Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT THE CITY'S RHAPSODY (racebannon)

Bimabet
Wah ada franks chamber & hantaman, menolak punah ditelan peradaban
 
omsuhu, ini bener ga si vokalis apa tuh dulu, yg pernah mau digasak stefan?

btw terima kasih apdetnya omsuhu:jempol:
 
Wah karakternya agak² ngehe, jos
Makin berwarna this universe
 
wah akhirnya muncul lagi

ditunggu suhu cerita-ceritanya
selalu suka cerita dari suhu. bacanya bisa sambil nyantai hehehe
 
THE CITY’S RHAPSODY
RHAPSODY IN THE FRIENDSHIP – PART 1

===============================

haneda10.jpg


Musim semi dan Tokyo.

Ini kali kedua aku ada di Jepang. Yang pertama adalah bulan maduku dengan istriku, Dian. Ya, Dian, dokter cantik yang ceria itu, yang selalu membuat hidupku jadi lebih berwarna sejak aku mengenal dia. Kami berpacaran cukup lama. Kehidupan percintaan kami diwarnai oleh drama putus nyambung yang sama sekali tidak enak.

Dan setelah beberapa petualangan yang tidak nyaman, aku pun kembali padanya, dia kembali padaku.

Bahkan kini kami sudah mempunyai satu orang anak yang begitu pintar dan cerdas. Alika namanya, 6 tahun umurnya. Dia sudah SD kelas 1, tapi sekarang dia sedang ada disini bersama kami.

“Lo kok jadi ngerokok lagi sih?”
“Ya gini lah Fan, mau gimana?” jawabku dengan pelan, sambil menghembuskan asap rokok dari mulutku.

Dian pernah memintaku untuk berhenti merokok, ketika kami menikah. Tapi setelah anakku besar, dan kehidupan kembali butuh perjuangan, teman lamaku kembali lagi. Dan kali ini Dian menyerah. Rokok kembali ada di sela-sela jariku, menemani kesendirianku maupun keramaianku.

“Hebring, untung aja lo ga jadi kayak gue” lanjut Stefan, yang kita semua tahu ada apa dengan kesehatan reproduksinya. Bermasalah.

Aku dan Stefan ada di smoking area di bandara Haneda. Kali ini, kami semua ada di Jepang. Kami beramai-ramai datang kesini, menemani Arya yang mengantar Kyoko mudik untuk pertama kalinya ke Jepang. Sudah lima tahun berlalu sejak pernikahan Arya dan Kyoko. Dan sekarang Kyoko adalah pemegang paspor Indonesia. Dia sudah benar-benar menjadi WNI.

Dan hasil dari pernikahan mereka, adalah anak yang luar biasa menggemaskan bernama Haruko Aya Rahmania. Saking gemasnya, sampai-sampai Stefan yang ada di sebelahku berubah jadi aneh kalau di depan Haruko. Sangar dan kasarnya hilang. Dia seperti om yang penyayang. Tidak ada satu orangpun yang menyangka sisinya yang ini bisa muncul.

Di musim semi ini, kami semua ikut ke Jepang, tentunya kecuali Bagas. Ini bukan acara manggung Hantaman, tapi acara keluarga, jadi tidak mungkin ada Bagas disini.

“Yang lain gak kesini ya?” tanyaku sambil menghisap rokokku dalam-dalam.

“Gak tau, biarin aja lah” balas Stefan, yang juga merokok dengan kencangnya. Rokok dan keseharian kami semua. Sepertinya mayoritas dari kami merokok. Sebentar, coba kita hitung. Aku, Stefan, Anin, Zee, Sena dan hmm….. Zul tidak merokok kan? Entahlah. Lupa aku. Aku memang tidak begitu sering bertemu dengan Zul, suami adiknya Arya, Ai.

“Eh guys?” mendadak muka Rendy nongol di pintu smoking room.
“Eh elo? Yang laen udah siap?” tanyaku dengan senyum tipis.
“Udah, dicariin tuh kalian, gue tebak ada disini ternyata bener”

“Bentar ya, ini kita abisin dulu” balasku dengan jujur. Memang ini baru mulai sebatang, jadi tolong, please jangan ganggu dulu sebentar. Lagipula, kita pakai minibus carteran yang tidak harus menunggu jadwal keberangkatan.

“Oke, gue bilangin anak-anak”
“Sip” jawabku pelan, sambil melanjutkan hisapan demi hisapan yang mengisi dan merusak paru-paruku dan Stefan.

“Gue pikir tadinya kawinan Arya dan Kyoko ala Jepang ga akan pernah kejadian” Stefan membuka suara.
“Iya, wabah corona parah sih kemaren-kemaren…. Sempet pesimis juga gue”

Salah satu agenda kepulangan Kyoko ke Jepang adalah pernikahan adat ala Jepang Kyoko dan Arya. Tidak wajib memang, tapi ini seperti ritual yang ingin mereka lalui sebagai suami istri. Mereka sudah menjadi suami dan istri resmi selama lima tahun, tapi Arya bilang, sepertinya agak mengganjal jika mereka tidak melakukan pernikahan secara Jepang, walau Kyoko bilang tidak perlu.

“Eh, bisa cepetan gak?” mendadak suara dan wajah yang tak asing bagi kami muncul di pintu smoking room. Sosok perempuan yang tinggi semampai itu menatap kami dengan tatapan kesal. Dia mengenakan crop top berwarna crème, celana hitam dan high heels berwarna kulit. Kacamata hitam menghiasi wajah cantiknya. Rambutnya pendek ala Winona Ryder. Pixie cut nama modelnya. Anting panjang dia pakai Cuma sebelah, di telinga kiri.

“Kenapa sih sewot amat” kesalku ke Anggia.
“Soalnya lama tau gak?”
“Gapapa kali ngeroko bentar” tawa Stefan sambil menghembuskan nafasnya.

“Anin Zee ama Sena aja ga ngerokok biar bisa cepet jalan ke Mitaka, kalian egois banget sih…”
“Bentar aja, gak sampe 10 menit, lagian buru-buru banget” balasku.
“Gak, gak ada 10 menit, kalo ga mau jalan, kita tinggal aja” sentak Anggia.

“Rokok kita kan rokok putih, bentar” sambung Stefan.
“Gak ada bentar-bentaran hei….” Kesal sang perempuan.
“Kasih kita waktu nafas, oke?”
“Nafas – nafas bapak lu delapan…. Ditinggal nih!”

“Bodo”
“Bodo juga” Anggia melengos keluar dari smoking room. Aku tertawa kecil. Dia tidak pernah berubah. That’s Anggia for you. Biar dia sudah jadi ibu dua anak yang lucu dan menggemaskan, dia tetap seperti itu, tidak berubah. Jadi kebayang gimana cara dia mendidik anak, pasti tegas dan disiplin.

“Dah ah matiin” Stefan mematikan rokoknya dan bergegas. Aku mengambil tarikan panjang, sebelum mematikan rokokku juga. Let’s go, ke Mitaka, kota kecil di pinggiran Tokyo, kampung halaman Kyoko.

===============================

mitaka10.jpg


Sang supir, yang sudah pasti orang Jepang, mengemudikan mini bus ini dengan hati-hati. Pulang dan pergi kami antara bandara dan Mitaka tentu akan mengandalkan jasanya.

Aku duduk di baris kedua, dengan Dian di sebelahku. Alika dipangku ibunya, dan dia tidur dengan lucunya. Tangan Dian menggenggam tanganku, dia juga tidur. Mungkin kecapekan di perjalanan.

Di sebelah supir, Sena sedang memainkan handphonenya, mengambil foto-foto selama perjalanan. Di sebelah Dian ada Ai, yang sedang memperhatikan jalan. Zul, suaminya ada di baris belakang kami, bersama dengan Arya, Kyoko dan Haruko yang duduk sendiri. Haruko mengenggam boneka beruang kecil, yang terlihat sudah belel. Kata Arya, itu boneka sudah dimiliki Haruko semenjak masih bayi.

Di belakang mereka, ada Rendy yang memangku Shirley, anaknya dan Anggia yang masih berumur 3 tahun. Shirley tampak begitu polos dan lucu, dia sedang bermain dengan ayahnya. Jonathan, anak pertama mereka duduk sendiri di apit oleh Rendy dan Anggia.

Di baris paling belakang ada dua pasang manusia unik. Anin dan Zee, serta Stefan dan Valentine. Kami semua berpendapat kalau Stefan dan Valentine pacaran. Tapi mereka selalu menolak anggapan itu. Rombongan sirkus ini semua sedang menuju Mitaka, tepatnya ke Mitaka City Hotel, tempat sebagian besar dari kami akan menginap.

Kyoko, Arya dan Haruko tentunya akan menginap di rumah Kyoko, yang ditinggali oleh Kyou-Kun, kakak laki-laki Kyoko yang mengelola sebuah coffee shop milik keluarga mereka.

Kebanyakan dari kami tidak sabar untuk melihat prosesi pernikahan ala Jepang Kyoko dan Arya. Pasti menarik.

“Kakak!!!”
“Apa sih teriak-teriak!”

Haha, dua anak itu.

“Sayang, kenapa?” tanya Rendy ke Shirley, yang sepertinya terganggu.
“Kakak cubit-cubit aku terus”
“Kenapa gak boleh emangnya?”
“Gak boleh!”
“Sombong amat!”

“Bisa diem gak? Semua kecapekan, kalian kalo ribut terus Mama gak suka”

Mendadak, Jonathan dan Shirley diam. Sepatah kalimat dari Anggia mampu membuat dua anak itu diam tak bersuara sama sekali.

“Serem amat emaknya” suara Stefan terdengar dari kursi paling belakang.
“Ga usah komen ya, emangnya lo facebook komen-komen” balas Anggia.
“Galak benerrrrr”

“Usil amat sih elo…” tawa Valentine kecil, mengomentari Stefan.
“Tauk, demen amat ngomong, cerewet kayak emak-emak” kesal Anggia pada Stefan.
“Lah gue kan cuman komen gitu doang, kenapa disamber mulu sih?”

“Abisan…”

“Aduh… Entah Alika bangun lho…. Kalian ah” Dian dengan muka lelahnya membuka matanya, sambil menunjukkan mimik wajah sedikit kesal.

“Jonathan sama Shirley kenapa kok triak triak?” Haruko mendadak bersuara.
“Gak usah dicontoh ya sayang, jangan jadi nakal kayak mereka” senyum Anggia dengan ramah ke Haruko.

“Tapi aku ga nakal Mama… Kakak yang ganggu!” kesal Shirley yang tampak gelisah di pangkuan Rendy.
“Jonathan bakal berhenti ganggu kalo kamu diem. Kamu juga ngapain cubit-cubit adek kamu?” tanya Anggia dengan tegas.

“Nn..” Shirley diam dan beringsut kesal di pelukan ayahnya.

“Kalo emak gue kayak gini gue sih loncat dari mobil ya” bisik Stefan ke Anin, Zee dan Valentine.
“Apa sih ngomong mulu, bini gue jadi bangun kan…” kesal Anin yang melirik ke arah Zee, yang sepertinya terbangun karena suara berisik-berisik kecil kawanan ini.

“Gue ngomong pelan kali bangsat…”
“LANGUAGE!” teriak Anggia ke Stefan.

“Mama kok Om Epan bilang Om Anin bangsat?” tanya Jonathan dengan polosnya.
“Wow baru sehari bareng Stefan anak gue langsung ngomong kasar….” Anggia melirik tajam ke arah Stefan, dengan lirikan setajam golok yang siap menebas kesana kemari. “It’s a bad word, Jonathan, don’t you dare to talk like that again!”

“Why mama?”

“Gaya bener anaknya diajakin ngomong Inggris, dasar Cina Jaksel” tawa Stefan.
“Lo sendiri Cina”
“Emang”

“Apa sih ribut-ribut ya Allah….” Aku jadi ikutan bersuara. Sumpah, kenapa sih kita ini, rombongan sirkus ini, kayaknya tidak pernah berhenti saling mencela.

“Elo sih Fan, komen-komen segala” cela Anin.
“Apaan sih nyet”
“Elo yang monyet”
“Elo yang monyet”
“Monyet” Stefan dan Anin saling berbalas ejekan khas mereka.
“Monyet”

“HEI, LANGUAGE PLEASEEEEE…. WE GOT KIDS HERE!!!” bentak Anggia ke Stefan dan Anin.

“Okaasan…. Kenapa Om Epan sama Om Anin jadi monyet?” tanya Haruko dengan polosnya.
“Lah anak gue ikutan…. Haruko sayang, gak usah didenger ya mereka” bisik Arya ke anaknya. Kyoko hanya tertawa kecil sambil mengelus-ngelus rambut bob lucu Haruko.

“Ada apaan sih di belakang” mendadak Sena melongok ke arah belakang mini bus dengan wajah penasaran.

“KAGAK USAH IKUT IKUTAAAAN” teriak Stefan ke depan.

“UDAH PADA DIEM KENAPA SIHHHH!!!!! BERISIK!!” sentak Anggia. Suasana mendadak hening. Ada suara ketawa-ketawa kecil di sudut minibus, entah siapa.

“Ada ada aja” aku berbisik pada Dian yang menyandarkan kepalanya padaku.
“Iya ampun, tidur lagi ya aku”
“Tidur sayang, istirahat”
“Iya”

“Kita bikin games deh… Kalo ada yang ngomong lagi abis ini, didenda, gimana?” Anggia bersuara kepada kami semua.
“Deal”
“Deal”
“Boleh”

“Nah, sekarang diem, duduk manis, jaga bahasa lo semua, kita sekarang jalan-jalan sama anak-anak, oke?”
“Siap bu Presiden” ledek Stefan.
“Awas lo ya”
“Iya iya….”

Haha, dasar. Kita lihat saja nanti siapa yang paling banyak didenda dari permainan ini. Let’see. Sementara, aku mencoba ikut-ikutan tidur di perjalanan, agar cepat sampai Mitaka. Aku sudah tidak sabar menjalani rangkaian tur lucu-lucuan di Jepang ini.

Pasti amat menarik dan lucu.

===============================

-hotel10.jpg


“Sayang, sekalian beliin air mineral yang banyakan ya?”
“Boleh, apa lagi?”
“Apa ya, beliin cemilan lucu buat Alika boleh?”

“Boleh dong….”
“Makasih sayang” Dian mencium lembut bibirku, sambil meminta diriku mengacak-ngacak rambutnya. Aku tersenyum dan menyambut ajakan istriku. Rambut menggemaskannya yang panjangnya seleher itu aku acak-acak dengan gerakan lembut.

“Papa jalan dulu” aku berjalan ke arah Alika yang sedang tidur di kasur kamar hotel, dan mencium keningnya pelan. Tak lama kemudian aku berjalan keluar, pergi ke minimarket, untuk membeli supplies buat keluarga kecil kami di hotel ini.

Setelah menutup pintu, aku berjalan ringan ke arah lift. Aku menggenggam handphoneku, dan memasukkannya ke dalam saku celana. Aku memeriksa dompetku. Ada. Kotak rokok dan korek api di jaket? Ada juga. Aku menekan tombol lift, pintunya terbuka dan aku masuk ke dalam sana.

Oke, aku sudah sampai di lantai dasar. Aku keluar dari lift, dan berjalan ke arah lobby. Beberapa pegawai hotel menyapaku dan memberi salam. Aku membalasnya sebisaku, karena aku tidak bisa bahasa Jepang.

Aku berjalan ke arah pintu keluar dan bersiap menuju minimarket di ujung jalan.

Suasana sore ini enak, pohon-pohon rindang di trotoar Mitaka membuatku tenang. Pasti cocok dengan rokok dan kopi. Tapi aku tidak ingin membuang waktu, jadi aku segera bergegas ke arah minimarket.

Tak lama kemudian aku sampai ke minimarket yang agak besar itu. Lucu. Minimarket tapi agak besar. Apa-apaan, haha. Aku mengambil keranjang jinjing dan pergi ke arah lemari es besar. Aku mengambil beberapa botol besar air mineral untuk persediaan di kamar. Dian tidak ingin kami meminum air keran, walaupun bisa diminum. Bu dokter istriku itu sudah pasti concern soal airnya. Mungkin tidak cocok untuk diminum Alika.

a0002810.jpg


“Woi ngapain lo?”
“Eh…”

Aku melihat Anggia sedang berdiri di belakangku. Di keranjang jinjingnya, ada beberapa botol dan bungkusan minuman keras.

“Belanja Bu?”
“Lumayan, stock buat minum-minum ntar malem…. Gabung?”
“Boleh, kalo Dian ga rewel minta gue ngelonin Alika” jawabku.
“Gabung lah… udah lama gak minum bareng elo…”
“Iya, sejak lo punya anak dan resign dari kantor, kita jadi agak jarang ketemu” balasku.
“Lima tahun lalu itu sayang gue resignnya… Sering-sering lagi dong hangout bareng kayak dulu”

“Nah ini sekarang ngapain di Jepang?” tawaku.
“Maksud gue kayak dulu itu cuman elo sama gue” jawab Anggia, yang tampaknya masih sibuk memilih-milih minuman keras.

“Eh Rendy mana?”
“Di kamar hotel, ngurus Jonathan ama Shirley” jawab Anggia pelan. Dia membuka lemari es dan memasukkan beberapa kaleng bir ke dalam keranjangnya.

“Banyak amat belinya”
“Ya lumayan kan, uang denda dari Anin sama Stefan banyak soalnya…. Kalo kita mau abisin ntar malem mirasnya juga hayuk, seru kan?”

“Siapa aja yang mau join?”
“Ntar di kamarnya Stefan ama Valentine, kan smoking tuh kamarnya”
“Kayaknya gue nanyanya bukan lokasi minumnya deh…..”

“Oh, iya… Paling Gue, kalo Jonathan ama Shirley dah tidur Rendy pasti ikut…. Anin ama Zee juga, Sena… Ai sama Zul ga mau ikut, kayaknya mau bikin anak…. Kyoko udah ga minum kan, Arya apalagi, dia kan paling anti alkohol, lagian dia kan boboknya di rumahnya Kyoko… BTW Dian masih minum?”

“Udah engga, sejak hamil kan udah ga mau kena alkohol lagi”
“Tapi lo masih ya? Bandel” tawa Anggia.

“Gak bandel kali”
“Bandel lah, bikin galau anak baru di kantor dulu” tawa Anggia.

“Haha, sial” tawaku balik, mengingat-ngingat masa-masaku dengan Nica dulu.

“Eh BTW, nih…”
“Apaan?”
“Sandwich dingin, kesukaan lo kan?” senyum Anggia dengan manisnya, sambil mengulurkan sebungkus sandwich ke arahku.
“Inget aja” aku menerimanya dan menyimpannya di keranjang milikku.
“Inget dong, cowok pendiem aneh yang sukanya minum kopi kalengan dan makan sandwich dingin, sambil ngerokok terus-terusan, siapa lagi kalo bukan elo” balas Anggia.

“Dasar”
“Haha” Anggia menjulurkan lidahnya, dan dia mulai antri di kasir.

Kita semua sudah semakin tua, semakin dewasa. Beberapa dari kami sudah berkeluarga dan memiliki keturunan. Beberapa dari kami pun sudah tumbuh secara karir, dan ada yang mengubah jalan hidupnya.

Tapi ada satu yang tak pernah berubah. Suasana obrolan dan kedekatan yang unik dari Josephine Anggia Tan padaku. Walau sudah agak jarang bertemu, tapi dia masih seperti itu. Masih Anggia yang dulu. Anggia yang kukenal dari jaman kuliah.

Dan karena itu, aku jadi bersemangat untuk acara minum-minum kecil nanti malam. We’ll see. Tampaknya akan menarik, ya kan?

===============================

BERSAMBUNG
 
Makasih updatenya

Wah ceritanya kembali ke si *aku* mantep nih udh lama banget ga pernaah nongol karakter satu ini
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd