Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Ritual Sex di Gunung Kemukus

Bimabet
Bab 17 : Jang, Ningsih Hamil !


"Jang, inget ya hari senen besok kita berangkat ke Gunung Kemukus, lagi." bisik Mbak Wati, saat aku baru saja sampai rumah sepulang berjualan.

"Eh, iya Mbak" hampir saja aku lupa, Jum'at besok hari Jum'ar Pon. Berarti 2 hari lagi hari Senen, aku berangkat ke Gunung kemukus.

Tidak terasa sudah 2 minggu aku berjualan dengan modal pemberian, Mang Karta. Alhamdulillah, omset penjualanku naik 2x lipat, dibandingkan saat aku masih menjual Mie Ayam, mantan Bosku. Kata orang, Mie Ayamku sekarang lebih enak. Makanya sekarang Mie Ayamku cepat habis, kadang jam 2 siang aku sudah pulang.

Memang masakan Ibuku dari dulu terkenal enak. Sekarang Ibuku bertugas meracik bumbu dan ayam, dibantu adikku. Jadi tugasku hanya berjualan keliling dan belanja bumbu bumbu. Tugasku jadi kebih ringan.

Aku nembawa panci dan mangkok kotor ke dapur, dibantu adik Tini. Alhamdulillah, Tini sudah diterima di SMK swasta deket rumah. Jadi bisa ngirit ongkos.

Kulihat jam dinding, baru jam setengah 4. Aku segera mandi, terus shalat Isya. Selesai shalat, aku duduk di teras sambil ngopi. Ibuku duduk di sampingku, di kursi kayu panjang seperti yang ada di warung warung.

"Mak, hari Senen, Ujang mau ziarah biar usaha kita lancar. Kalau gak ada halangan, pulangnya hari Sabtu. " kataku.

"Iya, kamu hati hati di jalan. Berarti kanu libur seminggu jualannya, ya ?" tanya ibu. "Bagaimana kalau selama kamu ziarah, Emak gantiin kamu jualan, mangkal di Pos Ronda, kan belom ada yang mangkal di situ. Nanti Emak minta ijin ke Pak RT." ibuku memberi usul.

"Jangan, Mak. Nanti Mak capek. Kan berat bawa gerobak ke Pos Ronda." kataku, keberatan dengan ide ibuku.

"Gak apa apa atuh, Jang. Gerobak tinggal dorong, gak berat." kata ibu, lalu berjalan ke arah gerobak. Dengan cekatan ibu mendorong gerobak berkeliling pekarangan Kontrakan.

"Tuh, ibu bisa bawa gerobak." kata ibuku.

"Ya udah, terserah ibu saja." kataku.

Kulihat pintu dapur rumah Lilis, terbuka. Lilis keluar menghampiri.

"Punten, Bu. Kang Ujang, dipanggil Pak Budi." kata Lilis, tersenyum sambil mengangguk ke ibuku.

"Mangga atuh, Teh. Emak ke dalam dulu ya, Neng.!"

"Mangga, Mak. Lilis juga mau nerusin masak." kata Lilis, pamitan.

Aku berjalan ke rumah Lilis lewat pekarangan depan. Mobil Pak Budi sudah terparkir di halaman rumah. Ternyata, Pak Budi sudah menungguku di teras. Dia langsung mengajakku masuk, ke ruang tamu.

Kami duduk di kursi sofa yang empuk. Benar benar empuk. Aku jarang bisa duduk di sofa empuk seperti ini. Teh.Lilis keluar membawa nampan berisi 2 gelas kopi dan biskuit kaleng.

"Duduk, Neng!" kata Pak Budi, menyuruh duduk di sampingku.

Seperti pesakitan, aku dan Lilis duduk berdampingan nenghadap ke arah Pak Budi. Aku dan Lilis nenunduk, gelisah. Lilis mempermainkan jari jari lentiknya sekedar mengusir kegelisan.

"Aku mau minta tolong sama kamu, Jang...... " Pak Budi, tidak meneruskan kalimatnya. "Aa, apa Neng yang ngomong ke , Ujang? " tanya Pak Budi, ke Lilis.

"Ningsih, hamil, Jang !" kata Lilis dengan suara yang berat.

Aku kaget mendengar berita kehamilan Ningsih dari mukut, Lilis. Berita yang tidak pernah aku duga, akan terjadi. Ningsih hamil. Setidaknya aku merasa lega juga, di panggil Pak Budi, bukan karena masalah di penginapan tempo hari. Kejadianny kan sudah 2 minggu.

"Aku sudah dengar ceritanya dari Lilis, semalam. Yang menghamili Ningsih, adalah kamu. Walau sebenarnya kamu tidak salah. Makanya, aku minta tolong sama kamu, Jang. Tolong nikahi Ningsih, anak yang dikandungnya, anak kamu." Pak Budi menarik nafas panjang. Wajahnya terlihat, gundah.

"Kenapa bukan Lilis yang hamil, Jang. Biar Abah dan Ambu bisa menimang cucu sebelum mereka, wafat. Aku anak yang tidak berguna, tidak bisa membahagiakan orang tua." sekuat apapun Pak Budi berusaha untuk tidak menangis, tangisannya tetap pecah.

"Aku anak yang tidak berguna, Jang. 10 tahun, aku berusaha untuk senbuh. 10 tahun, aku berusaha untuk mencintai Lilis. 10 tahun, senua uasahaku sia sia. Kadang aku berpikir untuk nenceraikan, Lilis. Agar Lilis bisa mendapatkan suami yang bisa membahagiakannya. Tapi, aku terlalu egois. Aku tidak mau Abah dan Ambu semakin menderita di masa tuanya. Abah dan Ambu sudah kehilangan 2 anaknya, adik adiku. Mereka meninggal karna aku. Kalau saja waktu itu aku tidak mengajak ke dua adikku itu berenang di sungai, sampai saat ini mereka nasih hidup, Jang. Mereka hanyut dibawa air sungai yang banjir tiba tiba. Jasad mereka tidak pernah ditemukan. Harusnya aku yang mati, Jang." Pak Budi bercerita tragedi yang menimpanya. Pipinya basah oleh air mata. Setelah mulai tenang, Pak Budi meneruskan ucapannya.

"Ko aku jadi ngelantur, ya! Tadinya aku nawarin Ningsih buat tinggal di sini sampai bayinya lahir, tapi Ningsihbya nolak. Dia mau kamu bertanggung jawab nikahin dia. Padahal menurutku, kamu tidak salah apa apa. Itukan resiko yang harus ditanggung, Ningsih."

"Bukan begitu maksud Ningsih, A." Lilis memotong ucapan Pak Budi.

"Ningsih cuma pengen nikah, biar gak dibilang perawan tua. Aa tahu sendiri di kampung seperti, apa! Semua teman Ningsih sudah pada punya anak yang sekolah. Makanya Ningsih nekat ritual di Gunung Kemukus, biar bisa dapat, jodoh. Biar gak ada yang bilang kalau Ningsih perempuan pembawa petaka. Sekarang Ningsih sudah sembuh dari gangguan Jin yang selama ini mengikutinya berkat ritual di Gunung Kemukus." kata Lilis, menerangkan.

"Kamu yakin, Ningsih sudah sembuh dari gangguan Jin ?" tanya Pak Budi.

"Ningsih cerita ke Eneng, pulang dari Gunung Kemukus, Ningsih mandi, aer yang nyiram badannya jadi hitam. Habis mandi, Ningsih langsung sakit, badannya panas, malamnya dia mimpi didatangi lelaki tinggi besar, mukanga brewokan, rambutnya panjang, ada tanduk di kepala. Datengnya naik motor harley davidson. Lelaki itu bilang ke Ningsih, gak mau disuruh pergi. Dia akan membawa Ningsih ke alamnya. Tapi begitu mau mendekati Ningsih, lelaki itu terpental jatuh. 3x lelaki itu mendekati Ningsih, dia selalu terpental jatuh. Mimpi yang sama, sampe 3 malam, A. Terus Ningsih dibawa ke Kyai, mimpi Ningsih diceritain ke Kyai. Kata Kyai, itu artinya Jin pengganggu Ningsih sudah pergi dan tidak akan datang mengganggu lagi.

"Begitu ceritanya, Jang. Kamu harus menikahi Ningsih, kamu tidak perlu khawatir dengan biayanya. Semuanya aku yang nanggung. Setelah kalian menikah, Ningsih kamu bawa tinggal di sini. Rumah ini besar, jadi Lilis gak akan kesepian karna sering aku tinggal. Setelah anak kalian lahir, anak kalian aku adopsi, biar Abah dan Ambu bahagia, bisa punya cucu. Mumpung belom ada yang tahu kalau Ningsih, hamil." kata pak Budi.

"Gak bisa gitu, A. Abah dan Ambu pasti curiga, kalau tiba tiba kita punya anak. Kalau Lilis bilang hamil, Abah dan Ambu pasti langsung ke sini, jagain Lilis sampai lahiran. Lagi pula kita gak perlu ngambil anaknya, Ningsih." sekali lagi Lilis membantah pikiran Pak Budi.

"Lagi pula Lilis sudah telat 3 minggu. Jadwal mens Lilis bareng dengan jadwal mens Ningsih. " kata Lilis, membuatku terkejut untuk ke dua kalinya.

"Ka.....kamuuuu... Hammmil?" Pak Budi tampak tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Lilis mengangguk, mengiyakan.

"Alhamdulillah, Yaa Allah, ahirnya aku bisa membahagiakan Abah dan Ambu. Mereka akan segera punya, cucu. Terimakasih, Jang."

"Kamu bersedia nikahi Ningsih, kan, Jang? " tanya Lilis. Pak Budi, sedang bahagia, sehingga lupa menanyakan kesanggupanku.

"Iya, aku bersedia." Aku menyanggupinga.

"Kalau gitu, hari Rabu kita ke Garut buat ngelamar, Ningsih. Sekalian mau ngasih tau Abah dan Ambu, Lilis hamil." kata Pak Budi.

"Gak bisa hari rabu, pak. Senen saya berangkat ke Gunung Kemukus.* kataku.

"Kamu masih mau ke Gunung Kemukus?" tanya Lilis dengan suara keras.

"Iya, kalau gak begitu, saya takut Mbak Wati cerita ke orang, kita ke Gunung Kemukus. Kalau dia pasti gak akan malu, karna bisa pindah kontrakan. " kataku.

"Ujang benar, Lilis. Kalau begitu, biar Ibu kamu dan mamang kamu aja yang ke Garut buat ngelamar Ningsih." kata Pak Budi,

"Iya, begitu aja, Jang." Lilis menyetujuinya.

Ahirnya aku pamit pulang, mau membicarakannya dengan ibuku. Kepada ibj, aku mengatakan telah menghamili Ningsih, adik Lilis. Aku tidak mengatakan , bertemu Ningsih di Gunung Kemukus. Aku mengatakan bertemu Ningsih du sini. Sekarang keluarganya minta aku bertanggung jawab. Bari rabu Pak Budi mengajak ibu je garut buat melamar Ningsih.

"Kamu bicara ke Mamang kamu, minta tolong buat ngelamar,. Emang kamu sudah punya biayanya ?" aku mengangguk dan mengatakan sudah punya tabungan.

Baru saja aku mau ke rumah Bi Narsih, Mang Karta datang menjemputku. Mau nitip rumah, soalnya Mang Karta, Bi Narsih dan Dinda mau nginep di rumah adik Mang Karta yang baru lahiran.

Di rumah Mang Karta, Bi Narsih menyambut kami di teras bersama Dinda. Rupanya mereka sudah siap berangkat Mang Karta langsung memasukkan motor honda astrea.

"Bibi berangkat dulu, Jang. Niitip Rumah." katanya."Des, mamah berangkat." teriak Bi Narsih.

Desy keluar dengan Wina. Tak urung aku kaget, karna ada Wina. Desy dan Wina mencium tangan Bi Narsih dan Mang Karta, begitu juga dengan aku. Dinda mencium tanganku.

Aku masuk, mengikuti Desy dan Wina. Hatiku agak berdesir melihat kehadiran Wina. Gadis abg yang dua minggu lalu aku perawanin.

"Kapan datang, Wina ?" tanyaku setelah duduk di ruang tamu.

"Dari jam 5, A. Desy ngajak nginep." Wina menjawab dengan wajah yang tertunduk malu. "Desy, bohong, bilang A Ujang pacarnya, gak taunya kakak sepupu." Wina melanjutkan dengan wajah bersemu merah.

"Iya, maaf. Gue kan belom punya pacar. " kata Desy sambil memeluk Wina sebagai permintaan, maaf.

"Coba kalo elu gak bohongin gue, sekarang gue masih perawan." kata Wina, lagi.

"Emang elu nyesel udah diperawanin, A Ujang?" tanya Desy dengan perasaan bersalah.

"Enggak juga, sih. Abis yang merawanin gue, A Ujang. Ternyata dientot enak banget. Gue cuma kesel sama elu. " kata Wina sambil melirik ke arahku.

"Kesel gue, bohongin? " tanya Desy.

"Kesel elu ternyata masih, perawan!".
**********

Aku jadi teringat, saat aku terbanvun dari mimpiku di kamar, Wina. Kulihat Desy sedang nyepong kontolku. Aku tidak percaya denga apa yang aku liha. Sementara Wuna tertidur pulas di samping.

" Desy !" panggilku.

Desy kaget, matanya melotot ke arahku seperti melihat, hantu. Wajahnya tampak pucat. Dia langsung lari keluar kamar. Aku segera menyusulnya yang dudk di ruang tamu sambil menutup wajahnya dengan bantal kecil.

"Desy pengen ya?" tanyaku sambil memeluk bahunya. Kuambil bantal kecil yang mentup wajahny. Matanya terpejam, tidak berani menatap wajahku. Kucium dengan lembut, pipinya yang halus.

"Desy juga, pengen ya?" tanyaku menggodanya. Desy menhgelengkan kepalanya dengan keras.

Kucium lehernya yang jenjang, sekali kali aku jilat. Tidak ada penolakan sama sekali darinya. Tanganku merayap ke dadanya, kecil seperti Bi Narsih, kuremas lembut. Reflek tangan Desy memegang tanganku, tapi tidak ada penolakan sama sekali darinya.

Tangannya tidak lagi menutupi wajahnya, langsung kulumat bibir tipis Desy dengan bernafsu. Tak ada penolakan, namum bibirnya terkatup rapat. Nafasnya agak memburu tersengal sengal. Lidahku berusaha masuk bibirnya, namun terhalang giginya yang mengatup, rapat.

Kembali kuciumi leher jenjangnya, tanganku mengangkat bajunya ke atas. Tak ada penolakan, bahkan saat aku melepaskan bajunya. Tetek mungil Desy hanya tertutup BH warna pink. Sudah kepalang tanggung. Aku membuka pengait BH Desy dengan mudah.

Walaupun tetek Desy kecil, bentuknya indah.kulahap pentil tetek yang mungil menggemaskan dengan bernafsu, kujilat jilat dn kuhisap dengan lembut, membuat Desy merintih kegelian. Tangannya memegang kepalaku.

Sementara tanganku menyusup masuk rok mininya, kugelitik memeknya yang terbungkus celana dalam. Ternyata celana dalamnya sudah lembab.

"Aduhhhh, Aa, jangan kurang ajarrr.!" kata Desy, namun anehnya dia tidak berontak, menolak kekurangajaranku. Bahkan saat aku menarik rok mininya leps, Desy memberi jalan dengan mengangkat pinggulnya. Celana dalamya ikut aku tarik lepas.

Kini bukan hanya aku yang bugil, Desypun sudah ikut ikuyan bugil sepertiku. Aku segera berjongkok di selangkangan, Desy. Memek Desy sudah berbulu, cukup lebat. Sama seperti memek Bi Narsih,

Kubenamkan wajahku di memeknya, kuhirup aromanya yang agak tajam, mungkin karna sudah terangsang, sehingga memeknya sudah basah oleh cairan birahi. Kubuka belahan memeknya, warnanya pink dan lobangnya masih sangat kecil, terhalang selaput dara.

Akupun menjilatinya dengan bernafsu, kusedot cairan birahinya dengan rakus dan tanpa rasa jijik.

"Ennnnak banget, Aa." Desy menjambak rambutku, menekannya ke memeknya.

Cukup lama aku menjilati memek Desy. Aku bangkit, menggenggam kontolku. Mengarhkan ke lobang memek Desy yang mengangkang di kursi. Saat kontolku sudah menempel di memeknya, Desy mendorong tubuhku, membuatku jatuh duduk, dengan tangan ke belakang menopang tubuhku.

Belum habis kekagetanku, Desy berjongkok diatas kontolku. Tangannya merauh kontolku, diarahkan menempel di lobang memeknya yang sudah sangat basah. Kebinalan Bi Narsih, menurun ke anak gadisnya ini. Bukan hanya wajah dan tubuhnya. Ternyata juga sifatnya.

Desy menekan pinggulnya perlahan, mendorong kontolku memasuki memek perawannya. Pelan dan berhati hati, saat dirasakan memeknya agak sakit, Desy mengangkat pinggulnya dedikit, lalu menekannya kembali. Perlahan, otot otot memeknya semakin rileks, Desy menekan pinggulnya lebih ke bawah, memeknya menelan kepala kontolku.

"Aduhh, sakit..." Desy menjerit lirih, memaksa kontolku semakin dalam menusuk memeknya, hingga seluru kontolku terbenam sempurna setelah merobek selaput dara Desy.

"Memek Desy sakit, A." kata Desy, melihat memeknya yang terembus kontolku. "Udah masuk semua, A."

Perlahan Desy mengangkat pinggulnya, kontolku bergerak keluar, tinvgal kepalanya yang masih terbenam. Kembali Desy menurunkan pantatnya, menelan kontolku kembali, lalu mengangkat kembali pinggulnya.

"A, memek Desy berdarah !" Desy berbisik lirih, melihat ada bercak darah mengalir di kontolku.

"Masih sakit, Des?" tanyaku. Aku takjub dengan kenekatan Desy yang memaksa kontolku memasuki memek perawannya.

"Sakit sedikit, kontol Aa kali yang kegedean." kata Desy, wajahnya meringis.

Desy terus memompa kontolku perlahan dan penuh perasaan. Diabaikannya rasa perih di memeknya, tujuannya cuma satu, merasakan kenikmatan ngentot seperti cerita teman temannya dan buku cerita porno yang sering dibacanya.

Desy benar benar mewarisi kebinalan Bi Narsih, dia terus memopa kontolku, memeknya semakin basah, memudarkan rasa sakitnya. Harus kuakui, selain mewarisi kebinalan Bi Narsih, Desy juga mewarisi nafsu birahinya yang besar.

Memeknya Desy seperyi menjepit kontolku dengan keras, begitu terasa jepitannya. Gesekan dinding memek dengan kontolku, begitu dahsyat

"A, kok jadii ennnak. Memek Desy udah gak sakit, lagiii." Desy tersenyum senang, sakit di memeknya mulai berganti nikmat. Genjotanya mulai cepat, entah belajar dari mana anak ini, atau mungkin naluri yang menggerakannya.

"Aduhhhh ampunnn, Dessss kelllluarr4, A....." tubuh Desy mengejang, dilanda orgasme pertamanya. Tangannya mencengkeram dadaku. Otot otot memeknya berkontraksi mencengkeram kontolku.

Setelah badai orgasmenya reda, Desy turun dari pangkuanku, merebahkan tubuhnya di sampingku.

"Aa belom keluar, ya? Gantian Aa di atas. Buruan, A, entot memek, Desy.!"

Aku segera merangkak di atas tubuh Desy yang sudah mengangkang pasrah, siap menerima hujaman kontolku. Bles, kontolku dengan mudah menerobos memek Desy yang sudah sangat banjir.

Aku mulai memompa dengan pelan, nikmat sekali memek gadis berusia 16 tahun ini, memeknya begitu menjepit. Wajahnya yang cantik, menjadi semakin cantik saat memeknya aku genjot dengan perlahan.

"A, ennak mana, memek mamah sama memek Desy?" tanya Desy. Sekali kalu bibirnya mendesis, nikmat.

"Enak memek, Desy." kataku.

Desy tersenyum senang, tangannya meremas pantatku. Memaksakku untuk me.ompanya lebih cepat, lagi.

"Cepetin A, memes Desssss ennnnak. Dess mauu kelllluarrrrr, lagi."

Akupun merasa puncak orgasme mendekatiku. Kupercepat kocokanku, berusaha meraih orgasme ke duaku malam ini.

"Desssss, Aa mauu kelllluarrrrr, keluarin di mana?" tanyaku dengan nafas tersengal sengal.

"Di dalam, Aa. Desss udah minum obat, Mamah. Desssss kelllluarrrrr, Aaaaaaa."

Tak kuperdulikan teriakan Desy, aku semakin mempercepat kocokanku dengan ganas. Hingga ahirnya, kontolku menembakan pejuh ke dasar memek, Desy.
"""""""""

"Gue udah gak perawan, Win." kata Desy. "Kalau gak percaya, nich liat menek, gue." Desy membuka celana dalamnya, lalu menaikan roknya. Desy lalu membuka pahanya lebar lebar sambil duduk di kursi.

"Nich liat memek gue, Win!" Desy membuka belahan memeknya. Memek Desy ternyata sudah basah. Gampang sekali memeknya menjadi basah, pikirku heran.

"Gue gak percaya. Kecuali gue liat memek lu bisa dimasukin kontol,." kata Wina, ketus.

"Ini orang gak percayaan, amat. A Ujang, masukin kontol Aa ke memek, Desy!" kata Desy yang langsung saja menghampiriku. Tanpa basa basi Desy membuka kancing celanaku, laku menarik celanaku. Kontolku langsung keluar dari sarangnya. Kontolku sudah ngaceng karna obrolan jorok Desy dan Wina, ditambah Desy yang memamerkan memeknya.

Tanpa tagu, Desy naik ke pangkuanku dan mengarahkan kontolku ke memeknya. Dengan mudah kontolku menerobos masuk memeknya. Desy memeluk leherku sambil memompa memeknya perlahan.

"Sekarang lu percaya gue udah gak perawan, Win?" tanya Desy, menoleh kw arah Wina yang melotot kaget karna kenekatan, Desy.

"Kontol A Ujang, enak. Desy sudah sange dari tadi, A." Desy menciumi bibirku denga bernafsu. Gadis abg ini ternyata tambah binal, saja. Pantatnya memompa kontolku dengan liar.

Aku memegang pantat besar dan bulat Desy, kugerakkan naik turun dengan, cepat. Ternyata ngentot tanpa pemanasan, sensasinya luar biasa. Apalagi ada cewek abg yang menonton kami ngentot. Membuatku semakin bergairah, seakan ingin menunjukan pada Wina, betapa perkasanya aku.

"Aa, Desssss kelllluarrrrr, kontol Aa ennnak banget, " Desy memelukku erat, memeknya berkedut kedut meremas kontolku disertai rasa hangat yang has.

Setelah badai orgasmenya reda, Desy bangkit dan menarik tangan Wina yang bengong kami ngentot dengan dahsatnya. Desy berjingkok menarik celana dalam Wina.

"Des, apa apaan, sich...!" sambil berusaha mempertahankan celana dalamnya.

"Elu kan udah kliat gue ngentot. Sekarang gantia gue pengen liat elu dientot, A Ujang." kata Desy sambil menarik celana dalam Wina.

Ahirnya Wina membiarkan celana dalamnya lepas. Dia kembali duduk, menutupi memeknya dengan rok mininya yang lebar.

"Buruan A, entot memek Wina, tadi dia bilang, pengen dientot A Ujang, lagi. " kata Desy sambil menarikku, bangun.

Aku yang masih ngaceng, langsung aja membuka paha Wina agar mengangkang, tubuhnya kudorong agar bersender di kursi. Tidak ada penolakan dari Wina, di menurut saja pahanya kubuka lebar. Aku segera memposisikan kontolku tepat di pintu masuk memeknya yang tembem.

"Aduhhhh, kontol masuk." Wina takjub saat kontol jumboku menerobos masuk memeknya yang ternyata sudah sangat basah. Mungkin karna terangsang melihatku dan Desy ngentot.

Aku langsung memompanya dengan cepat, kulihat Wina malah tersenyum memeknya aku genjot dengan cepat. Aku mencium bibir Wina dengan bernafsu.

"Desssss, gilaaaa kontol A Ujang ennnnak banget. " Wina merintih nikmat menerima hujaman kontolku.

Sedang asiknya menggenjot memek Wina, tiba tiba terlpon berbunyi. Desy langsung mengangkatnya. Aku tidak perduli dengan Desy yang menerima telpon. Aku fokus memompa memek Wina, membuat gadis gemuk itu merem melek keenkan.

"Aa, Wina kelllluarrrrr, !" wina memeluk leherku, memeknya berkontraksi dahsat meremas kontolku.

"Akuuu juga kelllluarrrrr, Win...." kataku mengeram menembakkan pejuhku ke memek, Wina.

Nafas kami tersengal sengal. Aku mencabut kontolku dari memek, Wina.

"Aa, disuruh nganter ini ke Mamah." kata Desy sambil menyerahkan bungkusan. Segera aku memakai celanaku lagi.

"Bawa motor, A."
**********
Soak kami mah jangggggg
 
Chapter 11

Aku menoleh ke arah orang yang bicara, seorang pria tua yang giginya mulai ompong. Aku hanya tersenyum sambil menganggukkan kepalaku. Aku berjalan meninggalkan pria tua itu tanpa menoleh.

"Keberhasilan membuatmu lupa padaku..!" seru orang itu membuatku kembali menoleh berusaha mengingatnya. Tapi ingatanku seperti hilang, sekeras apapun aku mengingatnya, tetap tidak bisa kuingat.

"Hahaha, tentu saja kau tidak akan mengingatku. Terahir kita bertemu, usiamu baru 10 tahun. Aku aki Ja'i, sahabat kakekmu." kata pria tua itu berusaha membuka ingatanku belasan tahun silam. Nama yang tidak asing buatku karena sering dibicarakan oleh Abah sebagai jawara terhebat pada masanya.

Bahkan ayahku pernah berguru padanya selama beberapa tahun. Konon ilmu kebal ayahku betasal dari Aki Ja'i, walau aku tidak percaya ayahku punya ilmu kebal. Buktinya dia bisa terbunuh. Aku segera menghampiri Aki Ja'i dan mencium tangannya.

"Maaf, Aki. Saya gak ingat..!" kataku menatap pria tua yang tingginya hanya seleherku. Pria yang terlihat lemah, tapi aku tau dia masih tangguh. Cengkeraman tangannya begitu keras swhingga aku harus mengerahkan segenap kemampuanku menahannya, agar tanganku tidak remuk dicengkeramnya.

"Wajah kamu benar benar seperti pinang dibelah dua dengan ayahmu. Hanya usia yang membedakan kalian." jawab Ki Ja'i mulai mengendorkan genggamannya membuatku menarik nafas lega.

"Aki di sini lagi ngapain?" tanyaku heran. Apa lagi melihat tas ranselnya yang sudah lusuh menandakan dia sedang melakukan perjalanan. Setahuku rumah Ki Ja'i di daerah Rangkas.

"Aki dari rumah Karta. Maut tidak mengenal waktu kapan dia datang. Aki yang sudah tua masih diberi kesempatan hidup..!" kata Ki Ja'i kembali mengorek lukaku yang masih basah. Aku menunduk dan menarik nafas panjang memudarkan rasa sakit yang terus menerus mengusik hatiku.

"Aki sekarang mau ke mana?" tanyaku heran, jarak dari rumah Bi Narsih ke sini lumayan jauh. Kalau mau ke Rangkas, maka arahnya jelas bertolak belakang.

"Aki mau nyari rumah cucu Aki, gak tahunya udah pindah ke Tangerang.." jawab Aki Ja'i membuatku merasa iba. Pria yang kutaksir usianya sudah 70 an tahun.

"Ya sudah, Aki ke rumah Ujang aja. !" kataku mengajak Aki Ja'i ke rumahku. Ada sesuatu yang menarik dari Aki Ja'i yang membuatku sangat ingin dia untuk sementara waktu tinggal di rumahku. Ibuku tentu sangat mengenalnya.

"Kamu bukan Jalu anaknya Gobang?" tanya Ki Ja'i seperti heran mendengar aku menyebut namaku Ujang.

"Iya, saya Jalu, Ki. Tapi saya biasa dipanggil Ujang." kataku menjelaskan. Ki Ja'i mengangguk anggukan kepalanya tanda mengerti.

"Rumah kamu, jauh?" tanya Ki Ja'i.

"Lumayan, Ki. Dua kali naik Angkot." jawabku menggandeng Ki Ja'i agar naik Angkot yang berhenti tepat di hadapan kami.

Tidak sampai satu jam kami tiba di jalan masuk ke rumahku. Kami berjalan kaki dan melewati Warung Mie Ayam ibuku yang terlihat sepi. Biasanya senakin sore semakin ramai.

"Bu, lihat ini siapa?" tanyaku ke Ibu yang sedang menunggu pembeli di warung Mi Ayamnya bersama Mang Udin ayah tiriku.

"Ki Ja'i!" seru ibu seperti tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tangannya segera mencium tangan Ki Ja'i yang tertawa memamerkan giginya yang mulai ompong.

"Ki Ja'i..!" seru Mang Udin terkejut dengan kehadirn Ki Ja'i. Entah bagaimana caranya Mang Udin bisa mengenal Ki Ja'i.

"Mang Udin dulu pernah beberapa kali diajak ke rumah Ki Ja'i di Rangkas." kata Mang Udin menerangkan tatapan heranku.

Aku tersenyum mentertawakan kebodohanku, tentu saja Mang Udin bisa mengenal Ki Ja'i, bukankah Mang Udin pernah menjadi kepercayaan ayahku.

"Ki Ja'i biar istirahat di rumahku dulu, Bu..!" kataku melihat kebingungan Ibu yang tidak bisa menyambut kehadiran Ki Ja'i di warung. Tidak sopan rasanya.

"Iya, benar. Ki Ja'i istirahat di rumah Ujang dulu, ya..!" kata Ibu tersenyum senang.

"Nanti dulu, Aki lapar. Apa kamu gak mau nawarin Mie Ayam buatanmu. kom?" tanya Ki Ja'i membuatku tertawa lepas sejak kematian Mang Karta. Inilah pertama kalinya aku bisa tertawa lepas.

"Maaf Ki, Kokom lupa..!" jawab Ibuku tersenyum malu.

"Ujang juga, Bu..!" kataku. Sudah lama sekali aku tidak pernah makan Mie Ayam, padahal waktu jualan Mie Ayam, hampir setiap hari aku makan Mie Ayam untuk berhemat.

Dengan gesit ibu membuat dua mangkok Mie Ayam untuk kami berdua. Ki Ja'i dan Mang Udin asik berbicara. Aku tidak begitu mendengar apa yang mereka bicarakan. Aku larut dalam kesedihan.

Warung ini adalah warisan dari Mang Karta. Mang Karta yang membiayai dan memberi modal hingga ahirnya warung ini berdiri. Warung yang sebenarnya untukku. Tapi arah hidupku berubah drastis sejak ritual di Gunung Kemukus. Lebih tepatnya sejak aku ritual dengan Lilis dan Ningsih.

"Jang...!" usapan lembut ibu pada kepala menuadarkanku. Semangkok Mie Ayam sudah berada di hadapanku tanpa kusadari.

"Terimakasih, Bu..!" kataku berusaha tersenyum. Senyum yang terasa pahit. Aku mengaduk Mie Ayam menggunakan sumpit dengan pelan. Mataku kosong.

"Makan, Jalu..!" kata Ki Ja'i, suaranya seperti menyadarkanku. Menarik jiwaku yang tenggelam dalam duka.

"Eh, iya Ki..!" jawabku. Dengab cepat aku mengaduk Mie Ayam hingga rata dan melahapnya dengan cepat. Bentakan Ki Ja'i mengingatkanku ke sosok Abah yang galak dan menakutkan.

Setelah Mie Ayam habis, Aku segera mengajak Ki Ja'i ke rumahku. Sebenarnya bukan rumahku, rapi rumah Lilis. Aku dan Ningsih hanya menumpang. Itu rumah warisan mendiang Pak Budi untuk Lilis.

"Assalamu 'alaikum..!" aku mengetuk pintu rumah yang tertutup. Lilis dan Ningsih pasti berada di dalam sehingga pintu terkunci. Aku memencet bel sekali. Tidak lama kemudian Ningsih membuka pintu dan heran melihat Ki Ja'i yang belum pernah dilihatnya.

"Ning, ini Aki Ja'i sahabat Abah, kakekku..!" kataku menyambut uluran tangan Ningsih yang mencium tanganku.

"Och, mangga Aki, silahkan masuk..!" kata Ningsih beralih mencium tangan Ki Ja'i.

********

"A, percayalah...! Bukan Aa yang membunuh Mang Karta, tapi Mang Karta sendiri yang menginginkannya..!" kata Lilis yang melihatku melamun di ruang kerjaku.

"Tetapi memang begitu kenyataannya." jawabku lirih. Aku seperti anak harimau yang dipelihara sejak kecil, setelah besar aku menerkam orang yang sudah merawatku. Apakah aku masih pantas hidup?

"Sampai kapan A Ujang mau menangisi kematian, Mang Karta? Sampai kapan A Ujang akan terus menyesali semua yang sudah terjadi? Apakah dengan begitu Mang Karta akan hidup kembali?" tanya Ningsih yang tiba tiba masuk ke ruang kerjaku. Hal yang belum pernah dilakukan Ningsih, masuk tanpa mengetuk pintu.

Aku terdiam, bergantian memandang dua wanita cantik yang berdiri di hadapanku seperti sedang mendakwaku. Atau mungkin sedang menuntut semua tanggung jawab dan kewajibanku sebagai seorang ayah maupun seorang suami yang terbengkalai sejak kematian Mang Karta.

"Ingat anak kita yang masih sangat membutuhkan A Ujang.!" kata Lilis terlihat putus asa. Hal yang tidak pernah kulihat dari wajahnya yang selalu optimis dalam menghadapi semua masalah. Wajah yang tidak pernah menyerah, kini terlihat letih.

"Atau mungkin A Ujang lebih memilih neratapi kematian Mang Karta dari pada memikirkan kami yang selalu berada di samping A Ujang. Kami yang selalu siap berkorban untuk A Ujang..!" kata Ningsih. Aneh, kenapa wajahnya terlihat lebih tegar dari pada Lilis? Apa mereka sedang bertukar peran.

"Kalau A Ujang memang beranggapan, mati lebih pantas untuk A Ujang. Lakukanlah sekarang..!" kata Lilis melempar sebuah pisau belati yang sejak tadi disembunyikan di belakang punggungnya. Pisau itu jatuh di atas meja kerjaku menimbulkan bunyi keras yang mengagetkanku. Aku tidak percaya dengan apa yang dilakukan Ningsih. Ningsih yang kukenal sekarang menampakkan sisi lain sifatnya yang belum aku kenal.

"Teh, biarkan pecundang ini mengahiri hidupnya seperti keinginannya." kata Ningsih menarik tangan Lilis yang terpaku melihat apa yang dilakukan adiknya.

"Kamu gipa, Ning..!" kata Lilis lemah. Keteguhan dan kekuatan yang selama ini selalu ditonjolkannya hilang tidak berbekas. Dia berjalan setengah diseret Ningsih.

Aku terpaku heran melihat adegan yang terjadi di depan mataku. Heran, bagaimana mereka bisa bertukar peran dalam waktu yang sangat singkat. Apa yang sebenarnya terjadi dengan kedua istriku.

Pandanganku beralih pada pisau belati yang dilemparkan Ningsih di atas meja kerjaku. Pisau belati yang setahuku pemberian mertuaku dan selalu terpajang di ruang keluarga. Menurut cerita mertuaku, pisau belati ini adalah peninggalan ayahnya yang seorang pejuang kemerdekaan RU. Pisau belati yang direbut dari seorang tentara belanda yang berhasil dibunuhnya.

Aku meraih pisau belati yang yergelatak di atas meja kerjaku dan mencabutnya lepas dari sarungnya. Aku menciumnya, mencari bau darah yang pernah menempel di badan belati.

Perlahan aku menekan bagian tajamnya ke pergelangan tanganku. Mengukur letak urat nadi yang akan segera putus begitu aku menggerakkan pisau belati yang berada di genggaman tanganku. Pilihanku hanya satu.

"Mang Karta, si Ji'ih mati...!" kataku ke Mang Karta yang sedang asik membelah kayu bakar di samping rumah. Aku datang sambil menangis sambil memeluk ayam kesayanganku yang nati setelah bertarung dengan seekor anjing kampung.

"Mati kenapa, Jang...?" tanya Mang Karta meletakkan kampak yang digunakan membelah kayu bakar dan mengambil ayam kesayanganku yang kepalanya hampir putus akibat gigitan anjing kampung yang banyak berkeliaran di daerah kami.

"Tadi berantem sama anjing..!" jawabku, berusaha sekuat tenaga menahan tangisku jangan sampai terdengar oleh Abah, atau urusannya akan bertambah.

"Ayam hebat, dia mati dengan cara jantan. Bukan matu sebagai pecundang." aku heran melihat tatapan mata Mang Karta yang seperti kagum dengan cara kematian ayam kesanyanganku.

"Kita kubur ayammu..!" kata Mang Karta tidak memperdulikan tatapan heranku. Dia berjalan mendahuluiku ke semak semak yang ditumbuhi pohon pohon liar. Tanpa banyak bicara, Mang Karta menggali sebuah lubang menggunakan golol yang selalu tergantung di pinggangnya.


Aku menghujamkan belati ke meja kerjaku hingga terbenam separuhnya. Meja kerja yang terbuat dari kayu jati yang tebal itu tertembus oleh pisau belati yang sangat tajam. Aku bergidik ngeri membayangkan pisau belati itu hampir saja memutuskan urat nadiku. Tidak, aku tidak mau mati seperti seorang pengecut. Aku ingin mati dengan cara jantan seperti ayam kesayanganku. Ayam yang mendapatkan kehormatan oleh Mang Karta.

*******

"Seharusnya Ayahmu tidak mati dengan cara yang mengenaskan seperti itu..!" kata Ki Ja'i keesokan harinya saat kami duduk di pekarangan belakan rumah yang menghadap kontrakan yang pernah kutempati. Sekarang tidak ada lagi yang mengontrak, orang yang tinggal di kontrakan itu semuanya adalah anak buahku dan Lilis. Untuk menghindari kecurigaan masyarakat, mereka membawa keluarganya untuk tinggal. Di salah satu rumah itu tinggal ibuku dan Mang Udin serta adikku.

"Namanya juga maut, Ki. Tidak mengenal waktu kapan dia datang.!" aku menjawab dengan jawaban yang sama yang diucapkan Ki Ja'i kemarin.

"Memang benar. Tapi ayahmu punya ilmu kajayaan, begitu juga dengan pamanmu Mang Karta." kata Ki Ja'i kembali menohok hatiku.

"Lalu kenapa mereka seperti tidak mempunyai ilmu kebal ?" tanyaku ragu dengan apa yang dikatakan Ki Ja'i tentang ilmu kebal yang dimiliki ayahku dan Mang Karta..

"Bukan ilmu kebal, tapi kejayaan. Hampir sama tapi berbeda. Sehebat apapun luka ayahmu, dia tidak akan mati kecuali...!" Ki Ja'i tidak meneruskan kalimatnya. Aku menunggu Ki Ja'i meneruskan kalimatnya hingga kesabaranku habis, Ki Ja'i tetap diam.

"Kecuali apa, Ki?" tanyaku penasaran.

"Golok yang membunuh ayahmu terlebih dahulu di siram darah mens seorang perawan. Tapi hanya Aki dan ayahmu saja yang tau. Entah bagaimana caranya ada orang yang tahu." jawab Ki Ja'i menerawang jauh seolah sedang mencari tahu jawabannya.

"Lalu bagaimana dengan Mang Karta?" tanyaku lebih tertarik mengetahui penyebab kematian Mang Karta, padahal Mang Karta pun mempunyai ilmu kejayaan, kenapa begitu mudah mati di tanganku.

"Kejayaan Karta hanya bisa musnah olehmu. Karena Karta menitipkan keapesan ilmunya padamu." maksud Ki Ja'i? " tanyaku tidak mengerti apa yang sedang diucapkan Ki Ja'i.

"Ketika seseorang mempelajari kejayaan dia disuruh memilih senjata apa yang bisa membunuhnya. Ayahmu memilih mens gadis perawan karena itu dianggapnya sebagai cara paling sulit untuk diketahui musuh musuhnya. Sedangkan Karta memilihmu sebagai jalan matinya karena Karta beranggapan kamu tidak akan mencelakainya." kata Ki Ja'i membuatku terperanjat. Ini adalah hal yang paling tidak mau aku dengar. Mang Karta memilihku sebagai jalan matinya

Aku menatap wajah Ki Ja'i, berharap apa yang kudengar adalah salah. Tapi Ki Ja'i malah menatapku dengan pandangan matanya yang tajam. Pandangan mata jawara terhebat pada masanya. Pandangan yang sangat berwibawa.

"Kamu yang membunuh Karta. Hanya kamu yang bisa melakukannya. Gobang dan Shomad sendir tidak pernah berhasil membunuh Karta..!" kata Ki Ja'i.

Aku menunduk, mulutku terbungkam.

"Kamu yang melakukannya, Jang...?" tanya suara yang sangat aku kenal. Suara Bi Narsih. Aku melihat Bi Narsih berdiri di pintu menatapku tajam. Entah sejak kapan dia datang...

Bersambung
 
Terakhir diubah:
Cerita pertarungan antar jawara emang buat jantung deg-degan
Salut sama om suhu karena semua data yg di ceritakan itu benar
 
Mengingat bisnis gobang Adalah Dunia hitam .. ngga susah untuk dapetin darah perawan ..
Mang karta Tau kalo Ujang Adalah apesnya .. Dan dia juga Tau kalo Ujang punya sedikiiiiit ilmu beladiri .. tapi kenapa dia yg ngajak duel pertama Kali .. nekat mati ..
.
Apa ujang akan menceritakan semuanya dihadapan bi Narsih juga ki Ja'i
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd