Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Ritual Sex di Gunung Kemukus

wah cerita nya bagus bgt nih

akankah nanti bakal ada affair antara ujang dan wati?

hehe
 
ini mah copas cerita lama ini, dulu ane pernah baca di situs cerita de***a.c*m, dan sekarang situs itu udah gak ada lagi.
Cuma mirip aja kali gan, cm di cerita situs sebelah, gak ngajak secara lgsg ke gunung kemukus, alasan mbak wati mau ketempat selingkuhan suaminya..
 
Biarin aja TS berimajinasi sendiri ..........biarpun sama judul tapi beda penulisan.y .......cuma tinggal baca aja ko repot................lajut suhu...........:semangat::semangat:
 
Cuma mirip aja kali gan, cm di cerita situs sebelah, gak ngajak secara lgsg ke gunung kemukus, alasan mbak wati mau ketempat selingkuhan suami


.......betul tuh sawdaraku..........
 
Mantap kece badai nih imajinasimya bisa panjang nih cerita prospek nya ...mudah2an tamat yah suhu
 
Kisah Lastri, Tragedi berkedok ritual




Tanpa berpikir panjang aku berlari ke dalam kamar tempat Mbak Wati, aku membuka pintu dengan keras dan melihat Mbak Wati masih tertidur nyenyak, tidak ada orang lain di kamar. Ternhata Mbak Wati hanya mengingau, aku menarik nafas lega. Perlahan aku menutup pintu kembali ke depan.

"Ada apa, Mas? Pasti Mbaknya mengigau sehabis perjalanan jauh, capek." tanya ibu warung yang langsung kuiyakan. Aku segera menghabiskan nasi dalam piring yang sudah dingin, dalam sekejap semuanya habis berpindah ke dalam perutku.

Setelah semua isi piring berpundah ke dalam perutku, ternyata ibu warung sjdah tidak ada, tinggal Lastri yang kulihat sedang duduk di teras sambil merokok. Aku membawa gelas kopi ke luar menemanj Lastri, lumayan ada teman ngobrol, terlebih aku sangan penasaran dengan orang yang bernama Pakde Karwo.

"Ko sendirian, Mbak ? Ibu warung ke mana ?" Tanyaku sekedar basa basi karena melihatnya duduk sendirian. Aku merasa aneh dengan keadaanku, biasanya aku paling takut mendekati seorang gadis. Entah kenapa sekarang rasa percaya diriku muncul tanpa kusadari sehingga berani mendekati Lastri dan duduk di sampingnya.

"Ibu paling juga tidur, sudah jam.10 malam." katanya sambil menghisap rokok filter yang sejak tadi dipermainkannya.

"Kamu sendiri kenapa belum, tidur?" tanyaku heran, semalam ini Lastri lebih memilih duduk sendiri di luar sementara sekeliling kami sudah sangat sepi, hanya terdengar suara binatang malam, udarapun semakin dingin saja

"Gak bisa tidur, kangen orang tuaku." jawab Lastri tanpa menoleh ke arahku, dia begitu asik dengan pikirannya sendiri.

"Orang tua kamu tinggal di man?" tanyaku.

"Di Semarang." jawab Lastri singkat.

"Kenapa kamu belum tidur?" tanyaku melihat Lastri yang terus menghisap rokoknya tanpa berhenti, terlihat jelas kegelisahannya.

"Gak bisa, tidur. Biasanya aku tidur jam dua." jawab Lastri, dia bicara tanpa menatap wajahku sama sekali.

"Mbak'e kecapean ritual nikmat, kali, sampai ngigo begitu. Suaranya kenceng banget." kata Lastri. Keceriaannya yang sempat kulihat dan godaannya hilang. Matanya menerawang ke tempat gelap.

"Emang kamu kenal di mana?" Tanya Lastri lagi, tangannya diletakkan di atas pahaku. Seolah hal itu sudah biasa dilakukannya.

"Kami tetangga di Bogor. Suami Mbak Wati teman satu tempat kerja, jualan mie ayam keliling. Kalo Mbak Wati, jualan jamu gendong." aku menerangkan pekerjaanku sambil menatap jemari lentik Lastri yang berada di atas pahaku. Aku ingin memegang tangannya, tapi aku tidak mempunyai cukup keberanian untuk melakukannya.

"Tadinya aku ke sini mau ritual seperti kalian, tapi setelah melakukan tiga kali ritual tanpa menunjukkan hasil, akhirnya aku memilih tinggal di sini, menjual diri untuk mereka yang belum punya pasangan." kata Lastri menarik nafas panjang.

"Maksud kamu, kamu...?" aku tidak berani meneruskan pertanyaanku, takut menyinggung perasaannya.

"Ya, aku jadi PSK di sini." jawab Lastri tenang.

"Maaf..!" kataku merasa besalah.

"Suaminya tau gak, kalian ke Gunung Kemukus, ?" tanya Lastri msngabaikan permintaan maafku, tangannya mengelus pahaku, sebuah godaan yang membuat kontolku mengeras.

"Tau, malah suaminya yang nyuruh, pengen cepet kaya katanya. Mbak sendiri, dari mana ? Pengen cepet kaya, juga ?"Tanyaku berusaha mengabaikan tangan Lastri yang terus mengelus pahaku. Gadis ini PSK, aku gak punya cukup uang untuk mengajaknya ngentot. Lagi pula ada memek gratis yang bisa bebas aku entot, buat apa nyari memek lain yang pastinya akan menguras isi dompetku, padahal aku sudah susah payah mengumpulkannya untuk aku kirim ke Ibuku.

Hening, Lastri mempermainkan jarinya, gelisah. Entah apa yang dipikirkannya. Kembali dia mengambil sebatang rokok milikku, aku segera menyalakan korek membantu Lastri menyalakan rokoknya. Lastri menghisap rokok yang sudah terbakar ujungnya, dihembuskannya asap rokok yang langsung buyar diterpa angin. Pemandangan yang sangat menyentuh.

"Jangan panggil, Mbak. Umurku baru 18 tahun. Namaku Lastri, dari Semarang. Sudah 18 bulan aku di sini."jawab, Lastri lirih. Dihisapnya rokok seolah ingin mengusir kegelisahannya.

"Kok kamu bisa ke sini?" tanyaku heran, gadis secantik ini bisa menjadi penghuni lokalisasi tempat ini, melayani para peziarah yang datang untuk memenuhi syarat ritual. Aku mulai meragukan kesakralan tempat ini.

"Aku ke sini gara gara diusir orang tuaku, bingung mau ke mana. Ada yang ngajak aku ke sini.!" kata Lastri kembali menghisap rokok, asapnya menerpa wajahku.

"Cewek apa cowok yang ngajak kamu ke sini?" tanyaku semakin berani bertanya, hal yang tidak pernah aku lakukan. Berbicara berdua dengan seorang wanita. Ini salah satu hasil yang mungkin aku dapatkan dari Gunung Kemukus, sebuah kemajuan. Keberanian yang tumbuh seiring pengalamanku yang bebas menikmati tubuh Mbak Wati tanpa rasa takut.

"Cowok, aku diusir gara gara hamil setelah diperkosa oleh teman temanku." kata Lastri lirih. Dihisapnya rokok yang tinggal setengah batang, seolah asap rokok akan menghilangkan semua keresahan yang membelenggu. Atau rokok dijadikannya pelarian atas semua deritanya.

"Terus...?" tanyaku iba dengan derita gadis cantik yang tiba tiba menyandarkan kepalanya di bahuku seolah dia sedang mencari sandaran yang menopangnya untuk tetap tegak. Sandaran yang tidak didapatkannya dari kedua orang tua yang sudah mengusirnya karena dirinya dianggap aib buat keluarga.

_____________________

Kisahpun dimulai.

"Dua tahun yang lalu, sepulang sekolah aku ke rumah teman untuk belajar kelompok yang terdiri dari lima orang. Tiga di antara kami cowok. Di situlah awal petaka terjadi, ternyata mereka sudah merencanakan perbuatan keji. Mereka sudah mencampurkan obat perangsang dalam minumanku. Setelah minum air yang disuguhkan oleh Dina, aku merasakan sesuatu yang aneh pada diriku, aku sangat gelisah, Aku tidak tahu perasaan apa yang sedang kurasakan tiba memekku berdenyut aneh, aku jadi sangat bergairah, gairah yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.

" Don, kamu ngapain? Kita lagi belajar, kelompok..!" kataku melihat Dona dan Parto berciuman disaat kami sedang belajar kelompok, padahal setahuku mereka tidak berpacaran. Memang, Dona terkenal sebagai perek ( Perempuan eksprimen ). Istilah Perek pada tahun 90 memang sangat terkenal, sebuah gaya hidup karena melakukan ekprimen meniru kebebasan orang orang barat yang menganggap sex sebagai gaya hidup, mereka bersedia melakukannya bukan karena uang, melainkan sebuah kebanggaan. Bahkan aku pernah memergoki Dona sedang digrepe oleh tiga orang cowok di belakang sekolah.

"Memekku gatel nich, sudah seminggu belum disodok kontol." jawab Dona santai. Tanganya meraba selangkangan Parto membuatku terkejut, ternyata Dona benar benar perek yang menjadikan tubuhnya bahan praktek buat teman teman cowok yang ingin mengetahui tubuh wanita tanpa menyewa seorang PSK.

Melihat adegan yang yerjadi di depanku, membuat tubuhku semakin panas, ada dorongan aneh, tubuhku sangat ingin dijamah, memekku berkedut kedut membuat bulu bulu halus di tubuhku bangun.
Aku terus melihat ke arah Dona tanpa berkedit, apa yang akan dilakukannya, tidakkah dia takut kedua orang tuanya pulang.

"Santai aja Las,. Ada aku kok..!" kata Herman, tiba tiba dia memelukku tanpa permisi. Reflek aku mendorong tubuhnya, menghidar dari mulutnya yang bau rokok. Tapi tenaga Herman lebih besar dari pada aku, dia memelukku semakin erat dan berhasil mencium bibirku.
Sekuat apapun aku berusaha merpnta, tenaga Herman lebih besar hingga akhirnya aku menyerah kalah.

"Las, kamu kalau sudah ngerasain kontol pasti ketagihan." kata Dona tertawa melihatku berusaha berontak dari Herman. Sekilas aku melihat Dona yang sudah tidak memakai baju, payudaranya yang baru tumbuh dihisap oleh Andi dan Parto membuat mataku terbelalak, tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Sesaat kewaspadaanku hilang dan itu dimanfaatkan oleh Herman yang memasukkan tangannya ke bajuku dan meremas payudaraku yang masih terbungkus BH. Aneh, rasanya lumayan enak, geli geli sakit karena Herman meremas payudaraku dengan keras.

Aku tidak bisa berteriak karena mulutku tersumpal mulut Herman, aku mulai terhanyut oleh permainannya, perlakuan kasar Herman justru membuatku semakin bergairah. Perlawananku mulai mengendur, bahkan aku seperti kerbau yang dicucuk hidung saat Herman dengan leluasa melepaskan kaos yang aku pakai dan juga BHku terlepas oleh Herman yang semakin merasa diatas angin. Dia dengan leluasa membenamkan wajahnya di payudaraku yang putingnya sudah mulai mengeras akibat pengaruh obat perangsang dan rangsangan yang dilakukannya.

"Parto, buru masukin kontol kamu. Memekku sudah gatel..!" kata Dona membuatku menoleh ke arahnya yang terlentang di lantai dengan kaki mengangkang. Sejak kapan Dona bugil? Tubuhku semakin panas, birahiku semakin tidak terkendali.

"Buka celanamu, ya Las..!" kata Herman mendorong tubuhku sehingga aku jatuh terlentang, Herman menarik rok dan juga CDku sekaligus. Gila, aku seperti terhipnotis sehingga aku tidak berusah mencegah apa yang dilakukan Herman.

Bahkan ketika Herman dengan kasar membuka lebar kakiku.

"Herman, mau apa?" tanyaku lemah, tenagaku seperti hilang. Kepalaku terangkat melihat Herman membenamkan wajahnya di selangkanganku. Tubuhku mengejang saat lidah Herman menyentuh memek perawanku, menjilati dengan rakus seperti dia menjilati es cream.

"Hermannnnnn...!" jeritanku terdengar lemah, rasa nikmat membuat tubuhku mengejang tidak terkendali. Hingga aku merasakan sesuatu yang sangat nikmak yang berpusat dari memek membuatku mengejang dan tidak mampu menahan teriakanku yang bisa saja terdengar hingga luar. Tubuhku lemas setelah meraih kenikmatan yang sangat dahsat sehingga tidak menyadaei Herman sudah berada di atas tubuhku.

"Aduhhhhh sakitttt....!" aku berusaha mendorong tubuh Herman, ada sesuatu yang berusaha masuk memekku, terlambat kontol Herman berhasil merobek selaput daraku. Aku tidak pernah menyangka, keperawanan ku hilang dengan cara seperti ini oleh temanku sendiri, bukan oleh pria yang kucintai.

“Man, untung apa lu dapat perawan nya Lastri..!” seru Andi yang kontolnya sedang disepong Dona, dia menatap iri keberuntungan Andi yang mendapatkan perawanku. Perawan yang seharusnya kuserahkan kepada suami atau kekasihku. Benar benar biadab pria yang sedang memompa memekku, kontolnya bergerak semakin cepat seiring dengan rasa nikmat yang membuat tubuhku menggeliat.

“Enak Las ngentot?” tanya Dona yang menungging sementara Andi mendapatkan jatah ngentot memeknya sementara Parto berganti posisi kontolnya disepong Dona, benar benar maniak temanku itu padahal usianya baru 15 tahun.

“Aduhhh, sakitttt..!” kataku berbohong, aku malu mengakui di hadapan mereka bahwa aku sedang menikmati sodokan kontol Herman yang semakin cepat, memekku yang sudah sangat basah mempermudah gerakkan kontol Herman.

Mendengar rintihan kesakitanku, Herman semakin mempercepat ebtotannya sehingga terdengar bunyi yang menurutku lucu dari memekku yang sangat basah.

“Akkku kelllluar...! “ teriak Herman, pinggulnya menekan kuat diiringi semburan panas dari kontolnya membuatku meraih orgasme yang membuat tubuhku mengejang.

***†***

“Apa, kamu hamil? Anak kurang ajar, bikin malu orang tua...!” teriak ayahku marah, sebuah tamparan mendarat telak di pipiku yang halus membuatku terpelanting jatuh.

“Ayah, jangan...!” teriak Ibuku berusaha menghalangi ayahku yang akan kembali menamparku.

Aku menangis terisak isak, kejadian 7 minggu yang lalu di rumah Dona membuatku hamil. Aku tidak menyangka, ayahku akan semarah ini. Tadinya aku berharap, ayah akan menmaksa salah satu diantara tiga temanku yang sudah menikmati memekku dan menumpahkan pejuh mereka di memekku untuk bertanggung jawab

“Pergi kamu anak jadah dan jangan pernah kembali ke rumah ini...!” teriak ayahku seperti bunyi petir yang menyambar tubuhku. Aku terpaku, menatap ibu, meminta pertolongan darinya, tapi gelengan lemah ibu membuatku sadar, ibu tidak pernah berani menentang keputusan ayah.

Setelah berkemas, aku meninggalkan rumah dengan membawa uang pemberian ibu, uang terahir yang aku terima darinya. Sesampainya di halte bus aku terdiam tidak tahu harus pergi ke mana, tanpa dapat kutahan, aku menangis terisak isak. Tangisanku menarik perhatian seorang ibu yang kebetulan sedang menunggu bus.

“Ada apa, nak? Mungkin ibu bisa membantu.!” Kata wanita paruh baya itu bertanya dengan suara lembut membuat tangisanku semakin kencang, meratapi penderitaanku.

Setelah puas menangis, aku menceritakan apa yang sudah terjadi padaku, beruntung ibu itu bersedia membantu dan memberiku tumpangan di rumahnya hingga aku melahirkan, dan saat ibu dan suaminya mau mengadopsi anakku karena aku mereka tidak mempunyai anak, aku memberikan anakku untuk mereka adopsi. Aku masih terlalu muda untuk merawat dan membiayai seorang bayi.

Setelah puas menangis, aku menceritakan apa yang sudah terjadi padaku, beruntung ibu itu bersedia membantu dan memberiku tumpangan di rumahnya hingga aku melahirkan, dan saat ibu dan suaminya mau mengadopsi anakku karena aku mereka tidak mempunyai anak, aku memberikan anakku untuk mereka adopsi. Aku masih terlalu muda untuk merawat dan membiayai seorang bayi.


_____________________

Aku terdiam, malang sekali nasib gadis cantik ini. Ragu ragu aku merangkul pundaknya, berusaha memberinya kekuatan. Memberikan keyakinan bahwa akan ada yang akan menolongnya dengan ikhlas, suatu saat nanti. Lastri menoleh ke arahku, tersenyum pahit. Matanya berkaca mengenag kejadian pahit yang kembali terusik olehku.

"Aku dengar cerita dari mereka tentang Gunung Kemukus, mereka dulu pernah ritual disini hingga akhirnya usaha mereka sukses. Makanya aku pun tertarik melakukan ritual agar kehidupanku menjadi lebih baik. Dengan diantar oleh bapak yang menampungku selama hamil. Tentu atas persetujuan istrinya, kami melakukan ritual sebanyak tiga x Jum" at Pon dengannya dan tidak menunjukkan tanda tanda kehidupan menjadi lebih baik lagi, aku malah dijadikan budak nafsu olehnya, waktu bapak itu ngajak aku nikah jadi istri mudanya, aku menolak dan memutuskan untuk tinggal di sini. Jadi pelacur mungkin lebih baik daripada mengkhianati orang yang sudah menolongku." Aku terdiam mendengar kisah Lastri. Keputusan yang kuanggap ngawur, bukankah tidak ada larangan berpoligami dan itu lebih terhormat dari pada menjadi pelacur.

"Kok kamu bisa tinggal di sini?" tanyaku mulai penasaran dengan apa yang dialami Lastri.

"Ibu yang menawariku tinggal di sini. Cewek yang mangkal di sini kebanyakan mereka tadinya peziarah juga, lama lama mereka jadi penghuni di sini." jawab Lastri. Matanya kosong.

"Maksudnya?" tanyaku heran dan tidak begitu mengerti dengan apa yang dikatakan Lastri.

"Awalnya kami datang untuk suatu hajat, tapi setelah beberapa kali datang dan tidak menunjukkan hasil seperti yang kami inginkan, akhirnya kami tinggal di sini. Para pemilik warung di sini biasanya akan membujuk para peziarah wanita yang masih muda untuk menetap di sini dengan dalih agar semua hajat mereka cepat tercapai." jawab Lastri menoleh ke dalam warung, sepertinya dia takut ibu pemilik warung mendengar apa yang baru saja dikatakannya.

"Och, begitu." kataku tidak tahu harus berkomentar apa.

"Mas harus menjaga Mbaknya selama di sini, jangan sampai kena bujukan Ibu warung sehingga dia menjadi penghuni di sini, jadi PSK seperti aku." bisik Lastri di telingaku sehingga aku bisa merasakan nafasnya menerpa wajahku.

"Kok bisa begitu?" tanyaku heran dengan apa yang dikatakan oleh Lastri.

"Percayalah, begitu ada kesempatan Ibu warung akan mendekati Mbaknya dan membujuknya untuk tinggal di sini, macam macam alasannya. Inti bujukannya agar warung ini mempunyai anak buah wanita sehingga selalu ramai." jawab Lastri.

"Lalu kenapa kamu mau dibujuk tinggal di sini?" tanyaku heran.

"Karena hidupku sudah hancur, biarlah semakin hancur." jawab Lastri terdengar putus asa.

Hening, aku iba dengan nasib Lastri, gadis muda yang harus mengalami nasib buruk padahal wajahnya cukup cantik apalagi lesung pipit di kedua pipinya membuatnya semakin cantik saat tersenyum dan tertawa, kulitnya putih dengan tubuh mungil, mungkin dia primadona di sini. Aku menyalahkan keputusannya menjadi pelacur dari pada menjadi istri muda.

"Kamu cantik ! Seharusnya kami mendapatkan suami yang menyayangimu." kataku berusaha menghiburnya, seakan semuanya akan menjadi lebih baik pada saatnya.

“Tapi, nasibku jelek. Tubuhku cuma jadi tempat pemuas birahi, aku mau pergi dari sini, tapi gak tau mau ke mana.? Aku punya kakak di Bogor, mungkin aku ke sana kalau sudah punya cukup uang." kata Lastri membuatku tertarik untuk mengetahui alamat kakaknya yang di Bogor.

"Bogor nya, di mana?" tanyaku antusias. Mungkin aku bisa membantunya dengan menceritakan situasi di Bogor.

"Belum tahu, aku sudah lama sekali gak bertemu dia, terakhir aku dapat kabar kakak pindah ke Bogor..!" jawab Lastri kembali menyalakan rokok. Kepalanya kembali menyender ke dadaku, tanpa di sengaja tangannya menyentuh kontolku yang sudah mulai ngaceng karena berduaan dengannya. Tonjolannya terlihat jelas dari balik celana training karena aku tidak memakai CD.

"Idih, kontol kamu, ngaceng..!" ujar Lastri tertawa. "Hayo, kamu ngebayangin ngentot aku, ya?" tanya Lastri, bibirnya tersenyum menggodaku. Wajahnya semakin mendekati wajahku sehingga hembusan nafasnya menerpa wajahku dan sebuah ciuman kilat mengenai pipi membuatku tersipu.

“Eh, nggak..!” jawabku gagap, tentu saja aku tidak mungkin mengatakan hal yang sebenarnya, aku tidak punya uang untuk bisa menikmati tubuh Lastri. Uangku lebih bermanfaat aku berikan ke ibuku di desa daripada melacur.

“Bohong, buktinya kontol kamu ngaceng…?” Goda Lastri, tangannya dengan berani mengusap kontolku tanpa merasa risih sama sekali, jelas sekali dia sudah terbiasa melakukannya.

"Iiiya,,,! " jawabku gugup. "Tapi aku gak punya, uang. Aku ke sini, semua biaya ditanggung Mbak Wati." kataku jujur, walau sebenarnya aku malu telah mengatakannya. Harusnya aku yang menanggung semua biaya selama di sini, bukan Mbak Wati.

"Kontol kamu panjang, amat !" Kata Lastri tidak menghiraukan perkataanku, tangannya masuk celana training menggenggam kontolku. Matanya terbelalak saat menggenggam kontolku, penasaran dia menurunkan celanaku sehingga kontolku keluar menunjukkan kegaranganya.

"Idih, udah panjang, gede lagi. Keras amat kontol, kamu. Pantas si Mbak berani membayar kamu buat jadi pasangan ritualnya." kata Lastri takjub. Perkataannya membuatku merasa tersinggung karena dia menyamakan diriku dengannya. Atau mungkin yang dikatakan Lastri benar, kami senasib, dibayar untuk memuaskan hasrat birahi berkedok ritual.

"Kamu benar...!" jawabku mengakui kebenaran Lastri.

"Apanya yang benar?" tanya Lastri tersenyum riang, dalam sekejap dia bisa melupakan hidupnya yang pahit karena menemukan teman senasib. Senasib? Apa benar begitu.

"Gak apa apa," jawabku berusaha menghindari pertanyaannya yang memojokkan.

"Kamu mau gak ngentotin aku ? Buat kamu, aku kasih gratis. Soalnya aku pengen ngerasain ngentot dengan anak muda, biasanya yang ngentot denganku bapak bapak semua. Aku cuma pelacur, gak bisa menikmatinya. Aku belum pernah orgasme." Lastri bangun, tanpa menunggu jawabanku dia menarik kontolku memaksaku berdiri.

"Ojo ngawur, Las. Nanti ketahuan Mbaknya.!" entah sejak kapan Ibu pemilik warung sudah ada di dalam warung."Di kamarku saja, biar gak kedengaran." lanjut ibu Pemilik warung sepertinya dia tidak bisa melarang Lastri untuk melakukan apa yang diinginkannya dan seperti yang aku katakan, hal mesum sudah menjadi bagian dari ritual yang seharusnya sakral.

Lastri hanya mengangguk, tangannya tidak melepaskan kontolku bahkan saat berjalan melewati Ibu warung yang melotot melihat kontolku. "Waduh, panjang amat..! Las, bisa sobek memek kamu." kata Ibu warung tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Enggaklah Bu, Mbaknya saja sampai keenakan begitu," jawab Lastri menarikku masuk kamar yang tepat berada di samping pintu masuk warung. Tanpa pemanasan, Lastri mendorongku jatuh ke kasur yang lebih empuk dibandingkan kasur di kamar yang kutempati.

"Aduh, memekku jadi gatel begini." kata Lastri langsung membuka semua pakaiannya hingga bugil memamerkan tubuhnya yang mungil, tubuh gadis remaja yang sudah ternoda namun keindahannya tidak berkurang sedikitpun.

Dengan tidak sabar Lastri, langsung berjongkok di atas kontolku yang sudah siap melaksanakan tugasnya. Matanya mendelik saat kontolku menerobos memeknya.

"Aduh gede amat, susah masuknya.!" seru Lastri menghentikan aksinya. Dia berhenti sejenak dan kembali menekan pinggulnya dengan lebih berhati hati hingga akhirnya kerasnya menunjukkan hasil, kontolku terbenam hingga dasar memeknya.

"Buuuuu, kontolnya kegedean......Masukkkkk juga...!" matanya mendelik merasakan memeknya semakin melebar karena ukuran kontolku yang mungkin terlalu besar untuk memeknya yang terlalu sempit.

"Las, kamu gak apa apa?" tanya Ibu warung, sepertinya dia khawatir dengan jeritan Lastri yang cukup keras.

"Ennak banget memek, kamu Las..!" kataku takjub dan rasanya seperti mimpi, kontolku bersarang di memek kedua malam ini. Dalam semalam aku bisa merasakan dua memek sekaligus.

"Ennnnak, Bu. Rasanya ganjel di memek..!" kata Lastri mengangkat pinggulnya perlahan lalu menurunkannya lagi lebih perlahan.

"Aaaaaa, memekku dower Bu dikenthu kontol guede..!" rintihan Lastri membuat bulu kudukku merinding, matanya terpejam menikmati sesuatu yang sangat berbeda di memeknya.

"Las, jangan kenceng kenceng, nanti Mbaknya bangun.!" kata Ibu warung khawatir Mbak Wati mengetahui perbuatan kami.

"Ennnak Bu....ibu harus nyobain kontol masnya..!" kata Lastri tetap dengan suara keras membuatku ikut khawatir Mbak Wati bangun. Aku kesini semua biaya ditanggung Mbak Wati, bagaimana kalau dia tahu dan marah lalu meninggalkanku di sini? Aku gak bawa uang cukup buat pulang ke Bogor.

"Makinnnn ennnnak Bu...!"kata Lastri, pinggulnya semakin lancar mengocok mengocok kontolku, memeknya sudah semakin basah dan licin sehingga rasanya tidak sesempit tadi.

"Pelan pelan, Las..!" aku memperingatkan Lastri agar tidak terlalu berisik, keadaanku sangat terancam kalau sampai Mbak Wati memergoki kami dan meninggalkanku di tempat ini. Hanya ada uang 30 ribu di dompetku, dengan uang sebesar itu, rasanya mustahil aku bisa pulang ke Bogor.

"Gak bisa, kontol kamu terlau ennnnnnk Buuuu, ibu mesti nyobain kontol segede gini..." kata Lastri tanpa berusaha mengecilkan volume suaranya.

Aku menarik Lastri tengkurap di atas tubuhku, bibirku menyumpal bibir Lastri yang mungil agar tidak bersuara sementara pinggulnya terus mengocok kontolku dengan bersemangat.

"Las, Las? Kamu gak apa apa?" tanya Ibu warung terdengar khawatir karena tidak terdengar suara Lastri.

"Hmmm mmmmm,!" Lastri berusaha melepaskan ciumanku untuk menjawab pertanyaan Ibu warung, tapi aku tidak membiarkan bibirnya terlepas dari sumpalan bibirku. Bisa kacau apa bila Mbak Wati terbangun dan keluar mencari sumber suara gaduh di malam yang seharusnya sepi.

"Waduh, kirain aku kamu pingsan Las..!" seru Bu warung yang masuk tanpa mengetuk pintu, melihat pantat Lastri yang mengocok kontolku dengan cepat.

"Aduh...!" teriakku melepaskan bibir Lastri karena bibirku sakit kena gigitan Lastri.

"Enak banget Bu, kontol gede...!" jawab Lastri kembali berjongkok setelah terbebas dari pelukanku.

"Bibirku sakit, Las..!" kataku jengkel. Ada cairan yang terasa asin saat aku menjilat bibirku. Aku yakin, ini adalah darah.

Lastri benar benar liar, dia memacu kontolku semakin cepat tidak peduli dengan kehadiran ibu warung yang menjadi penonton. Untung suaranya mulai diperkecil sehingga aku bisa menarik nafas lega.

"Akkkkku gakkk kuaaaaaat...!" rintihan Lastri terdengar seperti suara yang tercekik, mungkin dia berusaha untuk tidak berteriak.

"Lasssss gak kuatttt, kelllluar..!" kembali suara Lastri meninggi saat puncak orgasme di raihnya, suaranya lebih tinggi daripada tadi. Aku yakin, kali ini Mbak Wati pasti akan bangun dan keluar mencariku. Habislah aku.

"Gantian Las, aku juga pengen nyobain seenak apa kontol gede..!" kata ibu warung menarik Lastri untuk menggantikannya.

"Nanti dulu Bu, memekku masih ennak..!" jawab Lastri menarik lepas tangannya dari pegangan Ibu warung.

"Buruan, nanti Mbaknya keburu bangun." kata Ibu warung memaksa Lastri bangun dari atas tubuhku.

"Aduh, bisa pada pelan gak sih, suaranya?" kataku jengkel, terlebih aku sama sekali tidak menikmati ngentot dalam keadaan ketakutan seperti sekarang.

"Jang, Ujang, kamu di mana ?" suara Mba Wati memanggilku dari kamar kami menginap, membuatku terkejut, matilah aku. Mbak Wati pasti sedang mencariku. Apa yang aku takutkan akhirnya terjadi juga.

"Walah keburu bangun, kamu sich Las berisik." kata Ibu warung buru keluar kamar meninggalkan kami.

"Buruan mas, keluar..!" kata Lastri menggulingkan tubuhnya di sampingku. Aku segera berdiri dan membetulkan celanaku sambil berjalan cepat keluar kamar.

"Iya, Mbak..! Aku lagi ngerokok di luar..!" jawabku setengah berteriak, aku lega di luar kamar tidak ada Mbak Wati, sepertinya dia masih di dalam kamar.

"Jang, anter Mbak pipis. Loh kok, belum tidur, Bu ?" sapa Mbak Wati menyapa Ibu Warung yang tersenyum geli.

**********
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd