Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Pulang

Bimabet
XXVI. Final Showdown



Saat kami memasuki pekarangan rumah, Agnes bilang, "Aku akan sembunyi di kamar biar Ayah dan Ibu bisa bicara bebas, tapi sebenarnya Ibu maunya aku di sana kalau-kalau aku bisa bantu memberikan informasi."

Dan itu yang dia lakukan. Kami memasuki rumah, dia meneriakkan halo ke Ana dan naik ke atas membawa tasnya, menutup pintu kamarnya dengan kencang memastikan kami dengar dan bisa memulai pembicaraan kami.

Menurutku, ini melanggar aturan yang kami sepakati karena kami seharusnya hanya bicara berdua saja, tapi pada tahap ini aku ga peduli. Setelah apa yang diceritakan Agnes, aku ga mau hal sepele itu menyebabkan lebih banyak emosi keluar sebelum kami mulai bicara.

Aku pergi ke dapur, dan Ana sedang menuangkan dua cangkir teh. Dia memakai kaos berbunga-bunga dan celana jins, ga terlihat usaha berlebihan untuk tampil istimewa seperti terakhir kali kami bicara.

"Aku ingin bicara di sini," katanya, "di meja makan. Kursi ruang tamu terlalu santai untuk pembicaraan kita."

Aku mengangguk, walaupun aku rasa dimanapun kami bcara suasana akan sama tegangnya. Saat kami duduk berseberangan. Dia menatap aku, dan dari raut wajahnya itu adalah bentuk ketidaksukaan dan kemarahan.

"Apa kamu mau bilang sesuatu?" tanyanya memulai, dengan cukup agresif pikirku. "Kalau nanti kamu sudah selesai, ada banyak yang ingin kukatakan. Jadi, silahkan kamu mulai."

Perasaan yang dia proyeksikan lewat kata-katanya memicu perasaan yang sama dalam diriku, dan aku mulai merasa marah. Dia sudah melihat bukti pengkhianatannya pada pernikahan kami yang sudah kuberikan kemarin, dan sekarang dia malah menyerang aku. Apa yang sudah kulakukan? OK. Aku juga bisa marah seperti dia.

"Aku sudah muak dengan permainan dan tipuanmu. Kamu mengaku mencintaiku, dan ingin aku kembali padamu. Kamu bilang padaku bahwa kehidupan seksualmu dengan Hadi sudah selesai, dan kemudian hari kamu di berada di ranjang lagi dengannya.

"Kamu bilang kamu hancur karena peristiwa penyeranganku dan akibat yang ditimbulkannya, tapi kamu terus-terusan membela orang yang membayar orang lain untuk membunuh aku sehingga dia bisa menarikmu ke tempat tidurnya. Kamu masih membelanya, mempercayainya dan menyiratkan bahwa aku adalah pembohong. Aku ga tahu kenapa kamu melakukan itu, sampai Hadi datang menemui aku dan lalu saat aku pergi menemui Linda Firmanto.

"Kamu selingkuh dengan Hadi jauh sebelum dia mencoba membuatku mati. Jadi sudah tentu kamu menginginkannya, dan ingin terus kembali padanya. Dia pasti lelaki yang luar biasa untuk bisa memikatmu seperti itu, seseorang yang sama sekali ga bisa kusaingi. Seperti yang dia bilang, kamu butuh aku untuk membiayai gaya hidupmu dan butuh dia untuk memuaskan gairah seksmu. Bukti perselingkuhanmu ada di laporan Linda. Selain itu tetangga di sebelah melihatnya datang sekali atau dua kali seminggu saat aku sedang bekerja dan anak-anak sekolah.

"Setidaknya dia masih punya kehormatan, kalau itu kata-kata yang tepat, untuk merahasiakan namamu dalam kasus perceraiannya, dengan harga yang sangat besar untuk dia dan mungkin juga perusahaannya sanggup bayar. Ga heran kamu begitu ingin memakai uangku untuk mengeluarkannya dari jurang kehancuran keuangannya.

"Juga ga heran, bahwa dia lalu butuh aku mati agar dia bisa mendapatkan uang kita. Semua buktinya ada. Uang dari rekeningnya diberikan pada tiga penjahat yang melakukan ini padaku, surat palsu untuk melapangkan jalanmu menuju pernikahan dengannya.

"Nah, kenapa kamu ga berhenti pura-pura dan kembali padanya? Oh tentu saja, anak-anak. Mereka benci dia dan ga akan mau kembali tinggal bersamanya, dan disaat kamu mendambakan tubuh laki-laki itu, kamu lebih mencintai anak-anakmu. Jadi, kamu siap memainkan sandiwara mencintai aku dan ingin aku kembali sehingga kamu bisa mendapatkan semuanya, uang, gaya hidup, anak-anak, dan Hadi saat kamu merasa sedikit gatal.

"Menurutku hubungan kecil yang kita punya sudah selesai. Kita perlu mengatur hak asuh anak-anak. Aku akan membelikanmu rumah dan mereka bisa tinggal bersamaku dan kamu bisa mendapatkan hak menemui mereka sesering yang kamu mau. Nah, semua sudah kukatakan. Jangan mencoba membantah bukti. Bukti sudah bicara sendiri kenyataannya."

Ada jeda. Dia kelihatan semakin marah saat aku mengoceh melalui omelanku, tapi juga ada kesedihan yang mendalam di sana. Dia tersentak dengan jelas bereaksi pada beberapa ucapanku yang aku anggap sebagai bentuk rasa bersalahnya.

"Apa kamu sudah selesai?" dia bertanya. Aku mengangguk dan duduk bersandar di kursi.

"Kamu kadang-kadang bajingan bodoh, Errik. Sekarang giliranmu mendengarkan aku, dan kamu akan mendengarkan aku seperti aku mendengarkan kamu tadi, diam sampai aku selesai ngomong. Lalu aku sarankan kamu bangkit dan pergi, dan pikirkan apa yang aku katakan. Aku yakin bahwa perekam handalmu yang berharga berfungsi dengan baik?"

"Ana," jawabku, "Kamu tahu aku butuh perekam itu. Ingatan jangka pendekku masih ga stabil."

"Oke, jadi kamu nanti bisa pulang dan memutar ulang lalu memikirkannya. Lalu balik kesini dan bicara lagi. Banyak yang ingin aku katakan, jadi bersabarlah.”

Lalu dia memulai kisahnya, dan untuk pertama kalinya, aku akan melihat dari sudut pandangnya.

"Aku ketemu dan jatuh cinta padamu dua puluh tiga tahun yang lalu. Aku ga tahu apa-apa tentang hidupmu, atau tentang ambisimu atau masa depan. Tahun-tahun awal pernikahan kita hidup relatif dalam kekurangan, saat kamu mulai membangun bisnismu.

"Saat kamu menunjuk Alfon sebagai pengacaramu seandainya kamu meninggal atau diculik, kamu meminta agar aku mengambil setengah dari perusahaan, dan aku menolak. Aku mencintaimu, bukan uangmu. Aku mencintaimu, bukan bisnismu. Karena cinta aku bertahan walaupun kamu sering ga ada karena harus keliling dunia untuk urusan bisnis, dan aku selalu rindu kamu segera pulang.

"Sebagai lelaki, kamu ga ada duanya. Aku sangat bahagia dengan kehidupan seks kita. Kehidupan seks kita selalu segar, seru, memuaskan - dengan garis bawah dan bold saat kamu perlu menulisnya, dan yang terpenting adalah penuh cinta. Sangat intens disaat kamu baru pulang dari tugasmu di luar kota dan kita sudah terpisah beberapa hari. Kamu adalah satu-satunya fokusku, dan ga ada orang lain yang masuk dan menganggunya. Kamu perlu tahu itu, karena sejak kamu kembali kita ga pernah bicara cukup lama untuk kamu bisa tahu itu.

"Sekarang aku tahu kamu hilang ingatan, tapi aku tidak. Jadi perasaanku padamu sekarang ga berbeda dibanding dulu. Aku tahu kamu ga percaya itu, tapi ga berarti itu bukan yang sebenarnya. Aku bisa paham bahwa dengan ingatan yang rusak, kamu mungkin ga merasakan hal yang sama.

"Aku akan mengesampingkan sejenak masalah yang disebut sebagai ‘perselingkuhanku’, sebagian karena masalah itu sebenarnya memang ga pernah terjadi, dan sebagian karena itu akan mengganggu alur dari apa yang aku ceritakan padamu."

Bukti! Bukti! Suara dalam kepalaku menjerit untuk protes padanya, tapi bibirku tetap diam.

"Saat kamu menghilang, hidupku berantakan. Kamu bilang, atau tersirat dalam ucapanmu, bahwa ga ada yang percaya kamu akan pergi dengan wanita lain kecuali aku sendiri.

"Maaf, Errik, aku sebenarnya juga menolak untuk percaya sampai bukti foto datang. Di sini aku akan bilang bahwa kamu harus sadar bahwa sekedar bukti saja tidak cukup. Aku akan membahas itu karena kamu salah tentang istilah ‘bukti yang berbicara sendiri’. Bukan itu yang sebenarnya terjadi. Bukti selalu dinilai berdasarkan penafsiran orang yang memegang bukti, dan sering kali mereka ga punya cukup pengetahuan untuk menafsirkannya dengan benar.

"Tapi saat itu aku juga percaya pada bukti foto itu dan percaya kamu benar-benar pergi dengan wanita lain, aku lalu ga mau percaya bahwa kamu akan pergi untuk selamanya. Berkali-kali aku terus bilang kamu akan kembali lagi, dan aku ga akan melepaskan harapan itu. Aku akan memaafkanmu. Aku cuma ga bisa mengerti kenapa kamu bisa melakukan perbuatan seperti itu dan jauh dilubuk hatiku aku merasa sangat bersalah karena kalau kamu pergi dengan wanita lain, itu artinya entah bagaimana aku pasti sudah mengecewakanmu sehingga kamu berpaling.

"Dan ya, kamu benar, hanya saat surat palsu Hadi datang, aku akhirnya menyerah berharap kamu kembali. Lalu aku benar-benar marah. Kamu sudah menghancurkan seluruh keluarga kita dan kehidupan kami dan nilai kami. Kamu sudah meninggalkan keluargamu tanpa menenggok kebelakang. Sekali lagi kamu ga akan percaya ini tapi sekali lagi itu benar, hanya setelah surat itu aku membuka diri untuk Hadi.

"Dan sekarang aku akan mulai membahas Hadi. Kamu perlu tahu kenapa aku menolak untuk percaya dia bersalah atas percobaan pembunuhanmu. Kamu ga akan menyukai apa yang aku katakan, tapi maaf, begitulah adanya.

"Kami bertemu di pesta itu, beberapa jam sebelum pergantian tahun. Istrinya sakit atau apa dan dia datang sendirian. Aku memperkenalkannya padamu dan setelah itu kita, itu berarti termasuk kamu, sering bertemu dengannya dari waktu ke waktu di pesta yang lain.

Diluar itu aku bertemu dengannya tanpa kamu saat aku sedang mengantikan pekerjaan teman kantorku yang sedang melahirkan bayi pertamanya, memimpin seminar berseri di sebuah hotel seminggu sekali selama enam bulan. Pada saat itu aku sudah memberitahumu dan kamu tahu soal itu, sayangnya kamu ga ingat sekarang.

"Cuma selama proses perceraiannya dan pada bulan-bulan setelah itu dia rutin berkunjung ke sini, bukan sebelum itu. Dia putus asa, dia benar-benar mencintai Linda tapi dia selalu wanita yang sulit untuk dihadapi. Kita, kamu dan aku biasa bercanda saat kamu pulang kerja tentang kedatangan Hadi ke rumah ini saat makan siang. Aku biasa bilang dia tipikal kontraktor, selalu di berada ditempat selain di mana dia seharusnya berada. Kita setuju dia seharusnya ga berkhianat dan selingkuh dari Linda.

"Tapi dia ga cuma datang saat siang hari, dia juga akan datang menemui kamu saat malam dan kamu sudah sampai di rumah, juga siang saat kamu di kantor. Kamu sering pergi minum bersamanya dan juga sesekali Alfon untuk menghiburnya. Kita berdua mendukungnya ketika dia benar-benar lemah.

"Saat kamu menghilang, lalu dia ganti mendukungku. Aku benar-benar hancur. Aku ga punya energi, aku kehilangan arah. Aku lumpuh. Aku cuma duduk selama berminggu-minggu tanpa melakukan apa-apa. Anak-anak diabaikan dan Hadi menghiburku dan memberiku harapan. Amanda membantuku mengurus anak-anak.

"Errik dia selalu sopan dan ga pernah satu kali pun berbuat di luar batas padaku. Dia akan memelukku dan aku akan menangis berjam-jam di dadanya, cuma itu. Ga pernah sekalipun dia memanfaatkanku yang sedang lemah, padahal dia sebenarnya bisa memanfaatkan kondisiku, aku butuh cinta setelah yang saat itu aku tahu kamu meninggalkanku dengan wanita lain. Aku dapat ciuman dari Alfon dan Vivi dan Susan dan sahabat-sahabat kita tapi aku juga butuh disentuh, aku butuh seks, dan ada sisi rapuhku yang baru ditinggalkan oleh suamiku untuk merasa diinginkan oleh laki-laki lain, entah dorongan untuk membalas perlakuanmu mungkin aku juga ga yakin, tapi kondisi hidupku saat itu membuat aku frustrasi.

"Dia lembut dan penuh perhatian. Dia bahkan memasak untuk anak-anak saat aku ga mempedulikan mereka. Memang akhirnya dia ga membantu apa-apa karena dia sama sekali ga bisa masak. Aku tanya padanya kenapa dia melakukan semua itu. Dia akan bilang bahwa kita menariknya melalui jurang perceraiannya, sekarang dia bisa melakukan sesuatu sebagai balasannya.

"Saat kamu menemukan bukti dia membuat surat palsu, aku tanya padanya kenapa dia membuat surat itu. Dia sangat malu tapi dia bilang bahwa saat itu aku hidup setengah hidup, dan sepertinya ga ada harapan kamu akan kembali lagi padaku, jadi dia melakukan itu untuk membuat aku terbebas dari ikatan. Dan itu berhasil. Aku menyerah berharap kamu akan kembali dan aku mulai menjalani hidupku lagi. Saat itulah aku menyadari kehadirannya sebagai seorang laki-laki, aku berpaling pada pria yang baik dan lembut ini dan membuka hatiku untuknya dan dia sangat bersyukur bisa punya wanita untuk dicintai lagi.

"Aku rasa setelah hubungan kami resmi dia berubah jadi sangat posesif sebagai pasanganku, mungkin karena dia pernah gagal berumah tangga. Dia bohong saat dia bilang padamu bahwa dia adalah pria yang lebih baik, dia ga sebanding denganmu di bidang apapun, termasuk seks, tapi saat itu cuma dia yang aku punya, dan dia sangat mencintaiku, dan sebaliknya aku mulai mencintainya, utamanya karena rasa terima kasih.

"Ga ada yang lain, dia adalah seorang pasangan untuk mendukungku membesarkan anak-anak, lebih baik daripada ga ada sama sekali. Memang dia sampai sekarang pun ga bisa dekat dengan anak-anak, dan dia cukup malas dalam hal pekerjaan rumah, tapi dia benar-benar mencintaiku.

"Apa yang aku coba tunjukkan padamu, Errik, adalah karakternya. Dia bukan pembunuh berdarah dingin. Aku tahu sifatnya. Dia juga sama bingungnya seperti aku disaat kamu menghilang. Saat ada seseorang yang mengaku sebagai detektif swasta meneleponnya dan bilang dia punya informasi soal kamu, Hadi mendesakku untuk menulis surat pernyataan dan memakai jasanya. Aku setuju dan akhirnya kami membuat surat itu bersama-sama."

"Detektif swasta menelepon Hadi? Boy Rolan itu?" Aku memotong.

"Ya. Orang itu bilang tinggal di Surabaya dan katanya dia ga sengaja dengar pertanyaan Hadi di hotel saat Hadi kesana mencarimu atas permintaanku.

"Sekarang, dengarkan," katanya, "Apa kamu serius menganggap bahwa dengan semua ingatanku tentang kehidupan cinta kita berdua, aku akan bisa sekedar berdiri di rumah yang sama dengan seseorang yang sudah mencoba membunuhmu? Kamu mungkin ga ingat banyak tentang kehidupan kita berdua tapi aku ingat.

"Saat kamu memberiku semua bukti tentang Hadi, aku kembali ke rumah dengan perasaan ingin membunuh, tapi saat aku sampai di sana, dia jelas benar-benar bingung untuk sekedar memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi. Aku sudah bersamanya selama berbulan-bulan, Errik. Aku tahu dia sungguh-sungguh ga tahu apa yang sedang terjadi. Dia benar-benar menganggap kamu menjebaknya sebagai balas dendam karena aku berhubungan seks dengannya. Maafkan aku Errik, tapi aku cukup mencintainya untuk berdiri di sisinya saat semua orang menganggapnya bersalah.

"Aku lalu mengambil risiko untuk meninggalkannya, melawan semua prinsip kesetiaanku untuk memberitahumu betapa aku mencintaimu, dan betapa aku ingin untuk kembali bersamaku. Itu yang aku rasakan. Lalu apa tanggapanmu saat aku mengatakan itu? Ga terlalu positif kan? Pertama kamu ga mau mempercayai aku dan kedua kamu selalu bilang bahwa kamu sudah punya orang lain.

"Jadi aku kembali untuk membantu Hadi. Dia sangat, sangat kesepian. Hidupnya sudah hancur seperti hidupmu, dan seperti hidupku. Jadi ya, aku berhubungan seks dengannya saat kamu pergi. Kenapa tidak? Kamu ga mau percaya padaku, atau dia, dan kamu ga akan kembali lagi padaku, jadi kenapa aku ga bisa kembali padanya? Dia menerimaku, dia butuh aku, dia mencintaiku disaat kamu menolakku.

"Kamu sendiri jelas ga sadar betapa menyakitkan melihat kamu bersama dengan dua wanita lain, keduanya menarik, keduanya pintar, sama-sama seksi, aku juga tahu kamu sudah tidur dengan mereka, tahu bahwa lebih dari sekedar seks mereka punya keintiman yang kuinginkan kumiliki denganmu, seperti yang dulu kita pernah punya. Nyatanya saat kamu masih bersama mereka, kamu ga akan pernah kembali padaku. Vivi melihat itu dan kamu tahu sendiri betapa dia suka mengatur kehidupan orang lain.

"Vivi-lah yang sudah meyakinkanku untuk terus berjuang mendapatkanmu. Dia sudah memanfaatkan Adrian untuk menarik perhatian Jenni. Aku tahu semua reaksimu yang luar biasa pada Vivi saat kamu tahu perbuatannya. Tapi semua itu selalu agar aku bisa kembali kepadamu. Aku lalu tahu bahwa aku mencintaimu lebih dari kebutuhan apa pun yang mungkin dipunya Hadi dan aku benar-benar selesai dengannya.

"Sekarang kamu memakai 'bukti' lagi. Rekaman suara Hadi yang frustasi saat mendatangimu dan mengatakan hal-hal yang sama sekali ga benar. Aku yakin dia hanya ingin membuatmu terluka. Aku sudah bilang kan dia pasangan yang posesif dan dia ingin kamu mundur dari persaingan, karena dalam hatinya dia tahu, selama ada kamu dia ga akan pernah memiliki aku seutuhnya.

“Aku ga tahu apa bukti yang Linda punya, tapi aku bisa memastikan padamu bahwa aku bukan wanita selingkuhan yang menyebabkan perceraian mereka. Aku akan tanyakan itu pada Hadi juga.

"Kamu selalu menyebutkan soal bukti. Aku membantah apa yang kamu katakan. Bukti selalu berdasarkan tafsiran. Aku pikir bukti yang kamu punya sangat ga lengkap, dan akibatnya kamu salah dalam menilai banyak hal. Aku tahu itu karena aku sudah mengalaminya sendiri ketika bukti foto kamu bersama wanita lain datang dan aku percaya kamu sudah selingkuh, tapi nyatanya bukan itu yang sebenarnya terjadi kan? Atau kamu mau bilang bukti foto dari Boy Rolan itu memang benar?

“Sekarang, aku ingin kamu pulang dan memikirkan apa yang aku sudah katakan. Kalau ingatanmu lengkap tentang hidup kita bersama, aku yakin kamu akan berusaha untuk mencari cara lain untuk melihat semua ini, untuk memastikan semua bukti itu salah. Pasti ada.

"Tolong, tolong, Errik," katanya sambil menatap mataku, "Coba pikirkan penjelasan lain untuk semua 'bukti' yang kamu punya."

Dia sudah selesai, dan merosot dikursinya.

Aku sangat kaget. Itu bukan penjelasan yang aku harapkan. Aku ga bisa memikirkan cara lain untuk menilai bukti yang aku punya, tapi keseriusannya sangat meyakinkan dan layak dicoba.

"Terima kasih Ana," kataku, "Aku akan memikirkannya. Aku masih menganggap bukti tentang Hadi dan kamu sudah cukup, tapi ya, aku akan memikirkannya lagi. Aku akan pulang sekarang."

"Oke. Aku berikan janjiku," katanya serius. "Kecuali atau sampai pembicaraan dan penelusuran kita selesai dan aku yakin kita sudah ga akan pernah bisa kembali bersama, aku ga akan melakukan hubungan seksual lagi dengan Hadi. Bukan karena dia bersalah, tapi karena aku lebih mencintaimu dan lebih menginginkanmu daripada apa pun dalam hidupku."

Aku masih ga mengerti, tapi aku mengangguk dan pergi. Tanpa ciuman, tanpa pelukan.

Aku mengemudi kembali ke apartmentku dalam kondisi pikiran yang kacau. Agresifitas dan keyakinannya sudah membuatku terpukul. Dia jelas ga terdengar seperti seseorang yang mencoba berbohong padaku. Penyangkalannya atas perselingkuhannya, tampaknya bisa dipercaya. Ga ada permohonan, ga ada kesedihan, hanya pernyataan bahwa dia ga salah dan dia sudah berbuat dengan jujur selama ini.

Aku melakukan apa yang aku janjikan, setelah aku masuk dan minum secangkir teh di depanku, aku duduk dan memutar ulang pembicaraan kami. Sebenarnya aku memutarnya beberapa kali, tapi sepertinya ga ada kemajuan, selain pemahaman yang baru tentang karakter Ana.

Aku memutar percakapan dengan ketiga teman sekolahnya, dan harus mengakui bahwa Ana sangat setia. Dalam hal ini, penjelasannya tentang perasaannya saat aku hilang tampak akurat. Amanda sebelumnya juga bilang hal yang serupa.

Aku juga bisa memahami kesetiaannya pada Hadi, tapi apa kesetiaan itu muncul dari perselingkuhan? Baru aku sadari bahwa Ana sama sekali ga menjelaskan tentang bukti yang dipunya Linda tentang pertemuan Ana dengan Hadi yang cukup serius untuk memicu perceraian.

Jadi aku duduk bersandar dan berpikir lebih dalam tentang apa yang dikatakan Hadi dan apa yang sudah ditunjukkan Linda padaku. Aku menemukan rekaman percakapan Linda di komputerku dan memutarnya berulang kali sampai aku hafal. Tapi itu ga banyak menolong.

Hal yang mengganggu adalah perkataan Ana tentang detektif swasta dari Surabaya. Ada yang ga beres soal itu. Aku membayangkan bagaimana bisa seorang detektif menawarkan jasanya dengan cara seperti itu. Bagaimana dia bisa tahu ke mana harus menelepon?

Lalu fakta bahwa detektif itu menyimpan dua foto yang membuktikan aku ga selingkuh. Dengan menahan kedua foto itu, Hadi mendapatkan keuntungan. Aku sadar bahwa Hadi bisa saja menghubungi orang itu dan memintanya untuk menelepon Hadi di waktu yang sudah disepakati, seolah-olah detektif itu yang menghubungi Hadi lebih dulu.

Pada akhirnya aku terlalu lelah dan menyerah dan pergi tidur.


Besok paginya, Adrian menelepon untuk tanya apa aku keberatan Agnes kerja magang di perusahaannya, karena perusahaan yang dipilih Agnes sebelumnya menolak. Aku pikir Itu akan jadi pengalaman dan latihan yang bagus buat Agnes untuk tahu dunia kerja lebih awal walaupun hanya selama beberapa minggu. Aku langsung setuju, dan aku berterima kasih atas perhatiannya.

Aku tanya padanya bagaimana kabarnya dengan Jenni.

"Luar biasa! Luar biasa!" jawabnya, "Dia... dia ... ya ..."

"Luar biasa?" Aku bertanya sambil tertawa, dan dia mengiyakan.

Saat Jenni datang ke kantor, aku menyapanya, "Halo, luar biasa!"

Dia tampak bingung.

"Adrian menelepon," kataku.

Dia tersenyum, "Ya, dia lumayan luar biasa. Kamu benar soal memberi kesempatan pada pria pemalu."

Kami mulai bekerja. Lalu datang panggilan telepon dari Alfon yang bertanya apa aku mau datang ke rumah mereka untuk makan malam, ada beberapa hal yang harus diselesaikan soal gedung baru, dan itu bisa sekalian dilakukan untuk menghemat waktu kami berdua.

Aku ga berharap menghabiskan waktu bersama mereka, tapi aku ga punya acara lain, jadi aku setuju. Dan ternyata itu keputusan yang tepat.

Makan malam lezat seperti biasa, dan Vivi tetap menjaga jarak sebelum makan malam sementara aku dan Alfon menyelesaikan urusan bisnis kami. Setelah itu kami duduk bersama dan minum kopi.

Lalu Vivi bilang pada Alfon bahwa dia harus membayar tagihan, dan Alfon menjawab bahwa Vivi tahu password untuk internet banking rekening mereka, dan kenapa Vivi ga membayarnya sendiri daripada harus menunggu Alfon. Lalu dia mengatakannya.

"Sejujurnya, Vi, kamu sama saja seperti Ana dan Errik. Ana ga pernah memakai rekening bersama yang dia punya dengan Errik meskipun dia tahu password internet banking nya, aku harus selalu mentransfer uang ke rekening pribadinya."

Itu adalah ‘eureka moment', aku menyadari sesuatu. Rekening bersama. Password. Dan aku tiba-tiba bisa melihat apa yang sudah lewat dari pengamatanku. Alfon tanya padaku ada apa. Aku menjawab bahwa aku punya beberapa hal yang harus diteliti, dan kalimat terakhirnya tadi sudah membantu memecahkannya. Aku akan memberitahunya saat ‘The kuartet’ ketemu lagi pada Jumat besok.

Saat aku sampai di apartment, aku memutar ulang percakapan dengan Linda. Itu dia. Hadi adalah seorang pengusaha yang payah dalam hal uang dan rekening. Linda yang memegang semua rekeningnya. Aku penasaran apa Hadi pernah mengubah password internet banking nya. Jika tidak, Linda akan punya akses ke rekeningnya lewat internet banking.

Jadi ada orang lain yang bisa mentransfer uang itu. Hadi bukanlah satu-satunya orang yang bisa membayar para pembunuh yang 'membunuh' aku. Bisa jadi itu dilakukan oleh seseorang yang membenci Hadi.

Penemuan baru ini ditambah penjelasan dari Ana kemarin, seketika membuat dosa Hadi sekarang kelihatan kurang pasti. Ada tersangka lain yang masuk dalam bingkai, tapi semakin aku memikirkannya, semakin kecil kemungkinannya. Hadi adalah satu-satunya yang mendapatkan keuntungan dari kejadian ini. Sudah pasti dia akan melihat uang itu keluar dari rekeningnya dan seharusnya curiga. Bagaimanapun, itu bukan jumlah uang yang sedikit.

Bagaimana mungkin Linda bisa terlibat, dan lebih tepatnya, kenapa? Dia ga dapat apa-apa dengan membuatku tewas. Aku ga kenal wanita itu sampai aku datang menemuinya, dan dia ga kenal aku. Tapi dia sempat bilang bahwa Ana dan aku adalah pasangan yang serasi, bagaimana dia tahu? Dia ga ada di pesta tahun baru itu. Apa mungkin Hadi sudah memberitahunya, mereka masih suami istri saat itu.

Apa yang menurutku adalah temuan yang bisa mengklarifikasi beberapa hal tampaknya malah semakin membuat air jadi keruh. Aku pergi tidur.

Selasa diawali dengan normal. Setelah perbuatan Vivi ke Jenni, radar 'jebakan’ di otakku semakin dipertajam, itu kalau memang radar itu bisa diperkuat, tapi aku menangkap dengan cepat saat Jenni membuat pernyataan yang seharusnya biasa saja.

"Ana tanya apa kamu akan datang makan malam hari ini. Anak-anak kangen ayahnya."

"Aku bisa," kataku sedikit curiga. "Bisa kamu telepon dan sampaikan padanya?"

Dia meneleponnya. Bagian percakapannya yang paling menonjol adalah, "Oke, Aku dan Adrian juga akan datang ke sana."

Aku semakin curiga ada sesuatu yang sedang direncanakan. Dan deteksi dari radarku benar.

Aku pulang kerja lebih awal dan bisa bermain dengan anak laki-laki di taman selama beberapa jam sebelum makan malam, dan saat kami masuk rumah untuk membersihkan diri sebelum makan, ada Adrian dan Jenni. Aku ga bilang apa-apa, tapi hampir menahan napas dan menunggu rencana apa yang mereka buat.

Setelah makan, anak-anak itu meninggalkan meja dan Ana bilang, "Kita bisa melanjutkan pembicaraan kita kalau kamu mau. Jenni dan Adrian akan membuat anak-anak sibuk, mereka punya PR yang harus dikerjakan."

Sekali lagi dia melanggar aturan. Kami harus membuat janji. Kami harus bertemu secara pribadi.

Begitu kami sendirian, aku mengatakan itu padanya dan aku jelas ga senang.

"Aku minta maaf," katanya, dan jelas dengan sungguh-sungguh, "Tapi kamu pernah menyinggung peranku dalam perceraian Linda dan Hadi, dan aku rasa dengan sedikit bantuan aku bisa menjernihkan hal itu. Apa kamu sudah memikirkan apa yang aku katakan sebelumnya?

"Sudah."

"Lalu?"

"Aku punya beberapa pemikiran, tapi itu belum lengkap, jadi mereka harus menunggu. Aku tetap yakin tentang beberapa hal tapi mereka akan disimpan sementara. Aku ga ingin membicarakannya malam ini."

"Oh." Aku bisa melihat dia kecewa, tapi aku ga suka pertemuan dadakan seperti ini dan aku ga akan mengalah. Aku tahu itu kekanak-kanakan, tapi itu yang kurasakan.

Kami masih ada di dapur dan aku dengar bel pintu berbunyi dan Jenni turun untuk membukanya. Ada beberapa suara percakapan, lalu Hadi masuk ke ruang dapur. Aku mulai berdiri, amarahku meningkat. Aku benar-benar sudah dijebak kali ini dan aku sama sekali ga suka.

"Ada apa ini, Ana? Aku pergi dari sini."

"Errik, aku mohon," dia memohon dengan sungguh-sungguh, "Hadi punya informasi penting untukmu. Aku sudah bicara dengannya sebelumnya dan dia mau bilang beberapa hal."

Dia menoleh ke Hadi, "Betul begitu kan, Hadi?"

Dia tampak malu dan enggan, tapi mengangguk lalu memulai.

"Errik, aku datang untuk meminta maaf dan ingin membantu menjelaskan soal urusan perceraian ini. Aku akan berterima kasih kalau kamu mau tetap disini dan mendengarkan aku."

Aku merosot kembali ke kursiku, merasa kalah.

"Oke," kataku pasrah, "Aku tahu aku kalah langkah. Katakan apa yang ingin kamu katakan."

"Duduklah, Hadi," kata Ana, menarik kursi untuknya. Hadi duduk menghadap aku; Ana duduk di ujung meja.

"Sekarang," kata Ana, "Mulailah"

"Errik," Hadi memulai. "Saat aku datang ke kantormu, aku dalam kondisi kacau. Aku sudah kehilangan segalanya dan sekarang sepertinya aku juga kehilangan Ana. Aku sebelumnya yakin aku adalah lelaki yang lebih baik dari kamu, dan karena itulah kenapa Ana terus kembali kepadaku. Sekarang Ana sudah meralat pendapatku itu. Sepertinya aku ga selevel denganmu. Itu memalukan buat aku untuk mengakuinya, tapi sepertinya kamu adalah laki-laki yang lebih baik. Aku minta maaf untuk hal-hal yang pernah aku katakan sebelumnya.

Dia menarik napas dalam-dalam. " Sekarang mungkin aku bisa mulai menjelaskan masalah perceraian dengan Linda. Ana tanya kenapa aku ga pernah cerita apa pun tentang perselingkuhanku yang menyebabkan perceraian. Yang aku bisa bilang adalah wanita yang selingkuh denganku bukanlah Ana. Aku dan ga Ana ga punya hubungan apa-apa sampai kamu menghilang. Itu adalah wanita lain. Namanya Dita dan aku bisa berikan nomor teleponnya sehingga kamu bisa memeriksa." Dia mengeluarkan buku catatan dan menuliskan nama dan nomor.

"Bisa kamu telepon dia siang hari, Errik?" Hadi bertanya. "Dia masih punya suami, dan suaminya ga tahu istrinya pernah selingkuh. Laki-laki itu kehilangan minat pada Dita saat dia kegemukan dan begitulah awal hubungan kami, kami bertemu di salah satu sesi seminar kesehatan yang dipimpin oleh Ana saat itu. Sekarang dia sudah langsing lagi, pernikahan mereka sudah kembali hangat."

Aku mengangguk. Ga mungkin aku ingin menghancurkan pernikahan orang lain.

Dia melanjutkan, "Saat Linda bilang dia akan mengumumkan nama wanita itu, aku pikir dia sudah tahu perselingkuhanku dengan Dita. Aku ga pernah tanya padanya siapa, karena hanya ada satu wanita yang terlibat perselingkuhan denganku. Aku sama sekali ga sadar kalau sebenarnya dia mengira wanita itu adalah Ana. Kamu bilang pada Ana bahwa Linda punya bukti foto?"

"Ya," aku harus mengakui bahwa aku sekarang sudah tertarik pada ceritanya.

"Nah, satu-satunya tempat yang bisa aku ingat di mana aku dan Ana terlihat di tempat yang sama sebelum perceraian adalah di gym hotel Pelican. Di hotel itulah aku dan Dita menghadiri seminar yang dipimpin oleh Ana."

"Kamu terlihat memasuki kamar hotel Ana," aku menyatakannya dengan lembut, menunggu pengakuan bersalah. Ga ada yang muncul.

"Cuma sekali. Ana pasti ingat. Aku tanya apa aku bisa memakai kamar itu setelah dia selesai, aku ga bisa pesan kamar disana secara mendadak, jadi aku meminta Ana memperpanjang sewa kamar yang dipakainya untuk persiapan sesi, agar bisa kupakai. Ana sudah pergi ketika Dita datang menyusulku ke kamar itu dan kami menghabiskan sore berdua di sana. Ga ada pertemuan yang lain setelah itu yang bisa kuingat.

"Satu hal yang kuinginkan adalah agar Ana bisa bahagia. Aku pikir dia butuh aku. Aku salah. Dia butuh kamu. Aku harus mengaku padamu bahwa aku sudah berbohong saat datang ke kantormu waktu itu, aku ga ingin kehilangan Ana, tapi sekarang aku mengaku kalau sebenarnya kami baru mulai menjalin hubungan dalam arti kata yang sepenuhnya setelah aku memalsukan surat itu.

"Aku minta maaf karena melakukan itu, tapi aku merasa kamu ga akan pernah kembali, dan Ana seperti terikat secara permanen dalam kesedihan dan penderitaan. Menurutku dia harus move on."

"Errik," kata Ana, "Setelah surat itu, aku yang berinisiatif. Hadi masih belum pernah mencoba merayuku, tapi aku butuh pelepasan dan cinta seorang pria."

Aku ga bereaksi secara fisik. Tapi kenapa pernyataannya bahwa dia yang mulai merayu Hadi sangat menyakitkan? Aku merasakan kemarahan yang dingin dan aku pikir itu adalah rasa cemburu. Tapi, aku menahannya karena aku butuh informasi.

"Oke," kataku, kejengkelanku terlihat. "Hadi, kamu bisa membantuku dengan sedikit informasi."

"Apa saja," katanya bersemangat. "Apa yang ingin kamu tahu?"

"Seberapa sering kamu mengubah password internet banking rekeningmu?"

Dia kelihatan bingung, "Ubah password? Memangnya bisa diubah?"

Kalau ga sedang duduk aku pasti sudah sempoyongan. Laki-laki itu benar-benar bodoh atau sengaja berbelit-belit. Aku harap kekagetanku ga kelihatan.

"Tidak apa-apa," kataku. "Cuma tiba-tiba pertanyaan itu terlintas di kepalaku."

Hadi lalu bangkit. Ga ada lagi yang bisa dikatakan. Dia berbalik ke arah Ana yang juga berdiri. Ana memeluk dan mencium pipinya dan Hadi pergi. Aku merasakan amarah yang ga bisa kuhindari muncul karena kemesraan mereka.

"Jadi?" tanyanya setelah pintu depan ditutup.

"Jadi apa?"

"Sudahkah kamu memikirkan tentang perkataanku sebelumnya, dan pertanyaan tentang apa itu tadi?"

"Sudah, dan bukti."

"Maksudnya?"

"Sudahkah aku memikirkan tentang perkatanmu sebelumnya? Sudah. Pertanyaan tentang apa itu tadi? Bukti."

"Errik, berhentilah berbelit-belit. Bicaralah yang jelas padaku."

"Oke," jawabku, "Sudah dua kali kamu melanggar kesepakatan kita tentang pertemuan. Kali ini kamu benar-benar dapat jackpot, rumah yang penuh dengan orang dan ditambah Hadi! Sekarang kamu mau aku terus bicara seolah-olah kita sendirian di apartmentku. Jangan harap."

Dia tampak kesal tapi ga bilang apa-apa. Dia menunggu. Aku juga menunggu. Lalu aku bangkit untuk pergi.

"Tolong Errik, ini membunuhku perlahan-lahan. Aku minta maaf soal malam ini, tapi aku cuma ingin kamu ketemu Hadi dan mendengarkan langsung apa yang dia katakan. Aku tahu kalau aku bilang bahwa dia akan datang, kamu ga akan mau datang."

"Aku muak dan lelah dijebak, pertama oleh Vivi dan sekarang kamu, Jenni dan Adrian. Itu menjengkelkan, Ana. Aku ga suka. Paham?"

"Oke, Errik. Aku minta maaf. Aku ga merasa itu akan jadi masalah besar."

"Kita bersama lagi, bukan masalah besar?"

"Jangan bodoh, Errik, kamu tahu maksudku. Tapi kalau kamu merasa begitu, sebaiknya kamu pulang."

"Aku akan pulang. Aku sedang ga mood untuk bicara dan situasinya ga tepat."

"Kamu akan datang makan malam besok?"

"Ga ada kejutan lagi?"

"Aku janji."

------

Saat aku bangun di hari Rabu pagi, aku merasa sangat bodoh. Caraku bereaksi sangat bodoh dan picik. Aku sudah seperti anak kecil yang manja, menjejak-jejakkan kakiku dengan marah. Aku ga ngerti kenapa aku kemarin sangat marah.

Kalau dilihat lagi, dari kejadian kemarin aku dapat informasi yang aku inginkan dari Hadi, dan berkembangnya perasaan yakin bahwa Ana selama ini ga salah. Setidaknya ada kemungkinan Hadi bukan satu-satunya tersangka, meski motif yang dia miliki tetap nomor satu.

Aku menelepon Ana segera setelah aku sampai di kantor dan meminta maaf.

"Aku ga ngerti kenapa kamu semarah itu," jawabnya, setelah menerima permintaan maafku dengan baik.

"Aku juga ga tahu," kataku, "Sepertinya hal-hal yang berbeda dari yang kukira memicu kemarahanku."

"Mau bicara malam ini?" dia bertanya ragu-ragu.

"Bisa kita tunda sampai Jumat? Aku harus pergi pagi-pagi ke luar kota besok dan ingin istirahat lebih awal malam ini."

Dia tampak senang dengan itu.

Hari berlalu dengan meeting dengan Jeffry tentang supplier yang akan aku temui. Biasanya dia yang akan kesana tapi dia harus datang ke tempat lain.

Malam itu sangat menyenangkan, Ana berusaha sebisa mungkin membuatku bebas dari masalah dan memintaku untuk bermain bersama anak-anak. Makanannya enak seperti biasa. Yang aku ga siap adalah serangan dari anak-anakku.

"Ayah," Stefan memulai serangan gencar itu, "Sebelumnya, Ayah bilang Ayah ga bisa tinggal disini karena Ayah bersama Tante Jenni."

"Ya?" Aku melirik Ana dengan pandangan menuduh.

"Jangan lihat aku!" serunya sambil tertawa, "Aku ga ada hubungannya dengan ini."

"Tidak, Ayah," kata Agnes, "Kami bertiga sudah bicara."

"Aku senang anak-anakku mau bicara satu sama lain, jadi ga terus-terusan berantem!"

"Iih, Ayah!" terdengar paduan suara.

"Tapi Ayah," Stefan lagi.

"Ya, Stefan?"

"Ayah sekarang sudah ga sama Tante Jenni lagi."

"Betul sekali."

"Jadi Ayah bisa balik sama Ibu sekarang," logikanya, untuk anak berumur sepuluh tahun, sekali lagi sempurna.

"Ya Ayah," kata Leo, "Ga ada lagi yang menghalangimu. Aneh tinggal di apartment dan datang ke sini buat makan."

Aku bingung bagaimana menjawab tanpa menyakiti Ana. Aku sudah cukup banyak melakukan itu.

"Jangan ganggu Ayah," Ana memotong, "Aku dan Ayahmu sedang membicarakan semua yang sudah terjadi. Saat kalian sudah dewasa, kalian akan paham kenapa dia ga bisa kembali begitu saja."

"Betul," aku menambahkan, "Ada banyak sejarah yang harus diselesaikan antara Ibu dan Ayah."

"Tapi," kata Stefan dengan gigih, "Ayah dan Ibu bisa mulai lagi dari awal, seolah-olah kalian belum pernah ketemu. Mulailah kencan gitu."

"Maaf Stef," kataku, "Semua yang terjadi pada Ayah dan Ibu membuat kami ga bisa begitu saja melakukan itu."

"Tapi Ibu cantik kan?" kata Leo.

"Dan dia hebat, baik, dan penyayang," tambah Agnes dengan binar di matanya.

"Agnes!" bentak Ana, "Hentikan itu, kamu tahu apa yang menghalangi kami."

"Hei Kak Agnes," kata Leo, "Kasih tahu kami, apa yang menghalangi mereka?"

Sekarang giliran Agnes yang bingung.

"Kamu ga akan ngerti," katanya.

"Kasih tahu dulu," kata Stefan, sekarang penasaran.

"Oke," katanya. "Kita semua mengira Om Hadi-lah yang sudah mencoba membunuh Ayah, dan Ibu tinggal bersamanya seolah-olah mereka sudah menikah. Ibu menceraikan Ayah dan perceraian berarti kamu ga lagi mencintai mereka."

"Tapi Ibu masih cinta sama Ayah!" protes Stefan, sekarang jadi jengkel. "Dia masih ingin bersama Ayah. Dia sudah meningalkan Om Hadi saat dia tahu Ayah ga selingkuh!"

"Ya, aku tahu," lanjut Agnes, dengan cukup sabar menurutku, "Tapi perceraian sangat menyakitkan bagi Ayah, dan pikiran bahwa Ibu cinta orang lain, bukan dia. Jadi mereka harus membicarakannya dan melihat apa ada yang bisa diubah."

Kerja bagus Agnes, pikirku. Dia juga memberikan makanan untuk pikiranku.

"Bisa kita berhenti membicarakan itu, anak-anak?" Ana memohon, mungkin sadar akan posisiku. "Ayah dan aku akan banyak bicara."

Mendengar ini aku membuat pernyataan yang mengejutkanku, bahkan menyentakku, dan aku sendirilah yang mengatakannya!

"Itu bukan berarti kami ga akan pernah bisa menyelesaikan semua ini, tahu. Beri kami waktu."

Kehangatan senyum di wajah Ana menyentuhku dan aku merasakan kehangatan itu membalutku dan bersarang dalam diriku.

Di pintu keluar, saat aku hendak pulang, Ana sekali lagi memberiku senyuman indah dan mencium bibirku sesaat.

"Terima kasih!" dia berbisik.

"Sama-sama," jawabku, meskipun aku ga yakin untuk apa dia berterima kasih, tapi aku tetap menerimanya.

Hari Kamis perjalanan ke Bandung berjalan dengan lancar. Aku naik kereta sebelum jam tujuh, sampai menjelang siang, dan jam dua siang kami sudah mengakhiri pertemuan bisnis. Lalu mereka bersikeras mengajakku makan, lalu aku pulang dengan kereta sore dan sampai di apartmentku jam sebelas malam. Duduk di kelas eksekutif aku jadi merasa ga terlalu capek.

Waktu yang kupunya selama perjalanan naik kereta adalah waktu yang lama untuk memikirkan semuanya. Masalah Hadi bersalah atau tidak bukanlah urusanku, meskipun aku memutuskan untuk menyampaikan informasi baru yang kupunya pada Hasan dan yang lainnya besok, saat kami bertemu.

Yang membebani pikiranku adalah hubunganku, atau kurangnya hubunganku, dengan Ana. Anak-anak sudah membuatku berpikir. Apa aku mencintai Ana? Apa aku menginginkan dia? Kalau dia menawarkan seks, apa aku akan mengambil kesempatan itu? Aku harus bilang bahwa jawaban untuk ketiga pertanyaan itu adalah ya.

Ana sangat cantik dan kecantikan itu diperkuat oleh kedewasaannya. Dia adalah tipe wanitaku, mandiri, bijaksana, tegas, dan aku sudah mempelajari dan melihat sendiri kesetiaannya yang kuat, meskipun kesetiaannya pada Hadi yang masih jadi batu sandungan. Mari kita hadapi itu, aku berkata pada diriku sendiri, dia seksi, daya pikatnya bagaikan magnet.

Jadi apa lagi masalahku?

Kalau aku bilang aku ingin kembali, aku tahu dia akan menerima aku. Apa lagi yang menghalangiku?

Lalu ada semburan amarah yang tiba-tiba muncul seperti sebelumnya. Apa itu kemarahan kepada Ana atau apa itu sesuatu yang lain? Sudah pasti aku tertarik, tapi dinding penghalang itu lebih kuat dari daya tariknya.

Mudah untuk menunjuk Hadi sebagai penyebabnya, tapi aku ga begitu yakin. Aku baru tahu sekarang bahwa seandainya aku kembali padanya, Hadi akan benar-benar keluar dari kehidupan Ana. Tidak, bukan itu pasti sesuatu yang lain. Dan sekuat apapun aku berusaha, aku ga bisa menemukannya. Akhirnya aku menyerah, mungkin masalahnya akan teratasi saat aku dan Ana bicara lagi.

Lalu aku ingat nomor telepon selingkuhan Hadi. Saat itu sudah terlambat untuk menelepon, tapi aku memutuskan untuk melakukannya besok pagi dari kantor.

Hari Jumat jam sebelas aku menelepon wanita itu dan dia, meskipun pada awalnya enggan, akhirnya mengakui perselingkuhannya.

Jadi sekarang aku yakin bahwa Ana sudah mengatakan yang sebenarnya dan begitu pula Hadi. Aku sekarang bersedia untuk mempercayai mereka tentang kapan mereka memulai hubungan mereka. Semua bukti sekarang menunjukkan itu. Kesaksian Amanda memperkuatnya, dan itu terkait erat dengan karakter Ana yaitu kesetiaan, dan simpatinya pada yang lemah.

Jenni dan aku bekerjasama dengan baik di kantor, dan kekhawatiranku tentang rasa bersalahnya karena sudah meninggalkan aku tidak terbukti. Bahkan, dia dan Adrian begitu dekat dengan Ana dan anak-anak sehingga dia sudah terasa lebih seperti adik ipar. Dia membereskan hasil kunjunganku ke Bandung tanpa aku minta.

Aku menelepon Ana untuk bilang malam ini aku ada janji untuk bertemu dengan ‘trio’ temanku dan ga bisa ikut makan malam terlalu lama di rumahnya, yang ditanggapinya dengan santai. Hari itu cuaca mulai panas. Aku sebelumnya berniat mengajak anak cowok dan Agnes kalau dia mau untuk hiking di puncak pada saat weekend, tapi dari ramalan cuaca sepertinya hari Sabtu atau Minggu besok cuaca akan cerah dan super panas.

Malam itu saat kami makan malam bersama, aku menyampaikan kekhawatiranku tentang acara besok. Ana mengusulkan lebih baik kami semua pergi ke klub house dimana dia sering kesana karena weekend ini sedang ada acara barbeque.

Di sana juga ada kolam renang outdoor, dan fasilitas bermain dan olahraga untuk anak-anak dan remaja. Leo dan Stefan sangat senang dan bahkan Agnes terlihat tertarik, tanya apa dia boleh mengajak teman. Aku penasaran apa yang dia maksud adalah pacar, tapi aku menahan diri untuk ga bertanya. Dia pernah bilang belum punya pacar, tapi di usianya sekarang banyak hal bisa berubah dengan cepat.

Jadi aku setuju dan diminta untuk datang ke rumah menjemput mereka besok jam sebelas membawa celana renang. Secara pribadi aku memutuskan bahwa aku ga akan melepas pakaian. Berenang di kolam gym-ku sendiri ga masalah karena ga terlalu banyak orang, tapi melakukan itu dengan kondisi tubuh penuh bekas luka di depan banyak orang sangatlah berbeda.

Aku pulang lebih cepat dan mengemudi ke apartment untuk memarkir mobil, dan lalu naik taksi ke Crossroad.

Mereka sudah disana dan gelasku sudah menungguku. Kami ngobrol tanpa tujuan untuk beberapa saat dan setelah itu aku memutuskan untuk membagikan apa yang sudah kutemukan.

"Bapak-bapak," aku memulai, "Aku sudah membuat beberapa penelitian soal kasusku, dan aku rasa kalian harus tahu apa yang aku temukan."

"Kedengarannya ga bagus," kata Jimmy.

"Tergantung bagaimana kamu menilainya. Ini dia," aku memulai.

"Pertama, Hadi bukanlah satu-satunya orang yang bisa mengakses rekening itu. Dia ga tahu apa-apa soal password internet banking, yang sebenarnya sampai sekarang masih sulit kupercaya, tapi menurut ku memang begitulah yang terjadi. Dulu mantan istrinya yang meng-handle semua rekening itu dan dia masih punya akses ke rekening itu karena passwordnya belum diubah."

"Apa kamu mau bilang Linda yang merencanakan pembunuhanmu?" tanya Hasan, "Tapi apa motifnya?"

"Tidak, aku ga bilang itu. Aku memberikan informasi. Ini membuka sedikit kemungkinan lain, dan masih ada lagi."

"Lanjutkan," kata Alfon, "Kamu tahu kan apa yang akan dikatakan Vivi kalau itu benar?"

"Semoga tidak," kataku. "Dia sudah cukup merepotkan." Alfon cuma tersenyum.

"Jadi?" Hasan mendesak.

"Alfon tahu aku pergi menemui Linda Firmanto. Dia sendirilah yang bilang padaku bahwa dia yang menangani semua uang Hadi sebelum perceraian, memegang semua rekeningnya, tapi dia juga bilang dia belum bicara sama sekali dengan Hadi sejak perceraian, dia masih begitu benci padanya. Ada sesuatu yang aneh tentang wanita itu."

"Aku ga bisa lihat banyak perbedaan," kata Hasan, "Hadi adalah satu-satunya orang yang punya motif nyata. Kenapa Linda ingin kamu mati? Hadi, ya jelas, motifnya adalah Ana. Wajar kalau Linda ingin Ana mati karena selingkuh dengan suaminya, tapi kenapa dia ingin kamu mati? Ga ada alasan kan. Hadi ingin mendapatkan Ana. Itu adalah uangnya yang dipakai untuk membayar pembunuh yang adalah pegawainya. Dan kamu ga bisa lupa, dia juga yang memalsukan surat itu."

Aku bisa mengerti maksudnya. Aku ga akan memperdebatkan asal usul kebencian Linda pada Ana dan Hadi.

Jadi percakapan itu berkembang ke hal-hal lain diluar temuan itu.

Alfon mengantarku pulang.

"Vivi bilang Ana mengajaknya untuk datang di pesta barbeque besok di ‘The River’, kamu ikut kan?" Dia bertanya.

"Ya!" Aku menjawab, "Ga tau tempat apa yang sering dipakai Ana ini?"

"Oh, ya ampun," seru Alfon. "Kamu ga ingat, ya? Kamu mengurus tempat itu sebelum kamu pergi ke Surabaya dulu, atau lebih tepatnya kamu meminta aku untuk mengurusnya."

"Apa? Aku ga paham."

"Ana mau apply jadi member 'The River'. Itu tempat yang luar biasa bagus, tapi sangat eksklusif dan mahal, dan mereka menolak permohonan Ana. Dia sangat marah, klub itu punya fasilitas yang bagus dan lahan yang luas. Di sana bahkan tersedia kamar hotel untuk menginap, meskipun ga terlalu banyak.

"Kamu marah dan meminta aku untuk meninjau tempat itu. Aku mendapatkan informasi pemiliknya ingin menjual tempat itu karena rugi besar. Karena kebijakannya untuk membuat tempat itu eksklusif, dia sudah menolak banyak orang yang ingin jadi member disana, termasuk Ana.

"Jadi, Kamu bilang padaku untuk menawar harganya serendah mungkin dan membelinya. Aku menawarnya sampai jadi tujuh setengah milyar diluar hutang-hutangnya. Lalu kamu menghilang tapi aku masih melanjutkan proses pembelian, sesuai instruksimu sebelumnya. Aku agak lupa menceritakan itu, tapi yang jelas kamu yang punya tempat itu.

"Sudah tentu, Ana segera dijadikan VVIP member. Aku menunjuk seorang General Manajer untuk mengelola tempat itu. Namanya Martin Tjahjadi. Dia membuat tempat itu lebih mudah diakses dan menurunkan harga. Dia menutup hotel yang sudah jadi sumber kerugian utama. Ga ada yang perlu menginap disana, semua orang yang memakai tempat itu tinggal di kota ini, tapi kalaupun ada hotel itu dipakai untuk tempat selingkuh, dia jadi saksi beberapa rumah tangga yang hancur disana. Jadi begitulah. Sekarang klub itu sudah menghasilkan untung besar untukmu.

"Martin agak unik dalam beberapa hal, tapi dia sukses menghasilkan uang, dan tempat itu berjalan dengan baik. Sangat efisien."

"Oke," kataku. "Aku ga sadar bahwa aku punya club house. Seandainya tahu aku bisa pakai sendiri."

"Jaraknya lumayan jauh dari sini, jadi untuk kesana sehari-hari kurang praktis untukmu. Tapi untuk Ana tempat ini berguna karena dekat dari kantornya. Bagaimanapun, ada begitu banyak hal lain yang sudah terjadi, aku cukup lupa soal tempat itu. Ini benar-benar penghasilan sampingan buatmu."

Tiba-tiba aku ga sabar menunggu hari esok.



Bersambung... Chapter XXVII
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd