Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Tak Seindah Kisah Cinta di Dalam Novel

Bimabet
Terima kasih atas apresiasinya teman-teman semua … saya berencana mempublish updatenya dengan durasi yang rutin, tapi belum bisa dipastikan seminggu sekali atau berapa hari sekali.

Jadi, tetap setia nongkrong di sini ya, sambil berkomentar akan di bawa ke mana cerita ini, hee
 
Part 2: Menunggu

Amanda-1.jpg

Amanda​

"Lo nyadar gak sih kalau pengamen tadi gak berhenti-berhenti ngelirik lo, Nda?" Sayup-sayup terdengar suara dari perempuan yang sedang duduk di hadapanku.

Kami hanya dipisahkan sebuah meja kayu panjang yang sebentar lagi akan kami gunakan untuk menyantap makan siang. Mendengar hal tersebut, aku pun langsung berhenti memeriksa pesan WhatsApp di smartphone milikku dan berusaha mencerna apa yang baru saja ia katakan.

"Hah, apa? Ada Ultraman?" Ujarku tergagap.

"Ultraman dari Hong Kong ... Gw bilang pengamen!"

"Owh, ada pengamen? Di mana? Suruh nyanyi donk sini."

"Anak pesek main basket, telat banget lo nyet," ia tampak sangat kesal, membuatku merasa sedikit tidak enak.

"Ya sorry donk Jen. Gw kan lagi sibuk balesin WhatsApp dari Jodi. Habis kayaknya gw doank neh yang ribet ngurusin acara lamaran, dia malah santai-santai aja," ujarku jujur.

"Yaudah, berhenti dulu main hape-nya. Tuh makanan kita udah dateng."

Akhirnya Soto Tangkar pesananku dan Soto Mie pesanan Jenny datang juga. Tumben Mang Dodo lama sekali menyiapkannya, mungkin karena hari ini pengunjung yang datang ke tongkrongan makan siang miliknya yang berada di pinggir jalan tersebut lebih banyak dari biasanya.

"Mang, es kelapanya belum neh," teriak Jenny dengan muka bersungut-sungut. Mang Dodo hanya melemparkan senyum sambil mengacungkan jempol ke arah temanku itu.

"Sabar kali Jen, itu lagi dibelah-belahin sama abangnya," ujarku menenangkan.

"Udah seret ini, Nda. Kalau gw keselek lo mau tanggung jawab?"

Aku pun memilih diam sambil langsung menyantap Soto Tangkar dan nasi putih hangat yang ada di hadapanku. Kalau sudah bersungut-sungut gitu, tidak ada lagi yang bisa dilakukan untuk menenangkan seorang Jenny Hartanto.

Sambil menikmati makanan, aku masih terus memikirkan tentang hubunganku dengan Jodi, pacar yang akan segera membawaku ke jenjang yang lebih serius. Di usia yang menginjak 28 tahun, aku tentu menantikan momen tersebut. Namun sepertinya keseriusan aku mempersiapkan acara tersebut berbanding terbaik dengan sikap Jodi. Apa memang hanya aku yang merasa bahwa acara lamaran, dan nanti pernikahan, adalah hal penting yang harus dipersiapkan sematang mungkin?

"Tuh kan bengong lagi. Kalau makan tuh jangan mikirin yang lain. Fokus Amanda, fokus ... " ujar Jenny.

Temanku yang satu ini memang kelewat cerewet. Kalau saja aku tidak mengenalnya sejak masa kuliah, mungkin aku sudah lama menghindar dari perempuan bermulut sepedas cabai ini. Siapa sih yang tahan lama-lama bersama perempuan model seperti itu.

"Serius deh, Jen. Emang salah ya kalau gw pengin acara lamaran sama Jodi itu direncanakan sesempurna mungkin?"

Jenny tampak berpikir sejenak, sambil menelan sepotong cakwe yang sudah begitu basah dengan kuah soto.

"Lo gak salah. Tapi mungkin standar sempurna lo sama Jodi itu beda. Menurut dia yang penting bisa masangin cincin di jari lo aja udah sempurna. Tapi buat lo, mungkin harus ada pelaminan yang lucu, makanan yang enak, fotografer yang expert, daaaaan lain sebagainya."

Aku pun berusaha meresapi kata-kata Jenny. Walau sering gak serius, tapi kata-kata Jenny kali ini ada benarnya juga. Memang ekspektasi aku dan Jodi sepertinya berbeda. Itulah yang menjadi akar masalah perdebatan kami berdua.

"Tapi ini baru pendapat gw. Mungkin aja Jodi punya pemikiran yang lain, gw gak tahu. Mending lo ngomong dulu baik-baik sama dia. Biar jelas semuanya," ujar Jenny lagi.

"Hmm, bener sih."

"Emang kapan sih acara lamarannya?"

"Dua bulan lagi."

"Masih lama lah. Tapi kalau didiemin, itu Soto Tangkar sepuluh menit lagi udah gak enak sih gw rasa, hee," ledeknya sambil melirik ke arah makanan di hadapanku yang masih tersisa setengah.

Aku pun tak bisa tidak tertawa mendengar banyolannya yang khas.

"Naskah yang kemarin sudah selesai Jen?" Tanyaku, berusaha mengalihkan obrolan ke arah pekerjaan kami berdua sebagai editor buku.

"Belum, masih keteteran gw. Penerjemahnya kacrut sih. Gw rasa dia cuma ngandelin Google Translate doank. Entah dari mana Pak Budi dapet penerjemah ajaib kayak dia, bikin ribet kerjaan gw doank."

"Tapi katanya ganteng?" Tanyaku menggoda.

Jenny tidak bisa menutupi wajahnya yang tersipu malu.

"Ya, lumayan lah dibandingin sama pengamen yang suka mangkal di sini, hahaa. Kalau lo gmana, udah ada kerjaan baru dari Pak Budi?"

"Belum neh, naskah yang terakhir udah selesai gw edit. Tadi pagi udah gw kasih ke Pak Budi buat final check. Mudah-mudahan aja dia gak ada banyak komentar."

"Bagus lah. Lumayan bisa bernapas sedikit, hee."

"Iya, lumayan."

Tiba-tiba smartphone Jenny berdering. Ia langsung manyun begitu melihat nama orang yang meneleponnya.

"Ahh, baru juga diomongin. Langsung nelpon neh penerjemah kacrut. Bentar ya Amanda, gw angkat telpon dulu," ujar Jenny sambil berpindah ke tempat yang lebih sepi. Di sebelah kanan dan kiri kami memang banyak pekerja kantor yang juga tengah menikmati makan siang sambil mengobrol, sehingga tidak nyaman apabila membicarakan urusan pekerjaan di situ.

Sambil menunggu Jenny selesai menelepon, aku pun mengenang masa-masa kebersamaan kami berdua. Pertemuan pertamaku, Amanda Nur Izzati, dengan Jenny adalah saat aku menemukan sebuah tempat kos dekat kampus yang sepertinya menarik. Tanpa pikir panjang, aku langsung menyewa kamar di sana. Ternyata, mahasiswi baru bernama Jenny telah terlebih dahulu menyewa kamar tepat di sebelah kamarku.

Awalnya kami hanya berkenalan singkat, tapi kedekatan kami makin erat karena ternyata kami masuk ke fakultas yang sama, meski berbeda jurusan. Aku mengambil jurusan Sastra Indonesia, sedangkan dia Sastra Inggris. Untungnya, ada beberapa kelas umum yang bisa kami ambil bersama-sama. Praktis di kelas-kelas tersebut kami akan duduk bersebelahan dan selalu berada dalam satu kelompok apabila ada tugas bersama.

Banyak teman mahasiswa lain yang menyangsikan bahwa kami akan akrab berteman, karena karakter kami berdua yang berbeda 180 derajat. Dia adalah seseorang yang agresif, sementara aku lebih cenderung mundur dan mengalah apabila ada masalah. Dia banyak bicara, sedangkan aku lebih suka diam dan duduk sendirian sambil berpikir tentang banyak hal. Dia selalu mengungkapkan perasaannya dengan jujur dan lugas, sementara aku lebih banyak menahan diri dengan alasan tidak ingin menyinggung orang lain. Kami memang seperti saling melengkapi satu sama lain.

Setelah lulus, kami sempat terpisah karena dia memilih untuk pulang ke kampung halamannya di Surabaya, sedangkan aku langsung mencari pekerjaan di Jakarta. Sekitar 4 tahun lalu, aku berhasil diterima sebagai editor fiksi di salah satu penerbit besar tempatku bekerja sekarang. Tak lama kemudian, aku mendengar bahwa posisi editor buku non fiksi khusus terjemahan Bahasa Inggris sedang kosong. Tanpa pikir panjang, aku pun langsung mengajak Jenny untuk melamar. Beruntung ia juga berhasil diterima, sehingga kami bisa terus berteman hingga sekarang.

Jenny pun kembali ke tempat duduknya setelah sekitar 10 menit menelepon.

"Kenapa?" Tanyaku.

"Biasa, dia nanya ini itu soal komentar yang gw kasih. Gak penting emang kelakuannya. Padahal kan gw udah jelasin lengkap banget di email."

"Cuma pengin denger suara lo doank kali, hee."

"Sialan lo. Makanan gw udah abis neh, balik yuk sebelum diomelin Pak Bos."

"Iya, iya. Sebentar neh tanggung beberapa tetes lagi."

Aku pun buru-buru menghabiskan es kelapa yang masih tersisa sekitar seperempat gelas, sebelum kemudian menyusul Jenny yang sudah terlebih dahulu ngacir ke arah Mang Dodo untuk membayar makan siang yang baru mereka santap.

(Bersambung ke Part 3)
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd