Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Tak Seindah Kisah Cinta di Dalam Novel

Part 7: Hadir


Aku masih menimang-nimang smartphone di tanganku dengan rasa penasaran yang luar biasa besar. Sebagai penulis terkenal, aku terbiasa dengan orang-orang selalu membalas permintaan dan pesanku dengan cepat. Begitu aku mengirim pesan, mereka biasanya akan membalas tidak lebih dari beberapa jam kemudian.

Karena itu, ketika sudah berhari-hari ada seseorang yang tidak kunjung membalas pesanku, egoku pun menjadi begitu terganggu. Apalagi orang tersebut bukanlah orang terkenal atau orang penting yang lebih tinggi kedudukannya dibandingkan denganku.

Aku memeriksa kembali rekaman percakapan chat di DM aplikasi twit**ter yang tampil di layar smartphone.

"Boleh aku minta sesuatu?"

"Apa itu Om?"

"Nomor hapemu."

Masih belum ada balasan.

Aku pun kembali mengarahkan perhatian ke layar televisi. Ada sebuah berita tentang kasus perceraian seorang selebritas yang setahuku belum pernah mengeluarkan karya apa-apa selama ini. Ia menjadi terkenal karena sempat menjadi suami seorang penyanyi perempuan, dan kemudian bercerai. Saat liputan kasus perceraian tersebut, ia berbicara dengan cara yang berbeda dari orang normal, bahkan terkesan seperti orang hilang akal.

Bagi pria sepertiku, ia hanya orang tak penting yang hanya mencari perhatian. Namun bagi stasiun televisi dan media gosip, sosok seperti itu mungkin adalah apa yang mereka cari selama ini. Seorang sosok yang segala hal dalam hidupnya bisa menjadi berita yang menarik, terlepas dari apa manfaatnya pagi masyarakat. Tidak hanya menjadi narasumber berita, ia bahkan direkrut sebagai pembawa acara di program varietas.

Setelah kejadian itu, ia bahkan kembali menikah dengan penyanyi lain. Dan tak lama kemudian pun kembali terlibat kasus perceraian. Hal ini seperti menjadi semacam hobi baginya.

"Masyarakat sekarang memang cuma butuh "MSG" gosip, bukan "protein" berita yang penting," gumamku dalam hati.

Meski begitu, aku pun sama saja dengan masyarakat lain, tetap menonton dan tidak mematikan televisi. Kaleng bir di hadapanku sudah habis setengah, dan sepertinya akan tandas dalam beberapa menit ke depan karena aku pun sudah merasa mengantuk. Biarlah bir ini menjadi penutup hariku kali ini.

"Ding," tiba-tiba terdengar sebuah notifikasi dari smartphone milikku.

Aku pun membaca pesan yang tertera di layar, sebuah pesan yang membuat hatiku membuncah. Banyak orang di luar sana yang menghubungkan kejadian seperti ini dengan panjangnya umur.

"Ini nomor teleponku: 0812 xxxx xxxx. Jangan lupa hubungi ya, Om."

Itu adalah pesan dari akun twit**ter yang mengaku bernama Astari, yang aku follow beberapa hari lalu. Sebuah akun yang telah membuatku tertarik dengan responnya terhadap tweetku. Tentu saja aku tidak mau menunggu-nunggu lagi untuk menghubungi dia. Aku telah begitu penasaran dengan perempuan tersebut, termasuk fakta bahwa dia benar-benar perempuan atau bukan.

Namun ketika aku telah selesai menyalin nomor telepon tersebut dan jemariku sudah akan menekan tombol Call, aku justru menahan diri.

"Apakah dia akan menganggap aku pria tua yang tergesa-gesa, apabila langsung meneleponnya setelah dia mengirim pesan? Bagaimana sih cara anak muda berkomunikasi akhir-akhir ini? Apakah justru lebih baik menghubunginya segera?"

Berbagai pertanyaan pun menghinggapi kepalaku yang sebenarnya sudah cukup limbung karena pengaruh alkohol. Aku pun menghela nafas panjang, demi bisa berpikir lebih jernih. Kuusap-usap wajahku perlahan, mencoba mengembalikan kesadaranku yang mulai lenyap.

"Orang cerdik bilang, apabila bingung memutuskan sesuatu, tidurlah. Ambil keputusan setelah kamu bangun," gumamku pelan.

Aku pun memilih untuk mengikuti peribahasa tersebut. Kuminum sisa bir yang berada di atas meja dan langsung beranjak dari ruang tamu tempatku menonton televisi ke kamar tidur. Seperti biasa, aku menanggalkan kaos dan celana pendek yang aku kenakan, menyisakan secarik celana dalam yang menutupi selangkanganku, dan langsung merebahkan tubuhku yang buncit ini di atas ranjang.

Aku memandang langit-langit kamar yang sudah gelap karena aku memang terbiasa tidur dengan lampu yang dimatikan. Saat mengalihkan pandangan ke bawah, aku melihat ada yang menonjol dari balik celana dalamku.

"Sial, padahal dia baru mengirim nomor telepon saja," gumamku.

Aku pun melepas celana dalamku dan membiarkan apa yang ada di baliknya terbuka dan berdiri bebas. Kutarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhku, lalu memejamkan mata.

***​

Aku terbangun ketika secercah sinar matahari menembus jendela kamarku yang memang sengaja tidak kututup gordennya, agar aku tidak bangun kesiangan. Rasa pengar bekas alkohol semalam masih menerpa kepalaku, sehingga butuh waktu setengah jam bagiku untuk meraih kesadaran penuh.

Hari ini sepertinya aku tidak ada agenda apa-apa, hanya jadwal bertemu dengan editor junior yang akan mengedit naskahku di sore hari nanti. Aku telah memintanya untuk bertemu di kedai kopi dekat rumahku, agar aku tidak perlu bepergian jauh.

"Lega rasanya setelah naskah novel selesai, aku jadi bebas melakukan apa pun sampai sebulan ke depan, sambil berharap novelku bisa laku keras," ujarku sambil bersandar di sofa dan meminum kopi hangat yang baru saja aku buat.

Saat tengah berpikir tentang apa yang akan aku lakukan hari ini, aku kembali teringat pesan yang kuterima semalam. Pesan dari Astari. Semalam memang aku sengaja tidak menghubunginya karena takut dianggap terburu-buru. Namun kali ini, tanpa berpikir panjang, aku langsung meneleponnya. Hanya butuh dua kali dering telepon sebelum sambungan tersebut terhubung.

"Halo," terdengar suara merdu seorang perempuan yang sepertinya masih berusia muda di ujung telepon sana.

"Halo, apa ini Astari?"

"Betul, ini dengan siapa ya?"

"Saya Raharjo."

Selama beberapa detik, tidak ada suara sama sekali dari perempuan tersebut. Ia sepertinya sedang berusaha mencerna apa yang sedang terjadi dan siapa yang tengah menghubunginya. Seharusnya tidak banyak temannya yang mempunyai nama "jadul" seperti diriku.

"Hmm, Raharjo ... Pak Raharjo? Eh, maksud saya Om Raharjo?"

"Iya, betul."

"Ya ampun, aku pikir mau WhatsApp dulu. Ternyata mau langsung telepon ya?"

Hmm, jadi kalau anak muda itu biasanya selalu mengirimkan pesan WhatsApp dulu ya ketika ingin berkomunikasi untuk pertama kali? Mana aku tahu semua itu.

"Eh, maaf ya. Habis malas kelamaan kalau pakai WhatsApp segala. Kamu lagi sibuk?"

"Hmm, lumayan sih. Sebentar lagi ada meeting. Kalau aku hubungi lagi pas jam makan siang bagaimana Om?"

"Begitu ya ..." aku sengaja menghembuskan nafas tanda kecewa. "Baiklah. Tapi beneran ya nanti telepon Om."

Ketika kudengarkan lagi ucapanku sendiri, entah mengapa aku benar-benar terdengar seperti Om-Om girang yang tidak ingin kehilangan mangsanya. Terasa jijik sendiri aku mendengarnya. Kuharap Astari tidak mempunyai pikiran yang sama.

"Tenang saja, pasti aku telepon kok Om. Siapa sih yang bisa menolak permintaan Om Raharjo."

Kali ini giliran aku yang terdiam. Kalau aku minta yang aneh-aneh, apakah dia juga tidak akan menolak? Belum sempat aku menjawab, Astari telah terlebih dahulu melanjutkan kata-katanya.

"Baiklah kalau begitu. Bye, Om."

Sambungan telepon pun ditutup.

Aku sebenarnya kesal karena perempuan tersebut langsung menutup telepon begitu saja, tetapi semua tersebut sirna karena aku berhasil mendengar suaranya. Terdengar sangat lembut khas perempuan muda. Dan apabila dia sibuk di pagi hari seperti ini, dan ada jadwal rapat, berarti dia adalah pegawai kantoran yang memang biasanya mempunyai banyak pertemuan di jam kerja.

Menarik sekali sepertinya apabila aku berhasil memancing perempuan muda tersebut untuk bisa menjadi teman dekatku. Atau bahkan lebih? Kita lihat saja.

(Bersambung ke Part 8)
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd