Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Ritual Sex di Gunung Kemukus

Akhirnya kelar juga baca secara estapet :semangat:

Di tunggu updatenya suhu satria
 
Chapter 28


Jadi tumbal....! Tidak mungkin, kenapa harus aku yang menjadi tumbal dari ritual, ini tidak sesuai dengan harapan kami, kedatanganku adalah untuk menyempurnakan ritual dan sekaligus untuk menyempurnakan ilmuku. Kenapa justru aku yang akan menjadi tumbal membuatku sangat panik.

"Tidak ada yang bisa disempurnakan, semua kembali kepada ego dan ambisi yang sudah menjerumuskan ke lembah kelam dari hidupmu." kata pria yang wujudnya hanya aku yang melihat, perkataannya menohok ulu hatiku. Dia salah, aku tidak pernah mempunyai ambisi untuk menyempurnakan ritualku. Sejak awal aku datang ke Gunung Kemukus adalah karena kenikmatan sex yang ditawarkan Mbak Wati. Kenikmatan yang hanya aku dengar dari cerita teman temanku yang sudah menikmatinya. Tidak lebih.

Ambisi apa yang aku milikku, sepertinya aku tidak mempunyai ambisi apa apa selain ingin hidup normal seperti layaknya orang lain, menjalani hari hariku dengan tenang. Tapi kenapa aku seperti terpojok oleh perkataan orang itu yang tidak terlalu aku mengerti. Dia terlalu mengada ada, aku hanya terjerumus dalam pusaran ambisi orang orang yang berada di sekelilingku. Aku hanya berada di tempat yang salah, tempat yang belum aku mengerti sepenuhnya.

"Tunggu, jangan pergi, kita belum selesai bicara.!" teriakku memanggil orang itu yang lenyap tanpa kuketahui ke mana. Seperti asap yang lenyap oleh hembusan angin tanpa meninggalkan jejak. Dia seharusnya mendengarkan penjelasanku bukan malah lenyap. Dia harus mengerti apa yang sedang aku alami, bukannya memaksaku untuk mengerti dan pasrah menerima nasib menjadi tumbal dari ambisi ayahku yang menginginkanku mencapai kesempurnaan dari ilmu yang tidak pernah aku pelajari. Ini tidak adil.

"Kenapa Kang?" tanya Limah heran. Matanya berkeliling mencari orang yang kupanggil. Suasana Gunung Kemukus sangat sepi, hanya ada dua orang yang terlihat dari kejauhan. Sekilas aku melihat sosok yang tadi berdiri di hadapanku kembali muncul di sisi Bangsal Sonyoruri, dia menoleh ke arahku lalu berjalan ke arah aku pernah berhubungan sex dengan Lilis.

Lilis, aku belum siap meninggalkannya di dunia ini, sendirian bertarung melawan kelicikan Dhea dan orang orangnya. Siapa yang akan melindunginya nanti? Secerdas apapun Lilis, dia tetaplah wanita yang lemah yang akan dengan mudah dicelakakan oleh lawan lawannya.

"Tidak apa apa, kita kembali ke rumah..!" kataku setelah orang itu tidak kembali. Aku perlu waktu untuk mencerna apa yang dikatakan orang itu.

"Kang Ujang tadi bicara dengan siapa?" tanya Yoyoh yang merasa heran. Dia ikut bertanya, tangannya menahanku.

"Kalian tidak melihat orang yang bicara dengan ku?" tanyaku sambil menggandeng tangan ke dua gadis yang ternyata adalah adikku. Mereka tidak boleh tahu apa yang kulihat, hanya akan memperburuk keadaan saja.

"Yoyoh tidak melihat siapa siapa." kata Yoyoh, pegangan tangan kedua gadis itu semakin erat. Pertanyaan seperti itu saja sudah membuat mereka ketakutan apalagi kalau mereka tahu tentang tumbal.

"Jangan jangan makhluk halus penunggu tempat ini." kata Limah tidak bisa menyembunyikan rasa takutnya.

"Jangan dipikirin." kataku berusaha menunjukkan ketegaranku walau sebenarnya hatiku mulai ragu dengan ketegaran yang selama ini bisa kubanggakan. Aku sama rapuhnua dengan kedua gadis yang berada di kiri kananku.

Jadi tumbal ritual bukanlah pilihan yang bisa kuterima. Anak dan istriku masih membutuhkanku, siapa yang akan menjaga mereka nanti kalau aku harus mati karena menjadi tumbal. Kenapa aku malah terjebak pada situasi yang seperti ini, semua diluar perkiraanku.

____________

"Jang, kamu siap melakukan tapa gantung seperti yang diamanatkan Abah?" tanya Mang Karta setelah 45 hari kematian Abah. Tidak seperti biasanya, Mang Karta terlihat sangat khawatir.

"Siap, Mang. Ini adalah keinginan Abah terakhir." kataku dengan suara tenang untuk menentramkan hati Mang Karta. Keinginan terakhir sebelum maut adalah amanah.

Ya, Abah sudah mempersiapkan semuanya, tapa gantung akan dimulai tepat pada saat usiaku genap 17 tahun. Usia yang dianggap sudah pantas untuk melakukan tapa gantung sebagai syarat aku sudah sampai pada puncak ilmu silat Cimande. Syarat yang teramat sangat berat.

"Kalau kamu ragu, bisa kita tunda hingga kamu benar benar siap melakukannya." kata Mang yang terlihat ragu dan sengaja mengulur waktu hal yang selama ini belum pernah dilakukannya.

"Ujang sudah siap, Mang..!" kataku. Ini adalah amanah dan keinginan terakhir Abah. Aku harus melakukannya, apapun resiko yang harus aku hadapi dan tidak boleh ada keraguan untuk melakukannya.

"Pikirkan dulu matang matang, Jang. Benar apa yang Mang Karta bilang, tapa gantung resikonya sangat besar. Kamu harus benar benar siap." kata Ibu yang tiba tiba muncul membawa singkong rebus yang masih panas dan segelas kopi yang ditumbuk sendiri menggunakan lisung.

"Resikonya apa? Sepertinya Emak dan Mang Karta keberatan aku melakukan tapa gantung seperti keinginan Abah." tanyaku heran. Resiko apa yang harus aku hadapi saat melakukan tapa gantung sehingga Ibu dan Mang Karta sangat keberatan.

"Mang Karta pernah mengalaminya dan hampir saja gagal. Resiko terbesar dari tapa gantung adalah kematian, anggap saja kematian jauh lebih baik dari pada seluruh syaraf di tubuhmu rusak karena semua darah mengalir ke kepala saat kita melakukan tapa gantung. Kalaupun kita bisa lepas dari kematian dan rusaknya saraf yang membuat kita menjadi cacat, kita akan menghadapi risiko lain yang sama besarnya." kata Mang Karta tidak meneruskan kalimatnya. Tubuhnya bergidik beberapa kali, sepertinya dia terpengaruh oleh kenangan saat melakukan tapa gantung. Aku diam, menunggu Mang Karta meneruskan ceritanya.

"Resiko besar lainnya, kita akan menjadi gila. Kamu lihat Mang Ukar, itulah resiko yang harus kita hadapi apabila gagal." kata Mang Karta menyudahi ceritanya. Aku baru mengerti kenapa Ibu dan Mang Karta sangat keberatan aku melakukan tapa gantung.

Semua orang di desa kami pasti mengenal Mang Ukar orang gila yang selalu telanjang bulat dan berteriak pamas. Yang jarang diketahui orang adalah penyebab kenapa dia menjadi gila. Menurut cerita, Mang Ukar menjadi seperti itu setelah pulang dari Gunung Guha untuk mempelajari sebuah ilmu, tapi dia gagal sehingga menjadi gila.

"Mang Ukar melakukan tapa gantung?" tanyaku bangga karena menjadi orang pertama yang mengetahui rahasia penyebab Mang Ukar menjadi gila.

"Ya waktu itu Mang Karta sudah melarangnya, tapi Mang Ukar nekat karena ingin bisa mengalahkan ayahmu agar bisa mempersunting ibumu." kata Mang Karta membuatku menoleh ke arah ibu. Cantik dan aku bangga kecantikan Ibu membuat pria rela melakukan apa saja untuk memilikinya.

"Ujang akan melakukannya karena itu adalah pesan terakhir dari Abah sebelum meninggal, itu artinya Abah percaya Ujang akan bisa melakukannya." kataku yakin dengan keputusanku. Aku sama sekali tidak tentang resiko yang akan aku hadapi bila gagal melakukan tapa gantung. Hanya tiga hari tiga malam, itu tidak lama dibandingkan aku harus menunggu Mang Karta melakukan pati geni tujuh tujuh malam, itu lebih lama selisihnya sampai empat hari empat malam.

"Jqng, coba kamu pikir lagi." kata Ibuku terlihat sangat khawatir, kekhawatiran yang kuanggap berlebihan. Seharusnya mereka percaya dengan penglihatan tajam Almarhum Abah sebelum meninggal. Penglihatan terakhir sebelum Abah menghembuskan nafas.

"Pikirkan lagi, Jang." kata Mang Karta, tanpa bicara dia meninggalkanku begitu saja, hal yang seingatku tidak pernah dilakukan oleh Mang Karta. Mang Karta akan selalu mengatakan tujuannya saat akan pergi.

**********

"Mak, Mang Karta sudah pulang?" tanyaku heran, sudah hampir 6 jam Mang Karta pergi tanpa pamit sejak percakapan terakhir kami.

"Karta kalau pulang pasti pamit, Emak tidak tahu sedang dimana dia sekarang. Coba kamu pikirkan lagi Jang. Emak tidak mau terjadi sesuatu yang buruk menimpamu." kata Emak kembali berusaha mempengaruhi keputusanku yang sudah tidak bisa diganggu gugat lagi.

"Emak tidak perlu khawatir, Ujang pasti bisa." kataku dengan penuh rasa percaya diri. Aku sama sekali tidak berpikir tentang resiko yang kuhadapi di depan mata.

"Kita sudah tidak bisa merubah pendirian Ujang. ceu. Kita hanya bisa berdoa Ujang berhasil." kata Mang Karta yang berdiri di ambang pintu. Belum pernah aku melihat wajah Mang Karta yang lelah dan kusam. Wajahnya terlihat menjadi lebih tua hanya dalam waktu 6 jam.

"Mang Karta dari mana?" tanyaku khawatir melihat wajah Mang Karta yang terlihat sangat lelah.

"Mang Karta baru saja menemui Mang Ukar untuk menanyakan di mana air kendi yang pernah diberikan oleh gurunya untuk melakukan tapa gantung, ternyata benar dugaan Mang Karta. Mang Ukar tidak pernah menggunakan air ini untuk memulai tapa gantung." kata Mang Karta sambil menunjukkan sebuah kendi kecil yang biasa digunakan untuk menyimpan air untuk berziarah ke makam.

"Loh, emangnya Mang Ukar bisa diajak ngobrol?" tanyaku heran. Setahuku Mang Ukar tidak bisa diajak bicara karena omongannya ngelantur tidak jelas.

"Memang tidak bisa, tapi Mang Karta mengerti apa yang dikatakannya." jawab Mang Karta mulai bisa tersenyum setelah kekhawatirannya mulai reda.

"Buat apa air dalam kendi itu, Mang?" tanyaku heran melihat kendi yang dipegang Mang Karta, kendi yang terlihat kotor dan warnanya sudah berubah dimakan usia

"Air dalam kendi ini harus kamu minum sebanyak tiga teguk akan memulai ritual dan sisanya kamu pakai untuk mandi, Mang Ukar lupa melakukannya saat akan memulai tapa gantung sehingga dia gagal. Dan seharusnya Abah harus mempersiapkan air tapi ajal telah datang sebelum memberimu air untuk bekalmu." kata Mang Karta menjelaskan.

"Dari mana Mang Karta tahu tentang air dalam kendi ini?" tanyaku heran, rasanya mustahil Mang Ukar akan mengatakan hal ini karena otaknya terganggu.

"Kan sudah Mang Karta bilang, Mang Ukar tidak bisa diajak bicara,. Dia akan bicara sendiri seperti yang selalu kalian lihat dan Mang Karta mengerti apa yang dikatakannya makanya Mang Karta tahu dimana kendi ini berada." kata Mang Karta terlihat bangga dengan kecerdasan yang dimilikinya. Bagiku sosok Mang Karta adalah panutan yang akan aku ikuti jejak langkahnya.

"Berarti besok Ujang sudah bisa memulai tapa gantung?" tanyaku antusias, ini adalah momen yang paling aku tunggu, momen yang selalu membuatku merinding membayangkan kakiku terikat di dalam sumur dengan jarak kepala ke permukaan sumur hanya sejengkal. Momen yang selalu membakar gairahku dan tidak sabar untuk segera memulainya.

"Ya, besok kita akan memulainya, Mang Karta juga sudah menyiapkan tali ijuk untuk mengikat kakimu. Malam ini kamu harus mandi di Cikahuripan untuk membersihkan jiwa dan pikiranmu." kata Mang Karta membuatku bersorak kegirangan. Terbayang olehku sumur yang akan aku pakai untuk tapa gantung, di situlah Mang Karta dan ayahku pernah melakukan tapa gantung. Sumur yang airnya tidak pernah kering walaupun saat kemarau panjang.

Malamnya aku dan Mang Karta datang ke sebuah mata air yang dipercaya mengandung karomah sehingga dinamai Cikahuripan. Mata air yang keluar begitu jernih dan besar sehingga menjadi sebuah kolam alami berukuran 4 x 3 dengan kedalaman sekitar 50 centi. Di sinilah aku harus berendam hingga ayam berkokok untuk membersihkan jiwa dan ragaku. Air yang sangat dingin menusuk hingga tulang sumsum sehingga membuatku kesulitan bernafas. Tapi aku harus bertahan melawan rasa dingin yang tidak seberapa dibandingkan dengan tapa gantung yang akan aku lakukan. Rasa dingin bisa kulewati dengan perjuangan keras.

Keesokan harinya tepat setelah ba'da Ashar aku mempersiapkan diri melakukan tapa gantung. Mang Karta mengikat kedua kakiku menjadi satu dengan tali ijuk yang kasar dan tajam. Permulaan tapa yang terasa menyakitkan. Setelah ikatannya kuat, Mang Karta menurunkan aku ke dalam sumur dengan kepala di bawah dan aku mulai tahu kenapa Mang Karta bersikeras melarang melakukan tapa gantung. Aku mulai panik saat kepalaku menyentuh air, aku berteriak memberi tahu Mang Karta.

"Segini cukup tidak?" tanya Mang Karta dari atas sumur. Suaranya terasa menggema di telingaku.

"Cukup Mang..!" kataku setelah jarak air dari kepalaku hanya sejengkal.

"Kalau kamu merasa tidak kuat, panggil Mang Karta. Mang Karta akan tetap berada dekat sumur menunggumu." kata Mang Karta membuatku merasa sedikit tenang. Mang Karta tetap menjagaku dalam situasi apapun.

Rasa pusing mulai menerpaku, seluruh aliran darahku turun ke kepala membuatku sangat panik. Aku berusaha menenangkan diri dengan membaca amalan yang sudah aku hafal sambil mengatur nafas yang terasa sesak. Aku berusaha melepaskan semua beban pikiranku, berusaha diam tergantung, karena sedikit gerakan membuat kepalaku semakin pusing.


____________

"Kang Ujang kenapa? Dari tadi diam saja?" tanya Limah setelah kami masuk kamar yang sudah tertata rapi, ini pasti pekerjaan Bu Tris, atas kasur ditaburi bunga melati dan mawar merah dan putih membuat kamar menjadi harum.

"Nggak apa apa..!" kataku berbohong. Tidak mungkin aku menceritakan hal yang sebenarnya kepada mereka berdua apa yang sedang kupikirkan, situasi yang membuatku sulit.

"Bohong, dari tadi Kang Ujang diam saja. Apa Kang Ujang mulai merasa bosan dengan kami?" tanya Yoyoh ikut bicara terlihat khawatir ritual yang kami sedang jalani gagal, itu akan membuat hidup mereka semakin hancur.

"Ya sudah, kita mulai lagi ritualnya." kata Limah langsung mencium bibirku dengan bernafsu membuatku sangat terkejut, apa ritual ini harus aku lanjutkan atau cukup sampai di sini. Aku tidak mau menjadi tumbal dari ritual ini. Aku masih mencintai hidupku yang sangat indah dikelilingi tiga wanita cantik yang selalu memanjakanku. Di lain sisi, aku sudah berjanji untuk membantu mereka menuntaskan ritual ini agar mereka terbebas dari kutukan yang membuat hidup mereka menderita.

"Kamu sudah siap untuk mengorbankan dirimu?" tiba tiba orang itu kembali muncul dengan memegang sebuah gobang panjang melebihi panjang gobang warisan ayahku yang terpajang di kamar. Gobang yang dipegangnya berwarna hitam legam karena racunnya pasti sangat mematikan, cukup sebuah luka kecil akan membuat nyawa melayang sia sia.

Bersambung
 
Chapter 28


Jadi tumbal....! Tidak mungkin, kenapa harus aku yang menjadi tumbal dari ritual, ini tidak sesuai dengan harapan kami, kedatanganku adalah untuk menyempurnakan ritual dan sekaligus untuk menyempurnakan ilmuku. Kenapa justru aku yang akan menjadi tumbal membuatku sangat panik.

"Tidak ada yang bisa disempurnakan, semua kembali kepada ego dan ambisi yang sudah menjerumuskan ke lembah kelam dari hidupmu." kata pria yang wujudnya hanya aku yang melihat, perkataannya menohok ulu hatiku. Dia salah, aku tidak pernah mempunyai ambisi untuk menyempurnakan ritualku. Sejak awal aku datang ke Gunung Kemukus adalah karena kenikmatan sex yang ditawarkan Mbak Wati. Kenikmatan yang hanya aku dengar dari cerita teman temanku yang sudah menikmatinya. Tidak lebih.

Ambisi apa yang aku milikku, sepertinya aku tidak mempunyai ambisi apa apa selain ingin hidup normal seperti layaknya orang lain, menjalani hari hariku dengan tenang. Tapi kenapa aku seperti terpojok oleh perkataan orang itu yang tidak terlalu aku mengerti. Dia terlalu mengada ada, aku hanya terjerumus dalam pusaran ambisi orang orang yang berada di sekelilingku. Aku hanya berada di tempat yang salah, tempat yang belum aku mengerti sepenuhnya.

"Tunggu, jangan pergi, kita belum selesai bicara.!" teriakku memanggil orang itu yang lenyap tanpa kuketahui ke mana. Seperti asap yang lenyap oleh hembusan angin tanpa meninggalkan jejak. Dia seharusnya mendengarkan penjelasanku bukan malah lenyap. Dia harus mengerti apa yang sedang aku alami, bukannya memaksaku untuk mengerti dan pasrah menerima nasib menjadi tumbal dari ambisi ayahku yang menginginkanku mencapai kesempurnaan dari ilmu yang tidak pernah aku pelajari. Ini tidak adil.

"Kenapa Kang?" tanya Limah heran. Matanya berkeliling mencari orang yang kupanggil. Suasana Gunung Kemukus sangat sepi, hanya ada dua orang yang terlihat dari kejauhan. Sekilas aku melihat sosok yang tadi berdiri di hadapanku kembali muncul di sisi Bangsal Sonyoruri, dia menoleh ke arahku lalu berjalan ke arah aku pernah berhubungan sex dengan Lilis.

Lilis, aku belum siap meninggalkannya di dunia ini, sendirian bertarung melawan kelicikan Dhea dan orang orangnya. Siapa yang akan melindunginya nanti? Secerdas apapun Lilis, dia tetaplah wanita yang lemah yang akan dengan mudah dicelakakan oleh lawan lawannya.

"Tidak apa apa, kita kembali ke rumah..!" kataku setelah orang itu tidak kembali. Aku perlu waktu untuk mencerna apa yang dikatakan orang itu.

"Kang Ujang tadi bicara dengan siapa?" tanya Yoyoh yang merasa heran. Dia ikut bertanya, tangannya menahanku.

"Kalian tidak melihat orang yang bicara dengan ku?" tanyaku sambil menggandeng tangan ke dua gadis yang ternyata adalah adikku. Mereka tidak boleh tahu apa yang kulihat, hanya akan memperburuk keadaan saja.

"Yoyoh tidak melihat siapa siapa." kata Yoyoh, pegangan tangan kedua gadis itu semakin erat. Pertanyaan seperti itu saja sudah membuat mereka ketakutan apalagi kalau mereka tahu tentang tumbal.

"Jangan jangan makhluk halus penunggu tempat ini." kata Limah tidak bisa menyembunyikan rasa takutnya.

"Jangan dipikirin." kataku berusaha menunjukkan ketegaranku walau sebenarnya hatiku mulai ragu dengan ketegaran yang selama ini bisa kubanggakan. Aku sama rapuhnua dengan kedua gadis yang berada di kiri kananku.

Jadi tumbal ritual bukanlah pilihan yang bisa kuterima. Anak dan istriku masih membutuhkanku, siapa yang akan menjaga mereka nanti kalau aku harus mati karena menjadi tumbal. Kenapa aku malah terjebak pada situasi yang seperti ini, semua diluar perkiraanku.

____________

"Jang, kamu siap melakukan tapa gantung seperti yang diamanatkan Abah?" tanya Mang Karta setelah 45 hari kematian Abah. Tidak seperti biasanya, Mang Karta terlihat sangat khawatir.

"Siap, Mang. Ini adalah keinginan Abah terakhir." kataku dengan suara tenang untuk menentramkan hati Mang Karta. Keinginan terakhir sebelum maut adalah amanah.

Ya, Abah sudah mempersiapkan semuanya, tapa gantung akan dimulai tepat pada saat usiaku genap 17 tahun. Usia yang dianggap sudah pantas untuk melakukan tapa gantung sebagai syarat aku sudah sampai pada puncak ilmu silat Cimande. Syarat yang teramat sangat berat.

"Kalau kamu ragu, bisa kita tunda hingga kamu benar benar siap melakukannya." kata Mang yang terlihat ragu dan sengaja mengulur waktu hal yang selama ini belum pernah dilakukannya.

"Ujang sudah siap, Mang..!" kataku. Ini adalah amanah dan keinginan terakhir Abah. Aku harus melakukannya, apapun resiko yang harus aku hadapi dan tidak boleh ada keraguan untuk melakukannya.

"Pikirkan dulu matang matang, Jang. Benar apa yang Mang Karta bilang, tapa gantung resikonya sangat besar. Kamu harus benar benar siap." kata Ibu yang tiba tiba muncul membawa singkong rebus yang masih panas dan segelas kopi yang ditumbuk sendiri menggunakan lisung.

"Resikonya apa? Sepertinya Emak dan Mang Karta keberatan aku melakukan tapa gantung seperti keinginan Abah." tanyaku heran. Resiko apa yang harus aku hadapi saat melakukan tapa gantung sehingga Ibu dan Mang Karta sangat keberatan.

"Mang Karta pernah mengalaminya dan hampir saja gagal. Resiko terbesar dari tapa gantung adalah kematian, anggap saja kematian jauh lebih baik dari pada seluruh syaraf di tubuhmu rusak karena semua darah mengalir ke kepala saat kita melakukan tapa gantung. Kalaupun kita bisa lepas dari kematian dan rusaknya saraf yang membuat kita menjadi cacat, kita akan menghadapi risiko lain yang sama besarnya." kata Mang Karta tidak meneruskan kalimatnya. Tubuhnya bergidik beberapa kali, sepertinya dia terpengaruh oleh kenangan saat melakukan tapa gantung. Aku diam, menunggu Mang Karta meneruskan ceritanya.

"Resiko besar lainnya, kita akan menjadi gila. Kamu lihat Mang Ukar, itulah resiko yang harus kita hadapi apabila gagal." kata Mang Karta menyudahi ceritanya. Aku baru mengerti kenapa Ibu dan Mang Karta sangat keberatan aku melakukan tapa gantung.

Semua orang di desa kami pasti mengenal Mang Ukar orang gila yang selalu telanjang bulat dan berteriak pamas. Yang jarang diketahui orang adalah penyebab kenapa dia menjadi gila. Menurut cerita, Mang Ukar menjadi seperti itu setelah pulang dari Gunung Guha untuk mempelajari sebuah ilmu, tapi dia gagal sehingga menjadi gila.

"Mang Ukar melakukan tapa gantung?" tanyaku bangga karena menjadi orang pertama yang mengetahui rahasia penyebab Mang Ukar menjadi gila.

"Ya waktu itu Mang Karta sudah melarangnya, tapi Mang Ukar nekat karena ingin bisa mengalahkan ayahmu agar bisa mempersunting ibumu." kata Mang Karta membuatku menoleh ke arah ibu. Cantik dan aku bangga kecantikan Ibu membuat pria rela melakukan apa saja untuk memilikinya.

"Ujang akan melakukannya karena itu adalah pesan terakhir dari Abah sebelum meninggal, itu artinya Abah percaya Ujang akan bisa melakukannya." kataku yakin dengan keputusanku. Aku sama sekali tidak tentang resiko yang akan aku hadapi bila gagal melakukan tapa gantung. Hanya tiga hari tiga malam, itu tidak lama dibandingkan aku harus menunggu Mang Karta melakukan pati geni tujuh tujuh malam, itu lebih lama selisihnya sampai empat hari empat malam.

"Jqng, coba kamu pikir lagi." kata Ibuku terlihat sangat khawatir, kekhawatiran yang kuanggap berlebihan. Seharusnya mereka percaya dengan penglihatan tajam Almarhum Abah sebelum meninggal. Penglihatan terakhir sebelum Abah menghembuskan nafas.

"Pikirkan lagi, Jang." kata Mang Karta, tanpa bicara dia meninggalkanku begitu saja, hal yang seingatku tidak pernah dilakukan oleh Mang Karta. Mang Karta akan selalu mengatakan tujuannya saat akan pergi.

**********

"Mak, Mang Karta sudah pulang?" tanyaku heran, sudah hampir 6 jam Mang Karta pergi tanpa pamit sejak percakapan terakhir kami.

"Karta kalau pulang pasti pamit, Emak tidak tahu sedang dimana dia sekarang. Coba kamu pikirkan lagi Jang. Emak tidak mau terjadi sesuatu yang buruk menimpamu." kata Emak kembali berusaha mempengaruhi keputusanku yang sudah tidak bisa diganggu gugat lagi.

"Emak tidak perlu khawatir, Ujang pasti bisa." kataku dengan penuh rasa percaya diri. Aku sama sekali tidak berpikir tentang resiko yang kuhadapi di depan mata.

"Kita sudah tidak bisa merubah pendirian Ujang. ceu. Kita hanya bisa berdoa Ujang berhasil." kata Mang Karta yang berdiri di ambang pintu. Belum pernah aku melihat wajah Mang Karta yang lelah dan kusam. Wajahnya terlihat menjadi lebih tua hanya dalam waktu 6 jam.

"Mang Karta dari mana?" tanyaku khawatir melihat wajah Mang Karta yang terlihat sangat lelah.

"Mang Karta baru saja menemui Mang Ukar untuk menanyakan di mana air kendi yang pernah diberikan oleh gurunya untuk melakukan tapa gantung, ternyata benar dugaan Mang Karta. Mang Ukar tidak pernah menggunakan air ini untuk memulai tapa gantung." kata Mang Karta sambil menunjukkan sebuah kendi kecil yang biasa digunakan untuk menyimpan air untuk berziarah ke makam.

"Loh, emangnya Mang Ukar bisa diajak ngobrol?" tanyaku heran. Setahuku Mang Ukar tidak bisa diajak bicara karena omongannya ngelantur tidak jelas.

"Memang tidak bisa, tapi Mang Karta mengerti apa yang dikatakannya." jawab Mang Karta mulai bisa tersenyum setelah kekhawatirannya mulai reda.

"Buat apa air dalam kendi itu, Mang?" tanyaku heran melihat kendi yang dipegang Mang Karta, kendi yang terlihat kotor dan warnanya sudah berubah dimakan usia

"Air dalam kendi ini harus kamu minum sebanyak tiga teguk akan memulai ritual dan sisanya kamu pakai untuk mandi, Mang Ukar lupa melakukannya saat akan memulai tapa gantung sehingga dia gagal. Dan seharusnya Abah harus mempersiapkan air tapi ajal telah datang sebelum memberimu air untuk bekalmu." kata Mang Karta menjelaskan.

"Dari mana Mang Karta tahu tentang air dalam kendi ini?" tanyaku heran, rasanya mustahil Mang Ukar akan mengatakan hal ini karena otaknya terganggu.

"Kan sudah Mang Karta bilang, Mang Ukar tidak bisa diajak bicara,. Dia akan bicara sendiri seperti yang selalu kalian lihat dan Mang Karta mengerti apa yang dikatakannya makanya Mang Karta tahu dimana kendi ini berada." kata Mang Karta terlihat bangga dengan kecerdasan yang dimilikinya. Bagiku sosok Mang Karta adalah panutan yang akan aku ikuti jejak langkahnya.

"Berarti besok Ujang sudah bisa memulai tapa gantung?" tanyaku antusias, ini adalah momen yang paling aku tunggu, momen yang selalu membuatku merinding membayangkan kakiku terikat di dalam sumur dengan jarak kepala ke permukaan sumur hanya sejengkal. Momen yang selalu membakar gairahku dan tidak sabar untuk segera memulainya.

"Ya, besok kita akan memulainya, Mang Karta juga sudah menyiapkan tali ijuk untuk mengikat kakimu. Malam ini kamu harus mandi di Cikahuripan untuk membersihkan jiwa dan pikiranmu." kata Mang Karta membuatku bersorak kegirangan. Terbayang olehku sumur yang akan aku pakai untuk tapa gantung, di situlah Mang Karta dan ayahku pernah melakukan tapa gantung. Sumur yang airnya tidak pernah kering walaupun saat kemarau panjang.

Malamnya aku dan Mang Karta datang ke sebuah mata air yang dipercaya mengandung karomah sehingga dinamai Cikahuripan. Mata air yang keluar begitu jernih dan besar sehingga menjadi sebuah kolam alami berukuran 4 x 3 dengan kedalaman sekitar 50 centi. Di sinilah aku harus berendam hingga ayam berkokok untuk membersihkan jiwa dan ragaku. Air yang sangat dingin menusuk hingga tulang sumsum sehingga membuatku kesulitan bernafas. Tapi aku harus bertahan melawan rasa dingin yang tidak seberapa dibandingkan dengan tapa gantung yang akan aku lakukan. Rasa dingin bisa kulewati dengan perjuangan keras.

Keesokan harinya tepat setelah ba'da Ashar aku mempersiapkan diri melakukan tapa gantung. Mang Karta mengikat kedua kakiku menjadi satu dengan tali ijuk yang kasar dan tajam. Permulaan tapa yang terasa menyakitkan. Setelah ikatannya kuat, Mang Karta menurunkan aku ke dalam sumur dengan kepala di bawah dan aku mulai tahu kenapa Mang Karta bersikeras melarang melakukan tapa gantung. Aku mulai panik saat kepalaku menyentuh air, aku berteriak memberi tahu Mang Karta.

"Segini cukup tidak?" tanya Mang Karta dari atas sumur. Suaranya terasa menggema di telingaku.

"Cukup Mang..!" kataku setelah jarak air dari kepalaku hanya sejengkal.

"Kalau kamu merasa tidak kuat, panggil Mang Karta. Mang Karta akan tetap berada dekat sumur menunggumu." kata Mang Karta membuatku merasa sedikit tenang. Mang Karta tetap menjagaku dalam situasi apapun.

Rasa pusing mulai menerpaku, seluruh aliran darahku turun ke kepala membuatku sangat panik. Aku berusaha menenangkan diri dengan membaca amalan yang sudah aku hafal sambil mengatur nafas yang terasa sesak. Aku berusaha melepaskan semua beban pikiranku, berusaha diam tergantung, karena sedikit gerakan membuat kepalaku semakin pusing.


____________

"Kang Ujang kenapa? Dari tadi diam saja?" tanya Limah setelah kami masuk kamar yang sudah tertata rapi, ini pasti pekerjaan Bu Tris, atas kasur ditaburi bunga melati dan mawar merah dan putih membuat kamar menjadi harum.

"Nggak apa apa..!" kataku berbohong. Tidak mungkin aku menceritakan hal yang sebenarnya kepada mereka berdua apa yang sedang kupikirkan, situasi yang membuatku sulit.

"Bohong, dari tadi Kang Ujang diam saja. Apa Kang Ujang mulai merasa bosan dengan kami?" tanya Yoyoh ikut bicara terlihat khawatir ritual yang kami sedang jalani gagal, itu akan membuat hidup mereka semakin hancur.

"Ya sudah, kita mulai lagi ritualnya." kata Limah langsung mencium bibirku dengan bernafsu membuatku sangat terkejut, apa ritual ini harus aku lanjutkan atau cukup sampai di sini. Aku tidak mau menjadi tumbal dari ritual ini. Aku masih mencintai hidupku yang sangat indah dikelilingi tiga wanita cantik yang selalu memanjakanku. Di lain sisi, aku sudah berjanji untuk membantu mereka menuntaskan ritual ini agar mereka terbebas dari kutukan yang membuat hidup mereka menderita.

"Kamu sudah siap untuk mengorbankan dirimu?" tiba tiba orang itu kembali muncul dengan memegang sebuah gobang panjang melebihi panjang gobang warisan ayahku yang terpajang di kamar. Gobang yang dipegangnya berwarna hitam legam karena racunnya pasti sangat mematikan, cukup sebuah luka kecil akan membuat nyawa melayang sia sia.

Bersambung
Setiap notif anu masuk, pasti di check, si ujang bukan yg update teh, . .
Dan akhirnya yg ditunggu update juga...
Nuhun jang...
 
Akhirnya Ujang muncul kembali, ayo dilanjutkan ritualnya dengan Limah dan Yoyoh. Makasih updatenya suhu
 
Terima kasih suhu atas updatenya
Ujang hati2 Jang jangan sampe ritualnya gagal:haha:
 
Makasih atas updatenya suhu..

Rumit juga ya apa yang bakal dialami Ujang..
 
Thx updatenya om

Kalo ujang sudah tapa gantung maka kita dibikin gantung di chapter ini :pandaketawa:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd