Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Ritual Sex di Gunung Kemukus

Hahahaha....
Ni cerita bener2 bikin pembaca iku ngrasain suasananya.

Oh iya.
Jelas ujang nggak mungkin bisa nikahin rani,walaupun nggak ada ancaman dari lilis.
Rini-rani itu saudara seayah sama ratna kan? Sama2 anaknya codet. Jadi sebenernya nikah sama ratna otomatis rini-rani jadi iparnya ujang.
 
Hahahaha....
Ni cerita bener2 bikin pembaca iku ngrasain suasananya.

Oh iya.
Jelas ujang nggak mungkin bisa nikahin rani,walaupun nggak ada ancaman dari lilis.
Rini-rani itu saudara seayah sama ratna kan? Sama2 anaknya codet. Jadi sebenernya nikah sama ratna otomatis rini-rani jadi iparnya ujang.
yups, benar begitu om
 
Chapter 9

Aku terpaku tidak percaya dengan apa yang aku lihat, Mang Karta mencabut golok dan sudah menjadi talek para jawara jaman dahulu setiap kali golok tercabut dari warangka tidak akan pernah kembali masuk warangka tanpa meminum darah. Apa lagi golok yang digunakan Mang Karta adalah golok pemberian Abah yang selalu direndam air rendaman racun yang berbisa setiap tahun sekali. Jangankan tertusuk, terserempet saja akan mengakibatkan kulit membusuk.

Ini bukan tantangan yang main main, Mang Karta tidak sedang mengajakku berlatih melainkan mengajakku menentukan siapa yang akan tetap hidup malam ini. Ini pertarungan hidup dan mati. Tanpa sadar aku melangkah mundur memegang golok dengan tangan gemetar. Hanya ada satu cara untuk menghindari pertarungan ini, tidak melawan. Karena sebuah pantangan bagi jawara Cimande untuk membinasakan lawan yang tidak melawan apa lagi tidak mau menghunus senjata yang berada di genggaman tangannya.

"Cabut golokmu!" bentak Mang Karta marah sehingga matanya menjadi merah. Belum pernah aku melihat Mang Karta semarah seperti sekarang.

Aku melempar golok yang diberikan Mang Karta. Tekadku sudah bulat untuk tidak melawan walau hatiku gentar, bisa saja perhitunganku salah. Mang Karta tetap menyerangku dengan golok di tangannya, itu artinya malam ini aku akan mati konyol. Tanpa kusadari kembali aku mundur oleh rasa takut yang menyergapku.

"Jangan jadi pengecut...!" bentak Mang Karta.marah melihatku melempar golok sebagai sikap menyerah.

"Jalu sudah melempar goloknya, itu artinya tidak mau melayanimu. Tapi masih ada aku..!" kata seseorang terdengar dingin membuatku menoleh ke belakang ke arah suara iti yang ternyata Japra berjalan bersama Dhea dengan senyum khasnya.

"Bagus, kita selesaikan urusan kita di sini. Hari ini aku atau kamu yang akan mati, Jarak...!" kata Mang Karta perhatiannya beralih ke Japra. Sepertinya mereka sudah bermusuhan lama dan aku tudak tahu penyebabnya. Tanpa sadar aku memberi jalan ke Jarak

Untungnya suasana di tempat ini sepi karena terletak di pintu keluar parkir husus para staf Butterfly sehingga pertarungan yang terjadi tidak akan memancing kerumunan orang untuk menonton. Sepertinya Japra sudah mempersiapkan senjata, sebuah golok yang sama panjang dengan yang dipegang Mang Karta.

Mang Karta langsung menyerang, goloknya mengarag leher Japra yang dengan sigap menangkisnya sehingga dua golok yang sama tajam dan sama kualitasnya beradu menimbulkan suara nyaring dan percikan api. Mereka sama sama mundur selangkah oleh dorongan tenaga akibat benturan golok. Inilah pertama kali aku nenonton pertarungan antar jago tua yang mumpuni dengan niat saling bunuh. Berbeda dengan saat Mang Karta bertarung dengan ayahku, ayahku lebih banyak menghindar dan mengalah dari pada meladeni Mang Karta.

Kembali Mang Karta menyerang Japra, kali ini gerakannya menusuk mengarah dada, begitu cepat gerakkannya sehingga sulit diikuti oleh mata orang awan yang belum terlatih, tapi Japra bisa menangkisnya kembali dan melakukan serangan balasan yang mengarah ke leher. Dengan gesik Mang Karta menghindar disertai gerakkan golok menyilang di depan dadanya seolah dia menunggu serangan susulan. Tapi sebenarnya itu sebuah gerakkan tipuan, saat Japra kembali melancarkan serangan, tendangan Mang Karta tepat menghantam siku Japra yang memegang golok.

Kalau saja Japra jago tanggung mungkin goloknya sudah terlempar dari tangannya. Tapi Japra adalah jago yang sudah sangat berpengalaman sehingga golok tetap ada dalam genggaman tangannya.

Aku melihat ke arah golok yang kulemparkan tadi dan mengambilnya untuk bersiap siap apabila nyawa Mang Karta terancam. Japra bukanlah lawan ringan, kemampuannya setara dengan Mang Karta, bisa saja Mang Karta terancam bahaya dan aku sudah bersiap menyelamatkannya.

"Cukup, hentikan pertarungan ini...!" teriak Dhea berusaha menghebtikan perterungan yang kuanggap mustahil dihentikan. Ini adalah pertarungan para jago, di mana semua perhatian mereka hanyalah menggerakkan golok secepat mungkin membinasakan musuh yang ada di hadapannya.

Benar saja teriakan Dhea tudak berarti apa apa buat dua jago yang sedabg vertarung dengan sengit. Kemarahan Mang Karta mulai tidak terkontrol sehingga gerakkannya mulai ngawur. Aku mencabut golong di tanganku bersiap melakukan serangan di saat yang tepat untuk mengahidi pertarungan ini. Ya, tekadku sudah bulat untuk membunuh Japra agar Mang Karta terhindar dari maut.

Saat yang kutunggu tiba, Japra membelakangiku tanpa berpikir panjang aku menusuk punggungnya, tapi kejadian yang tidak pernah kubayangkan terjadi. Japra bergerak ke samping, tangannya menarik Mang Karta sehingga terhuyung menubruk golok yang kuarahkan ke punggung Japra sekarang malah bersarang di dada Mang Karta. Aku terpaku tidak percaya, Mang Karta memelukku dengan golok yang kupegang menancap dadanya.

"Mang Kartaaaaaa...!" teriakku memanggil namanya. Aku melepaskan golok yang sudah menancap di dadanya.Tanganku memeluknya agar tidak terjatuh,, sehingga gagang golok tertekan oleh dadaku, golok semakin dalam menancap dadanya hingga tembus ke punggungnya. Darah mengalir deras.

Aku meraung menangisii kematian Mang Karta yang sekarat dalam pelukanku. Tubuhnya semakin berat sehingga aku tidak mampu lagi menahannya. Tubuh Mang Karta terjatuh celentang melotot menatapku, tidak percaya harus mati di tangan keponakan yang sabgaydisayanginya. Tubuhnya mengejang melepaskan nyawanya.

"Mang Kartaaaaaaa...." aku merangkul tubuh Mang Karta yang masih kejang kejang dan ahirnya berhenti sama sekali. Mataku berkunag kunang, nafasku serasa sesak dan pandanganku menjadi kabur, gelap sekelilingku menjadi gelap.

******

"Mang Karta, jangang matiiiiiii...!" aku berteriak nyarimg memanggil Mang Karta.

Aku bangun mencari Mang Karta, tapi di mana? Ini bukan tempat pertarungan itu, tempat di mana aku .embunuh Mang Karta. Ini sebuah kamar yang luas dengan ranjang spring bed mewah. Di mana aku? Di mana mayat Mang Karta.

"Kang Ujang, sadar...?" sebuah suara yang lembut terdengar disertai pelukkan hangat tubuh seorang wanita. Aku menoleh ke arah wanita yang memelukku. Rani, Rani yang memelukku. Kenapa aku ada di kamar Rani.

"Kenapa aku di sini?" tanyaku heran. Mang Karta, aku telah membunuhmu.

Aku menangis meraung raung memanggil nama Mang Karta, kenapa Mang Karta harus mati di tanganku. Kenapa bukan aku saja yang mati di tangannya. Aku benar benar anak yang terkutuk. Tidak kuperdulikan Rani yang memelukku dan berusaha membujukku.

Aku ingin mati menyusul Mang Karta agar bisa menebus semua kesalahanku. Hidupku sudah tidak berarti lagi. Aku tidak bisa menatap dunia. Bagaimana perasaan ibuku, Bi Narsih, Desy dan Dinda kalau mereka tahu akulah pembunuh Mang Karta.

"Bunuh aku...?" kataku lirih setelah air mataku habis, namun Mang Karta tidak juga menyahuti panggilanku.

Padahal Mang Karta selalu menyahut setiap kali aku memanggilnya, seperti saat aku sedang memancing di parit yang melintas di pekarangan samping rumahku di desa. Kailku terjatuh dan aku berteriak memanggil Mang Karta agar mengambilkan kailku yang terbawa air parit yang mengalir deras.

Mang Karta menyahut sambil berlari mengejar kailku yang terbawa air dan menyangkut di antara tanaman yang menjalar menyetuh air. Tangisku langsing berhenti melihat Mang Karta mengacungkan kail yang berhasi diambil. Dengan senyum lebar Mang Karta duduk di sampingku sambil memberikan kail yang sudah berhasil diambil.

"Anak lelaki gak boleh nangis, nanti dibilang banci." kata Mang Karta sambil mengusap rambutku yang mulai gondrong.

Aku hanya mengangguk dan tersenyum menatapnya. Kagum dengan sosoknya yang gagah dan cekatan. Kalau sudah besar nanti, aku ingin seperti dia, gagah dan tangguh.

"Kalau sudah besar nanti, kamu mau jadi apa?" tanya Mang Karta menemaniku memancing ikan beunteur yang banyak terdapat di dalam parit.

"Jadi Mamang...!" jawabku lugu dan membuat Mang Karta tertawa terbahak bahak sehingga matanya berkaca kaca. Aku menatapnya heran, apanya yang lucu dengan jawabanku.

"Kamu gak akan bjsa jadi Mang Karta..!" jawab Mang Karta setelah tawanya berhenti.

"Kenapa?" tanyaku tidak suka dengan sanggahannya. Kenapa aku tidak boleh menjadi seperti dirinya yang gagah dan hebat.

"Karena kamu harus jadi lebih hebat dari pada Mamang, harus lebih gagah dari pada Mamang dan harus lebih segalanya dari pada Mamang...!" jawab Mang Karta sambil mengusap rambut.

Aku menatapnya tidak mengerti apa yang sedang diucapkannya. Menurutku tidak ada yang lebih hebat dari Mang Karta, tidak ada yang kebih gagah dari pada Mang Karta. Aku ingin setelah besar ingin jadi seperti Mang Karta, apa itu tidak boleh.

"Jang, ikan beuteur kamu sudah banyak. Kamu berikan ke ibu buat dimasak. Setelah itu kita bikin kolencer (baling baling kayu besar yang di pasang di bambu yang panjang. Bambu yang ada baling baling biasanya di tancapkan di tengah lapang, saat angin besar akan menimbulkan bunyi yang haa.)" kata Mang Karta kusambut antusias. Ini salah satu permainan yang paling aku sukai.

Aku bergerak cepat merapikan kailku dan membawa ikan beunteur hasil tangkapanku yang langsung kuberikan pada ibu yang sedang asik memasak di dapur. Lalu aku mengambil golok pendek yang tergantung di galar dapur, aku segara mengikat golok di pinggangku meniru gaya Mang Karta yang tidak pernah lepas dari goloknya. Golok yang sangat berguna, bisa untuk mengambil kayu bakar, menebang pohon pisang dan banyak lagi kegunaannya bagi kami masyarakat desa.

"Kenapa akj berada di sini?" tanyaku lemah. Wajahku menyusup di payudara Rani, seperti seorang anak yang mencari kedamaian dan ketenangan di payudara Ibunya.

"Anak buah Mami ( Dhea ) yang membawa Kang Ujang ke sini dalam keadaan pingsan, katanya. Rani disuruh merawat A Ujang." jawab Rani masih tetap memeluk kepalaku hinggal menempel di payudaranya yang hangat dan menjanjikan kenikmatan sesaat. Tapi situasinya sekarang berbeda, payudara Rani sama sekali tidak mampu memancing gairahku.

Suara ketukan di pintu mampu menarik perhatianku, berharap yang datang adalah Dhea yang akan menjelaskan situasi yang terjadi. Terutama tentang keadaan Mang Karta. Tak perlu jawaban dariku maupun Rani, pintu terbuka dan Dhea masuk dengan langkah gemulai.

"Kamu sudah sadar, Kang? Kami berduka atas kematian Kang Karta,. Ini bukan kesalahan Kang Jalu, ini hanya sebuah kecelakaan. Murni kecelakaan." kata Dhea tenang. Seolah dia sedang berusaha menghiburku yang sedang terpuruk.

"Aku sudah membunuhnya...!" gumamku. Air mataku kembali tumpah membasahi dada Rani yang tetap mendekap kepalaku.

"Ini kecelakaan, Kang. Aku sudah mengatur semuanya. Jadi tidak akan ada orang yang tahu kejadian yang sebenarnya. Aku sudah menyuruh Japra untuk mencari orang yang bisa kita kambing hitamkan atas kematian Kang Karta." kata Dhea justru semakin memperparah. keterpurukanku. Semakin menegaskan bahwa akulah pembunuh Mang Karta. Aku seharusnya dihukum mati untuk menembus semua kesalahanku.

"Kenapa aku dibawa ke sini? Kenapa aku tidak dibawa pulang? Berapa lama aku pingsan?" tanyaku sambil melepaskan pelukan Rani. Aku berusaha berdiri, tapi lututku goyah. Aku jatuh terduduk di tepi ranjang.

"Untuk sementara Kang Jalu di sini saja samapi kondisi mental Kang Ujang pulih. Tidak ada yang boleh tahu penyebab kematian Kang Karta adalah Kang Jalu. Ini harus tetap jadi rahasia. Biarlah seseorang yang akan menanggung kesalahan itu." kata Dhea tenang. Seolah kematian Mang Karta tidak ada artinya sama sekali buatnya.

Tapi bagiku kematian Mang Karta adalah pukulan terbesar dalam hidupku, karena akulah pembunuhnya. Aku yang menaggung semua penyesalan ini, penyesalan yang akan terus menghantuiku seumur hidupku.

Tiba tiba Japra masuk membuatku marah dan menumpahkan semua kemarahanku, kebencianku dan juga penyesalanku. Tenagaku pulih begitu melihat Japra. Aku bangkit berdiri dan mendorong Dhea ke samping hingga wanita itu terjatuh.

Tinjuku melayang dengan cepat mengarah ke rahang Japra yang tidak menduga datangnya serangan dariku. Tapi dia tetaplah jago tua yang sudah sangat berpengalaman. Refleknya sudah sangat terlatih sehingga mampu menepiskan seranganku yang datang dengan tiba tiba.

Setelah berhasil menepis seranganku, dia balas menyerang dengan pukulan yang tidak kalah dahsyat dengan pukulanku dan aku tidak mampu menghindari pukulannya yang tepat mengenai perutku sehingga aku terjatuh ke belakang dan menimpa ranjang.

Bersambung
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd