Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Tak Seindah Kisah Cinta di Dalam Novel

Part 9: Bicara


Sudah berselang 30 menit sejak editor muda tersebut pergi dengan pacarnya meninggalkan kedai kopi tempatku berada sekarang. Kopiku telah tandas, tetapi aku masih tetap bergumul dengan pikiran-pikiran aneh yang terus berseliweran di kepalaku.

Aku masih menggenggam pulpen yang tadi kugunakan untuk menandatangani buku "Jalan Panjang" yang dibawa oleh pacarnya, tetapi belum sempat kukembalikan. Sesekali kuendus pulpen tersebut, demi menghirup aroma parfum perempuan tersebut yang mungkin sempat tertinggal.

"Amanda, harum sekali dirimu," gumamku.

Meski aku sempat memeriksa akun media sosialnya terlebih dahulu, tetapi bertemu secara langsung dengan perempuan tersebut tetap saja membuatku bergairah. Aneh memang, karena sebelumnya aku tidak pernah tertarik dengan perempuan berbusana tertutup seperti dirinya.

Ya, aku memang berbeda dengan pria lain yang cenderung aktif menunjukkan ketertarikan terhadap lawan jenis lewat mimik wajah, gerak tubuh, atau semacamnya. Aku justru bisa bersikap supel seperti itu kepada teman biasa. Namun di hadapan seseorang yang membuatku tertarik, aku biasanya hanya akan menunjukkan raut wajah datar, tanpa ekspresi, tanpa senyuman. Hal ini baru akan cair seiring dengan interaksi aku dan dirinya.

Amanda benar-benar seorang perempuan yang anggun, membuatku tak sabar untuk mengetahui lebih banyak hal dari dirinya. Tubuhnya cukup proporsional, tidak bisa dibilang gemuk tapi tetap mempunyai bagian yang menonjol di beberapa tempat. Menghirup aroma parfum yang ia gunakan dari seberang meja saja sudah membuatku terlena.

Memandang Amanda untuk pertama kali memicu berputarnya sebuah lagu di kepalaku.

Memang serba salah rasanya

Tertusuk panah cinta

Apalagi juga ada pemiliknya

Tapi ku tak mampu membohongi hati nurani


Ku tak mampu menghindari gejolak cinta ini

Sial sekali pacarnya harus datang dan menjemput, membuat dia bisa lari dari genggamanku. Ngomong-ngomong soal pacarnya, sudah sampai tahap apa ya mereka berdua? Apakah mereka berdua sudah sampai melakukan hubungan seks? Atau masih dalam tahap pegang-pegangan tangan saja?

Aku buru-buru menggeleng-gelengkan kepala, tak ingin terus memikirkan hal ini. Fokusku sekarang adalah menerbitkan buku terbaruku dengan sukses, agar bisa menyambung hidup hingga beberapa tahun ke depan. Jatuh cinta hanya akan membuat distraksi bagi rencana jangka panjangku.

Namun sepertinya tidak ada salahnya untuk menggoda perempuan tersebut sedikit, hanya sekadar untuk melihat reaksinya saja. Aku pun mengirim sebuah pesan kepadanya: "Amanda, pulpen kamu ketinggalan."

***​

Begitu sampai di rumah, aku langsung merebahkan tubuh di atas sofa, sambil membuka bungkusan yang aku bawa. Saat perjalanan pulang tadi, aku sempat membeli hamburger di restoran fast food favoritku untuk makan malam, lengkap dengan kentang goreng dan minuman soda yang setia menemaninya. Seperti biasa, aku menyantap makanan tersebut sambil menyalakan televisi.

Ada sebuah berita tentang seorang istri yang membunuh suaminya sendiri setalah mengetahui bahwa ia telah berselingkuh. Hal ini membuatku bingung. Bukankah suaminya seharusnya punya keberanian untuk mengatakan bahwa ia telah main serong dengan perempuan lain? Itu mungkin akan memicu perceraian dengan istrinya, tapi bukankah itu lebih baik daripada diam-diam main gila di belakang dan malah berujung petaka?

"Ahh, tapi kenikmatan dunia kan memang sering membuat kita sebagai manusia terlena," gumamku dalam hati. "Siapalah aku bisa menilai hubungan orang lain."

Saat tengah menyantap makan malam, tiba-tiba smartphone milikku berbunyi. Aku pun langsung sumringah saat mengetahui siapa yang menelepon. Dia adalah orang yang telah kutunggu-tunggu sejak tadi siang.

"Selamat malam, Om," terdengar sapaan lembut seorang perempuan di seberang sana.

"Malam, Astari. Eh, benar itu nama kamu kan?" Itu adalah telepon dari perempuan yang baru kukenal dari twit**ter beberapa hari lalu.

"Iya, benar kok Om. Itu nama asli aku, in case Om penasaran."

"Haa, oke. Sekarang sudah tidak penasaran lagi kok."

"Aku minta maaf ya Om, tadi siang tidak sempat untuk menelepon. Tiba-tiba bos kasih pekerjaan yang mendesak, sehingga aku tidak punya waktu senggang sama sekali. Bahkan untuk makan siang saja sulit."

"Oh iya, tidak apa-apa kok," ujarku berusaha menutupi kekesalanku yang masih tersisa setelah ia membatalkan janji untuk menelepon tadi siang.

"Lagipula, menurutku akan lebih nyaman kalau kita ngobrol-ngobrol di malam hari seperti ini, bukan begitu Om?"

Hmm, apa maksud kata-katanya tersebut ya? Aku sudah membayangkan hal-hal aneh saja, karena suaranya yang begitu menggoda. Apakah ia membayangkan apa yang tengah aku bayangkan sekarang?

"Setuju," jawabku sekenanya. "Memang kamu kerja apa sih?"

"Aku jurnalis, Om. Seperti yang aku tulis di bio twit**ter. Namun tidak seperti reporter media mainstream lain, aku hanya bertugas menulis berita feature yang lebih panjang, sehingga dalam seminggu mungkin aku hanya menulis dua atau tiga tulisan saja."

"Oh, jadi bukan yang suka nulis 10 artikel per hari itu ya?"

"Bukan, Om. Gak bisa dan gak mau juga aku mengikuti pola kerja seperti itu."

"Lalu tulisan apa yang sedang kamu kerjakan sekarang?"

"Nah, ini yang juga mau aku bicarakan dengan Om. Saat ini aku sedang ingin mengangkat isu konsistensi penulis senior di tengah kemunculan penulis-penulis muda lewat platform online."

"Wah, tema yang menarik."

"Yes, menurutku juga begitu. Tapi sepertinya aku butuh beberapa narasumber, baik dari sisi penulis senior maupun penulis muda. Dan menurutku, Om adalah sosok yang pas untuk mewakili penulis senior. Kira-kira Om Raharjo bersedia gak kalau aku wawancara?"

Aku pun tersenyum dalam diam, sambil mengunyah potongan terakhir burger yang sejak tadi kusantap.

"Boleh saja, tapi mengapa harus aku?"

"Aku dengar kalau Om akan mengeluarkan novel baru kan setelah tiga tahun vakum. Karena itu, menurutku Om adalah sosok yang pas untuk tulisan ini."

Aku pun mengerutkan kening. Bukankah yang mengetahui kabar ini selain aku hanyalah pihak penerbit? Aku bahkan belum mengumumkan apa-apa di media sosial tentang kemunculan novel baru ini.

"Dari mana kamu tahu kabar tersebut?"

"Aku ada sumber yang belum bisa kujelaskan sekarang. Nanti mungkin bisa aku sampaikan saat kita wawancara."

"Baiklah, kabari saja kapan kamu mau wawancara."

"Siap, Om."

"Oh iya, Om boleh tanya-tanya tentang kamu?"

"Boleh donk, Om. Kenapa nggak?"

"Kamu usia berapa sih?"

"Hahaa, aku masih anak-anak Om. Baru umur 25. Kalau Om udah 50an tahun kan ya."

"Begitulah, sudah lebih setengah abad aku hidup. Seumuran Papa kamu mungkin. Kamu tinggal di Jakarta juga?"

"Iya, aku tinggal sama Mama dan kakakku."

Aku seperti pernah mendengar kisah itu sebelumnya, tapi di mana ya?

"Oh, tinggal sama Papa juga?"

"Ayahku sudah meninggal beberapa tahun yang lalu, Om. Kami sekarang tinggal bertiga saja."

Jelas aku pernah mendengar cerita seperti ini, tapi tentu bukan dari Astari karena aku baru berkomunikasi dengannya sekarang.

"Turut berduka ya soal itu. Maaf sudah lancang nanya-nanya."

"Santai, Om. Sudah lama kok kejadiannya. Aku uga sudah melupakan hal itu."

Aku sempat terdiam tidak tahu harus berkata apa-apa, hingga akhirnya aku menanyakan sesuatu yang sepertinya tidak pas aku tanyakan di obrolan pertama seperti sekarang.

"Kamu ... sudah punya pacar?"

Terdengar suara tawa kecil di ujung sambungan telepon.

"Belum, aku masih single. Emang kenapa Om? Penasaran banget?" Ujarnya dengan nada suara yang menggoda.

"Oh, cuma nanya saja, karena perempuan muda seperti kamu kan biasanya sudah punya pasangan. Siapa tahu malam-malam gini kamu harus telepon dia."

"Sempat sih beberapa kali pacaran saat kuliah, tapi sekarang udah putus."

"Kamu kebanyakan pilih-pilih kali?"

"Hmm, nggak juga sih. Cuma mungkin namanya anak muda masih kekanakan aja, jadi masalah kecil tiba-tiba jadi masalah besar. Begitulah, Om. Penuh drama."

"Iya, paham. Kalau sudah di usia Om begini, sudah tidak suka dengan terlalu banyak drama."

"Lebih baik terlalu banyak bekerja daripada terlalu banyak drama, ya Om?"

"Betul sekali. Tapi, emang kamu gak kesepian, hee ..."

"Bukannya Om juga kesepian?"

Tiba-tiba ia mengatakan sesuatu yang tidak kuduga sama sekali. Kini aku merasa perempuan tersebut memang tengah menggodaku.

"Err ... bagaimana ya jawabnya?"

Sayup-sayup aku mendengar suara seseorang yang tengah memanggil Astari dari ujung sambungan telepon.

"Mohon maaf, Om. Aku dipanggil Mama. Nanti aku WhatsApp lagi ya," ujarnya sambil langsung menutup telepon begitu saja.

Aku merasa sedikit kesal karena masih banyak hal yang ingin aku bicarakan dengan dirinya. Namun interaksi terakhir tadi benar-benar membuatku tertarik dengan perempuan tersebut. Akan seperti apa ya kisahku dengan Astari nanti?

(Bersambung ke Part 10)
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd