Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG TANPA BATAS

CHAPTER 11



Sekitar pukul 15.00 sore, Nindi dan Felix tiba di kota yang terkenal dengan kehidupan malamnya yang glamor, Las Vegas. Kota ini menyebut dirinya sebagai ‘The Entertainment Capital of the World’, karena terkenal dengan kasino-hotelnya yang terkonsolidasi. Las Vegas memang merupakan destinasi berlibur ternama dan memiliki reputasi tak tertandingi di setiap aspeknya. Sebagai kota yang bergelimang perjudian dan prostitusi, maka tak heran jika Las Vegas dijuluki sebagai ‘sin city’. Pesta sehari semalam selalu menghiasi tiap sudut kasino-kasino mewah di Las Vegas.

Nindi dan Felix sengaja tidak menghubungi Nia terlebih dahulu karena mereka berdua tiba-tiba memutuskan akan ‘bersenang-senang’ di kota ini untuk semalam. Demi membahagiakan Nindi, tak tanggung-tanggung, Felix menyewa hotel bintang 6 di Las Vegas yang harga sewa per malamnya mencapai 150 juta rupiah. Hotel ini memberikan pemandangan luas nan indah kota Las Vegas kepada Nindi dan Felix, yang dapat dilihat dari layar kaca balkon serta jendela yang menjorok dan membentang dari lantai ke langit-langit. Hotel ini juga lengkap dengan fasilitas mewah dan glamor. Kamar mandi terbuat dari bahan marmer, terdapat bak mandi air panas. Kamar ini dilengkapi kamera pengintai untuk mengantisipasi hadirnya tamu mencurigakan. Berbagai saluran televisi melalui jaringan satelit juga tersedia.

Nindi pun sangat takjub dengan kamar hotel yang di tempatinya. Nindi rasa semua orang yang memasuki kamar hotel ini akan berdecak kagum. Nindi beranjak dari ruang utama, ia memasuki ruang tidur, direbahkan tubuhnya ke ranjang empuk di sana. Nindi memejamkan matanya, merasakan kenyamanan kamar hotel ini yang melebihi kenyamanan di rumahnya sendiri.

“Pantas Nia tidak ingin pulang ... Ternyata memang di sini sangat menyenangkan.” Ujar Nindi ketika Felix sudah duduk di sisi tempat tidur di mana ia berbaring.

“Menyenangkan untuk sementara waktu, seandainya seumur hidupmu di sini pasti ada rasa bosan tinggal di sini. Aku terkadang ingin tinggal di tempat yang sepi seperti pedesaan di atas gunung yang jauh dari hiruk pikuk kota.” Ucap Felix sambil merebahkan badannya di sisi Nindi.

“Benar juga ... Apalagi seperti aku ini yang tak sekaya kamu ... Bisa jadi aku menjadi pelacur di sini untuk biaya hidup.” Nindi pun menghadapkan wajahnya ke arah Felix.

“Kamu tak perlu menjadi pelacur karena ada aku yang akan menemanimu.” Felix menempelkan hidungnya ke hidung Nindi. Nindi menahan nafas saat mata mereka bersitatap.

“Aku percaya kalau kamu akan melindungiku, suamiku ...” Lirih Nindi.

Ucapan Nindi yang menganggap Felix adalah suaminya membuat hati pemuda itu menghangat, menghangatkan darah lalu menjelma menjadi sebuah sensasi. Felix langsung mendekatkan bibirnya ke bibir Nindi dan menciumnya dengan lembut. Nindi merasakan bibir Felix terasa seperti adiktif, dan sepertinya bukan hanya ia yang berpikir begitu. Nindi berusaha mengimbangi, mengejar kemana bibir itu pergi. Membenturkan dan saling bergesekan menimbulkan letupan sensasi.

Nindi mengerang rendah, sempat membuka mulutnya lebih lebar untuk memberikan akses udara masuk, yang ternyata membuka jalan bagi sesuatu yang lain untuk merambah ke sana. Felix membawa kesempatan untuk melesakkan organ tak bertulangnya. Nindi menyambut baik, ia membuka mulut untuk mengakomodasi lidah mereka untuk bertarung dominansi. Nindi bisa merasakan bibirnya dipenuhi rasa manis nan adiktif yang menjalar. Lidah menyentuh, menelisik ke berbagai sisi. Sentuhan kedua bibir kini bekerja laksana aphrosodiak.

Kebutuhan akan oksigen datang mendesak, hingga Nindi terpaksa mengakhiri tautan itu karena rongga dadanya benar-benar mulai terasa sesak dan panas, begitu pula dengan ujung telinga dan seluruh permukaan wajahnya. Felix tak jauh beda. Wajahnya yang pucat bersemu merah pekat, dan ia sama-sama terengah.

“Jadi...?” Felix bertanya dengan suara baritonnya yang serak dan basah.

“Punyaku sudah basah. Kamu bisa melakukannya sekarang juga.” Kalimat yang terlontar dari mulut Nindi mengirim jutaan sensasi yang meletup-letup dalam nadi Felix.

Kedua insan mulai melucuti pakaian mereka dengan tidak sabar sambil berciuman, hingga mereka total telanjang bulat. Nindi sangat menikmati sentuhan-sentuhan yang dilakukan Felix. Ketika Felix mulai memainkan jarinya di antara paha Nindi, Wanita itu melengkungkan tubuhnya dan mengerang lebih kencang, menarik Felix ke dalam ciuman yang panjang. Dengan hati-hati Felix mulai memasukkan jarinya dan memainkannya. Nindi melenguh, mendesah dan menggigit manja bahu Felix.

“Sekarang sayang ...” Desah Nindi yang merasa sudah tidak tahan ingin melakukan permainan yang sesungguhnya.

Felix pun bergerak menindih tubuh Nindi dengan penuh kehati-hatian. Saat Felix menempatkan selangkangannya di antara kedua paha Nindi, kepala kemaluan pemuda itu sudah menemukan jalan pulang. Mata Felix terpejam dengan perasaan dipenuhi kenikmatan selama penisnya mulai menerobos vagina Nindi. ‘Bleeeeesss….!’ Dengan sentakan otot-otot paha dan pantatnya, semua penis Felix sempurna mengisi liang vagina Nindi. Kaki Nindi menegang sebagai reaksi dari benda asing berurat yang menembusi dirinya.

Setelah berhasil meraup bibir Felix, Nindi langsung mengeratkan jepitan vaginanya pada penis Felix. Felix pun secara refleks membuka mulutnya saat ia merasakan nikmat di penisnya. Di saat yang sama, erang tertahan Nindi yang parau enak sekali didengar. Diulanginya lesakan itu. Nindi mengerang lagi, dimulailah irama sedap erang, desah, dan hunjaman-hunjaman enak. Meluap hawa nafsu Nindi. Sesekali ditahannya penis Felix agar terkubur lama dalam jepitan vaginanya karena hangat yang berpindah tuan sampai-sampai ia menggigit bibir tak kuasa menerima gelombang enak yang menginvasi tubuhnya. Terlalu nikmat sampai Nindi pun tidak lagi menahan benturan demi benturan yang mengguncangkan buah dadanya sehingga hunjaman itu makin dalam ia rasakan.

Tiba-tiba Felix menghentikan gempurannya. Pemuda tampan itu menginginkan Nindi menungging. Nindi secepatnya merangkak di atas kasur dan Felix pun segera merapatkan selangkangannya pada pantat bulat milik Nindi. Sambil menggoda klitoris dan lubang vagina Nindi dengan penisnya secara bersamaan, tangan kanan Felix yang bebas menyusup ke dada Nindi. Meremat payudara besar wanita itu. Nindi mendesah tertahan ketika jemari tangan kanan Felix mulai menggoda payudaranya bergantian. Membuat putingnya semakin menegang.

Penis besar Felix yang sudah berdiri tegak, berurat dan kemerahan itu langsung diposisikan ke depan lubang vagina Nindi. Dalam satu hentakkan, penis Felix berhasil memenuhi vagina Nindi yang super basah. Felix menggerakkan pinggulnya dengan brutal. Felix juga tak bisa menahan desahannya, vagina Nindi terasa hangat dan menjepit kuat penis besar pemuda itu. Membuat Felix merasakan kenikmatan yang tiada tara. Felix pun heran sendiri, Nindi bisa tetap sempit walau wanita itu sering melakukan seks.

Dari ujung kepala kejantanan Felix yang keluar sepenuhnya lalu melesak masuk lagi sampai pangkalnya ialah irama yang paling meluluhkan Nindi dan hanya Felix yang tahu akan hal itu. Nindi merasakan kecupan-kecupan dingin di punggungnya. Mendesak nafsu untuk mengkudeta akal sehat. Adrenalin, kenikmatan, sekaligus gairah mereka melebur menjadi satu. Menciptakan sensasi tersendiri bagi diri masing-masing. Desahan Nindi semakin tak bisa dibendung seiring bertambah kuatnya hentakkan Felix di belakang sana, begitu pula sebaliknya. Felix mengerang rendah tatkala dirinya memasuki Nindi lebih dalam lagi. Setelah beberapa kali menghujam, penis Felix akhirnya berhasil menyentuh titik sensitif milik Nindi.

"Aaaakkhhh!! Ya, disana, sayang...! Euhmm..." Desah Nindi keenakan.

Felix akui, dia tambah terangsang karena Nindi mengeluarkan desahan yang sangat seksi begitu. Kedua tangannya yang kini menganggur mulai bergerak menangkup payudara wanita itu. Felix gemas sendiri karena buah dada Nindi bergerak lincah akibat benturan kelamin mereka. Pemuda itu lantas meremas kuat payudara montok wanitanya, mencubit kedua puting yang sudah menegang itu seraya terus-menerus menyentuh g-spot Nindi sampai sang empunya merasakan akan ada sesuatu yang sedari tadi ingin keluar.

"Saayyyaannggh, aku mau sampai...!!" Pekik Nindi.

Felix mempercepat gerakan pinggulnya. Dia juga sebentar lagi akan klimaks. "Bersama, Sayang!!" sahut Felix dengan suara tercekat.

Tak lama kemudian, mereka mencapai klimaks dalam waktu yang bersamaan. Nindi sangat lemas pasca orgasme luar biasanya, kedua tangan wanita itu tidak kuat lagi menopang tubuhnya. Penuh terisi rahim itu dengan semburat mani penis yang membentuk liang vagina Nindi. Setelah gema bunyi yang seakan berlangsung lama itu pelepasan cair berahi mereka berdua bercampur sepi di dalamnya, yang sedikit demi sedikit mengalir keluar dan jatuh meleleh di paha Nindi.

Felix pun berbaring di samping Nindi yang masih menikmati orgasmenya. Ditatapnya langit-langit hotel yang dominan berwarna putih itu, seraya mengukir senyuman di bibir. Tak lama, Nindi pun bergerak dan memeluk tubuh Felix. Nindi menyimpan kepalanya di dada pemuda tampan itu. Tangan Felix mengusap rambut Nindi. Keduanya terdiam untuk beberapa menit sebelum akhirnya Nindi membuka percakapan.

“Sayang ... Kalau kamu boleh memilih ... Siapa diantara istri-istrimu yang lebih kamu cintai?” Tanya Nindi sambil memperbaiki posisi tubuhnya. Nindi kini berada di atas tubuh Felix. Wajah wanita itu hanya beberapa centi dengan wajah Felix.

“Hhhhmm ... Nia ... Aku benar-benar jatuh cinta padanya.” Jujur Felix.

“Nia memang paling cantik di antara kami. Memiliki tubuh paling seksi. Semua pria di kelompok kita memang selalu memilih dia jika kutanyakan itu.” Ucap Nindi memelan.

“Maaf kalau aku menyinggungmu.” Tiba-tiba Felix tersadar kalau ucapannya itu membuat Nindi bersedih.

“Tak apa-apa ... Aku tidak masalah dengan itu semua. Tapi aku akan tetap memperingati kalian semua bahwa kita adalah satu kelompok yang satu sama lain saling mencintai dan berbagi.” Jelas Nindi dengan seyum tipis di bibirnya.

Felix pun tidak ingin melanjutkan percakapan itu karena Felix sebenarnya belum bisa memahami konsep kehidupan bersama yang dilakukan kelompok Nindi. Tapi, Felix mencoba mengikuti dan sedikit demi sedikit belajar memahaminya. Walau masih merasa aneh namun gaya hidup kelompok Nindi sungguh menyenangkan baginya.

Keduanya turun dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. Felix menggandeng tangan Nindi dan membawanya ke kamar mandi. Di bawah guyuran shower mereka mandi bersama, saling menyabuni, saling bercanda, saling menggoda. Setelah selesai mereka kemudian berpakaian dan berdandan rapi. Sekita jam 18.00 sore, Felix dan Nindi kelaparan akhirnya mereka keluar kamar hotel untuk mencari makanan.

Sebuah restoran mewah yang berada di lantai dasar hotel menjadi tempat Felix dan Nindi mengisi perut mereka. Keduanya menyantap hidangan sambil menikmati pemandangan indah di sekitar restoran yang memang ditata sedemikian rupa sehingga terasa nyaman dan menyenangkan. Namun tiba-tiba terdengar dering smartphone Nindi. Nindi pun segera mengambil smartphone miliknya dari saku celana. Ternyata Nia yang meneleponnya.

“Hallo sayang ... Bagaimana kabarmu?” Goda Nindi dengan suara mendayu mesra.

Kata Bertha, kamu ada di Amerika dengan Felix ... Di mana posisimu sekarang?” Nia tidak menjawab pertanyaan Nindi malah balik bertanya.

“Aku sedang bulan madu dengan suami terbaruku, sayang ... Aku dan Felix berada di Las Vegas. Tepatnya di hotel Marion.” Canda Nindi sembari mengedipkan mata ke arah Felix.

“Oh Felix mengajakmu ke sini toh ... Oke, tunggu sebentar, aku segera merapat ke sana.” Ungkap Nia begitu bersemangat.

“Aku tunggu ...” Jawab Nindi masih dengan suara kemayunya.

Sambungan telepon pun terputus. Nindi tersenyum senang karena merasa tidak perlu repot-repot mencari Nia di kota ini. Felix dan Nindi pun melanjutkan makan malam yang sempat tertunda. Sekitar 30 menit berselang, Nia berhasil menemui Nindi dan Felix di restoran. Seketika pekikan pecah di antara mereka bertiga, mereka saling berpelukan melepas rindu. Saat itu Nia datang sendiri tanpa ditemani dua kekasih bulenya.

“Kenapa kalian tidak meneleponku dulu kalau mau ke sini?” Tanya Nia sangat senang dengan datangnya Nindi dan Felix.

“Surprise ... Tadinya aku akan mengagetkanmu, tapi kamu keburu tahu kalau aku dan Felix ada di sini.” Jawab Nindi santai.

“Oh ... Tadi Bertha meneleponku, mengatakan kamu dan Felix ada di Amerika dan menyusulku ke Las Vegas.” Nia tersenyum lalu menatap ke arah Felix.

“Aku merindukanmu, Nia ...” Lirih Felix.

“Aku juga, sayang ...” Ujar Nia sambil mengambil tangan Felix lalu meremasnya mesra.

“Hi hi hi ... Aku sangsi kamu berkata jujur ... Aku malah menyangka kalau kamu sudah melupakan kami, melupakan Martin ...” Nindi mulai ke pembicaraan inti namun dengan gaya bercanda.

“Tidak ... Bukan begitu keadaannya ... Aku masih merindukan kalian, tapi aku masih ada pekerjaan dengan Bertha. Dia akan membuatkan aku film kedua.” Nindi berkelid namun tampak raut terkejut di wajahnya.

“Aku sudah lama mengetahui siapa dirimu, Nia ... Aku sangat tahu sifat dan karaktermu ... Jadi berkata jujurlah! Kami akan menerima segala keputusanmu.” Kini Nindi berkata dengan nada super seriusnya.

Nia menatap lekat wajah Nindi lalu menghela nafas sebelum berkata, “Aku memang tidak bisa berbohong di hadapanmu. Sejujurnya, aku memang sangat menyukai kehidupan di negara ini. Tapi percayalah, aku akan kembali pada kalian, suatu saat nanti.” Nia lalu mengalihkan pandangannya dari Nindi.

“Kapan? Kamu harus tegas menentukan waktu karena banyak konsekuensi yang akan terjadi.” Tegas Felix dengan suara agak meninggi.

“Benar kata Felix. Kamu harus menegaskan hubunganmu dengan Martin karena tidak mungkin kamu menggantung terus Martin seperti ini. Kedua, bagaimana dengan pekerjaanmu di sana. Selama ini Roy masih bisa melindungi kamu tapi suatu saat akan ketahuan juga dan itu membahayakan posisinya di kantor. Coba pikirkanlah!” Jelas Nindi.

Alis Nia tampak mengerut dengan pandangan bingung ke arah jalanan. Nindi yang mengetahui perasaan dan pikiran Nia pun lalu berkata, “Aku tidak bisa memaksamu karena itu semua hakmu. Tapi, aku ingin mengingatkan kalau kamu memilih untuk tetap bertahan di sini, segala kemungkinan akan terjadi. Misalnya saja Martin akan menghapus perjalanan cintanya denganmu. Martin akan menyayangi wanita yang peduli dengannya dan membiarkanmu tetap hidup di sini.” Kata Nindi yang membuat Nia tersentak.

“Martin tidak akan melakukan itu.” Kata Nia setengah sewot.

“Sangat dimungkinkan, Nia ... Apa yang dikatakan Nindi sangat beralasan. Itu pun sudah terasa olehku. Sungguh, aku sangat mencintaimu melebihi wanita-wanita mana pun. Tapi, jika kamu memilih untuk tinggal di sini walau beberapa saat, aku pun akan melupakan semua yang pernah kita lakukan bersama. Itu sebagai bentuk kekecewaanku. Aku pikir, Martin akan melakukan hal yang sama.” Ungkap Felix mengungkapkan kekecewaannya. Mendengar ucapan Felix yang demikian, Nia pun menatap tajam ke wajah pemuda itu.

Tiba-tiba Nia bangkit dari duduknya dan meninggalkan Felix dan Nindi. Felix langsung menyadari saat Nia meninggalkannya. Felix pun secepatnya berdiri hendak mengejar Nia namun tangan pemuda itu ditahan oleh pegangan kuat tangan Nindi. Felix menatap Nindi heran tetapi Nindi hanya tersenyum dan menggelengkan kepala sebagai tanda agar Felix membiarkan Nia pergi.

“Kenapa?” Tanya Felix pada Nindi.

“Biarkan saja. Nia perlu berpikir.” Jawab Nindi santai.

“Apakah kata-kataku menyinggung perasaannya?” Felix ternyata merasa khawatir dengan ucapannya kepada Nia.

“Pasti ... Kata-katamu terlalu kasar buat dia. Tapi itu memang perlu dikatakan supaya dia bisa memikirkannya.” Nindi menuangkan champagne ke dalam gelas lalu memberikannya kepada Felix.

“Aku berharap Nia mau memaafkanku.” Felix menunjukkan penyesalannya.

“Hi hi hi ... Jangan terlalu dipikirkan, sayang. Biarkan saja dia dengan pilihannya. Kamu pikirkan pun kalau dia memilih untuk tetap di sini, tidak akan mengubah menjadi lebih baik.” Ucap Nindi sangat santai.

“Kok, kamu seperti yang tenang sekali?” Felix bertanya heran.

“Aku lagi mencoba berpikir positif saja. Sejujurnya, aku sangat ingin Nia pulang bersama kita. Aku sangat menyayanginya karena aku dan Nia sudah bersama-sama sejak kami kecil. Kami sudah seperti saudara. Tapi, itu tak berarti kalau aku harus memaksakan kehendakku padanya.” Jelas Nindi.

Felix pun menghela nafas berkali-kali seolah ingin menyadarkan dirinya jika semua ini tidak benar. Pemuda itu masih belum percaya kalau Nia lebih memilih meninggalkan keluarganya demi kesenangannya sendiri. Sungguh sangat disayangkan dengan apa yang dilakukan Nia. Nia telah menunjukkan sikap yang sangat egois, dan lebih mementingkan dirinya dari pada keluarga dan para sahabatnya. Ini benar-benar sikap yang meremehkan dan murahan.

Setelah makan malam selesai, Nindi dan Felix memutuskan untuk jalan-jalan keluar hotel. Keduanya lumayan dibuat suprise, karena setiap sudut kota pasti ada casino. Minimal slot machine (mesin judi) casino yang nyaris hadir bahkan di toko-toko kecil seperti Indomar*t. Nindi mencoba slot machine. Tampaknya Dewi Keberuntungan sedang berpihak pada wanita itu. Nindi dalam waktu singkat berhasil mengumpulkan beberapa ratus dolar. Nindi begitu menikmati ‘permainan barunya’ karena tidak perlu keterampilan khusus, benar-benar semua tergantung ‘luck’. Nindi pun mencairkan sendiri uangnya ke ATM khusus casino yang banyak bertebaran.

Nindi dan Felix akhirnya memutuskan untuk kembali ke hotel karena udara dingin semakin menusuk kulit. Walau cuaca cukup cerah menaungi Las Vegas, namun bagi Felix dan Nindi sangat terasa dingin. Sesampainya di kamar hotel, Nindi dan Felix merebahkan badan di atas kasur dengan saling memeluk, saling memberi dukungan sehangat mereka bisa. Nindi pun mulai mendekatkan wajahnya ke wajah Felix hingga akhirnya bibir mereka saling bersentuhan. Nindi mendesah saat Felix menggigit bibir bawahnya membuat sesuatu dalam dirinya mendesak. Tangan keduanya sudah menjamah entah apa saja bagian tubuh pasangannya, ciuman panas mereka membangkitkan hasrat lebih yang ingin terpuaskan.

Perlahan tapi pasti mereka berdua telah menyatukan tubuh mereka. Berbagi desahan, peluh, dan hasrat bersama. Bahkan udara dingin yang mereka rasakan tak mampu mendinginkan sekeliling mereka yang kini penuh dengan kehangatan. Desahan, lenguhan dan jeritan terdengar begitu jelas. Felix dan Nindi mengarungi lautan birahi yang sangat panas. Kali ini Felix yang memegang kendali. Pemuda itu menggenjot penisnya keluar masuk dengan hantaman keras. Felix ingin membuat Nindi tidak akan melupakan seks yang mereka lakukan. Felix harus memuaskan Nindi dengan kejantanannya yang benar-benar jantan.

‘Plok ... plok ... plok ... plok ...’

"Ouchh... Ahhh... Oohh..."

"Yeah... Uuh... Ooh... Aahh..." Berbagai kombinasi racauan dan desahan terdengar bersahut sahutan. Kamar hotel mewah itu menjadi saksi bisu dua insan yang mengarungi lautan birahi. Felix secara jantan memaju mundurkan 'burungnya' yang berurat seksi, benda tidak bertulang itu menghujam dan menusuk vagina Nindi dalam, sangat dalam.

"Ahhh... Oouch... Faster sayangh ah... Yeah..." Nindi terguncang kasar, hantaman Felix benar-benar membuatnya seperti terbang. Nindi mencengkram sprei ranjang yang sudah acak-acakan.

"Ohhh... Aahhh..." Felix membalasnya dengan tubrukan dahsyat. Penisnya benar-benar tenggelam seluruhnya, timbul tenggelam dengan ritme yang sangat cepat.

Nindi membuka mulutnya, dia memberikan tanda agar Felix menciumnya lagi. Felix paham, dan langsung melayangkan bibir seksinya, menciumi Nindi sambil tetap melakukan seks. Kedua insan berlainan jenis itu saling lumat, saliva mereka untuk kesekian kalinya tertukar. Tubuh mereka basah oleh keringat. Seandainya saja mereka ikut perlombaan seks, maka mereka berdua pantas masuk nominasi sebagai 'pasangan terpanas tahun ini'.

Hampir satu jam lamanya durasi Nindi dan Felix mengarungi samudra cinta yang memabukkan. Felix sudah merasakan jika cairan kelakiannya sebentar lagi akan keluar. Pemuda tampan itu semakin mempercepat sodokannya.

"Argh... Ahhh... Ooh... Yeah... Sayangh ah... Oohh..."

"Nindi ahh... Aku keluarrr..." Erang Felix, melolong keras. Tepat saat itu, Felix menumpahkan spermanya di dalam vagina milik Nindi. Cairan itu meluber banyak, kental dan lengket.

"Oshh... Aaaahh..." Felix ambruk, tepat di dada Nindi.

"Aaaahhh.." Nindi mendesah, senyuman sayu menghiasi wajah imutnya. Nindi menerima tubuh berkeringat Felix, memeluknya erat.

"Maaf, aku tidak bisa terlalu lama." Guman Felix, pemuda itu berbisik di telinga Nindi.

"Ini sudah... Aahh... Lama sayang, hampir sejam. Aku puas ..." Jawab Nindi, seraya mengusap punggung berkeringat Felix.

"Terima kasih." Ucap Felix.

"Aku mencintaimu ..." Bisik Nindi lagi.

"Aku juga mencintaimu." Balas Felix.

Lelah dan puas. Itulah yang dirasakan kedua insan itu. Mereka berpelukan mesra di atas ranjang. Felix belum mengeluarkan penisnya dari vagina Nindi. Felix membiarkan kejantanannya itu melemas dan keluar sendiri. Dan tiba-tiba saja terdengar dering smartphone milik Nindi. Wanita itu segera menggapai alat komunikasi pipihnya lalu melihat siapa yang memanggilnya.

“Nia ...” Pekik Nindi. Felix pun turun dari atas tubuh Nindi.

“Ya Hallo ... Mudah-mudahan kabar baik yang akan aku dengar.” Sapa Nindi pada Nia di seberang sana. Nindi bangkit dari posisi terlentangnya lalu duduk bersila di atas kasur menghadap Felix yang juga sedang duduk bersila.

Aku ingin bicara denganmu ... Aku sudah di lobby hotelmu.” Kata Nia.

“Oh ... Kamu bisa ke kamarku saja. Kamarku nomor 2822.” Jawab Nindi.

“Baiklah ...” Balas Nia dan langsung terputus sambungan telepon.

Nindi dan Felix lekas-lekas berpakaian untuk menyambut kedatangan Nia. Nindi dan Felix menunggu Nia di ruang utama hotel dengan pintu hotel yang terbuka. Beberapa menit berselang, muncul Nia dengan wajah yang kusut, matanya yang sembab menandakan ia baru saja menangis. Nia berlari menghampiri Nindi yang berdiri tak jauh dari pintu. Nia tiba-tiba menubruk dan memeluk Nindi sehingga tubuh Nindi agak terjejar ke belakang. Dan seketika mereka pun saling berpelukan seolah mereka telah dipisahkan selama bertahun-tahun lamanya.

“Pulanglah bersama kami ... Kita punya keluarga bahagia di sana ...” Nindi melontarkan kata-katanya lirih namun penuh pengharapan.

“Ya ... Aku akan pulang bersama kalian ...” Jawab Nia tak kalah lirih.

Beberapa saat Nia dan Nindi masih saling berpelukan. Kali ini, disertai perasaan lega. Felix akhirnya ikut bergabung. Dia memeluk kedua wanitanya dalam satu rengkuhan. Mereka saling mencurahkan perasaan mereka masing-masing saat itu. Namun, mereka tidak saling bicara, hanya saling berpelukan erat. Bagi mereka hanya kehangatan pelukanlah yang dapat menjelaskan semuanya. Gelombang kebahagiaan menyelimuti hati mereka bertiga hingga menumbuhkan hibat yang semakin besar.​

******​

Dua Minggu Kemudian ....

Pesta sabtu malam. Seluruh anggota kelompok poliamori yang dipimpin Nindi menyambut bahagia kedatangan Nia di tengah-tengah mereka kembali. (Poliamori adalah bentuk hubungan romantis, emosional, atau bahkan seksual dengan lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan, red). Acara rutinitas sabtu malam itu pun berjalan seperti biasanya. Namun untuk malam ini, Felix sengaja menahan semua anggota untuk mendengarkan usulannya terkait dengan kehidupan kelompok ini untuk masa yang akan datang. Semua telah berkumpul, duduk mengelilingi meja makan besar. Felix pun berdiri di ujung meja makan, siap untuk menjelaskan ide-idenya.

“Aku telah mempelajari kehidupan gaya kita ini. Aku mempunyai usulan, ingin menyatukan tempat tinggal kita di dalam satu kompleks kecil. Dan rumah kita terhubung satu sama lain. Kompleks ini dilengkapi juga dengan kolam renang dan fasilitas olah raga lainnya. Dengan konsep kompleks perumahan ini, aku berharap kita akan lebih sering bertemu. Apa yang aku usulkan adalah kita semua pindah ke sebuah ruang bersama yang menghubungkan dan mengikat kita sehingga memperkuat cinta dan hubungan yang telah kita bangun.”

“Kedengarannya bagus juga ...” Fadil merespon postif usulan Felix

“Aku masih ingin mendengar rencananya ...” Hendrik masih memerlukan informasi detail dari rencana Felix.

Felix pun melanjutkan penjelasannya, "Aku sudah berkonsultasi dengan seorang arsitektur dengan rencanaku ini. Dia sudah membuat sketsa dari ideku ini.”

Felix pun membuka gulungan kertas sketsa rencana kompleks kecilnya. Gulungan kertas itu kemudian diberikan beban di setiap ujungnya hingga terbuka sempurna. Semua orang segera berkerumun saat Felix menunjuk rencana besarnya yang termuat dalam sketsa tersebut.

"Ini konsepnya .... Semua rumah terhubung satu sama lain dengan jalan setapak yang di sisi-sisnya dibuat taman. Semua rumah dibuat melingkar dan di tengah-tengahnya kita buat untuk ruang bersama, seperti kolam renang dan ruangan untuk acara sabtu malam. Di sisi sebelah luar adalah wilayah dari masing-masing rumah dan itu adalah hak dari pemilik rumah di depannya untuk dibuat apa atau untuk keperluan apa.” Jelas Felix.

“Ini proyek luar biasa besar, Felix ... Terus terang, aku tidak sanggup untuk membangun rumahku sendiri di sana.” Ricky mulai mengeluarkan pendapatnya.

“Ya, benar ... Misalkan saja kita bisa menjual rumah kita untuk biaya pembangunan di sana. Tapi itu kan membutuhkan waktu dan entah kapan rumah kiat terjual.” Sambung Hendrik.

“Kalian tak perlu mengeluarkan dana seperser pun ... Aku yang akan membiayai proyek ini seluruhnya.” Ujar Felix mantap.

Suara riuh rendah pun mulai menggema. Semuanya terlibat diskusi yang cukup alot. Ada sedikit keberatan jika semua harus ditanggung Felix. Namun akhirnya Felix bisa memberikan penjelasan yang meyakinkan kepada semua yang hadir kalau dia baik-baik saja. Semua akan dibiayai dengan keuangan Felix hasil penjualan penthouse-nya. Felix pun telah membeli tanah seluas tiga hektar untuk kompleks kecilnya ini di pinggiran kota. Namun, semuanya masih ingin berdebat, masih ada keberatan yang dirasakan masing-masing orang.

“Felix ... Bisakah kami mendesain sendiri rumah kami sesuai dengan keinginan kami?” Tanya Fadil di sela diskusi yang cukup panas itu.

“Silahkan ... Kalian bebas mendesain rumah kalian sendiri, asalkan tidak melebihi batas tanah yang telah ditentukan.” Jawab Felix.

“Aku pikir kita tidak menghabiskan jatah tanah masing-masing karena jatah yang diberikan sangat luas. Tapi, bagaimana dengan kepemilikan tanahnya?” Ricky bertanya dengan nada antusias.
“Tanah bagian kalian untuk membangun rumah dan halamannya adalah milik kalian. Selebihnya adalah masih tetap kepunyaanku.” Jawab Felix lagi.

Berbagai pertanyaan pun terlontar deras kepada Felix. Pemuda itu dengan jelas dan mantap menjawab semua pertanyaan. Pada akhirnya semua orang di kelompok poliamori ini menyetujui gagasan Felix. Semuanya menemukan kata sepakat. Tiba-tiba Nindi berdiri dan menghampiri Felix. Wanita itu menarik ke pelukannya dan menciumnya. Ciuman mereka lembut di awal namun kemudian menjadi ciuman yang sangat menggairahkan. Nindi pun mengakhiri ciumannya dan kembali ke tempat duduknya.

“Aku melakukan ini atas dasar, karena aku sudah menyadari bahwa kebersamaan kita adalah sumber kebahagiaanku. Aku merasa sangat bahagia bisa berada di tengah-tengah kalian. Bukan hanya karena seks bebas saja yang aku rasakan tetapi perasaan saling memiliki yang menjadi sensasi bahagiaku. Aku bangga berada di antara kalian.” Papar felix bersungguh-sungguh.

Mendengar cerita Felix itu beberapa orang tersenyum dan beberapa lainnya malah tertegun. Lalu terdengar tepuk tangan keras sekali. Fadil berdiri memberikan aplaus kepada Felix. Perlahan-lahan akhirnya semua anggota berdiri sambil bertepuk tangan. Felix menerima aplaus tersebut dengan membungkukan badan pertanda terimakasih dan hormat. Kemudian tak lama satu persatu anggota memberikan pelukan hangat kepada pemuda itu.

Beberapa menit semuanya kembali ngobrol satu sama lain sebelum akhirnya mereka membubarkan diri karena malam telah melewati pertengahannya. Saat Felix berjalan menuju mobil sport-nya, tiba-tiba Nia memanggil pemuda itu. Felix membalikkan badan dan melihat Nia sedang berjalan mendatanginya.

“Felix ... Aku ingin minta maaf atas sikapku.” Tiba-tiba Nia berujar demikian. Nia berdiri tepat di depan Felix sambil memandang wajahnya lekat-lekat.

“Tak ada yang perlu dimaafkan ... Kamu tidak salah apa-apa padaku.” Ujar Felix sambil mengambil tangan Nia lalu menciumnya.

“Tidak, Felix ... Aku telah berlaku kasar padamu ... Sekali lagi aku minta maaf sebesar-besarnya atas tindakanku.” Nia bersikukuh.

“Kalau itu maumu, aku maafkan. Sekarang sudah malam, sebaiknya kamu pulang. Tuh, Martin sudah menunggumu.” Ucap Felix.

“Aku sangat mencintaimu, Felix.” Desah Nia lalu memeluk dan mencium bibir Felix. Ciuman yang menggairahkan. Tak lama ciuman pun terurai.

Saat kedua mata bersitatap merangkai rasa di hati masing-masing. Ada keharuan yang menyeruak yang membuat perasaan mereka mendadak sendu. Perasaan mereka seakan menjadi media komunikasi keduanya dan merasakan ikatan batin yang menyatukan rasa mereka. Tiba-tiba Felix memeluk Nia.

“Maukah kamu bermalam di tempatku?” Bisik Felix di telinga Nia.

“Aku baru mau mengatakannya.” Lirih Nia.

Felix mengurai pelukannya pada Nia lalu menatap Martin yang berdiri tak jauh dari tempatnya. Martin yang sedang merangkul bahu Nina menganggukan kepala memberikan persetujuannya kalau Nia dibawa oleh Felix. Akhirnya malam itu Felix membawa Nia ke kondominiumnya dan menghabiskan sisa malam itu dengan bercinta.​

-----ooo-----

Bersambung

Thanks for reading, sorry for typo​
 
Makasih updatenya

Memang Nia udah balik ke indonesia. Lantas bagaimana gaya hidup dia disana. Satu bulan waktu yang cukup lama untuk adaptasi dengan kebiasaan baru Nia. Tapi mungkin saja kebiasaan Nia di Amerika akan di bawa ke kehidupannya. Tidak ada yang tau hal ini kecuali Ts.

Bagaimana dengan Martin yang ditinggal selama 1 bulan. Sampai saat ini belum ada cerita lagi tentang Martin, tapi justru itu membuat penasaran atas sikapnya hahaha.


Rencana Felix untuk membuat satu kompleks perumahan yang dapat saling terhubung ini sangat gila. Mungkin akan disambut baik oleh para anggota itu, tapi disisi lain Felix seperti membuat akses dirinya dekat dengan Nia. Entah apakah ada sadar atau itu atau tidak seperti itu rencana Felix sebenarnya. Ya sekali lagi hanya Ts yang tahu hahaha.

Ditunggu kelanjutannya
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd