Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Pulang

XXVIII. Bisa Lebih Parah


Setelah Ana pergi, Aku baru sadar aku juga akan terlambat kalau ga bergegas membereskan semuanya. Aku membersihkan dapur yang berantakan setelah sarapan yang dibantai dengan buru-buru dan kemudian keluar ke ruang tamu, kalau-kalau ada sesuatu yang perlu dicuci. Di atas meja kopi, masih tergeletak album foto yang kami lihat sehari sebelumnya. Tiba-tiba aku menyadari sesuatu, begitu mengejutkan sehingga aku harus duduk. Foto itu.

Aku hampir bisa mendengar kata-kata itu di kepalaku. Kata-kata dalam rekaman yang pernah kuputar berkali-kali sampai aku hafal isinya.

"Kamu ga pernah komunikasi dengannya lagi?" Aku menanyakan itu pada Linda Firmanto.

"Ga bakal! Semua komunikasi harus lewat pengacaraku. Tapi sejauh ini ga ada."

Aku bisa ingat betapa sinisnya saat dia mengatakan itu.

Dan setelah itu :

"Aku yakin mendapatkan foto-foto kamu dan wanita di Surabaya itu adalah berkah bagi Hadi, membantunya membujuk Ana untuk menikah dan menuntut harta perceraian?"

Lengkungan bibirnya, dan nada kepuasan dalam suaranya.

Kalau sama sekali ga ada komunikasi dengan Hadi, bagaimana dia tahu soal foto itu? Boy Rolan sudah menghubungi Hadi dan Ana lebih dulu, bukan sebaliknya. Apa dia disuruh oleh orang lain untuk menghubungi mereka? Boy Rolan menyimpan dua foto terakhir yang dia punya. Kalau ga salah Ana pernah bilang Hadi sempat depresi dan ga bisa memahami apa yang terjadi padanya, dia bingung dan ketakutan. Apa ada orang lain yang menyuruh Boy Rolan untuk menyimpan dua foto itu? Linda benci Hadi, dan tersirat dia masih menyimpan dendam serta sikapnya sendiri begitu dingin. Mungkinkah Linda mencoba menjebak Hadi atas percobaan pembunuhanku? Untuk melakukan itu dia harus merencanakan dengan baik skenario kematianku, tapi itu kelihatannya terlalu ekstrim!

Semuanya mulai tampak jelas. Hadi persis seperti yang dikatakan Ana, seorang sahabat yang mencoba bertindak demi kepentingan Ana. Tentu dia juga ingin bisnisnya bertahan, tapi dia sungguh-sungguh mencintai Ana, Hadi jatuh cinta sungguhan padanya.

Sekarang aku tahu bahwa dulu aku langsung mengambil kesimpulan begitu saja, mengikuti instingku, tapi sekarang aku yakin bahwa Hadi sebenarnya ga bersalah dan bahwa Linda adalah orang yang sangat pendendam.

Aku menelepon kantor. Jenni menjawab, dan aku bilang padanya untuk menanggani dulu pekerjaan di kantor karena aku akan terlambat ke kantor hari ini.

Aku lalu masuk ke mobilku dan aku mengarahkannya ke rumah Hadi. Aku akan melakukan sesuatu yang sangat impulsif dan ga logis dan aku sudah ga sabar untuk melakukan itu secepatnya.

Pintu pagarnya tertutup tapi ga dikunci, jadi aku memarkir mobilku di pinggir jalan dan berjalan memasuki pekarangan rumah. Sampai saat itu aku ga berpikir bahwa dia mungkin ga ada di rumah dan aku seharusnya telepon dulu.

'Sudah terlambat sekarang,' pikirku. Aku membunyikan bel dan setelah beberapa saat, sebelum aku membunyikannya sekali lagi, Hadi membuka pintu. Jelas. Dia kaget.

Dia terlihat kacau. Rambutnya acak-acakan, jenggot dan kumisnya belum dicukur dan pakaian tidurnya jelas perlu dicuci.

"Kenapa kamu kesini?" dia bertanya, nadanya lebih kearah bingung daripada marah.

"Hadi," kataku, "Aku perlu bicara denganmu. Ini penting. Masalah hidup dan mati. Boleh aku masuk?"

Dia mundur tanpa bicara, dan aku melewatinya kedalam rumah.

"Dapur?" Aku bertanya. Dia mengangguk, dan saat dia menghilang ke lantai atas, aku mengamati sekeliling dan memberanikan diri membuat kopi, entah kenapa saat itu aku bisa begitu tenang hanya berdua dengan Hadi di rumah sebesar ini, tapi itu mungkin karena aku hampir yakin bahwa Hadi adalah korban dari keadaan ini.

Dia butuh beberapa waktu untuk muncul lagi, karena dia sudah mandi, bercukur, berganti pakaian dan menyisir rambutnya dan terlihat jauh lebih segar. Aku mendorong cangkir kopi ke arahnya.

"Jadi?" Dia bertanya.

"Jadi," ulangku. "Hadi, kamu mungkin ga sadar atau ga percaya kalau aku bilang selama ini aku sudah mencoba untuk tetap berpikiran terbuka tentang siapa yang sudah melakukan ini padaku. Jadi, sementara Hasan dan Jimmy sudah menutup kasus ini, dan yakin kamulah yang bersalah, aku ga bisa berhenti memikirkan bahwa ada yang salah dan mengganjal dalam urusan ini.

"Kamu bisa berterima kasih pada Ana untuk itu, dia selalu yakin kamu sama sekali ga bersalah dan pada awal aku menganalisa semua bukti, aku ga bisa memahami sikapnya itu. Tapi sekarang aku sadar bahwa keyakinan Ana inilah yang membuatku gelisah, meskipun pada saat itu aku sudah merasa bahwa kamulah orang yang bersalah."

"Tapi sekarang kamu percaya aku ga salah?" tanyanya, tiba-tiba menjadi hidup, api seakan menyala lagi dalam pandangan matanya.

"Mari kita bahas," kataku. "Tiga pegawaimu mencoba membunuhku dan membuat aku ga bisa dikenali. Iwan bekerja untukmu dan dialah orang yang menggiringku kepada tiga orang tadi. Uang yang dipakai untuk membayar mereka berasal dari rekening perusahaanmu, dan ga ada upaya untuk menutupi jejaknya. Pembayaran untuk rekening fiktif itu terlalu sembrono dan gampang ditemukan, dan nyatanya kamu bahkan ga curiga pada transaksi itu. Sehingga kurang lebih bisa disimpulkan. Kamu bersalah!"

"Tapi--"

"Tunggu Hadi," aku menyela interupsinya, "Aku sadar bahwa korban dalam semua bukti itu bukanlah aku, tapi kamu."

"Apa? Maksudmu aku sudah--"

"Ya," kataku. "Menurutku kamu sudah dijebak. Kamu selalu bilang kamu sudah dijebak, tapi kamu pikir akulah yang menjebakmu.

"Mari kita lanjutkan sebentar.

"Ada beberapa hal yang ga sesuai. Para eksekutor bersaksi bahwa orang yang menyuruh dan membayar mereka adalah seorang pria yang bertubuh tinggi besar, tapi aku tahu bahwa polisi sudah memeriksa semua kenalan, keluarga, dan temanmu dan ga bisa menemukan orang dengan ciri-ciri itu.

"Boy Rolan, detektif swasta dari Surabaya meneleponmu. Aneh. Dia punya bukti foto lengkap tapi ga memberikan semuanya. Nah, cara itu bisa jadi kamu pakai untuk memastikan bahwa cerita aku berselingkuh dengan wanita lain masuk akal, tapi kalau begitu, seharusnya kamulah yang mencari seorang detektif swasta untuk membantumu merekayasa cerita seperti itu. Anehnya dalam hal ini, justru dia yang menghubungimu lebih dulu. Dan yang terakhir, Iwan ga bisa membuktikan hubungan langsung antara kamu dan dia sendiri terkait kasus itu juga."

Hadi duduk sambil berpikir. Aku menarik napas dan melanjutkan.

"Hadi, kalau boleh aku mau tanya padamu, apa menurutmu ada orang yang cukup membencimu sehingga ingin memasukkanmu ke dalam penjara selama lima belas tahun? Atau hukuman mati karena pembunuhan berencana? Apa ada nama yang muncul di benakmu? Jangan bilang padaku, pikirkan saja dulu."

Hadi diam berpikir tapi ga lama ekspresinya menunjukkan bahwa dia menyadari sesuatu. "Pertanyaanmu waktu itu soal password. Dulu aku ga mengerti maksudnya, tapi sekarang... rasanya aku mengerti!"

"Betul," kataku. "Sekarang dengarkan. Aku pergi menemui Linda, kamu tahu itu. Nah, dia sempat menyebutkan dua hal yang baru saja berhasil aku hubungkan. Yang pertama adalah bahwa kamu ga becus di bidang akuntansi dan di sisi keuangan bisnismu."

Aku kaget dia mengangguk dengan muram.

"Itu betul," katanya. "Dia yang mengerjakan semua itu sampai kami berpisah."

"Kamu tadi sudah mengerti soal password. Dia masih punya akses ke rekeningmu, dan dia tahu kamu ga akan tahu kalau dia, ya... katakanlah, sedikit mengotak-atiknya. Itu hal pertama.

"Yang kedua. Dia bilang kamu belum pernah bicara dengannya sejak perceraian disahkan. Betul?"

"Betul," katanya. Dia duduk tegak sekarang. Ada harapan bersinar di matanya.

"Tapi lalu dia bilang bahwa menurutnya foto dari Surabaya itu akan memudahkanmu untuk masuk ke dalam celana dalam Ana."

"Itu ga benar--"

"Hadi, pikirkan dulu!" Aku berteriak memotongnya. "Jangan salah fokus. Kalau kamu ga pernah berkomunikasi dan memberitahunya tentang foto itu, bagaimana dia bisa tahu tentang foto itu?"

Cahaya menyingsing sepenuhnya, matahari terbit di benaknya. Semuanya jelas dan terang baginya.

"Pria tinggi besar," katanya tiba-tiba. "Hampir dua meter. Berbadan atletis. Itu pasti sepupunya Linda, si Gerry. Kenapa sebelumnya aku ga teringat sama sekali dengan bajingan itu?"

"Kamu sudah lama bercerai." Aku bilang.

“Aku ga terlalu akrab dengan Gerry, dia tinggal di Cirebon, mungkin karena itu dia tidak terlacak oleh polisi. Dia pernah satu atau dua kali datang ke kantorku meminjam uang untuk membeli mobil, tentu aku ga memberikannya, tapi sekarang aku tahu siapa yang memberikan uang pada Gerry sehingga dia bisa gonta-ganti mobil setiap kami ketemu. Aku yakin Linda yang memberinya uang, dari rekeningku. Jadi karena itu polisi menanyakan uang yang hilang dari rekeningku tanpa aku tahu kemana. Aku pernah lihat beberapa transaksi pembayaran yang ada keterangan sebagai pembayaran ke supplier, tapi aku ga punya dokumennya dan hampir semua karyawanku sudah resign karena aku ga bisa membayar mereka, jadi aku ga bisa menanyakan pada siapapun... Ah... Sial, kenapa aku ga menduganya dari dulu!”

"Semuanya cocok," lanjutku. "Kecuali bahwa Ana secara konsisten menolak untuk percaya kamu bersalah. Aku terus-menerus memberikan bukti-bukti padanya, tapi dia keras kepala. Aku jamin, Hadi, bahwa meskipun aku yakin kamu bersalah, aku ga pernah secara terbuka bilang pada siapa pun terutama polisi bahwa kamu adalah pelakunya. Begitu pula Hasan atau Jimmy atau Alfon. Kami hanya mencari bukti, dan kami melakukannya dengan cukup baik, sayangnya semua bukti mengarah padamu."

"Jadi sekarang bagaimana?" Dia bertanya.

"Aku akan bicara dengan Hasan," kataku. "Aku akan menyampaikan informasi ini ke polisi. Kamu sendiri sebaiknya menghubungi pengacaramu dan bilang padanya bahwa ada penjelasan lain dari bukti-bukti itu. Menurutku pengadilan ga akan bisa menghukummu dengan pertimbangan alternatif ini."

"Kenapa kamu melakukan ini?" tanyanya bingung.

"Kamu menyayangi Ana. Kamu mencintainya. Kamu menghabiskan waktu berjam-jam saat aku hilang untuk memberikan apa yang dia butuhkan. Jangan salah paham, aku ga akan lupa kamu pernah tidur dengan Ana, tapi apa yang kamu lakukan itu membuatku teringat pada diriku sendiri. Aku dulu juga harus menemani seorang wanita yang pernah membutuhkanku, dalam hal itu aku merasa kita punya kesamaan. Yang jelas aku berhutang terima kasih padamu, dan bicara tentang hutang, aku mau membicarakan bisnis denganmu."

Bisnisnya sedang dalam masalah serius. Semua order sudah mengering, kreditor berbaris dan kebangkrutan sepertinya ga bisa dihindari. Rumah ini dan juga mobil mewahnya semua sudah dijadikan jaminan pada Bank dan di posisinya sekarang dia pasti akan kehilangan semuanya. Dia sangat sadar posisinya. Lima Milyar sudah cukup untuk membuatnya bisa bernafas lega sementara, tapi dia bukan pengusaha yang baik, dia adalah seorang pekerja lapangan, dan pintar dalam hal desain dan teknis konstruksi. Dia ga punya keseimbangan dalam pekerjaan yang akan dia lakukan, dan meskipun dalam hal pengerjaan proyek dia lebih dari mampu, tapi dia ga bisa memilah-milah proyek mana yang menguntungkan atau bagaimana cara melakukan perhitungan budget secara efektif. Linda yang sudah melakukan semua itu untuknya. Dia butuh bantuan agar ga bangkrut.

Aku bilang padanya untuk bertahan sebentar, dan aku akan mendiskusikan situasi yang dihadapinya dengan Jeffry dan Ana, dan mencoba menyusun rencana untuk membantunya. Dia tampak lega. Setelah itu kami berjabat tangan dan untuk pertama kalinya aku melihat senyuman di wajahnya. Aku meninggalkan dia dan pergi ke kantor.

Tanpa sadar aku sudah membuat satu kesalahan fatal dan hampir membuat aku dan Ana kehilangan nyawa.

------

Aku ingin membantu Hadi. Dia sudah melakukan begitu banyak untuk kami dan semua itu kami artikan salah. Masih ada perasaan aneh karena nyatanya dia sudah pernah tidur dengan Ana, tapi Hadi mencintainya, dan sampai sekarang pun masih mencintainya. Dia hanya memberikan apa yang Ana butuhkan, seperti aku memberikan apa yang Jenni butuhkan, rasa aman, rasa dicintai, rasa dibutuhkan oleh laki-laki setelah pengalaman buruk masing-masing.

Jadi aku minta saran dari Jeffry dan Jenni, dan aku menghubungi salah satu wakil kepala akuntansi kami, Lusi Rusman, yang punya memiliki kualifikasi kemampuan akuntansi yang bagus. Dia berumur empat puluh dua dan baru ditinggal mati suaminya dan harus berjuang menjadi single parent bagi satu orang putrinya yang aku tahu merupakan teman sekelas Leo, jadi sekarang dia selalu bersedia meluangkan sedikit waktu lembur untuk mendapatkan penghasilan extra.

Kami debat soal masalah ini cukup lama. Jenni dan Jeffry ga percaya aku merasa bahwa Hadi ga bersalah dan bilang aku sudah tertipu, tapi aku dengan ngotot tetap ingin membantunya dan akhirnya mereka menerimanya. Aku sebenarnya juga ga mau mengeluarkan uang dalam jumlah besar secara sia-sia, jadi kami memetakan dulu kelebihan dan kekurangannya. Jeffry-lah yang mendapatkan solusinya.

"Buatlah partnership agreement antara kita dengan dia. Untuk saat ini dia ga perlu sebuah perusahaan yang beroperasi penuh. Dia belum butuh dan belum sanggup untuk menerima banyak order proyek, dan itu berarti ga perlu pembukuan yang terlalu rumit juga. Dalam sisi teknis, dia sebenarnya sudah terbukti bisa bekerja dengan baik, jadi dengan dukungan dari kita di bidang lainnya dia cukup aman untuk mulai bergerak lagi."

Jeffry melihat sekeliling pada kami. "Jenni, bagaimana kalau kamu membantunya mengatur timeline proyek dan menerima order proyek? Dan kamu Lusi, apa bisa kamu mengawasi pencatatan akuntansinya, termasuk pajak dan sebagainya? Semua cuma part time saja. Errik, kamu bisa mendampinginya di bagian lain yang belum tercover, interview pegawai misalnya, dan sebagainya."

"Sepertinya ide yang bagus," kataku. "Jenni dan Lusi, kalau kalian berdua bersedia membantu, akan ada gaji ekstra yang pasti sepadan dengan bantuan kalian. Cuma beberapa jam seminggu."

"Aku ga masalah," kata Jenni.

"Aku juga oke," kata Lusi.

"Bisa kita atur ini sebagai investasi ke perusahaan lain?" Tanyaku pada Jeffry.

"Nah itu ide yang lebih bagus," katanya. "Dia harus membayar lagi dana yang kita investasikan, lebih baik kalau kita beli sebagian kepemilikan perusahaannya agar kita bisa ikut mengontrol perusahaannya dan kita mendapatkan dividen dari keuntungannya yang menurutku lebih aman bagi kita. Gimana kalau begitu?"

"Kita minta Alfon untuk melihat dari sisi hukum," jawabku.

"Satu lagi, bagaimana kalau kita minta Hadi yang mengurus pembangunan gedung baru kita?" tanyaku. "Bawa dia ke jalur yang benar lagi. Dia saat ini pasti punya banyak waktu untuk mengontrol langsung pekerjaan yang jadi keahliannya dan kita sendiri memang sedang butuh jasa itu, dan menghemat waktu kita tidak perlu mengadakan tender."

Jeffry setuju dan pertemuan itu berakhir.

Konsultasi singkat dengan Alfon mengungkapkan bahwa kesepakatan seperti yang kami bicarakan sebelumnya sangat memungkinkan untuk dibuat dan aku langsung menelepon Hadi dan memberi tahu dia secara kasar apa yang kami usulkan. Dia begitu saja menyetujuinya tanpa berpikir dua kali dan berkali-kali mengucapkan terima kasih sampai membuatku merasa malu mendengarnya.

Malam itu aku pergi ke rumahku. Di hari sekolah seperti sekarang anak-anak biasanya mendapatkan banyak pekerjaan rumah dan itu artinya aku ga sempat bermain dengan Leo dan Stefan. Hanya Agnes yang sempat mengobrol selama beberapa menit sebelum pergi keluar untuk pergi dengan teman-temannya.

Kami duduk di ruang tamu dan kali ini aku duduk di sofa panjang, bukan di kursi malasku yang biasa menjadi singgasanaku. Ana tersenyum dan mendekat lalu duduk di sampingku. Kami duduk setengah berhadapan dalam suasana yang santai.

"Aku hari ini pergi menemui Hadi di rumahnya," kataku sambil bersandar di sofa.

"Apa?" dia bertanya untuk memastikan pendengarannya. "Apa aku ga salah dengar?"

"Ga kok. Kamu ingat aku pernah cerita tentang Linda yang punya password ke rekening Hadi? Yah, tiba-tiba aku menemukan hal penting lain soal Linda yang sebelumnya terlewat," lalu aku memberitahunya soal perkataan Linda yang sudah kuputar berkali-kali sebelumnya.

"Jadi, kalau kamu gabungkan semua bukti yang ada, semua keterlibatan Linda bisa dijelaskan dan dia masuk kriteria pelaku."

"Tapi aku masih belum bisa memahami bagaimana mungkin membunuhmu bisa menyakiti Hadi," katanya.

Sekali lagi dia berusaha untuk bersikap adil.

"Aku rasa kamu ga pernah ketemu dengan Linda, kan?" Aku bertanya. Dia menggelengkan kepalanya.

"Yah gimana ya, ada sesuatu yang aneh tentang wanita itu. Dia dingin. Dia dingin dan auranya suram. Hampir seperti psikopat. Begitu benci pada Hadi. Dia sangat yakin bahwa kamulah wanita yang sudah selingkuh dengan suaminya. Jadi dengan membunuhku, dia sekaligus membalasmu. Lalu dia timpakan semua kesalahan pada Hadi untuk menanggung dosa kejahatan itu. Menurutku dia orang yang sangat berbahaya."

"Tapi," katanya. Aku suka caranya terus mengejar dan haus akan kebenaran. Bagaimana aku dulu bisa meragukan kejujurannya, ketika terbukti dia bukan wanita yang begitu saja menelan semua yang dia dengar, semua yang dia lihat?

"Tapi," katanya, "Membunuhmu dan menimpakan semua kesalahan pada Hadi hanya bisa dilakukan kalau ada yang tahu dan menemukan mayatmu di suatu tempat lalu menghubungkannya pada Hadi, tapi nyatanya orang-orang itu ingin membuat wajahmu ga bisa dikenali saat mencoba membunuhmu. Lalu ada fotomu dengan Emma, betul kan itu nama sepupumu? Ga mungkin dia bisa tahu sebelumnya bahwa kamu akan ketemu dengan sepupumu dari Singapore yang entah sudah berapa lama ga kamu temui! Itu ga masuk akal!”

"Yang pasti uang itu berasal dari rekening Hadi, sejauh yang aku tahu, itu berarti antara Hadi atau Linda. Dan kamu bisa dengar kalimat ini langsung dari mulutku, Ana, menurutku kamu benar. Bukan Hadi yang bersalah dalam percobaan pembunuhanku."

"Jadi, kenapa kamu menemuinya. Ada urusan apa kamu kesana?"

"Ada dua hal. Satu, untuk memberitahunya apa yang sudah kutemukan sejauh ini. Dia bisa memahami semua yang kuhubungkan dengan sangat cepat. Jadi aku memberitahunya bahwa menurutku peluang dia dinyatakan bersalah akan mengecil dengan signifikan. Semoga dia bisa sedikit lebih tenang.

"Kamu seharusnya lihat perubahan di wajahnya setelah aku mengatakan itu. Senyum lebar muncul dan dia duduk tegak."

"Lalu hal kedua?" tanyanya, tersenyum senang padaku.

"Aku kesana untuk menawarinya bantuan untuk keluar dari kesulitan keuangannya, aku menawarkan kerjasama dan.." kataku.

"Oh, Errik! Kamu sama sekali ga berubah. Kamu selalu membantu orang lain. Dulu kamu bilang 'Ga ada gunanya punya uang kalau kamu ga memakainya untuk membantu orang.' Sangat dermawan," dan dia memelukku. Aku merasa sangat bahagia menerima pelukannya dan aku bilang itu padanya, lalu dia memelukku sekali lagi.

Aku lalu melanjutkan kata-kataku yang terpotong tadi dan kami lalu membicarakan rencana yang aku dan Jeffry sudah susun, dan Ana mendukungnya, dia bilang bahwa Hadi sebenarnya sangat hebat dalam pekerjaan teknis di lapangan, tapi dia butuh bantuan besar untuk urusan administrasi kantor dan keuangan.

Lalu pembicaraan berhenti dan suasana jadi lebih serius dalam sesaat.

"Jadi dimana posisi kita sekarang?" tanyanya, tiba-tiba merasa cemas.

"Aku masih punya banyak masalah," kataku, "Tapi bukan denganmu. Kamu benar, masalahnya ada di dalam diriku, dalam pikiranku, dan mungkin seperti yang kamu bilang aku butuh bantuan psikiater. Aku terlalu sibuk membangun lagi kehidupan dan ingatanku, mencoba mencari tahu siapa yang sudah melakukan ini padaku. Aku sadar aku juga perlu mencari tahu dari mana amarah ini berasal karena sering muncul begitu saja oleh hal-hal sepele yang dikatakan atau dilakukan orang di sekitarku.

"Sekarang aku sadar bahwa selama ini aku mencintaimu dan terus terang aku ingin kembali lagi padamu. Kamu bilang sebelumnya kita masih suami istri tapi nyatanya ga seperti itu. Aku ingin memperbarui pernikahan kita, tapi aku harus lebih dulu bisa mengatasi pemulihan mentalku yang tampaknya sekarang ga stabil. Jadi ... " dan aku terdiam.

"Errik, kamu ga tahu betapa berartinya kata-kata yang barusan kamu sampaikan bagiku. Aku akan menunggu selama apapun yang kamu butuhkan. Kamu sekarang sudah percaya bahwa Hadi adalah masa lalu bagiku, ga peduli apapun yang terjadi selama ini, betul kan? Bahwa aku adalah milikmu sekarang dan untuk seterusnya?"

Aku mengangguk. "Ya. Aku ga tahu kenapa aku bisa meragukanmu sebelumnya, tapi itu juga sudah berlalu, walaupun masih ada reaksi emosional karena kamu pernah hidup bersamanya, bahwa kalian pernah saling memiliki. Aku harus melupakan itu dulu. Tapi ya, Aku percaya kamu setia kepadaku karena aku akan setia kepadamu juga. Aku sudah pernah bilang sebelumnya-- "

"Kamu setia pada wanitamu, setia pada pasanganmu," katanya sambil tertawa. Lalu tawa itu berhenti dan dia serius lagi. "Aku juga harus melupakan kamu punya dua kekasih juga, lho."

Aku ga bisa mengira-ngira seperti apa perasaannya, bahwa dia akan membayangkan keintiman yang kupunya dengan Tris dan Jenni, begitu dia tahu siapa aku dan apa yang sudah terjadi padaku. Memiliki rasa cemburu karena aku mengabaikannya dan membuatnya merasakan perasaan yang sama dengan aku saat melihat dia bersama Hadi.

Sekali lagi selama ini aku terlalu terfokus pada perasaanku sendiri dan ga mau peduli pada sudut pandangnya, tapi kesadaran ini membuatku sedikit lebih terbuka ke sisi perasaannya yang selama ini kulupakan. Aku merasa begitu bodoh dan merasa bersalah padanya, dan bendungan perasaan itu jebol lagi dan ga bisa kutahan.

"Lebih baik aku pergi," kataku. "Aku ga tidur terlalu nyenyak tadi malam dan aku punya banyak kerjaan di kantor."

Aku berkeliling ke kamar anak-anak dan pergi, setelah mendapatkan ciuman penuh perasaan dari Ana, yang kubalas dengan penuh cinta, dan sedikit nafsu. Rasanya begitu menyenangkan.

Aku merasa kami sedang menuju ke arah yang tepat.

------

Hari itu dimulai sebagai hari Selasa yang biasa.

Kita semua bangun hari demi hari dan berharap hari itu akan berjalan normal seperti hari-hari lainnya, bahwa di akhir hari kita akan bisa berbaring dengan aman di tempat tidur yang akan kita tinggalkan pagi itu. Tapi hari itu, ga akan berjalan seperti biasa. Hari itu benar-benar berbeda dalam arti kami akan harus bertemu muka dengan kematian yang melintas.

Alfon datang ke kantorku membawa surat perjanjian itu, dan Hadi tiba dan kami masing-masing memeriksanya dan menandatanganinya. Hadi berlutut hampir menyembahku di hadapan semua orang sebagai ucapan terima kasih, tapi aku melarangnya. Aku lalu mempertemukannya dengan Jenni, yang dia ingat dari pesta makan malam dulu, dan juga dengan Lusi yang akan membantunya di bidang akuntansi dan keuangan. Sebagai langkah awal, aku mengijinkan Lusi pergi bersama Hadi untuk memeriksa pembukuan dan pencatatan transaksi di kantornya, dan mengingatkan bahwa sudah saatnya Hadi belajar soal password.

Saat mereka berdua meninggalkan ruangan, aku saling pandang dengan Jeffry dan aku berharap dia juga berpikir seperti aku, bahwa apa yang kami lakukan ini akan berhasil, dan kami ga sedang melakukan sesuatu yang sangat bodoh dengan mempercayai Hadi.

Aku sendiri sudah menghabiskan begitu banyak waktu soal urusan Hadi dan juga Ana sehingga aku perlu di update apa yang sudah dikerjakan Jenni selama aku ga ada dan itu sendiri butuh waktu seharian. Lusi kembali setelah jam makan siang dan memberikan update hasil pemeriksaannya pada keuangan perusahaan Hadi.

Hari sudah beranjak sore dan jam kantor sudah terlewati ketika ponselku berdering. Dari Ana.

“Ada apa Ana?” Aku bertanya, tapi tidak ada jawaban.

“Ana. Kamu bisa dengar suaraku?” Sekali lagi tidak ada jawaban, jadi aku menutup telepon dan menghubungi balik.

Setelah beberapa waktu akhirnya telepon tersambung. Bukan suara Ana yang kudengar, tapi Agnes.

"Ayah," dia terdengar panik, "Ada dua orang yang memaksa Ibu untuk masuk ke mobil mereka dan membawanya pergi.”

“Apa? Kamu yakin?”

“Awalnya aku melihat Ibu datang dan memasuki pekarangan, tapi saat akan menutup pagar, ada mobil lain yang datang langsung masuk dan menghalangi pagar sehingga ga bisa ditutup. Ibu parkir dan berjalan kembali ke depan untuk melihat siapa yang datang. Seorang wanita keluar dari mobil itu dan bicara dengan Ibu, samar-samar aku dengar dia menyebutkan Om Hadi dan rumah sakit, lalu saat ibu berbalik dan mengambil ponselnya, seorang laki-laki keluar dari pintu belakang dan membekap Ibu, lalu memaksanya masuk ke mobil mereka.”

Tiba-tiba rasa takut memenuhi pikiranku.

"Agnes," tanyaku mendesak, "Mobil mereka, seperti apa?"

"BMW Biru tua, plat nomornya B 9987 XX."

Aku tahu siapa wanita itu, aku pernah melihat mobil itu sebelumnya, di rumah Linda Firmanto. Sedikit penjelasan tambahan akan membantu memastikan.

"Kamu ingat ciri-ciri mereka seperti apa?"

"Wanita itu seumuran Ayah, tinggi dan kurus, mirip model. Make upnya tebal. Tangannya besar. Laki-laki itu bertubuh tinggi besar, tapi aku ga memperhatikan ciri lainnya karena dia muncul hanya sebentar untuk menarik Ibu ke mobil mereka."

"Apa mereka melihat kamu, apa mereka tahu kamu ada di rumah?"

"Sepertinya ga tahu. Mereka cuma bicara di depan pagar sebelum laki-laki itu muncul. Aku melihatnya dan berlari turun untuk menolong Ibu, tapi mereka sudah pergi dan aku menemukan ponselnya tergeletak di tanah saat Ayah meneleponnya "

"Oke, Sayang," kataku, "Jaga adik-adikmu dulu. Aku akan kesana nanti."

Itu pasti Linda. Apa yang dia mau dari Ana? Aku 'lari' ke kantor Jeffry.

"Jeffry, Ana diculik, ayo ikut aku, kita harus mengejar mereka."

Dia tertegun sejenak dan setelah itu terlonjak berdiri dan kami pergi keluar bersama-sama.

"Naik mobilku saja, aku yang nyetir," katanya, "Tapi apa kamu tahu kemana mereka membawanya?"

"Itu Linda, mantan istri Hadi. Dia yang membawa Ana dan ada satu orang laki-laki yang membantunya, aku yakin mereka akan pergi ke rumah Linda. Cuma Tuhan yang tahu apa yang mereka rencanakan."

Kantor kami ga jauh dari jalan tol yang juga menuju ke rumah Linda, tapi Linda harus melewati jalan pinggiran kota pada jam-jam sibuk sepulang kerja dari rumah kami ke rumahnya sendiri. Semoga situasi itu membantu kami ga terlambat menemukan mereka. Aku memberi alamat pada Jeffry dan kami berangkat.

Aku menghubungi Hasan di ponselnya.

"Hasan," kataku buru-buru, "Ana diculik Linda Firmanto. Mereka naik BMW Biru tua," dan aku menyebutkan plat nomornya, "Menurutku mereka akan ke rumah Linda," dan memberikan alamatnya pada Hasan.

"Kamu yakin, Errik?" Dia bertanya.

"Sangat yakin itu adalah Linda," jawabku, "Aku cuma ga yakin mereka akan pergi ke rumah Linda, ada seorang laki-laki yang membantunya. Tapi aku cuma merasa mereka ga tahu kalau ada yang melihat Ana pergi bersama mereka dan mungkin itu membuat mereka lengah dan mudah ditebak."

"Tunggu," katanya, dan beberapa saat hening.

"Oke," katanya, "Aku sudah menyebarkan informasi ke teman-teman di lapangan seandainya mereka melihat mobil itu, dan aku akan langsung menuju ke rumah itu dengan beberapa orang. Apa kamu ada di rumah? Kamu melihat mereka membawa Ana?"

"Aku dari kantor, Agnes yang ada di dalam rumah dan melihat perbuatan mereka dan memberitahuku."

"Oke. Kita coba ke rumah Linda dulu."

"Jangan pakai sirene Hasan."

"Aku tahu. Kami sudah pernah melakukan tugas seperti ini sebelumnya."

"Aku sedang dalam perjalanan kesana, saat aku sampai, aku akan masuk duluan. Jeffry menemaniku, dia akan membantuku."

"Errik jangan--"

Aku menutup telepon.

Sore itu jalanan serasa lebih macet dari biasanya dan saat kami sampai di rumahnya, mobil itu sudah terparkir di halaman rumah. Aku hampir menjerit senang karena ternyata mereka benar-benar membawanya ke rumah Linda. Lalu aku mengeluarkan ponselku lalu menelepon ponsel Jeffry, memintanya merekam semua pembicaraan di telepon dan memasang wireless earphone di balik kerah jaketku.

"Jeffry, aku ga bisa memakai earphone ini di telinga karena akan membuat mereka curiga, jadi aku ga bisa mendengarmu, tapi kamu bisa mendengar kami. Saat aku di dalam, mendekatlah ke pintu depan. Kalau kamu dengar aku bilang 'Jeffry', dobrak pintunya kalau pintunya tertutup. Aku akan mencoba membiarkannya tetap terbuka untuk mempermudahmu."

"Oke."

"Beritahu Hasan rencana itu saat dia tiba, dan biarkan dia dan yang lainnya ikut mendengarkan."

"Ya aku bisa menyambungkan telepon ini ke speaker di mobilku. Tapi apa kamu yakin akan masuk sendirian?"

"Aku ga peduli. Ana yang lebih penting."

"Oke, hati-hatilah."

Aku menghela nafas dan berbalik lalu berjalan ke rumah itu. Aku ga tahu apa yang akan kukatakan di dalam, tapi ga ada waktu untuk berpikir.

Saat aku sampai di sana, pintu depan masih terbuka sedikit – mereka mungkin sudah sampai beberapa lama karena kap mobil itu mulai dingin, jadi aku ga membuang-buang waktu lagi, aku membunyikan bel dan langsung masuk tanpa menunggu, mendorong pintu ke posisi sebelumnya, berhati-hati agar pintu seolah-olah terlihat tertutup. Aku berharap kedatanganku akan menunda apapun yang mereka rencanakan.

Ada suara berisik dari lantai atas dan aku bergerak mendekat ke arah tangga, tapi sebelum aku sampai ke tangga, Linda bergegas menuruni tangga, dan tampak kaget melihatku.

"Pak Errik!" katanya terengah-engah, ada noda gelap di celana jeansnya yang basah. "Ada apa kamu kesini? Kok kamu bisa masuk?"

"Aku kebetulan lewat, pintu ga dikunci, dan aku merasa kamu mungkin ingin tahu beberapa update yang aku temukan soal masalah keluargaku."

"Yah, aku agak sibuk sekarang ini."

Ada suara berisik dari atas. Aku melihat ke arah atas tangga.

"Sepupuku datang dari luar kota, jadi--"

"Menurutku kamu perlu dengar ceritaku. Bahkan rasanya aku ga bisa pergi sampai aku menceritakannya padamu."

Dia menyerah dan dengan enggan mempersilahkan aku duduk di ruang tamu. Suara berisik itu terdengar lagi dari lantai atas saat aku berbalik dan kami berjalan kembali ke ruang tamu.

"Dia sedang membongkar barang-barangnya," katanya. Lalu, "Jadi, apa yang sudah kamu temukan?"

"Yang pertama dan yang paling penting, bukan Hadi yang merencanakan 'kematian'- ku."

"A.. Apa? Omong kosong," dia tergagap tidak siap. "Siapa lagi kalau bukan dia? Uang untuk membayar para pembunuhmu berasal dari rekeningnya."

"Itu pernyataan yang sangat menarik darimu! Aku akan lanjutkan lagi. Kedua, Hadi ga selingkuh dengan mantan istriku sampai aku menghilang. Orang sewaanmu salah."

"Ini konyol, kamu sendiri pernah melihat fotonya. Bahkan Hadi sudah mengaku."

"Ya, dia memang mengaku selingkuh, tapi dia ga bilang itu Ana kan? Dia selingkuh dengan orang lain, yang sudah kuhubungi dan wanita itu mengakuinya. Masalahnya adalah kamu menuduhnya selingkuh tanpa menyebut nama Ana, kamu cuma bilang ke Hadi bahwa kamu punya bukti foto. Dia ingin melindungi kekasihnya yang sudah berkeluarga sehingga dia mengalah dan mengaku selingkuh. Tapi wanita itu bukan Ana."

"Apa buktinya kalau itu bukan Ana?"

"Kamu benar-benar berharap wanita itu adalah Ana, ya? Karena kalau bukan Ana, membunuhku akan jadi perbuatan kejam yang salah sasaran."

"Apa maksudmu? Apa kamu menuduhku--"

"Ya betul, dan aku punya bukti. Kamu sendiri yang sudah mengatakan dua hal yang membuktikan itu. Yang pertama sudah mengganggu pikiranku selama berhari-hari, sampai akhirnya aku menyadarinya. Kamu membicarakan soal foto yang diambil detektif sewaanmu di Surabaya. Ga mungkin kamu bisa tahu soal foto-foto itu, kamu bilang sendiri ga pernah bicara dengan Hadi sejak perceraian kalian. Dan yang kedua, barusan kamu menyebutkan uang yang dipakai untuk membayar pembunuh itu berasal dari rekening Hadi. Ga ada seorang pun kecuali pengacara Hadi dan polisi yang tahu soal itu. Jadi kamu tahu karena kamu yang melakukan transaksi itu."

"Itu ga masuk akal!" dia menggeram. "Bagaimana aku bisa membayar orang dari rekening Hadi?"

"Nah, kebetulan kamu juga yang memberitahuku caranya saat kita bertemu dulu," kataku. "Kamu bilang bahwa kamulah yang mengurus semua rekening Hadi karena dia ga tahu apa-apa soal itu. Aku tanya pada Hadi apa dia pernah mengubah password internet bankingnya dan dia bilang ga pernah, dia malah ga tahu kalau itu bisa diganti. Jadi, kamu pasti masih bisa mengakses dan memakai rekeningnya, kan?"

"Gerry!" dia berteriak.

Ada suara seseorang yang berlari ke bawah, dan dalam waktu singkat seorang pria yang tinggi besar memasuki ruang tamu. Aku langsung teringat deskripsi dari Iwan tentang orang yang sudah menyuruhnya menjebakku.

"Gerry, ada masalah," kata Linda. "Mantan suaminya." Dia mengangguk padaku.

"Ya ampun, mayat hidup datang sendiri ke kuburannya!" dia berkata setelah memperhatikanku lebih jelas. Dia tersenyum tapi itu bukan senyum yang menyenangkan untuk dilihat, dan aku juga bisa melihat noda yang walaupun ga sebanyak yang ada di pakaian Linda, tapi di pakaian Gerry yang berwarna terang, aku bisa yakin itu adalah noda darah.

"Kamu bodoh karena datang kesini, Errik, mencari istrimu?"

"Mantan istri," aku mengoreksinya. "Mana Ana? Aku tahu kalian menculiknya.”

"Oh, sepertinya kita sudah ketahuan, Linda.” Jawab Gerry.

“Aku ga ngerti apa yang kalian harapkan dengan menculiknya."

“Jangan naif, Errik," kata Linda cemberut. "Dia harus dihukum. Kali ini dia akan menderita seperti seharusnya."

"Aku ga tahu kenapa dia harus menderita," kataku, ga bisa berhenti memikirkan kenapa ada darah di pakaian mereka. "Dia ga punya dosa apapun kepadamu."

"Dia wanita murahan tukang selingkuh dan dia harus membayar dosanya."

"Sudah kubilang, dia ga selingkuh dengan suamimu."

"Bohong, aku punya semua buktinya."

"Kamu punya foto. Aku bisa menjelaskan foto-foto itu, yang bisa dikonfirmasi juga ke orang lain."

"Coba jelaskan,"

"Tentu, saat aku siap menjelaskan."

Gerry melakukan gerakan untuk mengancamku.

"Pertama, kamu jelaskan dulu kenapa kamu harus membunuhku. Apa yang sudah kulakukan padamu? Katakan padaku dan aku akan menceritakan apa yang kamu mau."

"Oke, kamu ga akan hidup terlalu lama lagi, jadi aku akan menceritakan semua agar kamu ga mati penasaran. Aku sudah menghukum Hadi dengan mengambil sebagian besar hartanya, tapi Ana-mu masih terus menemuinya setelah perceraian kami. Dia bebas tanpa hukuman."

Suaranya mulai meninggi saat dia mendramatisir cerita. Aku yakin sekarang dia ga akan menahan-nahan ceritanya dan akhirnya aku akan tahu apa motifnya.

"Dia sudah merebut suamiku dan melanjutkan hidupnya seolah-olah ga pernah terjadi apa-apa. Kamu terlalu bodoh untuk bisa melihat apa yang sedang terjadi di rumah tanggamu. Dia punya suami yang kaya dan tampan serta kekasih gelapnya. Itu ga bisa dibiarkan.

"Dia mengambil suamiku, jadi aku akan mengambil suaminya. Kamu seharusnya sudah mati dibunuh. Perintahku adalah membawamu jauh dan mengambil semua tanda pengenal darimu dan lalu memukulimu sampai mati, sehingga istrimu yang ga setia ga akan pernah menemukanmu. Aku menyuruh Boy Rolan untuk menawarkan bantuan 'menemukan' kamu. Dia akan mengirim laporan pada mantan istrimu bahwa kamu sudah selingkuh dengan wanita lain. Dia akan tahu bagaimana rasanya kehilangan suaminya karena perselingkuhan. Dia akan tahu sakitnya."

"Aku bisa melihat beberapa keanehan dalam rencana itu," kataku, "Keanehan besar. Kenapa harus melenyapkan wajahku kalau memang aku harus mati?"

"Aku butuh waktu untuk membuatnya percaya kamu sudah pergi dengan wanita lain. Polisi bisa mencarimu kemana saja. Tapi saat mereka akhirnya menemukanmu, itu akan terjadi setelah Ana menikah dengan Hadi, bukan sebelumnya.

"Kebetulan, orang-orang bodoh itu ga becus menyelesaikan pekerjaannya, dan mencampakkanmu di tempat umum tapi kamu masih belum bisa dikenali."

Dia berhenti dan tersenyum.

"Lalu saat itulah Boy Rolan datang dengan membawa foto-foto itu, ada sedikit keberuntungan disana. Ada foto-fotomu dengan wanita lain yang sepertinya pertanda bahwa alam semesta mendukungku. Jadi aku memakai foto-foto itu untuk menjalankan rencanaku membuat Ana menderita. Dan dia memang menderita, aku ga menyangka dia begitu mencintaimu, meskipun dia masih selingkuh dengan orang lain."

Aku menghembuskan napas jengkel tapi dia masih melanjutkan. Wajahnya menunjukkan rasa jijik dan amarahnya.

Dia benar-benar semakin menghayati ceritanya sekarang, matanya berbinar menyeramkan, dia sangat marah.

"Aku berencana menunggu sampai mereka menikah dan setelah itu sepucuk surat akan sampai ke polisi. Di situ akan tertulis di mana jenasahmu, siapa yang membayar orang untuk membunuhmu, siapa yang mengarang cerita tentang 'wanita selingkuhanmu'. Dan semua bukti akan tertuju pada Hadi.

“Boy Rolan dibayar mahal untuk menutup mulutnya rapat-rapat, dan lebih banyak uang setelah Hadi ditangkap. Lalu Ana akan menderita lagi, setelah tahu dia menikah dengan laki-laki yang membunuh suami yang dicintainya. Barulah pelacur itu akan benar-benar sendirian di dunia ini tanpa belaian seorang laki-laki.

"Sayangnya kamu muncul, jadi aku harus mengubah rencanaku. Kebetulan juga kamu mengerjakan sebagian rencanaku tanpa kamu sadari, kamu sendiri yang memimpin polisi mengarah ke Hadi.

"Tapi sekarang aku tahu kamu akan kembali pada Ana. Aku ga akan membiarkan wanita murahan itu menang lagi. Sudah saatnya aku melakukan penyesuaian pada rencanaku dan menghukum mereka dengan tanganku sendiri, kebetulan lagi, kamu datang sendiri kesini dan kamu bisa ikut bergabung dengan mereka di neraka."

"Tapi seluruh dasar dari kebodohanmu yang mematikan itu salah," aku semakin frustasi.

"Oh ya?" Dia mengerutkan bibir dan aku tahu dia ga siap untuk mempercayaiku.

"Ana diminta oleh seorang temannya untuk mengantikan dia memimpin sesi 'Slimming Works' di Hotel itu. Teman Ana itu akan melahirkan. Jadi, Ana memimpin program itu selama enam bulan. Setiap pertemuan berlangsung selama satu jam, rata-rata dihadiri sekitar tiga puluh orang setiap minggu.

"Hadi ingin menurunkan berat badan, dan dia ikut acara itu. Dia ga tahu Ana yang memimpin sampai dia ikut acara itu. Bagaimanapun, saat dia ikut acara itu dia bertemu dengan wanita selingkuhannya, wanita itu juga kegemukan dan jadi peserta acara itu.

"Ana ga tahu apa-apa soal hubungan mereka. Kamu ingat foto Ana dan Hadi memasuki kamar hotel yang sama? Setelah Hadi datang, Ana pergi ga lama setelah itu tapi detektifmu pasti ga melihat itu. Saat itu jam makan siang, aku berani taruhan dia pergi makan siang di dekat situ, mengira mereka sedang berhubungan seks dan ga akan keluar untuk sementara waktu. Sementara wanita lain yang jadi selingkuhan Hadi datang. Hadi meminta Ana memperpanjang sewa kamar yang sebelumnya dipakai Ana untuk persiapan acara dengan alasan dia ga dapat kamar dan butuh tempat untuk bersantai, jauh dari pekerjaan.

"Hadi dan selingkuhannya ada di kamar itu sampai sore. Detektifmu pasti sudah pulang dan ga melihat saat mereka keluar dari hotel itu. Kamu menuduh wanita yang salah. Kamu mencoba membunuh laki-laki yang salah."

"Hei," suara Gerry memotong pembicaraan kami. "Sudah cukup, ga perlu banyak omong lagi. Aku sudah berkali-kali diganggu saat ingin menikmati ‘hadiahku’, tadi Hadi dan sekarang kamu."

Aku bingung saat dia menyebutkan Hadi, tapi aku ga sempat memikirkan apapun saat melihat dia menarik pistol dari ikat pinggangnya dan aku mendengar bunyi klik pelan.

Di negara ini, memiliki senjata api adalah kejahatan, bisa dibilang sembilan puluh sembilan persen penduduk belum pernah lihat senjata sungguhan. Kenyataannya, ga semua polisi dipersenjatai dengan senjata api. Yang jelas aku yakin walaupun aku kehilangan ingatan, baru sekali aku melihat senjata api, yaitu pistol yang dikeluarkan oleh Hasan saat kami meminta keterangan dari Iwan, tapi melihat senjata api dipegang oleh sahabatmu sama sekali berbeda dengan saat senjata itu dipegang oleh musuh.

"Berdiri, Errik," aku berdiri. Aku ketakutan, sangat ketakutan, terutama memikirkan apa yang sudah mereka lakukan pada Ana di lantai atas.

"Lalu apa rencanamu, Gerry?" Aku bertanya setegas mungkin yang aku bisa, berusaha menyamarkan gemetar dari suaraku. "Kamu akan menembak kami berdua? Itu akan meninggalkan banyak bukti dan semuanya mengarah pada kamu dan Linda."

"Oh, ga akan seperti itu," dia mengejek. "Kita akan jalan-jalan sebentar dengan mobil Hadi. Aku punya teman di kota, kali ini kami akan memastikan kalian berdua diurus dengan baik. Ga ada bukti. Mobil itu akan dibakar dengan kalian berdua di dalamnya di suatu tempat yang terpencil. Jangan khawatir, kamu ga akan merasakan panas, kamu sudah mati saat mobil itu terbakar. Kali ini ga akan ada lagi kesalahan. Setelah itu seperti rencana awal, tuduhan akan kembali tertuju pada Hadi sebagai pemilik mobil. Walaupun mungkin saat itu Hadi sendiri sudah mati.

"Tapi sebelum kita pergi, aku akan mengajarimu untuk ga ikut campur dalam urusan orang lain dan aku akan menghukum dia seperti sepantasnya seorang pelacur. Aku akan mengijinkan kamu ikut nonton saat aku menikmati tubuhnya. Wanita cantik, sayang sekali untuk disia-siakan. Bibirnya saja sudah begitu nikmat, sayang tadi kamu menganggu kesenanganku. Kalau dipikir-pikir, wanita itu bisa kupakai sebagai imbalan untuk teman-temanku kalau mereka mau membantu.

"Sekarang," katanya, menunjuk dengan pistol. "Tangan di atas kepala! Jalan pelan-pelan kearah tangga, dan naik kelantai dua, jangan macam-macam karena aku akan ada tepat di belakangmu. Linda, ayo ikut, kamu akan mengarahkan pistol ini padanya sementara aku bersenang-senang dengan Nyonya diatas.

"Jalan, Errik!"

Aku gemetar mendengarkan rencananya, tapi itu artinya Ana masih hidup, jadi aku melakukan apa yang diperintahkan untuk mengulur waktu, untuk mencari momen yang tepat dan melawan. Aku bergerak.

Aku sebenarnya bingung Hadi disebut berulang kali, apa dia ada disini dan berkomplot dengan mereka? Tapi kenapa dia disini kalau hanya untuk dijadikan sebagai tumbal, semua bukti diarahkan sedemikian rupa kepadanya. Ga mungkin dia membantu mereka, kan?

Apapun itu, aku harus memikirkan kondisiku sendiri saat ini. Faktanya, aku rasa Gerry bodoh. Apa dia belum pernah dengar tentang DNA? Sudah ada banyak jejak kami di rumah ini. Menurutku Linda yang lebih cerdas diantara mereka berdua dan dia yang memikirkan semua rencana, walaupun aku tahu pasti dia ga waras karena merencanakan semua ini dari awal.

Aku akan memastikan Gerry akan harus membunuhku sebelum bisa menyentuh Ana. Aku sangat, sangat marah pada kesombongan dan rencananya, dan adrenalin sudah mengalahkan rasa takutku. Naluriku sudah berubah jadi petarung. Dia mungkin bisa membunuhku tapi aku akan memastikan darah sebagai bukti keberadaanku tersebar di seluruh rumah ini.

Aku berjalan perlahan dengan tangan di atas kepalaku, memikirkan bagaimana aku bisa mengagalkan rencananya sambil terus berjalan perlahan dan berbelok ke kiri menuju tangga. Saat itulah aku ingat, aku ga datang kesini sendirian, aku ga perlu membuat darahku tersebar di rumah ini agar ada jejakku disini. Aku datang bersama Jeffry dan aku yakin Hasan dan teman-temannya juga sudah datang dan menunggu aba-aba dariku untuk bergerak. Aku lalu berpikir peluang mereka untuk membantu akan lebih besar saat kami masih ada di bawah, jauh dari Ana yang bisa dijadikan tameng ataupun sandera saat Gerry panik.

Seperti yang kubilang tadi, aku ga peduli aku mati, asalkan Ana aman. Jadi, saat menginjak anak tangga pertama, aku berteriak, "Jeffry!"

Gerry kaget dan marah, lalu menendang punggungku hingga aku tersungkur kedepan. Di saat yang sama, aku dengar pintu depan didobrak terbuka,

“Hei, siapa yang...” Gerry belum menyelesaikan kata-katanya saat aku dengar ada teriakan-teriakan dari arah pintu masuk. Aku masih merunduk, punggungku sakit dan kudengar dua kali suara tembakan lalu berusaha berbalik untuk melihat apa yang terjadi di belakangku. Aku melihat pistol Gerry meluncur di sepanjang lantai menuju kearahku dan aku menangkapnya. Saat aku bangkit, aku melihat Gerry menelungkup di lantai, dan seorang polisi bertubuh sama besar dengannya menindihnya di lantai, sedangkan yang lain menodongkan pistol di sebelah mereka.

Linda berteriak-teriak dan mulai memukuli punggung polisi yang memegang pistol itu sampai beberapa petugas lain menyusul dan menariknya pergi.

Aku berbalik dari pergulatan di belakangku dan menaiki tangga secepat mungkin, ga mempedulikan teriakan-teriakan peringatan dari Hasan, yang tidak bisa mendekatiku karena terhalang pergulatan di depannya. Aku cuma memikirkan Ana saat itu, aku harus menolongnya secepat mungkin.

Aku merangkak menaiki tangga, tidak menghiraukan pungungku yang masih sakit dan harus memasuki dua buah kamar tidur sebelum aku bisa menemukannya. Dia diikat telentang di tempat tidur, ditelanjangi sampai menyisakan bra dan celana dalamnya. Lengannya diikat di belakang punggungnya, disatukan dengan selotip dari pergelangan tangan sampai sikunya, mendorong ke atas payudaranya, yang salah satunya sudah keluar dari cup bra nya, dan mulutnya disumpal dengan gumpalan besar kain bajunya yang koyak, kakinya diikat kencang ke masing-masing kaki tempat tidur dengan tali nilon biru sehingga pahanya terbuka lebar dan bukit kemaluannya tercetak dan melekat erat pada kain celana dalamnya yang meregang. Pandangan matanya yang basah karena air mata awalnya bergerak dengan liar karena ketakutan, tapi berganti dengan kelegaan saat dia melihat siapa yang datang.

Aku melihat ke sudut lain dan mengenali sosok Hadi yang seluruh tubuhnya diikat dengan selotip ke kursi. Darah memenuhi wajah dan kepalanya yang terkulai kebelakang, dan celana dalamnya, satu-satunya kain yang tersisa di tubuhnya sudah berubah warna menjadi merah karena darah, begitu juga dengan karpet coklat dibawah kursi mulai menghitam karena menyerap terlalu banyak darahnya yang mengalir kebawah. Aku ga tahu apa dia masih hidup atau sudah mati, tapi dia sama sekali ga bersuara ataupun bergerak

Aku lalu berbalik dan mendekat pada Ana, meletakkan pistol yang kupegang di sampingnya dan dengan lembut melepas sumbatan mulutnya, menenangkannya saat dia mulai menangis. Lalu aku dengan hati-hati membebaskan ikatan di lengannya dan berlutut di lantai untuk membebaskan ikatan kakinya, Ana lalu membuatnya bangkit lalu memelukku. Pasti sakit saat selotip menarik rambut halus di lengannya, tapi ga ada cara lain untuk membebaskannya.

Kami berdua menangis, gemetar dan menggigil berpelukan karena syok yang datang tertunda, dan begitulah keadaan kami saat seorang polwan mendekati kami. Dia melepaskan pelukan lengan Ana dariku dan membantunya berpakaian. Dia bertanya apa kami terluka. Aku masih di lantai, dan lututku terasa sakit.

"Kamu boleh bangun sekarang, temanku," terdengar suara yang kukenali dari belakangku dan aku tahu itu suara Hasan.

"Aku sama sekali ga bisa," geramku, dan segera merasakan lengannya mengangkat lenganku dan membantuku berdiri. Kakiku lemas dan dia memelukku sampai aku bisa berdiri sendiri. Aku dan Ana dibungkus selimut oleh petugas dan diantarkan ke bawah, dan keluar menuju ambulans yang menunggu, meninggalkan Hadi yang sedang diurus oleh polisi lainnya. Aku ga terlalu mempedulikannya saat ini. Ana memegang erat lenganku sepanjang perjalanan kami ke rumah sakit. Ga ada sepatah kata pun yang terucap di antara kami selama itu, tapi dia terus meremas lenganku dengan tegang sepanjang waktu.

Sebelum aku dibawa ke ruang UGD, aku menelepon Agnes, dan mengetahui bahwa dia sudah menjaga rumah dengan baik.

"Jenni datang dan menceritakan soal ‘petualanganmu’," dia jelas khawatir dan berusaha mencairkan ketegangan, "Ayah ga apa-apa kan?"

Aku menenangkannya dan bilang akan menghubunginya lagi nanti karena dokter sudah menunggu.

Kami menghabiskan waktu sekitar empat jam di ruang terpisah di rumah sakit, dan akhirnya aku bangun dan berjalan keluar. Seorang polisi menghadangku dan meminta aku kembali ke kamarku, tapi aku dengan cukup tegas menunjukkan bahwa aku sudah bisa mengatasi shock dan mau pulang karena anak-anak kami pasti sama takutnya dengan kami. Pada saat ini Ana keluar dari kamar lain.

"Aku ikut denganmu," katanya dan aku menawarkan lenganku. Dia melemparkan senyumnya itu, dan menyelipkan lengannya ke tanganku. Kami diperbolehkan pulang setelah polisi itu menelpon atasannya, lalu dia mengantarkan kami menuju ke rumah, dan tetap berjaga di rumah kami setelahnya.

"Menginaplah," katanya. "Aku ga mau sendirian malam ini."

Jadi aku menginap di rumah malam itu. Leo dan Stefan menyambut kami dengan sangat antusias di halaman depan dan lalu disusul oleh Agnes. Dia berdiri sejenak di depan pintu, menangis dan berlari ke arah kami. Kami berpelukan bertiga sampai dia tenang.

"Semuanya masih utuh," kataku, yang memicu deraian air mata lagi. Jadi, bergandengan tangan kami masuk ke dalam rumah.

Jenni sudah memasak sup. Anak-anak dan dia sendiri sudah makan sejak tadi, tapi kami merasa lapar dan makan dengan lahap. Jenni memberi tahu kami bahwa Jeffry meneleponnya dan memintanya untuk menjaga Agnes, sambil menceritakan kejadian tadi. Kami ga banyak bicara, hanya senang bisa merasakan kehangatan dan rasa aman. Ana terus melirikku, yang membuatku merasa agak canggung.

Lalu Jenni membantu Ana mengantarkan anak-anak tidur, lalu pergi. Aku dan Ana duduk berdua di ruang tamu. Aku merasa lelah, dan Ana kelihatan sangat terpukul.

"Errik."

"Ya?"

"Kamu menginap kan?"

"Oke."

"Bersamaku?"

Aku ragu apa yang dia maksud, untungnya keterlambatanku dalam memberikan jawaban direspon olehnya dengan baik.

"Errik, kamu ga perlu melakukan apa-apa, cukup peluk saja aku."

Aku berdiri dan mengulurkan tangan padanya, menariknya bangkit dari kursinya. Aku melingkarkan lenganku di pundaknya dan merasakan lenganku melingkari pinggangku. Begitulah kami menaiki tangga. Kami melewati kamar Agnes dan dia mendongak. Senyumannya menyinari wajahnya saat dia sadar ke mana kami akan pergi bersama, dan kemudian, sekali lagi, air matanya mengalir.

Ana melepaskan diri dariku dan mendekat ke putrinya dan aku berdiri menunggu di ambang pintu. Mereka berbisik berdua dan ga lama kemudian Agnes tersenyum di sela air matanya. Dia menatapku dan aku tahu aku harus memeluknya untuk mengucapkan selamat malam. Ana bergeser dan aku duduk di tepi tempat tidur untuk memeluk putriku.

"Kami harus tidur lebih awal, Sayang. Kejadian hari ini sudah menghabiskan energiku."

"Ayah tahu, Ayah adalah pahlawan bagi Ibu," kata Agnes yang masih menangis tapi ga bisa menyembunyikan kebahagiaanya. "Ayah datang untuk menyelamatkannya dengan mengendarai kuda putih besarmu."

"Sebenarnya aku tadi numpang mobil Jeffry," jawabku.

Agnes tertawa. "Tapi Ayah sudah menyelamatkan hidupnya."

"Bukan Agnes, kamulah yang menyelamatkan hidupnya. Kalau kamu ga berpikir meneleponku, dan tanpa penjelasanmu, aku ga akan tahu siapa orang itu. Kamulah bintangnya."

Ana mengangguk dari pintu. "Aku sangat bangga padamu," katanya.

"Selamat malam, mimpi yang indah," kataku sambil mencium kepala putriku.

"Selamat malam, Ayah," katanya sambil memeluk pinggangku dengan kebanggaan yang menurutku ga benar-benar pantas kudapatkan.

Ana sudah pergi duluan. Aku memasuki kamar tidur, kamar tidur Ana. Dia sudah ada di tempat tidur memakai selimut, cuma kepalanya yang terlihat. Aku bertelanjang dada dan naik ke sampingnya. Shock karena sadar dia telanjang bulat.

"Errik," dia menegurku, "Kita selalu tidur tanpa pakaian. Sejak kapan kamu berubah?"

Aku dengan patuh mendorong celanaku kebawah. Aku ingin bilang aku mulai ereksi, tapi itu akan bohong. Aku terlalu lelah untuk ereksi. Ana bergeser ke arahku dan tubuh kami bersentuhan secara alami. Aku merasakan payudaranya yang lembut menekan dadaku, kedua kakinya menjepit salah satu kakiku, kemaluannya terdorong ke arahku, rambut kemaluannya mengelitik pahaku.

"Tubuhmu ga lupa bagaimana cara kita dulu berpelukan, meskipun kamu lupa!" dia memberikan lagi senyuman yang begitu penuh cinta, saat kami saling berhadapan.

Aku tertidur saat mendengarnya membisikkan "Terima kasih sayangku." Atau mungkin aku bermimpi dia mengatakan itu, tapi sepertinya bukan.

Tapi, malam itu jauh dari damai. Ana mendapatkan mimpi buruk, dia terbangun, duduk di tempat tidur dan berteriak, gemetar atau menangis. Aku harus menenangkannya lagi dan lagi. Sekitar jam empat, dia mungkin terlalu lelah dan tidur dengan tenang, begitu juga aku. Hal berikutnya yang kutahu saat sudah pagi, dan alarm berbunyi, tapi Ana ga bergerak, jadi aku bangkit dan sekali lagi menyelamatkannya, kali ini dari serangan waktu yang terus berdering.

Hari Rabu adalah hari sibuk berikutnya.

Aku harus memutus sambungan telepon di kamar tidur dan menutup pintu agar Ana bisa tidur dan istirahat. Aku membangunkan anak-anak untuk sarapan dan sekolah.

Aku menjawab telepon yang berdering, dari wartawan, lalu menutup telepon. Aku memastikan anak-anak sudah membawa peralatan sekolahnya dengan lengkap. Menjawab telepon lagi, wartawan lain, tutup telepon. Aku lalu mengantarkan Leo dan Stefan ke sekolah setelah memeriksa keluar jendela untuk memastikan kami ga dikepung lagi oleh wartawan di depan pintu gerbang. Menjawab telepon, dari Jeffry, bilang bahwa kami baik-baik saja, tapi aku ga akan masuk kerja. Menjawab telepon, minta polisi untuk datang lebih siang, mungkin saat jam makan siang untuk membuat keterangan.



Aku menelepon kantor Ana dan memberi tahu bahwa Ana ga akan masuk dan aku belum tahu kapan dia akan masuk. Membuatkan teh untuk Ana, yang kudengar sedang di kamar mandi. Menjawab telepon dan bilang ke wartawan ‘no comment’. Menyeting ulang mesin penjawab telepon seperti dulu dan setelah itu membiarkannya terus berdering dengan volume paling kecil.

Membawakan teh untuk Ana, yang sedang duduk melamun di tempat tidur dengan wajah bingung. Aku mengagumi payudaranya yang padat, yang ga dia sadari sudah dipamerkan kepadaku. Apa dia mau sarapan? Aku turun lagi dan menyiapkan roti bakar. Aku membereskan dapur sementara Ana sarapan di tempat tidur. Aku meminta Ana untuk berpakaian sebelum polisi datang.

Bel pintu. Polisi, atau lebih tepatnya Hasan bersama seorang polwan yang dari lambang di seragamnya sepertinya berpangkat tinggi. Aku merasa kagum dan terhormat didatangi oleh petugas seperti dia, yang kusampaikan langsung kepada Hasan dan dijawab dengan ‘jangan dibesar-besarkan’.

Ana turun dengan pakaian bersih dan walaupun kelihatan lelah tapi lebih rapi. Aku membuat kopi untuk mereka semua.

Pada titik ini semuanya terasa lambat. Memberikan keterangan pada polisi dengan pangkat tinggi terbukti cukup unik. Setiap kalimat dibahas detail, memastikan bahwa apa yang tercatat benar-benar akurat.

Untuk pertama kalinya Ana tahu cerita dari versiku saat aku memberi keterangan kejadian sejak mendapatkan telepon dari Agnes. Untuk pertama kalinya juga aku tahu tentang apa yang terjadi di rumah Linda sebelum aku datang.

Ana bilang wanita itu, Linda, menemuinya di dekat gerbang pagar dan bilang kalau Hadi kecelakaan dan mereka diminta menghubungi Ana. Ana curiga kenapa mereka langsung datang dan tidak menelepon dulu, lalu berbalik ke mobil untuk mengambil ponselnya dan berusaha menghubungi aku. Tapi sebelum telepon tersambung, laki-laki itu, Gerry, membekapnya dan menariknya ke mobil mereka. Linda mengemudi, dan Gerry mengancam Ana dengan pistol di kursi belakang agar tidak melawan saat penjahat itu meraba-raba tubuh Ana di dalam mobil sepanjang jalan sampai ke rumah itu. Dia lalu diseret naik ke kamar di lantai dua dan dilemparkan ke tempat tidur oleh Gerry. Dia lalu ditelanjangi dan dibungkam dengan robekan bajunya, lalu diikat di atas tempat tidur. Ana baru sadar kalau ada Hadi di kamar itu saat Hadi yang mulutnya dibungkam dan terikat di kursi berusaha berontak untuk menolongnya dan akhirnya membuat kursinya terguling. Gerry marah dan turun dari tempat tidur menendang Hadi yang ga bisa melawan di lantai.

Linda datang menyusul karena keributan itu dan Gerry cerita Hadi sok pahlawan dan ingin menganggu dia yang hendak memperkosa Ana dan membuat Linda ikut marah karena Hadi masih peduli pada Ana. Mereka berdua lalu mengangkat Hadi kembali dalam posisi duduk lalu Linda menusukkan pisau yang dibawanya ke paha Hadi, dan Gerry memukulinya lagi sebelum terganggu oleh suara bel pintu dan lalu Linda keluar untuk melihat siapa yang datang.

Gerry mencabut pisau dari Hadi dan mendekat ke Ana, menodongkan pisau itu dengan tangan kiri ke dada Ana dan mengancamnya agar tidak bersuara, membuka sumpalan di mulut Ana dan memaksanya untuk mulai mengoral penisnya sambil menusuk-nusukkan jari tangan kanannya di kemaluan Ana yang hanya tertutup celana dalam.

Disaat itulah Linda berteriak dari bawah, memaksa Gerry mengerutu marah, menyumpal mulut Ana dengan robekan bajunya dan bergegas turun. Ana berusaha membebaskan diri tapi gagal, Hadi juga sepertinya ga bergerak. Dan berikutnya yang dia tahu ada keributan di bawah, tapi dia lalu lega saat ternyata Errik yang muncul.

Aku jadi sangat marah mendengarnya, tapi itu adalah perasaan yang sekarang ga ada gunanya. Polwan itu bilang, bahwa kedatanganku sudah mencegah serangan yang bisa lebih parah, jauh lebih buruk pada Ana. Menurutku itu adalah keberuntungan.

Hasan lalu bilang nyawa Hadi masih tertolong walaupun saat ini masih belum sadar setelah kehilangan darah cukup banyak.

"Ya, sebenarnya mereka sudah membantu kita dari kesulitan mencari bukti yang mengarah pada mereka," kata Hasan. "Perbuatan bodoh mereka kemarin, dan bukti lain yang sudah kamu kumpulkan akan cukup untuk menghukum mereka atas penyeranganmu dan percobaan pembunuhan kedua ini. Alat kecilmu berhasil menangkap semua percakapan - semua bukti yang kami butuhkan untuk memenjarakan mereka. Kita bisa melengkapinya dengan keterangan dari Hadi saat dia sudah sadar."

Semoga



Bersambung... Bab XXIX
 
Terakhir diubah:
Langsung plong..
gara2 sop iler, dan ternyata celana dalam berdarah itu milik hadi..
Gila banget si linda, hanya gara2 salah tuduh..
Si errik jadi korban, dan rumah tangga errik berantakan..
Pesan moral lagi di cerita ini nih, buat yg udah nikah, hati2 ama binor, jangan sampe kejadian kaya di cerita ini..


Makasih updatenya suhu
:ampun:
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd