Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Ritual Sex di Gunung Kemukus

Bimabet
Ini kudu di apresiasi,,kudu dikasih piala Oscar 10 biji..
Duuuuh..teu sabar nungguan ending na Agaaaaaan..
 
Chapter 12.

Aku terdiam, lidahku kelu untuk bisa digerakkan. Seperti maling yang sedang tertangkap basah dan siap menerima penghakiman masa. Tidak ada keinginan untuk membela diri.

"Kenapa diam, Jang? Apa kamu lupa dengan apa yang diajarkan oleh Mamangmu, lelaki harus berani bertanggung jawab atas apa yang dilakukakannya. Sepahit apapun resiko yang harus diterima." kata Bi Narsih merobek robek luka yang belum juga kering.

"Ya, ak ak akkku...!" kerongkonganku tercekik tidak mampu meneruskan perkataanku. Kepalaku tertunduk, mataku menatap lantai yang tidak mampu kupijak.

"Kamu pikir, kamu bisa membunuh Mamangmu? Kamu pikir kamu lebih hebat dari Mamangmu sehingga kamu bisa melenyapkan nyawanya dengan mudah? Bahkan ayahmu sendiri tidak pernah mampu membunuh ayahmu. Luka di tubuh Mamangmu akibat tikaman senjata musuhnya sebagai saksi bisu kehebatan Mamangmu.! Mamangmu itu jawara hebat, Bibi akui itu. Tapi Bibi juga tahu, Mamangmu bukanlah guru yang hebat, mamangmu tidak mempunyai kemampuan mendidik seorang murid menjadi sehebat dia." kata Bi Narsih memandangku sinis. Pandangan yang sangat meremehkan kemampuanku.

"Aku yang membunuh Mang Karta..!" kataku marah karena Bi Narsih meragukan kemampuanku. Kemampuan yang kupelajari dari Mang Karta. Ya, Mang Karta Ya menjadikanku sehebat seperti sekarang, bagaimana mungkin Bi Narsih meragukan hal itu. Dia menjadi saksi bagaimana Mang Karta menggemblengku.

"Sehebat itukah kemampuanmu sehingga kamu bisa membunuh Mamangmu? Dari mana kemampuanmu, itu?" tanya Bi Narsih sinis.

"Tentu saja Mang Karta Ya menempaku sehingga aku bisa sehebat seperti sekarang." jawabku. Kesedihan dan penderitaanku sejak Mang Karta terbunuh berubah menjadi kemarahan karena Bi Narsih terang terangan meragukan kemampuan Mang Karta yang sudah menempaku menjadi sehebat sekarang.

"Bibi tahu kemampuan Mamangmu sebagai seorang guru, dia hanya mampu menjadikanmu sebagai seorang pecundang,..! Ki Ja'i, apa Aki percaya dengan ocehan anak bau kencur ini?" tanya Bi Narsih menatap Ki Ja'i yang sejak tadi hanya mendengarkan perdebatan kami.

"Aki akui Karta jawara hebat yang jarang menemui lawan. Tapi sebagai guru yang hebat dan mampu mendidik murid hebat, Aki rasa Karta tidak mempunyai kemampuan seperti itu." jawab Ki Ja'i semakin membakar kemarahanku.

"Kata siapa aku tidak bisa melakukannya? Kata siapa aku tidak mempunyai kemampuan sehebat Mang Karta? Dia adalah guru sipat terbaik yang pernah ada, bahkan lebih baik dari pada kemampuan Ki Ja'i sebagai guru." kataku sambil berdiri dan menghentakkan kakiku ke lantai semen membuat lantai terbelah. Aku benar benar marah karena tidak rela kemampuan Mang Karta sebagai seorang guru sipat diremehkan walau yang meremehkannya adalah Bi Narsih dan Ki Ja'i yang sangat terkenal sebagai guru silat terbaik yang kemampuannya diakui oleh Abah.

Mereka harus tahu, kehebatan seorang guru adalah tahu setiap karakter murid yang mereka didik. Dengan begitu sang murid akan mencapai batas kemampuan terbaiknya dan Mang Karta sangat mengenal karakterku sehingga aku bisa mencapai kemampuan seperti sekarang.

"Ki, Narsih pengen lihat, setolol apa mendiang Kang Karta mendidiknya." kata Bi Narsih melihat ke arah Ki Ja'i yang sedang menghisap rokok daun kaungnya. Asap rokok berbau tembakau tercium

"Bi Narsih, masa aku harus bertarung dengan aki aki peot..!" tanyaku jengkel. Memang Ki Ja'i dulunya adallah seorang jawara yang nyaris tidak terkalahkan. Tapi usia pasti sudah membuatnya kehilangan kehebatan masa mudanya.

"Anak tolol, jangan remehkan Ki Ja'i, tenaga batinnya sudah melampaui tenaga jasmaninya." kata Bi Narsih tertawa sinis melihatku terang terangan meremehkan Ki Ja'i.

"Hahaha, aku ingin tahu sehebat apa anak didik Karta." kata Ki Ja'i, entah bagaimana caranya dia sudah meloncat dan melancarkan pukulan yang mengarah tepat ke dadaku. Ini bukan sebuah pukulan tapi sebuah cakaran dari jurus pamonyet. Sebuah jurus yang sangat jarang digunakan untuk menyerang. Jurus yang lebih sering digunakan untuk mengunci dan membanting lawan.

Reflek aku berkelit ke samping sambil berusaha menangkap pergelangan tangan Ki Ja'i yang belum sempat berdiri tegak. Tapi ternyata ini hanyalah gerakan tipuan, kakinya justru menyapu kakiku dan arah cakarannya justru berubah menjadi tonjokan lurus. Ini bukan pukulan cimande, tapi ini pukulan tonjong yang mengarah ke dagu. Pukulan yang sangat cepat sehingga aku harus bergerak mundur untuk menghindar.

Pukulan dan sapuan kaki bisa kuhindari dengan susah payah, tapi aku tidak bisa menarik nafas karena kembali Ki Ja'i menyerangku dengan pukulan bertubi tubi tidak memberiku kesempatan untuk balas menyerang. Gila, bagaimana bisa seorang Kakek renta bisa bergerak secepat ini dan tenagannyapun terasa kuat. Bukan kuat, tetapi terlihat seperti tidak bertenaga membuatku tergoda untuk menangkis dan mengukur kekuatan tenaganya.

Aku berhasil menangkis pukulan Ki Ja'i. Dug, gila pergelangan tanganku seperti patah. Rasa sakit menusuk sumsumku. Hebat, kekuatannya sangat dahsyat membuatku terhuyung ke belakang dan hampir jatuh kalau saja kuda kudaku tidak kuat.

"Budak tolol, bukan begitu cara membuang tenaga lawan. Itu akan membuat posisimu lemah..!" maki Ki Ja'i membuat wajahku merah karena malu.

Aku baru sadar, membuang tenaga lawan bukan dengan cara mundur. Itu artinya membuat pertahanan kita akan semakin terbuka dan kuda kuda kita akan menjadi lemah. Membuang tenaga pukulan paling efektik adalah satu kaki melangkah ke belakang dan kaki lain melangkah ke samping, itu yang selalu diajarkan Abah maupun Mang Karta dan satu lagi aku baru menyadari kelemahanku yang paling mendasar. Aku selalu merasa tertekan setiap kali aku harus bertarung maupun berlatih dengan orang lain. Berbeda saat aku berlatih dengan Mang Karta, aku bisa bertarung lepas dan kemampuanku meningkat hingga batas maksimal.

Belum sempat aku memperbaiki posisi kuda kudaku. Ki Ja'i kembali melancarkan pukulan yang sangat cepat tanpa bisa lagi aku hindari mendarat telak di dadaku sehingga aku terjungkal ke belakang. Belum sempat tubuhku menyentuh tanah, tanganku ditarik Ki Ja'i sehingga aku bisa berdiri tegak. Belum sempat keterkejutanku hilang, Ki Ja'i mencengketam leherku dengan keras membuatku sulit bernafas.

"Hahaha, hanya seperti ini kemampuan Karta mendidikmu...!" kata Ki Ja'i, cengkeramannya semakin kencang mencekik leherku. Sepertinya dia akan mematahkan leherku.

Aku benar benar panik berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangan Ki Ja'i. Aku berusaha meraih jempolnya dan mematahkannya agar melepas cengkeraman pada leherku. Jari Ki Ja'i sama sekali tidak bergerak, seolah terbuat dari besi. Kakek renta ini mempunyai kekuatan fisik yang di luar akal sehat.

Aku kesulita bernafas, kerongkonganku tercekik. Apa ini adalah waktuku untuk mati menemui Mang Karta? Mataku terbelalak dan pandangan mataku mulai berkunang kunang. Tiba tiba aku mendengar tangisan anakku yang keras kembali membangkitkan semangatku untuk lepas dari cekikan Ki Ja'i. Entah kekuatan dari mana, aku bisa melepaskan tangan kananku yang terkunci. Secepat kilat aku menotok jakun Ki Ja'i mengajaknya mati bersama. Jangkauan tanganku lebih panjang sehingga Ki Ja'i mau tidak mau harus melepaskan cekikannya untuk menyelamatkan jakunnya dari totokanku, totokan yang disertai tenaga pamungkas dari orang yang sedang sekarat.

Begitu cekikan Ki Ja'i lepas, aku mundur dan menarik nafas dengan terengah engah. Aku berusaha memperbaiki kuda kudaku dan juga nafasku bersiap menghadapi serangan Ki Ja'i yang bisa datang kapan saja. Kemampuan kakek renta ini benar benar luar biasa, dia bisa lepas dari hukum alam. Seharusnya usia membuatnya semakin lemah.

Tiga tahun yang lalu Mang Karta mengajakku meninton sebuah pertunjukan tari Topeng oleh penari legendaris yang lumpuh. Seingatku penari itu bernama Ni Sawitri atau siapa. Aku begitu musik dimainkan, Sang penari yang duduk di kursi roda bangun dan menari dengan gagahnya. Aku benar benar takjub dan heran, bagaimana mungkin seorang nenek nenek yang lumpuh bisa menari dengan gagah.

"Itulah kekuatan batin yang terasah selama puluhan tahun. Kekuatan yang melampaui kekuatan fisik. Itu sebabnya Abahmu masih mampu bersilat selama berjam jam tanpa kelelahab. Karna fisiknya sudah dikuasai kekuatan batinnya. Seperti seorang yang sedang trance, dia tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan dirinya." kata Mang Karta menjelaskan keharananku yang menatap takjub ke atas panggung.

"Seperti orang kesurupan, Mang?" tanyaku lugu.

"Hampir sama, tapi berbeda. Kalau kesurupan badan kita dimasuki ruh halus sehingga kita hilang kesadaran. Kalau trance, pikiran, tekad, kemauan kita hanya tertuju pada satu titik. Hanya titik itu yang ada pada diri kita sehingga kita tidak menyadari hal lain." jawaban Mang Karta membuatku bingung dan tidak mengerti.

Dan aku mulai mengerti apa yang dimaksud oleh Mang Karta waktu. Aku berusaha menyatukan semua pikiran, tekad dan semua latihanku selama belasan tahun. Aku berusaha meleburnya menjadi satu dalam helaan nafas, mengalir ke setiap pembuluh darahku dan berdetak dalam irama jantung.

Sebuah pukulan kilat dari Ki Ja'i dapat kulihat dengan jelas, reflek tanganku menangkis diiringi serangan yang kulancarkan mengarah rahang Ki Ja'i. Kakek renta itu benar benar hebat, seranganku bisa ditepiskan dengan mudah bahkan sebuah tendangan yang dilancarkan olehnya nyaris mengenai perutku. Untungnya dengkilku ikut terangkat menutup seranganya yang mengenaibdengkul.

Kami mundur selangkah dan bergerak memutar mencari kelemahan lawan. Kewaspadaan kami meningkat hingga puncak, kosentrasi dan tekad bersatu untuk menghadapi segala kemungkinan paling buruk. Inilah untuk pertama kali dalam hidupku seluruh indra di tubuhku hanya terpusat pada satu titik sehingga aku tidak menyadari kehadiran Bi Narsih maupun keadaan sekelilingku. Aku seperti berdiri sendiri di sebuah dimensi asing. Dimensi yang belum pernah aku masuki.

Ada sebuah serangan yang menuju ke arahku, aku tidak melihat siapa yang menyerangku, hanya sebuah serangan tak berwujud yang dengan perlahan aku hindari ke samping diiringi serangan balasan dariku yang tertuju ke arah sebuah bayangan bercahaya. Aku seperti sedang bertarung dengan bayangan. Gerakan memukul, menghindar dan menangki mengalir begitu saja dari tubuhku. Tidak ada lagi jurus yang aku ingat, semuanya mengalir tanpa kusadari. Hingga ahirnya sebuah serangan dariku seperti membentur benda asing yang langsung terjatuh diiringi teriakan kaget.

"Hebat....!" teriakan yang menyadarkanku. Aku melihat Ki Ja'i terlentang di lantai. Apa yang terjadi dengan Ki Ja'i? Ki Ja'i meloncat bangun dan kembali memasang kuda kuda.

"Bagaimana, Ki?" tanya sebuah suara yang sangat kukenal. Suara Bi Narsih memaksaku menoleh ke arahnya. Bi Narsih berdiri dengan bersandar pada tembok.

"Hebat, pantas Karta selalu membanggakannya. Hanya kebodohannya yang membuat kemampuan yang sebenarnya tenggelam dengan sia sia. Kalau saja dia tidak bodoh, mungkin Karta masih hidup." kata Ki Ja'i menohok ulu hatiku. Sekujur tubuhku bergetar menahan sesuatu yang bergejolak dari dasar hatiku.

"Dia tidak punya pilihan. Karta sendiri yang menginginkannya." jawab Bi Narsih membuatku terkejut dan heran dengan apa yang dimaksudnya.

"Maksud Bi Narsih, apa?" tanyaku berusaha mencari keterangan. Aku heran, kenapa Bi Narsih tidak marah padahal dia tahu aku yang membunuh Mang Karta.

. "Karena Mamangmu sendiri yang menginginkan kematiannya di tanganmu." jawab Bi Narsih. Jawaban yang sangat mengguncang jiwaku sehingga tubuhku sempoyongan dan jatuh tidak sadarkan diri.

*********

Aku terbangun di kamarku, sendirian. Tidak ada Ningsih maupun Lilis. Bahkan tidak ada anakku yang tertidur di ranjang mungilnya. Aku ditinggal sendirian, terpuruk oleh penyesalan yang nyaris membunuhku. Kenapa harus aku yang menjadi penyebab kematian Mang Karta. Kenapa bukan aku yang mati dalam pertempuran itu.

Aku bangun dan duduk di tepi ranjang. Menatap photo pernikahanku dengan Ningsih yang terpajang di dinding. Photo yang selama ini mampu membuatku tersenyum bahagia kini seperti sedang mentertawakanku. Mentertawakan nasibku. Mentertawakan perbuatanku yang sudah membunuh Mang Karta. Aku menunduk, tidak berani menatapnya.

Di meja kecil yang berada di samping ranjang, aku melihat sebuah kertas yang ditindih oleh gelas berisi air putih yang di sediakan untukku. Aku mengambil kertas itu, jantungku berdegup kencang melihat bagian bawah tulisan, ada nama Mang Karta lengkap dengan tanda tangannya. Tanda tangan yang sangat kukenal. Tanda tangan yang selalu menghiasi rapotku.

Untuk istriku, Narsih.

Saat kamu membaca surat ini, itu artinya aku sudah meninggalkanmu untuk selamanya. Tentram dalam timbunan tanah.

Istriku, aku sangat mencintaimu. Walau aku tahu kamu tidak pernah bahagia hidup denganku, karena kamu tidak pernah bisa mencintaiku. Aku yang selama ini tidak pernah mampu memberikan nafkah batin. Bahkan aku juga yang telah menjerumuskanmu ke dalam dekapan pria lain hanya untuk mendapat kenikmatan sesaat, padahal seharusnya aku yang memberimu kenikmatan itu.

Aku sudah memilih jalan kematianku agar kamu bisa terbebas dari penderitaanmu selama ini. Agar kamu bisa menikah dengan pria yang bisa memberimu kebahagian. Karena selama aku hidup, aku tidak akan pernah menceraikanmu seperti permintaanmu. Aku tidak akan membiarkan pria manapun bisa memperistrimu. Mereka hanya boleh menikmati tubuhmu, tapi tidak akan membiarkan mereka memilikimu.

Istriku, aku sudah mempersiapkan Ujang sebagai jalan kematianku. Awalnya, tujuanku menjadikan Ujang sebagai jalan kematianku adalah untuk menembus kesalahanku apa bila dia tahu akulah pembunuh ayahnya. Tapi ternyata bukan aku pembunuh Gobang. Itu sebabnya aku menjadikan Ujang sebagai kelemahanku. Kelemahan dari ilmu yang aku pelajari dengan berpuasa pati geni 7 hari 7 malam. Dan sekarang tujuanku mati di tangan Ujang adalah untuk membebaskanmu. Membebaskanmu untuk mendapatkan kebahagiaan yang tidak kamu dapatkan dariku.

Salam penuh cinta


Karta


Aku tidak percaya dengan apa yang aku baca. Aku kembali membacanya, lagi dan lagi sehingga aku hafal setiap kata pada surat yang ditulis oleh Mang Karta. Ternyata sejak awal dia sudah mempersiapkan kematiannya lewat tanganku. Tapi, kenapa harus aku yang dijadikannya sebagai orang yang membunuhnya.

"Jang, ikut Mang Karta!" kata Mang Karta yang tiba tiba muncul di belakangku yang sedang asik bermain kelereng.

"Ke mana, Mang?" tanyaku girang membayangkan petualangan yang akan kulakukan bersama Mang Karta.

"Ke huma, kita nginap di huma seminggu." kata Mang Karta membuatku bersorak kegirangan. Kami akan ke ladang yang berada di tengah hutan. Ada saung di sana untuk tempat menginap. Tempat yang sangat aku sukai terutama berburu ayam hutan untuk bekal lauk makan.

Kami segera berpamitan ke ibuku dan juga Abah untuk bermalam di huma. Dengan membawa bekal beras dan juga ikan asin, kami berangkat hari itu juga. Kami harus berjalan kaki setengah hari untuk mencapai huma. Perjalanan yang sangat menyenangkan untukku yang baru berusia 10 tahun.

"Jang, Mamang minta tolong sama kamu. Kamu mau kan nolong Mang Karta?" tanya Mang Karta setibanya kami di saung, hari mulai gelap. Mang Karta segera menyalakan lampu dengan bahan bakar minyak tanah yang kami bawa.

Mau Mang...!" kataku antusias. Aku bangga dimintai tolong Mang Karta.

"Kamu sudah bisa masak nasi, kan?" tanya Mang Karta. Matanya menatapku tajam, tidak seperti biasanya.

"Bisa, Mang..!" jawabku cepat. Aku sudah terbiasa membantu ibu memasak nasi walau Abah sering marah melihatku ikut membantu ibu memasak di dapur.

"Bagus, Mamang minta tolong kamu buat jagain Mamang. Besok Mamang akan Pati Geni 7 hari 7 malam. Kamu lihat batok kelapa ini.?" tanya Mang Karta sambil menunjuk batok kelapa yang biasa digunakan sebagai gayung.

"Iya, Mang..!" jawabku heran dengan pertanyaan Mang Karta yang bertele tele.

Mang Karta mengambil kendi yang dibawa dari rumah. Kendi kecil yang biasa digunakan berziarah ke makam. Mang Karta menumpahkan air yang berada dari dalam kendi ke batok kelapa.

"Air ini setiap Magrib kamu olesin ke perut dan tenggorokan dengan menggunakan daun sirih ini. Lalu kamu kepal nasi, terus kamu olesin ke tenggorokan dan perut paman. Sambil baca...........bla bla bla. Ingat, air ini jangan sampai tumpah, kalau tumpah berakibat fatal." kata Mang Karta menerangkan apa yang harus aku lakukan.

Jantungku berdegup kencang sambil mengikuti mantra yang Mang Karta baca. Aku aku mengulangnya hingga benar benar hafal. Aku bangga mendapat kepercayaan dari Mang Karta, kepercayaan yang sangat luar biasa. Aku benar benar bangga mendapatkan kepercayaan dari Mang Karta dan menjadi saksi Mang Karta yang sedang mempelajari sebuah ilmu yang akan membuatnya menjadi semakin hebat.

"Kamu maukan,?" tanya Mang Karta lembut.

"Iya, Mang. Mang Karta belajar ilmu apa?" tanyaku antusias. Keberhasilan Mang Karta sekarang berada di tanganku.

"Ilmu yang akan membuat Mamang gak bisa dibunuh orang kecuali orang itu adalah...!" Mang Karta tidak .elanjutkan perkatannya.

"Kecuali siapa, Mang?" tanyaku penasaran.

"Nanti kamu juga tahu, yu kita makan." kata Mang Karta membuka bekal yang kami bawa dari rumah.

Keesokan harinya Mang Karta mulai melakukan pati geni, bersila dengan husu tanpa memakai baju hanya memakai celana pangsi. Sedangkan aku terpaksa harus mengurus keperluanku sendiri. Memasak dan mengambil air yang terletak di parit kecil yang mengalir dengan airnya yang jernih.

Hari pertama hingga hari ke empat Mang Karta masih berila dengan tegap. Memasuki hari ke empat, Mang Karta tidak mampu bersila. Tubuhnya tergolek lemah. Aku mulai hawatir melihat kondisinya. Tubuhnya terbaring lemah dengan tangan bersilang pada dadanya. Tubuhnya sama sekali tudak bergerak. Satu satunya tanda yang menandakan Mang Karta masih hidup adalah gerak perutnya yang turun naik dengan pelan. Menandakan dia masih bernafas.

Setiap maghrib aku terus mengoleskan air dan sekepal nasi ke tenggorokan dan perutnya. Bahkan aku mulai jarang meninggalkan Mang Karta. Aku takut Mang Karta mati karena tidak makan dan minum selama lima hari.

Hari ke enam ketakutanku semakin memuncak. Aku nyaris tidak melihat gerakkan perut paman. Aku meraba hidungnya untuk memastikan Mang Karta masih hidup. Nafas Mang Karta terasa lemah. Aku menangis takut. Semalaman aku menangis hingga ahirnya aku tertidur.

Jeesokan harinya saat aku terbangun adalah memeriksa Mang Karta, berharap dia masih hidup. Aku menarik nafas lega setelah melihat Mang Karta masih bernafas.

Hingga ahirnya genap 7 hari 7 malam Mang Karta melakukan pati geni. Aku segera meneteskan air menggunakan daun sirih sebanyak 7 x. Perlahan Mang Karta membuka matanya. Bibirnya tersenyum lemah. Aku segera menyendokkan air tajin yang sudah kusiapkan sebanyak tujuh sendok seperti yang sudah diberitahu Mang Karta. Itu artinya Mang Karta sudah selesai.

"Terrrima....kas....sih Jang." kata Mang Karta dengan suara lemah. Aku menarik nafas lega melihat Mang Karta mulai bicara setelah sekian lama diam seperti patung.


Baru aku sadar siapa orang yang dimaksud oleh paman. "Ilmu yang akan membuat Mamang gak bisa dibunuh orang kecuali orang itu adalah...!" orang yang dimaksud paman adalah aku.

"Kamu sudah tahu kenapa Mamangmu mati?" tanya Bi Narsih yang tiba tiba sudah berdiri di ambang pintu kamar yang terbuka. Entah sejak kapan dia sudah berdiri di situ tanpa aku sadari.

Aku menatap Bi Narsih dengan perasaan yang sulit kugambarkan.

"Ini semua bukan salahmu." kata Bi Narsih melangkah masuk menghampiriku dan duduk di sampingku.

"Kenapa Mang Karta memilih, Ujang?" tanyaku lemah. Bi Narsih memelukku dan kami sama sama menangis. Lama kami berpelukan sambil menangis. Hingga kami lelah untuk menangis lagi.

"Jang, Desy diterima masuk AKPOL. Dia ingin mencari pembunuh ayahnya." kata Bi Narsih membuatku lemas. Apakah yang kubayangkan akan terjadi? Desy menarik pelatuk pistolnya di kepalaku dan, Dorrrrrr.

Bersambung.
 
Makasih suhu atas updatenya..
Kasihan Ujang slalu merasa bersalah atas kematian mang Karta..Apalagi ditambah niat Desi yag berniat mencari pembunuh ayahnya..
 
Masih nungguin gmn ceritanya narsih bisa meninggal, karena di karma jelas2 ujang/jalu ngomong klo pembunuh karta dan narsih itu ujang
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd