Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAN IMPIAN

Bimabet
CHAPTER 7

Perlahan jendela yang berada di dalam ruangan itu terbuka, membiarkan cahaya sang mentari masuk ke dalam menerangi ruangan yang sedikit gelap itu. Tangannya ditarik kembali saat sang pembuka jendela mulai menampakkan senyum. John menghirup udara segar khas pagi hari, iris matanya perlahan menutup menghayati suasana, membiarkan angin lembut dari luar menerpa tubuhnya. John merentangkan lengannya, merenggangkan ototnya yang terasa kaku, lalu menarik nafas dalam-dalam lagi seolah udara pagi memang yang paling terbaik.

“Pagi yang indah …” ucapnya monolog.

Setelah selesai membuka jendela dan menikmati udara pagi, pemuda tampan itu langsung melenggang ke kamar mandi, membersihkan tubuh dari segala kuman pengganggu. Gemericik air terdengar saat shower dinyalakan, butiran-butiran air turun berjatuhan membasahi tubuh tanpa kain itu, menghantarkan rasa segar pada setia jengkal tubuhnya. Senandung halus terdengar mengiringi tangannya yang bergerak membersihkan sekujur badan serta memberikan aroma yang khas akan pribadinya.

Dua puluh menit berlalu, tubuhnya kini sudah bersih dan rapi terbungkus kaos berwarna biru muda dengan celana panjang katun berwarna senada. Sedikit eksis di depan cermin, John menata rambutnya agar tertata rapi. Beberapa kali John menyemprotkan minyak wangi di beberapa bagian tubuhnya yang dirasa pas. John memperhatikan penampilannya sekali lagi di depan cermin, dan ia pun merasa sudah cukup dengan penampilannya.

“Sudah rapi saatnya sarapan,” ucap John ketika menatap pantulan dirinya di cermin. Ia pun melangkahkan kaki meninggalkan kamarnya untuk memasuki ruang makan yang kini di tempati oleh ayah dan ibunya.

“Pagi semua …” sapa John kepada kedua orangtuanya.

“Pagi … Mama suka sama kamu yang selalu semangat mengawali hari. Kamu enerjik sekali,” ucap Diana saat John sedang mencium pucuk kepalanya dari belakang.

“Mana Tina?” John bertanya saat ia hendak duduk.

“Dia masih di kamarnya. Dia lupa ada tugas kuliah yang harus dikumpulkan hari ini,” jawab Roy yang hampir selesai dengan sarapannya.

“Wah, gak asik dong … Bagaimana pun dia harus sarapan dulu … Ma, tolong siapkan sarapan buat Tina. Biar aku yang mengantar ke kamarnya …” pinta John lalu melahap setumpuk sandwich yang telah dipersiapkan Diana.

Diana tersenyum bahagia melihat ‘perhatian’ yang diberikan John untuk adiknya yang sudah lama tidak Diana lihat. Wanita itu pun segera menyiapkan sarapan untuk Tina. Hanya sebentar John melahap habis sarapannya lalu ia meraih baki yang berisi dua tumpuk sandwich dan segelas susu hangat. Dengan langkah ceria yang senantiasa melukisi wajahnya ia mulai berjalan menuju kamar adiknya.

“Tina … Bolehkah aku masuk …!” teriak John di depan pintu kamar Tina.

“Masuklah …” sahut Tina dari dalam.

Dengan perlahan dan sedikit kesusahan, John membuka pintu kamar itu dan menjumpai adiknya yang tengah menghadapi laptop di meja belajarnya. Tina tersenyum saat sang kakak masuk sambil membawa baki. Wajahnya yang tampan dengan senyum cerah yang selalu John berikan membuat hati gadis itu menghangat. Tina sedikit membalas senyum John lalu kembali mengerjakan tugas kuliahnya. John tersenyum saat adiknya kini tengah serius di meja belajarnya. Pemuda itu lalu berjalan mendekati sang adik lalu meletakkan baki di atas meja belajar itu.

“Sarapan dulu … Sarapan berfungsi sebagai bahan bakar untuk mengawali hari dengan baik. Sarapan sangat penting karena dibutuhkan untuk memberikan energi,” kata John sambil bergerak ke samping Tina lalu memperhatikan apa yang tengah adiknya kerjakan.

“Tumben …” gumam Tina sambil menatap wajah kakaknya yang kini tepat berada di sebelahnya.

“Apapun yang kamu kerjakan, tundalah dulu. Lebih baik habiskan dulu makanan itu, baru lanjutkan tugasmu,” kata John seraya tangannya mulai menggapai rambut yang tergerai bebas milik sang adik, mengelusnya pelan dengan sangat lembut.

“Hi hi hi …” Tina cekikikan lucu. Gadis itu merasakan ada sesuatu yang tidak biasa dari kakaknya. Namun, Tina sangat tersanjung dengan sikap John yang gentle dan sangat perhatian.

John tertawa pelan saat sang adik kini menjauhkan tangan pemuda itu dari rambutnya, bibirnya menyunggingkan senyum saat sang adik kini menatapnya dengan pipi yang agak digembungkan. Tina menatap kakaknya yang kini berjalan ke arah tempat tidurnya. Tina tersenyum saat John kini tengah berbaring dengan posisi terlentang di kasurnya. Mata John yang terpejam mencoba merasakan betapa empuknya kasur milik adiknya. Hal itu membuat Tina tersenyum sendiri melihat kelakuan kakaknya.

“Kamu gak kuliah?” tanya Tina yang mulai menyantap sarapan yang dibawa John.

“Siang … Hanya kuliah praktik di rumah sakit …” jawab John tanpa mengubah posisinya di atas kasur.

Sebenarnya Tina agak bingung dengan kakaknya. Ini memang masih pagi namun John bisa-bisanya bermalas-malasan di kasurnya dengan wajah ngantuk seperti itu. Tapi toh biarlah, selama kakaknya tidak mengganggu, ia merasa cukup senang dan bisa kembali mengerjakan tugas kuliahnya. Setelah menghabiskan sandwich dan susu, Tina kembali fokus pada laptop-nya. Selang sepuluh menit kemudian, Tina pun berhasil menyelesaikan tugas makalah yang seharusnya dikumpulkan minggu kemarin.

“Selesai …” ucap Tina dengan nada riang, merenggangkan otot lengannya yang kini terasa pegal sambil mencoba menghirup udara segar yang masuk melalui jendela. “John …” Tina memanggil kakaknya sambil membereskan laptop lalu memasukan laptop itu ke dalam tas.

Merasa panggilannya tak mendapatkan jawaban, gadis itu lalu menoleh ke samping tepat ke arah tempat tidur miliknya, sedikit menghela nafas saat John kini tengah terbaring tertidur dengan wajah yang damai. Tina berdiri dari kursi meja belajarnya, berjalan pelan mendekati sang kakak yang kini masih tertidur, jemari mungilnya mencoba menggapai wajah sang kakak yang menurutnya sangat tampan.

“John …” Suara Tina sedikit bergetar saat memanggil kakaknya. Jari Tina yang awalnya menyentuh bibir itu kini mulai turun ke dada bidang John.

“Mmmm …” gumam John masih dengan mata terpejam.

Tina menaiki kasur itu dan menduduki perut John. Tina sedikit memiringkan wajahnya sambil tersenyum saat jari-jemarinya mulai menggapai wajah John. Tak lama, Tina secara perlahan membungkuk mendekati wajah damai sang kakak yang tengah pura-pura tertidur. Iris mata Tina terpejam saat bibirnya menyentuh bibir sang kakak, tangannya menekan kepala sang kakak lebih dalam, wajahnya benar-benar memerah sesaat setelah ia melepaskan ciumannya pada kakaknya sendiri.

“Kenapa berhenti?” tiba-tiba John berkata. Kedua tangan pemuda itu kini memegang buah pinggul Tina yang berada di atas tubuhnya.

“Aku hanya ingin melihat wajah kakakku … Kamu gak pandai menyembunyikan wajah mesummu. Aku tahu kalau kau sedang berusaha menggodaku,” kata Tina sambil tersenyum.

“Sok tahu …!” balas John menutupi malu, karena isi hatinya ketahuan oleh Tina.

“Hi hi hi … Itu kata-katamu kalau sudah terdesak,” Tina pun terkekeh senang.

“Kamu ini …” John terdiam, belum sempat ia menyelesaikan ucapannya, bibirnya telah lebih dahulu dikunci oleh bibir Tina. Gadis itu mencoba memejamkan mata, merasakan betapa nikmat bibir kakaknya sendiri. Ciuman penuh nafsu itu berlangsung lama. Beberapa saat kemudian mereka menghentikan ciuman itu. Tina kembali tersenyum manis, jari telunjuknya yang lentik menyentuh bibir John seolah menyuruh pemuda itu untuk diam.

“Aku harus ke kampus …” ucap Tina seraya beranjak dari tubuh kakaknya.

Gadis itu berlalu tanpa rasa bersalah menuju kamar mandi. Sementara itu, John hanya bisa menghela nafas sambil menahan konaknya. John pun segera keluar dari kamar Tina dan langsung menuju dapur. Saat John masuk ke dapur, ia menemukan ibunya sedang membersihkan meja makan. John melihat segelas kopi yang masih penuh dan belum tersentuh di atas meja makan. Tanpa ragu, John menyesap kopi tersebut sambil duduk di kursi meja makan.

“Tadi smartphone-mu berbunyi. Tadi mama yang angkat telpon kamu. Rafael meneleponmu.” Kata Diana pada John.

“Oh …” John baru ingat kalau smartphone-nya ditinggal di meja makan saat mengantarkan sarapan untuk Tina.

“Ternyata Rafael sudah lulus kuliahnya … Sekarang, kapan kamu mau lulus kuliah?” tanya Diana sambil duduk di hadapan John sambil menopang dagu dengan satu tangannya sembari mengamati wajah anaknya.

“He he he … Si Rafael memang cerdas anaknya, ma … Lagian, dia kuliah bisnis tidak sepertiku. Aku kadang merasa menyesal memilih kuliah di kedokteran … Susah lulusnya …” John berkelit.

“Apakah Tina sudah tahu kalau Rafael ada di Indonesia?” tanya Diana agak memelankan suaranya.

“Belum …” jawab John lalu menyesap kopinya lagi.

“Sebenarnya mama ingin mereka bersatu lagi. Kalau bisa mereka menjadi suami istri,” lirih Diana penuh pengharapan.

“Aku juga pengennya seperti itu. Tapi Tina kayaknya belum bisa menerima Rafael lagi,” respon John.

“Hhhmm … Bagaimana kalau kita persatukan mereka lagi. Mama akan bujuk Tina dan kamu bujuk Rafael,” Diana mengutarakan idenya.

“Aku sih setuju … Tapi kita masih punya masalah yang harus segera diselesaikan sebelum mempersatukan mereka,” John menatap wajah ibunya.

“Apa itu?” tanya Diana heran.

“Tina sepertinya belum bisa melupakan Andi,” jawab John.

“Hhhmm … Biar nanti mama yang menyelesaikan masalah itu,” ucap Diana sambil mengangguk-anggukan kepala.

“Ma … Apakah mama tahu kalau Andi dan ibunya melakukan incest juga seperti kita?” tanya John kemudian.

“Oh ya? Apakah mereka melakukannya?” Diana terkejut mendengar pernyataan John. Memang Diana pernah bicara tentang hubungan incest dengan adiknya, tetapi Diana tidak menyangka kalau hal itu terwujud dalam waktu yang sangat singkat.

“Aku dan Tina menyaksikannya walau tanpa sengaja,” ungkap John lalu menceritakan kejadian malam itu saat dirinya dan Tina melihat adegan telanjang antara Andi dan ibunya.

“Wow … Mengejutkan … Tapi itu adalah perkembangan yang baik untuk tantemu … Kamu tahu kalau tantemu itu kesepian karena selalu ditinggal lama oleh suaminya. Bagaimana pun tantemu perlu kepuasan batin, jadi biarlah Andi yang mengurus ibunya sendiri,” kata Diana sedikit bersemangat.

“Tapi ma … Aku rasa itu yang membuat Tina bersedih …” John memperingati ibunya.

“Tenang saja … Nanti mama akan bicarakan hal itu dengan Tina … Sekarang kerjakan saja bagianmu …” kata Diana sambil tersenyum.

Karena takut Tina tiba-tiba datang, John dan Diana pun segera mengganti tema pembicaraan. Benar saja, selang beberapa menit Tina datang dengan dandanan sudah rapi. Ketiganya pun terlibat pembicaraan yang seru sebelum akhirnya Tina berpamitan untuk pergi ke kampusnya. Pada saat itu juga, Diana menuju kamar mandinya lalu membersihkan badan di sana. Dan John duduk di sofa ruang tengah sambil ‘memainkan’ smartphone di tangannya. John pun berusaha menghubungi seseorang.

“Pagi, mas bro …” sapa John pada Rafael sesaat setelah teleponnya tersambungkan.

Bro … Aku gak nyangka kalau mamaku sudah menginginkannya sejak lama,” suara Rafael begitu bersemangat.

“Wow … Jadi kesimpulannya kamu berhasil meniduri mamamu?” John ingin yakin.

Sial … Hot banget … Benar katamu, bro … Lain rasanya, penuh sensasi aneh tapi enak sekali rasanya. Kenikmatan bercinta yang aku peroleh, seperti gunung yang tadinya tertahan untuk meletus akhirnya meledak,” timpal Rafael masih dengan suara bersemangatnya.

“Lanjutkan dan puaskan saja, mas bro … Puaskan dirimu dengan mamamu. Yang penting udah nggak penasaran lagi dengan rasanya,” kata John sambil tersenyum.

Oke, bro … Aku tutup dulu … Sepertinya mama sudah siap lagi … He he he …” suara Rafael agak pelan.

“Aaassiaap … Laksanakan …!” kata John lalu sambungan telepon pun terputus.

John tersenyum mendengar pengakuan Rafael seperti itu. Dan tiba-tiba John teringat Dedi dan ibunya. Dengan perasaan penasaran, John pun menghubungi teman dekatnya itu. Untuk beberapa saat sambungan telepon John belum diangkat oleh Dedi, namun akhirnya terdengar suara di speaker smartphone milik John.

Setan … Ternyata kalian yang menjebakku …” kata-katanya memang kasar tapi suara Dedi di sana seperti sedang menahan tawa.

“He he he … Gimana rasanya?” goda John.

Sialan … Enak banget … Paling enak dari semua cewek yang pernah aku entot … Ha ha ha …” ungkap Dedi yang diakhiri dengan tertawa terbahak-bahak.

“Syukurlah … Puasin dulu sekarang … Nanti kita lanjut lagi ngobrol kita …” kata John.

Oke … Bye …” sahut Dedi sembari memutus sambungan telepon.

Lagi-lagi John tersenyum senang, ternyata usahanya tidak sia-sia. Sahabat dan teman dekatnya kini sama dengan dirinya. John meletakkan smartphone di atas meja lalu mengambil remote untuk menyalakan televisi. John memencet nomor-nomor yang ada di benda itu secara acak. Acara televisi tidak ada yang menarik, bahkan berita seputar olahraga yang biasa pemuda itu nikmati juga tidak menarik perhatiannya pagi ini.

Tidak berapa lama kemudian Diana pun keluar dari kamarnya dan bergerak ke ruang tengah untuk bergabung dengan John. Kaos ketatnya membungkus payudara indah tanpa bra itu dengan sempurna, memperlihatkan lekukan dada wanita yang sempurna. Diana berjalan dengan gerakan pinggulnya mirip kadal sedang memanjat perdu bambu. Dan itu telah membuat perhatian John begitu tersita.

“Mama sangat menggairahkan,” ujar John sambil membiarkan Diana duduk menyamping di pangkuannya.

“Sekarang mama ingin kamu bahagiakan mama,” desah Diana sambil menempelkan hidungnya di hidung John.

“Dengan senang hati,” ucap John sembari memeluk tubuh ibunya.

John menggendong tubuh Diana ke kamarnya di lantai dua. Sesaat kemudian keduanya bergumul di atas kasur. Diana terperangkap dalam tubuh kekar anaknya. Detik demi detik berlalu, lalu menit demi menit pun berjalan. Diana dan John kini terlihat saling berciuman panas dan saling menghisap lidah masing-masing. Tak ada yang mau kalah dalam permainan ini. Keduanya terus mengklaim lidah masing-masing, rasa manis dari saliva keduanya menambah bumbu-bumbu penyedap bagi John dan Diana.

Ibu dan anak masih terus melakukan foreplay mereka yang semakin panas, saling menyentuh dan meremas pasangannya. Entah siapa yang mulai, John dan Diana kini sudah dalam keadaan telanjang bulat. Kedua insan semakin terhanyut dalam panasnya gelora birahi. Dan akhirnya, John dan Diana menuju ‘menu utama’. Dalam posisi missionary, penis John sudah siap berada di depan pintu surga milik Diana. Dan kali ini, tanpa ragu John membenamkan dengan perlahan penisnya ke dalam vagina Diana. Tak butuh waktu lama sampai penis John hilang sepenuhnya dalam vagina Diana. Gerakan perlahan yang dilakukan John membuat tubuh Diana semakin bergetar, orgasme-orgasme kecil akibat gesekan penis John dalam vaginanya sungguh membuat wanita itu kehilangan akal.

“Aaahhh ... Sayangh ...” Desahan dan rintihan yang dilepaskan Diana membuat tempo genjotan yang dilakukan John semakin cepat, dirinya suka sekali rintihan ibunya itu. Begitu indah di telinganya. Kedua tangan John meremas payudara Diana. Kulit putih mulus milik Diana sangat membuat John tambah bernafsu.

Hampir satu jam kegiatan mereka terus berlanjut, berbagai macam gaya mereka praktekkan. Baik itu di atas kasur maupun di lantai, Diana terus meracau tak karuan. Entah dirinya sudah keberapa kalinya orgasme, Diana tidak tahu, yang dia tahu hanya kenikmatan ini begitu memabukkan. John pun sama, penisnya semakin mengeras di dalam vagina Diana. Sudah beberapa kali dirinya tidur dengan wanita-wanita sebayanya, baik itu yang masih perawan atau tidak, tetapi vagina milik ibunya sangat berbeda dengan mereka. Terasa sempit, hangat, dan mencengkram, tak ada yang bisa dibandingkan dengan vagina Diana.

“Maammaa ... Aku mau ... Uughh …” Desis John yang merasa klimaksnya sudah di ujung tanduk.

“S-Sama-sama ... Aaaahhh ... Keluarkan di aahhh ... dalam ...” balas Diana sambil mendesah-desah.

Suara benturan antara dua selangkangan terdengar semakin keras, keduanya mengerang saat penis John membengkak di dalam vagina Diana. Tak lama kemudian, cairan semen panas keluar di dalam vagina Diana, membuat keduanya menegang. Kenikmatan puncak menerjang keduanya secara bersama-sama. Nafas yang memburu menjadi melodi akhir di kamar John, keduanya hanya saling menatap dengan penis John yang masih di dalam vagina Diana. Tangan Diana terarah membelai rambut John yang berada di atasnya, beralih ke wajahnya dan berakhir di bibir John. John hanya memandang kegiatan yang dilakukan Diana, dirinya masih berusaha untuk mengatur nafasnya yang masih memburu.

“Kau tampan sekali ...” Diana yang juga masih mengatur nafasnya kali ini tersenyum, tubuhnya lemas sekali. Bercinta dengan John membuat dirinya kewalahan. Baik itu perasaan maupun tenaga, semuanya terbayar saat bercinta dengan John.

Buah dada Diana yang masih menegang tanpa sadar membuat nafsu John meningkat lagi. Tentu saja, penis John yang sempat lemas di dalam vagina Diana kini mulai membesar kembali. Diana terperanjat saat merasakan penis John yang kembali membesar dalam vaginanya.

“Ishh ... Kamu gak pernah puas ya?!” ucap Diana yang membuat John menyeringai. John merasa tak akan pernah puas. Bercinta dengan bidadari di depannya tak akan membuatnya puas.

“Mama tak akan bisa istirahat kalau bermain denganku …” ucap John dan Diana pun terkikik senang. Memang itu yang selalu didamba oleh Diana.

Sudah hampir tiga jam ini terdengar suara rintihan dan desahan yang bersahutan di kamar yang menjadi saksi pergumulan hebat antara kedua insan. John sukses menjadikan dirinya laki-laki yang sangat menggairahkan dan bisa memuaskan pasangan yang berada di bawahnya yang terlihat sangat kenikmatan. John yang bertugas sebagai pemuas sibuk menggenjot cepat lubang ibunya yang selalu membuatnya ingin merasakan lagi dan lagi.

Sementara yang bertugas ‘dipuaskan’ pun hanya mampu memejamkan erat matanya sesekali menggigit bibir bawahnya menahan gejolak yang membawanya ke pusaran kenikmatan tiada tara. Sesekali si cantik memekik saat pria tampannya menghentak terlalu kencang dan sangat dalam ke bagian tubuhnya di bawah sana. Diana memejamkan erat matanya saat entah yang ke berapa kalinya dirinya mencapai puncak kenikmatan hari ini.

Gairah yang begitu membakar seolah menjadi bukti kalau keduanya memang sangat menginginkan percintaan yang berlangsung lagi dan lagi seperti hari ini. Dan pergumulan panas itu pun terus berlanjut. Keduanya saling menyalurkan kenikmatan bercinta. Kenikmatan demi kenikmatan mereka reguk bersama. Tubuh mereka rapat menyatu dalam ayunan irama birahi, desah dan dengus napas penuh gelora memenuhi kamar itu. Sampai akhirnya mereka sepakat untuk menyudahi permainan cinta mereka karena sudah waktunya untuk John berangkat kuliah.

#####

Sore itu suasana kampus begitu ramai. Beberapa mahasiswa sudah keluar kelas, karena jam kuliah sudah habis. Tampak Tina dan Andi sedang berjalan menyusuri koridor kampus menuju tempat parkir yang berada di ujung utara gedung. Wajah keduanya tampak berseri-seri. Senyum tak pernah pudar dari sudut bibir mereka. Tak lama, mereka pun sampai di parkiran. Andi menunggu Tina di samping motor kesayangan gadis itu. Sebelum Tina menyalakan mesin motornya, gadis itu menoleh ke arah Andi.

“Ndi … Aku ingin kamu jujur padaku … Sebenarnya, bagaimana sih perasaanmu sama aku?” tanya Tina tiba-tiba serius pada Andi. Andi pun cukup terkejut dengan pertanyaan itu. Setelah menghela nafas, Andi akhirnya menjawab dengan suara lirihnya.

“Sejujurnya, aku masih menganggapmu saudara dan sahabat. Kamu adalah satu-satunya orang terdekat denganku selama ini. Aku tak sanggup rasa sayangku ini diubah menjadi rasa cinta. Maaf kalau aku sudah menyinggung perasaanmu,” ucap Andi yang terpaksa diutarakan sesuai dengan perasaannya. Andi berpikir tidak mau menyakiti hati Tina lebih dalam lagi.

“Gak apa-apa, Ndi … Aku bisa menerimanya dan kamu jangan merasa bersalah karena kamu belum memberi aku harapan apa-apa. Dan yang pasti kejujuranmu sangat aku hargai. Dan lebih baik, memang kita menjadi saudara dan sahabat saja,” ungkap Tina berbesar hati.

“Terima kasih, Tin … You’re my best friend …” kata Andi senang.

“Oke … Aku duluan … Aku tunggu kamu di rumah …” ucap Tina sembari menyalakan mesin motornya.

“Oke …” sahut Andi.

Dan akhirnya Tina mulai melajukan motornya pelan, namun lama-lama dia melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Hanya setengah jam saja Tina sampai di rumah. Tina mendapati ibunya sedang tertidur di sofa ruang tengah dengan televisi menyala. Tadinya Tina tidak ingin mengganggu tidurnya, namun saat ia mematikan televisi Diana malah terbangun.

“Eh … Kamu sudah pulang?” Diana bangkit lalu melemaskan otot-otot bahunya.

“Baru saja … Kalau mama masih mengantuk, tidur saja lagi,” ucap Tina merasa bersalah.

“Ah, tidak … Mama sengaja menunggumu kok …” sahut Diana sambil tersenyum.

“Menungguku? Ada apa?” tanya Tina heran sekaligus penasaran.

“Ada sesuatu yang ingin mama bicarakan,” Diana terkesan hati-hati.

“Katakan saja …” ucap Tina semakin penasaran.

“Em … Ini tentang Rafael …” jawab Diana. Tina terlihat terkejut saat mendengar Diana menyebut nama orang itu, dan ekspresi Tina langsung berubah datar secepat kilat. “Apakah kamu ingin membicarakannya?” langsung saja Diana menyadari keadaan.

“Apa yang mama ingin bicarakan?” tanya Tina menantang.

“Oh … Mama rasa tak ada lagi yang mama ingin bicarakan … Maafkan mama ya …” Diana menarik lagi kata-katanya karena melihat Tina tidak senang mendengar nama orang itu lagi.

“Aku sudah melupakan orang brengsek itu dari memoriku. Kalau mama bermaksud menjodohkan aku sama dia, mama sedang bermimpi di siang bolong,” tegas Tina tanpa ampun.

“Ya, mama mengerti … Maafkan mama ya …” Diana kini benar-benar merasa bersalah.

“Ya, ma … Dan aku harap mama tidak membicarakan itu lagi,” kata Tina sambil berlalu begitu saja dari hadapan ibunya.

Rafael adalah orang yang pernah menginjak-injak harga dirinya, kebencian meledak di antara mereka, Tina tidak bisa memaafkan Rafael begitu saja. Tina bukanlah seorang gadis yang lemah, tapi sakit hatinya terlalu besar saat Rafael mengusir dirinya pada saat kepergok berkencan dengan seorang artis yang diduga kuat sebagai wanita panggilan. Rasa sakit hatinya terlalu dalam sehingga menjalar ke bagian otaknya yang biasanya paling kuat membuatnya tetap sadar.

Diana tercenung sendiri dan menyesali dirinya yang telah membuka luka lama yang diderita Tina. Sebenarnya Diana sadar kalau apa yang dia bicarakan tadi dapat membuat marah anak gadisnya, namun ia tetap berusaha dengan harapan Tina bisa membuka dirinya lagi untuk Rafael. Bagaimana pun juga Rafael adalah sebuah permata yang bisa mengangkat kehidupan keluarga. Sesungguhnya Diana berharap Rafael bisa menjadi bagian keluarganya dan dirinya bisa menikmati fasilitas yang akan diberikan Rafael. Diana berpikir, kesejahteraan dan kekayaan membuat hidup menjadi lebih mudah dan lebih menyenangkan. Untuk saat ini Diana memang tidak meneruskan niatnya untuk mempersatukan Tina dan Rafael. Namun, Diana tetap bertekad untuk berusaha sekuat tenaga agar Tina mau menerima Rafael kembali.

Diana mengambil remote dan menyalakan kembali televisi. Setelah mengganti chanel beberapa kali, Diana pun menetapkan untuk menyaksikan berita. Tak lama, alis wanita itu terangkat saat layar televisinya menampilkan sosok Rafael yang tampan dan elegan dalam balutan setelan jas berwarna hitam. Berita itu menyiarkan pengangkatan Rafael sebagai CEO retail terbesar di Asia Tenggara. Dari mimik mukanya terlihat kalau Diana sedang mengagumi sosok yang terpantul di layar kaca itu. Sosok yang sudah matang dan dewasa berlainan dengan keadaan pemuda itu empat tahun yang lalu.

“Seandainya Tina berjodoh dengan Rafael … Ah, kehidupanku semakin indah …” gumam Diana untuk dirinya sendiri.

Diana akhirnya mematikan televisi sudah saatnya memasak untuk makan malam keluarga. Tetapi saat ia baru saja bangkit dari sofa, smartphone miliknya berdering dan bergetar. Diana langsung saja mengambil alat komunikasi itu dari saku roknya lalu melihat identitas penelepon di layar smartphone.

“Ya, John …” sapa Diana pada sang penelepon.

Ma … Temui aku di Hotel Hilton pusat di PIK … Bawa pakaian terbagus dan terindah karena kita diundang ke pesta perayaan Rafael yang diangkat sebagai CEO,” kata John bersemangat.

“Oh … Begitu ya …!” seru Diana tak percaya.

Cepat ya ma … Aku tunggu … Oh, ya … Jangan sampai Tina tahu karena dia pasti marah …” John memperingati Diana.

“I..iya … Mama tahu …” jawab Diana.

Sambungan telepon pun terputus dan langsung saja Diana berjalan menuju kamarnya. Sambil memilih-milih pakaian yang cocok, Diana pun menelepon suaminya memberitahukan kalau dirinya akan menghadiri pesta bersama John di Hotel Hilton. Tak lupa, Diana pun mewanti-wanti kalau Tina jangan sampai tahu tujuan dia pergi. Setelah mendapat persetujuan suaminya, Diana bergegas mandi dan berdandan seperlunya. Tak lama, Diana keluar kamar sambil menenteng tas berisi baju pesta.

“Tina …” teriak Diana yang menyangka Tina berada dalam kamarnya.

“Ya, ma …” ternyata Tina berada di ruang depan. Langkah Diana pun menuju sumber suara.

“Mama mau menginap di hotel … Ada temen mama yang ngajak bermalam di sana,” ucap Diana sambil tersenyum.

“Wow … Kok gak ngajak aku sih …?” rajuk Tina.

“Ini kumpulan emak-emak … Anak gadis dilarang ikut …” kilah Diana.

“Oke … Apa perlu dianter?” Tina menawarkan jasa.

“Nggak perlu … Mama naik taksi online saja …” jawab Diana.

Beberapa menit berselang, Diana sudah berada dalam taksi online yang ia pesan. Hati Diana begitu bersemangat hingga hampir meledak. Selain sudah lama tidak bisa keluar rumah untuk sekedar berekreasi, ia juga membayangkan malam yang penuh gairah bersama John di kamar hotel. Diana merasa sangat bergairah apabila ‘bermain cinta’ dengan anaknya itu. Tak berlebihan karena John mampu memberikan kenikmatan bercinta secara paripurna. Gairahnya yang meledak-ledak mampu oleh John puaskan bahkan lebih.

Setelah hampir dua jam berada dalam taksi online, Diana pun sampai di tempat tujuan. John menjemput Diana di lobby hotel, dan keduanya langsung menuju kamar hotel yang sengaja Rafael sewa untuk mereka berdua. Saat memasuki kamar hotel, perhatian Diana tersita oleh pemandangan kamar hotel yang begitu mewah dan luas. Ia tercengang. Diana tak tahu persis bagaimana harus bereaksi seperti apa. Saat hendak berbicara, bibirnya sudah dibungkam oleh John. Pagutan John begitu lembut. Tak butuh waktu lama Diana hanyut dalam cumbuan John. Ia pun berusaha membalas. Walau, pemuda itu yang mendominasi.

“Kamar ini sungguh mengagumkan,” ucap Diana setelah melepas ciuman.

“Kita nikmati saja …” kata John dan langsung menyambar bibir tipis Diana dengan kecupan sekilas. Wanita cantik itu menyambutnya dengan senyum kecil dan kemudian mengalungkan tangannya ke leher John.

“Beri mama kepuasan, sayang …”

“Dengan senang hati, bidadariku …”

Mereka terus berpagutan hingga tak terasa keduanya sudah berada di atas ranjang tanpa sehelai benang. Tubuh mereka menyatu, seakan bercerita kepada benda mati di kamar tersebut bahwa mereka saling memiliki. Hasrat mereka membuncah tatkala desahan itu menggema di penjuru ruangan. John dengan gagah terus melesakkan miliknya yang membuat Diana kewalahan. Dan entah sudah berapa kali Diana mengalami orgasme. Hampir satu jam kemudian, mereka berdua sampai di titik kenikmatan masing-masing secara bersama-sama, keduanya terengah dan saling berpelukan.

Bersambung

Chapter 8 di halaman 11​
 
Terakhir diubah:
CHAPTER 8

Saat itu pesta begitu meriah karena selain pesta ulang tahun perusahaan, malam itu juga menjadi malam bersejarah untuk Rafael yang diangkat sebagai CEO salah satu perusahaan ayahnya yang bergerak di bidang retail. Perusahaan yang Rafael pimpin merupakan perusahaan retail yang menguasai pangsa pasar retail di Asia Tenggara. Banyak pemasok berkeinginan memasok produknya di gerai-gerai perusahaan Rafael ini. Perusahaan Rafael ini sudah terkenal dan menjadi platform pilihan utama bagi masyarakat di regional Asia Tenggara. Kebesaran perusahaan ini tidak terlepas dari tangan dingin sang ayah yang sangat piawai membangun perusahaan yang maju dan modern.

Sebuah pesta megah yang hanya diadakan oleh manusia berdarah biru dan untuk manusia berdarah yang sama pula. Penuh alunan musik dari segerombolan orkestra kualitas jempolan dan tawa-tawa mereka ikut mengiringi tarian-tarian di tengah aula. Sebagian hanya duduk manis, berbincang, bercengkrama atau bahkan hanya memandangi semuanya sambil memainkan kipas mungilnya.

Aula itu bagaikan dilapisi emas dan terletak di surga yang penuh dengan berbagai macam bunga bermekaran. Memenuhi aula itu dengan aroma khas selain bau minuman yang menyeruak ke segala penjuru. Malaikat-malaikat dengan sehelai kain tipis terukir indah di langit-langit aula dengan gorden merah tua yang menari-nari anggun menutupi pemandangan taman malam hari.

“Ah, John … Senang melihatmu lagi …” Seorang lelaki tua paruh baya dengan setelan jas kebesaran nan mewah menyambut gembira penuh senyuman kedatangan John dan ibunya.

“Terima kasih atas undangan anda, Tuan Lee … Oh, perkenalkan ini ibu saya, Diana …” sahut John bersahaja sambil memperkenalkan Diana kepada sang taipan.

“Senang mengenal anda, Nyonya …” ucap Tuan Lee sambil menjabat tangan Diana.

“Sama-sama … Saya juga senang mengenal anda …” jawab Diana setengah kikuk.

“Silahkan nikmati acara pesta ini,” lanjut Tuan Lee.

“Terima kasih,” jawab John sambil sedikit membungkukan badan.

Tuan Lee pun berlalu sementara John dan ibunya mendekati meja minuman lalu mengambil minuman yang telah tersedia. Keduanya memilih untuk agak menjauh dari keramaian. Ujung mata John bergerak mencari seseorang di pusat keramaian itu. Menyeleksi satu persatu tamu yang hadir hingga dia menemukan seorang pemuda tampan bermata sipit yang membuat bibirnya semakin melengkung.

Pemuda itu sedang berdiri terdiam bersama seorang wanita cantik bertubuh seksi. Sepertinya beberapa orang berusaha mengajak pemuda sipit itu bercengkrama ringan atau sekedar membuat pemuda sipit itu tersenyum lembut. Hingga wanita yang sejak tadi berdiri di sampingnya berbalik dan melihat kehadiran John dari jauh. Terlihat si wanita kemudian berbisik sesuatu ke telinga pemuda itu. Tak lama pemuda itu memalingkan wajahnya dan tersenyum lebih lebar dari sebelumnya. Dia mengangkat tangannya dan melambai ke arah John dan Diana berdiri. Tanpa ragu John mengajak Diana untuk bergabung dengan Rafael di sana.

“Selamat malam, John. Senang mengetahui kamu hadir di pesta kami,” ucap Rafael yang dibuat seelegan mungkin ketika John telah berdiri di depan Rafael.

“He he he … Aku tak biasa bicara formal … Jangan mentang-mentang kau sudah menjadi pimpinan perusahaan, bicaramu harus diatur seperti itu,” ucap John nyeleneh.

“He he he … Kamu harus membiasakan diri … Dan kalau tidak salah, aku sedang berhadapan dengan bidadari yang bernama Diana?” Rafael beralih kepada Diana lalu mengambil tangan wanita itu dan mencium punggung tangannya.

“Sudah lama tidak melihatmu … Sekarang kamu terlihat sangat dewasa dan tampan,” ucap Diana sambil memuji Rafael yang memang sudah lebih empat tahun tak pernah melihatnya.

“Terima kasih atas pujiannya. Saya tersanjung sekali,” ucap Rafael yang belum mau melepaskan tangan Diana.

“Husshh …” John lah yang akhirnya melepaskan genggaman tangan Rafael pada ibunya. “Oh ya, tante … Perkenalkan, ini ibuku, Diana …” akhirnya John memperkenalkan Diana pada Yenni.

“Hai … Senang berkenalan denganmu …” sambut Yenni sangat ramah. Kedua wanita itu saling berjabat tangan lalu cipika-cipiki.

“Saya juga senang berkenalan denganmu,” jawab Diana sambil menatap lembut ke wajah Yenni dengan wajah sumringah.

“Anak kita sudah berteman lama, tapi kita baru bertemu sekarang. Hi hi hi …” Yenni terkikik senang.

“Ya, bahkan beberapa kali berkunjung ke rumahku. Tapi belum pernah mengajak ibunya,” goda Diana sambil melirik genit ke arah Rafael.

“Oh, ada apa gerangan anakku berkunjung ke rumahmu?” tanya Yenni pura-pura tidak tahu.

“Husshh … Bukan tempat menggosip di sini!” Rafael memotong pembicaraan kedua wanita itu.

“Ayo Diana … Kita cari tempat yang aman untuk bergosip ria … Mereka tidak mengerti kesukaan ibu-ibu seperti kita,” kata Yenni sambil menarik tangan Diana. Diana pun terkekeh membenarkan ucapan Yenni.

Kedua wanita itu pun pergi ke sebuah ruangan khusus yang diperuntukan keluarga. Tanpa rasa canggung keduanya langsung akrab layaknya benar-benar sahabat lama. Diana dan Yenni mengobrol banyak hal bahkan sampai berbicara tentang kehidupan pribadi masing-masing. Perbedaan kasta tidak membuat keduanya kesulitan untuk membangun chemistry. Baik Diana maupun Yenni langsung merasa cocok walau baru pertama kali bertemu.

Malam itu, John seperti dipaksa menjadi pendamping Rafael. Bukan karena Rafael yang melarang John untuk pergi jauh-jauh, namun John merasakan kenyamanan berada di samping sahabatnya itu. John merasa tertular akan kebesaran dan pengaruh Rafael pada orang-orang sekitarnya. Sungguh menyenangkan menjadi seseorang yang berkuasa. Orang lain selalu menunjukkan rasa hormat yang tertinggi kepada yang berkuasa. Itu sudah lumrah karena kekuasaan memang membuat orang memiliki berbagai privileges. Kekuasaan membuat orang lain atau kelompok bertingkah laku sesuai yang diinginkan oleh pemegang kekuasaan. Kekuasaan memang menggiurkan, memang sangat sedap untuk dinikmati. Sehingga, banyak orang yang gelap mata untuk memperebutkan kekuasaan itu.

“John … Ibumu ternyata …” ucap Rafael saat duduk di salah satu kursi pesta bersama John setelah lelah menyambut dan menyapa para tamu undangan. Mata Rafael tertuju pada ruangan khusus di mana Diana dan Yenni terus asik mengobrol.

“Hhhmm … Kau memang telah menjadi penguasa, tapi aku tidak termasuk dalam lingkup kekuasaanmu. Dan ingat, aku gak suka kau teruskan ucapanmu,” ucap John penuh penekanan.

“Oh, come on john … Beratus-ratus kali kamu mengatakan itu pada mamaku …” protes Rafael tak terima.

“Dan beratus-ratus kali juga kau marah. Tidak Rafael, dia adalah milikku. Tak seorang pun boleh mengganggunya. Hentikan rasa kagummu padanya,” John semakin menekan.

“Ok … Let’s make a deal … Kamu boleh bersama mamaku dan aku boleh bersama ibumu,” ungkap Rafael mencoba bernegosiasi dengan John.

“It's not a deal … Selama ini aku hanya dimulut saja. Tak sekali pun aku berusaha mendapatkan mamamu karena aku sadar persahabatan kita adalah yang paling utama. Dan pernahkah aku mengucapkan kata-kata kalau aku menginginkan mamamu? Kata-kata itu pantang terucap karena aku sangat menghargaimu,” tegas John dengan mimik serius.

Perdebatan pun terjadi di antara mereka. Masing-masing berusaha mempertahankan pendapat dan merasa dirinya paling benar. Kedua pemuda itu bersikukuh atas kehendaknya masing-masing. Yang satu menyerang yang lain bertahan, dan yang bertahan mampu balas menyerang sementara yang menyerang bisa bertahan. Perdebatan semacam itu sudah biasa bagi mereka dan pasti selalu diakhiri oleh tawa keduanya.

“Apakah mamaku tidak menarik? Bukankah mamaku selalu kamu puji,” kata Rafael lalu menenggak minumannya sampai tandas.

“Aku bukannya tidak tertarik, mas bro … Tapi belum waktunya … Aku sebenarnya punya rencana buat kita semua,” jawab John santai.

“Rencana?” tanya Rafael heran.

“Begini … Setelah aku terjerembab incest dengan ibuku, aku merasa sudah menjadi anak yang kurang ajar. Bayangkan, ibu yang melahirkanku, mengasuh dan memeliharaku dengan penuh cinta dan kasih sayang, tau-tau lubang peranakan yang mengeluarkanku, dipake untuk bersenang-senang. Entah kenapa, aku merasa ingin sekali membalas kebaikan ibuku. Sampai di sini kamu mengerti perasaanku, tidak?” ungkap John yang diakhiri pertanyaan.

“Hhhmm … Ya … Aku juga merasakan seperti itu,” jawab Rafael sambil mengangguk-anggukan kepala.

“Aku merasa kalau ibuku, dan juga mamamu, mempunyai nafsu birahi yang sangat besar. Mereka mempunyai nafsu birahi yang tidak pernah terpuaskan dan bahkan menurutku mereka kecanduan seks. Tolong koreksi kalau aku salah,” kata John sengaja menahan penjelasannya karena ingin mengetahui tanggapan Rafael.

“Kalau ibumu aku sungguh tidak tahu … Tapi kalau itu tentang mamaku, aku sangat setuju. Aku sebenarnya mengetahui kalau mamaku mempunyai brondong dan selalu berganti-ganti,” terucap ‘dark secret’ dari mulut Rafael.

“Oleh karena itulah … Aku ingin ibu-ibu kita bahagia oleh kita sendiri. Kecanduan seks mereka bisa terlayani oleh kita-kita sebagai anaknya,” kata John mulai tersenyum.

“Maksud?” tanya Rafael tak mengerti.

“Aku ingin membuat surga untuk mereka. Aku bermimpi membuat taman yang indah di mana ibu-ibu kita nantinya dapat menikmati seks dengan tingkat kepuasan yang maksimal di sana. Gilanya lagi, aku ingin setiap ibu dikerubuti minimal oleh dua orang dari kita-kita, bisa juga lebih. Jadi intinya, aku ingin mempunyai tempat yang indah, tempat berkumpulnya para ibu dan anak-anak durhaka seperti kita,” papar John.

“Aku bisa menangkap pemikiranmu. Tapi kita hanya berdua, bukankah untuk merealisasikan itu, kita perlu banyak pasangan incest?” tanya Rafael.

“Konsepnya begini … Taman surga itu berisi empat villa atau sejenisnya, tempat para ibu tinggal. Setiap villa berisi satu orang ibu dan dua anak durhaka. Jadi kita paling tidak harus mempunyai delapan pasangan incest. Nah, untuk para ibu yang delapan itu harus digilir, artinya setiap minggu hanya empat ibu sebagai penghuni villa,” jelas John lagi.

“Jadi untuk para ibu dibagi dua kelompok, sementara para anak durhaka stand by terus setiap minggunya?” tanya Rafael berusaha meluruskan.

“Tepat sekali, mas bro …” jawab John sambil tersenyum.

“Aku mau membantu mewujudkan keinginanmu, tapi aku mempunyai standar sendiri untuk para wanitanya,” ungkap Rafael sambil tersenyum.

“Aku tahu seleramu, mas bro … Dan aku rasa, seleraku lebih tinggi daripadamu,” canda John seraya memukul ringan pundak sahabatnya. “Yang jelas, aku tidak pernah suka dengan namanya pelacur … Ha ha ha …” lanjut John sambil tertawa terbahak-bahak.

“Sialan! Kecilkan suaramu!” kata Rafael setengah sewot. Rafael sadar kalau itu adalah kelemahannya.

“Aku akan mencari anggota-anggota yang layak menjadi bagian dari mimpi ini. Aku sudah punya dua anggota. Tinggal mencari empat anggota lagi,” ucap John dengan suara pelan.

“He he he … Sekarang aku baru mengerti, kenapa kamu menjerumuskanku dengan mamaku,” Rafael pun akhirnya sadar dengan akal bulus John.

“He he he … Aku gak mau munafik … Jujur saja kau dibutuhkan karena kau mempunyai uang untuk mewujudkan impianku ini,” kata John sambil cengengesan.

“Sialan …!” maki Rafael sambil meninju lengan John.

“Sorry … Aku terpaksa melakukannya … Dan sekarang tergantung samamu. Apakah kamu akan mendukung impianku tadi?” tanya John serius.

“Aku minta syarat!” tegas Rafael.

“Apa itu?” tanya John mulai curiga.

“Aku inginkan bagianku sekarang,” ucap Rafael sambil menatap tajam ke wajah John.

“Oh … Come on … I can't believe you would say like that …!” gumam John kesal.

“Kamu keberatan … Aku pun keberatan … Adil kan?” ucap Rafael penuh kemenangan. John hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Kini posisinya benar-benar terdesak.

“Oke … Deal …” jawab John lemas. John terpaksa memenuhi keinginan Rafael karena tak ada jalan keluar lagi, karena Rafael lah yang akan membuat taman impiannya.

“Tenang, bro … Aku tak ingin bermain sendiri … Bagaimana kalau kita bahagiakan ibumu oleh kita berdua … Itung-itung ajang percobaan …” ujar Rafael yang sukses membuat John terkejut. Dipikir-pikir ada benarnya juga ucapan sahabatnya itu.

“Uji coba kedua … Mamamu …” kata John sangat hati-hati.

“Deal …” ucap Rafael sambil menyodorkan tangan lalu disambut oleh John. Mereka berjabatan tangan sebagai tanda kesepakatan.

“Oh, ya … Sebelum taman impianku jadi. Tak ada seorang pun ada yang tahu. Hanya kita berdua saja yang tahu,” tegas John.

“Siap …!” jawab Rafael sigap.

Malam ini, John dan Rafael akan memulainya dengan Diana karena Yenni sudah sangat pasti akan bersama Tuan Lee. Sebenarnya pesta belum usai, namun John memutuskan untuk kembali ke kamar hotel lebih awal. Akhirnya John membawa Diana kembali ke kamar hotel walau ibunya itu masih senang dengan situasi pesta. Sesampainya di kamar hotel, keduanya langsung duduk di sofa sambil menikmati bir dingin yang tersedia dalam kulkas.

“Kenapa sih kamu? Mama kan masih suka di bawah!” protes Diana agak sengit.

“Lebih baik kita nikmati malam ini di sini, ma … Lama kelamaan pusing juga melihat orang-orang …” kilah John.

“Kamu terlalu banyak minum kali?!” tanya Diana lagi.

“Em, mungkin … Oh, ya ma … Boleh aku nanya sesuatu?” akhirnya perkataan John mulai menjurus. Kini tangan John sudah melingkar di pinggang Diana.

“Apa?” tanya Diana sambil merebahkan punggungnya di dada John.

“Boleh aku tahu … Fantasi seks mama paling liar?” tanya John lalu mencium telinga Diana. Ciuman lembut di telinga Diana berhasil membuat wanita itu tertawa kecil karena sensasi geli dan nikmat.

“Kamu ingin tahu?” tanya Diana dengan nada genit.

“Ya,” jawab John yang mulai merabai payudara ibunya.

“Fantasi mama yang paling gila adalah papamu nonton mama saat disetubuhimu,” ucap Diana pelan dan malu-malu.

“Ada lagi gak?” tanya John lagi yang kini tangannya meremas-remas buah dada yang terasa mulai mengeras.

“Apa ya?” Diana bingung sambil merasakan gairahnya yang perlahan naik.

“Bagaimana menurut pendapat mama … Kalau mama dikerubuti oleh dua pemuda ganteng. Yang satu anak mama sendiri dan yang satunya lagi pemuda tampan kaya raya …” ucap John setengah berbisik.

Diana pun terperanjat sampai-sampai meloncat menghadapkan wajahnya ke wajah John. Matanya membulat dengan mulut menganga namun segera ia tutup dengan telapak tangannya. Otak wanita itu kurang bisa berfungsi jernih, namun libidonya tersulut maksimum tatkala mendengar penuturan John yang demikian itu.

“Maksudnya … Kamu dan Rafael mau …” Diana tak mampu menyelesaikan kata-katanya karena keadaan paru-parunya tampak cukup kacau dan jantungnya seperti hendak mengobrak-abrik isinya dan memisahkan diri.

John hanya tersenyum sembari menatap wajah Diana yang kini tampak merona di kedua pipinya. Diana benar-benar tak percaya. Sungguh tidak terpikirkan olehnya tentang apa yang diucapkan John barusan. Kalau itu terjadi adalah pengalaman pertama bagi dirinya. Gelenyar rasa aneh tapi begitu hangat dirasakan Diana. Buah dada dan vaginanya mendadak terasa 'gatal' ingin segera dimanjakan. Hayalan nakalnya pun mulai melayang-layang seiring tingginya birahi wanita itu.

“Bagaimana? Kalau mama mau, aku akan panggil Rafael ke sini,” kata John sambil tersenyum.

“Panggil saja …” jawab Diana sambil membalas senyuman John.

“Sekarang masih jam 21.30 … Acara selesai jam 22.00 … Rafael pasti akan datang kalau acara sudah selesai,” kata John.

Diana pun bangkit dari pangkuan John lalu masuk ke dalam kamar mandi. Diana berpikir harus membersihkan dan mewangikan badannya sebelum melayani kedua pemuda tampan itu, terutama Rafael. Diana ingin memberikan kesan baik kepada Rafael dengan tampil menarik dan sepenuh hati. Di bawah guyuran air shower, Diana pun membersihkan badan dan vaginanya dengan sabun sampai bersih dan wangi. Hatinya terus berdebar dan bahkan jantungnya berdetak lebih cepat tiap kali membayangkan dua pemuda menggagahinya.

Diana menyelesaikan mandinya lalu memakai bathrobe dan keluar dari kamar mandi. John terlihat masih asik menikmati bir kaleng sambil menonton televisi. Diana menyisir rambut hingga tertata rapi kemudian mendekati John dan duduk di sampingnya.

“Apakah kamu baik-baik saja?” tanya Diana pada John.

“Aku baik-baik saja, ma …” jawab John dengan memberikan senyuman pada Diana.

“Kalau kamu tidak menghendakinya … Batalkan saja …” kata Diana lagi.

“Oh, tidak … Tidak … Aku menginginkannya …” balas John dengan suara dibuat setegar mungkin.

“Ini pengalaman pertama mama … Mama berharap akan menyenangkan …” kata Diana sambil bersandar di tubuh John.

“Aku yakin ini akan sangat menyenangkan,” ucap John memberi semangat.

Tiba-tiba Diana merengkuh kepala John lebih mendekat, dan mereka saling berciuman mesra. Ciuman mereka begitu lembut pada awalnya tetapi perlahan berubah menjadi bergairah dan terjadi lebih dari lima menit. Ciuman mereka terlepas pada saat terdengar ketukan di pintu kamar hotel. John segera bangkit dan berjalan menuju pintu lalu membukanya. Rafael berdiri di sana dengan maskulin dan mata yang bercahaya. John mengedipkan mata dan menyuruhnya masuk dengan tenang.

“Apakah aku mengganggu?” kata Rafael setelah berada di dalam kamar hotel.

“Hentikan basa basi busukmu … Kau tak pandai berkata-kata indah …” kata John sambil menghampiri Diana yang sudah berada di pinggir ranjang.

“Baik dan buruk itu karena bahasa …” kata Rafael sambil mendekati Diana.

Entah apa yang ada di dalam pikiran Diana. Mungkin dirinya sudah ingin merasakan sensasi yang tak biasa dibanding sebelumnya. Belum juga kedua pemuda itu sampai, dengan tenang Diana melepas bathrobe-nya dan membiarkan bathrobe itu jatuh di lantai. Tubuh seksinya dibiarkan terumbar begitu saja membuat kedua pemuda itu terpaksa menahan nafas. Setelah Rafael dekat dengan dririnya, Diana memberi Rafael sebuah pelukan hangat, sebelum akhirnya mengajak kedua pemuda itu naik ke atas ranjang.

Mereka bertiga akhirnya duduk di atas kasur sekitar setengah jam membangun kenyamanan di antara mereka. Ketiganya berbicara sesuatu selain seks meskipun mereka dapat merasakan aura seksual semakin terbangun naik. Diana duduk dengan tenang meskipun tidak memakai kain penghalang di tubuhnya sehingga payudaranya yang bulat mengusik-usik darah kelelakian kedua pemuda. Diana menikmati pengalaman ini karena wanita itu malah menggoda John dan Rafael dengan mengatakan kalau wajah mereka merah dan terangsang. Diana kelihatan sangat menikmati setiap waktunya dan melakukannya dengan perlahan. Wanita itu terlihat sangat santai dan mengontrol situasi, yang itu sangat membuat John lumayan terkejut.

“Kalian berdua pemuda yang tampan … Aku sangat tersanjung mendapat kesempatan ini,” kata Diana yang benar-benar menikmati suasana seperti ini.

“Mama juga sangat menggairahkan …” ungkap John sejujur-jujurnya.

“Hai … Berhenti panggil aku mama … Panggil saja dengan sebutan lain,” kata Diana sambil mencubit paha John.

“Wow … Sungguh panas di sini …” timpal Rafael yang mulai berani mengusap-usap paha Diana.

Saat Diana sudah benar-benar merasa nyaman, wanita itu rebah tengkurap dan meminta agar punggungnya dipijat. Ini adalah tanda yang John dan Rafael tunggu-tunggu dan dalam keadaan ini tak mengejutkan jika Diana lah yang mengambil inisiatif tersebut. John memberi Rafael kesempatan memberi pijatan pada paha dan pantat Diana, sedangkan John sendiri terfokus pada leher dan bahunya. John memberikan akses menyeluruh kepada sahabatnya.

Rafael mulai membelai paha Diana dengan lembut. Setelah beberapa saat tangan Rafael mulai bergerak naik hingga semakin mendekati vaginanya. Tak ayal tubuh Diana sering menggelinjang, tetapi lalu dengan cepat Diana menyembunyikan reaksinya tersebut. Setelah beberapa menit kemudian Rafael memindahkan sasarannya dan mulai meremasi pantat Diana dengan kedua tangannya. Perlakuan Rafael yang demikian membuat area di sekitar vagina Diana sudah menjadi basah karena gejolak birahi yang sudah membakar dirinya.

Akhirnya, Rafael kembali pada gerakan awalnya tadi pada bagian dalam paha Diana dan membiarkan jarinya berada di dekat vaginanya. Mereka berdua terlihat sangat menikmati permainan kucing dan tikus ini. Penis Rafael seperti mendesak keluar dari celananya dan membuat celananya seakan hendak robek. Dengan cepat diturunkannya resleting celana yang ia pakai dan melepaskan dari tubuhnya. Rafael tak mampu menahannya lebih lama lagi dan bergerak menaiki tubuh Diana dan mulai menggosokkan penisnya naik turun di belahan pantat wanita itu. Dengan pelan Diana mulai menggoyangkan pantatnya pada penis itu dengan mata terpejam. Diana merasakan betapa apa yang tengah dirasakannya sungguh menakjubkan.

John yang juga sudah terbakar birahi segera melucuti pakaiannya. Kemudian pemuda itu bergerak ke depan Diana. Dengan cepat Diana bangkit dengan menumpukan kedua lengan dan kakinya. Diana mulai menghisap penis John. Dengan posisinya itu membuat pantat Diana tepat berada di depan Rafael. Diana memang menginginkan Rafael berada di belakangnya, berada tepat di belakang vaginanya yang sudah gatal. Rafael pun menempatkan dirinya senyaman mungkin di belakang Diana dengan ujung kepala penisnya menyentuh bibir vaginanya. Diana sudah teramat basah! Dan itu semakin mengobarkan api gairah Rafael. Saat bibir vagina Diana sedikit mencengkeram ujung kepala penisnya, Rafael tahu jalan masuknya sudah tepat.

Rafael mendorong ke depan. Vagina Diana menghisap masuk ke dalam, separuh dari penis Rafael masuk ke dalam dengan cepat. Diana mendesah, merasa Rafael memasukinya. Rafael mencengkeram pantat Diana dan memaksa memasukkan penisnya semakin ke dalam. Batang penisnya sudah seluruhnya terkubur ke dalam cengkeraman hangatnya. Dan Rafael pun mulai menyetubuhinya dari belakang, menarik penisnya separuh sebelum mendorongnya masuk kembali, lagi dan lagi.

Rafael terus menggoyangkan pinggulnya untuk mengeksplorasi lubang Diana, sementara John juga menggoyangkan pinggulnya untuk memperkosa mulut kecil Diana. Desahan wanita itu terendam oleh penis John yang kini keluar masuk di mulutnya. Kedua tangan John juga dengan kasar menarik dan memutar-mutarkan puting susunya yang menggantung. Rafael yang masih menusuk di belakangnya hanya diam tak banyak bicara. Tapi kedua tangannya mulai menggosok kasar klitoris besar yang sudah sangat membengkak itu.

Diana tak dapat menahan dirinya untuk tak mendesah. Sensasi baru yang tak pernah dirasakannya selama ini membuatnya gila untuk mendesah. Memperdengarkan seberapa banyak ia menikmati sensasi tersebut. Dibiarkannya kejantanan Rafael mengaduk-aduk vaginanya dari belakang sementara dirinya berusaha membenamkan wajahnya pada kejantanan John yang juga untuk meredakan suara desahannya.

Satu jam berlalu untuk permainan mereka yang tak kunjung usai. Kedua pemuda yang terkenal dengan kekuatan bercintanya dilawan oleh ketangguhan Diana untuk tidak menyerah walaupun beberapa kali orgasme telah menerpanya. Dalam luapan birahi yang kian membendung, ketiganya mencoba saling memuaskan dan menikmati hasil kerja bersama secara maksimal. Seperti mengonsumsi ekstasi, tubuh mereka terasa melayang. Gerakan dan gaya yang tidak selalu monoton menyebabkan persenggamaan mereka terasa luar biasa.

“Aaaaahhh …!” pekik Diana merasakan suatu cairan mengaliri payudaranya. Ternyata Rafael sedang melumuri payudara Diana dengan minyak untuk massage, lalu mengusap dan memijit lembut payudaranya. Sementara itu, John menyodok-nyodokan penisnya pada vagina Diana. Rafael juga mulai menaruh kejantanannya diantara payudara Diana yang terhitung besar. Kedua pemuda itu akhirnya menggenjot objek sasaran masing-masing.

“Aaahh … haaahh … Aaaahhh …” Diana yang mulai kehabisan tenaga hanya bisa mendesah nikmat merasakan payudara terutama putingnya menggesek kejantanan Rafael juga merasakan sodokan John dengan tempo cepat di bawah sana. Konsentrasi Diana terpecah merasakan nikmat dari dua tempat yang berbeda sampai akhirnya Diana orgasme lagi.

John dan Rafael bersama-sama membalikan tubuh Diana dengan posisi menungging lagi. Diana langsung meraba-raba kejantanan Rafael dan membersihkan sekaligus mengemut kejantanan pemuda sipit itu. Dijilat seakan benda itu adalah lolipop besar yang manis, mulailah kepala Diana naik turun ketika Diana mulai menikmati kejantanan Rafael.

“Mmmmhh …!” Diana merasakan sodokan tiba-tiba dari belakang dan langsung digenjot begitu saja dengan cepat dan liar. Makin dalam John menyodok lorong vaginanya makin dalam pula kejantanan Rafael masuk ke mulutnya. Melihat payudara Diana yang menggantung dan bergoyang, John menggapainya dan memainkan sambil terus menyodok kewanitaan Diana.

Karena ingin cepat berakhir, Diana mengulum kejantanan Rafael dengan posisi tidur menyamping karena Diana sudah terlalu lelah untuk menggerakan tubuhnya. John pun langsung mengangkat sebelah kaki Diana ke pundaknya dan menyodok vaginanya. Diana kembali mendesah dengan kejantanan Rafael di mulutnya, tetapi kali ini dia berusaha memaju mundurkan kepalanya agar Rafael segera klimaks. Tapi John yang menyodok lorongnya memainkan tempo yang pelan tapi sangat dalam, sambil jarinya memainkan klitoris Diana. Makin gila Diana karena tidak bisa berkonsentrasi sampai orgasme mendatanginya lagi dan lemas terbaring di samping kejantanan yang harusnya dia buat klimaks.

“Sayang sekali, kami berdua belum klimaks. Kau harus membuat kami klimaks dulu,” Kata John sambil mengusap pipi ibunya. Setelah berkata seperti itu John dan Rafael mengapit Diana dan memasukan kejantanan mereka masing-masing ke vagina dan ke dubur wanita itu secara bersamaan. John pada vagina sementara Rafael pada dubur.

“Aaaakh …! Aaahhh nnnhh! Tii..dakkhh … Aaakhh ahh ahh haahh …” pekik Diana panik namun tubuhnya terlalu lemas untuk digerakan. Ya, ini pertama kali dubur Diana disodok dan pertama kalinya juga dubur dan vaginanya disodok secara bersamaan. Namun tak berselang lama, rasa sakit di dubur Diana mulai menghilang dan perlahan-lahan berganti dengan rasa nikmat, setiap gesekan penis Rafael ke dubur Diana dan genjotan penis John di vaginanya mengirimkan perasaan nikmat ke dalam otak wanita itu.

“Aaahh … Aaaahhh … Aaaahh … Aaaahh …!” Diana akhirnya terus mendesah merasakan kenikmatan yang berlimpah dari serangan double ini. Dadanya bergesekan dengan dada John sedangkan Rafael menandai leher Diana. Wanita benar-benar dibuat mabuk kepayang oleh kedua pemuda yang menggagahinya. Diana merasakan kenikmatan bercinta sampai berkali-kali lipat dibanding dengan seks yang pernah ia rasakan.

“Aaaaaaccchhh …” Diana orgasme lagi berbarengan dengan John dan Rafael yang sama-sama menyemburkan air mani kental mereka ke vagina serta duburnya.

Mereka terkulai lemas dengan nafas tersengal-sengal. Permainan cinta bertiga ini cukup menguras tenaga mereka bertiga. John dan Rafael melepas apa yang sedang menyatu dalam tubuh mereka masing-masing. Diana berbaring terlentang sambil memejamkan mata. Tanpa terasa bibir Diana pun tersenyum karena senang dan bahagia. Sepertinya wanita itu mulai merasakan kenikmatan bercinta dengan dua laki-laki. Pengalaman pertama ini sungguh-sungguh luar biasa.

Diana membuka mata dan melihat John dan Rafael duduk di sisi kiri dan kanannya. Kedua pemuda itu menatap dirinya sambil tersenyum. Diana membalas senyum mereka sambil tangannya menggapai kejantanan keduanya. Tangan Diana mulai mengurut kedua penis yang setengah hidup.

“Bercinta dengan kalian rasanya sungguh menakjubkan,” kata Diana tanpa sungkan.

“Mau lagi?” tanya John.

Diana tersenyum sambil menganggukan kepala. Malam itu akhirnya menjadi malam yang panjang bagi ketiganya. Mereka terus berpacu dalam nafsu sampai puncak kenikmatan itu kembali datang. Mereka orgasme, orgasme panjang yang lebih intens dari yang sebelumnya. Bahkan Diana terus-terusan merasakan multi orgasme. Badan Diana menggeliat liar dalam himpitan John dan Rafael. Kedua pemuda tampan itu pun mendengus liar, menyemprotkan banyak sekali air maninya ke vagina dan dubur wanita itu, seakan-akan semua cadangan sperma mereka dia tumpahkan semuanya ke dua lubang nikmat Diana. Sampai akhirnya ketiga insan bersepakat untuk mengakhiri permainan cinta mereka karena tenaga yang sudah sekarat.

Bersambung

Chapter 9 di halaman 13​
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd