Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Ritual Sex di Gunung Kemukus

Bimabet
Bingung mau koment apa...xixixi....
Masih penasaran dengan kematian bi Narsih nich om@satria73.....
Masih nungguin gmn ceritanya narsih bisa meninggal, karena di karma jelas2 ujang/jalu ngomong klo pembunuh karta dan narsih itu ujang
Masih nungguin gmn ceritanya narsih bisa meninggal, karena di karma jelas2 ujang/jalu ngomong klo pembunuh karta dan narsih itu ujang
kalau kronologi kematian Bi Narsih terungkap, itu artinya mendekati bahkan menjadi ahir cerita
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Mantep suhu...updatenya
:jempol::jempol::jempol:

Ngomng-ngomong pas pati geni mang karta tidur enggak ya....??kok matanya merem...

Pati geni kan anggak boleh tidur....
 
Mantep suhu...updatenya
:jempol::jempol::jempol:

Ngomng-ngomong pas pati geni mang karta tidur enggak ya....??kok matanya merem...

Pati geni kan anggak boleh tidur....
pati geni, menutup semua indra, kosentrasi pada membaca mantra. semacam tapa brata.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Chapter 13

"Kehidupan kita belum berahir hanya karena kematian, Mamangmu. Masih banyak yang harus kita lakukan. Bibi harus memikirkan adik adikmu Desy dan Dinda. Kamu juga harus memikirkan istri istrimu, anak anakmu, ibu dan juga adik adikmu. Itu semua tanggung jawab yang sangat besar. Tanggung jawab yang membutuhkan keberanianmu untuk tetap hidup dan berjuang membahagiakan mereka. Untuk mati itu mudah, untuk hidup jauh lebih sulit. Tunjukkan keberanianmu seperti yang diinginkan Mang Karta, melihatmu menjadi pria hebat yang bisa melindungi orang orang yang mencintaimu." kata Bi Narsih memeluk dan menciumiku.

Aku hanya menunduk, berusaha mencerna semua kalimat yang diucapkan Bi Narsih. Kalimat yang sedikit banyak mulai mengaburkan dukaku, penyesalanku dan rasa putus asa yang begitu mendalam.

"Setiap orang akan mengalami mati dengan cara yang berbeda dan waktu yang juga berbeda." kata Bi Narsih suaranya semakin tenang. Rupanya Bi Narsih mulai bisa menguasai dirinya.

"Bi Narsih gak membenciku?" tanyaku heran, bagaiman caranya Bi Narsih bisa menerima semuanya dengan lapang dada, padahal pembunuh suaminya ada di depan matanya. Menunggu pembalasan dendam darinya.

"Mamangmu yang menginginkan kematiannya dengan cara begitu. Kematian yang menurutnya indah. Pikirkanlah, Bi Narsih pulang dulu. Och ya, menurut saran Bi Narsih, kamu menyepi dulu ke tempat Ki Ja'i untuk beberapa minggu. Kemampuanmu harus terasah sehingga tidak mati konyol seperti ayahmu." kata Bi Narsih meninggalkanku sendiri di dalam kamar.

"Bi...!" seruku sebelum Bi Narsih menutup pintu. Aku menatapnya penuh harap Bi Narsih kembali masuk untuk sekedar kembali memelukku. Bukan hanya sekedar memeluk, tapi mencumbuku, memberikan kehangatan tubuhnya untuk meyakinkanku bahwa dia tidak membenciku. Bukan hanya kalimat yang terucap dari bibir tipisnya yang sensual.

"Ponakan Bibi yang nakal...!" Bi Narsih kembali masuk dan menutup pintu kamar, sepertinya dia tahu apa yang kuinginkan.

"Ujang....!" belum sempat aku meneruskan perkataanku, Bi Narsih melumat bibirku dengan mesra dan bernafsu.

Aku balas melumat bibir Bi Narsih dengan bergairah. Kupeluk tubuhnya yang langsing hingga aku jatuh terlentang. Ciuman kami begitu panas, tidak perduli sewaktu waktu Ningsih bisa saja masuk ke dalam kamar dan memergoki perbuatan kami yang di luar batas.

Aku meremas pantat Bi Narsih yang besar dan kenyal. Meremasnya dengan bernafsu wanita yang seharusnya kuhormati seperti menghormati ibuku.

"Anak nakal, Bibi sendiri kamu ajak ngentot..! Jangan di sini, ini kamar Ningsih, Bi Narsih gak mau melukai hati istri istrimu." kata Bi Narsih menatapku mesra. Bi Narsih bangkit dari atas tubuhku dan menarikku agar kembali duduk.

"Tapi, Bi..!" aku menatap Bi Narsih, keinginanku untuk menikmati tubuhnya harus kutahan. Apa yang dikatakan bi Narsih itu benar.

"Bibi harus pulang mempersiapkan keperluan Desy. !" kata Bi Narsih sambil memberiku ciuman kilat di bibir. Bi Narsih keluar meninggalkanku sendiri.

"Jang, pikirkan perkataan Bibi yang tadu, lebih baik untuk sementara waktu kamu ikut Ki Ja'i untuk mengasah kemampuanmu agar benar benar matang..!" kata Bi Narsih di ambang pintu dan tanpa menunggu jawabanku, Bi Narsih menutup pintu kamar.

Setelah Bi Narsih keluar dari kamar, aku melipat surat dari Mang Karta dan dengan hati hati. Aku masukkan ke dalam dompet. Surat ini sangat berharga dan akan aku bawa ke manapun aku pergi. Surat bukti bahwa kematian Mang Karta adalah sebuah bunuh diri. Perlahan aku menari nafas, memenuhi rongga dadaku dengan oksigen dan mengalirkannya ke seluruh pembuluh darahku sebagai sebuah tekad untuk tetap hidup.

"A...!" sapa Ningsih yang tiba tiba masuk ke dalam kamar tanpa mengetuk pintu sambil menggendong anak kami yang tertidur lelap.

"Mungkin benar kata, Bi Narsih. A Ujang untuk sementara waktu ikut Ki Ja'i untuk mengasah kemampuan. " kat Lilis yang berada di belakang Ningsih, wajahnya yang cantik tersenyum manis sepertinya beban selama beberapa hari terangkat dari pikirannya.

"Untuk apa?" tanyaku heran. Apa benar aku perlu mengasah kemampuan agar bisa mengungguli para jawara legendaris.

"Karena A Ujang hidup di dunia hitam. Dunia tanpa hukum. Siapa kuat, dialah yang menang." jawab Lilis tegas. Ketegasan yang selalu membuatku takluk.

*******

"Gimana, Ki?" tanyaku ke Ki Ja'i setelah mengatakan keinginanku berguru padanya untuk menyempurnakan semua ilmu silat dan kegagahan yang kupelajari dari Abah dan Mang Karta. Ini bukan hanya sekedar keinginan Bi Narsih, Lilis maupun Ningsih. Ini juga keinginanku untuk bisa bangkit dari kertepurukanku

"Aki lihat kemampuan silat dan tenaga batinmu sudah menyamai kemampuan mendiang ayah dan pamanmu. Hanya ilmu kegagahanmu saja yang perlu kamu sempurnakan. Tapi Aki hanya bisa memberimu petunjuk untuk menyempurnakan ilmu tersebut..!" kata Ki Ja'i tidak meneruskan perkataannya, dia melihat ke arah Lilis dan Ningsih bergantian. Sepertinya dia merasa ini adalah pembicaraan yang hanya dilakukan oleh dua orang pria dan tidak seharusnya dihadiri oleh wanita. Mungkin Ki Ja'i juga merasa bahwa apa yang dikatakannya adalah sebuah rahasia yang harus tertutup rapat.

"Katakan saja, Ki..! Tidak ada rahasia diantara, Kami." kata Lilis langsung mengerti arti tatapan Ki Ja'i ke arahnya. Dengan kecerdasan yang dimilikinya, Lilis dengan mudah menebak arti tatapan Ki Ja'i.

"Iya, Ki..!" kata Ningsih mengiyakan perkataan Lilis. Memang, tidak ada rahasia diantara kami bertiga.

"Dulu ayahmu datang kepadaku untuk belajar sebuah ilmu yang bernama, Aji Palengket. Salah satu tujuannya mempelajari ilmu itu adalah agar semua ilmu kanuragannya bisa diwariskan kepadamu tanpa bersentuhan. Salah satu ilmu yang langsung kamu warisi tanpa ritual adalah Aji Dananjaya atau yang lebih dikenal dengan sebutan ke Arjunaan. Dananjaya adalah nama lain Arjuna dalam kisah pewayangan., Aji itulah yang harus kamu sempurnakan, karena Aji itu bukan hanya sekedar Ilmu Asihan, pelet tapi lebih dari itu, Aji itu adalah Ajian yang sangat dahsyat karena konon Arjuna sangat sakti sehingga mampu mengalahkan para dewa. Cuma sayangnya Aji Dananjaya yang ayahmu pelajari dengan cara sesat..!" kata Ki Ja'i berhenti bercerita. Kami semua menunggu kelanjutan ceritanya dengan tegang. Sesat apa ilmu yang dipelajari oleh ayahku.

"Aji Dananjaya yang ayahmu pelajari berbau sesat, dia melakukan ritual memperawani 7 wanita di Gunung Kemukus selama 7 hari 7 malam. Seharusnya itu dilakukannya sebanyak 7 kali purnama, tapi sepertinya hal itu tidak berhasil dilakukan ayahmu karena sebuah janji yang diingkarinya.." kata Ki Ja'i, sepertinya dia tahu banyak tentang ayahku.

Aku, Lilis dan Ningsih saling berpandangan kaget mendengar penjelasan Ki Ja'i. Kamipun bertemu di Gunung Kemukus, tempat pertama kali aku bertemu dengan Ningsih hingga ahirnya Ningsih menjadi istriku. Tempat yang membuatku terseret dalam dunia hitam. Tempat yang membuatku mempunyai tiga orang istri yang cantik cantik.

"Dari mana, Ki Ja'i tahu hal itu?" tanyaku dengan jantung berdegup kencang ingin segera mendengar penjelasan Ki Ja'i hingga tuntas. Aku semakin percaya dengan kemampuan Ki Ja'i bukan hanya sekedar omong kosong, kakek renta ini benar benar punya kemampuan yang selalu di puji puji Abah.

"Ayahmu dulu datang dengan membawa sebuah lontar yang berisi mantra. Lontar yang berusia ratusan tahun yang ditemukannya dari sebuah Candi yang bernama, kalau Aki tidak salah Candi Sukun yang terletak di Jawa Tengah." kata Ki Ja'i, matanya menerawang seperti sedang mengingat kejadian puluhan tahun silam. Aku tidak tahu, waktu itu aku sudah lahir apa belum dan aku tidak tertarik untuk mengetahuinya. Aku lebih tertarik dengan isi lontar tersebut.

Dalam hayalanku, lontar itu pasti berisi ilmu sakti seperti yang sering aku baca dari cerita cerita silat yang memperebutkan kitab sakti yang akan membuat orang yang mempelajarinya menjadi sakti mandraguna tanpa tanding. Apakah isi lontar tersebut adalah ilmu sakti.

"Sebuah lontar berusia ratusan tahun, bagaimana caranya ayah Gobang tahu itu adalah sebuah mantra.?" tanya Lilis, sepertinya dia melihat sebuah keanehan. Ya, benar juga apa yang ditanyakan Lilis, bagaimana caranya Ayahku mengetahui bahwa lontar itu berisi mantra dan tata cara ritual mempelajari ilmu tersebut, padahal menurut ibuku, Ayahku hanyalah lulusan SD.

"Ayahmu sebelum datang ke Aki, dia lebih dahulu datang ke orang yang bisa membaca tulisan tersebut. Orang itu menterjemahkan tulisan lontar yang berisi mantra dan ritual kuno untuk mendapatkan Aji Dananjaya. Dari situ ayahmu mencari tempat untuk melakukan ritual, tempat yang mempunyai aura yang mendukung dan ayahmu menemukan tempat itu adalah Gunung Kemukus. Ayahmu datang ke Aki untuk meminta restu.." kata Ki Ja'i kembali menerawang jauh.

"Lalu apa hubungannya dengan A Ujang?" tanya Ningsih.

"Ayahmu datang meminta restu dan sekaligus meminta bantuan Aki agar ilmu yang akan dipelajarinya menitis padamu tanpa kamu pelajari. Waktu itu kamu masih dalam kandungan ibumu. Itu sebabnya kamu mempunyai pesona yang membuat wanita tergila gila padamu, itu sebabnya kamu tidak mati walau kamu tertusuk pisau yang mengenai organ fitalmu.." kata Ki Ja'i menatapku tajam.

"Och begitu, Ki..! Jadi A Ujang tidak perlu lagi belajar ke Ki Ja'i? Pantas saja waktu pertama kali liat A Ujang, Ningsih langsung jatuh cinta, ternyata Ningsih kena pelet, A Ujang." Ningsih tersenyum menggodaku.

"Ilmu yang berada pada kamu itu mentah, harus diasah agar menjadi sempurna." kata Ki Ja'i menatap kami bergantian.

"Maksud Aki, A Ujang harus menyempurnakan ritual di Gunung Kemukus? Tapi A Ujang sudah melakukan ritual di Gunung Kemukus dan sepertinya sudah sempurna..!" kata Lilis, sepertinya dia mulai keberatan kalau aku kembali ke Gunung Kemukus.

"Hahaha, kalian cemburu atau tidak rela?" tanya Ki Ja'i ke Lilis dan Ningsih.

"Bukan begitu maksudnya, Ki..!" jawab Lilis. Dia terlihat bingung harus mengatakan apa. Baru pertama kali aku melihat Lilis terlihat gugup dan tidak tahu harus berkata apa.

"Jang, apa kamu merasa ilmu warisan ayahmu sudah sempurna? Bahkan ayahmu sendiri tidak bisa menyempurnakannya." tanya Ki Ja'i menatapku tajam.

"Saya gak tahu, Ki. Hanya saja saya sering bermimpi aneh..!" aku mulai menceritakan mimpi mimpiku sejak melakukan ritual. Mimpi yang kuingat dengan jelas detilnya.

"Itu artinya ilmu yang kamu warisi masih mentah. Ilmu itu hanya bereaksi saat keadaanmu terjepit dan dalam keadaan terancam. Ilmu yang pasif. Seperti sebuah golok yang tergantung begitu saja tidak pernah kamu rawat." kata Ki Ja'i tenang.

"Jadi harus bagaimana, Ki? Melakikan ritual dengan 7 perawan selama 7 malam dan di lakukan selama 7 purnama itu artinya A Ujang harus memerawani 49 gadis perawan. Itu sangat sulit, Ki..!" kata Lilis. Kegelisahannya terlihat jelas. Mendengar apa yang dikatakan Lilis membuatku terkejut dan baru menyadari situasi yang sedang kualami. Aku harus melakukan ritual dengan 49 perawan, itu hal yang mustahil.

"Ada cara lain tanpa harus melakukan ritual dengan 49 perawan..!" jawab Ki Ja'i sambil tersenyum memperlihatkan gusinya yang ompong. Dalam situasi normal mungkin aku akan mentertawakannya.

"Bagaimana caranya, Ki?" kataku berbarengan dengan Lilis dan Ningsih. Ada titik cerah untuk bisa menyempurnakan ilmu titisanku yang selama ini tertidur.

"Setahun yang lalu Gobang datang kepada Aki, dia mengatakan perihal ritual yang harus disempurnakan Ujang...!" kata Ki Ja'i sambil menatapku tajam seakan ingin membaca pikiranku.

"Saya harus bagaimana, Ki?" tanyaku gelisah. 49 perawan, jumlah yang sangat sulit aku penuhi. Bahkan ayahku saja tidak sanggup.

"Ada seorang wanita yang ditunjuk ayahmu untuk menyempurnakan ritualmu yang harus dilakukan selama 7 hari 7 malam. Wanita itu mempunyai tanda lahir dan juga lahir pada malam jum'at kliwon tepat pada saat purnama berada pada puncaknya. Wanita yang diyakini akan menyempurnakan ilmu yang kamu warisi." kata Ki Ja'i.

"Maksud Aki, aku tidak perlu melakukan ritual dengan 49 perawan?" tanyaku menarik nafas lega.

"Aduhhhh..!" aku berteriak kesakitan, Ningsih mencubit tanganku dengan keras.

"A Ujang, gak boleh denger kata perawan langsung nafsu..?" omel Ningsih tidak bisa menyembunyikan rasa cemburunya.

"Imi masalah ritual, sayang..!" jawabku sambil tersenyum melihat Ningsih yang cemburu.

"Siapa wanita itu, Ki?" tanya Lilis terlihat antusias. Sekaligus menyudahi perdebatanku dengan Ningsih.

"Dia, cucu Aki." jawab Ki Ja'i membuatku terkejut. Wanita yang akan menuntunku untuk menyempurnakan ilmuku adalah cucu Ki Ja'i sendiri. Apakah ini tidak akan menambah masalah di kemudian harinya.

"Yang milih cucu Aki untuk menyempurnakan ritual A Ujang itu Ayah Gobang atau Aki sendiri?" tanya Lilis heran.

"Kami berdua sesuai dengan petunjuk pada lontar." kata Ki Ja'i terlihat tenang. Gila, bagaimana mungkin Ki Ja'i setenang itu padahal jelas jelas dia akan mengorbankan cucunya sendiri.

"Aki rela membiarkan cucu Aki demi kesempurnaan, A Ujang?" tanya Lilis mewakili pertanyaan yang baru saja akan aku tanyakan.

"Hahaha, kami para jawara sangat tergila gila dengan ilmu kedigjayaan. Kami ingin melihat dan mengalami puncak kedigjayaan yang belum pernah bisa kami raih. Seperti kecanduan, sehingga kami rela melakukan apa saja untuk meraihnya. Aki ingin tahu sehebat apa Aji Dananjaya dari aliran chakra bhairawa yang sudah punah ratusan tahun lalu. Aku ingin menyaksikannya lewat dirimu." jawab Ki Ja'i. Jawaban yang kuanggap gila, tapi itulah kenyataannya.

"Hanya sebuah ilmu Aki rela merusak masa depan cucu, Aki?" tanyaku tidak habis pikir.

"Masa depan cucu Aki tidak akan rusak dengan melakukan ritual, bahkan masa depannya akan semakin cerah setelah melakukan ritual. Dia akan mendapatkan jodoh yang membuat cucu Aki jadi orang kaya secara materi, orang berpangkat sehingga bisa mengangkat derajat orang tuanya." jawab Ki Ja'i begitu yakin dengan prinsipnya.

Prinsip dan keyakinan yang sama yang kualami saat pertama kali Mbak Wati mengajakku melakukan ritual di Gunung Kemukus. Tujuan para pelaku ritual sex di Gunung Kemukus sudah jelas, mereka ingin terlepas dari kemiskinan dan menjadi kaya. Termasuk aku, walau banyak pula yang datang dengan niat yang berbeda.

Ningsih yang ingin terlepas dari kesialannya sehingga tiga kali dia akan menikah, semua calon suaminya mati dengan cara yang tidak wajar. Ahirnya Ningsih bertemu denganku di Gunung Kemukus dan melakukan ritual denganku hingga ahirnya dia menjadi istriku.

Lilis yang ingin mempunyai anak, rela melakukan ritual denganku hingga hamil. Sekarangpun dia menjadi istriku. Dan banyak pagi orang yang datang membawa maksud dan tujuan yang berbeda.

"Terus bagaimana, Ki? Apakah cucu Aki akan mau melakukan ritual denganku dan melepaskan keperawanannya?" tanyaku penasaran.

"Dia sudah tahu rencana ini dari Gobang dan dia bersedia melakukannya. Tujuanku datang ke Bogorpun sebenarnya untuk menemuimu. Tapi begitu aku sampai rumah Karta, ternyata Karta sudah meninggal. Sekarang kamu beli dua buah tiket bis ke Solo untuk minggu depan. Satu untuk kamu dan satu lagi untuk cucuku. Kalian akan bertemu di dalam bis." jawab Ki Ja'i.

*******

Pada hari yang sudah ditentukan, aku menunggu gadis yang akan menjadi teman ritualku di terminal bis yang akan membawa kami ke Solo. Aku belum pernah bertemu dengan gadis cucu Ki Ja'i. Ki Ja'i hanya menyuruhku menunggu di terminal bis setelah sebelumnya aku membeli dua buah tiket ke Solo, satu buah tiket aku berikan ke Ki Ja'i untuk diberikan kepada cucunya.

Ya, cucu Ki Ja'i akan datang sendiri menemuiku di dalam bis. Persoalannya, aku belum tahu wajahnya seperti apa. Aku melihat jam tanganku, masih 30 menit lagi bis akan berangkat. Aku memesan kopi sambil menunggu bis datang sekaligus melihat seperti apa cucu Ki Ja'i yang menurut pengakuan Ki Ja'i baru berusia 18 tahun.

Datang seorang wanita muda dengan tubuh gemuk, bahkan terlalu gemuk untuk tubuhnya yang pendek. Apa mungkin dia adalah cucu Ki Ja'i? Aku menarik nafas saat gadis itu duduk di sampingku memesan segelas teh manis hangat. Terlalu gemuk, walau wajahnya terlalu manis. Apa dia yang akan menjadi patner ritualku, patner yang akan menyempurnakan ritualku. Semoga saja, bukan.

"Bis yang ke Solo masih lama ya, A?" tanyanya menoleh kearahku sambil tersenyum memamerkan deretan giginya yang rata dan putih seperti iklan pasta gigi.

"Masih...!" jawabku mengurungkan niatku untuk menanyakan namanya. Gairahku langsung hilang membayangkan melakukan ritual dengan wanita di sampingku. Gadis yang sangat gemuk. Pantas Ki Ja'i menyuruhku bertemu di bis saat akan berangkat ke Solo. Rupanya dia takut aku menolak untuk melakukan ritual dengan cucunya sehingga dia tidak akan pernah melihat kehebatanku setelah ritual sempurna.

"Aa mau ke Solo, bukan?" tanya gadis itu lagi berusaha memamerkan senyum terbaiknya. Harus kuakui, gadis ini sangat manis, andai tubuhnya tidak sangat gemuk akan banyak pria yang tergila gila padanya. Sayang, beribu sayang, pikirku.

Kenapa juga aku harus berpikir tentang tubuhnya, bukankah artinya nafsuku lebih dominan dari pada tujuanku untuk menyempurnakan ritual. Menyempurnakan ilmu yang kuwarisi dari ayah tanpa kusadari. Bukankah itu yang lebih utama dari pada memikirkan bentuk tubuh gadis yang berada di sampingku. Tidak ada salahnya aku melakukan hubungan sex dengan wanita bertubuh super gemuk.

"Iya, kamu juga mau ke Solo?" tanyaku berusaha tersenyum untuk mencairkan suasana yang terasa kaku. Senyum yang terlalu dipaksakan sehingga aku merasa sedang menyeringai.

"Iya, dari Solo ke Gunung Kemukus jauh gak, A?" tanya gadis itu semakin membuatku yakin dia adalah cucu Ki Ja'i.

"Udah deket, gak sampe satu jam. Kamu ke Gunung Kemukus sendiri?" tanyaku sambil menghisap asap rokok, untuk mengusir bentuk tubuhnya yang tidak membuatku berselera.

"Berdua, ini lagi nunggu temen. Kok belum datang juga ya?" tanya gadis itu bertanya pada dirinya sendiri. Berarti gadis ini belum tahu, kalau aku adalah orang yang ditunggunya.

Nasibku yang selalu dikelilingi wanita cantik dan bertubuh indah rupanya mulai berhenti sejak kedatangan gadis di sampingku. Sekarang aku tidak punya pilihan lain, kecuali bersedia menjadi pasangan ritual gadis yang duduk di sebelahku demi kesempurnaan ritual.

"Nunggu di dalam saja yuk, A..! Di sini panas..!" ajak gadis itu saat bis jurusan Solo berhenti tidak jauh dari kami.

Aku hanya mengangguk dan segera membayar minumanku dan juga minuman gadis itu yang langsung mengucapkan terimakasih. Keberuntungan dikelilingi wanita cantik sudah habis, pikirku sambil berjalan masuk ke dalam nis diikuti gadis super gemuk itu.

"Yoyoh, tunggu...!" seru suara merdu yang berteriak nyaring.

"Limah, kamu lama amat datangnya..!" tanya si cewek gemuk membuatku berhenti melangkah dan reflek membalikkan tubuhku.

Aku terpana melihat seorang gadis cantik berdiri memegang tangan gadis super gemuk yang kuduga cucu Ki Ja'i. Gadis itu sangat cantik dengan balutan hijabnya yang berwarna pink. Penampilannya mengingatkanku dengan penampilan Lilis.

"Maaf, tadi jalannya macet. Untung bisnya belum berangkat." kata gadis itu memeluk gadis super gemuk sebagai permintaan maaf. Mereka saling menempelkan pipi kiri dan kanan tanpa menghiraukanku yang berdiri tidak jauh dari mereka. Aku yang sedang terpesona melihat kecantikan gadis yang baru datang.

"Yuk, kita naik...!" gadis cantik itu menggandeng tangan gadis super gemuk melewatiku begitu saja. Sepertinya dia menganggapku seperti patung yang tidak bernyawa.

Aku mengikuti ke dua gadis itu naik ke dalam bis. Mataku mencari nomer bangku milikku. Tap ke dua gadis itu sudah duduk di bangku yang nomernya sama dengan yang tertera di tiketku.

Bersambung.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd