Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Tak Seindah Kisah Cinta di Dalam Novel

Tks updatenya, penasaran ssi seorang penulis novel 😅
 
Part 8: Pertemuan

Amanda-1.jpg

Amanda

Kriiingg ...

Handphone milikku berbunyi saat aku tengah berada di bangku belakang sebuah taksi online. Aku tersenyum saat melihat nama penelepon yang muncul di layar. Itu adalah nama pacarku, Jodi.

"Halo, Sayang," ujarku membuka percakapan dengan sapaanku yang biasa.

"Halo, kamu lagi di mana?"

"Sedang dalam perjalanan ke Kedai Kopi Serambi. Ini sudah di taksi online, sebentar lagi sampai."

"Oh, Kedai Kopi Serambi kan dekat dari kantor aku. Kamu ngapain ke daerah sini?"

"Tuh kan kamu lupa. Makanya kalau aku ngomong tuh diperhatiin, jangan main game online melulu kerjanya," ujarku menggerutu.

Jodi pun langsung berkali-kali mengungkapkan kata maaf dan pernyataan menyesal, hingga membuatku luluh. "Maaf deh, Sayang. Aku benar-benar lupa karena akhir-akhir ini sibuk mengurus proyek di kantor."

"Hari ini aku ada meeting dengan penulis yang namanya Raharjo itu, yang novel barunya akan aku edit."

"Ahh, aku baru ingat sekarang. Kalau begitu, sekalian aku jemput saja nanti di sana, bagaimana? Kamu gak lama kan?"

"Boleh aja. Harusnya gak lama sih, satu jam paling sudah selesai."

"Oke deh. Kebetulan aku sempet ambil buku karya beliau dari rak buku Mami, terus aku simpan di mobil. Dia bakal marah gak ya kalau aku sekalian minta tanda tangan?"

"Sepertinya boleh, nanti kamu minta langsung aja."

"Asyiikk ... Mami pasti bakal seneng banget. Oke, sampai ketemu ya Sayang," ujarnya sebelum menutup panggilan.

***​

Sepuluh menit kemudian, taksi online yang aku tumpangi pun sampai di depan sebuah kedai kopi yang tampak teduh dengan banyak ornamen tanaman di berbagai tempat. Bangunannya didominasi unsur kayu, dengan sebuah kolam kecil di bagian depan yang dilengkapi pancuran kecil di tengahnya. Sungguh mencerminkan nama kedai kopi tersebut: Serambi.

Kedai kopi tersebut tampak sepi, hanya ada sekitar tiga meja yang terisi. Begitu masuk, aku bisa langsung mengenali sosok Pak Raharjo yang sering kulihat di berbagai media massa. Ia memang sempat beberapa kali datang ke kantor untuk mengurus naskah novel terakhirnya bersama Pak Budi, editor senior di kantorku. Namun dalam kesempatan tersebut aku tak pernah sempat bertemu langsung dengannya, karena terjebak dengan pekerjaanku yang seperti tidak pernah usai.

Pria berusia 50 tahun tersebut tampak sedang menyeruput kopi sambil membaca sebuah buku. Dari jauh, aku sudah bisa mengenali bahwa buku yang ia baca adalah salah satu buku yang pernah aku edit sebelumnya, karya seorang penulis muda bernama Marco yang berjudul "Jarak Antara Kita".

"Ngapain ya Pak Raharjo baca-baca bukunya Marco? Apa dia ingin memeriksa kualitas pekerjaan aku?" Gumamku dalam hati.

Aku memutuskan untuk mengabaikan pemikiran-pemikiran tersebut dan langsung menghampiri beliau.

"Sudah lama menunggu, Pak Raharjo?"

Pandangannya pun beralih dari buku yang tengah ia baca dan langsung menatap tubuhku. Berbeda dengan kebanyakan pria lain, ia seperti tidak menutupi pandangannya yang bergerak dari bagian bawah tubuhku hingga ke atas. Aku jelas terganggu dengan hal tersebut, tetapi tidak bisa berkata apa-apa karena posisi beliau sebagai penulis senior yang karyanya akan aku garap.

"Permisi, benar dengan Pak Raharjo kan? Saya Amanda, editor yang janji untuk bertemu hari ini," ujarku lagi. Aku benar-benar takut kalau ternyata aku menyapa orang yang salah, karena ia sama sekali tidak membalas sapaan dariku. Mau ditaruh di mana mukaku kalau hal itu benar-benar terjadi.

"Iya benar, saya Raharjo," akhirnya pria tua tersebut memberikan balasan, membuatku bisa sedikit lega. Namun ia berbicara dengan ekspresi yang sama sekali sulit untuk ditebak, begitu datar dan tanpa senyum sama sekali. "Silakan duduk Amanda, saya juga baru datang kok."

Aku pun menurut dan langsung duduk di sebuah bangku yang ada di hadapannya. Jujur, aku merasakan aura yang sedikit berbeda dari pria tersebut. Seperti ada aroma kedewasaan yang memancar, sebuah nuansa yang berbeda bila dibandingkan ketika aku tengah bersama lelaki lain yang seumuran denganku, termasuk pacarku Jodi. Mungkin karena usianya yang hampir sama dengan almarhum Papa.

Tubuh Pak Raharjo tidak bisa dibilang kekar, cenderung buncit malah di bagian perut. Ia mengenakan kaos polo yang tidak terlalu longgar, sehingga bisa terlihat bagian bawah kaos tersebut seperti lebih menonjol dibandingkan bagian atasnya. Namun saat suaranya terdengar, ada nuansa jantan yang penuh ketegasan membuar ke arahku. Hal tersebut membuatku jadi grogi untuk membalas kata-katanya.

"Bapak suka karya Marco?" Aku bertanya langsung.

Ia tampak bingung dengan pertanyaanku, hingga kemudian aku terpaksa mengarahkan pandanganku ke arah buku yang tengah ia pegang.

"Oh, buku ini. Penulisnya bernama Marco ya? Saya sampai tidak sadar."

Aku menunggu penjelasan tambahan dari Pak Raharjo tentang alasan ia membaca buku Marco, tanpa mengenal penulisnya. Namun penjelasan itu tidak kunjung datang. Ia malah sibuk meletakkan buku tersebut ke dalam tas jinjing, dan meminum kopi di hadapannya. Aku makin yakin bahwa alasan dia membaca buku itu adalah untuk memeriksa kualitas pekerjaanku saat mengedit. Mengesalkan sekali pria tua ini, sungguh kesan pertama yang tidak mengenakkan.

"Permisi, Kakak mau pesan apa biar saya bantu catat," tiba-tiba seorang pelayan menghampiri kami berdua.

"Saya pesan Hot Americano saja, Pak Raharjo ada pesanan tambahan?" Ia menggeleng. "Itu saja dulu Mas, nanti kalau ada tambahan saya panggil lagi."

Agar tidak bertambah kesal dengan sikap Pak Raharjo, aku pun memutuskan untuk langsung membahas tentang buku yang akan kami garap bersama. Aku langsung mengeluarkan buku catatan dan pulpen dari tasku, siap untuk membicarakan pekerjaan kami berdua.

"Jadi begini, Pak. Untuk proses editing nanti, kita akan mulai dengan ..."

"Kamu suka yang pahit ya?" Tanyanya tiba-tiba, seperti tidak menyadari bahwa aku sedang ingin berbicara tentang masalah pekerjaan.

"Eh? Maksud Bapak?"

"Saya saja pesan Vanila Latte agar bisa merasakan manis. Tapi kamu malah pesan Americano yang jelas akan lebih pahit."

Ada angin apa ini bapak-bapak tua malah ngomongin soal kopi? Setahuku dia bukan seorang yang maniak banget kopi.

"Sudah kebiasaan Pak setiap ke kedai kopi saya selalu pesan Hot Americano, supaya tidak bingung memilih. Sekalian membandingkan di tiap kedai kopi, mana yang paling enak, hee," ujarku sekenanya. "Lagipula, kalau misalnya terlalu pahit, kan bisa ditambah gula."

"Oh, begitu."

"Baik, Pak. Saya langsung bahas untuk proses editing buku terbaru Bapak ya, jadi nanti ..."

"Ceritakan aku tentang keluargamu. Ayah dan ibumu, serta berapa kakak atau adik yang kamu punya?"

Aduh, ada acara apa lagi sih bapak-bapak tua ini malah tanya soal itu?

"Maaf, Pak. Tapi bolehkah saya menjelaskan dulu tentang proses kerja kita nanti, agar semuanya lancar? Setelah itu, baru kita bisa bicara tentang hal lain."

"Aku sudah paham betul proses editing di penerbit. Namun aku tidak tahu tentang latar belakang dirimu. Bisa tolong ceritakan, Amanda?"

Pernyataan dia memang ada benarnya. Aku memang hanya akan mengulang kembali proses kerja yang mungkin dia sudah hapal di luar kepala. Tapi apa urusannya dengan mengetahui keluargaku? Bukankah itu sesuatu yang lancang? Tapi aku juga merasa tidak enak untuk menolaknya.

"Baiklah," aku pun menutup buku catatanku dan mulai bercerita. "Ayah saya sudah meninggal beberapa tahun lalu karena kecelakaan. Sekarang saya tinggal bersama dengan Mama dan seorang adik perempuan."

Penjelasan itu ternyata tidak membuat pria tua tersebut merasa puas. Ia pun terus menerus memberondongku dengan berbagai pertanyaan pribadi yang tidak pernah aku bayangkan akan ditanyakan olehnya.

"Kamu ngambil jurusan apa waktu kuliah?"

"Sastra Indonesia, Pak."

"Suka dengan sastra?"

"Sejak dahulu saya suka membaca buku, dan senang rasanya bisa menjadi ambil bagian dari proses pembuatan sebuah buku menjadi sebuah karya indah yang bisa dinikmati semua orang. Itulah mengapa saya memutuskan untuk kuliah di Sastra, dan kemudian bekerja di penerbit seperti sekarang."

"Pernah berniat untuk jadi penulis?"

"Harapan untuk itu jelas ada. Namun sampai sekarang saya belum punya ide yang kuat untuk dijadikan tulisan. Pernah beberapa kali mencoba, tetapi selalu mentok saat ingin mengembangkan konflik menuju ending."

Tak lama kemudian, seorang pelayan datang untuk mengantarkan minuman pesananku, yang langsung aku bayar dengan uang tunai. Minuman tersebut datang di saat yang tepat, ketika aku sudah begitu terdesak dengan pertanyaan bertubi-tubi yang dilancarkan Pak Raharjo. Aku pun langsung meniup kopi di hadapanku, dan menyeruput sedikit, menikmati pahitnya yang memenuhi relung tenggorokan.

Namun begitu aku selesai meneguk minumanku, Pak Raharjo ternyata belum berhenti dengan obrolan yang kian mirip seperti wawancara kerja ini.

"Kamu lebih suka kopi atau teh?"

Pertanyaan-pertanyaan remeh seperti itu, hingga soal makanan sarapan hotel kesukaanku dan ukuran sepatuku, terus saja keluar dari mulutnya. Aku jelas merasa aneh, tetapi terus kujawab karena tidak merasa ada masalah dengan itu. Hal tersebut terus berlangsung hingga berpuluh-puluh menit kemudian.

***​

Tak terasa sudah hampir satu jam kami mengobrol sambil sesekali menikmati minuman yang kami pesan. Kami kini tampak seperti sepasang teman yang sedang mengobrol, bukan sebagai penulis dan editor yang tengah menggarap sebuah novel. Sesekali aku tersenyum dan tertawa mendengar pertanyaan-pertanyaan dari Pak Raharjo, tetapi dia tetap saja memasang wajah datar tanpa ekspresi. Namun jelas ada ketertarikan yang tinggi di setiap pertanyaan yang ia lontarkan, dan tentu ada maksud khusus di balik hal ini.

Karena tidak mau pembicaraan ini berlangsung satu arah, aku pun memberanikan diri untuk balik bertanya hal pribadi padanya.

"Kalau Bapak sendiri, setelah berpisah dengan Bu Inggit, sudah ada rencana untuk menikah lagi?" Aku jelas sudah melakukan riset tentang latar belakang Pak Raharjo, termasuk nama mantan istri dan cerita soal perceraiannya. Gosip-gosip aneh soal perceraian itu juga banyak beredar di kalangan penerbit dan pembaca karya-karya beliau.

"Apa menurutmu masih ada yang ingin menikah dengan pria tua seperti saya?"

"Hmm, saya rasa masih banyak perempuan yang tertarik dengan penulis tampan seperti ..."

"Jadi menurutmu saya tampan?"

Duh, salah neh ngomong begitu di depan pria kayak beliau. Harus ngeles ke mana lagi?

"Eh, bukan begitu. Maksud saya begini, Bapak kan ..."

"Jadi kamu tertarik dengan saya?"

Anjir, pede banget dah ini bapak-bapak. Aku tidak bisa berbohong bahwa dia memang mempunyai pesona yang berbeda. Terkesan dewasa, metroseksual, dan ada aura angkuh yang begitu terasa. Namun bukankah dia tahu pertanyaan seperti itu bisa menyinggung hati lawan bicaranya? Dan menyulitkan aju untuk menjawab?

"Halo sayang," tiba-tiba ada yang menepuk pundakku dari belakang. Saat menoleh, sudah ada Jodi berdiri di balik pundakku. Sungguh waktu yang tepat untuk menghindar dari Pak Raharjo.

"Eh, halo sayang. Pak Raharjo perkenalkan ini Jodi, pacar saya," ujarku langsung.

Jodi tampak langsung mendekat ke arah Pak Raharjo dan mengulurkan tangan, tanda ingin bersalaman. Pria tua tersebut memang menyambut uluran tangan tersebut, tapi sembari tetap duduk di kursinya. Sungguh adegan yang canggung sekali.

Pacarku tampak tidak terlalu memperdulikan hal itu, dan tetap memasang senyum manisnya yang khas.

"Kalian masih lama meetingnya? Kalau iya saya mau pesan kopi dulu," ujar Jodi.

"Oh, udah selesai kok sayang. Kita bisa pulang sekarang. Iya kan Pak Raharjo?" Ujarku langsung.

Aku sengaja ingin segera menghentikan pembicaraan anehku dengan pria tua tersebut, karena apabila dibiarkan, tentu dia akan terus memberondongku dengan berbagai pertanyaan aneh. Aku tentu tidak ingin melakukannya di depan Jodi. Semoga saja Pak Raharjo tidak berusaha memperpanjang obrolan kami. Aku bahkan memandang matanya, berusaha memohon untuk menghentikan obrolan kami sekarang lewat pandangan tersebut.

"Iya, sudah selesai kok. Untuk hari ini cukup diskusi saya dan Amanda."

Aku menghela napas lega saat mendengar kata-katanya. Lekas aku memasukkan kembali buku catatanku ke dalam tas dan bangkit dari bangku.

"Oh, begitu. Tapi sebelum pulang, boleh saya meminta tanda tangan Pak Raharjo dulu. Untuk Mami saya," Jodi mengeluarkan sebuah buku Jalan Panjang karya Pak Raharjo yang selama ini ia sembunyikan di balik punggung.

"Ya, boleh."

Aku langsung mengambil kembali pulpen dari tas, dan memberikannya pada Pak Raharjo. Selama sepersekian detik, tangan kami bersentuhan untuk pertama kalinya saat pulpen tersebut berpindah tangan. Saat ia akhirnya menggunakan pulpen tersebut untuk membubuhkan tanda tangan, aku berani bersumpah bahwa Pak Raharjo sempat menatap ke arahku dan mengirimkan senyuman penuh arti. Karena takut, aku pun langsung menarik Jodi begitu Pak Raharjo selesai dan menyerahkan buku kepada Jodi.

"Ayo, Sayang. Kita pulang. Terima kasih waktunya ya Pak Raharjo."

"Iya, terima kasih ya Pak Raharjo," ujar Jodi yang tangannya sedang kutarik ke arah pintu keluar kedai kopi tersebut. "Sabar donk sayang, buru-buru banget sih."

(Bersambung ke Part 9)
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd