Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Ritual Sex di Gunung Kemukus

tetap semangat om ujang, jangan letoy di perjalanan, jangn lupa jaga stamina, minum jamu kuku bemo...
 
ngomong2, apakah para semprotwan ada yg pernah mengalami nasib(mujur) spt kang ujang, sharing dong disini...
 
Bab 9 Pemanasan Menjelang Malam Jum'at Pon






Aku terbangun mendengar suara berisik dari depan. Lilis tidur pulas memelukku Wajahnya terlihat cantik dan polos tanpa dosa. Begitu tenang seperti tanpa beban. Walaupun jauh di dalamnya, ada derita yang harus ditanggungnya. Derita yang berhasil disembunyikannya dengan rapat, mungkin kalau ini sebuah film, Lilis akan mendapatkan piala CITRA karena perannya.

"Jang, " perlahan Lilis membuka matanya, tersenyum bahagia. "Di depan kok, ramai?" tanya Lilis, sambil merebahkan kepalanya di dadaku sehingga aku bisa mencium rambutnya yang harum memenuhi rongga dadaku.

"Iya, sepertinya sudah banyak orang yang datang. Nanti malam, malam Jum'at Pon." kataku sambil mengusap pipinya yang halus. Lalu beralih ke bibir tipisnya yang selalu basah. Aku membelai bibirnya, merasakan tekstur bibirnya pada jari jariku, bibir yang membuat mata lelaki tidak mau berpaling, bibir yang seharusnya selalu tersenyum bahagia atas semua anugerah yang dimilikinya.

"Jang, kontol kamu udah ngaceng lagi? Kan semalam udah ngentot 6 x memek Lilis sampe jadi dower dientot kontol, Ujang." kata Lilis sambil membelai kontolku dengan lembut, mau tidak mau kontolku memberi respon atas godaannya.

"Bagaimana nggak ngaceng, kalau terus digoda apa lagi oleh wanita secantik Lilis, kakek kakek jompo yang sudah impoten pun akan langsung ngaceng melihat Lilis bugil seperti ini." jawabku ragu, apa mungkin kakek jompo yang sudah impoten akan langsung ngaceng melihat Lilis bugil.

“Bagus mana memek Lilis sama memek, Mbak Wati ?" tanya Lilis, suaranya agak bergetar, apa dia merasa cemburu? Mimpi bagaimana mungkin Lilis cemburu, ceritanya semalam terlalu membekas di hatiku. Jangan terbawa perasaan, nanti aku akan kecewa.

"Bagusan memek, Lilis. Memek Lilis nggak bergelambir seperti memek Mbak Wati. Memek Lilis putih, dalamnya pink. Kalo Mbak Wati memeknya hitam dan bergelambir." jawabku membandingkan memek Lilis dan Mbak Wati, jujur aku lebih menyukai bentuk dari pada memek Mbak Wati.

"Emang kenapa, Lis ?" tanyaku, lagi heran dengan pertanyaan yang diajukan Lilis. Kenapa dia membandingkan memeknya dengan memek Mbak Wati yang sudah mendapatkan keperjakaanku.

"Memek Mbak Wati, jembutnya banyak, nggak " tanya Lilis lagi. Tangannya terus membelai kontolku yang sangat tegang, membuatku ingin membenamkannya ke dalam memek Lilis, tapi sepertinya Lilis hanya ingin menggodaku.

"Nggak ada, jembutnya. Kata Mbak Wati, jembutnya rajin dicukur." jawabku jujur. Tanganku meraba memeknya yang mulai basah. Membelai bulunya yang sangat jarang, pasti akan lebih indah tanpa jembut. Dengan jembutpun memek Lilis sudah indah, apa lagi tanpa bulu.

"Ujang, seneng memek yang dicukur apa ada jembutnya? Jawab jujur, ya !" tanya Lilis, lagi, pahanya semakin terbuka memberi tanganku ruang untuk membelai memeknya. Nafasnya mulai tidak beraturan, terpengaruh oleh gerakan tanganku.

"Senang yang dicukur, jadi menjilatnya nggak kena, jembut." jawabku jujur, ada kesenangan yang tiba tiba timbul saat mendengar nada cemburu dari suaranya, mungkin ini hanya perasaanku saja tapi aku sangat menikmatinya.

"Ujang mau memek Lilis, dicukur ?" tanya Lilis lagi, tangannya memegang tanganku yang sedang membelai memeknya.

"Eh, iyyyya.!" jawabku, gugup. Aku takut Lilis marah karena hal ini, hal yang bisa menjadi sangat sensitif, bisa saja Lilis hanya sedang menggodaku.

Lilis bangkit mengambil tas make up nya, mengambil sesuatu dari dalamnya. Lalu menyodorkan kepadaku, alat cukur dan minyak baby oil. Aku menatapnya heran, tidak mengerti apa yang diinginkannya.

"Ini, Jang. Cukurin jembut Lilis, ya ! Basahin dulu jembutnya pake baby oil, biar gak, sakit." katanya seraya terlentang, pahanya mengangkang sehingga aku terpesona melihat memeknya yang indah. Seindah wajahnya yang cantik, tanpa dicukurpun memeknya sudah sangat indah. Lilis rupanya terpengaruh oleh perkataanku tentang memek Mbak Wati yang tanpa bulu.

"Eh, iya."kataku ragu, kenapa harus aku yang melakukannya? Bagaimana kalau kulitnya yang halus terluka oleh ketidak hati hatianku dan rasanya aku tidak akan bisa berkonsentrasi mencukur jembutnya. Tapi Lilis sudah memintaku yang mencukur jembutny dan dia melakukannya untukku dan aku harus bertanggung jawab. Aku mulai mengolesi baby oil ke jembut Lilis. Dengan hati hati, bahkan tanganku gemetaran saat melakukannya, belum pernah aku melakukannya, bahkan bermimpi pun tidak. Perlahan aku mengerok jembut Lilis yang tipis hingga bersih. Aku melakukan dengan sangat hati hati agar tidak melukai kulitnya yang halus.

Setelah selesai, aku mengambil tisu untuk membersihkan memek Lilis dari sisa sisa bulu yang menempel di memek Lilis hingga bersih. Lilis tampak terpejam menikmati perlakuanku yang mengelap memeknya. Memek Lilis terlihat semakin indah tanpa bulu, begitu menggoda. Akupun membenamkan wajahku di selangkangan Lilis, kuhirup aroma memek Lilis yang bercampur aroma baby oil. Perlahan aku mulai menjilatinya dengan sepenuh hati, rasanya agak aneh karena menjilati baby oil.

"Och, Ujang. Kamu pinter bikin Lilis enak." Lilis mendesah, tangannya membelai rambutku yang semakin bersemangat menjilatinya. Jariku ikut beraksi mengorek memeknya yang semakin basah.

"Jang....terusssssss...!" Lilis menjerit kecil menikmati aksiku. Nafasnya tersengal sengal saat jariku terus mengocok memeknya yang semakin basah. Ini adalah sarapan ternikmat yang akan aku pinta ke istriku setelah menikah.

"Ampun, Jang." tubuh Lilis menggelinjang seperti cacing kepanasan, pinggulnya terangkat mengejar wajahku saat menjauh dari memeknya untuk menarik nafas

."sudahhhhh, Jang. Lilis, maaaaau kellluaarr." pinggulnya mengejar berkali kali saat orgasme membuatnya kehilangan rasa malu, orgasme yang sudah merendahkan harga dirinya, orgasme yang melupakan kehormatannya sebagai seorang istri. Aku semakin bersemangat mempermainkan orgasme Lilis, kubiarkan Lilis menjerit saat orgasmenya kembali datang seperti ombak yang datang bertubi tubi. Aku semakin rakus menjilati itil Lilis, disertai hisapan keras. Jariku semakin bersemangat menekan nekan lobang memek Lilis bagian atas. Seperti ada benjolan kecil. Kupermainkan dengan lembut. Memeknya semakin basah, cairannya merembes keluar, dengan rakus aku menelannya. Sedikit asin, tapi menurutku enak.

"Jang, aaaaa Lilis kelllluar lagi... Ampunnnnn." tubuh Lilis terkulai, lemas. Nafasnya terengah engah. Aku tidak perduli, aku terus mempermainkan memeknya, jari telunjuk dan jari tengahku terus mengocok memeknya, mencari bulatan kecil yang katanya akan membuat wanita mendapatkan orgasme terus menerus.

"Ampunnnn, Jang...... Lilis capeeeek, sudahhhhhh Lilis kelllluar lagiiii...!" Lilis kembali mendapatkan orgasme dalam waktu singkat, seolah tidak membiarkan tubuhnya untuk beristirahat, badai orgasme yang terus mengombang ambingkan kesadarannya. Lilis berusaha mendorongku menjauhi memeknya, daya tahannya sudah mencapai batasnya.

"Enak, Lis?" tanyaku tertawa bangga sudah berhasil menaklukkannya, pengalaman yang akan terus membekas dalam hidupnya. Aku sudah membuktikan kepada beberapa wanita, aku adalah pejantan tangguh.

"Makasih, Jang. Gantian, Jang. Lilis juga pengen ngerasain sarapan pejuh, Ujang." Lilis bangkit menyuruhku terlentang membuatku merasa heran karena dari kemarin dia selalu menolak mengulum kontolku dan sekarang dia mau melakukannya tanpa kuminta. Ini kejutan dan aku nyaris tidak mempercayai pendengaranku.

Katanya Lilis, jijik?" tanyaku heran dengan keinginannya yang bertolak belakang dengan apa yang dilakukannya kemarin yang terus menolak saat aku menginginkannya.

"Lilis ingin mencobanya, karena Ujang sendiri tidak jijik menjilati memek Lilis..!" kata Lilis membungkuk, mendekati kontolku dengan ragu ragu. Sesaat dia menatapku sambil tersenyum, kembali wajahnya menghampiri kontolku dan mengendus seperti kucing yang mencium bau makanan.

"Kalau merasa jijik, jangan Lis..!" kataku melihat wajah Lilis yang semakin memerah, ekspresi wajahnya seperti menahan mual.

Lilis menoleh ke arahku, lidahnya terjulur menyentuh kepala kontolku. Reflek kepalanya menjauh, Lilis memperhatikan kontolku beberapa saat. Kembali wajahnya mendekat, lidahnya menggelitik kepala kontolku lebih lama dari pada tadi. Menjilati lobang kencingku untuk memastikan kontolku tidak sekotor seperti yang dipikirkannya.

"Lis, gak usah...!" kataku mencegah Lilis tidak melakukan apa yang tidak dia suka. Mataku terbelalak melihat kontolku terbenam di mulut Lilis yang sensual. Akhirnya Lilis mampu melakukannya setelah melewati perjuangan berat.

"Owekkkkk...!" Lilis melepaskan kontolku, wajahnya terlihat pucat karena mual sehabis mengulum kontolku, tangannya meraih botol mineral dan meminumnya untuk menghilangkan rasa mualnya.

"Sudah dibilang nggak usah...!" kataku duduk di samping Lilis, aku memberi pijatan kecil di tengkuknya untuk mengurangi rasa mual yang dirasakannya.

"Maaf, Jang. Lilis nggak bisa!" kata Lilis menatap wajahku dengan perasaan bersalah. Dia tidak bersalah, hanya karena dia belum terbiasa dan mungkin menganggap kontolku menjijikkan karena sudah merasakan beberapa lobang memek selama di sini, wajar saja Lilis merasa jijik.

"Kamu jangan maksain diri buat nyenengin aku..!" kataku menghiburnya. Penderitaannya sudah terlalu berat, tidak seharusnya aku menambah penderitaannya, aku harus memberinya rasa nyaman selama di sini. Memperlakukannya sebagai seorang istri dengan rasa kasih sayang, itu balasan yang sepadan untuknya karena sudah memilihku sebagai pasangan ritualnya.

***************

Di warung, Pak Budi dan Mbak Wati duduk berdampingan, kami segera duduk di hadapan mereka setelah memesan makanan dan tidak lupa, aku juga memesan kopi hitam. Di depan warung ada 2 orang duduk, sepertinya mereka baru datang. Seorang pria yang ditaksir berumur 50 an dan seorang wanita gemuk umur 40an lebih.

"Aa, Mbak Wati, sudah sarapan ?" tanya Lilis sekedar berbasa basi menghilangkan kekauan di antara kami. Seperti ada sesuatu yang membuat kami merasa canggung.

"Sudah.!" jawab Pak Budi dan Mbak Wati berbarengan. Aku pura pura mengaduk kopi yang sudah tersedia di mejaku menghindari tatapan mata Mbak Wati yang menusuk. Aneh, kenapa dia memandangku seperti itu?

Dari dalam, keluar seorang wanita bergamis yang diikuti seorang pria. Mataku terbelalak melihat wajah wanita itu yang sangat mirip dengan Bi Narsih, wanita itu melihat ke arahku seperti tidak mengenalku, apa dia bukan Bi Narsih hanya wajahnya saja yang mirip. Karena kalau benar dia Bi Narsih, dia pasti sudah menyapaku dan mencecar berbagai macam pertanyaan yang akan menyudutkanku karena bertemu di tempat ini.

"Kamu kenapa, Jang?" tanya Lilis ikut melihat ke arah wanita itu. "Kamu kenal?" tanya Lilis lagi curiga, dengan cepat dia bisa menebak pikiranku. Ternyata dia tidak sebodoh seperti perkiraanku selama ini.

"Gak kenal Lis, cuma mirip." jawabku berusaha menenangkan debar jantungku yang tidak beraturan. Wanita itu duduk di depan warung membelakangiku sehingga aku tidak bisa melihat wajahnya untuk meyakinkan dia bukanlah Bi Narsih.

"Mirip siapa, Jang? Pacar kamu?" tanya Lilis terlihat sangat penasaran, dia terus mencercaku dengan pertanyaan beruntun padahal ada Pak Budi di hadapan kami.

"Bibiku..!" jawabku gelisah, pasti bukan Bi Narsih, dia tidak mungkin mau melakukan ritual mesum.

"Bi Narsih?" tanya Lilis pelan membuatku terkejut, dari mana dia tahu tentang Bi Narsih? Huf, tentu saja aku pernah bercerita tentang Bi Narsih, bahkan beberapa kali aku pernah bercerita punya seorang Bibi di Bogor, tapi sepertinya tidak pernah menyebutkan nama sama sekali. Atau mungkin aku lupa.

Setelah selesai sarapan kami berempat ke luar jalan jalan ke arah Sendang Ontrowulan. Kami mencari tempat yang nyaman untuk memandang Waduk Kedung Ombo yang luas, kami berjalan di pinggir danau. Banyak pohon pohon Jati yang belum terlalu besar,. Kami memilih duduk di atas rumput di pinggir danau, posisi kami agak tersembunyi dari penglihatan orang yang berada di sendang maupun di jalan. Karena banyak alang alang tinggi, agak ke tengah banyak pohon Jati.

"Kamu yakin yang tadi itu, Bibimu?" tanya Lilis saat kami duduk di tepi danau, jauh dari tempat Mbak Wati dan Pak Budi, Lilis sengaja mengajakku duduk di tempat agak jauh dari suaminya.

"Wajahnya sangat mirip, tapi mustahil dia berada di sini." jawabku tidak bisa mengendalikan kegelisahanku. Membayangkan Bi Narsih mengkhianati Mang Karta membuatku marah.
Tidak ada yang boleh mengkhianati Mang Karta walau itu Bi Narsih.

"Bisa saja hanya mirip, Bibi kamukan sudah cukup kaya." kata Lilis berusaha menenangkan kegelisahanku. Aku sudah sering bercerita tentang Bibiku yang mempunyai kios di pasar, tidak heran Lilis tahu tentang Bi Narsih.
Tapi sepertinya aku belum pernah menyebutkan nama, lalu dari mana Lilis tahu nama Bi Narsih?

"Iya, bisa juga begitu. Pak Budi dan Mbak Wati mana?" tanyaku tidak melihat Pak Budi dan Mbak Wati di tempat mereka, aku melihat sekeliling, tapi Pak Budi dan Mbak Wati raib entah ke mana.

"Gak usah ngurusin mereka, gak ada mereka malah enak." jawab Lilis malah tertawa senang terbebas dari suaminya.

********
 
Terakhir diubah:
Gilaaaa...ceritanya makin kesini makin hot..

Izin nitip sajen ya Huuu...
 
Jiahh....lomba ngentot nih critanya......



Nice update Om
 
Thx updatenya hu

Demi mendapatkan keturunan istripun direlakan...
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd