Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Sesuai Aplikasi: Dea

Status
Please reply by conversation.
gelar tiker dan tenda lah.. nunggu plot yang lagi di bangun ama yang bikin cerita
 
Numpang matok ladang kentangnya ..
Sepertinya kentang bakal.laris manis saat ini...
Ditunggu menu kentang terbarunya ..
Hidup kentang ✌️✌️
 
Masih sepi ya
 
"Apa gak pengen dikeluarin juga punyanya Akang?" Tanyaku berusaha memancingnya.

Dari sikapnya, dari bicaranya, dari kata-katanya, dari ungkapan-ungkapannya, aku tahu pikiran Kang Rifki sekotor laki-laki pada umumnya, hasrat dan keinginannya sama bergeloranya seperti kaum Adam yang lainnya. Hanya saja, keluguan dan kepolosannya, membuatku yakin, dia tak akan melakukan apa pun atau meminta apa pun terkecuali aku yang memberinya kesempatan.
"Sana, Kang. Kalo udah gak kuat, coli di kamar mandiku aja."
"Kasian punyanya Kang Rifki."


"Haha. Si Neng tau aja." Jawabnya sambil membetulkan selangkangannya.
"Tapi gak cuman saya aja loh, Neng. Laki-laki kalo sange pasti pengen dikeluarin."

"Iya. Pacar saya juga sama kayak gitu, Kang." Timpalku. Mataku jadi gregetan melihat usahanya untuk melonggarkan ruang di dalam celananya itu.

"Oh iya? Kok Neng tau?" Tanyanya terkejut.
"Atau jangan-jangan dikeluarinnya sama Neng Dea, yaaa?"

"Haha. Kok Kang Rifki tau?" Balasku, sengaja agar Kang Rifki tak terlalu menganggapku polos.

Mendengar jawabanku, tatapan Kang Rifki berubah seketika. Sepertinya dia benar-benar baru menyadari seandainya aku tak selugu dugaannya.
"Disepong apa dikocokin?" Tanyanya penasaran.

Aku tertawa dalam hati, pergi meninggalkannya tanpa menjawab pertanyaannya.

"Eh. Disepong ya, Neng?" Tanyanya lagi, mengikutiku masuk ke dalam.
"Pejunya gimana? Ditelen?"

Aku menangguk saja.

"Eh. Kalo mau ngerokok, jangan dibawa ke dalem." Cegahku, ketika dia mengeluarkan rokoknya.

Dia pun mengangguk, menyimpan jaketnya di kursi belajarku, lantas pergi kembali ke balkon. Tapi sebelum keluar, dia masih menyempatkan diri mencari jawaban atas kepenasarannya.
"Beneran disepong, Neng?"

Aku tertawa.
"Emang kenapa?" Tanyaku balik.

"Iya, Sih. Gak apa-apa, Neng."
"Neng udah gede ini, kan."
"Tapi itu pejunya ditelen?"
Tanyanya, masih penasaran.

Aku mengangguk.

"Kalo di muka? Pernah?"

Aku mengangguk lagi.

"Masa sih?
"Crot di muka gitu?"


Aku mengangguk lagi sambil tertawa-tawa, tak tahan melihat reaksi Kang Rifki.

"Duh. Di muka secantik itu."
"Sudah ah, Neng. Saya malah ngebayangin Neng Dea. Haha."
Ujarnya tersipu sendiri lalu ke luar dan menyalakan rokoknya.

"Lucu banget gak sih reaksi Kang Rifki ini?" Tanyaku dalam hati dengan gemas. Gemas segemas-gemasnya.

Kegemasannku seolah menemukan jalan ketika aku hendak mengganti baju basahku. Dari dekat kasur, aku melihat bayangan Kang Rifki di sudut jendela kamarku. Aku pun jadi teringat tatapan kaget Kang Rifki ketika mengetahui dadaku berkaos tanpa bra, mata kepenasarannya saat melihat buah dadaku menyembul dari kaosku, dengusan nafasnya ketika dia meraba-rabanya, dan remasan gemasnya saat dia kuberikan kesempatan bermain-main dengan payudaraku itu. Ada raut yang berbeda dari yang selama ini aku temui dari Andrian atau mantan-mantanku lainnya saat melihat bagian-bagian tubuhku. Malahan, aku jadi teringat pada Ayahku sendiri. Ketertarikan Kang Rifki padaku seperti ketertarikan Papa pada temanku, Marsha. Raut nafsu Kang Rifki senafsu Papa ketika menatap temanku itu. Pikirku, mungkin sebegitu nge-fans-nya bapak-bapak berumur ini pada daun-daun muda sepertiku.

Karena alasan itu pulalah, aku malah termotivasi untuk melepas kaosku di tempat yang Kang Rifki bisa lihat. Aku pun maju ke arah lemari, mengambil baju ganti dan berpura-pura tak sadar akan posisi jendela. Kuulur ujung kaos basahku, kutarik perlahan hingga dua daging kenyal di dadaku pun terlepas dari kain yang menutupinya. Kutatap tubuh setengah telanjangku ini dari cermin lemari. Berhamparkan kulit putih tak bernoda, kencang mengkilat oleh keringat, kedua buah dadaku menggembung maju, membentuk dua hemisphere kembar dengan kubah coklat-kemerahan dan puting sebesar biji kurma di puncaknya. Di saat yang sama, kulirik selintas sosok tegap yang berdiri di seberang jendela itu, Kang Rifki nampak kaku seperti batu, matanya menatap silap ke arahku. Diam-diam, aku merasa puas dan bangga, ada orang yang bisa menikmati tubuh setengah telanjangku ini.

"Jadi horni gue diliatin bokap lu, De." Adalah kata-kata Marsha ketika menangkap basah nanarnya mata Papa saat dia menginap di rumahku. Jelas saja, dengan pentil di ujungnya dan buah dada yang terayun-ayun dari balik kaos, lelaki mana yang tak akan jelalatan? Tapi aku juga jadi mengerti, betapa horny dan terangsangnya diperhatikan seperti itu oleh seorang pria berumur. Lirikan mereka memang memiliki sensasi tersendiri.

"Hhhhh." Keluhku dalam hati. Dari tadi merasa tegang dan terangsang, namun rasanya godaan ini tak kunjung terselesaikan. Jika saja Andrian, ingin rasanya aku telanjang saja dan mengajaknya bergumul di kasur.

Namun sebelum aku berpikir lebih jauh, tiba-tiba Kang Rifki masuk ke kamar.
"Saya udah sebatnya, Neng." Katanya membuka pintu.
"Eh, maaf. Lagi ganti baju, ya?"

Tentu saja itu pertanyaan bohong, karena jelas dia mengetahui aku mengganti pakaian sejak tadi.

"Kang Rifki parah ih, ngintipin aku." Ujarku, pura-pura terkejut dan menutupi kedua buah dadaku dengan tangan.

"Iya. Maaf, Neng." Mohonnya, tanpa bisa berpaling dari tubuh setengah telanjangku.
"Tapi kan Neng Dea juga tadi ngintip? Ngintip tetangga?" Belanya tertawa lebar.

Aku tertawa, membenarkan kata-katanya.
"Ya sudah. Amal deh, buat Kang Rifki." Balasku, lantas berbalik dan mengenakan kaos gantiku.

"Tapi luar biasa susunya."

"Luar biasa apa, Kang?" Tanyaku tertawa, mengambil jus tomat yang sejak tadi kuabaikan.

"Susunya."
"Padet gitu, Neng. Masih original."
Jawabnya penuh sanjungan.

Mendengar namanya dipuji-puji, buah dadaku kembali terasa mengencang, untungnya tak membuat puting susuku berdiri seperti tadi. Tapi tetap saja, kubetulkan kaosku agar tak terlalu memperlihatkan bentuknya, mengingat aku tadi tak sempat mengambil braku.

Bersandar ke dinding kamar di hamparan karpet, aku mengambil handphoneku dan melihat sebelas panggilan tak terjawab dari Ayahku di handphoneku itu, tapi itu pun aku abaikan karena aku terlanjur teringat video Kak Rani dan Hendri yang masih berada di handphone Kang Rifki.
"Mau video yang tadi, Kang." Pintaku, meminta handphone Kang Rifki.

Kang Rifki nampak ragu-ragu awalnya, namun pada akhirnya dia memberikan handphonenya. Ia kemudian duduk di ujung karpet sementara aku membuka galeri fotonya.

Namun aku terkejut dengan beberapa foto yang baru diambilnya hari ini.
"Hehe." Kang Rifki tertawa ketika aku mulai menggulung daftar foto di galeri fotonya itu.

Di antara beberapa video adegan tetangga sebelah itu, aku menemukan video yang memperlihatkan aku sedang setengah telanjang hendak mengganti pakaian. Video yang direkamnya dari balik jendela.
"Anu, Neng. Maaf." Ujarnya, melihat raut mukaku berubah.

Sebetulnya, aku bisa maklum, aku sendiri terkadang melakukan itu untuk kasus-kasus tertentu, dan lagi pula cowok mana yang akan menyia-nyiakan pertunjukan perempuan setengah telanjang.
"Emang gak cukup liat langsung tadi?" Tanyaku.
"Hapus, ya?" Pintaku.

Kang Rifki mengiyakan walau dengan berat hati. Namun sebelum aku menekan tombol hapus, aku melihat video lain di galerinya. Beberapa video vulgar terlihat terselip di antara deretan video dan fotonya. Salah satu video itu menunjukkan seorang perempuan sedang berbaring dengan kedua kaki mengangkang dan memegangi buah dadanya.
"Itu saya sama istri, Neng." Jelasnya, melihat selintas layar yang sedang aku amati.

Aku terkejut mendengar itu. Bagaimana tidak, ada sebuah video porno dengan salah satu pemerannya berada di hadapanku.

"Neng mau liat?" Tanyanya, seperti paham dengan pikiranku.

"Emang boleh?" Tanyaku, berlagak tidak enak.

"Bolehlah, Neng." Jawabnya, menggeser duduknya ke sampingku.

Tanpa kuminta, tangannya menjulur, membantuku membuka videonya dan menjalankannya.

Perempuan bertubuh gemuk nampak telanjang, bersisakan pakaian yang tersangkut di lehernya. Kamera yang dipegangi seseorang ini bergoyang-goyang, mengikuti goyangan payudara dan tubuh si perempuan. Kamera terkadang turun dan naik, memperlihatkan selangkangan sang perempuan yang teganjal dan tertusuk-tusuk sebatang penis. Aku bergidik geli, melihat bibir kemaluan si perempuan yang tertarik-tarik oleh gerakan penis laki-lakinya. Sesekali kemaluan perempuan itu memperlihatkan bagian dalamnya yang kemerahan dan licin, basah oleh cairan vaginanya. Klitorisnya terlihat sangat tebal dan tegang.

"Gede gak, Neng?" Tanya Kang Rifki, memecah konsentrasiku.

"Penisnya, maksud Kang Rifki?"
"Iya. Gede, Kang."
Jawabku, padahal aku sedang mengamati dan membayangkan vagina si peremuan yang tersumpal-sumpal penis itu.

Di lain tempat, diam-diam dinding vaginaku turut berkedut-kedut, turut merasakan himpitan dan sumpalan penis itu. Semakin lama, klitorisku makin tegang, dinding vaginaku terasa hangat oleh lelehan cairan cinta milikku.

"Kenapa? Neng Dea sange?" Tanya Kang Rifki, melihatku meneguk air liur sendiri.

Aku tersenyum saja, tanpa sadar membasahi bibirku dan menggigit-gigitnya selagi adegan itu berlangsung.

"Itu sange, Neng, namanya." Ujar Kang Rifki lagi.
"Coba liat yang ini, Neng." Katanya, sambil menjulurkan tangannya, lalu memilih video yang lain.

Di video ini, kamera nampak dipegangi sang perempuan. Layar kamera memperlihatkan sang laki-laki yang menggenggam erat kemaluan tegangnya dan mengguncang-guncangkannya. Hingga beberapa detik kemudian, lubang kencingnya menyemburkan cairan putih yang berlonjakan, berhamburan di perut sang perempuan.

"Emh!" Gumamku, menyepertikan lontaran demi-lontaran benih-benih cinta dari lubang kencing laki-laki itu.

"Banyak banget, Kang." Ujarku refleks, tak bisa menahan diri melihat kental dan licinnya sperma yang bergenangan di perut si perempuan.
"Enak pasti ya, Kang?" Tanyaku, hanyut dalam lelehan cairan penghabisan di ujung penis laki-laki itu.

Licin dan basah, kencang mengkilap, hitam memerah, berurat dan tegang. Aku mulai terperdaya batang kemaluan yang ada di video itu.

"Itu beneran penisnya Kang Rifki?" Tanyaku, gelap pikiran.

"Asli punya saya, Neng."
"Kenapa? Gede, yah?"


Aku tak menjawabnya, hanya bisa menikmati rembesan cairan hangat yang basahnya sudah terasa di ujung bibir kemaluanku.

"Atau, Neng mau liat sendiri?" Tanyanya.

Bersambung. Selamat Malem Minggu!
 
"Apa gak pengen dikeluarin juga punyanya Akang?" Tanyaku berusaha memancingnya.

Dari sikapnya, dari bicaranya, dari kata-katanya, dari ungkapan-ungkapannya, aku tahu pikiran Kang Rifki sekotor laki-laki pada umumnya, hasrat dan keinginannya sama bergeloranya seperti kaum Adam yang lainnya. Hanya saja, keluguan dan kepolosannya, membuatku yakin, dia tak akan melakukan apa pun atau meminta apa pun terkecuali aku yang memberinya kesempatan.
"Sana, Kang. Kalo udah gak kuat, coli di kamar mandiku aja."
"Kasian punyanya Kang Rifki."


"Haha. Si Neng tau aja." Jawabnya sambil membetulkan selangkangannya.
"Tapi gak cuman saya aja loh, Neng. Laki-laki kalo sange pasti pengen dikeluarin."

"Iya. Pacar saya juga sama kayak gitu, Kang." Timpalku. Mataku jadi gregetan melihat usahanya untuk melonggarkan ruang di dalam celananya itu.

"Oh iya? Kok Neng tau?" Tanyanya terkejut.
"Atau jangan-jangan dikeluarinnya sama Neng Dea, yaaa?"

"Haha. Kok Kang Rifki tau?" Balasku, sengaja agar Kang Rifki tak terlalu menganggapku polos.

Mendengar jawabanku, tatapan Kang Rifki berubah seketika. Sepertinya dia benar-benar baru menyadari seandainya aku tak selugu dugaannya.
"Disepong apa dikocokin?" Tanyanya penasaran.


Aku tertawa dalam hati, pergi meninggalkannya tanpa menjawab pertanyaannya.

"Eh. Disepong ya, Neng?" Tanyanya lagi, mengikutiku masuk ke dalam.
"Pejunya gimana? Ditelen?"


Aku menangguk saja.

"Eh. Kalo mau ngerokok, jangan dibawa ke dalem." Cegahku, ketika dia mengeluarkan rokoknya.


Dia pun mengangguk, menyimpan jaketnya di kursi belajarku, lantas pergi kembali ke balkon. Tapi sebelum keluar, dia masih menyempatkan diri mencari jawaban atas kepenasarannya.
"Beneran disepong, Neng?"


Aku tertawa.
"Emang kenapa?" Tanyaku balik.


"Iya, Sih. Gak apa-apa, Neng."
"Neng udah gede ini, kan."
"Tapi itu pejunya ditelen?"
Tanyanya, masih penasaran.


Aku mengangguk.

"Kalo di muka? Pernah?"

Aku mengangguk lagi.

"Masa sih?
"Crot di muka gitu?"


Aku mengangguk lagi sambil tertawa-tawa, tak tahan melihat reaksi Kang Rifki.

"Duh. Di muka secantik itu."
"Sudah ah, Neng. Saya malah ngebayangin Neng Dea. Haha."
Ujarnya tersipu sendiri lalu ke luar dan menyalakan rokoknya.


"Lucu banget gak sih reaksi Kang Rifki ini?" Tanyaku dalam hati dengan gemas. Gemas segemas-gemasnya.

Kegemasannku seolah menemukan jalan ketika aku hendak mengganti baju basahku. Dari dekat kasur, aku melihat bayangan Kang Rifki di sudut jendela kamarku. Aku pun jadi teringat tatapan kaget Kang Rifki ketika mengetahui dadaku berkaos tanpa bra, mata kepenasarannya saat melihat buah dadaku menyembul dari kaosku, dengusan nafasnya ketika dia meraba-rabanya, dan remasan gemasnya saat dia kuberikan kesempatan bermain-main dengan payudaraku itu. Ada raut yang berbeda dari yang selama ini aku temui dari Andrian atau mantan-mantanku lainnya saat melihat bagian-bagian tubuhku. Malahan, aku jadi teringat pada Ayahku sendiri. Ketertarikan Kang Rifki padaku seperti ketertarikan Papa pada temanku, Marsha. Raut nafsu Kang Rifki senafsu Papa ketika menatap temanku itu. Pikirku, mungkin sebegitu nge-fans-nya bapak-bapak berumur ini pada daun-daun muda sepertiku.

Karena alasan itu pulalah, aku malah termotivasi untuk melepas kaosku di tempat yang Kang Rifki bisa lihat. Aku pun maju ke arah lemari, mengambil baju ganti dan berpura-pura tak sadar akan posisi jendela. Kuulur ujung kaos basahku, kutarik perlahan hingga dua daging kenyal di dadaku pun terlepas dari kain yang menutupinya. Kutatap tubuh setengah telanjangku ini dari cermin lemari. Berhamparkan kulit putih tak bernoda, kencang mengkilat oleh keringat, kedua buah dadaku menggembung maju, membentuk dua hemisphere kembar dengan kubah coklat-kemerahan dan puting sebesar biji kurma di puncaknya. Di saat yang sama, kulirik selintas sosok tegap yang berdiri di seberang jendela itu, Kang Rifki nampak kaku seperti batu, matanya menatap silap ke arahku. Diam-diam, aku merasa puas dan bangga, ada orang yang bisa menikmati tubuh setengah telanjangku ini.

"Jadi horni gue diliatin bokap lu, De." Adalah kata-kata Marsha ketika menangkap basah nanarnya mata Papa saat dia menginap di rumahku. Jelas saja, dengan pentil di ujungnya dan buah dada yang terayun-ayun dari balik kaos, lelaki mana yang tak akan jelalatan? Tapi aku juga jadi mengerti, betapa horny dan terangsangnya diperhatikan seperti itu oleh seorang pria berumur. Lirikan mereka memang memiliki sensasi tersendiri.

"Hhhhh." Keluhku dalam hati. Dari tadi merasa tegang dan terangsang, namun rasanya godaan ini tak kunjung terselesaikan. Jika saja Andrian, ingin rasanya aku telanjang saja dan mengajaknya bergumul di kasur.

Namun sebelum aku berpikir lebih jauh, tiba-tiba Kang Rifki masuk ke kamar.
"Saya udah sebatnya, Neng." Katanya membuka pintu.
"Eh, maaf. Lagi ganti baju, ya?"


Tentu saja itu pertanyaan bohong, karena jelas dia mengetahui aku mengganti pakaian sejak tadi.

"Kang Rifki parah ih, ngintipin aku." Ujarku, pura-pura terkejut dan menutupi kedua buah dadaku dengan tangan.

"Iya. Maaf, Neng." Mohonnya, tanpa bisa berpaling dari tubuh setengah telanjangku.
"Tapi kan Neng Dea juga tadi ngintip? Ngintip tetangga?" Belanya tertawa lebar.


Aku tertawa, membenarkan kata-katanya.
"Ya sudah. Amal deh, buat Kang Rifki." Balasku, lantas berbalik dan mengenakan kaos gantiku.


"Tapi luar biasa susunya."

"Luar biasa apa, Kang?" Tanyaku tertawa, mengambil jus tomat yang sejak tadi kuabaikan.

"Susunya."
"Padet gitu, Neng. Masih original."
Jawabnya penuh sanjungan.


Mendengar namanya dipuji-puji, buah dadaku kembali terasa mengencang, untungnya tak membuat puting susuku berdiri seperti tadi. Tapi tetap saja, kubetulkan kaosku agar tak terlalu memperlihatkan bentuknya, mengingat aku tadi tak sempat mengambil braku.

Bersandar ke dinding kamar di hamparan karpet, aku mengambil handphoneku dan melihat sebelas panggilan tak terjawab dari Ayahku di handphoneku itu, tapi itu pun aku abaikan karena aku terlanjur teringat video Kak Rani dan Hendri yang masih berada di handphone Kang Rifki.
"Mau video yang tadi, Kang." Pintaku, meminta handphone Kang Rifki.


Kang Rifki nampak ragu-ragu awalnya, namun pada akhirnya dia memberikan handphonenya. Ia kemudian duduk di ujung karpet sementara aku membuka galeri fotonya.

Namun aku terkejut dengan beberapa foto yang baru diambilnya hari ini.
"Hehe." Kang Rifki tertawa ketika aku mulai menggulung daftar foto di galeri fotonya itu.


Di antara beberapa video adegan tetangga sebelah itu, aku menemukan video yang memperlihatkan aku sedang setengah telanjang hendak mengganti pakaian. Video yang direkamnya dari balik jendela.
"Anu, Neng. Maaf." Ujarnya, melihat raut mukaku berubah.


Sebetulnya, aku bisa maklum, aku sendiri terkadang melakukan itu untuk kasus-kasus tertentu, dan lagi pula cowok mana yang akan menyia-nyiakan pertunjukan perempuan setengah telanjang.
"Emang gak cukup liat langsung tadi?" Tanyaku.
"Hapus, ya?" Pintaku.


Kang Rifki mengiyakan walau dengan berat hati. Namun sebelum aku menekan tombol hapus, aku melihat video lain di galerinya. Beberapa video vulgar terlihat terselip di antara deretan video dan fotonya. Salah satu video itu menunjukkan seorang perempuan sedang berbaring dengan kedua kaki mengangkang dan memegangi buah dadanya.
"Itu saya sama istri, Neng." Jelasnya, melihat selintas layar yang sedang aku amati.


Aku terkejut mendengar itu. Bagaimana tidak, ada sebuah video porno dengan salah satu pemerannya berada di hadapanku.

"Neng mau liat?" Tanyanya, seperti paham dengan pikiranku.

"Emang boleh?" Tanyaku, berlagak tidak enak.

"Bolehlah, Neng." Jawabnya, menggeser duduknya ke sampingku.

Tanpa kuminta, tangannya menjulur, membantuku membuka videonya dan menjalankannya.

Perempuan bertubuh gemuk nampak telanjang, bersisakan pakaian yang tersangkut di lehernya. Kamera yang dipegangi seseorang ini bergoyang-goyang, mengikuti goyangan payudara dan tubuh si perempuan. Kamera terkadang turun dan naik, memperlihatkan selangkangan sang perempuan yang teganjal dan tertusuk-tusuk sebatang penis. Aku bergidik geli, melihat bibir kemaluan si perempuan yang tertarik-tarik oleh gerakan penis laki-lakinya. Sesekali kemaluan perempuan itu memperlihatkan bagian dalamnya yang kemerahan dan licin, basah oleh cairan vaginanya. Klitorisnya terlihat sangat tebal dan tegang.

"Gede gak, Neng?" Tanya Kang Rifki, memecah konsentrasiku.

"Penisnya, maksud Kang Rifki?"
"Iya. Gede, Kang."
Jawabku, padahal aku sedang mengamati dan membayangkan vagina si peremuan yang tersumpal-sumpal penis itu.


Di lain tempat, diam-diam dinding vaginaku turut berkedut-kedut, turut merasakan himpitan dan sumpalan penis itu. Semakin lama, klitorisku makin tegang, dinding vaginaku terasa hangat oleh lelehan cairan cinta milikku.

"Kenapa? Neng Dea sange?" Tanya Kang Rifki, melihatku meneguk air liur sendiri.

Aku tersenyum saja, tanpa sadar membasahi bibirku dan menggigit-gigitnya selagi adegan itu berlangsung.

"Itu sange, Neng, namanya." Ujar Kang Rifki lagi.
"Coba liat yang ini, Neng." Katanya, sambil menjulurkan tangannya, lalu memilih video yang lain.


Di video ini, kamera nampak dipegangi sang perempuan. Layar kamera memperlihatkan sang laki-laki yang menggenggam erat kemaluan tegangnya dan mengguncang-guncangkannya. Hingga beberapa detik kemudian, lubang kencingnya menyemburkan cairan putih yang berlonjakan, berhamburan di perut sang perempuan.

"Emh!" Gumamku, menyepertikan lontaran demi-lontaran benih-benih cinta dari lubang kencing laki-laki itu.

"Banyak banget, Kang." Ujarku refleks, tak bisa menahan diri melihat kental dan licinnya sperma yang bergenangan di perut si perempuan.
"Enak pasti ya, Kang?" Tanyaku, hanyut dalam lelehan cairan penghabisan di ujung penis laki-laki itu.


Licin dan basah, kencang mengkilap, hitam memerah, berurat dan tegang. Aku mulai terperdaya batang kemaluan yang ada di video itu.

"Itu beneran penisnya Kang Rifki?" Tanyaku, gelap pikiran.

"Asli punya saya, Neng."
"Kenapa? Gede, yah?"


Aku tak menjawabnya, hanya bisa menikmati rembesan cairan hangat yang basahnya sudah terasa di ujung bibir kemaluanku.

"Atau, Neng mau liat sendiri?" Tanyanya.

Bersambung. Selamat Malem Minggu!
Keep update hu, kereeen
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd