Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Pulang

XXV. Sudut Pandang Baru



Aku berjalan memasuki pekarangan rumah berlantai dua yang terlihat sepi dan gelap, sebuah mobil sedan mewah buatan Eropa terparkir di garasi, aku menaiki tangga pendek dan menekan bel di pintu depan rumah Linda Firmanto dan menyalakan alat perekam di kantongku. Aku harus menunggu cukup lama sebelum pemilik rumah membuka pintu.

Linda Firmanto adalah seorang wanita yang mencolok. Dia sangat tinggi bahkan untuk ukuran laki-laki. Dada dan pantatnya hampir rata tapi punya pinggang yang ramping dan pinggul yang melebar, memberi sedikit lekukan di tubuhnya yang mengingatkan aku pada model-model yang menderita anoreksia. Wajahnya lembut dan bulat dengan hidung kecil dan mulut lebar dilapisi lipstik tebal dan mengkilap. Matanya tajam dan rambutnya yang dikeriting diwarna coklat tua kemerahan. Aku curiga rambutnya diwarnai untuk menyembunyikan uban yang mulai muncul. Semua orang bertambah tua, pikirku. Aku melihat tangannya yang luar besar ga normal dengan jari dan kuku yang panjang, kukunya diwarnai sesuai dengan bibirnya. Ga ada cincin di jarinya.

Dia berpakaian biasa dan cukup santai, dengan sweater berleher tinggi dan celana panjang yang pas di kakinya.

"Siapa ya?" Nadanya agresif.

"Errik Riccardson." Entah kenapa aku merasa menghadapi orang seperti ini sebaiknya aku ga banyak bicara agar dia menerima kehadiranku.

"Oh ya. Seharusnya aku tahu itu, aku sudah melihatmu di televisi. Perbuatan Hadi padamu cukup luar biasa."

Aku ga menjawab dan dia bergeser ke samping untuk membiarkan aku masuk, menutup pintu di belakangku dan setelah itu mengajak aku ke sebuah ruangan berperabotan lengkap dan mahal.

"Silakan duduk," katanya, menunjuk ke sofa empuk yang mewah, dimana aku serasa tenggelam saat duduk disana, membayangkan bagaimana caranya nanti aku harus bangun lagi. Dia duduk di sofa lain di sebelah kananku. Aku perhatikan dia duduk di ujung kursi, dan berpikir aku tadi seharusnya duduk dengan cara itu agar ga ‘tengelam’. Dia tersenyum seolah tahu apa yang kupikirkan.

"Aku ingat wajahmu saat sebelum 'kecelakaan' itu, di acara pesta tahun baru, kalau ga salah. Anda dulu laki-laki yang sangat tampan."

Dia mengatakan itu tanpa basa-basi, seakan orang yang dibicarakan ga ada dihadapannya. Dia sama sekali ga bereaksi emosional pada penampilanku.

Kalau aku ga salah ingat, Alfon atau Vivi ga pernah menyebutkan Linda Firmanto juga ada di pesta itu. Menarik.

"Aku berasumsi bahwa Anda butuh bantuanku sehubungan dengan hubungan istri Anda dengan mantan suamiku."

"Mantan istri," kataku meralat cepat, dan menunggu.

"Jadi kamu menceraikannya. Aku ikut senang untukmu. Sekali penipu selalu penipu." Kali ini dia lebih santai dan bersemangat.

"Tidak juga, dia menceraikanku sebelum aku kembali ke kota ini. Dia hampir menikah dengan Hadi."

"Tapi ga jadi?" dia tersenyum. Itu bukanlah senyum yang menyenangkan, hampir seperti senyum kepuasan dan kejam.

"Tidak."

Dia hanya diam menunggu penjelasan lebih lengkap dariku, tapi karena aku juga diam, dia mulai mengeluarkan ceritanya.

"Hadi adalah pria yang lemah. Dia ga bisa tahan melihat wanita cantik. Mantan istrimu bukanlah yang pertama, tapi dia adalah yang terakhir yang bisa aku toleransi. Saat aku memergoki dosanya sebelumnya, aku sudah bilang padanya bahwa itu ga boleh terulang lagi, ga boleh ada wanita lain lagi. Kalau sampai terjadi lagi, dia akan membayar mahal, dan begitulah, menurutku dia pantas mendapatkannya."

"Bu Linda--"

"Ga perlu pakai Bu, cukup Linda saja."

"Linda, aku ga akan akan membuang waktumu karena harus mendengarkan cerita yang panjang, tapi akibat kejadian itu, aku sudah menghilang selama dua tahun lebih, dan sebagai akibat tambahannya," aku menyentuh kepalaku, "Ingatanku hilang dan walaupun perlahan mulai kembali, tapi tetap ga lengkap. Aku ingat beberapa hal sebelum seranganku, tapi sangat sedikit berkaitan tentang hubunganku dengan Ana. Saat ini aku ga tahu banyak, jadi aku mencoba mencari tahu faktanya satu persatu."

"Oke," katanya, "Aku punya fakta yang mungkin dibutuhkan,” Dia menyentuh map file di meja ruang tamu. “Ini laporan dari detektif swasta yang kusewa, dan ada foto-foto, ga ada aktivitas bukti aktifitas seksual, tapi cukup sebagai bukti perceraian. Bacalah dulu, aku akan buatkan minuman. Teh atau kopi?"

"Teh kalau tidak merepotkan, terima kasih."

Dia pergi kedalam dan aku mulai membaca. Ini dia, ini memang yang kubutuhkan. Tanggal, waktu, tempat, atau lebih tepatnya tempat yang sama dimana mereka rutin bertemu. Hotel itu sama dengan yang aku sewa bersama Tris saat aku pertama kali kembali ke Serpong. Beberapa foto menunjukkan Ana memasuki resto hotel diikuti oleh Hadi beberapa menit kemudian, lalu foto lain menunjukkan mereka memasuki salah satu kamar hotel yang sama, lalu beberapa foto lagi menunjukkan mereka minum kopi berdua di hari yang berbeda. Rentang waktunya antara masing-masing foto berlangsung lebih dari enam bulan dari April hingga September 2010. Ada dua foto Hadi memasuki rumah kami di Serpong, semuanya saat jam makan siang. Aku ingat ada seseorang yang bilang bahwa perceraian Hadi terjadi sekitar akhir tahun sebelum aku menghilang, mungkin setelah itu kami mulai membantunya melewati masa-masa perceraiannya.

Aku merasa sedih dan marah. Linda kembali dengan membawa teh dan meletakkannya di atas meja kopi.

"Tidak enak dibaca kan?" katanya pelan. Aku menggelengkan kepala.

"Apa ada salah satu dari mereka, Hadi atau Ana yang bisa menjelasan tentang foto-foto ini dan hasil laporan itu?"

"Aku ga memberi mereka kesempatan. Aku bilang ke Hadi bahwa aku akan mengumumkan perselingkuhan mereka kalau dia ga menceraikan aku beserta persyaratan dariku. Aku ga tahu apa dia bahkan cerita ke Ana alasan sebenarnya kenapa aku dan Hadi cerai."

"Kamu tidak menghubungi aku, suami Ana pada waktu itu."

"Sebenarnya itu bukan urusanku. Maaf, tapi aku memang wanita yang egois. Ga banyak orang yang tahan ada didekatku, mungkin karena itu juga Hadi sampai selingkuh. Tapi kadang lebih baik kalau kita ga tahu yang sebenarnya."

"Menurutku itu menunjukkan cintanya pada Ana sehingga Hadi ga mau berita perselingkuhan mereka disebarkan," kataku.

"Oh, ya mungkin," dia tertawa sinis. "Tapi maksudku bukan berarti Hadi suka main wanita, menurutku dia memang merasa dia jatuh cinta pada mereka. Kurasa memang begitu." Dia berhenti dan tampak termenung.

"Kamu benci saat dia selingkuh." Aku menyatakan kalimat yang lebih seperti pertanyaan padanya.

"Oh, ya. Aku jelas membencinya. Bahkan sampai sekarang. Karena itu aku menghancurkannya secara finansial dengan tuntutan dalam perceraian kami. Dia harus hutang sana sini untuk memenuhi tuntutanku. Anda mungkin belum tahu, tapi dia itu pengusaha yang payah. Secara praktis di lapangan bagus, tapi dalam hal akuntansi, pajak dan keuangan sejenisnya dia sama sekali ga tahu apa-apa. Kalau dulu aku ga membantu menangani bagian itu, dia pasti sudah bangkrut sejak dulu. Aku yakin saat ini dia bermasalah di sisi keuangan, dan bukan cuma karena dia harus membayar pajak dan tuntutan hukum dari kliennya."

Aku mengangguk. "Sepertinya memang begitu, kamu ga pernah komunikasi dengannya lagi?"

"Ga bakal!" katanya tegas. "Semua komunikasi harus lewat pengacaraku. Tapi sejauh ini ga ada."

"Itulah sebabnya dia membujuk Ana untuk segera menikah. Dia cukup berharga, penyelesaian perceraian denganku akan membuat Ana punya posisi keuangan yang sangat bagus, dan itu akan membantu Hadi menyelesaikan masalahnya setelah mereka menikah."

"Aku yakin mendapatkan foto-foto kamu dan wanita di Surabaya itu adalah berkah bagi Hadi, membantunya membujuk Ana untuk menikah dan menuntut harta perceraian?"

"Ya, tapi mereka gagal memanen hasil yang mereka harapkan saat di persidangan. Mereka bahkan dapat hasil yang lebih buruk dibanding yang aku tawarkan."

Dia tertawa. Semua tawanya sepertinya sinis dan terdengar kejam. Aku rasa dia sangat membenci Hadi, yah dia bukan satu-satunya yang benci laki-laki itu.

"Bagus kalau begitu. Hadi pantas mendapatkan itu. Meskipun menurutku dia ingin membunuhmu untuk memiliki Ana, menurutku uang itu akan jadi bonus yang menarik. Tapi tetap saja, dia bodoh karena sudah merasa dia bisa lolos begitu saja."

"Dua-duanya ga ada bedanya bagiku," aku tertawa, dan untuk pertama kalinya tawanya lebih tulus. "Kalau dipikir-pikir seandainya aku mati sesuai rencana, Hadi akan mendapatkan Ana seutuhnya bersama semua uangnya."

"Aku yakin kalau mereka menikah, rumah tangga mereka ga akan bertahan lama," katanya dengan nada kebencian yang sudah kembali. Lalu dia menambahkan lebih lembut, "Aku ikut menyesal soal rumah tanggamu. Kalian pasangan yang sangat serasi."

"Terima kasih, tapi saat ini aku mulai merasa bahwa mungkin lebih baik aku ga ingat beberapa hal dari hidupku yang dulu."

"Mungkin," katanya.

Dan begitulah, aku bilang terima kasih padanya, lalu entah bagaimana mengangkat badanku bangkit dari sofa yang menengelamkanku dan pulang. Saat mengemudi kembali ke rumah, aku berpikir bagaimana kehidupan Linda sepertinya sudah dirusak oleh kemarahan dan kebencian. Aku ga boleh menirunya dan lebih baik merelakan dan melihat ke depan, dan bicara soal melihat ke depan, sekarang aku punya sesuatu untuk dibicarakan dengan Ana. Setelah semua yang kutemukan, aku ga mungkin kembali kepadanya.

Namun, masih ada yang menganjal di pikiranku, ada sedikit gangguan dan rasa ga nyaman. Sangat menjengkelkan karena setiap kali aku mendapatkan kemajuan, selalu ada ganjalan yang ga bisa kutemukan dan terus menganggu.

Kali ini ganjalan apa? Apa ga ada satupun temanku yang memperhatikan Ana sudah selingkuh dariku? Dari cerita teman-teman terpercaya tentang betapa harmonisnya keluargaku, sudah jelas itu berarti aku ga tahu soal perselingkuhan itu. Tapi apakah mereka sendiri tahu dan menutupinya dariku? Jadi kesombongan Hadi yang bilang bahwa mereka sudah selingkuh dan aku tidak tahu apa-apa adalah benar. Sama sekali ga ada yang memperhatikan perubahan sikap Ana, tingkah lakunya? Itu aneh! Aku cuma bisa mengangkat bahu dan keluar dari mobil untuk naik ke apartmentku.

Saat aku menutup pintu, aku sadar ada sesuatu dalam pembicaraanku dengan Linda Firmanto yang juga menganjal, tapi aku ga tahu yang mana.


Keesokan harinya, hari Kamis aku dan Jenni naik kereta menuju Yogyakarta. Aku memesan taksi dan menjemputnya di apartmentnya, lalu kami bersama-sama menuju stasiun. Dalam perjalanan dia bilang padaku bahwa dia sudah menyewa apartment selama satu minggu untuk penginapan di Jogja. Biaya sewa apartment selama satu minggu lebih murah daripada menyewa kamar suite beberapa hari di hotel, dan karena kami belum tahu berapa lama kami akan ada di sana, Jenni memilih apartment daripada hotel. Kami bisa mulai menghemat karena kantor sedang harus berhemat karena sedang akan membangun gedung baru.

Aku tidak merespon, mungkin dia tahu apa yang kupikirkan dan menambahkan sambil menyeringai saat dia memberitahu aku bahwa dia menyewa apartment dengan dua kamar tidur. Aku mengangkat bahu kali ini. Sejujurnya aku ga mengharapkan akan ada seks lagi dengan Jenni. Apalagi terlalu banyak hal yang harus kupikirkan jika harus ditambah lagi.

Kami sampai di Yogyakarta sore hari dan memutuskan untuk langsung menuju ke apartment dan menyegarkan diri, sebelum kemudian pergi keluar sebentar untuk makan malam, dan setelah itu membahas lagi penawaran untuk klien besok.

Pada hari Jumat, presentasi Jenni sempurna seperti biasa, dan kami membahas komponen yang mereka pesan secara mendetail. Negosiasi berlarut-larut karena mereka menawar harga pada pesanan yang bagi kami sebenarnya ga terlalu berarti. Jenni sangat sabar menghadapi mereka, tapi sampai akhir hari kami belum mencapai kesepakatan dan harus bertemu lagi pada Sabtu pagi. Jumat malam di apartment, kami membahas lagi pertemuan tadi dan menganggap mereka sengaja mengulur-ulur waktu untuk membuat kami menyerahdan menyetujui tawaran mereka yang ga masuk akal.

Hari Sabtu meeting berlangsung seperti biasa sampai menjelang jam makan siang, Jenni bilang di ruang meeting di depan mereka bahwa saat ini kami sedang punya banyak pesanan dari klien lain dan ga terlalu butuh pesanan dari mereka. Mereka tahu spesifikasi produk kami adalah yang terbaik dan kami bisa memenuhi pesanan mereka tepat waktu.

"Kita sudah terlalu lama membicarakan order ini, jadi sebaiknya perusahaan Bapak-bapak segera membuat penawaran yang masuk akal, atau lebih baik mencari supplier lain. Kita hanya membuang-buang waktu di sini." Aku tercengang melihat agresinya!

Bagaimanapun juga itu mendapatkan efek yang diinginkan. Mereka juga kaget dan ga lama kemudian menandatangani kontrak kesepakatan yang aku tawarkan kepada mereka.

Manajer mereka terkesan dengan cara Jenni menyelesaikan negosiasi dan mengundang kami untuk makan malam sebagai permintaan maaf. Kami setuju dan menunda sehari kepulangan kami.

Malamnya sebelum tidur, Jenni berulang kali mencoba menelepon Adrian, tapi teleponnya sepertinya mati dan ga bisa dihubungi.

Minggu sore kami sudah kembali ke Tangerang. Kami berpisah di stasiun, dan aku naik taksi untuk pulang. Sesampainya di apartment aku menelepon Ana dan meminta untuk bicara dengan anak-anak.

Setelah itu aku mandi, lalu berbaring di tempat tidur dan ga lama ketiduran, terbangun sekitar dua jam kemudian karena suara bel pintu yang berdering terus-menerus. Aku belum memakai baju dan hanya mengambil jubah mandi yang tadi kulemparkan di ujung tempat tidur dan keluar untuk membuka pintu. Yang datang adalah Adrian.

Dia menerobos masuk, melewati aku dan masuk ke ruang tamu.

"Sore Adrian!" Kataku sarkas.

"Kamu ga bisa melepaskan tanganmu darinya, kan? Masih menginginkan yang lebih dari asistenmu, kan?"

"Tunggu dulu--"

"Aku tahu ini memang terlalu mustahil! Aku tahu cepat atau lambat dia akan kembali ke tempat tidurmu. Dia bilang kamu sudah merelakannya untuk aku, apa kamu ga bisa menahan celanamu tetap terpakai saat didekatnya?"

Aku duduk di kursi sofa ruang tamuku dan menunggu sampai dia tenang. Dia mondar-mandir di dalam mencari ke semua ruangan.

"Adrian, apa kamu sudah bicara dengan Jenni?"

"Aku rasa ga perlu. Jadwal meetingnya hari Kamis dan Jumat, sekarang sudah Minggu! Aku tahu kamu sudah sibuk di tempat tidurnya seharian kemarin!"

"ADRIAN!"

Adrian terlonjak kaget, begitu juga aku. Ada Jenni yang berdiri di ambang pintu dengan marah besar, tangan di pinggulnya, wajah merah padam. Aku lupa menutup pintu depan.

"Beraninya kamu!" dia berteriak pada Adrian. "Beraninya kamu menuduhku selingkuh! Tanpa bicara padaku dulu! Kalau memang begitu, ga ada gunanya kita lanjutkan! Aku ga butuh pasangan yang gampang cemburu. Beraninya kamu menuduh Errik seperti itu! Dia sudah jadi penolong dan pembimbingku, dan saat dia sudah buat keputusan, dia ga akan mengubahnya."

Adrian tampak ketakutan mendengar rentetan kata dari Jenni itu. "Aku... aku..."

"Aku apa?" bentaknya.

"Aku pikir--"

"Kamu ga mikir, Adrian," geramnya. "Kamu bertingkah seperti anak kecil yang cemburu."

"Nah," balasnya, "Kenapa kamu pulang terlambat sehari?"

"Negosiasinya berlangsung berlarut-larut," katanya, kali ini tanpa berteriak. "Pada akhirnya aku harus memotong secara kasar dihadapan mereka. Kami menginap dengan kamar tidur terpisah. Tadi malam bos mereka mengajak kami keluar untuk makan malam. Kami sudah terlalu capek dan menginap lagi semalam, karena ga ada tiket kereta malam itu.

"Kebetulan," dan nada suara Jenni mulai naik lagi, "Aku sudah mencoba menelepon kamu berkali-kali tapi teleponmu mati. Kenapa? Dengan siapa kamu pergi?"

"Tidak ada!" Adrian ikut marah, "Apa kamu mau--"

"Mau apa? Kamu mau bilang aku mau menuduhmu? Apa kamu tadi ga menuduh aku, atau Errik? Ayo pergi, biarkan Errik istirahat. Dia sedang banyak pikiran."

Jenni menyeretnya ke pintu.

"Maaf, Errik," teriaknya ga berdaya. Aku tersenyum dan memberi gestur itu ga masalah. Pintu apartmentku dibanting tertutup oleh Jenni.

Aku baru saja duduk di tempatku semula, saat bel pintu berbunyi lagi. Aku memaksakan diri untuk bangkit sambil menebak apa ada yang dilupakan Jenni dan melangkah ke pintu. Aku membuka pintu, dan di sana berdiri Amanda, adik perempuan Ana dan Adrian.

"Boleh aku masuk?" tanyanya dengan senyum malu-malu. Aku tertegun, lalu sadar bahwa itu sebenarnya cuma bayangan senyuman Ana, muncul di wajah adiknya yang cukup mirip.

"Ya, boleh," jawabku sambil mundur. Dia masuk dan berhenti di depanku, wajahnya menengadah untuk ciuman di pipiku. Aku ingat kami biasa melakukan itu saat masih menjadi saudara ipar. Aku mengarahkannya ke ruang tamu, dan menawarkan minuman. Dia duduk di sofa, menggelengkan kepalanya sambil bilang terima kasih, dan tersenyum lagi.

"Jadi," kataku sambil duduk di kursiku, "Apa yang sudah kulakukan sampai harus dikunjungi mantan adik iparku?" Aku tersenyum. Seingatku kami jarang bertemu tapi aku ingat aku selalu suka padanya.

"Errik," dia memulai dengan ragu-ragu, "Ana meneleponku."

"Oh," kataku datar. "Teruskan."

"Dia bilang kamu menganggap dia sudah selingkuh dengan Hadi jauh sebelum kamu menghilang, sebelum perceraian Hadi, dan Ana adalah penyebab perceraian itu."

"Dia salah," kataku, menebak-nebak dari mana dia dapat informasi itu. Bukan dari Linda. Pasti dari Vivi! Oh – atau aku sempat menceritakan ke Ana soal apa yang dikatakan Hadi di kantorku?

"Apa?" dia berkata.

"Dia salah. Aku belum punya kesimpulan."

Itu hampir bohong. Aku masih punya bukti dari Linda untuk dianalisa, dan juga pengakuan Hadi.

"Tapi ada berbagai macam cerita tentang Ana yang bertentangan di kepalaku," aku melanjutkan, "Aku sudah bilang pada Ana aku ga pernah menuduh Hadi secara terbuka tentang kecurigaanku. Aku juga ga akan mengumbar teoriku sendiri tentang Ana. Aku akan terus mencoba mencari jawaban atas pertanyaanku. Saat aku sudah kehabisan pertanyaan, aku akan bicara dengan Ana tentang jawaban apa yang aku temukan, apa pun itu. Kamu bisa paham?"

"Baguslah!" Dia tampak lega, "Karena akhirnya nanti kamu akan tahu sendiri Ana benar-benar setia dalam segala hal. Setia padamu dan setia pada Hadi, dan aku yakin Hadi ga terlibat dalam penyeranganmu."

Satu lagi anggota pasukan 'Hadi ga salah', pikirku, Dan sekarang, pasukan ‘Ana juga ga salah’.

"Semoga begitu. Aku lihat kamu sendiri orang yang setia pada mereka,"

Dia menegang.

"Aku ga perlu pujian, Errik. Aku datang ke sini untuk bilang bahwa Ana ga bersalah. Aku tahu dia ga pernah selingkuh dengan Hadi. Aku yang menemaninya saat kamu menghilang. Aku datang dan membantunya mengurus anak-anak.

"Errik, kalau dia selingkuh, dia ga akan sehancur itu saat kamu hilang. Dia kehilangan semua keinginan untuk hidup. Dia terus menerus bilang dia ga bisa memahami perbuatanmu. Aku sampai takut dia akan membahayakan dirinya sendiri. Dia ga mau terus hidup tanpamu."

Aku duduk diam sejenak. Ini adalah gambaran baru tentang Ana. Kalau itu benar, itu akan menjelaskan kenapa dia ga mencariku. Saat itu dia berjuang untuk dirinya sendiri dan akhirnya berusaha untuk bangkit demi anak-anak. Kemarahannya pada Hadi dan disaat bersamaan punya keinginan untuk menolongnya adalah tanda dari seorang wanita yang kuat dan percaya diri. Aku mengatakan itu pada Amanda.

"Memang betul, dan begitulah dia sebelum kamu pergi. Aku sudah dengar perjuanganmu untuk kembali dari kematian, untuk sembuh. Nah, Ana juga menjalani perjuangan seperti itu saat kamu menghilang. Anak-anak dan terutama Agnes yang akhirnya membantunya untuk pulih. Dia harus tetap hidup untuk mereka. "

"Dan Hadi?"

"Hadi memberi Ana begitu banyak support dan waktu saat kamu pergi. Aku datang setiap hari, anak-anakku akan bermain dengan anak-anakmu, dan Hadi selalu datang."

"Tepat, dia selalu datang. Setelah kamu pulang, apa dia juga pulang?"

"Kadang-kadang aku pulang duluan, tapi aku akan menelepon Ana saat aku sampai di rumah dan Hadi selalu sudah pulang saat itu. Bagaimanapun, masih ada anak-anakmu yang akan menghalangi mereka melakukan apapun."

"Dia ingin menikahinya, apa menurutmu support dan perhatian Hadi hanya triknya untuk mendekati Ana?"

"Hadi berterima kasih atas semua yang kalian berdua lakukan untuknya setelah perceraiannya. Dia begitu terpukul saat itu, kalian berdua memberinya banyak dukungan. Cuma itu, Errik. Tidak lebih.

"Waktu itu aku sempat tanya ke Ana apa dia ga merasa Hadi terlalu berlebihan memberi perhatian, dan Ana kaget saat tahu aku atau orang lain beranggapan begitu. Ana masih berharap kamu akan kembali saat itu. Dia sudah siap untuk memaafkanmu. Dia terus cerita soal betapa dia rindu dan ingin kamu kembali padanya.

"Hadi ga punya kesempatan saat itu. Errik, aku ada di sana. Aku tahu. Baru setelah ada surat itu Ana kehilangan harapan dan membiarkan Hadi masuk."

"Kamu tahu Hadi yang menulis surat itu, memalsukan namaku?"

"Ya. Dia memang bodoh. Menurutku saat itu dia hanya ingin menikahi Ana."

"Kamu tahu kenapa polisi menganggap Hadi terlibat dalam percobaan pembunuhanku?"

"Tidak," dia menggeleng.

"Oh ya? Aku heran Ana ga menceritakan itu,"

"Mereka ga cerita apapun padaku."

"Mereka? Termasuk Hadi?"

"Aku tetap kontak dengan mereka berdua. Hadi banyak mengeluh soal hubungannya dengan Ana padaku."

"Aku yakin begitu. Tanyakan ke Ana tentang dasar tuduhan polisi ke Hadi. Pengacara Hadi seharusnya sudah dihubungi oleh polisi sekarang termasuk penemuan bukti terbaru. Jadi aku ga percaya Hadi belum tahu soal itu, dan dia seharusnya akan menceritakan itu ke Ana saat mereka bertemu sebelumnya, aneh kalau dia ga cerita."

"Kenapa kamu ingin dia dipenjara, Errik?"

"Lihat aku Amanda!" Suaraku meninggi. "Aku sudah kehilangan ingatanku, istriku, kehidupan keluargaku, kesehatanku, mobilitasku. Sejauh yang aku bisa lihat, semua bukti menunjuk ke Hadi. Bisnisnya terseok-seok di ambang kebangkrutan, dia sudah mempengaruhi Ana untuk membuat tindakan yang bisa menghancurkan perusahaanku, agar dia bisa menyelamatkan perusahaannya sendiri. Apa kamu ga bisa melihat motifnya?

"Aku menghilang. Dia menyewa detektif swasta yang menyembunyikan dua foto yang bisa membuktikan bahwa aku ga pergi dengan wanita lain. Lalu dia memalsukan surat yang seakan-akan datang dari aku untuk mendorong agar Ana menyerah menungguku, itu kalau Ana memang butuh dorongan. Jadi jangan bilang tentang sifat baik Hadi. Aku belum melihat alasan lain yang menjelaskan semua bukti itu. "

"Berarti keputusanmu sudah bulat."

"Amanda, semua bukti menunjuk sepenuhnya dan hanya pada satu orang yaitu Hadi. Bukti! Aku tidak tiba-tiba curiga padanya tanpa alasan!"

Dia diam.

"Maafkan aku, Amanda," aku menenangkan diri. "Aku ga bermaksud kasar, tapi hidup dan masa depanku sudah hancur. Itu membuat aku marah, dan percayalah, aku belum menyatakan apa pun tentang apa yang sudah kukatakan padamu ke orang lain kecuali Ana. Aku selalu menghindari pertanyaan tentang kesalahan Hadi. Kamu bisa tanya ke siapa pun, tapi buktinya ada. Ada bukti lain, tapi aku ga bisa memberi kamu semuanya. Yang aku bisa bilang adalah semua bukti itu meyakinkan. Dia menyewa orang untuk membunuh aku agar dia bisa mendapatkan Ana.

"Terkait dengan Ana, kamu harus paham ingatan yang kupunya sangat lemah. Aku perlu mencari tahu. Aku perlu membuktikan bahwa Ana bersalah atau tidak bersalah. Tapi banyak informasi yang saling bertentangan dan banyak bukti yang sepertinya menunjukkan hal-hal yang aku lebih suka aku ga pernah tahu."

"Jadi kenapa mencari tahu?"

"Karena dia ibu dari anak-anakku. Aku perlu tahu dia ga terlibat dalam... ini." Kataku, menunjuk ke arah wajahku," Aku berhenti sejenak. "Apa kamu sudah paham?"

"Ya," dia sedang berpikir. Lalu, "Apa aku sudah membantu usahamu?" dan senyum itu muncul lagi.

Aku berpikir sejenak, lalu aku balas tersenyum. "Ya, sudah. Sekarang aku tahu lebih soal efek hilangnya aku pada Ana, dan efek itu adalah perbuatan dari orang yang sama atau beberapa orang yang hampir membunuh aku. Kalau itu Hadi, dan menurutku begitu, kakak perempuanmu sudah hidup dengan orang yang sudah mencoba membunuh suaminya. "

Dia berdiri. "Aku rasa aku sekarang lebih paham. Sebelumnya aku pikir kamu sedang membalas dendam tanpa alasan. Aku salah."

Dia pamit dan pergi.

Aku sangat kelelahan, kondisi tubuhku tidak memungkinkan untuk pulih dengan cepat setelah perjalanan panjang keluar kota. Hari Selasa aku akan bertemu Ana. Aku perlu waktu untuk memikirkan informasi baru dari Linda dan Hadi, tapi aku sudah terlalu lelah. Aku janji pada diri sendiri Senin malam aku akan menyelesaikan masalah itu.

Aku ga suka ingkar janji, bahkan janji pada diri sendiri, tapi hari Senin aku terpaksa melakukan itu. Jam enam pagi aku terbangun oleh suara telepon. Jeffry memintaku datang ke kantor untuk memberi briefing untuk Jenni yang harus tugas ke Semarang pagi itu. Aku datang ke kantor dan pertemuan berlangsung singkat. Mungkin Jeffry masih belum terlalu percaya dengan kemampuan Jenni seperti aku, tapi sebenarnya Jenni sudah menguasai semua. Jeffry diyakinkan oleh presentasinya dan minta maaf karena terburu-buru meminta bantuanku.

Lalu ada masalah demi masalah sepanjang hari, dan kami harus lembur untuk menyelesaikan semuanya. Aku sampai di rumah jam sebelas malam. Dan telepon masih saja berdering.

"Errik, ini aku, Jenni."

Aku mengumpulkan sisa energi, "Hai, Jenni. Ada apa?"

"Cuma mau bilang menurutku kamu harus datang ke sini. Secara umum ga ada masalah, tapi mereka punya request yang aneh."

"Oke. Bisa kita bicarakan saat kamu balik ke kantor."

"Banyak masalah disana?" tanyanya, tanggap seperti biasa.

"Aku baru saja pulang. Aku ga sanggup kerja selama tujuh belas jam sehari."

"Oh, maaf, Sayang. Aku akan membiarkanmu istirahat."

"Terima kasih."


Selasa sedikit lebih baik. Badanku masih sakit semua saat bangun. Aku datang terlambat ke kantor dan sudah ditunggu oleh masalah lain di kantor. Jam tujuh malam aku masih di kantor saat telepon berdering.

"Errik, kamu lupa."

"Oh Ana, aku minta maaf. Dua hari ini sangat sibuk. Kamu di mana? Aku akan segera kesana."

"Apa Jenni ada di sana?"

"Tidak, dia seharusnya sudah dalam perjalanan pulang dari Semarang, penerbangan siang tadi."

"Oke. Nah, aku sedang berdiri di depan apartmentmu."

"Sepuluh menit."

"Oke."


Aku sampai dan melihat Ana masih berdiri di depan pintu, aku membuka pintu dan langsung bergegas mandi sementara Ana pergi ke dapur. Saat aku keluar, sepiring roti panggang yang dia buat tergeletak di atas meja dapur. Dia menunggu di ruang tamu, sementara aku makan di area dapur. Aku meletakkan piring itu di wastafel dan bergabung dengannya di ruang tamu.

"Errik," katanya mengawali, "Mungkin ini bukan saat yang tepat untuk bicara. Kamu kelihatan capek."

"Tidak, kamu sudah bilang mau datang malam ini, dan itu salahku karena terlambat."

"Agnes menjaga adiknya sendirian, jadi aku ga punya waktu lama."

"Oke, mari kita mulai."

Dia bergeser maju dan duduk di ujung sofa. "Katamu Hadi pernah menemuimu."

"Ya, dan aku sudah ketemu Linda Firmanto."

"Oh?"

"Dia punya bukti perselingkuhan Hadi."

Tapi saat kami akan melanjutkan, bel pintu berdering berkali-kali.

"Sial," kataku, dan bangkit untuk membuka pintu. Jenni berdiri di sana. Aku mundur. Dia masuk ke ruang tamu.

"Oh," katanya, "Halo Ana. Apa aku mengganggu?"

"Tidak, Jenni," jawab Ana, "Kami cuma mau mencoba menyelesaikan masalah."

"Oh, aku ga tahu," Jenni mulai terlihat malu, "Aku meminta Adrian untuk datang dan meminta maaf baik-baik setelah perbuatannya hari Minggu kemarin."

"Memangnya ada apa Minggu kemarin?" tanya Ana, "Aku belum pernah dengar cerita itu."

"Adrian berasumsi aku dan Jenni sudah berhubungan seks lagi karena kami menginap di Jogja satu hari lebih lama dari seharusnya," aku menjawab.

"Benarkah kalian begitu?" tanyanya, dan aku bisa melihat dia langsung menyesal bertanya seperti itu.

"Negosiasi berlarut-larut," potongku, "Adrian datang ke sini dan menuduh aku mengambil Jenni lagi."

"Dia meninggalkan pesan marah-marah di teleponku," tambah Jenni, "Dia bilang dia sedang menunggu di apartmentmu. Karena itu kemarin aku datang kesini."

"Kesalahpahaman," aku menenangkan, "Timbul karena ketidaktahuan dan minim pengalaman. Jangan terlalu keras padanya."

"Aku ga tahu apa aku bisa bertahan dengan sikap cemburunya," Jenni menoleh ke Ana. "Minggu kemarin dia benar-benar menimpakan segala tuduhan pada Errik hanya karena kami pulang satu hari lebih lama dari Yogyakarta. Dia menganggap Errik dan aku... yah, kamu tahu lah."

"Kamu harus mengerti, Jenni," kata Ana dengan sabar, "Bahwa Adrian merasa sangat insecure tentang hubungan kalian. Dia ga percaya keberuntungannya karena seseorang secantik kamu sungguh-sungguh tertarik padanya. Dalam kekhawatirannya dia mungkin merasa kamu cuma memanfaatkannya dengan cara tertentu, dan akan segera beralih ke orang lain."

"Maaf," kata Jenni. "Ini mungkin mengagetkanmu, tapi aku sendiri juga baru dalam hal seperti ini. Suatu hari Errik akan menceritakan kisah lengkapnya. Aku ga pernah berpikir sedikitpun untuk meninggalkannya. Aku semakin hari semakin tertarik padanya. Akulah yang beruntung."

"Jadi," selaku, "Apa kamu sudah bilang seperti itu padanya? Dia perlu mendengar itu berulang kali."

"Belum," katanya sambil berpikir. "Aku masih harus banyak belajar, Errik. Denganmu semua begitu mudah, aku hampir ga perlu melakukan apa-apa." Pipi Jenni bersemu merah saat dia sadar Ana masih ada disana.

Saat itulah Adrian tiba. Dia baru saja melewati pintu ketika Ana menariknya.

"Ayo adik kecil," perintahnya. "Kamu punya dua saudara perempuan, tapi sepertinya aku masih harus mengajarimu langsung cara memperlakukan wanita, ayo ikut ke kamar tidur."

Adrian menyeringai malu-malu dan tanpa sepatah kata pun mengikuti kakaknya pergi dari ruang tamu.

Aku dan Jenni membahas kunjungannya ke Semarang. Dia pikir aku perlu pergi kesana karena beberapa spesifikasi yang mereka mau tampak terlalu rumit dan sulit. Aku mengangkat bahu dan berharap aku ga perlu kesana.

Setelah sekitar setengah jam, kakak beradik itu kembali ke ruang tamu. Ana tampak lega dan Adrian menatap Jenni dengan kekaguman. Lalu dia ingat kenapa dia kesini.

"Errik," katanya, "Aku harus minta maaf atas perlakuanku padamu hari Minggu lalu. Aku ga tahu apa yang merasukiku."

"Kamu tahu," sela Jenni, "Cemburu."

"Ya, kamu betul, tapi biasanya aku cuma diam saat ada gadis yang meninggalkanku demi orang lain. Amarah itu yang ga aku pahami. Bagaimanapun juga, aku minta maaf."

"Lupakan," kataku. "Itu menunjukkan kamu benar-benar menganggap dia istimewa, tapi lain kali bicara dengannya dulu akan lebih baik."

"Ana sudah memberitahuku. Dia benar, aku insecure. Aku cuma ga bisa percaya Jenni tertarik padaku."

"Ya Tuhan Adrian," kata Jenni. "Kamu ga sadar betapa menariknya kamu. Aku gadis yang beruntung sudah menemukanmu. Aku ga tahu kenapa kamu belum nikah sampai sekarang. Aku ga akan melepaskanmu, dan aku ga tertarik pada orang lain. Kamu lebih dari cukup untukku."

"Aku sangat, sangat menyesal Errik. Aku janji ga akan pernah lagi meragukan Jenni."

"Aku harap begitu!" Aku menjawab, dan dalam hati aku memutuskan aku dan Jenni ga akan pernah lagi memberinya alasan untuk ragu.

"Kami pergi," kata Jenni. "Maaf mengacaukan malammu,"

"Dan Adrian," kataku sebagai kata perpisahan, "Ingat, percayalah pada pasanganmu."

Dia mengangguk dan mereka pergi.

Ana tampak kesal.

"Aku ga bisa lama," katanya, "Kamu juga masih capek, tapi aku cuma ingin tahu apa yang terjadi, apa yang orang bilang tentang aku dan Hadi."

"Secepatnya," kataku, "Tapi kamu ga akan suka apa yang akan kamu dengar."

"Terserah kamu, kamu bisa menasehati Adrian tentang kepercayaan pada pasangan. Sayangnya kamu sendiri ga bisa melakukannya," ketusnya, dan pergi.

Aku duduk dengan lemas, takjub.

------

Aku ga punya banyak waktu untuk takjub. Dalam waktu lima menit Jeffry menelepon untuk bilang bahwa klien di Semarang sudah meminta aku datang kesana untuk mendiskusikan ide-ide mereka. Aku jengkel. Aku tanya apa mereka belum pernah dengar yang namanya conference call, atau email. Dia minta maaf dan bilang mereka punya rencana di atas kertas, dan apa aku bisa pergi kesana besok pagi.

"Sepagi apa?"

"Ada penerbangan pagi sebelum jam tujuh. Mereka akan menjemputmu disana."

Aku lalu tidur dan tidak terlambat bangun, tapi itu waktu yang jauh sebelum aku ingin bangun.

Aku merasa marah sepanjang perjalanan ke Semarang. Aku berhasil menahan diri, setidaknya dalam sebagian waktu selama aku menemui mereka, mendengarkan perwakilan mereka yang sepertinya merasa semua yang dia minta bisa dilakukan dalam kehidupan nyata semudah dalam teori. Jadi pertanyaannya adalah berapa lama mereka mau menunggu sementara kami mendesain spesifikasi yang mereka minta. Mereka minta secepatnya. Sulit.

Aku sudah membawa kontrak untuk mereka, Jenni sudah membuatnya dengan sempurna. Mereka janji untuk membacanya dulu dan mengabariku besoknya. Aku sampai di hotel setelah mampir untuk makan malam. Besoknya mereka setuju dengan beberapa modifikasi kecil dan semuanya selesai jam sebelas siang itu.

Aku berpikir untuk langsung pulang, tapi memutuskan untuk menginap satu malam lagi untuk sekedar memikirkan perkembangan belakangan ini.

Aku berdiam di kamar hotelku dan mempelajari ulang rekaman dari semua percakapan yang kulakukan dengan ketiga nara sumber, dengan Boy Rolan di Surabaya, Hadi dan Linda. Lalu aku membuat rangkuman kecil dan menambahkan informasi dari Alfon dan Vivi. Aku juga mengulang dan mengingat-ingat lagi pembicaraan dengan tetangga sebelah yang tidak sempat kurekam. Aku berusaha menyusun sudut pandang baru dari semua sisi yang mungkin.

Semua cerita sepertinya cocok. Hadi ketemu Ana di pesta tahun baru. Di tahun depannya, entah sejak kapan tepatnya mereka mulai lebih dekat. Mereka sering bertemu. Hadi bilang mereka mulai selingkuh, dan bukti dari Linda membenarkannya.

Lalu saat aku menghilang, Ana sangat terpukul. Aku bisa mengerti dia sangat mencintai aku, tapi di saat yang sama menginginkan Hadi juga. Jadi kehilangan aku membuat hubungan mereka menjauh untuk sementara waktu, mungkin karena rasa bersalah. Dia mengira aku sudah selingkuh dengan wanita lain, dan sadar betapa dia sendiri juga sudah bersalah.

Jadi perselingkuhan mereka mereda sementara Ana berharap aku akan kembali. Dia pasti bisa memaafkan aku, karena dia juga sudah berdosa. Mungkin mereka masih saling bertemu untuk memberikan support saat anak-anak sedang sekolah. Tetangga kami sering melihat Hadi datang ke rumah. Akhirnya setelah surat palsu itu, Ana hilang harapan dan mulai menerima Hadi secara terbuka, bahkan bertunangan dan tinggal bersamanya, seperti yang sepertinya diperkirakan anak-anak, Ana menganggap Hadi sebagai kandidat terbaik kedua sebagai suami. Kalau klaim Hadi benar, Ana pasti diyakinkan oleh seks.

Aku bisa paham kemarahannya padaku saat aku pertama kali memperkenalkan diri. Saat itu dia masih salah sangka dan gelora kemarahannya sepertinya menunjukkan cintanya padaku, perasaan sudah dikhianati. Dia masih tetap bersamaku selama dia selingkuh, tapi saat aku selingkuh aku meninggalkan dia dan anak-anak begitu saja. Aku jauh lebih bersalah daripada dia, tapi dia menginginkan Hadi secara fisik, dan kepulanganku membuat hidupnya jadi rumit.

Ini terbukti setelah dia tahu cerita sebenarnya tentangku, rasa bersalah memaksanya untuk mencoba membangun lagi hubungan kami tapi dia masih merindukan Hadi secara fisik dan itu terlihat dalam keberpihakannya yang konstan pada Hadi melawan semua bukti. Keras kepala nya Ana itu pasti lebih dari sekedar firasat Hadi ga bersalah? Seolah-olah dia sangat ingin Hadi ga bersalah. Satu-satunya alasan untuk itu pasti karena Ana membutuhkan Hadi secara seksual, sementara di bagian lain dia masih mencintaiku.

Ana berkali-kali kembali padanya meskipun bilang bahwa hubungan mereka sudah selesai. Dua kesempatan terakhir dia tidur dengannya sepertinya menegaskan apa yang dikatakan Hadi, Ana lebih mencintai Hadi daripada aku, Ana menginginkannya dan ga bisa berhenti berhubungan seks dengannya dan Ana merasa bersalah dan kasihan padaku. Ana melakukan strip tease di depan Hadi menunjukkan momen itu lebih dari sekadar perpisahan. Apa mungkin Ana mencintai kami masing-masing dengan cara yang berbeda?

Aku secara mental mengangkat bahu menyerah. Aku hanya akan memberikan fakta-fakta pada Ana dan aku akan dengar pendapatnya, meskipun aku sangat penasaran bagaimana dia akan membuktikan dia mau aku kembali, ketika perbuatannya bertolak belakang dari yang dia katakan.

Bukti kesalahan Hadi tampaknya sudah jelas. Ketiga orang penyerang itu adalah karyawan Hadi, dan ketiganya pasti bersalah. Iwan mengaku menuntun aku kepada mereka. Hubungan Iwan dengan Hadi juga sudah jelas.

Lalu ada pembayaran yang sudah jelas berasal dari rekening yang dipegang Hadi, memakai uangnya. Lalu ada surat palsu dan perselingkuhannya dengan Ana sebelum percobaan pembunuhanku. Jadi secara motif, dia ingin mendapatkan Ana atau uangnya. Dia dapat yang pertama tapi gagal dapat yang kedua.

Di balik semua ini, masih ada perasaan cemas bahwa ada suatu petunjuk yang sudah kulewatkan. Apa itu? Dimana itu? Pertama ada laki-laki tinggi besar yang jadi perantara misterius, dia yang menyusun rencana dan membayar orang-orang itu. Apa orang itu juga yang menyuruh Boy Rolan menyembunyikan foto dari Surabaya? Dia ga pernah terlihat lagi, dan ga ada yang melihatnya bersama Hadi. Iwan mengira laki-laki itu teman Hadi, hanya karena dia melihat mereka bersama beberapa tahun sebelumnya, jauh sebelum Hadi mengenal aku atau Ana.

Pria itu belum terlacak oleh polisi. Hadi jelas ga akan membantu, dia menyangkal kenal dengan laki-laki itu, tapi kalaupun kenal dia pasti akan menyangkal kan? Apa mungkin ada orang lain yang membayar laki-laki itu dan kebetulan Hadi melakukan transaksi disaat bersamaan? Tapi penerima pembayaran Hadi itu fiktif. Ga mungkin Hadi menghamburkan uang sebanyak itu disaat dia hampir bangkrut. Jumlah uang yang keluar pun sama. Tidak, sudah pasti pembayaran itu dari uang Hadi.

Aku mengulang semua rekaman itu lagi. Tetap ga ada. Aku merasa petunjuk itu ada di depan mataku tapi aku ga bisa melihatnya. Aku menyerah. Ana bersalah. Hadi bersalah. Aku cuma harus melakukan penyelesaian terakhir dengan Ana. Aku merasa sedih. Aku sudah sangat menyayanginya, bahkan makin tertarik padanya. Ketertarikan yang tumbuh disaat ingatanku berangsur kembali, kenangan bahwa kami punya kehidupan yang indah selama bertahun-tahun. Tampaknya hanya bagian terakhir dari kehidupan yang baik itu yang disusupi oleh kebohongan.

Aku menarik nafas panjang dan memutuskan untuk jalan-jalan. Aku pergi ke cafe yang sering didatangi oleh staf rumah sakit tempatku dirawat dulu. Mungkin akan ada seseorang yang aku kenal di sana.

Aku membeli segelas kopi dan hendak mencari tempat duduk saat ada yang memegang lenganku.

"Adjie? Maksudku Errik, aku lupa."

Aku berputar. Nah!

Itu Sani, sahabat Tris sejak sekolah perawat. Aku ga terlalu bagus mengingat nama orang, tapi namanya bersinar seperti obor yang berbahan bakar nafsu!

Sani. Punya pantat yang bisa dipandangi berjam-jam tanpa bosan, bentuknya begitu sempurna, seolah mengundang untuk disentuh, payudara yang ga besar tapi seimbang dengan lekuk sempurna pinggangnya. Leher yang panjang, dan kaki yang panjang. Wajahnya membuat sulit untuk berpaling, kecuali untuk menatap pantatnya.

Dia menarikku ke meja dimana beberapa teman perawat Tris duduk, dan malam ini jadi sempurna. Sudah pasti, mereka dapat cerita kisahku sejak pergi dari Semarang. Mereka ada yang simpati, iri, dan ikut bahagia untukku. Setelah selesai, cerita dan candaan mengalir bersama mereka, juga bir yang sekarang mengantikan kopi. Pada akhirnya, kami semua harus pulang dan Sani mendekat ke sampingku.

"Kalau gitu kamu masih single?" dia bertanya, menyelipkan lengannya ke tanganku.

"Ya!" Aku menjawab penuh dengan antusias yang dibentuk oleh alkohol.

"Aku besok libur," katanya, "Aku masih ingin dengar ceritamu. Hotelmu di dekat sini?"

Tiba-tiba aku sadar apa yang dia mau. Dia sangat cantik dan dia menawarkan dirinya padaku, tapi aku ga mau berhubungan seks dengannya. Apa dia begitu yakin bahwa pria mana pun yang dia mau akan pasrah mengikutinya ke tempat tidur? Semacam kesombongan yang lahir dari kepercayaan diri pada daya tariknya sendiri. Kali ini alkohol membentuk kemarahan di benakku

Dia menarik lengannya. "Ada apa, Errik? Apa aku sudah salah ngomong?"

"Sani," kataku. "Maaf, aku ga suka one night stand. Kamu salah satu wanita tercantik yang aku kenal, tapi aku ga suka seks tanpa komitmen, itu hanya akan merugikanmu."

"Oh," katanya kecewa.

"Aku diberitahu bahwa aku setia pada Ana selama dua puluh tahun, lalu aku setia pada Tris selama berbulan-bulan kami dekat, dan aku setia pada Jenni, pasangan terakhirku. Temanku bilang itu sudah kebiasan yang ada dalam genku. Maaf, semoga kamu mengerti."

"Begitu," katanya. "Menurutku itu bagus."

"Sani," kataku, "Aku ga ngerti. Wajahku ga bagus," aku tertawa datar, "Tapi kamu menginginkanku. Kenapa? Ada banyak laki-laki tampan di luar sana, kenapa aku?"

Dia berdiri di depanku. Menatapku dengan tajam. Dan tersenyum.

"Ini bukan soal penampilanmu Errik! Kamu apa adanya. Ga ada kepura-puraan. Kamu punya martabat dan kekuatan, dan kamu menahan lukamu dengan humor dan keceriaan. Membuatmu agak menarik dimataku.

"Kamu tahu, sebenarnya aku sangat tersanjung kamu masih memikirkan aku saat menolakku. Nah, sekarang aku sebaiknya pergi."

Dia menarik kepalaku ke arahnya dan memberiku ciuman hangat, yang aku balas.

"Hmm, kamu juga jago mencium!" Lalu dia tertawa.

“Selamat tinggal," katanya dan berbalik, melangkah pergi, menarik banyak mata pria untuk menatap pinggulnya yang bergoyang dilapisi celana jins ketat.


Besoknya aku pulang naik kereta, dan aku puas berhasil membereskan kontrak dari klien di Semarang. Aku duduk menatap keluar jendela ke barisan sawah dan rumah yang melintar, melihat ulang apa yang sudah kupikirkan kemarin, dan apa yang aku butuhkan untuk mengetahui tentang hubungan Ana dan Hadi sebelum seranganku.

Aku berencana akan bersantai di apartmentku setelah aku sampai nanti.

Tapi seperti kata pepatah 'Manusia berencana, Tuhan yang menentukan'. Rencanaku simpel, aku merekam ulang percakapanku dengan Linda, dan juga dengan Hadi, meng-copy-nya ke sebuah CD dan menyiapkannya untuk Ana agar dia bisa mendengarkan bukti percakapan yang aku punya dan kemudian menjelaskan berdasarkan versinya sendiri. Lalu setelah itu aku akan tidur. Mungkin sampai pagi seandainya bel pintu ga terus-terusan berbunyi dan memaksa aku untuk menjawabnya.

Di sana, berdiri di depan pintuku, adalah Agnes dan Ana. Aku bergeser mempersilahkan mereka masuk, dan mereka berjalan ke ruang tamu.

"Agnes mau tanya apa dia boleh menginap disini selama weekend," Ana memulai, "Leo dan Stefan menginap di rumah Adrian. Dia akan mengajak mereka nonton pertandingan sepak bola besok."

Agnes berusaha untuk ga terlihat berharap tapi gagal. Aku menghela nafas.

"Sayangnya aku cukup lelah," kataku, "Urusan di Semarang sangat sibuk dan melelahkan,"

Agnes tampak kecewa dan sedih, dan Ayah yang baik tentu ga tega melihat itu.

"Kalau dia ga masalah aku tinggal tidur," lanjutku, "dia boleh menginap sesukanya."

Senyuman Agnes adalah hadiah yang kubutuhkan lalu dia berjalan ke kamar kedua. Kemudian Ana melanjutkannya dengan, "Aku berharap selagi aku datang kesini apa kita bisa bicara? Menghemat waktu untuk harus membuat janji lagi,"

Aku langsung merasa jengkel. Dia berusaha mengajak aku bicara secara mendadak. Ga akan.

"Tidak, Ana," kataku, "Aku benar-benar capek dan ga bisa konsentrasi. Kita sudah sepakat akan bikin janji sebelum kita bicara dan kita akan membicarakan ini sendirian. Aku ga akan bicara denganmu dengan adanya Agnes di sini, apartment ini terlalu kecil, dan dari apa yang kutemukan tentangmu, menurutku kamu ga akan mau membicarakannya dengan adanya Agnes di sini. "

"Apa?" katanya, mulai jengkel juga.

"Tidak. Tidak bisa," kataku, "Tapi aku punya sesuatu yang ingin kuberikan padamu," aku mengambil CD itu.

"Dengarkan ini, jadi saat kita ketemu nanti kita punya bahan untuk didiskusikan."

"Antar Agnes kerumah Minggu sore sebelum yang lain pulang," bentaknya, "Dan bersiaplah untuk bicara. Aku muak karena pembicaraan kita ditunda-tunda terus."

Dan dia berbalik dan keluar, membanting pintu di belakangnya. Agnes muncul dari kamarnya.

"Ada apa, Ayah?"

“Ibumu jengkel padaku karena aku ga mau bicara dengannya sekarang. Aku akan bicara dengannya besok Minggu."

Dia puas dengan jawaban itu. "Ayah, kita ga perlu ngapa-ngapain. Aku bawa laptop, game, dan buku. Aku cuma perlu menjauh dari Ibu untuk sementara waktu. Dia sangat gelisah dan sensitif – gampang marah. Karena Leo dan Stefan pergi, aku yang akan jadi sasaran tembak. Segala macam yang kulakukan salah."

"Oke," kataku dan dia pergi ke kamarnya.

Hari Sabtu kami memang sempat berbelanja, atau lebih tepat awalnya kami belanja bersama sampai Agnes ketemu dengan tiga orang temannya dan akhirnya pergi bersama mereka sampai larut malam. Dia sempat menelepon dan cuma bilang akan makan malam bersama temannya.

Hari Minggu kami makan siang di luar.

Saat makan siang: "Ayah?"

"Ya?"

"Aku ga tahu apa yang terjadi di antara kalian berdua, tapi itu ga baik untuk Ibu. Dia sering melamun. Aku dengar dia menangis setelah kami pergi tidur. Aku khawatir sama Ibu. Tolong longgarkan sedikit aturanmu dan bicarakan dengannya."

Sekali lagi ini adalah sisi lain dari Ana yang ga aku tahu. Kenapa dia menangis? Lebih baik aku coba cari tahu.

"Apa kamu pernah tanya ke Ibu kenapa dia begitu?"

"Tidak, dia sensitif banget."

"Dengar, kalau kamu dengar dia nangis, datanglah padanya. Peluk dia, dan tanyakan kenapa."

"Um," katanya sambil berpikir. Lalu dia tersenyum penuh kasih dan memeluk dan menciumku, bersandar di seberang meja. "Menurutku dia menangis karena Ayah, dia butuh pelukanmu bukan pelukanku."

Aku ga bisa menjawab. Anak gadisku sudah tumbuh sepertinya terlalu cepat, sulit untuk menerima dia sudah berubah sebagai seorang wanita dewasa.

Kami pulang dan mengambil barang-barangnya dari apartment dan aku mengantarnya pulang, siap untuk bertemu Ana. Apa ini akan jadi penyelesaian terakhir di antara kami? Apakah ini bisa menyelesaikan perselisihan kami, atau akan menjadi akhir hubungan kami? Aku ga sabar menghadapai ‘The Final Showdown’ bersamanya.



Bersambung... Chapter XXVI
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd