Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Ritual Sex di Gunung Kemukus

Bab 8 : Malam Tanpa Bulan/ Kisah Lilis





"Jang bangun, sudah jam 7!!" samar samar aku mendengar Lilis membangunkanku. Suaranya begitu mesra saat memanggil namaku, apa hanya perasaanku saja yang kegeeran.

"Iya, !" kulihat Lilis duduk bersila menghadap ke arahku dengan tubuh bugil, sama seperti saat dia tidur. Bibirnya tersenyum manis menyambut mataku yang terbuka. Pemandangan terindah yang pernah aku lihat saat terbangun. Mataku terpaku melihat memeknya yang begitu dekat dengan wajahku sehingga aku bisa mencium baunya yang khas.

"Kamu curang, Lilis tidur telanjang, kamu pakai baju." kata Teh Lilis, protes, walau senyumnya masih tetap manis. Suaranya seperti sedang merajuk dari pada protes.

"Tadi sebelum tidur, aku kencing dulu, Teh. Makanya tidur pakai baju." kataku menjelaskan. Tentu saja aku tidak bercerita sudah mengencingi tiga memek sekaligus. Tiga memek yang membuat ku kelelahan sehingga tidur nyenyak.

"Jangan panggil Teteh, atuh. Panggil Lilis. Umur Lilis baru 26 tahun. Tidak beda jauh sama, kamu. Lagi pula selama di sini kita suami istri." kata Lilis merajuk, sepertinya dia mulai tidak suka dipanggil Teteh, kesannya dia lebih tua dari aku. Walau benar dia memang lebih tua dariku.

"Eh, iya Teh. Eh, Lilis. Lilis sudah lama bangun?" tanyaku merasa janggal saat memanggil namanya tanpa embel embel Teteh. Sudah menjadi kebiasaan memanggilnya Teh Lilis, seperti halnya semua orang memanggilnya Teh Lilis.

"Baru juga bangun, Lilis langsung bangunin kamu." jawab Lilis tersenyum menatapku mesra. Lilis bangkit mengambil piyama handuk dari tas, lalu dikenakannya tanpa memakai BH dan CD.

"Bangun donk, Jang. Kita mandi, bareng." katanya, sambil mengulurkan tangan ke arahku setelah menutupi kepalanya dengan handuk yang berbau harum.

Aku sambut uluran tangannya yang terasa sangat halus, mengikuti Lilis yang berjalan lebih dulu dengan membawa sabun, sikat gigi dan odol. Dari depan kudengar suara Mbak Wati sedang ngobrol dengan Pak Budi, walau aku tidak bisa mendengar jelas apa yang mereka obrolkan. Ternyata mereka sudah bangun lebih dulu.

"Mandi bareng, Jang.!" kata Lilis yang melihatku ragu masuk kamar mandi. Aku masih saja merasa sungkan dan tidak berani melakukan hal yang bisa saja membuat Lilis marah.

"Iya, Lis.." jawabku senang bisa mandi berduaan dengannya di kamar mandi yang sederhana, aku yakin kamar mandi di rumah Lilis pasti jauh lebih baik.

Tiba tiba Lilis melingkarkan tangannya di leherku, menarikku hingga kami sejajar. Lilis mencium bibirku dengan bergairah. Kami berciuman cukup lama dan mungkin akan lebih lama lagi kalau saja tidak terdengar suara dari luar.

"Ada orang..!" kata suara seorang wanita yang membuatku menahan nafas. Aku sangat mengenal suara itu, tapi mustahil dia sampai tempat ini.

"Kenapa Jang, wajah kamu kok jadi pucat?" tanya Lilis heran dengan perubahan ekspresi wajahku.

"Gak apa apa, Lis. Yuk kita mandi, sepertinya sudah ada yang mulai datang ke sini, besok sudah malam Jum'at Pon." kataku mengalihkan pertanyaan Lilis, rasanya tidak mungkin dia datang ke tempat ini. Bi Narsih wanita terhormat dan kehidupannya terlihat bahagia, tidak mungkin dia datang ke sini.

"Jang, kamu ganteng, juga." kata Lilis, menatapku mesra, dia tidak terpengaruh dengan suara suara tidak jelas dari luar kamar.

"Emang waktu di Bogor, aku jelek ya?" tanyaku bercanda menyembunyikan rasa senang karena mendapatkan pujian dari Lilis yang mampu mengusir rasa cemasku setelah mendengar suara Bi Narsih dari luar kamar mandi.

"Di Bogor, kamu juga sudah ganteng kok, cuma lebih ganteng di sini. Soalnya kalau di Bogor Lilis cuma bisa melihat dan ngobrol saja, sedangkan di sini Lilis bisa memiliki kamu." jawab Lilis kuanggap sebagai gurauan, Lilis mengambil air dengan gayung, lalu mengguyur kepalaku hingga beberapa kali setelah itu Lilis menyabuniku dimulai dari kaki, paha, lalu kontolku disabuninya juga. Agak lama Lilis menyabuni kontolku sambil mengocoknya, membuat kontolku jadi ngaceng.

"Kontol kamu gampang ngaceng, Jang. Hihihi." kata Lilis tertawa melihat kontolku yang memberikan respon.

"Lilis yang bangunin, kontolku." jawabku menikmati kocokan Lilis yang semakin lama semakin cepat.

"Sudah Lis, nanti ada orang lagiii..!" kataku memperingatkan Lilis sebelum orang datang menggedor pintu kamar mandi.

"Iya, sayang...!" jawab Lilis menyabuni sekujur tubuhku, tangan dan wajahku. Memperlakukanku seperti anak, kecil. Tubuhku kembali disiram air dari gayung. Dingin dan tubuhku terasa segar.

"Gantian,Jang. Mandiin, Lilis. " kata Lilis manja, setelah selesai memandikanku. Aku ingin menolak permintaan Lilis, tapi begitu melihat wajahnya keinginanku untuk menolak hilang tidak berbekas. Biarlah, urusan suara yang sangat mirip Bi Narsih akan kuselidiki setelah mandi. Kalau benar itu Bi Narsih, kami pasti akan bertatap muka. Tentu Bi Narsih akan lebih merasa malu dibandingkan aku.

"Tapi rambutnya jangan dibasahi, Jang. Nanti keringnya lama." kata Lilis sambil menyanggul rambutnya ke atas sehingga aku bisa melihat ketiaknya yang mulus tanpa bulu membuatku tergoda untuk menciumnya, membuatku melupakan suara Bi Narsih.

"Ujang, geli...!" kata Lilis menghindari ciumanku pada ketiaknya. Aku tersenyum setelah gagal menciumi ketiaknya.

Aku menyiram tubuh Lilis, mulai dari wajah cantiknya. Lalu punggung hingga tubuhnya basah sempurna. Kusabuni kakinya, beranjak ke betis, merambat ke pahanya. Kulitnya yang kuning langsat begitu halus dan lembut. Wajahku tepat menghadap memeknya yang berbulu jarang, iseng aku cium memeknya dengan lembut. Lidahku menjilat itilnya yang agak menonjol keluar.

"Awww, Jang. Kamu nakal." Lilis menjerit lirih menerima jilatan lidahku pada memeknya. Memek yang sangat indah.

Aku bangkit berdiri. Akupun beralih menyabuni memek Lilis, kugosok gosok belahannya dengan lembut Lilis memelukku dan kembali kami berciuman dengan lembut sambil tanganku mengocok memeknya hingga ciuman kami berakhir.

Aku menyabuni punggungnya, beralih ke perut lalu ke dadanya yang sekal dan keras. Ukurannya tidak terlalu besar, namun bentuknya begitu indah dengan puting berwarna coklat muda. Aku meremasnya lembut, lalu menyabuni wajah cantiknya. Ini adalah keberuntungan yang nyaris tidak berani aku hayalkan.

Kusiram air dingin ke wajah Lilis dan sekujur tubuhnya, membersihkan busa sabun hingga bersih. Dan kami saling mengeringkan tubuh kami dengan handuk.

**********

Selesai berpakaian, Lilis tampak cantik dengan baju berwarna krem dan jilbab sewarna. kami ke depan memesan kopi dan makan malam. Kulihat Mbak Wati dan Pak Budi berdiri menghampiri kami.

"Lis, Aa mau jalan jalan dulu ke atas sama Mbak Wati, ya ! " kata pak Budi berpamitan.

"Iya, A. Nanti Lilis juga mau ke, atas." jawab Lilis yang langsung menyuapkan nasi yang baru saja di sodorkan Ibu warung. Kami makan dengan lahapnya. Masakan Ibu Warung memang enak, seenak memeknya. Aku jadi ingat kejadian siang, tadi. Aku melirik ibu Warung yang sedang menatapku. Kami saling tersenyum. Tidak memerlukan waktu lama, nasi dan lauk pauknya sudah berpindah tempat ke perut kami.

"Duduk di depan, yuk!" ajak Lilis setelah makan malam kami habis.

Aku hanya menganggukkan kepala, sambil memperhatikan sekelilingku dan memasang telinga mencari suara yang sangat mirip dengan Bi Narsih, tapi pencarianku tidak menekun hasil. Jangankan sosok Bi Narsih, suara tidak terdengar lagi. Mungkin hanya perasaanku saja.

"Kamu terlihat gelisah, Jang?" tanya Lilis. Kepalanya menyandar di bahuku. Kami duduk berdampingan di kursi kayu panjang di depan warung. Kuletakkan kopi dan rokokku di meja. Kuhidupkan rokok berusaha mengusir kegelisahanku. Mustahil Bi Narsih ada di sini.

"Gak apa apa, cuma masih tidak percaya bisa melakukan ritual dengan Lilis, ini seperti mimpi." jawabku berbohong.

"Bukan mimpi, Jang. Semuanya sudah diatur..!" jawaban Lilis benar, semuanya sudah diatur oleh Tuhan, begitu yang selalu dikatakan Abah dan Mang Karta dan aku percaya dengan apa yang mereka katakan. Mereka tidak pernah berbohong padaku.

Kami diam, memperhatikan sekeliling kami hingga kopiku habis, Lilis mengajakku menyusul suaminya ke atas, tempat makam Pangeran Samudra. Seingatku di sana banyak akar akar pohon yang bisa digunakan untuk tempat duduk dan tembok yang memanjang tempat orang yang datang mencari pasangan ritual.

Seperti sepasang kekasih, kami berjalan bergandengan tangan, menaiki tangga yang cukup tinggi. Di sekeliling kami berjejer warung warung yang menyediakan kamar kamar untuk menginap. Wanita wanita yang ada di warung memperhatikan kami. Jengah juga diperhatikan oleh orang seperti itu. Tapi tidak ku pungkiri, ada rasa bangga bisa berjalan sambil bergandengan tangan dengan wanita secantik Lilis.

Di areal makam Pangeran Samudra, ternyata kami tidak menemukan Pak Budi dan Mbak Wati. Hanya ada beberapa orang yang duduk di akar akar pohon besar. Wanita yang menjadi penghuni Gunung Kemukus, beberapa pria duduk di tangga tanpa pasangan.

Menurut Ibu Warung, baru besok malam pada malam Jum'at Pon Gunung Kemukus akan dipenuhi ribuan orang yang datang dari semua penjuru. Berkumpul untuk ngalap berkah dari Pangeran Samudra. Wajar kalo sekarang masih sepi. Bahkan kulihat para juru kunci makam sedang asik ngobrol, dengan bahasa yang tidak aku mengerti.

Setelah berkeliling mencari Pak Budi dan Mbak Wati dan orang yang kami cari tidak ada. Akhirnya kami memutuskan duduk di belakang Bangal Sonyoruri, tempat Pangeran Samudra dimakamkan. Lilis duduk bersandar ke dadaku. Tanganku memeluk pinggangnya yang ramping. Kami seperti sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta.

"Jang, mau denger cerita, Lilis gak?" tanya Lilis sambil mempermainkan jari jariku.

"Mau, Lis." jawabku antusias. Cerita seperti apa yang akan diceritakannya padaku?

____________________

Dan, cerita pun dimulai.

Usia Lilis baru saja 16 tahun ketika A Budi datang melamar, pemuda berumur 30 tahun anak orang terkaya di desanya. Awalnya Lilis menolak, tapi bujukan dari orang tuanya membuat Lilis luluh. Usianya baru 16 tahun, usia yang dianggap sudah pantas untuk menikah untuk ukuran desa.

Masih teringat dengan jelas saat Pak Haji dan Istrinya datang ke rumahnya untuk melamar.

"Lis, duduk di sini geulis..!" kata Ambu menyuruhnya duduk setelah menghidangkan air teh untuk kedua tamunya, orang terkaya di desa bahkan mungkin sekecamatan. Karena pria tua yang duduk di hadapannya mempunyai puluhan hektar sawah yang tersebar di beberapa desa dan juga mempunyai penggilingan padi di beberapa desa.

Lilis duduk dengan gelisah, kepalanya menunduk tidak berani memandang ke dua tamunya yang terus tersenyum mengagumi kecantikannya. Gadis tercantik yang menjadi buah bibir para pemuda.

"Lis, Agan Haji datang mau melamar Lilis untuk Den Budi..!" kata Abah dengan suara bergetar menahan perasaan hatinya yang bergejolak bahagia, anaknya dilamar tuan tanah yang kaya raya. Kehidupan anaknya pasti akan bergelimang harta.

Lilis menggigit bibirnya, menahan perasaan yang bergejolak. Dia ingin menolak pinangan ini karena hatinya sudah tertambat oleh seorang pemuda, mereka sudah berjanji setia hingga pelaminan. Tapi ada hal lain yang lebih penting menjadi pertimbangannya, mereka berasal dari keluarga yang serba kekurangan. Ayah dan ibunya adalah buruh tani yang penghasilannya tidak mencukupi kebutuhan mereka dengan tiga orang anak. Lilis sebagai anak tertua merasa mempunyai kewajiban untuk membantu memikirkan dua orang adiknya, Ningsih yang baru berusia 14 tahun dan Agus yang berusia 10.

Lamaran Budi orang kaya dan terpandang di desanya, membawa harapan baru buat keluarga Lilis. Mungkin dengan Lilis menikah dengan Budi kehidupan keluarga mereka akan terangkat, itu alasan kedua orang tuanya waktu itu dan juga alasan Lilis menganggukkan kepalanya menerima pinangan anak orang kaya di desanya.

"Alhamdulillah...!" Ucapan puji syukur ke Tuhan YME yang terucap Tuan tanah dan istrinya berbarengan dengan kedua orang tuanya. Berbanding terbalik dengan perasaan Lilis yang harus mengubur semua mimpinya dengan pemuda pujaan hatinya.

Setelah menikah, Budi membelikan orang tua Lilis sawah seluas 100 bata atau 1,4 hektar, sawah yang diharapkan mampu mengangkat taraf hidup keluarganya dan Lilis diboyong ke Bogor untuk memulai hidup baru, sebagai seorang istri.

Namun setelah sepuluh tahun berumah tangga, kebahagiaan yang diharapkannya tidak kunjung dimilikinya. Cinta yang diharapkan tumbuh seiring dengan waktu, tidak kunjung datang. Buah hati yang diharapkan mampu mempererat pernikahan mereka, tidak kunjung hadir dalam hidupnya. Andai dia bisa hamil dan melahirkan seorang anak, penderitaannya akan sedikit terobati.

Yang paling menyiksa Lilis, dia tidak pernah bisa menikmati hubungan badan dengan suaminya. Lilis selalu berpikir, pernikahan mereka karena uang, apa bedanya dia dengan wanita yang menjual tubuhnya demi uang ? Dia merasa tidak lebih dari seorang pelacur, pelacur yang mengorbankan tubuhnya demi orang orang yang dicintainya.


"Hidup ini tidak adil, Jang." kata Lilis mencium tanganku berkali kali membuatku merasa aneh, seorang wanita yang usianya lebih tua mencium tanganku.

"Kata Abah dan Mang Karta, adil atau tidak hidup kita adalah dari sudut mana kita melihatnya." jawabku berusaha bijak dengan mengambil perkataan Abah dan Mang Karta, membuatku kembali teringat dengan suara yang sangat mirip Bi Narsih.

"Lilis hanya ingin bisa hidup bahagia." gumamnya.

Hingga suatu hari dia melihat Ujang yang sedang berjualan Mie Ayam lewat rumahnya, saat perutnya yang kebetulan sedang lapar. Lilis membeli mie ayam, Ujang. Itulah pertama kali dia merasakan sesuatu yang berbeda. Lilis terpesona oleh wajah tampan penjual Mie Ayam. Tubuh pemuda itu lebih tinggi darinya. Mungkin 170, kurus dan hitam seperti kurang makan, mengingatkannya dengan pemuda pujaan hatinya yang juga seorang penjual mie ayam.

Sejak saat itu Lilis setia menunggu Ujang lewat berjualan. Hampir setiap hari Lilis membeli Mie Ayam Ujang, agar bisa menatap wajah pemuda itu dan sedikit obrolan yang kaku. Pertanyaan yang sama sering diulang ulangnya untuk memancing kejengkelan penjual mie ayam yang dikenalnya bernama Ujang. Dia sangat menyukai jawaban ketus Ujang karena harus menjawab pertanyaan yang sudah dudengarnya berkali kali. Jawaban ketus yang membuat Ujang terlihat semakin tampan dan jantan.

Suatu hari Budi mengajaknya menemui Paranormal sakti di daerah Tasikmalaya, berobat agar mereka cepat dapat momongan dan juga agar usaha Budi semakin lancar. Lilis hanya mengiyakan ajakan Pak Budi, toch dia tidak punya hak apa apa terhadap dirinya. Dia sudah dibeli oleh Pak Budi dan keluarganya.

Paranormal tersebut memberi petunjuk agar mereka melakukan ritual di Gunung Kemukus. Awalnya Budi menolak, apalagi harus mengajak istrinya ritual sex di gunung kemukus. Siapa yang rela membiarkan istrinya yang cantik bersetubuh dengan pria lain ? Hal yang tidak mungkin dilakukannya.

Tapi paranormal itu meyakinkan, hanya itu satu satunya cara agar Lilis bisa hamil setelah divonis mereka berdua mandul. Apalagi usaha Budi mulai goyah, banyak tagihan yang macet. Akhirnya Budi bersedia untuk melakukan ritual tersebut.

Lilis marah saat Budi menyampaikan kesanggupannya untuk melakukan ritual di Gunung Kemukus. Budi berusaha meyakinkan Lilis bahwa ritual tersebut untuk kebaikan mereka. Dengan perasaan marah dan terhina, akhirnya Lilis menyanggupinya dengan perasaan terhina, toh dia sudah dibeli oleh Budi sehingga dia tidak mempunyai hak atas tubuhnya.

Betapa kagetnya Lilis menemui Ujang, pria yang diam diam dicintainya. Dia menunduk tak berani menatap wajah pria itu. Dirinya merasa sangat kotor. Entah dapat ide dari mana, Pak Budi mengajak Ujang dan Mbak Wati bertukar pasangan. Mbak Wati menjadi pasangan Budi dan Ujang menjadi pasangannya. Jantungnya serasa mau copot. Apalagi saat Mbak Wati dan Ujang setuju.

Ini seperti mimpi yang menjadi nyata. Berpasangan dengan Ujang walau hanya 9 hari. Lilis benar benar bahagia.


"Lilis, bohong.!" kataku tidak percaya dengan pengakuannya, mencintaiku. Mustahil, aku tidak pernah bermimpi ada seorang wanita secantik Lilis jatuh cinta padaku.

"Apa untungnya bohong?" tanya Lilis berbalik menghadapku dan duduk dipangkuanku, bibirnya mencium bibirku dengan lembut. Tangannya memegang kepala belakangku. Aku membalasnya dengan penuh gairah. Tak kusangka, wanita cantik ini diam diam jatuh cinta padaku walau aku meragukannya.

"Lilis tidak akan memaksa Ujang untuk percaya, cukup Ujang tahu bahwa Lilis mencintai Ujang dan Lilis bahagia akan menghabiskan waktu selama sembilan hari dengan Ujang." jawab Lilis, tangannya berusaha membuka sabuk dan resleting celanaku sehingga dia bisa mengeluarkan kontolku dari sangkarnya.

"Lis, mau apa?" tanyaku terkejut dengan apa yang dilakukan Lilis. Mataku melihat sekeliling, untungnya tidak ada orang lain selain kami. Aku menarik nafas lega.

"Katanya ritual di alam terbuka lebih sempurna, keinginan kita akan lebih cepat terkabul." jawab Lilis tidak peduli dengan kekhawatiranku. Lilis berdiri mengangkat roknya lalu melepas celana dalam yang langsung dimasukan ke tas. Lilis berjongkok, meraih kontolku dan menggesek gesekkannya ke belahan memeknya, berusaha membangunkan kontolku yang masih tertidur.

Aku melihat sekelilingku dengan was was, bisa saja ada orang yang melihat kami, beberapa meter di hadapanku ada tebing dan pohon. Di samping kanan ada warung yang hanya terlihat gentengnya, di sebelah kiri ada pohon besar dan beberapa pohon lainnya, sehingga warung di bagian kiri tidak terlihat. Cukup aman, asal tidak ada yang datang ke tempat kami.

Lilis terus menggesek gesekkan kontolku di memeknya sehingga aku terangsang juga. Setelah kontolku mulai tegang walau belum sempurna,, Lilis menurunkan pinggulnya. Bles, kontolku masuk ke dalam memeknya yang sudah sangat basah.

"Jang, Lilis nakal ya ? Lilis jadi ketagihan kontol, kamu. Lilis cinta kamu, Jang." bisiknya. Pinggulnya bergoyang cepat. Harus cepat, sebelum ada yang memergoki kami sedang ngentot.

Aku meremas pantat montok Lilis, bibir kami kembali berciuman, lidah Lilis masuk mulutku. Sementara pinggul Lilis bergerak semakin cepat, berusaha meraih orgasme secepat mungkin. 3 menit, 4 menit atau mungkin 5 menit saat tubuh wanita cantik itu mengerang menyambut orgasme dahsyatnya.

"Jang, Lilis keluar enak sayang.." ujar Lilis. "Ujang belum keluar, ya ?" tanya Lilis, menatapku sayu.

Aku mengangguk sebagai jawaban. Lilis berdiri, otomatis kontolku lepas dari memeknya. Lilis nungging di hadapanku, roknya terangkat hingga pinggang, mempertontonkan pantatnya yang indah.

"Jang, buruan, entot Lilis dari belakang." kata Lilis perlahan, takut suaranya terdengar orang.

Aku segera memposisikan kontolku di lobang memeknya. Perlahan aku dorong memasuki lobang sempit yang menyimpan sejuta kenikmatan. Setelah masuk, aku mengocok memek Lilis dengan cepat, sebelum ada yang memergoki kami sedang ngentot. Semuanya harus serba cepat.
Tubuh Lilis berguncang menerima sodokanku yang liar. Sensasi yang kami rasakan ngentot di alam terbuka sangat luar biasa. Aku tidak bisa bertahan lama.

"Lis, aku mau keluar....." bisikku sambil mempercepat sodokanku. Tanganku meremas pantatnya, sementara mataku berkeliling melihat keadaan.

"Lilis, keluar, jang." Lilis berbisik.

Crot, pejuhkupun keluar dengan deras ,menyirami memek Lili, setelah orgasmeku selesai, aku segera bangun, menaikkan celanaku dan membenarkan sabuknya.

Lilis bangun, membereskan roknya. Celana dalamnya tetap di dalam tas. Lega rasanya setelah selesai. Kamipun bergegas kembali ke tempat kami menginap.

********
 
Terakhir diubah:
Sebelum d.update lebih baik baca ulang lgi ceritanya hu:baca:
bnyak typo yg b.terbangan :hore:
tpi tetep keren hu :khappy::jempol:
 
Thx updatenya

Gimana setelah ritual ini selesai ya, apa masih bakal lanjut hubungan Ujang dan Lilis?
Ditunggu kelanjutannya hu
 
mudah mudahan semua usulan akan ditampung, gan. ada yang usul 4some, sudah terealisasi. ada yang usul ada unsur percintaan juga sudah dilaksanakan ada yang usul ritual di alam terbuka, juga sudah. intinya, cerita ini akan mengalir dan berusaha dibuat senatural mungkin.

walau newbu juga masih butuh bimbingan dan masukan dari para master dan suhu di sini.
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd