Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Ritual Sex di Gunung Kemukus

Mantap ngalir terus ispitasi nya... Untuk cerita yg Wanita yg menutup Aurat other story apa beda hu...
 
Chapter 10

Aku seperti kesetanan menyerang Japra, tidak ada lagi jurus yang teratur penuh perhitungan. Aku bergerak seperti singa muda yang kehilangan imduk dan gerombolannya. Seperti singa muda yang putus asa karena harus mengjadapi rimba liar dikelilimgi mara bahaya.

Peterung tangguh dan berpengalaman seperti Japra tentu bisa menghindari seranganku dengan mudah. Sebuah pukulan telak menghantam ulu hatiku hingga tersungkur. Mungkin inilah ahir hidupku, menyusul Mang Karta adalah satu satunya keinginanku saat ini. Aku yersenyum menatap Japra yang melayangkangkan tendangan keras ke arah wajahku. Tendangan yang mampu mematahkan pohon sebesar paha orang dewasa.

"Pergilah ke neraka menyusul Karta.?" bentak Japra. Suaranya menyeramkan dan mampu merontokkan jantung para musuhnya. Mungkin ini yang dikatakan [Aji Segoro Macan seperti yang sering diceritakan oleh Abah dan Mang Karta.

Aku memejamkan mata, siap merima tendangan telak yang akan menghantam kepalaku, tendangan yang akan mempertemukanku dengan Mang Karta.

********

Aku membuka mata melihat sekelilingku. Di mana aku? Kamar ini sangat kukenal, bukankah ini kamar Lilis? Aku melihat beberapa photo kami terpajang di dinding.

"Aa sudah bangun?" tanya Lilis berbisik merdu di telingaku. Aku melihatnya tersenyum.

"Kenapa Aa ada di sini?" tanyaku heran.

"Aa pingsan setelah bertarung dengan Japra.." jawab Lilis tetap dengan senyumnya yang berusaha menenangkan hatiku yang sedang terluka.

"Mang Karta..?" rintihanku terasa menyayat hatiku. Meninggalkan luka teramat dalam dan tidak akan pernah sembuh hingga ajal merenggutku.

"Ini cuma kecelakaan. Penyebab kematian Mang Karta adalah Japra." kata Lilis tidak bisa menyembunyikan kesedihannya melihatku yang terpuruk.

"Tapi aku yang membunuhnya..!" kataku pelan menusuk jantungku hingga aku kesulitan bernafas.

"Jodoh dan mau adalah kepastian dari Allah, cuma caranya yang berbeda." jawab Lilis memelukku. Berusaha memberi kehangatan padaku. Harum tubuhnya yang selama ini mampu membuatku merasa nyaman terasa menjadi hambar.

"Bi Narsih tahu?" tanyaku. Tentu kemarahannya kepadaku tidak akan bisa dimaafkan. Dulu suami pertamanya celaka oleh ayahku dan menghilang hingga kini. Sekarang Mang Karta terbunuh olehku. Apakah ini sebuah karma yang terulang. Siklus yang tidak mampu dihindari.

Aku memejamkan mataku, merasakan sakit yang terus menusuk jantung dan hatiku. Kenapa Japra tidak membunuhku agar semua penderitaanku berahir dan tidak berlarut larut seperti sekarang.

"Jang, ayo kita latihan...!" teriak Mang Karta yang melihatku berlatih sendiri di pekarangan belakang sebelum berangkat mengaji.

"Iya, Mang..!" seruku girang setiap kali Mang Karta mengajakku berlatih. Aku selalu senang setiap kali Mang Karta melihat kemajuanku berlatih silat. Rasanya berbeda kalau aku berlatih dengan Abah yang selalu membentakku setiap kali kegesitanku jauh berkurang atau reflekku mengendur saat menerima seranganny. Kesempurnaan, itu yang selalu ditekankan oleh Abah yang selalu memuji kemampuan silang Ayahku danMang Karta yang dianggap sebagai murid terbaik yang dimilikinya. Dan satu lagi nama yang dipujinya setinggi langit. Tapi sayang Abah tidak pernah mengatakan namanya.

Aku bergerak menyerang Mang Karta dengan pukulan pendek dan kuda kuda rendah sebagai ciri has silat daerah pegunungan dengan tekstur tanah yang tidak rata. Gerakkanku lebih cepat dan lepas saat berlatih dengan Mang Karta. Berbeda saat berlatih dengan abah, aku merasa tertekan dan kemampuanku seperti tidak berkembang. Dengan sigap Mang Karta menangkis pukulanku dan bapas memukul dengan cepat, bahkan lebih cepat dari pukulan pembukaku. Hebat, reflekku seperti bertambah saat menghadapi serangan Mang Karta. Aku berlatih dengan perasaan senang. Semua kemampuanku seperti meningkat beberapa kali.

"Tah, begitu Jang maen pencak.!" teriak Abah dari pinggir lapangan memuji gerakanku yang lepas tanpa beban.

Aku sendiri heran kenapa kemampuanku bertambah hebat setiap kali berlatih dengan Mang Karta. Apa karena aku melakukannya dengan gembira tanpa beban, karena tahu Mang Karta tidak akan pernah marah setiap kali aku melakukan kesalahan. Setiap kali aku melakukan kesalahan Mang Karta akan berkat,

"Mamang juga dulu sering melakukan kesalahan dan mendapat pukulan rotan dari Abah." kata Mang Karta dengan ekspresi lucu untuk menghiburku. Aku tertawa geli membayangkan Mang Karta mendapat pukulan dari Abah.

"Sudah latihannya, kamu buruan ngaji, besok kita mancing main ke Curug." kata Mang Karta mundur dari gelanggang. Mendengar kata Curug, aku melompat kegirangan.


"Bi Narsih tahu yang membunuh Mang Karta adalah Japra. Semua orang tahu yang membunuh Mang Karta adalah Japra.?" kata Lilis menegaskan, atau lebih tepatnya berusaha memanipulasi pikitanku.

Aku menatap Lilis dengan hati tertusuk sembilu.

******

Aku menggenggam tanah pusara yang menggunduk penuh dengan taburan bunga yang mulai mengering. Mang Karta terkubur di dalamnya, tenang dalam tidur abadinya.

"A Ujang..!" aku menoleh ke asal suara. Desy berdiri di sampingku membawa kendi berisi air dan bungkusan berisi bunga untuk ditaburkan.

"Desy...!" aku kembali menunduk menatap gundukan tanah, tidak berani menatap wajah Desy yang sangat berduka dengan kematian Mang Karta. Padahal dia masih sangat membutuhkan Mang Karta. Sangat membutuhkan bimbingannya. Aku yang merenggut Mang Karta darinya. Semuanya karena aku.

Desy berjongkok di sampingku, mengeluarkan kitab yassiin yang dibawanya. Dengan khusu Desy mengirim doa untuk almarhum Mang Kart hingga selesai. Aku terdiam, tersiksa dengan do'a yang keluar dari mulut Desy. Seperti ada ribuan pedang mengiris iris hatiku. Hingga aku tidak mampu menahan air mata yang kembali tumpah.

Harusnya aku terkubur di dapam sana menemani Mang Karta. Aku ingin menjawab setiap pertanyaan Malaikat untuk mewakili Mang Karta agar dia bisa melenggang masuk surga.

"A, pulang yuk...!" ajak Desy menyadarkanku. Aku mengangguk, berusaha mengumpulkan semangat agar bisa berdiri di samping Desy.

Kami berjalan menyusuri jalan, melintasi pemakaman umum yang tidak beraturan. Beberapa kali kami terpaksa menginjak makam yang menghalangi jalan. Sebuah pandangan umum di pemakan yang terletak di sebuah pemakaman padat penduduk. Aku herang kenapa Mang Karta harus di kuburkan di tempat ini bukan di desa asal kami atau tempat yang lebih baik. Seolah Mang Karta akan segera dilupakan seiring berjalannya waktu. Tidak akan pernah ada monumen untuk mengenang jasa jasanya karena dia bukanlah pahlawan. Tapi monumen itu akan kubangun di hatiku, berdiri kokoh mengiringi detak jantungku.

Selepas pemakaman kami melintasi pemukiman padat penduduk. Tidak ada yang mengenalku sehingga tidak ada seorangpun yang menyapaku, tapi banyak yang menyapa Desy. Ya, mereka mengenal Desy sebagai putri Mang Karta, Mang Karta sangat mereka kenal karena kedermawanannya selama ini. Itu sebabnya Bi Narsih memakamkan Mang Karta di sini agar tetap ada yang merawatnya. Tetap ada yang mendoakannya karena Masjid di tengah pemukimanpun Mang Karta yang membangunnya. Ya, disinilah monumen untuk Mang Karta sudah dibangun sejak puluhan tahun silam. Monumen yang berdiri tegak di hati setiap penduduk.

"Neng Desy!" sapa seorang ibu tua yang sedang asik memisahkan gabah dari beras di pintu rumahnya.

Baru saja Desy membalas sapaan si ibu tua, beberapa ibu ibu dan anak anak menghampiri kami, berebutan menyalami kami. Aku berusaha tersenyum menyambut mereka. Walau senyumku selalu meninggalkan luka di hatiku. Masih pantaskah aku tersenyum setelah perbuatanku yang melenyapkan nyawa Mang Karta.

Mereka yang mengelilingi kami perebutan menyampaikan ucapan bela sungkawa dan menceritakan kebaikan Mang Karta yang selalu menyantuni orang orang miskin di tempat ini. Ya, monumen Mang Karta akan kuteruskan pembangunanya di sini. Aku yang akan meneruskan menyantuni fakir miskin di tempat ini seperti Mang Karta, Si Robin Hood abad ini. Mang Karta tidak boleh nati di hati mereka, Mang Karta harus tetap hidup di hati mereka selama jantung mereka masih tetap berdetak.

Selesai menghadapi kerumunan orang, kami kembali melanjutkan perjalanan kami sampai tepi jalan raya menunggu Angkot yang akan membawa kami pergi.

"A Ujang gak bawa mobil?" tanya Desy heran. Setahu dia sekarang aku sudah kaya karena menikah dengan janda kaya, Lilis. Hanya sebatas itu yang diketahuinya

"Gak, A Ujang ke sini jalan kaki." jawabku.

"Jalan jalan, yuk..!" ajak Desy. Pandangannya terlihat sayu. Duka maaih membayang jelas di wajahnya yang cantik. Aku yang menyebabkannya berdukan dan sudah seharusnya aku pula yang harus menghilangkan dukanya.

"Ke mana?" tanyaku. Ke manapun tujuan Desy aku akan mengabulkannya selama itu bisa menghilangkan dukanya.

Desy tidak menjawab, dia menarik tangannku masuk angkot yang tepat berhenti di hadapan kami. Untung angkot yang kami naiki tidak sepadat biasanya. Hanya ada dua penumpang yang berada di dalamnya sehingga kami bisa duduk leluasa.

Rasanya sudah lama sekali aku tidak pernah naek Angkot lagi. Kehidupan sudah berubah, Motor dan Mobil adalah kendaraan pribadiku. Sesuatu yang dulu kuanggap sebagai mimpi. Tapi sekarang mimpi itu menjadi nyata dan karena itu pula aku membunuh Mang Karta.

"Desy mau masuk Polwan...!" kata Desy menyadarkanku dari lamunan. Aku menatapnya heran, bukankah dia selalu bilang mau jadi dokter dan kenapa sekarang cita citanya berubah 180 derajat dalam sekejap.

"Aku mau nangkap orang yang sudah membunuh ayah...!" kata Desy menjawab keheranannku.

Aku menunduk melihat sepatuku. Hatiku menjerit mengatakan, Yang membunuh ayahmu sekarang ada di hadapanku.

"Iya, itu bagus." jawabku. Aku benar benar ketakutan membayangkan Desy menjadi seorang Polwan yang ditugaskan menangkapku hingga terjadi pertarungan hidup dan mati. Apa Desy akan mati juga di tanganku atau mungkin aku yang akan mengahiri hidupku di tangan Desy.
Mungkin suatu saat Desy yang akan menodongkan pistolnya ke arah kepalaku dan menarik pelatuknya. Dor.... Kepalaku terlempar ke belakang menghantam kaca mobil.

"A Ujang kenapa?" tanya Desy terkejut. Begitu juga dengan dua orang penumpang yang melihat ke arahku terlihat heran. Padahal Angkot dalam keadaan berhenti, kenapa kepala belakangku menghantam kaca mobil.

"Gak apa apa, udah lama gak naek Angkot, jadi mabuk." kataku tersipu malu menjadi tontonan para penumpang angkot yang menganggapku mabok.

"Pir, kiri..!" teriak Desy menghentikan Angkot di sebuah penginapan melati kelas menengah atas.

"Kenapa kita ke sini, Des?" tanyaku ragu mengikuti Desy memasuki pekarangan penginapan yang luas. Banyak mobil terparkir di dalam pekarangan.

"Kita sudah lama gak bercumbu..!" jawab Desy pelan. Tangannya merangkul pinggangku.

Bercumbu dalam keadaan seperti ini? Apakah itu pantas.? Terlepas dari kata pantas dan tidak, Desy membutuhkannya untuk sekedar melupakan kesedihannya. Aku pikir itu lebih prioritas.

Sampai kamar, Desy melepaskan semua penutup tubuhnya. Dia menatapku yang merasa terpaksa melakukan hal ini. Terpaksa untuk membantu Desy lepas dari kesedihannya untuk sementara waktu.

"A Ujang kok diam saja?" tanya Desy heran melihatku tidak begitu tertarik dengan tubuh bugilnya yang menyimpan sejuta kenikmatan.

"Sudah hampir setahun Desy gak pernah dientot. Desy gak berani ngentot sama orang lain. Takut..!" kata Desy menghampiriku dan mengalungkan tangannya pada leherku. Gadis ini terlihat begitu kaku. Padahal selama ini begitu agresif.

"Ayahmu baru saja meninggal, kenapa harus melakukan dosa lagi?" tanyaku lirih. Tanganku meraih gundukan pantatnya yang besar dan meremasnya lembut. Kenikmatan yang ditawarkan tubuh belianya sangat sulih diabaikan begitu saja.

Desy tidak menjawab. Dengan berjinjit Desy mengulum bibirku dengan bernafsu. Tidak ada lagi alasan bagiku untuk menolaknya. Aku balas lumatan bibirnya, berusaha menghilangkan bayang bayang Mang Karta yang melihatku dari balik tabir ghaib. Aku berusaha mengusir bayang bayang itu dengan memeluk Desy.


Kalaupun Karma itu ada, biarlah suatu saat aku akan menelan pahitnya karma itu. Tanganku semakin keras meremas bongkahan pantat Desy, bibirku menghisap bibir tipis Desy. Lidahku menggelitik rongga mulutnya. Biarlah Mang Karta melotot marah mencaci perbuatanku, karena Desy lebih membutuhkanku untuk melepaskan dukanya, kesedihannya dan keterpurukannya.

Desy membuka kancing kemejaku dengan cepat dan melepaskannya begitu saja. Melemparkannya ke lantai seperti barang yang tidak berharga. Seperti itulah suatu saat kelak setelah maut merenggutku. Jasadku akan dicampakkan ke dalam tanah, menjadi hidangan para belatung untuk berpesta.

Tanpa memberiku kesempatan, Desy membuka celanaku dan juga celana dapamku. Gerakkannya yang terburu buru seperti ingin menghilangkan keraguannya. Tentang perbuatan yang tidak seharuanya kami lakukan. Belum lagi kering tanah kuburan Mang Karta, kami justru menyiraminya dengan lelehan keringat birahi.

Desy berjongkok dan meraih kontolku yang masih tertidur.. Mulutnya melahap kontolku dan menariknya agar terbangun dari tidurnya.. Berusaha membangunkan gairahku yang sempat hampir mati setelah kematian Mang Karta.

"Gak usah dipikirin, setiap orang akan mengalami mati..!" rayu Desy melihat kontolku yang tidak bereaksi dengan godaanya.

Desy kembali mengulum kontolku, mengeluarkan semua kemampuan terbaiknya. Tapi setelah berusaha cukup lama Desy menyerah. Menatapku kecewa. Diambilnya semua pakaiannya dan kembali dikenakan.

Aku menunduk malu, untuk pertama kali kontolku kehilangan keperkasaannya. Aku memakai pakaianku kembali, aku tidak berani menatap wajah Desy yang kecewa. Ini pukulan telak yang mempermalukanku di hadapan seorang waniya. Kegarangan kontolku hilang dalam sekejap.

"Kita pulang, Mamahmu memerlukanmu untuk melewati semua ini." kataku sambil membuka pintu kamar.

Desy berjalan melewatiku tanpa menoleh. Langkahnya cepat meninggalkanku tanpa menoleh saat aku memanggilnya. Aku mengejar Desy dan meraih tangannya. Desy menepiskan tanganku semakin meruntuhkan harga diriku ke dasar terdalam.

Desy setengah berlari meninggalkanku. Aku berusaha mengejarnya setelah mengembalikan konci kamar pada seorang resepsionis yang menatapku heran. Siapa perduli dengan pandangan heran resepsionis.

"Desy, tunggu...!" teriakku saat melihat Desy yang menyetop sebuah Angkot dan tanpa menoleh ke arahku naik ke dalam Angkot.

Aku mengejarnya, tapi Angkot langsung melaju meninggalkanku yang menatapnya dengan perasaan dongkol. Beginikah rasanya menjadi seorang pecundang. Gumamku. Tanganku terkepal menerima kekalahanku.

"Begitulah seorang wanita. Sulit ditebak...!" kata seorang pria yang tiba tiba sudah berdiri di sampingku

Bersambung..
 
Penuh liku-liku perjalanan hidup ujang.... Kita tau nya Ujang dikelilingi wanita dibalik itu banyak sakit dan pedih di hati....
 
Siapa sebenarnya yang membunuh mang karta. Ini rumit dan bikin penasaran suhu. Bikin kentang ngak selesai2.setiap episode kok malah kentang terus. Kemarin kentang goreng sekarang kentang godok besok kentang apa lagi ya ... Sukses selalu suhu bikin masakan kentang. Thanks update suhu. Ngopi duduk di saung sawaka biar adem.
Salam semprot.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd