejak aku datang tadi Ana sudah ingin bicara tapi aku belum siap dan anak-anak masih ada di dekat kami. Setelah anak-anak akhirnya masuk ke kamar mereka dan situasi lebih aman, aku segera pamit untuk pulang, dengan alasan bahwa besok aku ada janji dengan orang lain padahal hari Kamis aku harus pergi ke Jogja selama beberapa hari sehingga ga akan punya waktu lagi untuk berkemas.

Dia kelihatan murung.

"Ada apa?" Aku bertanya.

"Oh, ga ada apa-apa," jawabnya, "Aku cuma ingat biasanya aku yang selalu menyiapkan kopermu saat kamu mau pergi keluar kota, dan sekarang kamu harus packing sendiri."

Itu ga pernah terpikirkan olehku, tapi aku ingat saat dulu dia sibuk menanyakan aku mau pakai baju warna apa.

Aku tersenyum. "Aku ga kepikiran soal itu tapi sekarang cukup bisa kuingat. Aku ga pernah bisa memutuskan baju mana yang cocok untuk dipakai, atau berapa banyak. Kalau sudah begitu kamu akan jadi sangat cerewet!"

"Enak saja!" dia tertawa. "Aku cuma minta kamu memutuskan lebih cepat!"

"oke." Kataku datar. Lalu wajahnya kembali muram.

"Aku sebenarnya berharap kita bisa bicara lebih banyak malam ini," dia memberanikan diri untuk menyampaikan perasaannya.

"Sebaiknya jangan sekarang. Kita bikin janji untuk hari lain saja."

Kami sepakat untuk ketemu hari Selasa minggu depan setelah aku kembali dari Jogja.

Saat itu aku sudah akan tahu lebih banyak dari sekarang. Aku mulai yakin bahwa itu akan menyelesaikan hubungan antara aku dan Ana.

Besok aku akan bertemu Linda Firmanto.



Bersambung... Chapter XXV
 
Terakhir diubah:
Makasih updatenya

Padahal ane udh ga sabar kalau Erik ketemu Linda, ternyata belum. Rasanya Hadi benar-benar putus asa setelah Ana meninggalkannya, sampai-sampai Hadi tidak sadar atas apa yang dia katakan. Walau begitu Erik tidak memberitahukan Ana percakapan mereka, itu bisa membuat Ana bingung apakah dia mempercayai Hadi lagi.

Tapi sangat disayangkan untuk Ana, sebelumnya dia meyakinkan Erik kalau yang dipikirkannya salah, tetapi ketika Erik berbicara tentang malam kedua di tempat Erik. Ana tidak sama sekali menyangkalnya, rasanya Ana pun sudah merasakannya bahwa Erik seperti ingin menyelesaikan semua permasalahan mereka. Pembicaraan mereka terakhir kali adalah hal yang tidak bagus untuk Ana, mungkin karena itu dia terlihat murung.

Ga nyangka kalau permasalahn Erik dan Ana bakal panjang seperti ini, rasanya ga sabar nunggu klimaks cerita ini hahaha.

Ditunggu kelanjutannya
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd