Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Ritual Sex di Gunung Kemukus

Bakal banyak enak2 nih. Semoga lancar update dan rlnya suhu. Jadi penasaran gimana kelanjutan setelah di Kemukus dan kelanjutan dg Lastri..
 
Bab 5 : Pertemuan yang Mengejutkan



Jam 10 siang aku terbangun, kulihat Mbak Wati duduk membelakangiku dalam keadaan bugil sambil menyisir rambutnya yang panjang dan basah, tercium bau sabun dan shampo. Aku menggeliat merenggangkan otot ototku, momen yang tidak mungkin aku sia siakan, tanpa meminta izin aku meraih toket besar Mbak Wati dengan gemas aku meremasnya membuat Mbak Wati terpekik kaget. Belum hilang rasa kaget Mbak Wati, aku sudah mencaplok pentil toketnya dengan rakus aku menghisapnya, sunggu sarapan pagi ternikmat.

"Ujang, bangun tidur kok langsung nyusu ? Mandi dulu, sana...!" protesnya tidak sesuai dengan kenyataan. Tangannya malah menekan kepalaku semakin terbenam di payudaranya yang hangat. Membuatnya seperti sedang menyusui anaknya yang terbangun dari tidur karena lapar.

"Habis Mbak juga, sih. Aku bangun tidur disuguhi susu Mbak yang indah." kataku kembali membenamkan wajahku di payudaranya yang menggantung indah. Aku tidak bosan dan tidak akan pernah bosan melakukannya, semuanya salah Mbak Wati yang membuatku ketagihan oleh susunya. Aku lebih suka menyebutnya susu.

"Ya udah, sana kamu mandi dulu." katanya sambil mendorong kepalaku dan mengambil handuk yang masih lembab karena bekas dipakainya dan menyodorkannya kepadaku.

"Mbak, aku pengen..!" kataku merengek seperti anak kecil. Tanganku terulur meraba memeknya yang sudah menodai keperjakaanku.
Memek yang sudah memberiku kenangan terindah.

"Nakal ya, mandi dulu. Memek Mbak gak akan ke mana mana..!" jawab Mbak Wati menutup wajahku dengan handuk yang dipegangnya.

Aku beranjak malas, aku belum puas bermain bermain dengan payudaranya. Aku menatap Mbak Wati berharap dia menawarkan tubuhnya untuk kunikmati sebelum mandi. Kontolku kembali bangkit tanpa dapat aku cegah.


"Mandi dulu, nanti tak kasih memek...! Kata Mbak Wati seperti mengerti apa yang aku pikirkan, terlebih melihat kontolku yang menonjol dari balik celana.
Janji yang membuatku tersenyum senang.

"Iya, Mbak cantik..!" godaku sambil mengelus pipinya yang tidak bisa dikatakan halus, pipi wanita pertama yang aku cium. Pemilik pipi chubby yang mengajariku kenikmatan terlarang yang berkedok ritual. Aku ragu, ini sebenarnya ritual atau sekedar mengumbar nafsu birahi, bagiku sama saja karena kedatanganku justru ingin menikmati tubuh indah Mbak Wati.

Aku berjalan ke kamar mandi. Di depan kamar mandi aku berpapasan dengan Ibu pemilik warung yang tersenyum, entah apa arti senyumnya setelah semalam dia gagal menikmati kontolku.


"Kasian deh, kamu. Gagal ngecrot di memeknya ,Lastri." bisik Ibu pemilik warung sambil meninggalkanku yang tersipu malu mengingat kejadian semalam, kejadian yang tidak pernah kuduga sebelumnya.
Bukannya ibu warung yang gagal menikmati kontolku.

Aku segera masuk kamar mandi yang kecil, kamar mandi sederhana untuk para peziarah yang datang menginap. Belum sempat aku menutup pintu kamar mandi, tiba tiba Lastri muncul, nyerobot masuk kamar mandi tidak menghiraukan keberadaanku.

"Nanti dulu, aku kebelet pipis." katanya, tanpa risih membuka celana di depanku lalu jongkok. Serrr, suara air kencing keluar dari memek Lastri membuatku melihat ke arah selangkangannya, sebagaian air kencingnya mengenai telapak kakiku, terasa hangat. Aneg, aku sama sekali tidak merasa jijik.

"Kamu gak malu, kencing di depanku ?" tanyaku menatapnya, berusaha melihat memeknya yang terhalang oleh celana di pahanya.

"Gak Lah, kan semalam kamu udah ngentot memekku..." katanya cuek, karena dia sudah terbiasa memperlihatkan seluruh bagian tubuhnya ke pria yang baru dikenalnya.

"Iya, tapi aku belum ngecrot di memek, kamu." kataku, teringat dengan perkataan ibu warung. Lastri tertawa mendengar perkataanku, dia mengambil air dengan gayung untuk membersihkan memeknya.

"Kalau mau ngecrot di memek Lastri, harus bayar..!" kata Lastri berdiri memperlihatkan memeknya kepadaku dan mengelus elusnya, Lastri langsung menaikkan celanya saat aku akan menyentuh memeknya, membuatku mendongkol dan meninggalkanku yang menatap kepergiannya.

Percuma membayangkan memek Lastri, masih ada memek Mbak Wati yang bisa kunikmati sepuasnya. Aku segera mengguyur kepalaku dengan air yang berada di kolam.

Selesai mandi, badanku terasa segar. Di kamar Mbak Wati sudah berpakaian lengkap, mengenakan kaos lengan panjang warna biru dan celana panjang jeans ketat mencetak pahanya yang montok terlihat jelas. Rambutnya yang panjang, dibiarkan tergerai membuatnya terlihat lebih cantik alami tanpa polesan. Penampilannya seperti seorang gadis, wajahnya terlihat lebih muda dibandingkan dengan penampilannya selama ini.

"Mbak, katanya setelah aku mandi mau ngentot?" tanyaku kecewa.

"Makan dulu, Jang. Mbak lapar." jawab Mbak Wati tertawa geli melihat nafsuku yang sangat besar. Dengan setengah jengkel, aku mengangguk menyetujui ajakannya.

Selesai berpakaian, kami keluar kamar. Di depan kami melihat Ibu Warung sedang asik ngobrol bisik bisik dengan Lastri, entah apa yang mereka bicarakan, sepertinya mereka sedang membicarakan kejadian semalam, buktinya mereka ngobrol dengan cara berbisik bisik. Biarlah, aku pura pura tidak ada kejadian apa apa semalam, jangan sampe Mbak Wati curiga

"Kopi, teh manis dan sarapan ya, Mbak ? Tanya Ibu warung ke Mbak Wati, sepertinya dia langsung hafal apa yang akan kami pesan, pengalaman selama mengelola penginapan mesum hampir semua yang menginap di sini hanya keluar kamar untuk makan dan minum kopi.

"Iya, Bu." jawab Mbak Wati sambil menarikku duduk di sampingnya, di kursi kayu panjang yang biasa ada di warung pinggir jalan dan bisa menampung beberapa orang sekaligus sehingga tidak memakan banyak tempat.

"Habis sarapan kita jalan jalan liat waduk, ya!" kata Mbak Wati. Tangannya memeluk pinggangku dengan mesra, seolah aku adalah kekasihnya. Ya, selama di sini ada keyakinan bahwa pasangan ritual adalah suami istri, walau pada kenyataannya mereka hanyalah pasangan mesum untuk kesempurnaan ritual. Padahal jelas jelas kehadiran merek tidak sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Dewi Ontrowulan, mereka bukan DEMENAN.

"Jang, dari tadi kamu liatin Lastri terus, pengen ya?" goda Mbak Wati berbisik setelah menyadari arah tatapanku.

"Eng enggak, Mbak" jawabku gugup. Siapa juga pria yang tidak akan melirik ke arah gadis cantik dengan sepasang lesung pipit di pipinya saat tersenyum. apa lagi setelah kejadian semalam, kejadian yang membuatku sport jantung sehingga aku tidak bisa menikmati.

"Kalau kamu mau, bilang aja. Asal kamu punya uang..!" bisik Mbak Wati menggodaku. Sepertinya Mbak Wati tahu banyak situasi di sini.

Aku tidak menjawab, tanganku langsung mengambil sendok di piring nasi yang sudah tersaji di hadapanku. Tidak banyak yang kami obrolkan selama sarapan. Kami lebih asik dengan menu sarapan, nasi yang masih hangat, orek tempe, sayur sop dan ikan goreng yang katanya hasil tangkapan dari waduk yang mengelilingi Gunung Kemukus.

Saat kami asyik menyantap makan, datang 2 orang yang langsung duduk di hadapan kami. Aku terkejut melihat kedatangan dua orang yang sangat kami kenal. Tidak salah lagi, wanita berjilbab pink dan gamis yang juga pink itu adalah Lilis langganan mie ayamku dan Suaminya Pak Budi tetangga kami 1 RT di Bogor.

Seperti halnya kami, Lilis dan suaminya tampak terkejut melihat kami, beberapa saat kami hanya saling pandang tidak percaya dengan pertemuan di Gunung Kemukus, tempat ziarah mesum yang sudah sangat terkenal. Mereka tentu merasa malu karena bertemu kami di sini, tempat mesum. Mereka orang yang terhormat dan terpandang, tempat ini terlalu kumuh untuk mereka.

"Loh, Mbak Wati,Ujang kalian di sini ?" tanya Pak Budi yang sudah bisa mengendalikan diri dari keterkejutannya.

"Iya, pak. Kami sedang ziarah." kata Mbak Wati dengan suara pelan. Malu bertemu di tempat mesum seperti ini dengan orang yang kami kenal.

Lilis menunduk malu, wanita yang kukenal alim dan aktif di pengajian. Wanita yang cantik dan anggun yang selalu mengenakan jilbab dengan kecantikan khas wanita priangan, kulitnya yang kuning langsat. Tapi sepertinya dia tidak perlu merasa malu karena datang bersama suaminya. Itu artinya dia datang dengan tujuan untuk berziarah, bukan untuk melakukan ritual mesum.

"Dari kapan kalian di sini?" tanya Pak Budi, lagi. Nada bicaranya normal, seolah bertemu di tempat ini adalah hal yang biasa. Matanya melihat ke arahku dengan tatapan mata menyelidik membuatku menunduk malu, sepertinya Pak Budi tahu aku terus menatap wajah Lilis yang menunduk.

"Dari kemarin, Pak " kata Mbak Lastri yang sudah kembali tenang. Torch Pak Budi dan istrinya kesini juga pasti mau ritual juga. Jadi, buat apa harus malu. Yang jadi pertanyaan, kenapa Pak Budi datang dengan istrinya ? Bukankah menurut keyakinan, ritual sex harus dilakukan dengan pasangan tidak sah. Bisa saja mereka janjian dengan pasangan lain untuk melakukan ritual.

"Bu, masih ada kamar kosong ?" tanya Pak Budi ke Ibu Warung. Sudah jelas sekarang, kedatangan mereka untuk melakukan ritual.

"Masih, Pak. Mari saya antar." jawab Ibu Warung yang terlihat senang, kamar yang disewakannya kembali terisi, itu artinya pundi pundi uangnya bertambah.

"Mbak, Jang, aku tinggal sebentar ya !" kata Pak Budi mengambil tas berisi baju diikuti Lilis sambil melemparkan senyum kepada kami. Aku memperhatikan kepergian mereka mengikuti Ibu pemilik warung, Lilis menoleh ke arah kami dan kembali memamerkan senyum yang membuatnya semakin cantik.

"Mbak... Ko Pak Budi sama Teh Lilis juga ke sini, ya? Kan mereka udah kaya ya. " kataku tidak bisa menyembunyikan rasa ingin tahuku, menurut kami Pak Budi sudah cukup kaya, kehidupan mereka terlihat berlimpah. Hanya kekurangan mereka itu belum dikaruniai anak. Kalau mereka berniat melakukan ritual seperti kami, sungguh beruntung pria yang menjadi pasangan ritual Lilis, andai pria itu adalah aku.

"Mungkin pengen lebih kaya lagi, Jang. Hayo, kamu mengharapkan ritual dengan Teh Lilis, ya? " goda Mbak Wati yang bisa menebak pikiran ku, jangan jangan dia punya kemampuan supranatural sehingga tebakannya selalu tepat.

"Tapikan mereka suami istrikata Mbak, ritualnya harus dilakukan dengan pasangan tidak sah?"tanyaku, penuh harap mendapatkan durian runtuh, menjadi pasangan ritual Lilis.

Belum sempat Mbak Wati menjawab, Pak Budi muncul memanggil kami. "Mbak Wati, Ujang, kita ngobrol di kamar dulu, yuk !" kata Pak Budi menghampiri kami yang sudah selesai makan dan menikmati kopi dan teh manis.

"Iya Pak, sebentar..!" jawab Mbak Wati menarik tanganku mengikuti Pak Budi kembali masuk kamar, entah apa yang akan dibicarakannya.

"Begini Mbak, kami kesini belum punya pasangan ritual. Bagaiimana kalo kita tukar pasangan?" tanya Pak Budi membuat jantungku berdegup sangat kencang, apa yang dimaksud Pak Budi adalah aku menjadi pasangan ritual Lilis sementara dia berpasangan dengan Mbak Wati?
Aku nyaris tidak bisa bernafas membayangkan Lilis akan menjadi pasangan ritualku, hal yang sempat terlintas oleh pikiranku beberapa saat tadi dan sepertinya akan terjadu, sekarang semuanya tergantung Mbak Wati, dia akan bersedia atau tidak. Aku menoleh ke arah Mbak Wati, nenunggu jawaban yang akan keluar dari bibirnya.

"Maksudnya, Pak ?" tanya Mbak Wati, membuatku merasa jengkel. Ajakan Pak Budi sudah sangat jelas jadi tidak perlu dijelaskan lagi. Mbak Wati hanya perlu menjawab Ya Ya dan Ya, semoga Mbak Wati tidak menolak ajakan Pak Budi.

Dia menoleh ke arahku yang gelisah, seperti seorang pesakitan yang menunggu vonis dari hakim dan hakim itu adalah Mbak Wati, cepat keluarkan vonismu sebelum aku jatuh pingsan.

"Maksudnya, Mbak jadi pasangan saya, Ujang jadi pasangan Lilis. Kan aturan Ritual Gunung Kemukus harus bersetubuh dengan orang lain. Tadinya kami sengaja datang hari ini, biar besok kami leluasa mencari pasangan. Kebetulan kita bertemu disini, ya sudah kita tukar pasangan saja. Apalagi kita ini tetangga, jadi kalo salah satu diantara kita berhasil, kita bisa bantu pasangan Ritual kita dan situasinya bisa jadi lebih mudah daripada kami harus mencari pasangan yang belum kami kenal." kata Pak Budi, panjang lebar. Aku melihat ke arah Lilis yang tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Tuhan, seberuntung apa aku sehingga ada bidadari yang menawarkan tubuhnya, semuanya kembali kepada keputusan Mbak Wati. Semoga keberuntungan yang berada di hadapanku tidak hilang karena keputusan Mbak Wati yang salah

"Saya sih mau saja, Pak, nggak tahu kalau Ujang." kata Mbak Wati, menoleh kepadaku. Padahal Mbak Wati tidak perlu bertanya kepadaku, sudah jelas aku akan sangat setuju. Kenapa dia sekarang nenyerahkan semuanya kepadaku, hal yang tidak seharusnya dia lakukan.

"Gimana, Jang ?" Pak Budi bertanya padaku, nafasku serasa berhenti.

"Iy, iya, Pak.!" jawabku gugup, siapa yang tidak akan gugup bila seorang suami memintaku menggauli istrinya yang cantik. Aku benar benar mendapatkan durian runtuh, hal yang tidak akan kudapatkan dalam situasi normal. Sebuah cubitan kecil dari Mbak Wati sama sekali tidak bisa menyakitiku.

"Ya sudah, kamu ambil pakaian kamu bawa ke sini, aku pindah ke kamar, Mbak Wati. Aku siapin pakaianku dulu, Jang. Selama di sini, Mbak Wati jadi istriku dan Lilis jadi istri kamu. Habis ini kita mandi di Sendang Ontrowulan dan ziarah ke makam Pangeran Samudra." kata Pak Budi yang bergerak cepat, tidak mau waktu terbuang percuma.

Aku dan Mbak Wati keluar kamar menuju kamar yang kami tempati sejak kemarin. Hanya terpisah oleh 2 kamar. Aku mulai memasukkan semua pakaianku ke dalam ransel dan ingin secepatnya pindah ke kamar sebelah. Setelah selesai, aku keluar menuju kamar Teh Lilis.

"Enak kamu bisa ritual dengan Lilis..!" kata Mbak Wati suaranya terdengar ketus. Aku nenoleh heran. Kenapa Mbak Wati terlihat jengkel karena menerima ajakan Pak Budi bertukar pasangan, bukankah itu atas persetujuannya.

"Mbak juga enak bisa ritual dengan Pak Budi yang ganteng dan kaya." kataku tertawa senang, swberbtar lagi aku akan bisa nebdekap tubuh seorang bidadari yang tubuhnya harum. Percakapan kami terhenti saat mendengar langkah kaki mendekati kamar.

"Jang, titip Lilis, ya !" kata Pak Budi yang masuk tanpa mengetuk pintu, semoga dia tidak mendengar percakapanku dengan Mbak Wati.

"Iyyya. pak..!" jawabku tidak berani membalas tatapan Pak Budi.

"Selama di sini, perlakukan Lilis sebagai istrimu." kata Pak Budi sebelum aku keluar kamar. Aku hanya mengangguk, kenapa hanya beberapa hari bisa memiliki Lilis, bukan untuk selamanya. Beberapa hari, seharusnya lebih dari cukup, seharusnya aku bersyukur.

Bergegas aku menuju kamar tempat Lilis menunggu, di depan pintu kamar aku ragu membukanya. Ini masih seperti mimpi buatku, berpasangan dengan Lilis melakukan ritual mesum. Aku mencubit pergelangan tanganku untuk memastikan bahwa ini bukanlah mimpi, ini nyata dan aku bersyukur telah mendapatkan bidadari di tempat ini. Aku berdiri termangu di depan pintu yang sedikit terbuka.


"Masuk Jang, kok kamu malah bengong di luar..?" kata Lilis dengan suaranya yang merdu menyadarkanku. Perlahan aku masuk dan duduk di sampingnya, kali ini aku tidak berani menatap wajahnya yang menurutku terlalu cantik. Aku merasa seperti anak itik buruk yang bersanding dengan angsa yang cantik dan menjadi pusat perhatian.

Lilih tersenyum. Ada susu hangat di meja dan air mineral botol serta roti. Tatapan matanya masih sama seperti saat kami ngobrol di Bogor sambil membuat Mie Ayam, obrolan yang selama ini kuanggap sebagai basa basi dari pelanggan Mie Ayam ku. Tapi sekarang bukan hanya sekedar mengobrol, bahkan lebih daripada itu aku bisa menikmati tubuhnya, bagian paling rahasia.

"Duduk dulu, Jang. Teteh minum susu dulu, baru kita mandi di Sendang dan ziarah. " katanya sambil meminum susu hangatnya, perlahan lahan.

"Kamu mau, Jang?" Lilis memberikan gelas susu yang tersisa setengah. Aku terpaku melihat ke arah gelas yang berada dalam genggaman tangannya.

"Minum, Jang..!" Lilis menempelkan gelas pada bibirku, bibirku terbuka sedikit saat susu mengalir masuk ke mulutku. Semuanya seperti mimpi, Lilis memperlakukanku seperti seorang kekasih, sayang aku hanya akan mengalaminya selama di Gunung Kemukus saja, tidak akan pernah saat kami pulang.

"Kamu kenapa Jang, kelihatan tegang?" tanya Lilis, tanganya yang halus mengusap keringat yang tiba tiba membasahi pelipisku, membuat keringat semakin banyak keluar dari pori poriku.

"Kamu sudah berapa kali kesini sama Mbak Wati, Jang?" tanya Lilis berusaha mencairkan suasana yang terasa kaku.

"Baru sekali, Teh. Teteh kan sudah kaya, ko masih kesini ?" tanyaku mulai bisa mengendalikan diri. Hal yang pertama kali aku tanyakan adalah hal yang juga aku tanyakan ke Mbak Wati begitu melihat mereka di sini.

"Kami sudah 10 tahun menikah, tapi hingga sekarang kami belum dikaruniai seorang anak, padahal sudah semua cara kami coba tapi nihil. Kalo kata dokter, aku dan A Budi sama sama mandul, kami kesini karena ingin aku bisa hamil." kata Lilis menerangkan maksud kedatangannya ke sini. Ternyata dia datang agar bisa hamil.

"Och begitu, Teh..?" jawabku singkat, apakah itu berarti aku harus bisa menghamili, Lilis. Kalau benar Lilin bisa hamil olehku, anak kami pasti akan mempunyai wajah rupawan, tanpa sadar aku tersenyum membayangkannya.

"Jang, rencananya Teh Lilis mau ritual sampe malam Jum'at Kliwon. Jadi 9 hari di sini. Kamu mau kan, menjadi pasangan ritual Teteh selama di sini ? Semua biaya yang menanggungnya, kamu hanya menemani Lilis ritual, semoga kamu bisa menghamili Lilis." tanya Lilis, sebuah ajakan yang tidak mungkin aku tolak, 9 hari bersama wanita secantik Lilis, seperti sedang berbulan madu apa lagi aku harus bisa menghamilinya.

"Pak Budi, juga sampe Jum'at Kliwon, Teh?" Tanyaku.

"Suami Lilis hari Jum'at pulang. Kan banyak kerjaan. Mau ya, Jang. Nemenin Lilis selama di sini.?" Tanya Lilis memohon padaku. Oh Tuhan, wanita secantik Lilis memohon padaku, aku merasa menjadi seorang pangeran.

"Iyya Teh, Ujang mau..!" ajakan yang tidak mungkin aku tolak, ini adalah hari keberuntunganku. Teh Lilis langsung memelukku disertai sebuah ciuman pada pipi ku, sehingga aku bisa mencium tubuhnya yang harum.
Lilis menciumku? Apa ini hanya mimpi.

"Lis, sudah siap belum? Kita berangkat ke Sendang Ontrowulan." Tiba tiba Pak Budi mengetuk pintu, menyadarkanku bahwa yang kualami bukanlah mimpi.

"Iya A, tunggu sebentar..!" jawab Lilis kembali menciumku dan kali ini dia mencium bibirku membuatku shock, langganan Mie Ayamku yang cantik mencium bibirku, Lilis begitu agresif.

"Jangan bengong aja, yuk..!" Lilis menarik tanganku berdiri dan keluar dari kamar yang tersa pengap.

Kami berjalan mengikuti Pak Budi dan Mbak Wati yang berjalan lebih dahulu menuju Sendang Ontrowulan, ada kebanggan yang tidak bisa kusembinyakan berjalan bergandengan tangan dengan wanita secantik Lilis. Orang orang yang sedang mengobrol di warung warung yang berjejer sepanjang jalan melihat ke arahku dengan perasaan iri dengan keberuntungan ku. Suasana masih belum begitu ramai, tapi besok para peziarah akan datang dari semua penjuru menyambut malam Jum'at Pon, malam yang dianggap paling sakral untuk ngalap berkah khususnya para pelaku pesugihan.

Di dekat sendang, Pak Budi membeli 4 bungkus kembang untuk mandi. Kami berempat segera masuk bilik sendang ontrowulan, karena suasana sepi kami bisa mandi bareng tanpa terganggu oleh peziarah lainnya. Awalnya Lilis menolak mandi bareng, dia ingin mandi sendiri karena masih malu. Namun Pak Budi meyakinkan untuk mandi bersama sama, ini salah satu syarat ritual. Akhirnya Lilis setuju.

Di dalam, Mbak Wati orang pertama yang melepas pakaian hingga bugil, tidak ada rasa risih sedikitpun mempertontonkan tubuhnya yang montok, payudaranya yang menggantung seperti pepaya terekspos membuat mata Pak Budi melotot takjub. Karena payudara Mbak Wati adalah bagian yang menurutku paling indah dan menggoda iman dan selalu menarik perhatian teman temanku termasuk aku. Pak Budi ikut ikutan melepas semua pakaiannya. Di usianya yang ke 40, perutnya mulai membuncit.

"Kok kalian belum buka, baju?" tanya Pak Budi menatap Lilis yang terlihat ragu untuk melepas pakaiannya, lalu beralih menatapku.

"Kalian dulu yang mandi, nanti aku berdua saja dengan Ujang. Kan harus berpasangan." kata Lilis menolak membuka pakaiannya di depan Mbak Wati atau mungkin dia merasa sungkan dengan kehadiran Pak Budi yang akan melihat tubuh istrinya telanjang di hadapan pria lain.

"Okelah kalau begitu." jawab Pak Budi yang tidak mau berlama lama di kamar mandi dalam keadaan telanjang. Dengan cepat Pak Budi dan Mbak Wati melakukan prosesi ritual mandi kembang, bergantian mereka saling memandikan.

"Aa dan Mbak Wati keluar dulu, sekarang giliran Lilis mandi." kata Lilis setelah Pak Budi dan Mbak Wati selesai mandi. Pak Budi hanya mengangkat bahu dan keluar bersama Mbak Wati meninggalkan kami berdua di dalam sendang.

Aku melepas pakaianku mempertontonkan kulitku yang hitam karena setiap hari terjemur matahari. Walau tubuhku kurus, tapi kontolku membuat Teh Lilis menjerit kecil. Mungkin kaget melihat ukurannya.

"Idih, Ujang. Gede amat !!!" Teh Lilis terbelalak melihat kontolku yang setengah tegang, tangannya menutup mulut. "Jang, jangan liahat, Lilis mau buka baju..!" kata Lilis menyuruku membelakanginya. Aku memandangnya heran, kenapa aku tidak boleh melihat tubuh indahnya, bukankah ritualnya harus dalam keadaan bugil.

"Kok!" seruku heran, aku tidak mau membiarian momen pertama melihat Lilis membuka bajunya. Aku sangat ingin melihatnya.

"Lilis malu, Jang, belum psrnah telanjang di hadapan pria lain." kata Lilis menunduk malu. Heran, bukankah dis sudah terbiasa telanjang di hadapan Pak Budi, kenapa haru malu telanjang di hadapanku yang sama sama pria.

"Ujang, disuruh jangan lihat malah melotot begitu." kata Lilis dengan mata mendelik, namun aku bisa melihat senyum samar di bibirnya yang basah alami.

"Aku ingin lihat," jawabku kecewa. Aku meraih timba dan mulai mengambil air dari dalam sumur, membiarkan Lilis membuka pakaiannya tanpa merasa malu, toch pada akhirnya aku bisa melihat sekujur tubuh indahnya sebagai syarat mutlak ritual. Aku hanya perlu sedikit bersabar.

"Sudah penuh, Jang..!" kata Lilis menyadarkanku bahwa ember yang kuisi sudah penuh dan tidak mampu menampung air yang terus kutimba. Aku berbalik menghadap Lilis dan aku menatap takjub tubuh polos Lilis yang berdiri tanpa beruasaha menutupi bagian vital tubuhnya dengan tangan sperti layaknya orang yang sedang malu. Ternyata di balik gamisnya yang besar, menyimpan kemolekan tubuh yang nyaris sempurna. Kulitnya kuning langsat, halus tanpa cacat. Payudaranya sedang, tidak besar dan juga tidak kecil namun justru sangat indah, perutnya rata tanpa lemak, pinggangnya ramping, pinggulnya bulat dan berisi. Benar benar tubuh yang nyaris sempurna dan sebentar lagi aku akan bisa mencicipinya dan menikmatinya selama 9 hari ke depan. Perlahan kontolku menegang sempurna.

"Kenapa Jang, melihatnya seperti itu? Jang, kontol kamu makin, gede." kata Lilis, dia mulai berani melihat kontolku, bahkan dia mulai berani menggodaku dengan menoel kontolku membuatku menahan nafas dengan godaannya. Wanita yang kukenal alim ternyata bisa berbuat mesum.

"Kita jangan lama lama, Lilis dingin..!" kata Lilis, terlihat jelas puting payudarany mengeras.
Aku hanya mengangguk untuk segera memulai ritual mandi.

Setelah selesai ritual mandi kembang di sendang Ontrowulan, kami segera ke makam Pangeran Samudra untuk berziarah. Seperti kemarin saat ziarah dengan Mbak Wati, kami ditanya nama oleh kuncen, cuma bedanya pasanganku sekarang Lilis, dan Mbak Wati berpasangan dengan Pak Budi.

Di dalam bangsal sonyoruri makam Pangeran Samudro, kami menaburkan bunga lalu mulai berdoa dengan khusuk. Seperti kemarin, bulu kudukku merinding. Seperti ada makhluk gaib yang melihat ke arah kami. Detak jantungku semakin kencang. Keheningan itu terasa lama, sehingga aku bisa mendengar detak jantungku, suara nafasku terasa berat.

Keheningan itu pecah oleh isakan tangis Mbak Wati dan rupanya isak tangis Mbak Wati menular ke Lilis. Suara isakan Mbak Wati dan Lilis membuatku semakin merinding.

Bersambung
 
Terakhir diubah:
Mantap gan... Makasih updatenya, semangat terus semoga tidak macet

Kalau boleh nubi saran , Mulustrasi gan biar crot maksimal
 
Apa mungkin Ujang trisam bareng lastri juga wati ...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd