Maaf selalu bikin kentang suhu semua, lol.
Part 4
[HIDE]Bu Etin memegang pantatnya, “Masukin kontolnya, Mas.”
“Hah?” aku terkejut. Bu Etin mengelus-elus vaginanya yang sudah basah. Meski penuh dengan bulu kemaluan, tapi vaginanya cukup terlihat jelas.
“Masnya gak mau ngentotin memekku apa?” tanya Bu Etin.
“Eh … .” Aku kebingungan, apa benar aku menginginkan Bu Etin?
Dalam keheningan, samar-samar terdengar seseorang yang datang, sambil memanggil-manggil Bu Etin.
“Bu Etin. Bu—, ”
Aku cukup mengenal suara itu. Pak Tardi, hansip di desa kami. Ada apa gerangan dia ke sini mencari Bu Etin. Kami berdua langsung diam tanpa suara, meski pun napas yang memburu ini masih sulit untuk diredakan.
Bu Etin mendekatiku, lalu membisikkan, “Aku lupa, Mas. Hari ini Rabu, jadwalnya Pak Tardi.” Mendengar ucapannya aku agak kurang mengerti, jadwal apa yang Bu Etin maksud.
“Bentar, Pak. Aku habis mandi.” Bu Etin membuka pintu wc lalu keluar perlahan, ia tak lupa menahan pintu agar tetap tertutup. Sekilas kulihat Pak Tardi yang mengenakan seragam hansipnya. Aku berusaha untuk tidak ketahuan. Kubiarkan pintu tidak terkunci agar tidak menimbulkan kecurigaan. Sambil mengintip apa yang sebenarnya terjadi antara Bu Etin dan Pak Tardi.
Bu Etin telanjang bulat, Pak Tardi menatap dengan penuh napsu. Apakah yang dimaksud Bu Etin dengan jadwal itu ia menjatah Pak Tardi setiap hari rabu? Dan kalau benar, berarti selama satu minggu Bu Etin dijamah oleh tujuh pria yang berbeda tiap harinya. Aku sampai lupa dengan rumor tentangnya. Mungkin karena pikiranku yang sudah terpenuhi dengan hasrat untuk menyetubuhinya. Ini tidak bisa kutolerir, tujuh hari dengan tujuh pria yang berbeda, yang entah apa mereka lelaki yang baik—kesehatannya.
Sementara itu, kulihat Pak Tardi sudah melepaskan celananya, Bu Etin baru saja mengunci ruangan ini. Ia langsung menggenggam penis Pak Tardi, lalu dikocoknya. Postur Pak Tardi kurus dengan tinggi yang pas-pasan, tidak begitu proporsional dengan penis yang pendek gemuk. Pak Tardi mendesah, menerima kocokan tangan Bu Etin.
“Pak, jangan keras-keras!” ucap Bu Etin.
“Nanti ketahuan orang, bisa gawat.” tambahnya.
“Halah … kamu kan perek di desa ini,” kata Pak Tardi.
“Iya aku perek. Tapi kan Pak Tardi punya istri.”
Oh iya. Aku cukup kaget dengan obrolan mereka berdua. Pak Tardi memang sudah punya istri, meskipun yang kudengar mereka selalu bertengkar setiap harinya. Mungkin itu yang jadi alasan Pak Tardi berselingkuh. Tak luput pula perkataan Bu Etin yang terima bahkan mengakui bahwa dirinya perek—pelacur di desa kami. Rumor itu bukan sekedar isapan jempol belaka. Apa yang kulihat kini sudah menjelaskan semuanya. Bu Etin benar-benar penggoda, bukan penggoda biasa.
“Udahlah ndak usah ngomongin istri ku,” kata Pak Tardi.
“Kamu nunging, Tin!” pintanya.
“Ndak mau ah, pak. Aku di atas ya.” Pak Tardi mengangguk.
Pak Tardi duduk di lantai, punggungnya bersender ke dinding. Kemudian Bu Etin membelakanginya. Ia turun perlahan, sambil memposisikan penis Pak Tardi agar mengarah ke vaginanya. Kulihat Bu Etin memandangiku, sambil tersenyum, ia menggoyangkan tubuhnya. Aku hanya bisa menelan ludah. Penis Pak Tardi sudah masuk di liang kewanitannya. Dari raut wajah Bu Etin, terlihat sangat menikmati momen itu. Ia langsung menggoyang pantatnya maju-mundur dengan cepat. Suara gesekan itu terdengar sampai telingaku. Bu Etin mendesah pelan. Namun Pak Tardi sepertinya sangat tidak tahan dengan service Bu Etin.
“Aduh Tin… ah, udah Tin, ampun, perek sialan,” kata Pak Tardi.
“Udah mau sampe, Pak?”
“Iya, Tin.”
“Gak sampe lima menit, Pak. Cepet banget.” Bu Etin terkekeh, lalu melempar senyum padaku.
Gila. Bu Etin bisa dikatakan pro dalam hal ini. Atau Pak Tardi saja yang mengalami ejakulasi dini.
Bu Etin melepas penis Pak Tardi, lalu mengulumnya dengan cepat lagi.
“Mau keluar, Tin!”
Bu Etin menyudahi kulumannya, ia mengocok perlahan penis itu. Kemudian menyemburlah sperma Pak Tardi ke badan Bu Etin. Aku tidak sadar ternyata aku menonton pergumulan mereka sambil mengocok penisku sendiri.
Pak Tardi bergegas mengenakan celana. Napasnya masih terengah-engah. Bu Etin masuk ke wc sebelah, lalu mengguyur tubuhnya.
“Besok lagi ya, Tin.”
“Yo, gak bisa toh pak. Kan udah janji kita hari rabu aja.”
“Iya deh iya,” kata Pak Tardi sambil berlalu keluar.[/HIDE]
To be continued ...