Mawar_Berduri
Semprot Baru
- Daftar
- 11 Jan 2021
- Post
- 32
- Like diterima
- 1.240
CHAPTER 7
Perlahan jendela yang berada di dalam ruangan itu terbuka, membiarkan cahaya sang mentari masuk ke dalam menerangi ruangan yang sedikit gelap itu. Tangannya ditarik kembali saat sang pembuka jendela mulai menampakkan senyum. John menghirup udara segar khas pagi hari, iris matanya perlahan menutup menghayati suasana, membiarkan angin lembut dari luar menerpa tubuhnya. John merentangkan lengannya, merenggangkan ototnya yang terasa kaku, lalu menarik nafas dalam-dalam lagi seolah udara pagi memang yang paling terbaik.
“Pagi yang indah …” ucapnya monolog.
Setelah selesai membuka jendela dan menikmati udara pagi, pemuda tampan itu langsung melenggang ke kamar mandi, membersihkan tubuh dari segala kuman pengganggu. Gemericik air terdengar saat shower dinyalakan, butiran-butiran air turun berjatuhan membasahi tubuh tanpa kain itu, menghantarkan rasa segar pada setia jengkal tubuhnya. Senandung halus terdengar mengiringi tangannya yang bergerak membersihkan sekujur badan serta memberikan aroma yang khas akan pribadinya.
Dua puluh menit berlalu, tubuhnya kini sudah bersih dan rapi terbungkus kaos berwarna biru muda dengan celana panjang katun berwarna senada. Sedikit eksis di depan cermin, John menata rambutnya agar tertata rapi. Beberapa kali John menyemprotkan minyak wangi di beberapa bagian tubuhnya yang dirasa pas. John memperhatikan penampilannya sekali lagi di depan cermin, dan ia pun merasa sudah cukup dengan penampilannya.
“Sudah rapi saatnya sarapan,” ucap John ketika menatap pantulan dirinya di cermin. Ia pun melangkahkan kaki meninggalkan kamarnya untuk memasuki ruang makan yang kini di tempati oleh ayah dan ibunya.
“Pagi semua …” sapa John kepada kedua orangtuanya.
“Pagi … Mama suka sama kamu yang selalu semangat mengawali hari. Kamu enerjik sekali,” ucap Diana saat John sedang mencium pucuk kepalanya dari belakang.
“Mana Tina?” John bertanya saat ia hendak duduk.
“Dia masih di kamarnya. Dia lupa ada tugas kuliah yang harus dikumpulkan hari ini,” jawab Roy yang hampir selesai dengan sarapannya.
“Wah, gak asik dong … Bagaimana pun dia harus sarapan dulu … Ma, tolong siapkan sarapan buat Tina. Biar aku yang mengantar ke kamarnya …” pinta John lalu melahap setumpuk sandwich yang telah dipersiapkan Diana.
Diana tersenyum bahagia melihat ‘perhatian’ yang diberikan John untuk adiknya yang sudah lama tidak Diana lihat. Wanita itu pun segera menyiapkan sarapan untuk Tina. Hanya sebentar John melahap habis sarapannya lalu ia meraih baki yang berisi dua tumpuk sandwich dan segelas susu hangat. Dengan langkah ceria yang senantiasa melukisi wajahnya ia mulai berjalan menuju kamar adiknya.
“Tina … Bolehkah aku masuk …!” teriak John di depan pintu kamar Tina.
“Masuklah …” sahut Tina dari dalam.
Dengan perlahan dan sedikit kesusahan, John membuka pintu kamar itu dan menjumpai adiknya yang tengah menghadapi laptop di meja belajarnya. Tina tersenyum saat sang kakak masuk sambil membawa baki. Wajahnya yang tampan dengan senyum cerah yang selalu John berikan membuat hati gadis itu menghangat. Tina sedikit membalas senyum John lalu kembali mengerjakan tugas kuliahnya. John tersenyum saat adiknya kini tengah serius di meja belajarnya. Pemuda itu lalu berjalan mendekati sang adik lalu meletakkan baki di atas meja belajar itu.
“Sarapan dulu … Sarapan berfungsi sebagai bahan bakar untuk mengawali hari dengan baik. Sarapan sangat penting karena dibutuhkan untuk memberikan energi,” kata John sambil bergerak ke samping Tina lalu memperhatikan apa yang tengah adiknya kerjakan.
“Tumben …” gumam Tina sambil menatap wajah kakaknya yang kini tepat berada di sebelahnya.
“Apapun yang kamu kerjakan, tundalah dulu. Lebih baik habiskan dulu makanan itu, baru lanjutkan tugasmu,” kata John seraya tangannya mulai menggapai rambut yang tergerai bebas milik sang adik, mengelusnya pelan dengan sangat lembut.
“Hi hi hi …” Tina cekikikan lucu. Gadis itu merasakan ada sesuatu yang tidak biasa dari kakaknya. Namun, Tina sangat tersanjung dengan sikap John yang gentle dan sangat perhatian.
John tertawa pelan saat sang adik kini menjauhkan tangan pemuda itu dari rambutnya, bibirnya menyunggingkan senyum saat sang adik kini menatapnya dengan pipi yang agak digembungkan. Tina menatap kakaknya yang kini berjalan ke arah tempat tidurnya. Tina tersenyum saat John kini tengah berbaring dengan posisi terlentang di kasurnya. Mata John yang terpejam mencoba merasakan betapa empuknya kasur milik adiknya. Hal itu membuat Tina tersenyum sendiri melihat kelakuan kakaknya.
“Kamu gak kuliah?” tanya Tina yang mulai menyantap sarapan yang dibawa John.
“Siang … Hanya kuliah praktik di rumah sakit …” jawab John tanpa mengubah posisinya di atas kasur.
Sebenarnya Tina agak bingung dengan kakaknya. Ini memang masih pagi namun John bisa-bisanya bermalas-malasan di kasurnya dengan wajah ngantuk seperti itu. Tapi toh biarlah, selama kakaknya tidak mengganggu, ia merasa cukup senang dan bisa kembali mengerjakan tugas kuliahnya. Setelah menghabiskan sandwich dan susu, Tina kembali fokus pada laptop-nya. Selang sepuluh menit kemudian, Tina pun berhasil menyelesaikan tugas makalah yang seharusnya dikumpulkan minggu kemarin.
“Selesai …” ucap Tina dengan nada riang, merenggangkan otot lengannya yang kini terasa pegal sambil mencoba menghirup udara segar yang masuk melalui jendela. “John …” Tina memanggil kakaknya sambil membereskan laptop lalu memasukan laptop itu ke dalam tas.
Merasa panggilannya tak mendapatkan jawaban, gadis itu lalu menoleh ke samping tepat ke arah tempat tidur miliknya, sedikit menghela nafas saat John kini tengah terbaring tertidur dengan wajah yang damai. Tina berdiri dari kursi meja belajarnya, berjalan pelan mendekati sang kakak yang kini masih tertidur, jemari mungilnya mencoba menggapai wajah sang kakak yang menurutnya sangat tampan.
“John …” Suara Tina sedikit bergetar saat memanggil kakaknya. Jari Tina yang awalnya menyentuh bibir itu kini mulai turun ke dada bidang John.
“Mmmm …” gumam John masih dengan mata terpejam.
Tina menaiki kasur itu dan menduduki perut John. Tina sedikit memiringkan wajahnya sambil tersenyum saat jari-jemarinya mulai menggapai wajah John. Tak lama, Tina secara perlahan membungkuk mendekati wajah damai sang kakak yang tengah pura-pura tertidur. Iris mata Tina terpejam saat bibirnya menyentuh bibir sang kakak, tangannya menekan kepala sang kakak lebih dalam, wajahnya benar-benar memerah sesaat setelah ia melepaskan ciumannya pada kakaknya sendiri.
“Kenapa berhenti?” tiba-tiba John berkata. Kedua tangan pemuda itu kini memegang buah pinggul Tina yang berada di atas tubuhnya.
“Aku hanya ingin melihat wajah kakakku … Kamu gak pandai menyembunyikan wajah mesummu. Aku tahu kalau kau sedang berusaha menggodaku,” kata Tina sambil tersenyum.
“Sok tahu …!” balas John menutupi malu, karena isi hatinya ketahuan oleh Tina.
“Hi hi hi … Itu kata-katamu kalau sudah terdesak,” Tina pun terkekeh senang.
“Kamu ini …” John terdiam, belum sempat ia menyelesaikan ucapannya, bibirnya telah lebih dahulu dikunci oleh bibir Tina. Gadis itu mencoba memejamkan mata, merasakan betapa nikmat bibir kakaknya sendiri. Ciuman penuh nafsu itu berlangsung lama. Beberapa saat kemudian mereka menghentikan ciuman itu. Tina kembali tersenyum manis, jari telunjuknya yang lentik menyentuh bibir John seolah menyuruh pemuda itu untuk diam.
“Aku harus ke kampus …” ucap Tina seraya beranjak dari tubuh kakaknya.
Gadis itu berlalu tanpa rasa bersalah menuju kamar mandi. Sementara itu, John hanya bisa menghela nafas sambil menahan konaknya. John pun segera keluar dari kamar Tina dan langsung menuju dapur. Saat John masuk ke dapur, ia menemukan ibunya sedang membersihkan meja makan. John melihat segelas kopi yang masih penuh dan belum tersentuh di atas meja makan. Tanpa ragu, John menyesap kopi tersebut sambil duduk di kursi meja makan.
“Tadi smartphone-mu berbunyi. Tadi mama yang angkat telpon kamu. Rafael meneleponmu.” Kata Diana pada John.
“Oh …” John baru ingat kalau smartphone-nya ditinggal di meja makan saat mengantarkan sarapan untuk Tina.
“Ternyata Rafael sudah lulus kuliahnya … Sekarang, kapan kamu mau lulus kuliah?” tanya Diana sambil duduk di hadapan John sambil menopang dagu dengan satu tangannya sembari mengamati wajah anaknya.
“He he he … Si Rafael memang cerdas anaknya, ma … Lagian, dia kuliah bisnis tidak sepertiku. Aku kadang merasa menyesal memilih kuliah di kedokteran … Susah lulusnya …” John berkelit.
“Apakah Tina sudah tahu kalau Rafael ada di Indonesia?” tanya Diana agak memelankan suaranya.
“Belum …” jawab John lalu menyesap kopinya lagi.
“Sebenarnya mama ingin mereka bersatu lagi. Kalau bisa mereka menjadi suami istri,” lirih Diana penuh pengharapan.
“Aku juga pengennya seperti itu. Tapi Tina kayaknya belum bisa menerima Rafael lagi,” respon John.
“Hhhmm … Bagaimana kalau kita persatukan mereka lagi. Mama akan bujuk Tina dan kamu bujuk Rafael,” Diana mengutarakan idenya.
“Aku sih setuju … Tapi kita masih punya masalah yang harus segera diselesaikan sebelum mempersatukan mereka,” John menatap wajah ibunya.
“Apa itu?” tanya Diana heran.
“Tina sepertinya belum bisa melupakan Andi,” jawab John.
“Hhhmm … Biar nanti mama yang menyelesaikan masalah itu,” ucap Diana sambil mengangguk-anggukan kepala.
“Ma … Apakah mama tahu kalau Andi dan ibunya melakukan incest juga seperti kita?” tanya John kemudian.
“Oh ya? Apakah mereka melakukannya?” Diana terkejut mendengar pernyataan John. Memang Diana pernah bicara tentang hubungan incest dengan adiknya, tetapi Diana tidak menyangka kalau hal itu terwujud dalam waktu yang sangat singkat.
“Aku dan Tina menyaksikannya walau tanpa sengaja,” ungkap John lalu menceritakan kejadian malam itu saat dirinya dan Tina melihat adegan telanjang antara Andi dan ibunya.
“Wow … Mengejutkan … Tapi itu adalah perkembangan yang baik untuk tantemu … Kamu tahu kalau tantemu itu kesepian karena selalu ditinggal lama oleh suaminya. Bagaimana pun tantemu perlu kepuasan batin, jadi biarlah Andi yang mengurus ibunya sendiri,” kata Diana sedikit bersemangat.
“Tapi ma … Aku rasa itu yang membuat Tina bersedih …” John memperingati ibunya.
“Tenang saja … Nanti mama akan bicarakan hal itu dengan Tina … Sekarang kerjakan saja bagianmu …” kata Diana sambil tersenyum.
Karena takut Tina tiba-tiba datang, John dan Diana pun segera mengganti tema pembicaraan. Benar saja, selang beberapa menit Tina datang dengan dandanan sudah rapi. Ketiganya pun terlibat pembicaraan yang seru sebelum akhirnya Tina berpamitan untuk pergi ke kampusnya. Pada saat itu juga, Diana menuju kamar mandinya lalu membersihkan badan di sana. Dan John duduk di sofa ruang tengah sambil ‘memainkan’ smartphone di tangannya. John pun berusaha menghubungi seseorang.
“Pagi, mas bro …” sapa John pada Rafael sesaat setelah teleponnya tersambungkan.
“Bro … Aku gak nyangka kalau mamaku sudah menginginkannya sejak lama,” suara Rafael begitu bersemangat.
“Wow … Jadi kesimpulannya kamu berhasil meniduri mamamu?” John ingin yakin.
“Sial … Hot banget … Benar katamu, bro … Lain rasanya, penuh sensasi aneh tapi enak sekali rasanya. Kenikmatan bercinta yang aku peroleh, seperti gunung yang tadinya tertahan untuk meletus akhirnya meledak,” timpal Rafael masih dengan suara bersemangatnya.
“Lanjutkan dan puaskan saja, mas bro … Puaskan dirimu dengan mamamu. Yang penting udah nggak penasaran lagi dengan rasanya,” kata John sambil tersenyum.
“Oke, bro … Aku tutup dulu … Sepertinya mama sudah siap lagi … He he he …” suara Rafael agak pelan.
“Aaassiaap … Laksanakan …!” kata John lalu sambungan telepon pun terputus.
John tersenyum mendengar pengakuan Rafael seperti itu. Dan tiba-tiba John teringat Dedi dan ibunya. Dengan perasaan penasaran, John pun menghubungi teman dekatnya itu. Untuk beberapa saat sambungan telepon John belum diangkat oleh Dedi, namun akhirnya terdengar suara di speaker smartphone milik John.
“Setan … Ternyata kalian yang menjebakku …” kata-katanya memang kasar tapi suara Dedi di sana seperti sedang menahan tawa.
“He he he … Gimana rasanya?” goda John.
“Sialan … Enak banget … Paling enak dari semua cewek yang pernah aku entot … Ha ha ha …” ungkap Dedi yang diakhiri dengan tertawa terbahak-bahak.
“Syukurlah … Puasin dulu sekarang … Nanti kita lanjut lagi ngobrol kita …” kata John.
“Oke … Bye …” sahut Dedi sembari memutus sambungan telepon.
Lagi-lagi John tersenyum senang, ternyata usahanya tidak sia-sia. Sahabat dan teman dekatnya kini sama dengan dirinya. John meletakkan smartphone di atas meja lalu mengambil remote untuk menyalakan televisi. John memencet nomor-nomor yang ada di benda itu secara acak. Acara televisi tidak ada yang menarik, bahkan berita seputar olahraga yang biasa pemuda itu nikmati juga tidak menarik perhatiannya pagi ini.
Tidak berapa lama kemudian Diana pun keluar dari kamarnya dan bergerak ke ruang tengah untuk bergabung dengan John. Kaos ketatnya membungkus payudara indah tanpa bra itu dengan sempurna, memperlihatkan lekukan dada wanita yang sempurna. Diana berjalan dengan gerakan pinggulnya mirip kadal sedang memanjat perdu bambu. Dan itu telah membuat perhatian John begitu tersita.
“Mama sangat menggairahkan,” ujar John sambil membiarkan Diana duduk menyamping di pangkuannya.
“Sekarang mama ingin kamu bahagiakan mama,” desah Diana sambil menempelkan hidungnya di hidung John.
“Dengan senang hati,” ucap John sembari memeluk tubuh ibunya.
John menggendong tubuh Diana ke kamarnya di lantai dua. Sesaat kemudian keduanya bergumul di atas kasur. Diana terperangkap dalam tubuh kekar anaknya. Detik demi detik berlalu, lalu menit demi menit pun berjalan. Diana dan John kini terlihat saling berciuman panas dan saling menghisap lidah masing-masing. Tak ada yang mau kalah dalam permainan ini. Keduanya terus mengklaim lidah masing-masing, rasa manis dari saliva keduanya menambah bumbu-bumbu penyedap bagi John dan Diana.
Ibu dan anak masih terus melakukan foreplay mereka yang semakin panas, saling menyentuh dan meremas pasangannya. Entah siapa yang mulai, John dan Diana kini sudah dalam keadaan telanjang bulat. Kedua insan semakin terhanyut dalam panasnya gelora birahi. Dan akhirnya, John dan Diana menuju ‘menu utama’. Dalam posisi missionary, penis John sudah siap berada di depan pintu surga milik Diana. Dan kali ini, tanpa ragu John membenamkan dengan perlahan penisnya ke dalam vagina Diana. Tak butuh waktu lama sampai penis John hilang sepenuhnya dalam vagina Diana. Gerakan perlahan yang dilakukan John membuat tubuh Diana semakin bergetar, orgasme-orgasme kecil akibat gesekan penis John dalam vaginanya sungguh membuat wanita itu kehilangan akal.
“Aaahhh ... Sayangh ...” Desahan dan rintihan yang dilepaskan Diana membuat tempo genjotan yang dilakukan John semakin cepat, dirinya suka sekali rintihan ibunya itu. Begitu indah di telinganya. Kedua tangan John meremas payudara Diana. Kulit putih mulus milik Diana sangat membuat John tambah bernafsu.
Hampir satu jam kegiatan mereka terus berlanjut, berbagai macam gaya mereka praktekkan. Baik itu di atas kasur maupun di lantai, Diana terus meracau tak karuan. Entah dirinya sudah keberapa kalinya orgasme, Diana tidak tahu, yang dia tahu hanya kenikmatan ini begitu memabukkan. John pun sama, penisnya semakin mengeras di dalam vagina Diana. Sudah beberapa kali dirinya tidur dengan wanita-wanita sebayanya, baik itu yang masih perawan atau tidak, tetapi vagina milik ibunya sangat berbeda dengan mereka. Terasa sempit, hangat, dan mencengkram, tak ada yang bisa dibandingkan dengan vagina Diana.
“Maammaa ... Aku mau ... Uughh …” Desis John yang merasa klimaksnya sudah di ujung tanduk.
“S-Sama-sama ... Aaaahhh ... Keluarkan di aahhh ... dalam ...” balas Diana sambil mendesah-desah.
Suara benturan antara dua selangkangan terdengar semakin keras, keduanya mengerang saat penis John membengkak di dalam vagina Diana. Tak lama kemudian, cairan semen panas keluar di dalam vagina Diana, membuat keduanya menegang. Kenikmatan puncak menerjang keduanya secara bersama-sama. Nafas yang memburu menjadi melodi akhir di kamar John, keduanya hanya saling menatap dengan penis John yang masih di dalam vagina Diana. Tangan Diana terarah membelai rambut John yang berada di atasnya, beralih ke wajahnya dan berakhir di bibir John. John hanya memandang kegiatan yang dilakukan Diana, dirinya masih berusaha untuk mengatur nafasnya yang masih memburu.
“Kau tampan sekali ...” Diana yang juga masih mengatur nafasnya kali ini tersenyum, tubuhnya lemas sekali. Bercinta dengan John membuat dirinya kewalahan. Baik itu perasaan maupun tenaga, semuanya terbayar saat bercinta dengan John.
Buah dada Diana yang masih menegang tanpa sadar membuat nafsu John meningkat lagi. Tentu saja, penis John yang sempat lemas di dalam vagina Diana kini mulai membesar kembali. Diana terperanjat saat merasakan penis John yang kembali membesar dalam vaginanya.
“Ishh ... Kamu gak pernah puas ya?!” ucap Diana yang membuat John menyeringai. John merasa tak akan pernah puas. Bercinta dengan bidadari di depannya tak akan membuatnya puas.
“Mama tak akan bisa istirahat kalau bermain denganku …” ucap John dan Diana pun terkikik senang. Memang itu yang selalu didamba oleh Diana.
Sudah hampir tiga jam ini terdengar suara rintihan dan desahan yang bersahutan di kamar yang menjadi saksi pergumulan hebat antara kedua insan. John sukses menjadikan dirinya laki-laki yang sangat menggairahkan dan bisa memuaskan pasangan yang berada di bawahnya yang terlihat sangat kenikmatan. John yang bertugas sebagai pemuas sibuk menggenjot cepat lubang ibunya yang selalu membuatnya ingin merasakan lagi dan lagi.
Sementara yang bertugas ‘dipuaskan’ pun hanya mampu memejamkan erat matanya sesekali menggigit bibir bawahnya menahan gejolak yang membawanya ke pusaran kenikmatan tiada tara. Sesekali si cantik memekik saat pria tampannya menghentak terlalu kencang dan sangat dalam ke bagian tubuhnya di bawah sana. Diana memejamkan erat matanya saat entah yang ke berapa kalinya dirinya mencapai puncak kenikmatan hari ini.
Gairah yang begitu membakar seolah menjadi bukti kalau keduanya memang sangat menginginkan percintaan yang berlangsung lagi dan lagi seperti hari ini. Dan pergumulan panas itu pun terus berlanjut. Keduanya saling menyalurkan kenikmatan bercinta. Kenikmatan demi kenikmatan mereka reguk bersama. Tubuh mereka rapat menyatu dalam ayunan irama birahi, desah dan dengus napas penuh gelora memenuhi kamar itu. Sampai akhirnya mereka sepakat untuk menyudahi permainan cinta mereka karena sudah waktunya untuk John berangkat kuliah.
#####
Sore itu suasana kampus begitu ramai. Beberapa mahasiswa sudah keluar kelas, karena jam kuliah sudah habis. Tampak Tina dan Andi sedang berjalan menyusuri koridor kampus menuju tempat parkir yang berada di ujung utara gedung. Wajah keduanya tampak berseri-seri. Senyum tak pernah pudar dari sudut bibir mereka. Tak lama, mereka pun sampai di parkiran. Andi menunggu Tina di samping motor kesayangan gadis itu. Sebelum Tina menyalakan mesin motornya, gadis itu menoleh ke arah Andi.
“Ndi … Aku ingin kamu jujur padaku … Sebenarnya, bagaimana sih perasaanmu sama aku?” tanya Tina tiba-tiba serius pada Andi. Andi pun cukup terkejut dengan pertanyaan itu. Setelah menghela nafas, Andi akhirnya menjawab dengan suara lirihnya.
“Sejujurnya, aku masih menganggapmu saudara dan sahabat. Kamu adalah satu-satunya orang terdekat denganku selama ini. Aku tak sanggup rasa sayangku ini diubah menjadi rasa cinta. Maaf kalau aku sudah menyinggung perasaanmu,” ucap Andi yang terpaksa diutarakan sesuai dengan perasaannya. Andi berpikir tidak mau menyakiti hati Tina lebih dalam lagi.
“Gak apa-apa, Ndi … Aku bisa menerimanya dan kamu jangan merasa bersalah karena kamu belum memberi aku harapan apa-apa. Dan yang pasti kejujuranmu sangat aku hargai. Dan lebih baik, memang kita menjadi saudara dan sahabat saja,” ungkap Tina berbesar hati.
“Terima kasih, Tin … You’re my best friend …” kata Andi senang.
“Oke … Aku duluan … Aku tunggu kamu di rumah …” ucap Tina sembari menyalakan mesin motornya.
“Oke …” sahut Andi.
Dan akhirnya Tina mulai melajukan motornya pelan, namun lama-lama dia melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Hanya setengah jam saja Tina sampai di rumah. Tina mendapati ibunya sedang tertidur di sofa ruang tengah dengan televisi menyala. Tadinya Tina tidak ingin mengganggu tidurnya, namun saat ia mematikan televisi Diana malah terbangun.
“Eh … Kamu sudah pulang?” Diana bangkit lalu melemaskan otot-otot bahunya.
“Baru saja … Kalau mama masih mengantuk, tidur saja lagi,” ucap Tina merasa bersalah.
“Ah, tidak … Mama sengaja menunggumu kok …” sahut Diana sambil tersenyum.
“Menungguku? Ada apa?” tanya Tina heran sekaligus penasaran.
“Ada sesuatu yang ingin mama bicarakan,” Diana terkesan hati-hati.
“Katakan saja …” ucap Tina semakin penasaran.
“Em … Ini tentang Rafael …” jawab Diana. Tina terlihat terkejut saat mendengar Diana menyebut nama orang itu, dan ekspresi Tina langsung berubah datar secepat kilat. “Apakah kamu ingin membicarakannya?” langsung saja Diana menyadari keadaan.
“Apa yang mama ingin bicarakan?” tanya Tina menantang.
“Oh … Mama rasa tak ada lagi yang mama ingin bicarakan … Maafkan mama ya …” Diana menarik lagi kata-katanya karena melihat Tina tidak senang mendengar nama orang itu lagi.
“Aku sudah melupakan orang brengsek itu dari memoriku. Kalau mama bermaksud menjodohkan aku sama dia, mama sedang bermimpi di siang bolong,” tegas Tina tanpa ampun.
“Ya, mama mengerti … Maafkan mama ya …” Diana kini benar-benar merasa bersalah.
“Ya, ma … Dan aku harap mama tidak membicarakan itu lagi,” kata Tina sambil berlalu begitu saja dari hadapan ibunya.
Rafael adalah orang yang pernah menginjak-injak harga dirinya, kebencian meledak di antara mereka, Tina tidak bisa memaafkan Rafael begitu saja. Tina bukanlah seorang gadis yang lemah, tapi sakit hatinya terlalu besar saat Rafael mengusir dirinya pada saat kepergok berkencan dengan seorang artis yang diduga kuat sebagai wanita panggilan. Rasa sakit hatinya terlalu dalam sehingga menjalar ke bagian otaknya yang biasanya paling kuat membuatnya tetap sadar.
Diana tercenung sendiri dan menyesali dirinya yang telah membuka luka lama yang diderita Tina. Sebenarnya Diana sadar kalau apa yang dia bicarakan tadi dapat membuat marah anak gadisnya, namun ia tetap berusaha dengan harapan Tina bisa membuka dirinya lagi untuk Rafael. Bagaimana pun juga Rafael adalah sebuah permata yang bisa mengangkat kehidupan keluarga. Sesungguhnya Diana berharap Rafael bisa menjadi bagian keluarganya dan dirinya bisa menikmati fasilitas yang akan diberikan Rafael. Diana berpikir, kesejahteraan dan kekayaan membuat hidup menjadi lebih mudah dan lebih menyenangkan. Untuk saat ini Diana memang tidak meneruskan niatnya untuk mempersatukan Tina dan Rafael. Namun, Diana tetap bertekad untuk berusaha sekuat tenaga agar Tina mau menerima Rafael kembali.
Diana mengambil remote dan menyalakan kembali televisi. Setelah mengganti chanel beberapa kali, Diana pun menetapkan untuk menyaksikan berita. Tak lama, alis wanita itu terangkat saat layar televisinya menampilkan sosok Rafael yang tampan dan elegan dalam balutan setelan jas berwarna hitam. Berita itu menyiarkan pengangkatan Rafael sebagai CEO retail terbesar di Asia Tenggara. Dari mimik mukanya terlihat kalau Diana sedang mengagumi sosok yang terpantul di layar kaca itu. Sosok yang sudah matang dan dewasa berlainan dengan keadaan pemuda itu empat tahun yang lalu.
“Seandainya Tina berjodoh dengan Rafael … Ah, kehidupanku semakin indah …” gumam Diana untuk dirinya sendiri.
Diana akhirnya mematikan televisi sudah saatnya memasak untuk makan malam keluarga. Tetapi saat ia baru saja bangkit dari sofa, smartphone miliknya berdering dan bergetar. Diana langsung saja mengambil alat komunikasi itu dari saku roknya lalu melihat identitas penelepon di layar smartphone.
“Ya, John …” sapa Diana pada sang penelepon.
“Ma … Temui aku di Hotel Hilton pusat di PIK … Bawa pakaian terbagus dan terindah karena kita diundang ke pesta perayaan Rafael yang diangkat sebagai CEO,” kata John bersemangat.
“Oh … Begitu ya …!” seru Diana tak percaya.
“Cepat ya ma … Aku tunggu … Oh, ya … Jangan sampai Tina tahu karena dia pasti marah …” John memperingati Diana.
“I..iya … Mama tahu …” jawab Diana.
Sambungan telepon pun terputus dan langsung saja Diana berjalan menuju kamarnya. Sambil memilih-milih pakaian yang cocok, Diana pun menelepon suaminya memberitahukan kalau dirinya akan menghadiri pesta bersama John di Hotel Hilton. Tak lupa, Diana pun mewanti-wanti kalau Tina jangan sampai tahu tujuan dia pergi. Setelah mendapat persetujuan suaminya, Diana bergegas mandi dan berdandan seperlunya. Tak lama, Diana keluar kamar sambil menenteng tas berisi baju pesta.
“Tina …” teriak Diana yang menyangka Tina berada dalam kamarnya.
“Ya, ma …” ternyata Tina berada di ruang depan. Langkah Diana pun menuju sumber suara.
“Mama mau menginap di hotel … Ada temen mama yang ngajak bermalam di sana,” ucap Diana sambil tersenyum.
“Wow … Kok gak ngajak aku sih …?” rajuk Tina.
“Ini kumpulan emak-emak … Anak gadis dilarang ikut …” kilah Diana.
“Oke … Apa perlu dianter?” Tina menawarkan jasa.
“Nggak perlu … Mama naik taksi online saja …” jawab Diana.
Beberapa menit berselang, Diana sudah berada dalam taksi online yang ia pesan. Hati Diana begitu bersemangat hingga hampir meledak. Selain sudah lama tidak bisa keluar rumah untuk sekedar berekreasi, ia juga membayangkan malam yang penuh gairah bersama John di kamar hotel. Diana merasa sangat bergairah apabila ‘bermain cinta’ dengan anaknya itu. Tak berlebihan karena John mampu memberikan kenikmatan bercinta secara paripurna. Gairahnya yang meledak-ledak mampu oleh John puaskan bahkan lebih.
Setelah hampir dua jam berada dalam taksi online, Diana pun sampai di tempat tujuan. John menjemput Diana di lobby hotel, dan keduanya langsung menuju kamar hotel yang sengaja Rafael sewa untuk mereka berdua. Saat memasuki kamar hotel, perhatian Diana tersita oleh pemandangan kamar hotel yang begitu mewah dan luas. Ia tercengang. Diana tak tahu persis bagaimana harus bereaksi seperti apa. Saat hendak berbicara, bibirnya sudah dibungkam oleh John. Pagutan John begitu lembut. Tak butuh waktu lama Diana hanyut dalam cumbuan John. Ia pun berusaha membalas. Walau, pemuda itu yang mendominasi.
“Kamar ini sungguh mengagumkan,” ucap Diana setelah melepas ciuman.
“Kita nikmati saja …” kata John dan langsung menyambar bibir tipis Diana dengan kecupan sekilas. Wanita cantik itu menyambutnya dengan senyum kecil dan kemudian mengalungkan tangannya ke leher John.
“Beri mama kepuasan, sayang …”
“Dengan senang hati, bidadariku …”
Mereka terus berpagutan hingga tak terasa keduanya sudah berada di atas ranjang tanpa sehelai benang. Tubuh mereka menyatu, seakan bercerita kepada benda mati di kamar tersebut bahwa mereka saling memiliki. Hasrat mereka membuncah tatkala desahan itu menggema di penjuru ruangan. John dengan gagah terus melesakkan miliknya yang membuat Diana kewalahan. Dan entah sudah berapa kali Diana mengalami orgasme. Hampir satu jam kemudian, mereka berdua sampai di titik kenikmatan masing-masing secara bersama-sama, keduanya terengah dan saling berpelukan.
Bersambung
Chapter 8 di halaman 11
“Pagi yang indah …” ucapnya monolog.
Setelah selesai membuka jendela dan menikmati udara pagi, pemuda tampan itu langsung melenggang ke kamar mandi, membersihkan tubuh dari segala kuman pengganggu. Gemericik air terdengar saat shower dinyalakan, butiran-butiran air turun berjatuhan membasahi tubuh tanpa kain itu, menghantarkan rasa segar pada setia jengkal tubuhnya. Senandung halus terdengar mengiringi tangannya yang bergerak membersihkan sekujur badan serta memberikan aroma yang khas akan pribadinya.
Dua puluh menit berlalu, tubuhnya kini sudah bersih dan rapi terbungkus kaos berwarna biru muda dengan celana panjang katun berwarna senada. Sedikit eksis di depan cermin, John menata rambutnya agar tertata rapi. Beberapa kali John menyemprotkan minyak wangi di beberapa bagian tubuhnya yang dirasa pas. John memperhatikan penampilannya sekali lagi di depan cermin, dan ia pun merasa sudah cukup dengan penampilannya.
“Sudah rapi saatnya sarapan,” ucap John ketika menatap pantulan dirinya di cermin. Ia pun melangkahkan kaki meninggalkan kamarnya untuk memasuki ruang makan yang kini di tempati oleh ayah dan ibunya.
“Pagi semua …” sapa John kepada kedua orangtuanya.
“Pagi … Mama suka sama kamu yang selalu semangat mengawali hari. Kamu enerjik sekali,” ucap Diana saat John sedang mencium pucuk kepalanya dari belakang.
“Mana Tina?” John bertanya saat ia hendak duduk.
“Dia masih di kamarnya. Dia lupa ada tugas kuliah yang harus dikumpulkan hari ini,” jawab Roy yang hampir selesai dengan sarapannya.
“Wah, gak asik dong … Bagaimana pun dia harus sarapan dulu … Ma, tolong siapkan sarapan buat Tina. Biar aku yang mengantar ke kamarnya …” pinta John lalu melahap setumpuk sandwich yang telah dipersiapkan Diana.
Diana tersenyum bahagia melihat ‘perhatian’ yang diberikan John untuk adiknya yang sudah lama tidak Diana lihat. Wanita itu pun segera menyiapkan sarapan untuk Tina. Hanya sebentar John melahap habis sarapannya lalu ia meraih baki yang berisi dua tumpuk sandwich dan segelas susu hangat. Dengan langkah ceria yang senantiasa melukisi wajahnya ia mulai berjalan menuju kamar adiknya.
“Tina … Bolehkah aku masuk …!” teriak John di depan pintu kamar Tina.
“Masuklah …” sahut Tina dari dalam.
Dengan perlahan dan sedikit kesusahan, John membuka pintu kamar itu dan menjumpai adiknya yang tengah menghadapi laptop di meja belajarnya. Tina tersenyum saat sang kakak masuk sambil membawa baki. Wajahnya yang tampan dengan senyum cerah yang selalu John berikan membuat hati gadis itu menghangat. Tina sedikit membalas senyum John lalu kembali mengerjakan tugas kuliahnya. John tersenyum saat adiknya kini tengah serius di meja belajarnya. Pemuda itu lalu berjalan mendekati sang adik lalu meletakkan baki di atas meja belajar itu.
“Sarapan dulu … Sarapan berfungsi sebagai bahan bakar untuk mengawali hari dengan baik. Sarapan sangat penting karena dibutuhkan untuk memberikan energi,” kata John sambil bergerak ke samping Tina lalu memperhatikan apa yang tengah adiknya kerjakan.
“Tumben …” gumam Tina sambil menatap wajah kakaknya yang kini tepat berada di sebelahnya.
“Apapun yang kamu kerjakan, tundalah dulu. Lebih baik habiskan dulu makanan itu, baru lanjutkan tugasmu,” kata John seraya tangannya mulai menggapai rambut yang tergerai bebas milik sang adik, mengelusnya pelan dengan sangat lembut.
“Hi hi hi …” Tina cekikikan lucu. Gadis itu merasakan ada sesuatu yang tidak biasa dari kakaknya. Namun, Tina sangat tersanjung dengan sikap John yang gentle dan sangat perhatian.
John tertawa pelan saat sang adik kini menjauhkan tangan pemuda itu dari rambutnya, bibirnya menyunggingkan senyum saat sang adik kini menatapnya dengan pipi yang agak digembungkan. Tina menatap kakaknya yang kini berjalan ke arah tempat tidurnya. Tina tersenyum saat John kini tengah berbaring dengan posisi terlentang di kasurnya. Mata John yang terpejam mencoba merasakan betapa empuknya kasur milik adiknya. Hal itu membuat Tina tersenyum sendiri melihat kelakuan kakaknya.
“Kamu gak kuliah?” tanya Tina yang mulai menyantap sarapan yang dibawa John.
“Siang … Hanya kuliah praktik di rumah sakit …” jawab John tanpa mengubah posisinya di atas kasur.
Sebenarnya Tina agak bingung dengan kakaknya. Ini memang masih pagi namun John bisa-bisanya bermalas-malasan di kasurnya dengan wajah ngantuk seperti itu. Tapi toh biarlah, selama kakaknya tidak mengganggu, ia merasa cukup senang dan bisa kembali mengerjakan tugas kuliahnya. Setelah menghabiskan sandwich dan susu, Tina kembali fokus pada laptop-nya. Selang sepuluh menit kemudian, Tina pun berhasil menyelesaikan tugas makalah yang seharusnya dikumpulkan minggu kemarin.
“Selesai …” ucap Tina dengan nada riang, merenggangkan otot lengannya yang kini terasa pegal sambil mencoba menghirup udara segar yang masuk melalui jendela. “John …” Tina memanggil kakaknya sambil membereskan laptop lalu memasukan laptop itu ke dalam tas.
Merasa panggilannya tak mendapatkan jawaban, gadis itu lalu menoleh ke samping tepat ke arah tempat tidur miliknya, sedikit menghela nafas saat John kini tengah terbaring tertidur dengan wajah yang damai. Tina berdiri dari kursi meja belajarnya, berjalan pelan mendekati sang kakak yang kini masih tertidur, jemari mungilnya mencoba menggapai wajah sang kakak yang menurutnya sangat tampan.
“John …” Suara Tina sedikit bergetar saat memanggil kakaknya. Jari Tina yang awalnya menyentuh bibir itu kini mulai turun ke dada bidang John.
“Mmmm …” gumam John masih dengan mata terpejam.
Tina menaiki kasur itu dan menduduki perut John. Tina sedikit memiringkan wajahnya sambil tersenyum saat jari-jemarinya mulai menggapai wajah John. Tak lama, Tina secara perlahan membungkuk mendekati wajah damai sang kakak yang tengah pura-pura tertidur. Iris mata Tina terpejam saat bibirnya menyentuh bibir sang kakak, tangannya menekan kepala sang kakak lebih dalam, wajahnya benar-benar memerah sesaat setelah ia melepaskan ciumannya pada kakaknya sendiri.
“Kenapa berhenti?” tiba-tiba John berkata. Kedua tangan pemuda itu kini memegang buah pinggul Tina yang berada di atas tubuhnya.
“Aku hanya ingin melihat wajah kakakku … Kamu gak pandai menyembunyikan wajah mesummu. Aku tahu kalau kau sedang berusaha menggodaku,” kata Tina sambil tersenyum.
“Sok tahu …!” balas John menutupi malu, karena isi hatinya ketahuan oleh Tina.
“Hi hi hi … Itu kata-katamu kalau sudah terdesak,” Tina pun terkekeh senang.
“Kamu ini …” John terdiam, belum sempat ia menyelesaikan ucapannya, bibirnya telah lebih dahulu dikunci oleh bibir Tina. Gadis itu mencoba memejamkan mata, merasakan betapa nikmat bibir kakaknya sendiri. Ciuman penuh nafsu itu berlangsung lama. Beberapa saat kemudian mereka menghentikan ciuman itu. Tina kembali tersenyum manis, jari telunjuknya yang lentik menyentuh bibir John seolah menyuruh pemuda itu untuk diam.
“Aku harus ke kampus …” ucap Tina seraya beranjak dari tubuh kakaknya.
Gadis itu berlalu tanpa rasa bersalah menuju kamar mandi. Sementara itu, John hanya bisa menghela nafas sambil menahan konaknya. John pun segera keluar dari kamar Tina dan langsung menuju dapur. Saat John masuk ke dapur, ia menemukan ibunya sedang membersihkan meja makan. John melihat segelas kopi yang masih penuh dan belum tersentuh di atas meja makan. Tanpa ragu, John menyesap kopi tersebut sambil duduk di kursi meja makan.
“Tadi smartphone-mu berbunyi. Tadi mama yang angkat telpon kamu. Rafael meneleponmu.” Kata Diana pada John.
“Oh …” John baru ingat kalau smartphone-nya ditinggal di meja makan saat mengantarkan sarapan untuk Tina.
“Ternyata Rafael sudah lulus kuliahnya … Sekarang, kapan kamu mau lulus kuliah?” tanya Diana sambil duduk di hadapan John sambil menopang dagu dengan satu tangannya sembari mengamati wajah anaknya.
“He he he … Si Rafael memang cerdas anaknya, ma … Lagian, dia kuliah bisnis tidak sepertiku. Aku kadang merasa menyesal memilih kuliah di kedokteran … Susah lulusnya …” John berkelit.
“Apakah Tina sudah tahu kalau Rafael ada di Indonesia?” tanya Diana agak memelankan suaranya.
“Belum …” jawab John lalu menyesap kopinya lagi.
“Sebenarnya mama ingin mereka bersatu lagi. Kalau bisa mereka menjadi suami istri,” lirih Diana penuh pengharapan.
“Aku juga pengennya seperti itu. Tapi Tina kayaknya belum bisa menerima Rafael lagi,” respon John.
“Hhhmm … Bagaimana kalau kita persatukan mereka lagi. Mama akan bujuk Tina dan kamu bujuk Rafael,” Diana mengutarakan idenya.
“Aku sih setuju … Tapi kita masih punya masalah yang harus segera diselesaikan sebelum mempersatukan mereka,” John menatap wajah ibunya.
“Apa itu?” tanya Diana heran.
“Tina sepertinya belum bisa melupakan Andi,” jawab John.
“Hhhmm … Biar nanti mama yang menyelesaikan masalah itu,” ucap Diana sambil mengangguk-anggukan kepala.
“Ma … Apakah mama tahu kalau Andi dan ibunya melakukan incest juga seperti kita?” tanya John kemudian.
“Oh ya? Apakah mereka melakukannya?” Diana terkejut mendengar pernyataan John. Memang Diana pernah bicara tentang hubungan incest dengan adiknya, tetapi Diana tidak menyangka kalau hal itu terwujud dalam waktu yang sangat singkat.
“Aku dan Tina menyaksikannya walau tanpa sengaja,” ungkap John lalu menceritakan kejadian malam itu saat dirinya dan Tina melihat adegan telanjang antara Andi dan ibunya.
“Wow … Mengejutkan … Tapi itu adalah perkembangan yang baik untuk tantemu … Kamu tahu kalau tantemu itu kesepian karena selalu ditinggal lama oleh suaminya. Bagaimana pun tantemu perlu kepuasan batin, jadi biarlah Andi yang mengurus ibunya sendiri,” kata Diana sedikit bersemangat.
“Tapi ma … Aku rasa itu yang membuat Tina bersedih …” John memperingati ibunya.
“Tenang saja … Nanti mama akan bicarakan hal itu dengan Tina … Sekarang kerjakan saja bagianmu …” kata Diana sambil tersenyum.
Karena takut Tina tiba-tiba datang, John dan Diana pun segera mengganti tema pembicaraan. Benar saja, selang beberapa menit Tina datang dengan dandanan sudah rapi. Ketiganya pun terlibat pembicaraan yang seru sebelum akhirnya Tina berpamitan untuk pergi ke kampusnya. Pada saat itu juga, Diana menuju kamar mandinya lalu membersihkan badan di sana. Dan John duduk di sofa ruang tengah sambil ‘memainkan’ smartphone di tangannya. John pun berusaha menghubungi seseorang.
“Pagi, mas bro …” sapa John pada Rafael sesaat setelah teleponnya tersambungkan.
“Bro … Aku gak nyangka kalau mamaku sudah menginginkannya sejak lama,” suara Rafael begitu bersemangat.
“Wow … Jadi kesimpulannya kamu berhasil meniduri mamamu?” John ingin yakin.
“Sial … Hot banget … Benar katamu, bro … Lain rasanya, penuh sensasi aneh tapi enak sekali rasanya. Kenikmatan bercinta yang aku peroleh, seperti gunung yang tadinya tertahan untuk meletus akhirnya meledak,” timpal Rafael masih dengan suara bersemangatnya.
“Lanjutkan dan puaskan saja, mas bro … Puaskan dirimu dengan mamamu. Yang penting udah nggak penasaran lagi dengan rasanya,” kata John sambil tersenyum.
“Oke, bro … Aku tutup dulu … Sepertinya mama sudah siap lagi … He he he …” suara Rafael agak pelan.
“Aaassiaap … Laksanakan …!” kata John lalu sambungan telepon pun terputus.
John tersenyum mendengar pengakuan Rafael seperti itu. Dan tiba-tiba John teringat Dedi dan ibunya. Dengan perasaan penasaran, John pun menghubungi teman dekatnya itu. Untuk beberapa saat sambungan telepon John belum diangkat oleh Dedi, namun akhirnya terdengar suara di speaker smartphone milik John.
“Setan … Ternyata kalian yang menjebakku …” kata-katanya memang kasar tapi suara Dedi di sana seperti sedang menahan tawa.
“He he he … Gimana rasanya?” goda John.
“Sialan … Enak banget … Paling enak dari semua cewek yang pernah aku entot … Ha ha ha …” ungkap Dedi yang diakhiri dengan tertawa terbahak-bahak.
“Syukurlah … Puasin dulu sekarang … Nanti kita lanjut lagi ngobrol kita …” kata John.
“Oke … Bye …” sahut Dedi sembari memutus sambungan telepon.
Lagi-lagi John tersenyum senang, ternyata usahanya tidak sia-sia. Sahabat dan teman dekatnya kini sama dengan dirinya. John meletakkan smartphone di atas meja lalu mengambil remote untuk menyalakan televisi. John memencet nomor-nomor yang ada di benda itu secara acak. Acara televisi tidak ada yang menarik, bahkan berita seputar olahraga yang biasa pemuda itu nikmati juga tidak menarik perhatiannya pagi ini.
Tidak berapa lama kemudian Diana pun keluar dari kamarnya dan bergerak ke ruang tengah untuk bergabung dengan John. Kaos ketatnya membungkus payudara indah tanpa bra itu dengan sempurna, memperlihatkan lekukan dada wanita yang sempurna. Diana berjalan dengan gerakan pinggulnya mirip kadal sedang memanjat perdu bambu. Dan itu telah membuat perhatian John begitu tersita.
“Mama sangat menggairahkan,” ujar John sambil membiarkan Diana duduk menyamping di pangkuannya.
“Sekarang mama ingin kamu bahagiakan mama,” desah Diana sambil menempelkan hidungnya di hidung John.
“Dengan senang hati,” ucap John sembari memeluk tubuh ibunya.
John menggendong tubuh Diana ke kamarnya di lantai dua. Sesaat kemudian keduanya bergumul di atas kasur. Diana terperangkap dalam tubuh kekar anaknya. Detik demi detik berlalu, lalu menit demi menit pun berjalan. Diana dan John kini terlihat saling berciuman panas dan saling menghisap lidah masing-masing. Tak ada yang mau kalah dalam permainan ini. Keduanya terus mengklaim lidah masing-masing, rasa manis dari saliva keduanya menambah bumbu-bumbu penyedap bagi John dan Diana.
Ibu dan anak masih terus melakukan foreplay mereka yang semakin panas, saling menyentuh dan meremas pasangannya. Entah siapa yang mulai, John dan Diana kini sudah dalam keadaan telanjang bulat. Kedua insan semakin terhanyut dalam panasnya gelora birahi. Dan akhirnya, John dan Diana menuju ‘menu utama’. Dalam posisi missionary, penis John sudah siap berada di depan pintu surga milik Diana. Dan kali ini, tanpa ragu John membenamkan dengan perlahan penisnya ke dalam vagina Diana. Tak butuh waktu lama sampai penis John hilang sepenuhnya dalam vagina Diana. Gerakan perlahan yang dilakukan John membuat tubuh Diana semakin bergetar, orgasme-orgasme kecil akibat gesekan penis John dalam vaginanya sungguh membuat wanita itu kehilangan akal.
“Aaahhh ... Sayangh ...” Desahan dan rintihan yang dilepaskan Diana membuat tempo genjotan yang dilakukan John semakin cepat, dirinya suka sekali rintihan ibunya itu. Begitu indah di telinganya. Kedua tangan John meremas payudara Diana. Kulit putih mulus milik Diana sangat membuat John tambah bernafsu.
Hampir satu jam kegiatan mereka terus berlanjut, berbagai macam gaya mereka praktekkan. Baik itu di atas kasur maupun di lantai, Diana terus meracau tak karuan. Entah dirinya sudah keberapa kalinya orgasme, Diana tidak tahu, yang dia tahu hanya kenikmatan ini begitu memabukkan. John pun sama, penisnya semakin mengeras di dalam vagina Diana. Sudah beberapa kali dirinya tidur dengan wanita-wanita sebayanya, baik itu yang masih perawan atau tidak, tetapi vagina milik ibunya sangat berbeda dengan mereka. Terasa sempit, hangat, dan mencengkram, tak ada yang bisa dibandingkan dengan vagina Diana.
“Maammaa ... Aku mau ... Uughh …” Desis John yang merasa klimaksnya sudah di ujung tanduk.
“S-Sama-sama ... Aaaahhh ... Keluarkan di aahhh ... dalam ...” balas Diana sambil mendesah-desah.
Suara benturan antara dua selangkangan terdengar semakin keras, keduanya mengerang saat penis John membengkak di dalam vagina Diana. Tak lama kemudian, cairan semen panas keluar di dalam vagina Diana, membuat keduanya menegang. Kenikmatan puncak menerjang keduanya secara bersama-sama. Nafas yang memburu menjadi melodi akhir di kamar John, keduanya hanya saling menatap dengan penis John yang masih di dalam vagina Diana. Tangan Diana terarah membelai rambut John yang berada di atasnya, beralih ke wajahnya dan berakhir di bibir John. John hanya memandang kegiatan yang dilakukan Diana, dirinya masih berusaha untuk mengatur nafasnya yang masih memburu.
“Kau tampan sekali ...” Diana yang juga masih mengatur nafasnya kali ini tersenyum, tubuhnya lemas sekali. Bercinta dengan John membuat dirinya kewalahan. Baik itu perasaan maupun tenaga, semuanya terbayar saat bercinta dengan John.
Buah dada Diana yang masih menegang tanpa sadar membuat nafsu John meningkat lagi. Tentu saja, penis John yang sempat lemas di dalam vagina Diana kini mulai membesar kembali. Diana terperanjat saat merasakan penis John yang kembali membesar dalam vaginanya.
“Ishh ... Kamu gak pernah puas ya?!” ucap Diana yang membuat John menyeringai. John merasa tak akan pernah puas. Bercinta dengan bidadari di depannya tak akan membuatnya puas.
“Mama tak akan bisa istirahat kalau bermain denganku …” ucap John dan Diana pun terkikik senang. Memang itu yang selalu didamba oleh Diana.
Sudah hampir tiga jam ini terdengar suara rintihan dan desahan yang bersahutan di kamar yang menjadi saksi pergumulan hebat antara kedua insan. John sukses menjadikan dirinya laki-laki yang sangat menggairahkan dan bisa memuaskan pasangan yang berada di bawahnya yang terlihat sangat kenikmatan. John yang bertugas sebagai pemuas sibuk menggenjot cepat lubang ibunya yang selalu membuatnya ingin merasakan lagi dan lagi.
Sementara yang bertugas ‘dipuaskan’ pun hanya mampu memejamkan erat matanya sesekali menggigit bibir bawahnya menahan gejolak yang membawanya ke pusaran kenikmatan tiada tara. Sesekali si cantik memekik saat pria tampannya menghentak terlalu kencang dan sangat dalam ke bagian tubuhnya di bawah sana. Diana memejamkan erat matanya saat entah yang ke berapa kalinya dirinya mencapai puncak kenikmatan hari ini.
Gairah yang begitu membakar seolah menjadi bukti kalau keduanya memang sangat menginginkan percintaan yang berlangsung lagi dan lagi seperti hari ini. Dan pergumulan panas itu pun terus berlanjut. Keduanya saling menyalurkan kenikmatan bercinta. Kenikmatan demi kenikmatan mereka reguk bersama. Tubuh mereka rapat menyatu dalam ayunan irama birahi, desah dan dengus napas penuh gelora memenuhi kamar itu. Sampai akhirnya mereka sepakat untuk menyudahi permainan cinta mereka karena sudah waktunya untuk John berangkat kuliah.
#####
Sore itu suasana kampus begitu ramai. Beberapa mahasiswa sudah keluar kelas, karena jam kuliah sudah habis. Tampak Tina dan Andi sedang berjalan menyusuri koridor kampus menuju tempat parkir yang berada di ujung utara gedung. Wajah keduanya tampak berseri-seri. Senyum tak pernah pudar dari sudut bibir mereka. Tak lama, mereka pun sampai di parkiran. Andi menunggu Tina di samping motor kesayangan gadis itu. Sebelum Tina menyalakan mesin motornya, gadis itu menoleh ke arah Andi.
“Ndi … Aku ingin kamu jujur padaku … Sebenarnya, bagaimana sih perasaanmu sama aku?” tanya Tina tiba-tiba serius pada Andi. Andi pun cukup terkejut dengan pertanyaan itu. Setelah menghela nafas, Andi akhirnya menjawab dengan suara lirihnya.
“Sejujurnya, aku masih menganggapmu saudara dan sahabat. Kamu adalah satu-satunya orang terdekat denganku selama ini. Aku tak sanggup rasa sayangku ini diubah menjadi rasa cinta. Maaf kalau aku sudah menyinggung perasaanmu,” ucap Andi yang terpaksa diutarakan sesuai dengan perasaannya. Andi berpikir tidak mau menyakiti hati Tina lebih dalam lagi.
“Gak apa-apa, Ndi … Aku bisa menerimanya dan kamu jangan merasa bersalah karena kamu belum memberi aku harapan apa-apa. Dan yang pasti kejujuranmu sangat aku hargai. Dan lebih baik, memang kita menjadi saudara dan sahabat saja,” ungkap Tina berbesar hati.
“Terima kasih, Tin … You’re my best friend …” kata Andi senang.
“Oke … Aku duluan … Aku tunggu kamu di rumah …” ucap Tina sembari menyalakan mesin motornya.
“Oke …” sahut Andi.
Dan akhirnya Tina mulai melajukan motornya pelan, namun lama-lama dia melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Hanya setengah jam saja Tina sampai di rumah. Tina mendapati ibunya sedang tertidur di sofa ruang tengah dengan televisi menyala. Tadinya Tina tidak ingin mengganggu tidurnya, namun saat ia mematikan televisi Diana malah terbangun.
“Eh … Kamu sudah pulang?” Diana bangkit lalu melemaskan otot-otot bahunya.
“Baru saja … Kalau mama masih mengantuk, tidur saja lagi,” ucap Tina merasa bersalah.
“Ah, tidak … Mama sengaja menunggumu kok …” sahut Diana sambil tersenyum.
“Menungguku? Ada apa?” tanya Tina heran sekaligus penasaran.
“Ada sesuatu yang ingin mama bicarakan,” Diana terkesan hati-hati.
“Katakan saja …” ucap Tina semakin penasaran.
“Em … Ini tentang Rafael …” jawab Diana. Tina terlihat terkejut saat mendengar Diana menyebut nama orang itu, dan ekspresi Tina langsung berubah datar secepat kilat. “Apakah kamu ingin membicarakannya?” langsung saja Diana menyadari keadaan.
“Apa yang mama ingin bicarakan?” tanya Tina menantang.
“Oh … Mama rasa tak ada lagi yang mama ingin bicarakan … Maafkan mama ya …” Diana menarik lagi kata-katanya karena melihat Tina tidak senang mendengar nama orang itu lagi.
“Aku sudah melupakan orang brengsek itu dari memoriku. Kalau mama bermaksud menjodohkan aku sama dia, mama sedang bermimpi di siang bolong,” tegas Tina tanpa ampun.
“Ya, mama mengerti … Maafkan mama ya …” Diana kini benar-benar merasa bersalah.
“Ya, ma … Dan aku harap mama tidak membicarakan itu lagi,” kata Tina sambil berlalu begitu saja dari hadapan ibunya.
Rafael adalah orang yang pernah menginjak-injak harga dirinya, kebencian meledak di antara mereka, Tina tidak bisa memaafkan Rafael begitu saja. Tina bukanlah seorang gadis yang lemah, tapi sakit hatinya terlalu besar saat Rafael mengusir dirinya pada saat kepergok berkencan dengan seorang artis yang diduga kuat sebagai wanita panggilan. Rasa sakit hatinya terlalu dalam sehingga menjalar ke bagian otaknya yang biasanya paling kuat membuatnya tetap sadar.
Diana tercenung sendiri dan menyesali dirinya yang telah membuka luka lama yang diderita Tina. Sebenarnya Diana sadar kalau apa yang dia bicarakan tadi dapat membuat marah anak gadisnya, namun ia tetap berusaha dengan harapan Tina bisa membuka dirinya lagi untuk Rafael. Bagaimana pun juga Rafael adalah sebuah permata yang bisa mengangkat kehidupan keluarga. Sesungguhnya Diana berharap Rafael bisa menjadi bagian keluarganya dan dirinya bisa menikmati fasilitas yang akan diberikan Rafael. Diana berpikir, kesejahteraan dan kekayaan membuat hidup menjadi lebih mudah dan lebih menyenangkan. Untuk saat ini Diana memang tidak meneruskan niatnya untuk mempersatukan Tina dan Rafael. Namun, Diana tetap bertekad untuk berusaha sekuat tenaga agar Tina mau menerima Rafael kembali.
Diana mengambil remote dan menyalakan kembali televisi. Setelah mengganti chanel beberapa kali, Diana pun menetapkan untuk menyaksikan berita. Tak lama, alis wanita itu terangkat saat layar televisinya menampilkan sosok Rafael yang tampan dan elegan dalam balutan setelan jas berwarna hitam. Berita itu menyiarkan pengangkatan Rafael sebagai CEO retail terbesar di Asia Tenggara. Dari mimik mukanya terlihat kalau Diana sedang mengagumi sosok yang terpantul di layar kaca itu. Sosok yang sudah matang dan dewasa berlainan dengan keadaan pemuda itu empat tahun yang lalu.
“Seandainya Tina berjodoh dengan Rafael … Ah, kehidupanku semakin indah …” gumam Diana untuk dirinya sendiri.
Diana akhirnya mematikan televisi sudah saatnya memasak untuk makan malam keluarga. Tetapi saat ia baru saja bangkit dari sofa, smartphone miliknya berdering dan bergetar. Diana langsung saja mengambil alat komunikasi itu dari saku roknya lalu melihat identitas penelepon di layar smartphone.
“Ya, John …” sapa Diana pada sang penelepon.
“Ma … Temui aku di Hotel Hilton pusat di PIK … Bawa pakaian terbagus dan terindah karena kita diundang ke pesta perayaan Rafael yang diangkat sebagai CEO,” kata John bersemangat.
“Oh … Begitu ya …!” seru Diana tak percaya.
“Cepat ya ma … Aku tunggu … Oh, ya … Jangan sampai Tina tahu karena dia pasti marah …” John memperingati Diana.
“I..iya … Mama tahu …” jawab Diana.
Sambungan telepon pun terputus dan langsung saja Diana berjalan menuju kamarnya. Sambil memilih-milih pakaian yang cocok, Diana pun menelepon suaminya memberitahukan kalau dirinya akan menghadiri pesta bersama John di Hotel Hilton. Tak lupa, Diana pun mewanti-wanti kalau Tina jangan sampai tahu tujuan dia pergi. Setelah mendapat persetujuan suaminya, Diana bergegas mandi dan berdandan seperlunya. Tak lama, Diana keluar kamar sambil menenteng tas berisi baju pesta.
“Tina …” teriak Diana yang menyangka Tina berada dalam kamarnya.
“Ya, ma …” ternyata Tina berada di ruang depan. Langkah Diana pun menuju sumber suara.
“Mama mau menginap di hotel … Ada temen mama yang ngajak bermalam di sana,” ucap Diana sambil tersenyum.
“Wow … Kok gak ngajak aku sih …?” rajuk Tina.
“Ini kumpulan emak-emak … Anak gadis dilarang ikut …” kilah Diana.
“Oke … Apa perlu dianter?” Tina menawarkan jasa.
“Nggak perlu … Mama naik taksi online saja …” jawab Diana.
Beberapa menit berselang, Diana sudah berada dalam taksi online yang ia pesan. Hati Diana begitu bersemangat hingga hampir meledak. Selain sudah lama tidak bisa keluar rumah untuk sekedar berekreasi, ia juga membayangkan malam yang penuh gairah bersama John di kamar hotel. Diana merasa sangat bergairah apabila ‘bermain cinta’ dengan anaknya itu. Tak berlebihan karena John mampu memberikan kenikmatan bercinta secara paripurna. Gairahnya yang meledak-ledak mampu oleh John puaskan bahkan lebih.
Setelah hampir dua jam berada dalam taksi online, Diana pun sampai di tempat tujuan. John menjemput Diana di lobby hotel, dan keduanya langsung menuju kamar hotel yang sengaja Rafael sewa untuk mereka berdua. Saat memasuki kamar hotel, perhatian Diana tersita oleh pemandangan kamar hotel yang begitu mewah dan luas. Ia tercengang. Diana tak tahu persis bagaimana harus bereaksi seperti apa. Saat hendak berbicara, bibirnya sudah dibungkam oleh John. Pagutan John begitu lembut. Tak butuh waktu lama Diana hanyut dalam cumbuan John. Ia pun berusaha membalas. Walau, pemuda itu yang mendominasi.
“Kamar ini sungguh mengagumkan,” ucap Diana setelah melepas ciuman.
“Kita nikmati saja …” kata John dan langsung menyambar bibir tipis Diana dengan kecupan sekilas. Wanita cantik itu menyambutnya dengan senyum kecil dan kemudian mengalungkan tangannya ke leher John.
“Beri mama kepuasan, sayang …”
“Dengan senang hati, bidadariku …”
Mereka terus berpagutan hingga tak terasa keduanya sudah berada di atas ranjang tanpa sehelai benang. Tubuh mereka menyatu, seakan bercerita kepada benda mati di kamar tersebut bahwa mereka saling memiliki. Hasrat mereka membuncah tatkala desahan itu menggema di penjuru ruangan. John dengan gagah terus melesakkan miliknya yang membuat Diana kewalahan. Dan entah sudah berapa kali Diana mengalami orgasme. Hampir satu jam kemudian, mereka berdua sampai di titik kenikmatan masing-masing secara bersama-sama, keduanya terengah dan saling berpelukan.
Bersambung
Chapter 8 di halaman 11
Terakhir diubah: