Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Pulang

Ana juga bersalah, karena karena mempercayai omongan hadi, terus kata temen SMA-nya dia susah jatuh cinta tapi kenapa bisa jalan sama badi, trs tau suaminya masih hidup, tapi kenapa jalan terus sama melakukan sex sama hadi katanya enggak cinta, tadi sex jalan terus sama hadi
Nah ini betul sekali. Makanya dichapter kmaren errik seolah2 percaya begitu saja segala omongan ana dan hadi dan mulai mngendurkan kecurigaannya jdi agak mngecewakan sih. Mana errik yg memiliki analisis pemikiran yg kritis dan cerdas?
 
wkwkwkwkw...
besok malam ya saya update lagi.. saya terpaksa harus mengubah beberapa skenario untuk menegaskan beberapa hal yang sebenarnya sudah pernah saya sebutkan sebelumnya.

Jadi mohon dimaklumi kalau kesannya ceritanya muter² terus, karena nyatanya saya terlalu cupu untuk bisa menjelaskan dengan tepat dalam satu kali cerita.

jadi stay tune terus dan jangan lupa like, komen dan subscribe biar ga ketinggalan..
Ditunggu,, semangat hu
 
wkwkwkwkw...
besok malam ya saya update lagi.. saya terpaksa harus mengubah beberapa skenario untuk menegaskan beberapa hal yang sebenarnya sudah pernah saya sebutkan sebelumnya.

Jadi mohon dimaklumi kalau kesannya ceritanya muter² terus, karena nyatanya saya terlalu cupu untuk bisa menjelaskan dengan tepat dalam satu kali cerita.

jadi stay tune terus dan jangan lupa like, komen dan subscribe biar ga ketinggalan..
Mantap suhu..... Biar saya yang lemot ini bisa lebih memahami dan merasakan suspens emosinya
 
saya mulai 'tersentuh' dgn cerita ini ketika sosok gadis remaja (agnes) yg berdiri didpn bekas rumahnya yg rindu akan keluarganya yg bahagia dulu sblm ayah yg dicintainya menghilang..jenni membawanya masuk dan mempertemukannya dgn errik, dr situlah agnes tau kalau ayahnya msh hidup...

saya tdk mempermasalahkan dinamika sexnya dlm cerita ini, mau seganjil apapun hub sex yg terjadi krn ini adalah thread cerita sex, tp sy lbh memperhatikan anak² errik yg msh dibwh umur dan blm tau apa² soal problematika..yg mereka tau adalah ayah yg mereka cintai menghilang kemudian ibu yg mereka cintai jg tidur sekamar dgn laki² lain tp blm menikah dan meninggalkan rumah yg begitu menyimpan kenangan semua..kemudian ayah mereka muncul lagi dan tdk sesuai dgn yg mereka dengar kalau ayahnya pergi meninggalkan mereka dgn wanita lain..tp kemudian ibunya tdk mau memilih tinggal bersama dgn ayahnya yg mereka clintai tp malah lbh memilih bolak balik tinggal bersama laki² lain itu..

krn cerita ini sdh melibatkan anak² jd sy ikut merasakan apa yg mereka rasakan..emang cerita ini terkesan 'amerika style' dr sudut pandang sexnya tp sy tetap merasa hrs sesuai dgn karakter kita yg ketimuran ini..pengalaman sex yg dilihat anak² errik pasti akan terekam dgn baik sepanjang hidup mereka dan itu sangat tdk baik melihat ibunya hidup dgn laki² lain tanpa menikah..satu²nya yg bisa 'menyelamatkan' jalan pikiran mereka adalah dgn membuat hadi masuk penjara, dgn demikian yg ada dipikiran anak² errik adalah ibunya melakukan sex dgn org lain krn tertipu oleh org jahat yg selama ini berpura-pura baik bkn krn mengkhianati ayah mereka..

jadi keinginan saya kalau hadi bersalah krn emang ada bukti kuat kalau dia bersalah bukan serta merta tdk melihat kemungkinan lain dan jg faktor psikologi anak² errik yg jadi pertimbangan saya jg, dgn harapan cerita ini berakhir happy ending bagi mereka yg tdk bersalah terutama anak² errik, tks jg untuk brur @Gentile
Ya ya .... Benar ...

2 Dua karya @suhu Gentile memang sangat kebarat barat an atau American style ... Dan untuk Sikap Ana yang sudah tinggal serumah dengan Hadi ketika sudah ( saya kata sudah bukan baru ) tunangan. kalau adat timur baru tunangan sudah tinggal serumah saja sudah tabu ... Well sekali lagi ini model American style jadi wajar kan , lha wong tinggal serumah tanpa ikatan saja sudah biasa .

Untuk percakapan sex Hadi Ana , Ana juga menyadari gak baik , karena Ana menyuruh Hadi memelankan suaranya , dan Errik juga mengakuinya ...

Dari plot awal sebernarnya suhu @Gentile ini menyiratkan Bahwa Ana dan Hadi ini tidak bersalah mereka adalah korban juga , mereka berbuat itu karena keadaan yang membuat nya ... Dan dari sebagian reader tetap menganggap Ana dan Hadi salah menurut ane juga ... Mungkin suhu @ gentile belum berhasil menjelaskan alasan nya mereka gak salah ( walau sudah di jelaskan juga ) ...
Ana menceraikan Errik karena sakit hati di tinggal selingkuh , ini di dapat dari foto yang di kirim Lindan firmato . Ana sangat marah dengan hal itu sampai menolak ketemu dengan Errik ...
Hadi membuat surat palsu untuk menolong Ana dari jurang Depresinya karena di tinggal errik . Ana berhasil bangkit dari depresi, dengan modal rasa marah dan dendam ingin membalas ... Dan dengan sangat baik Hadi memanfaatkan situasi tersebut untuk mendapatkan tubuh , hati dan Harta Ana ...
Dasar inilah yang membuat suhu @ Gentile menyiratkan kalau Ana dan Hadi tidak bersalah ...

Tapi mungkin suhu lupa bahwa ... Niat yang baik itu harus dengan cara yang baik juga ... Seperti kita mencuri untuk membatu orang lain ... Walaupun alasannya benar tapi kalau caranya salah , ya tetap saja salah kan ...
Nah begitu juga Ana dan Hadi ini ...Dan Ana belum sekalipun minta maaf ke Errik ...

Tapi untuk kasus sebelumnya mereka selingkuh tidak terbukti dan juga keterlibatan mereka dalam kasus Errik belum terbukti ...

Tapi ini semua menurut Ane sih ... Mudah mudahan nanti malam Suhu @ Gentile mau memberikan alasannya ... Sehingga Ana lekas minta maaf ke Errik ....
 
Terakhir diubah:
Ana juga bersalah, karena karena mempercayai omongan hadi, terus kata temen SMA-nya dia susah jatuh cinta tapi kenapa bisa jalan sama badi, trs tau suaminya masih hidup, tapi kenapa jalan terus sama melakukan sex sama hadi katanya enggak cinta, tadi sex jalan terus sama hadi
Ana Marah dan cemburu karena Errik tidak mau balikan dengannya dan malah memilih Jeny dan tidur dengan Jeny ...
Rasa marah dan cemburu nya di lampiaskan kembali tidur dengan Hadi. Ana Balas dendam , kalau Errick dengan Jeny , Dia kan bisa dengan Hadi ...

Hal menunjukan kesalahan Ana lagi sehingga Errik semakin tidak suka Ana ( katanya cinta kog selingkuh lagi ) atau contra indikasi sikap dari Ana itu sendiri ... Coba bayangkan sakit hatinya errik ...

Dan Ana tidak menyadari kesalahnnya itu dan malah menyalahkan Errik , di mana logikanya Ana coba ?????
 
XXVII. Rekonsiliasi


Aku ga bisa tidur nyenyak malam itu. Entah kenapa aku sering terbangun setiap beberapa jam dan butuh waktu lama untuk kembali tidur. Akhirnya jam lima pagi setelah kesekian kalinya aku terbangun, aku bangkit dan membuat teh hangat dan meminumnya di ruang tamu. Hari mulai terang saat aku akhirnya tertidur di sofa dan mau ga mau aku bangun kesiangan, dibangunkan oleh suara telepon. Saat itu sudah hampir tengah hari, dan badanku terasa kaku dan sakit semua. Matahari cerah dan suhu udara masih panas.

"Errik, kamu dimana?" teriak mantan istriku yang marah di telepon, "Kita ketemu langsung disana saja. Kami akan berangkat duluan, anak-anak sudah lapar. Kamu tahu kan dimana tempatnya?"

"Ya ampun!" Aku mengerang, "Pelan-pelan. Aku kurang tidur semalam."

"Oh maaf!" dia berkata lebih pelan, "Kamu ga apa-apa? Kamu bisa datang menyusul?"

"Beri aku waktu satu jam. Aku akan datang ke sana."

Aku mandi dan menyiapkan handuk bersih dan memakai celana renang, untuk berjaga-jaga. Aku memakai kemeja longgar dengan warna cerah dan celana panjang paling tipis yang bisa aku temukan di lemari untuk melapisi celana renang yang kupakai, kaus kaki pendek dan sepatu kets. Aku mengemudi, mensyukuri tempat parkir apartment yang teduh di bawah tanah dan AC mobil.

Setelah mengemudi selama satu jam lebih, aku sadar Alfon benar, tempat itu terlalu jauh dari apartmentku untuk kudatangi secara rutin, tapi tempat ini dikelilingi oleh beberapa perumahan besar yang penghuninya menjadi member di sana. Aku parkir di tempat parkir mobil yang luas dan memasuki area resepsionis. Aku ga menyangka sama sekali kejadian selanjutnya.

Lobby ber-AC serasa bagaikan surga, sangat sejuk. Begitu pula gadis cantik yang berdiri di belakang meja resepsionis. Aku mendekatinya dan dia mendongak dengan senyuman yang hilang dengan cepat dari wajahnya. Aku tahu penampilanku yang mempengaruhinya, aku sudah terbiasa dengan reaksi itu.

"Ya?" katanya, dengan datar, meskipun bukan ga sopan, tapi menurutku ga seramah yang seharusnya sebagai seorang resepsionis.

"Saya datang untuk ikut acara barbeque," kataku, agak jengkel.

"Bapak bukan member," katanya. Bukan pertanyaan tapi sebuah pernyataan.

Aku berpikir sejenak. Apakah pemilik tempat ini terhitung sebagai member? Mungkin bukan.

"Memang bukan," jawabku.

"Acara ini khusus untuk member," katanya. "Maaf." Aku yakin dia ga bermaksud minta maaf.

"Saya datang karena sudah ada janji dengan mantan istri dan anak-anakku. Dia adalah member disini."

Pertanyaan berikutnya seharusnya adalah nama mantan istriku yang menjadi member, tapi pertanyaan itu ga ditanyakan.

"Maaf, acara ini untuk member dan keluarganya. Karena Bapak bukan lagi anggota keluarganya, menurut saya berarti Bapak ga boleh masuk."

"Menurut saya, Mba Hani," aku melihat name tag di dadanya dan berusaha berkata sesopan mungkin, "Saya boleh dan akan diterima di sini. Boleh panggilkan manajernya."

"Sepertinya dia sedang sibuk dengan acara barbeque. Saya bisa buatkan janji besok kalau Bapak mau ketemu untuk mendaftar sebagai member."

"Tidak. Panggil dia sekarang."

"Slamet!" dia berteriak dan seseorang laki-laki berambut cepak dengan badan atletis keluar dari pintu di belakangnya.

"Bapak ini," kata Hani, aku ga suka nada bicara yang dia pakai, "Ga boleh masuk tapi dia tetap ngotot dan ga mau pergi dari sini."

Slamet datang melewati meja resepsionis dengan pandangan mengancam. "Silahkan pergi, Bos, sebelum ada yang terluka."

"Pikir lagi kalau kamu memang serius berniat melukaiku," aku membentak, "Biar aku beri tahu, kalian berdua sebentar lagi akan kehilangan pekerjaan!"

Slamet berhenti sejenak karena kaget atau bingung pada reaksiku, saat itu aku sudah mengeluarkan ponselku.

"Alfon!" Kataku, "Kamu bisa tolong suruh Martin datang ke resepsionis? Ga usah bilang apa-apa, suruh saja dia datang. Aku ada perlu dengannya."

Sekarang suasananya berubah. Mereka tampak bingung. Lalu seseorang dengan setelan jas lengkap – aneh di cuaca sepanas ini dia tidak kepansan memakai pakaian seperti itu - yang seharusnya adalah Martin, masuk ke lobby dari pintu samping yang tembus ke area pesta barbeque.

"Ya?" katanya sambil menatapku. Aku tahu tatapan itu, aku sering melihatnya, dan barusan tadi juga ada di wajah Hani resepsionis itu.

"Mereka berdua melarang aku masuk. Mereka bersikap acuh dan ga ramah serta ga sopan, dan yang satu ini," aku menunjuk pada Slamet, "Sudah mengancam aku."

"Baiklah, Pak," dia memulai, "Acara pesta ini hanya untuk member. Aku rasa Bapak bukan member, kan?"

"Bukan," kataku.

"Yah, kalau begitu..."

"Aku pemilik tempat itu."

Ketiganya menatapku sejenak, lalu Martin mulai tertawa, dan yang lainnya mendengus dibelakangnya. Pada saat itu, Alfon masuk dari pintu lain mengandeng Vivi yang tampak pucat.

"Errik," dia bertanya, "Ada apa sebenarnya?"

"Pak Alfon kenal Bapak ini?" tanya Martin pada Alfon.

"Oh ya, aku kenal dia. Apa belakangan ini kamu ga pernah nonton berita?"

Dia tampak menyadari sesuatu, "Oh, Bapak adalah orang itu..."

"Ya." Kataku sangat jengkel.

"Yah, saya ikut prihatin soal musibah yang sudah menimpa Bapak," kata Martin, "Apa polisi sudah menangkap penjahatnya? Tapi apa pun itu sekali lagi saya minta maaf, acara hari ini khusus untuk member saja."

"Mantan istriku dan anak-anakku ada di dalam sana, dan aku ingin bergabung dengan mereka."

"Maaf..."

"Martin," kata Alfon memotong, "Kamu masih belum paham ya? Dia ini Errik Riccardson. Seharusnya kamu kenal dengan jelas nama itu walaupun tidak pernah bertemu dengan orangnya.”

Ada saat yang menyenangkan saat bola matanya membesar, seakan mendorong warna putih di matanya menyebar ke seluruh wajahnya, dia memucat diikuti oleh ekspresi ketakutan dan kekhawatiran, dan ya, bahkan ngeri.

"Ya Tuhan!" katanya.

"Bukan, aku bukan Tuhan," jawabku. "Aku cuma orang biasa yang kebetulan menjadi pemilik tempat ini. Sekarang, apa aku sudah boleh masuk?"

"Oh... Ya... Tentu saja, Pak Errik!" Sekarang keringat sudah mulai muncul di wajahnya.

"Aku perlu mengadakan meeting panjang dengan kamu soal pengelolaan tempat ini dan tentang pelatihan staf. Aku ga mau ada calon pelanggan potensial yang diperlakukan dengan cara yang sama seperti mereka berdua sudah memperlakukan aku."

Kekagetan luar biasa yang tampak jelas di wajah kedua karyawan itu berubah menjadi ketakutan. Hani tahu dia seharusnya tadi lebih sopan padaku, sedangkan Slamet hanya tahu bahwa nasibnya mungkin ga akan bisa ter-slamet-kan. Mereka tahu pekerjaan mereka sekarang terancam.

"Saya akan mengurus masalah itu. Mereka akan saya berhentikan," Martin berpaling kepada mereka berdua saat aku memotongnya.

"Tidak, Martin, belum saatnya. Minggu depan Aku akan mewawancarai mereka."

Dia kelihatan panik. Dua yang lain tampak ketakutan. Aku suka momen itu.

“Errik,” kata Alfon, memotong seringai jahat dari bibirku, “Aku minta maaf karena harus pulang duluan, Vivi sepertinya kurang sehat. Kami bahkan belum sempat ketemu dengan Ana dan anak-anak, sampaikan salam kami pada mereka. Nah, Selamat bersenang-senang,”

Mereka lalu berjalan keluar ke parkir mobil, diiringi pandangan Martin yang sepertinya bingung antara harus mengantarkan Alfon atau menyambut bosnya yang baru kali ini ditemuinya. Aku berbalik, meninggalkan tiga orang pegawaiku yang belum tahu harus apa, berjalan melewati pintu masuk dan langsung menuju ke area kolam. Mendengar bisikan-bisikan belakangku saat aku berjalan. Aku tersenyum, kadang punya wajah jelek seru juga.

Ada cukup banyak orang di sekitar kolam renang dan di taman berumput di sekelilingnya. Ada antrian panjang di meja prasmanan dan satu lagi di meja barbeque. Leo dan Stefan ada dalam antrian meja barbeque. Aku melihat sekeliling dan ada Agnes dengan gadis lain yang aku rasa aku pernah lihat, sedang bicara dan digoda oleh empat atau lima pemuda remaja. Dia memakai dress santai tanpa lengan yang cukup tipis, untuk melapisi pakaian renang putih yang ada dibaliknya, samar-samar terlihat saat dress itu menempel di tubuhnya.

Aku melihat sekeliling lebih jauh dan aku melihat Ana sedang duduk di sebuah kursi kolam yang ada di atas rumput di bawah pohon besar. Ana memakai dress santai yang sangat mirip dengan yang dipakai Agnes. Di baliknya ada baju renang one-piece warna hitam.

Aku berjalan mendekat dan dia melihat aku, dia berdiri dan mencium pipiku, lalu kami duduk, aku menyampaikan salam dari Alfon dan Vivi dan dia bilang dia juga belum lama sampai disini dan menungguku untuk mengambil makan siang bersama-sama. Jadi, aku mengajaknya berdiri dan bergabung dengan antrian meja prasmanan.

Kami kembali ke kursi dan menghabiskan makan siang kami. Setelah kami selesai, dia mengambilkan minuman untuk kami, aku soda dan dia jus, lalu dia duduk bersandar di kursinya. Aku melakukan hal yang sama. Kami berdampingan setengah berbaring.

"Aku sudah cukup lama menunggu," dia memulai, "Untuk kamu mau menceritakan apa yang kamu temukan saat kamu memikirkan tentang apa yang sudah terjadi. Tolong, Errik, beri tahu aku."

"Oke," kataku. "Sejujurnya aku mulai bisa percaya apa yang sudah kamu bilang tentang hubungan kamu dengan Hadi. Aku tahu kamu selalu setia padaku sebelum peristiwa itu terjadi. Selain itu, aku sekarang cenderung bisa percaya pada apa yang kamu bilang soal Hadi ga bersalah. Sebagian karena kamu sudah jauh lebih mengenalnya, tapi utamanya karena kandidat kemungkinan tersangka yang ingin aku mati sudah melebar."

"Maksudmu?"

"Kamu tahu kan aku sudah datang menemui Linda Firmanto. Ada sesuatu yang dia katakan waktu itu. Aku ga sadar sampai Alfon komentar pada Vivi setelah kami makan malam. Dia bilang mereka punya rekening bersama dan Vivi juga tahu passwordnya, kenapa dia harus menunggu Alfon yang melakukan pembayaran tagihan."

"Aku masih belum paham arah ceritamu."

"Linda bilang Hadi payah di bidang pencatatan dan keuangan bisnisnya. Linda yang mengerjakan semuanya. Karena itulah sebabnya aku tanya pada Hadi soal password. Dia ga pernah mengubahnya, bisa kamu percaya itu, Ana? Dia ga tahu cara menggantinya! Kamu ingat jawabannya?"

"Ya," katanya sambil berpikir, aku tahu dia sedang mencoba menganalisa apa yang kukatakan. "Aku juga sebenarnya kaget saat dia bilang ga tahu cara mengubah password. Jadi, menurutmu ada kemungkinan Linda yang mentransfer uang itu untuk membayar orang-orang yang mau membunuhmu begitu?"

"Bisa jadi. Kemungkinan itu jadi terbuka."

"Tapi, kenapa dia ingin kamu mati? Kamu ga terlibat apa-apa dalam apa yang disebut sebagai perselingkuhanku dengan Hadi?"

Aku mengagumi kejujuran dan kecerdasannya. Bagi seseorang yang selalu membela Hadi, disaat aku menyebutkan nama orang lain yang bisa jadi tersangka, seharusnya dia akan mendukungku agar Hadi bebas dari tuduhan. Tapi alih-alih memanaskan kemungkinan Linda sebagai tersangka, dia malah mengajukan keberatan.

Dia melanjutkan, "Jadi, hanya karena dia bisa mengakses rekening Hadi bukan berarti dia akan melakukan sesuatu seperti itu, walaupun dia bisa."

"Ana, kamu meminta aku untuk melihat lagi semua bukti yang aku punya, dan inilah yang muncul ke permukaan. Jadi menurutku pelakunya antara Hadi atau Linda karena hanya merekalah yang punya akses untuk membayar preman-preman itu."

"Tapi itu akan bikin kita balik lagi ke pertanyaan, kenapa Linda mencoba membunuhmu? Kalaupun kita asumsikan rencananya adalah agar kamu mati, pada akhirnya akan muncul situasinya akan sama seperti yang sudah terjadi sebelum kamu muncul, aku mungkin akan menikah dengan Hadi dan dan dengan begitu Hadi akan punya uang lebih banyak daripada yang bisa diimpikan oleh Linda Firmanto, meskipun untungnya skenario itu tidak terjadi. Jauh lebih masuk akal jika Hadi yang ingin membunuhmu."

"Sekali lagi, kamu benar. Persis seperti yang dikatakan Hasan saat aku memberitahunya tadi malam. Linda ga punya motif untuk membunuhku. Sekarang, apa kamu sudah mengerti kenapa aku terus-menerus meragukan Hadi? Aku ga mengenalnya sebaik kamu, dan bagiku hanya dia yang punya motif kuat untuk membuatku mati."

Dia berpikir sebentar, dan mengangguk.

"Oke," katanya. "Aku selalu menganggap kamu asal tuduh. Sekarang aku mengerti kamu cuma butuh jawaban dan kamu cuma mencari kebenaran. Aku minta maaf karena menyangka kamu terlalu membenci Hadi hanya karena dia sudah..."

Ada jeda sebentar, lalu dia berkata, "Aku mau berenang, matahari terik sekali, bahkan dibawah pohon ini aku merasa sangat panas."

"Kamu memang panas di mana pun kamu berada," aku menjawab tanpa berpikir.

Dia diam dan menatapku, sadar apa maksudku. "Kamu ga pernah komentar soal penampilanku sejak kamu kembali. Kenapa tiba-tiba sekarang komentar?"

"Aku dulu masih sama Tris atau Jenny," jawabku sambil berusaha kabur dari situ, meskipun aku sedang berbaring, "Aku selalu menganggap kamu cantik, sangat menarik. Siapa yang ga?"

"Lalu kenapa kamu ga berusaha mendekatiku?"

"Aku bersama orang lain. Aku mencoba untuk setia dengan wanita yang bersamaku, dan seperti yang kamu tahu ada masalah lain diantara kita. Nyatanya walaupun aku ga bisa mendekatimu karena semua yang sudah terjadi, bukan berarti aku ga menganggapmu sebagai wanita yang menarik, terutama saat memakai gaun pendek dan baju renang hitam dengan potongan seksi!"

"Jadi - kamu ikut berenang atau tidak?" Tanyanya menahan senyuman.

"Sepertinya ga," kataku, walaupun sebenarnya tergoda menikmati sejuknya air kolam di cuaca yang panas ini, "Aku lebih baik berenang sendiri."

"Oh, ayolah Errik," dia membujuk, "Kamu sudah jauh-jauh kesini, sudah lama kita tidak menghabiskan waktu berdua."

“Tidak," kataku tegas.

"Please!"

"Oke," seruku, "Tapi kamu sendiri yang memaksa. Aku akan tunjukkan kenapa aku ga mau berenang disini." Aku melepas bajuku dan menurunkan celanaku.

Di seluruh kompleks ‘The River” ini sangat berisik, suara teriakan, anak-anak bermain gembira, pengunjung berbicara satu sama lain, tapi ada keheningan yang mencekam dari sampingku. Seperti ada gelembung kedap suara yang mengelilingi kami.

Saat aku selesai melipat kemeja dan celana panjangku, aku melihat ke arahnya, Ana menangis tanpa suara, air mata mengalir deras di pipinya. Akhirnya dia mengulurkan tangannya untuk menyentuh bekas luka di dadaku dan bicara dengan terbata-bata.

"Oh, Errik, sayangku, aku sama sekali ga berpikir! Ya Tuhan, betapa parah! Kamu pasti sangat menderita selama berbulan-bulan itu, dan aku malah disini membencimu disaat seharusnya aku ada di sana mendampingimu." Isak tangisnya semakin menjadi.

"Aku selalu merasa," kataku, dengan nada sedih, "Lebih baik aku berenang sendiri. Aku ga mau merusak kesenangan orang-orang ini karena harus melihat ini."

"Errik, sayangku," desahnya sambil menghapus airmatanya, dan ekspresinya menjadi serius, "Persetan dengan mereka semua! Kamu pemilik tempat ini. Ayo berenang denganku, sekarang!"

Dia melepas gaunnya, dan aku terpesona. Dia benar-benar cantik. Bentuk tubuhnya, kulitnya, kakinya yang panjang terlihat semakin panjang karena potongan bagian bawah baju renangnya yang tinggi. Mungkin saat itu aku langsung jatuh cinta lagi padanya. Yang pasti nafsuku ga bisa dibantah saat melihatnya.

Aku berjalan bersamanya menuju ke kolam renang. Meskipun bekas lukaku sudah jauh lebih samar dibanding dulu, tapi itu masih menimbulkan kegemparan di sekitar,. Kami berenang bolak-balik kolam bersama-sama beberapa kali, dan meskipun semua orang berbisik-bisik sambil memandangi kami, ga ada satupun yang berani mendekati kami!

Kami lalu bisa mengambil makanan dan minuman jauh lebih cepat dibanding seharusnya karena beberapa orang pergi saat kami datang, dan saat sore hari berubah jadi malam, anak-anak kami kembali pada kami. Agnes datang pada kami bersama seorang pemuda jangkung dan kurus dengan mata yang bening.

"Ayah, Ibu," katanya malu-malu, "Kenalin ini Nathan... pacarku,"

Pemuda itu tampak gugup, dan aku bisa melihat Ana menatapnya dari atas kebawah dengan tatapan tajam pada pemuda yang sudah berani pacaran dengan putrinya.

"Halo, Nathan," kataku sambil menyenggol Ana.

"Oh ya," katanya, "Hai, Nathan."

"Halo, Om Errik," kata Nathan, "Agnes selalu cerita tentang Om," (dia dapat sikutan di tulang rusuknya dari Agnes, yang dia abaikan), "Saya mau bilang bahwa menurut saya perjuangan Om untuk bisa sehat lagi adalah perjuangan yang sangat heroik."

Wow! Seorang pemuda yang pandai bicara, dan jago memilih kata!

"Wah, terima kasih," jawabku sambil tersenyum lebar. "Tapi aku ga punya pilihan lain kan selain berjuang. Ngomong-ngomong, dengan bakat bicaramu, aku bisa paham kenapa Agnes menyukaimu!"

Aku yakin, aku belum pernah, sebelum atau sesudah aku hampir mati, melihat Agnes begitu kesal dan di saat yang sama lega, seperti yang terjadi saat itu.

Lalu kulihat Leo mulai membuka mulutnya dengan nada mengejek, "Kak Agnes punya--"

"Leo!" Bentakku, memotong ejekannya pada kakaknya perempuannya. Aku kemudian menjelaskan padanya bahwa mengejek kakak perempuannya ga masalah, karena begitulah kakak beradik jadi dekat, tapi jangan melakukan itu di depan seorang tamu, seperti halnya Nathan saat itu.

Ga ada masalah lebih lanjut, semua orang tertawa, kecuali Agnes tentu saja yang tersipu-sipu.

Ga lama tibalah waktunya kami untuk pulang.

"Errik," Ana menarik lenganku. "Maukah kamu datang ke rumah besok? Leo dan Stefan akan ikut Adrian dan Jenni nonton bioskop, dan Agnes juga akan pergi dengan Nathan. Datanglah pagi-pagi dan kita habiskan waktu berdua seharian. Aku punya sesuatu buatmu."

"Kedengarannya mencurigakan," kataku.

"Ga akan ada apa-apa dan mungkin malah bisa membantumu. Menurutku kamu butuh ini. Percayalah?"

Aku mengangguk dan kami berpisah.

------

Hari Minggu berbeda total dari hari sebelumnya dan dari ramalan cuaca yang pernah kulihat. Angin kencang bertiup dan membawa serta hujan lebat, yang menerpa jendela-jendela apartemen. Aku makan roti panggang untuk sarapan dan setelah itu berangkat ke rumah. Walaupun hujan tapi udara ga terlalu dingin, tapi juga ga sepanas kemarin.

Aku memasuki rumah. Sangat sepi, jadi aku tahu bahwa anak-anak sudah pergi. Ana muncul. Dia memakai blus dengan potongan kerah leher berlekuk yang menampilkan sedikit belahan dadanya, dan rok lipit pendek. Ga ada stoking atau celana ketat melapisinya, hanya sepasang sandal terbuka di kakinya. Dia mencium pipiku dan aku balas mencium pipinya dan dia mengajakku ke ruang keluarga di mana ada sepoci kopi, mug dan susu.

Aku melihat ada album foto di meja kopi dan beberapa keping VCD. Ana sedang menuangkan kopi dan melihat aku mengamati semua itu.

"Laura bilang dia pernah ketemu denganmu dan dia tanya padaku kenapa aku ga menunjukkan album foto lama yang pernah kubuat untuk membantu memulihkan ingatanmu tentang kehidupan kita bersama, dan aku harus bilang kita berdua terlalu sibuk dengan urusan ego masing-masing. Tapi dia benar. Jadi sekarang aku pikir kita bisa melihat-lihat foto lama kita dan kita coba apa kamu bisa ingat."

Dia duduk di dekatku, roknya tersingkap tinggi menunjukkan pahanya (Ya ampun, pahanya!) Dan dia memulai dengan mengambil sebuah album.

"Aku sudah memilih-milih foto dan memasukkannya ke album sesuai urutan kronologis, aku melakukan itu saat pertama kali kamu menghilang dulu. Aku ga tahu kenapa aku terus melakukan itu karena melihat kebersamaan kita di foto-foto itu terasa menyakitkan bagiku. Mungkin saat itu aku berharap dengan melihat ke belakang, kamu akan kembali padaku dan semuanya akan kembali seperti sedia kala. Tapi sudah cukup kita bicara, lebih baik kamu melihat sendiri, inilah dia, gambaran masa-masa awal dalam hidup seorang Errik Riccardson."

Maka dimulailah gambaran perjalanan sepanjang hidupku. Di album pertama ada foto ayah dan ibuku, keduanya bisa aku kenali, meskipun aku harus diberi tahu bahwa bayi dan anak laki-laki yang ada dalam foto-foto itu adalah aku. Ada foto saat sekolah, foto liburan dan foto saat aku ulang tahun. Dia memberi tahuku siapa orang-orang itu ketika aku ga bisa mengingat mereka, tapi aku kaget dengan jumlah orang yang namanya bisa kuingat lagi tanpa bantuan Ana.

Lalu ada pesta di masa remaja, acara sekolah, foto-fotoku yang sedang bersama dengan teman-teman yang ga bisa dikenali oleh aku ataupun Ana. Ada beberapa dengan gadis-gadis yang mengelayut di lenganku atau duduk disampingku di berbagai kesempatan. Kami juga ga bisa mengenali mereka.

Ada foto dari masa kuliah, foto sebagai anggota BEM, aku bisa mengenali Jeffry dalam salah satu foto saat kami sedang mendaki gunung. Foto-foto pesta lagi bersama dengan sepertinya gadis yang berbeda. Aku ternyata ingat beberapa nama mereka dan ingat apa yang kami lakukan bersama, meskipun aku ga selalu menceritakan ke Ana apa yang kami lakukan. Lalu beberapa foto wisuda bersama dengan Ayahku yang tampak bangga, Ibuku ga ada dalam foto yang lalu disebutkan oleh Ana bahwa saat itu Ibuku sudah meninggal.

"Kamu tahu ga?," kata Ana, saat kami istirahat sambil menikmati makan siang yang sudah disiapkan Ana sejak tadi, "Orang biasa, orang seperti aku, kita ga bisa mengingat semua hal atau semua orang, atau bahkan sebagian besar peristiwa yang terjadi dalam hidup. Kita hanya tahu kira-kira apa yang terjadi. Yang kita ingat hanyalah saat-saat khusus, saat kita sedang senang atau saat memalukan atau sedih atau saat sesuatu yang istimewa terjadi. Sisanya hilang begitu saja."

"Ya," aku setuju. "Hanya saja dalam kasusku, aku bahkan ga tahu semua saat-saat istimewa itu. Bahkan dibantu dengan foto-foto itu, hampir seolah-olah bukan aku yang mengalami kejadian itu."

"Karena itulah kenapa kita melakukan ini," dia menegaskan, "Kita mencoba menjalani lagi hidupmu melalui foto dan kamu bisa terus melihatnya lagi dan lagi."

Aku merasa bersyukur dia sudah memikirkan semua ini, dan aku mengatakan itu padanya. Dia tersenyum dan memeluk lenganku.

Lalu kami kembali ke sofa ruang keluarga. Kali ini berbeda. Foto pernikahan atau lebih tepatnya foto saat kami kencan, saat kami tunangan dan foto pernikahan itu sendiri. Ana memberi komentar soal foto-foto itu dan menceritakan bagaimana jalannya pesta pernikahan kami. Dia menceritakan dengan sangat gembira dan wajahnya berseri-seri.

Aku merasa ini menarik bahwa meskipun aku ga punya ingatan pada peristiwa itu, setiap detail cerita seperti menyalakan lampu di kepalaku dan peristiwa itu menjadi jelas. Lalu setelah itu disusul oleh foto anak-anak kami saat mereka tumbuh, foto kegembiraan saat mereka mendapatkan prestasi di sekolah, foto acara sekolah dan foto saat kami liburan bersama. Ada juga foto saat kami semua tertawa bersama. Yang lain foto saat kami bermain-main di sekeliling rumah.

Ana mengomentari hampir tiap foto, menceritakan kapan foto itu diambil dan apa yang sedang terjadi saat itu, tapi itu adalah soal kedua dibandingkan kenyamanan secara emosional yang diakibatkannya padaku. Semakin lama aku jadi semakin senang dan itu terlihat jelas. Pada saat semua foto itu selesai kulihat, aku hampir seperti jam weker kecil yang berdering dengan bahagia.

"Masih ada lagi yang lain," kata Ana, "Aku merangkum video dari koleksi rekaman kamera kita."

Dia memasukkan VCD ke dalam player, dan kami duduk berdampingan menyaksikan keping VCD menghidupkan lagi kenangan dalam gambar yang kami lihat. Ada banyak rekaman Ana dan aku, bergandengan tangan atau saat kami saling berpelukan. Beberapa rekaman momen saat anak-anak membuka kado ulang tahun, dan saat aku dan Ana berciuman di sofa. Itu menyenangkan untuk ditonton, tapi aku mulai sedikit gelisah. Apa Ana sengaja memilih semua video kami saat berpelukan untuk mengalihkan dari hal-hal lain?

"Apa kamu sengaja mengambil hanya video pelukan dan ciuman kita yang bisa kamu temukan?" Tanyaku sambil tersenyum.

"Yah, hampir semuanya. Kita saling mencintai lho, ada banyak video seperti itu."

"Yang itu rekaman apa?" Aku bertanya menunjuk sebuah VCD yang terpisah dari tumpukan lainnya.

"Ehmm," katanya, dengan agak ragu-ragu, "Itu rekaman momen-momen kita yang lebih pribadi. Itu menunjukkan saat-saat kita lebih intim, sedang jatuh cinta. Kamu ga harus melihatnya."

Aku merasa sekali lagi aku sedang dijebak, tapi meskipun begitu, aku sebenarnya penasaran apa rekaman itu bisa menunjukkan seperti apa hubunganku dan Ana sebagai suami istri. Aku tiba-tiba jadi sangat ingin tahu.

"Putar," kataku.

"Kita dulu sepakat untuk merekam ini seandainya salah satu dari kita meninggal lebih dulu, jadi kita akan bisa mengingat betapa kita begitu saling mencintai satu sama lain."

Dia menganti keping VCD dari player dan menekan tombol play di remote.

Satu jam berikutnya diisi dengan video kami memasak berdua, duduk bersama, tertawa bersama. Gambar-gambar di video itu semakin lama jadi semakin eksplisit secara seksual. Kami sudah merekam saat kami sedang bermesraan di sofa tempat kami duduk sekarang, sepertinya kamera dipasang di sebuah tripod.

Video menunjukkan kami saling membuka pakaian satu sama lain dan saling membelai semakin intim, sampai dengan jelas aku sedang menyelipkan tangan ke dalam celana dalamnya dan dia meraih penisku dan menariknya keluar dari celanaku. Transisinya mulus dan bertahap. Semakin lama aku semakin tengelam dan memperhatikan adegan di layar televisi. Rasanya seperti menonton film porno, hanya saja itu lebih seperti making love dibanding persetubuhan semata, dan jelas tampak di sana cinta yang mengelora di antara kami.

Ketika adegan di kamar mulai muncul, aku sudah ga menyadari sekitarku lagi. Di layar TV kami membuka pakaian satu sama lain, dan setelah itu kami mulai bercinta. Kami berciuman, saling belai, saling raba alat kelamin satu sama lain. Kami menjilat dan menghisap. Lidahku tengelam di vaginanya seperti halnya penisku tengelam di mulutnya dalam posisi 69, dan kami berdua mencapai orgasme bersamaan dimana dia menelan cairan mani ku dan aku menjilat bersih seluruh permukaan kemaluannya yang basah kuyup oleh cairan orgasmenya.

Lalu, ga seperti dalam film porno yang pernah aku lihat sebelumnya, gambar di video menunjukkan momen setelah orgasme tercapai, kami berpelukan erat, tangan dan kaki kami saling belit, dan kami saling mengungkapkan cinta, saling memuji satu sama lain, jelas memang bertujuan untuk kami lihat di masa depan melalui rekaman ini.

Akhirnya adegan itu masuk dalam keadaan kami lebih liar dan penuh dengan adegan penetrasi seks. Pertama posisi misionaris dan dilanjutkan saat Ana minta posisi women on top, lalu tentu saja doggy style, sampai dia mencapai orgasme dahsyat dan aku menyusul dengan menyemburkan sperma di dalam vaginanya, dan mendapatkan kepuasan yang sama.

Masih ada lagi. Kali ini adegan memperlihatkan Ana memakai gaun hitam dan aku memakai kemeja sepertinya kami baru pulang dari suatu acara, dan saat aku selesai menyalakan dan memasang kamera di tripod, aku mendekati Ana dan kami saling menelanjangi. Dia memakai satu set pakaian dalam paling tipis yang pernah kulihat, ditambah stoking berenda setinggi paha, dan dia membuka celanaku untuk mengeluarkan penisku yang sedang ereksi ke arah kamera dan menunjukkan bahwa aku jelas terangsang oleh pemandangan Ana hanya memakai pakaian dalam.

Pada gilirannya aku sengaja memperlihatkan ke kamera saat aku menurunkan celana dalamnya dengan perlahan menggunakan mulutku, melewati pahanya dan lalu betisnya, lalu dia membuka pahanya lebar-lebar dan mengundangku untuk masuk. Lalu kami bersetubuh lagi, meskipun kali ini tidak selembut adegan sebelumnya dimana aku memompanya dengan cepat saat kedua kakinya kuletakkan di pundakku dan tubuh kami terguncang-guncang sampai kami berteriak saat mencapai orgasme bersamaan. Anak-anak jelas ga ada di rumah saat itu. Sekali lagi kami berpelukan dan beberapa video muncul bergantian termasuk rekaman saat malam pengantin kami dimana dia memakai lingerie putih yang luar biasa seksi, potongan. Aku menonton semuanya sampai rekaman itu selesai.

Aku tersentak ke dunia nyata. Keping VCD terakhir itu menunjukkan banyak potongan dari rekaman kebersamaan kami, sejaki malam pengantin kami, sampai potongan terakhir yang dari tanggal yang tertulis disana terjadi di Bulan Juni 2011, hanya dua bulan sebelum percobaan pembunuhanku terjadi. Pasangan di layar jelas sangat dekat satu sama lain, kenal satu sama lain sepenuhnya dan menampilkan interaksi yang saling mencintai mencintai. Apa aku terangsang? Sudah jelas. Penisku keras dan terasa sakit di dalam celanaku, aku sampai harus membetulkan posisinya saat menonton tadi.

"Hei, sayang! Mau melakukan itu secara langsung?"

Aku menoleh kebelakang dan melihat Ana berdiri di jalan masuk ruangan ini. Aku begitu terpaku pada layar televisi dan ga sadar saat dia pergi, tapi sekarang dia berdiri di sana hanya memakai sangat sedikit kain ditubuhnya. Push-up bra kecil berenda hitam, celana dalam berenda tembus pandang hitam yang sama sekali ga menyembunyikan apa yang ada dibaliknya, dan stoking jala hitam setinggi paha, mirip dengan yang tadi kulihat dalam video. Rambutnya tergerai. Dia bagaikan mimpi basah yang menjadi nyata, dan dia mengundangku untuk berhubungan seks. Lalu apa yang kulakukan?

Aku akan ceritakan apa yang kulakukan. Aku tiba-tiba jadi sangat marah. Aku muak dengan manipulasi perasaanku hanya untuk membawaku ke tempat tidur. Untuk apa? Agar dia bisa meredakan rasa gatal di kemaluannya.

Aku bangkit, berjalan kearahnya dan mendorongnya kesamping untuk melewatinya dengan kasar lalu setengah berlari berbelok menuju ke pintu depan. Setelah terbuka, aku berbalik. Dia berdiri di lorong dengan tatapan bingung.

"Jadi begitu, ya?" Aku menggeram, "Seharian penuh untuk memancing gairahku sehingga aku akan dengan mudah jatuh ke tempat tidurmu dan kamu bisa memakai aku untuk menggaruk rasa gatal seksualmu yang ga pernah terpuaskan? Usaha yang bagus, tapi itu ga akan berhasil padaku. Aku ga berhubungan seks dengan wanita hanya untuk melegakan gairah mereka atau gairahku. Harus ada cinta yang terlibat. Pergi dan ajak Hadi kalau kamu begitu putus asa! Kamu kelihatan seperti wanita murahan!"

Dan aku membanting pintu. Aku menyalakan mobil dan memutarnya untuk keluar dari halaman, tapi dia ga menyusul keluar – tentu saja, dia cuma memakai pakaian dalam transparan. Aku mengarahkan mobil pulang ke apartmentku, dalam kondisi berbahaya karena mengemudi dalam keadaan emosi.

Aku naik dan mondar-mandir di ruang tamu, emosi masih mengamuk di dalam hatiku dan aku berbicara sendiri hanya untuk meluapkan semua emosi yang muncul. Aku merasa benar-benar dibohongi dan dijebak. Seharian penuh hanya untuk merayuku! Mempermainkan perasaanku sampai pada titik di mana aku akan mengikutinya ke tempat tidurnya, tipuan murahan! Egois!

Telepon berdering.

"Ya?" Aku berteriak.

Itu dari Ana dan dia mengeluarkan omelan.

"Berani-beraninya kamu bilang begitu padaku? Beraninya kamu menuduhku merayumu? Kamu bilang harus ada cinta yang terlibat saat kamu melakukan seks, apa kamu masih mau membohongi dirimu sendiri dan ga mau mengakui perasaan cinta diantara kita, Errik? Dari mana datangnya semua emosi dan amarah itu? Oke, aku mungkin terlalu berlebihan dengan pakaian dalam ini. Maafkan aku! Aku melakukan semuanya hari ini untuk mencoba membantu. Membantu kamu, bukan untuk aku. Kamu begitu fokus pada rekaman hubungan seks kita sehingga aku pikir kamu butuh sedikit pelepasan. Untuk meredakan gairahmu, dasar bajingan idiot! Kamu bisa sekedar menertawakanku dan menyuruhku berpakaian lagi seandainya kamu ga memerlukan bantuan itu.

"Tapi ga. Oh, kamu malah marah-marah. Itu membuktikan satu hal, kamu orang bodoh, kamu tahu kamu menginginkan aku. Kamu perlu cari tahu alasan kenapa kamu begitu gampang marah-marah. Kamu ga bisa lagi memakai alasan kamu sudah bersama Tris atau Jenni, atau menyalahkan Vivi atau Susan lagi karena mereka ga ada hubungannya dengan ini. Kemarahan itu, semua Itu asalnya dari kamu sendiri.

"Kamu harus realistis dan sadar siapa yang mencintaimu, memujamu, merindukanmu setiap jam setiap hari. Apa yang aku lakukan di depanmu tadi adalah apa yang akan dilakukan semua istri dimana pun juga ketika suaminya terangsang saat sedang menonton film porno, dan jangan bilang kita belum menikah, kamu tahu betul kita sudah menikah, meskipun sekarang secara hukum kita terpisah.

"Tapi sudahlan, maafkan aku! Aku yang salah karena terlalu berharap lebih, lupakan aku pernah melakukan itu. Oke? Brengsek, Errik, apa lagi yang kamu ingin aku lakukan?"

Dan dia menutup telepon.

Aku duduk dengan lunglai. Semua amarahku sudah hilang. Sekali lagi kemarahan itu muncul dalam diriku begitu saja. Sekali lagi aku sadar aku sudah melewati batas dan sudah membuatnya tersingung, jika aku melakukannya terus itu akan menghancurkan hubungan yang kami punya. Sekarang aku ingat foto dan videonya. Semua cinta yang terlihat disana. Apa karena itu aku begitu marah? Bahwa semua kebahagiaan itu sudah direnggut, diambil dariku dan dihancurkan? Apa tadi yang dia katakan?

‘Semua Itu asalnya dari kamu sendiri. Apa yang aku lakukan di depanmu tadi adalah apa yang akan dilakukan semua istri dimana pun juga ketika suaminya terangsang saat sedang menonton film porno. Apa lagi yang kamu ingin aku lakukan?'

Dia benar. Tiba-tiba aku sadar betapa selama ini dia hanya berusaha untuk mendapatkan aku, mendapatkan suaminya kembali. Betapa dia mencintaiku. Setiap kali dia melakukan sesuatu, aku menjegalnya jatuh. Bodoh sekali! Aku memang mencintainya tapi sepertinya otakku yang rusak ga mampu menetralisir amarah yang muncul setiap kali kami lebih dekat.

Aku meneleponnya balik dan ketika dia menjawab, aku menangis tersedu-sedu dan di antara isak tangisan dan sedu sedan, aku meminta maaf dan terus-menerus mengoceh tentang masalah dan amarah yang liar dan sepertinya ga bisa kukendalikan. Aku ga ingat apa lagi yang kukatakan padanya saat itu, tapi ga sekalipun dia memotong pembicaraanku. Setelah beberapa waktu, aku berhenti.

Dan akhirnya dia berkata, "Oke, aku mengerti dan aku juga salah karena sudah mengagetkanmu, tapi kamu butuh bantuan profesional, tolong temui psikiater, kamu perlu belajar mengendalikan emosimu." Lalu kami menutup telepon.

------

Senin pagi. Hari kerja lagi. Tapi aku terjaga sangat pagi karena kejadian di hari sebelumnya yang masih terukir jelas di benakku dan aku sama sekali ga berniat memikirkan pekerjaan.

Aku ga mau hanya berbaring di tempat tidur, jadi aku bangkit dan menghabiskan setengah jam di mesin dayung yang selama ini sudah jarang aku pakai, membakar semua emosi dan kesedihan yang masih tersisa. Lalu aku mandi dan baru setelah itu aku menyiapkan secangkir teh hangat. Aku melihat jam dinding yang baru menunjukkan jam enam pagi, dan matahari sudah bersinar, dan mulai menghangatkan suhu udara.

Aku duduk memikirkan Ana, dan dengan cepat muncullah pemahaman tentang perbuatannya, yang membuatku penasaran kenapa aku ga bisa melihat semua itu dengan jelas sebelumnya. Dan seiring dengan munculnya pemahaman itu muncul juga alasan kenapa aku begitu.

Ana sudah dengan tegar bekerja keras untuk mendekatkan aku kembali padanya, sejak pertemuan di restoran sebelum pernikahannya yang batal itu. Dia sudah menjinakkan dengan sabar semua bentuk amarah, kepicikan, emosi yang aku tunjukkan dengan begitu kuat. Aku sudah membuatnya menderita, dan dia makin menderita dengan setiap penolakan yang aku tunjukkan padanya saat dia mencoba mendekat. Dia pernah menyerah, tapi nyatanya dia terus mencoba lagi. Aku ga adil padanya, kejam dan kadang-kadang pendendam.

Aku pernah menganggap Ana punya beberapa kesalahan.

Pertama, aku merasa dia ga berusaha dengan sungguh-sungguh mencariku saat aku hilang, tapi sekarang aku sudah tahu alasannya adalah karena saat itu dia begitu sedih, dia begitu rapuh, dan ga punya tenaga untuk sekedar hidup, apalagi mencariku sendiri, banyak yang sudah menceritakan kondisinya itu, termasuk anakku sendiri, walaupun sebelumnya aku memilih untuk tidak percaya.

Kedua, Ana sudah menceraikanku. Dalam hal ini aku tahu kalau pada saat itu dia bertindak dengan bahan bakar kemarahan karena bukti foto ‘perselingkuhanku’ dengan Emma, dan surat palsu yang pada saat itu dia tidak sadar surat itu palsu. Kalau keadaannya terbalik, aku juga akan menceraikannya saat aku punya bukti dia selingkuh.

Ketiga, selalu berpihak pada Hadi. Aku sekarang yakin bahwa itu bukan karena Ana lebih mencintai Hadi daripada aku, tapi itu semata-mata karena dia kenal karakter Hadi dan percaya Hadi ga mungkin merencanakan pembunuhanku. Sekali lagi, kalau keadaan terbalik, aku juga pasti akan berpihak pada Jenni atau Tris ketika mereka dituduh melakukan kejahatan, karena aku mengenal mereka berdua.

Dan kenyataan Ana sudah berhubungan seks dengan Hadi yang menjadi tunangannya mengangguku begitu rupa, padahal disaat yang sama aku pernah berhubungan seks dengan Tris dan Jenni tanpa ikatan apapun selain komitmen. Intinya adalah, dalam kondisi rapuh karena kepergianku, Ana butuh seseorang yang bisa mendukungnya, menjaganya dan terutama mencintainya dan mengembalikan kepercayaan dirinya yang hancur karena yang dia tahu suaminya sudah meninggalkannya dan pergi dengan wanita lain.

Apa masih ada lagi? Mungkin ada tapi sekarang aku sadar, semua tuduhanku pada Ana itu adalah karena selama ini aku ga pernah mau melihat dari sudut pandangnya, aku ga mau mendengarkannya, aku ga mau percaya padanya, jadi mungkin ini salahku sendiri yang membuat pagar pembatas yang menghalangi pandanganku terbuka lebih luas.

Dan kenapa begitu? Aku sadar aku sudah sepenuhnya terikat dan begitu fokus pada agendaku sendiri dan kebencianku pada keadaanku sendiri. Aku sebenarnya sedang mencari sasaran untuk membalas dendam atas peristiwa kejam yang hampir menghilangkan nyawaku dan membuatku cacat seumur hidup, dan kebetulan Ana menjalin hubungan dekat dengan kemungkinan tersangka pelaku utamanya, Hadi. Dan Ana sudah terseret dalam arus kebencianku yang meluap-luap itu.

Semua pemikiran Itu sudah menguasai segala yang sudah aku lakukan dan pikirkan. Itu adalah bagian dari dorongan pribadi untuk secara emosional membalas malapetaka yang menimpaku. Aku begitu fokus pada diriku sendiri dan rasa kasihan pada diriku sendiri sehingga aku ga bisa melihat penderitaan dari satu orang lain yang secara terus-menerus mencintaiku sejak pertama kali kami menjadi intim bertahun-tahun yang lalu, jauh sebelum 'kecelakaan' ku.

Tentu saja, pada awalnya saat aku kembali ke kota ini, aku ga bisa mengingat siapa dia. Tapi sekarang aku sudah mengingatnya bahkan mengenalnya. Aku ingin tahu apa alam bawah sadarku sudah tahu bahwa dia adalah belahan jiwaku, cinta dalam hidupku dan orang yang membantuku memikul beban, dan tanpa sadar aku ga cuma membagikan sebagian bebanku tapi justru menimpakan semua kemalanganku padanya. Tentu saja, secara sadar aku hanya bisa melihat hubungannya dengan Hadi dan yang bisa kurasakan hanya rasa cemburu, karena dia telah mencurinya dariku.

Itu adalah pencerahan yang kubutuhkan dan sekarang duniaku berbeda. Aku ga sadar betapa dalamnya aku sudah tenggelam ke dalam semacam obsesi dendam pribadi dan itu jelas membuatku terkurung dalam pemahaman sempit kehidupan pribadiku. Aku perlu dan harus bisa melihat ke luar dan ke depan.

Aku sudah membuat keputusan. Aku berganti baju, mengumpulkan peralatan yang kuperlukan untuk bekerja dan berangkat ke rumah kami. Aku harus menemui Ana.

Aku sampai disana jam setengah tujuh pagi.

Itu menunjukkan keadaan pikiranku yang kacau dan bisa-bisanya sama sekali ga menyadari pada saat itu adalah mereka semua sedang bersiap untuk sekolah dan bekerja. Aku pernah mengalaminya dulu, ketika Ana harus diperiksa Polisi, jadi ga butuh waktu lama bagiku untuk bisa menyesuaikan diri. Aku masuk sendiri ke dalam rumah dan meneriakkan selamat pagi. Ana keluar dari dapur.

"Errik! Kenapa kamu disini? Ini hari kerja, atau kamu ga kerja lagi?" Itu adalah ucapan sindiran dan mengingatkan padaku bahwa dia sebenarnya masih marah karena sekali lagi, aku sudah menolaknya kemarin.

"Aku perlu ketemu denganmu sebentar sebelum kamu berangkat kerja." Aku menjawab, menurutku cukup lemah lembut. "Ayo aku bantu."

Anak-anak menanggapi kehadiranku dengan tenang, terlalu sibuk menghabiskan sarapan mereka dengan terburu-buru dibandingkan mempertanyakan kehadiranku sepagi ini.

Jadi aku menyibukkan diri dengan rutinitas 'menyiapkan anak-anak ke sekolah', yang sekarang aku kenal dengan baik. Ana mengamati sebentar apa yang kulakukan dan pergi keatas untuk merias wajahnya. Aku mengerjakan sisanya, menyiapkan kotak makan siang, memeriksa tas sekolah, dan untuk Stefan mencarikan sepatunya dan untuk Agnes memastikan sekali lagi dia ingat rute bus untuk perjalanannya ke kantor Adrian dan memulai hari pertama magangnya.

Ana menuruni tangga siap untuk berangkat kerja dan memeriksa persiapan anak-anak. Dia merasa semua sudah lengkap dan menyuruh mereka berangkat. Anak-anak memeluknya lalu memelukku juga untuk pamitan sebelum mereka pergi. Itu membuat aku hanya tinggal berdua dengan Ana berdiri berhadapan di lorong. Satu tangannya berkacak pinggang dan tatapannya ga bisa kubaca.

"Aku ga akan menahanmu lebih lama," kataku sambil membalas tatapan matanya, "Tapi aku harus mengatakan ini. Aku sangat menyesal atas semua penderitaan yang sudah kusebabkan sejak aku kembali dari kematian. Kamu sudah selalu menunjukkan padaku cinta yang tulus dan aku sudah membalasnya dengan emosi, amarah dan sindiran. Jadi aku mau minta maaf padamu, dan aku janji akan mencoba mengendalikan emosiku lebih baik di masa depan.

"Nah, cuma itu yang mau aku sampaikan padamu, dan aku sengaja ingin mengatakan itu langsung di hadapanmu secepat mungkin. Aku sudah merenung dan aku rasa sudah saatnya aku menceritakan semuanya padamu. Aku minta waktumu untuk ketemu lagi, tanpa syarat, kapan pun dan dimanapun kamu mau. Boleh?"

Wajahnya melembut, dan dia tersenyum suram.

"Errik, sayangku," katanya, "Aku juga perlu meminta maaf padamu. Kamu meneleponku seperti kemarin dan aku merasa bersalah padamu. Itu membuatku berpikir. Kamu bilang kamu sudah bikin aku menderita. Tapi aku sendiri ga bisa membayangkan betapa hebatnya penderitaanmu sendiri ketika kamu kembali kesini. Satu demi satu peristiwa saling susul, dan semuanya buruk."

"Aku sadar betapa menyakitkan rasanya melihat aku bersama pria lain begitu cepat, seolah-olah kamu ga pernah ada. Lalu ada akibat dari luka-lukamu. Meskipun Sabtu kemarin aku sudah melihat tubuhmu, sampai kemarin aku belum sadar betapa mengerikannya kamu harus mengalami itu, betapa berat dampaknya pada emosimu, betapa banyak rasa sakit yang masih kamu alami, bahwa seseorang melakukan itu kepadamu secara terencana, untuk membunuhmu. Kenyataan bahwa seseorang ingin kamu mati! Aku tahu sekarang betapa kamu ingin tahu siapa yang sudah melakukan ini. Sekali lagi aku minta maaf padamu. Maukah kamu datang untuk makan malam hari ini dan setelah itu kita bisa bicara?"

Tiba-tiba aku teringat dengan sangat jelas, kemampuannya untuk memaafkan dan welas asih selama bertahun-tahun pernikahan kami. Begitu mudah baginya melakukan itu ga peduli sebesar apapun kesalahanku. Aku harus melakukan hal yang sama padanya.

"Aku sudah memaafkanmu, dan dengan senang hati aku menerima undanganmu," kataku.

Dia melangkah mendekat ke arahku dan menciumku. Bukan ciuman yang biasa kami lakukan, melainkan ciuman penuh gairah dengan lengannya melingkar di leherku. Aku membalas ciumannya dengan gairah yang sama, menarik tubuhnya ke arahku, dan saat ciuman kami terlepas, air mata menetes dari wajahnya dan begitu juga aku.

"Malam ini!" katanya dan mengambil tasnya yang tergeletak di atas sofa.

"Aku yang akan mengunci pintunya," kataku. Dia mengangguk, terlihat lebih rileks dari sebelumnya, dan lalu dia berbalik dan setengah berlari menuju pintu keluar. Dia pasti akan terlambat tapi menurutku dia ga terlalu peduli soal itu sekarang.



Bersambung... Chapter XXVIII
 
Terakhir diubah:



Makasih up date suhu @Gentile ...

Ane terkesan dengan Cara Errik menunjukan bekas luka tubuhnya pada Ana , Ana jadi tahu betapa menderitanya Errik saat itu , dan bisa membuat Ana minta maaf ke Errik .. good job suhu @Gentile ...


Keputusan sudah di ambil Errik Ana sudah saling memafkan

Saat nya Errik pulang ke Ana ... dan siap membalas kehilangan 2,5 tahun saling kehilangan di antara mereka ... Ya dengan sex yang hot sepanjang malam ...



:beer: :Peace::beer::semangat::semangat::semangat::mantap::mantap::mantap::alamak::alamak::alamak::jempol::jempol:
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd