Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT THE CITY'S RHAPSODY (racebannon)

THE CITY'S RHAPSODY
RHAPSODY IN THE REUNION

------------------------------

14561710.jpg

“Hai semuanyaa…. Maaf telat!”
“Eh apa kabar… Duh… Lucunya anak lo… Sini-sini… Tante gendong”
“Mirip banget sama ibu nya yaaa”
“Iri deh ih, jadi pengen cepet hamil”

“Ah gue jadi iri sama laki-nya Put…” bisik si Seno, di sebelah gue. Gue cuma ketawa kecil aja. Semua cowok-cowok keliatan kesel karena Aisyah Ariadi Gunawan alias Ai dateng ke acara reuni malem ini sama suami dan anaknya yang masih bayi. Di jumat malem ini, anak kelas tiga SMA gue emang bikin reuni. Acara ini rutin setahun sekali dan tahun lalu Ai gak dateng.

Ai emang jadi primadona cowok-cowok sedari dulu. Kalo kakaknya yang musisi itu jadi idola cewek-cewek, adiknya jadi idola cowok. Sering denger kejadian ada cowok bete gara-gara ditolak sama Ai. Sering banget. Kayaknya itu udah jadi cerita tiap minggu. Dan sekarang cewek idola itu udah punya anak, dan suaminya itu temen kakaknya. Temen kuliah kakaknya.

Sementara gue gak pernah tertarik sama Ai. Sewaktu SMA dulu, gue gak pernah lepas dari seorang perempuan. Perempuan yang itu. Yang duduk di pojok situ.

Gue sempet bertahun-tahun gak ngobrol sama dia, karena memang gue dan dia putus secara gak baik-baik. Ya emang sekarang udah membaik sih. Nyapa dan nanya kabar kita berdua lakuin secara ramah. Mengingat usia kita juga sekarang udah segini, jadi kayaknya gak etis aja kalau dendam masa lalu gara-gara putus itu masih disimpen. Itu gak bagus banget. Tapi untuk ngobrol akrab, Kayaknya kita berdua masih agak canggung.

Sure. Harusnya itu semua udah lewat kan? Tentu udah lewat. Udah lewat berapa tahun coba? Si primadona sekolah, Ai udah punya anak. Gue bahkan udah punya beberapa pacar, walau sekarang lagi single. Bahkan si dia sekarang udah mau nikah. Katanya sih gitu.

Yang penting, sekarang, malam ini. Aku bisa ketemu sama temen-temen SMA yang ngangenin. Bisa ngobrolin kenakalan dan kebaikan jaman SMA lagi. Bisa ngegosipin guru-guru antik nan ajaib yang kalo sekarang kelakuannya masih gitu, bisa kena pasal perbuatan tidak menyenangkan dan pengacara bisa seliweran di dalam sekolah.

Haha.

------------------------------

pelet-10.jpg

Empet juga gak ngerokok dalam waktu yang lama. Di dalam restoran ini emang gak boleh ngerokok. Apalagi banyak anak-anak dan banyak juga yang bawa bayi. Di umur segini, banyak banget emang temen lo yang baru punya anak dan atau anaknya masih balita. Wajar lah.

Gue akhirnya memutuskan untuk jalan keluar, sambil menghela nafas panjang, karena lega. Lega akhirnya bisa menghirup asep kotor dari rokok ini.

Setelah keluar, gue ngeliat tempat duduk yang kayaknya enak dipake buat menyendiri. Gue duduk disitu, sambil memandang ke arah jalanan Jakarta yang penuh sama kuda dan sapi besi yang saling menyalak. Bergantian saling menghardik, meminta jalan seakan jalanan yang segede itu gak cukup.

Jakarta. Haha.

Gue buka satu kancing kemeja, dan duduk bersandar, sambil membayangkan pekerjaan-pekerjaan yang tersisa di kantor, yang harus mulai diselesaikan senin nanti, agar kerjaan-kerjaan yang baru bisa terus masuk, berputar kayak gitu terus aja sampe gak tau kapan.

Gila, sejak kapan sih gue jadi sinis kayak gini. Padahal perasaan dulu gue orangnya hepi-hepi aja. Ah. Sial.

Itu dia orang yang bikin gue jadi sinis. Ngapain dia keluar? Mau nelpon? Mau ngobrol sama tukang parkir? Ngapain dia jalan kesini terus senyum? Gue kan jadi terpaksa senyum juga.

“Hei”
“Hei”

Dia mendadak duduk di sebelah dan gue diem aja. Gue ngeluarin rokok dari kotak. Dan gue rogoh-rogoh saku-saku yang ada di baju dan juga celana. Dimanakah korek? Nihil. Sial. Masa masuk ke dalem dan minjem korek orang. Yaudah mau gimana lagi.

Mendadak, ada asap rokok di sebelah, dan ada korek yang lewat di depan mataku.

“Putra” dia manggil namaku.
“Ya?”
“Nih”
“Sejak kapan kamu ngerokok?”
“Udah lama"
“Oh”

Kita berdua senyum kecil lagi. Gue senyum terimakasih dan dia senyum kembali kasih. Kita berdua ngerokok sambil diem.

Shania Rahmaputri namanya. Shania. Dulu rambutnya panjang, dan pakai kacamata. Tapi sekarang enggak. Rambutnya seleher, asimetris, bikin mukanya keliatan cerah. Sekarang dia pakai soft lens. Dan dulu gak pernah pake make up, sekarang dia pake make up yang membuat mukanya keliatan natural.

Gaya berpakaiannya mirip cewek-cewek yang ada di foto-foto yang kesebar di toko pakaian asal Jepang itu. Simple tapi enak diliat. Kalo gak salah, dia sekarang jadi orang yang ngurus keuangannya salah satu perusahaan start-up yang lagi naik daun di negeri ini.

Ya, dia mantan pacarku sewaktu SMA. Kita berdua dulu putus, pas kelas tiga, menjelang kelulusan.

Putus yang tolol, gara-gara ngeberantemin hal yang gak penting sama sekali kalo dipikir-pikir lagi.

“Anaknya Ai lucu ya” celetuk Shania dengan suara pelan. Gue ngelirik ke arah dia. Sial. Rokoknya sama lagi.
“Iya. Kayak ibunya”
“Banget.”

“Ntar anak-anak pada mau lanjut ya abis dari sini” iya, gue basa-basi.
“Iya. Ikut?”
“Gak tau, liat entar”

“Aku kayaknya ikut” dia senyum tipis. “Mumpung belom jadi istri” lanjutnya dengan mukanya yang khas. Muka kalem, tapi juga playful. Kayak dia waktu jaman SMA. Tapi terus berantem bro, gimana dong. Jadi putus kan?

“Masih bebas ya kalo belom jadi istri?”
“Hehe”
“Hehe”

Oke. Sama-sama senyum. Tapi sama-sama awkward. Baru aja tadi gue bilang, agak canggung kalo ngobrol sama dia. Cuman sejauh ini kayaknya masih wajar-wajar aja. Dan gue sebenernya bisa ngehindar dengan gak ikut acara lanjutan yang gak resmi abis reuni ini. Tentu bisa pulang kan? Tapi gue kayaknya sih ikut, walau kadang, bareng sama Shania kayak gini, ada sedikit perasaan yang ga enak. Karena rasanya berantem yang terakhir sebelom kita berdua putus itu, masih kerasa kesannya sampe sekarang.

------------------------------
------------------------------
------------------------------

pallas10.jpg

Musik elektronik berdentum keras dari arah panggung. Gue bisa nikmatin musiknya. Emang enak. Tapi gue gak bisa nikmatin suasananya.

Di sebelah gue ada Shaniaa dengan rokok di tangannya dan dia menatap sambil senyum ke arah salah satu temen cewek gue juga yang ikut malem ini.

Kentang.

Itu alesan kenapa anak-anak yang masih single selalu punya acara sendiri tiap taun sehabis reuni selesai. Para jomblowan dan jomblowati ataupun yang masih belum menjadi suami istri, dengan kebebasan yang tersendiri selalu mencari hiburan seperti ini sehabis melepas kangen.

Club. Dugem. Disko. Atau apa lah namanya. Musik yang ramai disebut sebagai EDM itu berguncang-guncang di telinga gue. Segelas besar bir ada di tangan gue dan rasanya kembung. Perut yang udah penuh dari tempat makan tadi, sekarang didorong sama bir dan minuman keras yang rasanya memusingkan dan mengantukkan.

Gak cuman itu sih. Tapi rasanya sekarang udah berlebihan. Bahkan gue jadi ngobrol sama siapapun. Akibat alkohol, gue jadi lebih rajin minum daripada bicara.

“Putra!” panggil Seno dengan keras dari jarak semeter.
“Apaan?”
“Di meja sono, itu ada temen kuliah gue, banyak ceweknya, sini yuk” panggilnya lagi.

“Ah, engga ah” jawab gue dengan males.
“Kenapa?”

“Gue udah rada goyang, ntar gue ga bener kenalan sama mereka, tengsin” balas gue sekenanya. Emang bener. Perut kenyang, didesak sama minuman keras yang kayaknya dari tadi ada terus di tangan, bikin gue mual-mual mules-mules dan muter-muter.

“Ah bilang aja pengen deket-deket Shania terus yaa” bisiknya sambil melirik ke arah Shania yang sedang menghisap rokoknya sambil ketawa kecil.
“Anjing”

“Kasar sekali kamu pak….”
“Lo kira amplas kasar”
“Aspal juga kasar, sini yuk! Kenalan tuh ada yang tete-nya gede pasti lo suka” bisik Seno lagi.

“Kagak anjing, udah gue bilang gue mau disini aja, ntar gue muntahin tete-nya bisa bikin geger lagi” hardik gue dengan muka gak enak. Bukan muka kesel ya, tapi muka mabok ini. Bedakan. Please bedakan.

Ini orang bisa gak sih ngebedain antara mabok dan males. Gue mau aja, sumpah, tapi gue lebih suka ada disini daripada harus jalan dan entar jadi geger karena langkah kakiku jadi aneh kesana kemarinya.

“Bilang aja mau spend time sama Shania sebelom tu anak kawin” bisiknya dengan nada jahil.
“Enggak”
“Mau minta jatah mantan?”
“Enggak”

“Serius enggak?”

Duh malah jadi bingung dan limbung gini.

“Putra, hello…” Gue diem aja dan menarik nafas karena kayaknya kadar alkohol di dalam tubuh ini udah gak wajar. “Put” Seno narik-narik gini sih, ngehe sumpah.

“Put!”
“Hrrrllggh!!!!!”

“Anjing Put!”

------------------------------

Gue duduk dengan berusaha sadar di parkiran yang gak tau rame atau sepi itu. Berusaha untuk kembali lagi ke dunia nyata. Lumayan udah agak nyambung lagi sama alam dunia, karena tadi gue muntah. Dan muntah itu bikin gue agak sadar dikit. Iya, dikit. Sementara itu, temen-temen udah mulai pada balik karena tengah malem udah lewat.

Gue duduk di kap mobil-nya Seno. Entah sambil ngapain. Rokok kayaknya abunya udah panjang banget ini. Sementara, salah seorang temenku lagi mapah Shania ke arah sini.

Buset. Mabok juga tu bocah. Padahal dulu pas masih SMA kita berdua anak alim. Anak baik-baik. Pacaran gak ngapa-ngapain. Ciuman pertama berasa dosa. Cuma gandeng-gandengan tangan aja sama curi-curi nyender kalo nonton bioskop.

Shit, mendadak gue inget kenapa kita putus. Haha. Mungkin itu kenapa alasannya di kepalaku banyak diagram block chain dan jika maka. Sedangkan di kepalanya dia ada itung-itungan duit masuk dari investasi siapa dan harus di convert ke bentuk apa.

******. Kita berdua berantem gara-gara gue dan dia pilihan kampusnya beda.

So Trivial and so stu… Stupid… Sial, nyari bahasa Inggrisnya bodoh aja di kepalaku udah susah gini. Itulah makanya, anak-anak, khamr itu haram. Haram. Haram sekali. Tidak boleh.

Dia marah karena waktu itu gue bilang…. Ngapain masuk Ekonomi, kan kita anak IPA. Eh, dia ngambek. Gue dingambekin gak terima karena ngerasa pendapat gue bener. Terus, kita berantem. Berkepanjangan. Akhirnya putus. ******, sumpah.

Sejak saat itu, gue jadi anak sinis di kampus. Temen-temen yang kenal sama gue heran. Cuma gara-gara putus sama Shania aja kok jadi ngehek gitu si Putra. Biarin. Bodo amat. Shania juga keliatannya makin hari ke hari jadi ngehek. Sekarang aja gue baru tau kalo dia ngerokok, padahal dia dari jaman kuliah gak pernah absen kalo dateng ke reuni SMA.

“Gue mau balik” gue ngerengek ke arah temen cewek yang lagi berusaha bikin Shania duduknya agak mendingan di kap mobilnya Seno.

“Seno lagi cariin taksi sih”
“Dia yang anterin lah”
“Jangan gitu lah Put… Seno juga goyang, males kali dia harus ke Jagakarsa dulu……”

“Lewatin sekalian lah kan dia baliknya ke Ciledug gimana sih…” kesal gue.
“Ciledug… Sama Jagakarsa…. Gak nyambung dong, Put…” Shania menutup mukanya yang merah itu dan dia ngejawab gue seenaknya.

“Tanggung jawab gitu maksudnya”
“Tanggung jawab… Iya, aku setuju”
“Hadeh ini pasangan hits SMA sama-sama mabok gini…..”

“Berisik, bu…” Gue kesel.
“Iya, berisik” sambung Shania.

“Put, Taksi Put”

“Alhamdulillah” Gue bangkit dengan gerakan yang aneh. Dan dengan setengah mabuk, berusaha untuk berjalan ke arah Seno perlahan-lahan. Seno nyambut gue dengan tangan terbuka, dan kita berdua jalan ke si burung biru, yang bakal terbang dari Senopati ke Jagakarsa.

“Malem Pak” Sang supir taksi yang begitu ramah, membukakan pintu belakang untukku, dan aku ngesot langsung ke pojok, cari tempat yang aman dan nyaman, sambil berusaha mengembalikan kesadaran yang perlahan-lahan mulai menemukan jalannya ke otak.

“Eh sori.” aku buka pintu yang ada di sebelahku dan langsung buang puntung rokok. Ngapain coba bawa-bawa puntung yang udah gak nyala lagi. Kalo pun nyala, pasti ga boleh ngerokok di dalam taksi ini.

Dan mendadak aku kaget. Karena temenku yang satu lagi, mapah Shania ke arah taksi ini juga, sambil buka pintu sebelah, dan dia taro Shania yang udah keliatan kacau itu di sebelahku.

“Shania kan rumahnya Warung Buncit… Sejalan lah” senyum dia.
“Iya” Shania ngejawab dengan suara lirih.
“Euh….” gue cuma bisa komen kayak gitu aja.

“Bye” orang-orang di luar nutup pintu taksi, dan mendadak, tanpa aku bisa bilang apa-apa lagi, sang taksi meluncur. Meluncur ke tengah kegelapan malam dan jalanan yang sudah sepi.

Di bangku belakang, ada Putra dan Shania. Highschool sweetheart. Yang berantem, terus putus pas kelas tiga SMA gara-gara Putra mau ke Universitas A dan Shania mau ke Universitas B. Totong. Sialan. Kepala gue masih agak muter gini, tadi perasaan udah baik-baik aja pas jalan ke taksi. Apa karena ada di dalam mobil kegoyang-goyang ya?

“Ini kemana pak?”
“Ke arah Warung Buncit Pak” jawabku dengan sok sadar.
“Lewat Tendean berarti ya”

“Iya”

Kalo lewat kemang pasti macet. Ngapain juga lewat Kemang, bego.

“Jangan”
“Kok jangan?”
“Aku gak bisa pulang dalam kondisi kayak gini”

“Kenapa?”
“Ntar mamaku marah…. Aku…” Shania berusaha nahan muntah sambil megang mulutnya. Sial. Anak ini mabok.

“Terus kemana dong? Masa ke rumahku? Gak bisa kayak gitu ntar orang di rumah geger, aku bawa kamu….”

Iya. Kalo dia dibawa ke rumahku pasti semua pada gempar, karena Shania Rahmaputri balik lagi mengunjungi rumah itu setelah sekian taun lamanya.

“Hotel aja plis… Ntar aku bilang aku nginep di siapa gitu karena kemaleman……… Aku gak bisa pulang dalam bentuk kayak gini” Shania merajuk, memohon, dan gue cuma bisa ngangguk-ngangguk kayak orang bego. Kenapa pula gue harus ngurusin calon istri orang yang lagi mabok ini.

“Emm… Pak, kita kee…… Ya.. Pokoknya hotel yang deket aja deh…… Hehe”

Supir taksi mengangguk sambil menatap penuh curiga dari sudut matanya yang mendadak jadi sinis. Enggak kok pak, kita gak mau ngamar, kita cuma mau anter si Shania supaya dia bisa tidur di hotel. Dan dalam diam, walaupun ada aura gak setuju dari pak supir, kita meluncur ke arah sebuah business hotel yang ada di area Mampang.

Gak ada suara apa-apa saat Sopir Taksi itu menghentikan mobilnya di drop off hotel. Kami berdua turun. Gue biasa aja. Shania yang turunnya agak payah, jadi mau gak mau dia harus ngegandeng aku dengan penuh niat.

Sial. Badannya nempel, dan bau tubuhnya, bau parfumnya masuk ke dalam hidung. Kenapa gue harus ngurusin mantan pacar sampe kayak gini sih? Kita berdua dengan susah payah masuk ke dalam lobby hotel. Dan dengan sok sadar, Shania lalu ngelepasin tangannya dan dia bisik-bisik sambil ngerogoh ke dalam tas nya.

“Ini kartu kreditku……. Tolong pesenin ya, aku gak bisa ngomong serius sama Mbak-nya” dia nunjuk ke arah resepsionis dengan males-malesan.
“What?”
“Please Put….”
“Gak bisa gitu, ntar disangka kita mau ngamar….”
“Please… Ntar aku muntah kalo kelamaan… Please”

“Haduh”
“Please?”
“Haaahhh.. Udah, sini!”

“Thanks”

------------------------------

89629710.jpg

Dengan segala macam kejujuran dan kebohongan dari seorang pria yang sedang berusaha untuk kembali sadar di kala mabuk, gue akhirnya bisa memesankan sebuah kamar untuk Shania.

Sekarang, anaknya lagi muntah di dalam kamar mandi. Suaranya udah kayak raja iblis Picollo lagi bertelur lewat mulutnya. Gue duduk di dalam kamar ini, sambil gelisah karena ini bukan kamar perokok. Ntar abis anaknya naik ke kasur dan udah bisa tidur, gue bakal pulang secepatnya. Kayaknya udah bisa lumayan sadar kalo naik ojek online. Kalo kenapa-napa paling muntah di jalan.

Aku ngelihat Blazer-nya Shania teronggok di kasur. Warna abu-abu muda. High Heels nya tegeletak begitu saja di lantai. Warnanya merah kalem. Orangnya? Lagi muntah tuh di dalem. Suaranya epic.

Mendadak, ada suara flush dari toilet. Gak lama kemudian ada suara keran, dan ada suara kayak orang gosok gigi. Kayaknya cewek ini udah puas muntahnya. Gue menarik nafas lega karena ini artinya penderitaan gue akan berakhir. Gue menderita banget karena gue jadi makin inget, kalo kita berdua sebenernya sangat mesra dan lucu banget pas pacaran dulu. Pas SMA. Dua-duanya anak alim dan innocent.

Paling parah cuma ciuman lucu pas lagi malem-malem sebelum pensi. Udah. Itu doang.

Pintu kamar mandi pun kebuka. Dengan langkah yang berat, seorang perempuan cantik yang memakai skinny jeans dan atasan berkerah lebar itu merayap dari dalam kamar mandi.

“Aduh…” dia memegang kepalanya sambil bersusah payah, untuk kemudian duduk di kasur. Dia duduk di sebelah gue.

“Udah?”
“Udah"
“Masih goyang?”
“Sedikit”

“Aku pulang ya”
“Bentar… Temenin aku sampe tidur dulu, bentar” Shania langsung naik ke atas tempat tidur. Dia mengambil blazernya sambil melemparnya ke arah lantai. Gue kaget. Perasaan dulu dia anaknya gak selugas ini. Ya pasti ini karena pengaruh alkohol. Benar-benar barang yang memabukkan.

Shania berbaring sambil memegang kepalanya. Dia menatap ke arah langit-langit dengan mata nanar, dan sepertinya nyawanya geser kesamping sedikit.

“Shania, aku pulang ya…”
“No”

“Eh, gak bagus ah, kamu kan punya pacar, masa berduaan sama cowok lain di kamar hotel begini”
“Aku kan cuma minta temenin bentar sampe aku tidur………” mendadak nada bicaranya jadi sama kayak SMA dulu. Kalau merajuk minta anter biasanya nadanya gitu. “Put… Ambilin dong… Tas ku…….”

“Buat apa”
“Aku mau lepas soft lens……”
“Bahaya gak sih, mata ntar kecolok, kamu kan lagi berusaha sadar”
“Engga, udah biasa”

Gue mengangguk dan mengambil tasnya yang tadi dari mana ya? Kok bisa dengan gampang diambil gini? Ah sudahlah, pokoknya gue kasih ke dia aja sekarang. Dan Shania mendadak sibuk sendiri sambil berusaha duduk.

“Sini” Gue berusaha ngebantu dia dengan ngebiarin dia megang tangan gue, dan dia narik tangan ini dengan nada lemas. Dia senyum kecil. Senyum gak enak karena ngerepotin mantan pacarnya. Tiga tahun pacaran, dan berantem gara-gara beda pilihan kuliah.

Tanpa dia sadar, dia nyender ke bahu gue, sambil bongkar-bongkar tas. Dia lantas mengambil kotak soft-lens, dan dalam satu gerakan yang kayaknya dia udah apal banget, dia ambil soft-lens dari matanya dan kemudian dia taruh di kotaknya dengan hati-hati.

Shania? Bahu gue kenapa dijadiin tempat bersender? Gue cuma bisa diem sambil menatap ke arah bawah, gerakan nafasku udah gak beraturan karena emang isi kepala ini rasanya puter-puter. Entah deh.

“Nah” Dengan asal Shania nendang tas itu ke lantai dan dia langsung berbaring lagi. Gue noleh ke arah dia, sambil liat wajahnya. Cuma sedikit perubahan yang ada dari jaman SMA dulu. Setidaknya dia masih terlihat seperti Shania. Gak berubah banyak kayak beberapa temen SMA yang lainnya.

“Udah? Aku balik?”
“Wait”
“Tunggu apa”
“Tunggu sampai aku tidur………..”
“Kapan itu?”
“Gak tau”

“Ah well.. Kalo gak jelas gitu…”
“Kenapa gak tiduran juga Put? Pasti kepala masih muter itu” Shania melirik ke arahku dengan mata sayu dan mukanya yang agak merah.

“Apaan sih… Hahaha….. Apa yang bakal calon laki kamu pikir kalo liat situasi sekarang” omongan kayak gitu mendadak keluar dari mulut gue.

“Kita kan…. Temen? Gak ada apa-apa kan di antara kita? It should be fine… Lagian kayak yang dia bakal tau aja” balas Shania dengan senyum kecil. Senyum malas ala orang yang sedang mabuk.

“Well…” Gue langsung nyopot sepatu, dan naikin kaki ke atas kasur, dan langsung geser-geser badan untuk berbaring. Sumpah ini aneh banget. Shania dan Putra, sekarang lagi tidur-tiduran sebelah-sebelahan di kasur.

“Bau” bisik Shania.
“Apanya?”
“Kaki kamu…..”
“Yah…”

“Haha..” dia ketawa setengah berbisik. Kita berdua diem lagi, dan Shania masih natap langit-langit. Gue juga sama. Liat ke atas. Gak tau kenapa. Kita berdua diem untuk waktu yang lumayan lama. Yang bisa didenger sekarang cuma suara AC dan suara nafasnya Shania.

“Dunia aneh ya” mendadak gue buka suara. Entah kenapa.
“Aneh kenapa?”
“Kamu. Bentar lagi mau nikah, malah sekarang tidur-tiduran di hotel sama aku”
“Well… Gimana? Masa pulang?”

“Bukan gitu”
“Kenapa emangnya…. Emang aneh kalo kita kayak gini sekarang” balas Shania.
“Aneh pasti”
“Apanya yang aneh… Tadi kita setaksi gak aneh, ngobrol bareng di depan restoran gak aneh, terus…”
“Aneh karena kita pernah….”
“Pacaran?”

“Iya”
“Ini kan kita cuma….”

“Enggak cuma ini…..” sambung gue. Iya, gue bilang aja apa yang seliweran di kepala gue sekarang. “Rasanya buatku aneh, tiduran di kasur, berdua sama mantan pacar selama di SMA yang bentar lagi bakal nikah sama orang lain”

“Hmm…..” dia ngangguk. Aku bingung. Kok dia ngangguk? “Setelah dipikir-pikir lagi emang rada aneh sih……”
“Ya kan?”

“Dipikir-pikir Put…”
“Kenapa?”
“Kita pas pacaran….. Dulu… Putusnya ****** juga ya?”

“****** banget emang”
“Cuma karena kamu ngomong gitu, terus aku marah… Padahal kalo dipikir-pikir omongan kamu itu gak salah sih…..”
“Iya, dan yang kamu lakuin juga gak salah kok, kalo mau milih masuk ke sana dulu” balas gue dengan sok demokratis.

“Kalo kita gak sempet berantem kayak gitu dulu mungkin gak ya?”
“Mungkin aja”

“Kalo kita gak berantem…” Sambung Shania.
“Ya kita gak putus”
“Kalo kita….”
“Kalo kita gak putus? Mungkin masih sampe sekarang” jawab gue dengan seada-adanya.

“Ada kemungkinan juga gak kita bakal putusnya pas kuliah?”
“Mungkin juga itu”
“Terlalu banyak kemungkinan” gue bisa ngerasain Shania senyum di samping. Gue akhirnya noleh ke samping, dan tanpa sengaja, kita berdua saling tatap-tatapan.

“Kalo kita…. kita bakal…….” gue entah kenapa ngomong kayak apa gitu. Shit, apa sih, kalimat macam apa itu.
“Kita bakal apa?”
“Kalo kita gak putus, berarti kita bakal sampe sekarang gak?”

“Aku bingung jawabnya”
“Susah ya?”
“Enggak susah sebenernya” jawab Shania.
“Kenapa gak susah?”

“Karena kayaknya jawabannya iya” senyum Shania. Kita masih tatap-tatapan dengan lekat.
“Terus kalo jawabannya udah tau, kenapa bingung?” gue tersenyum kecil, sambil menatap ke wajahnya yang masih sering teringat di benakku disaat sendiri itu.

“Because if I said yes…. That’s kinda make me want to kiss you, Put…”
“Hah?”

Dan dalam satu gerakan yang cepat tanpa bisa kuhindari, tahu-tahu tangan Shania sudah ada di pipiku dan bibir kami bertemu. Dia menutup matanya, dan kami mendadak berciuman seperti sekarang. Kepalaku mendadak berputar, memutar adegan-adegan flashback kami saat SMA dulu.

Ciuman pertama kali kami. Di sekolah yang sepi. Sebelum pulang di sore hari. Bibir kami berdua bertemu di kelas yang kosong itu. Tak ada gerakan yang tak perlu. Hanya dua bibir saling bersentuhan, setelah itu wajah pun memerah. Kami berdua pulang, dengan muka yang merah padam. Kami bahkan besoknya tidak berbicara sama sekali, karena malu dan malu, serta malu.

Rasanya waktu itu, bibirnya begitu manis, rasanya begitu tanpa dosa. Tapi sekarang, aku sedang mencium bibir yang rasanya agak aneh, kombinasi rasa rokok dan pasta gigi. Tapi rasanya, memori bibir Shania sewaktu SMA kembali, ter-tato di kepalaku.

Tanpa sadar, gue memeluk pinggangnya. Badan kami berdua berdempetan. Kami masih berciuman. Kami belum pernah berciuman seganas ini. Kami selalu malu-malu dan diam-diam saat sedang berciuman. Sekarang, kami tampak saling melahap, tak jelas, dan kadang-kadang, bibir Shania yang tipis itu jadi bahan gigitan gue. Lidah kami berdua bermain, seakan-akan kami belum pernah putus dari SMA.

“Shania…”
“Ya?”
“Kita…”

“Shut up” jawabnya saat dia melepas bibirnya, dan dia mulai menimpa tubuh gue. Dia duduk di atas perut gue, sambil berusaha untuk terus ngeliat muka gue dalam-dalam. Dia lalu membuka atasannya tanpa banyak berpikir.

Dari tidak pernah ngapa-ngapain terus jadi gini? Sialan banget. Aku tidak pernah melihat tubuh Shania tanpa mengenakan atasan. Aku tertegun melihatnya dalam balutan bra berwarna hitam. Dia menatapku dengan mulut setengah terbuka, dengna tatapan yang tak fokus.

Mungkinkah pengaruh alkohol di dalam dirinya masih begitu berkuasa? Dan aku juga bertanya, kenapa aku tidak menghindar dari ini semua. Aku bisa saja meminta Shania dengan baik-baik untuk permisi, dan menghentikan semua ini. Tapi aku terbawa. Aku terbawa, dan aku merasa seperti diberi kesempatan untuk mencoba bersama lagi dengan Shania setelah melewati bertahun-tahun lamanya.

Shania berusaha membuka kemejaku dengan asal-asalan dan aku pun malah membantunya. Dengan nafas tersenggal-senggal dan gerakan yang tak terkoordinasi dengan baik, kami berdua berhasil melucuti bajuku. Selanjutnya, Shania jatuh di pelukanku. Kami saling berciuman lagi, sambil berusaha melepas celananya. Entah setan apa yang merasuk dalam diri kami, sampai-sampai celana Shania bisa sebegitu gampangnya terlepas.

“Shania…. I think”
“I told you to shut up”

Dia melumat bibir gue lagi, untuk kemudian merayap kebawah, membuka celana gue asal-asalan. Dia yang di bawah mendadak berdiri dengan tegaknya, mencoba bereaksi atas kejadian yang tidak umum ini. Setelah bertelanjang bulat, gue sedikit bangkit, agar posisi badan ini sejajar dengan Shania yang duduk di atas kasur.

Dan tanpa sadar, kami langsung berpelukan, dan gue membenamkan kepala di belahan dadanya. Jari-jari ini langsung bermain, meraba pantatnya. Gila, setelah bertahun-tahun pacaran dan cuma bisa pegang tangannya, kini jari jemari yang ada di tangan pun bermain, menyusup ke dalam celana dalam Shania, dan meraba-raba bagian sensitifnya tanpa malu.

Lidah dan bibir ini berusaha bermain memaksa, masuk ke dalam sela-sela bra-nya agar bisa melumat hal yang penting di balik itu.

And, Shit. Dia ternyata sudah basah di bawah sana. Ternyata dalam beberapa menit ini, Shania sudah siap.

“Nnh” Shania meringis kecil, saat gue berhasil menyingkap bra-nya dan melumat buah dadanya, sambil sang jadi berusaha masuk, meraba-raba bibir kemaluannya dan kemudian, dia masuk dengan tenangnya.

“Putra!” bisiknya dengan penuh nafsu saat jari-jari ini bermain di dalam dirinya. Begitu gampang gue masuk ke dalam sana, tanpa permisi, tanpa pikir panjang dan tanpa pikir-pikir. Masih gak nyangka, jari gue dengan leluasanya bisa berkenala ke sana, meraba-raba area kewanitaannya, membuatnya bernafas tidak karuan dan membuat degup jantungnya berdetak makin kencang.

“Sini” Bisiknya lagi, dan kami berciuman lagi. Buah dadanya yang udah terbuka dibiarkan begitu saja, jadi tontonan kedua mata ini yang gak henti-hentinya berusaha mikir, kalau apa yang kita berdua lakuin ini aneh dan salah, tapi rasanya, situasi sekarang bikin otak terhambat.

Shania mendadak mendorong tubuh gue, dan gue kehilangan kontrol atas badannya. Dia merayap ke arah bawah, ke tempat dimana ada yang sudah berdiri tegak, siap untuk bersatu dengan tubuh Shania.

“Ah…” Gue kaget, saat Shania tanpa aba-aba langsung melumat kemaluan gue dengan lancarnya. Dia menutup matanya, sambil mengulum dan menjilati benda vital itu, seakan-akan dia sudah sering sekali melakukannya, dan tanpa pikir panjang, tangan gue langsung membelai rambutnya, mencoba melihat mukanya yang tampak seksi, sedang berusaha untuk memberikan kenikmatan balik, setelah area kewanitaannya jadi mainan jari-jari gue.

Gue masih terduduk, dengan nyamannya, karena mantan pacar saat SMA ini sedang melakukan oral seks yang sangat-sangat menggairahkan.

Kepalanya bergerak naik turun, dengan telaten mengukur setiap senti batang kemaluan gue tanpa ada satu titikpun yang dia lewatin.

“Nnn… It should be enough… I Think?” Shania mendadak berbisik, menjauhkan kepalanya dari alat kelamin itu.
“Enough?”

“Hehe”

“Eh? Aa..” gue kaget. Gue kaget banget saat dia menyingkap celana dalamnya, dan memasukkan alat kelaminku ke dalam tubuhnya dengan sedikit memaksa. Sedikit memaksa tapi semuanya masuk dengan lancar. Tanpa diminta, tangan ini langsung menggenggam pantatnya, dan mata memperhatikan buah dadanya yang menyembul dari dalam. Dan lagi-lagi tanpa diminta, badannya langsung jatuh ke atas badan gue, dan kami lagi-lagi saling bersentuhan.

Shania melumat bibirku lagi, dengan ganas, sambil menggerakkan pantatnya dengan gerakan yang tidak karuan dan tidak terarah. Tangan gue masih meremas-remas pantatnya, dan tangannya memeluk leher gye dengan posisi yang aneh. Kepala ini rasanya berputar dan memori tentang Shania yang dulu sekarang telah hilang. Shania yang sekarang, justru sedang meliuk-liuk di dalam pikiran.

Dengan gerakan yang ganas, gue langsung membalikkan badannya, menimpanya dan langsung mengambil alih. Dia melakukannya dengan tidak beraturan, dan kini gue bakal nunjukkin kumpulan pengalaman gue setelah berpisah dengan Shania.

“Nnngghh…” Shania meringis, saat gue memegang kakinya dengan erat, dan dengan posisi yang tampaknya gak nyaman buat dia, gue memaksakan untuk bergerak di dalam tubuhnya. Mulutnya terbuka, mengeluarkan nafas-nafas aneh yang gak beraturan sama sekali. Matanya menatap ke arah wajah gue, entah apa yang ada di dalam pikirannya. Tapi dia yang tampak tidak berubah cantiknya dari dulu, kayaknya sangat menikmati malam ini.

Tatapannya begitu tenang, dan dia tampaknya benar-benar merasakan setiap hunjaman, gerakan dan manuver-manuver yang gue lakuin di dalam sana.

Kakinya berontak. Sekarang dia melingkari pinggang gue dengan erat. Dia narik tangan gue agar gue jatuh ke arah tubuhnya.

Sebelah tangannya dalam posisi yang gak wajar, membuka bra-nya agar kedua gunung kembar itu terlepaskan. Sedangkan celana dalamnya masih terpasang rapih, walaupun aku sedang berada di dalam dirinya lewat sela-sela kain yang sengaja ditarik-tarik agar aku bisa masuk.

Tanpa diminta, gue langsung meremas dan melumat buah dadanya yang indah. Inci demi inci kulitnya gue jilati dengan membabi buta. Ini gak tau kenapa bisa kayak gini. Bener-bener gila. Dari tadi siang, sore, malem, gak ada tanda-tanda bahwa hari ini bakal berakhir di sini, di atas kasur ini.

“Terus…” bisik Shania, sambil terus menciumi bibir gue.
“Hnn…” jawab gue yang gak sempet kedengeran karena bibirnya udah nempel lagi disini.

Kepala kita berdua kayaknya berputar dalam satu arus yang sama. Kita saling gak inget apa-apa lagi. Bibir kita terus-terusan saling berciuman, tangan gue tetep meremas-remas buah dadanya, dan kelamin gue terus-terusan gerak dalam ritme yang gak bisa dipegang lagi di dalam tubuhnya. Kakinya makin lama makin menegang, dia melingkar dengan eratnya di pantatku.

Entah kenapa, perasaan pusing yang tadi muncul ketika di club, sampai tadi disini yang sempat hilang muncul lagi. Muncul setiap gue berciuman dengan Shania. Bau rokok dan alkohol begitu terasa di mulutnya, walaupun ada semu-semu wangi pasta gigi yang tampaknya sangat lemah jika dibandingkan dengan kuatnya aroma tembakau dan cairan haram itu.

“Aaahh…” Shania tampak tercekat, badannya menegang dan matanya menutup. Gue gak tau itu maksudnya apa, sedang orgasmekah atau sedang menikmati kejadian ini kah, gue gak tau sama sekali. Tapi gue terus-terusan bergerak tanpa aturan, dan rasanya kayak gak ada rem apa-apa lagi yang menahan gue dari menikmati tubuh Shania, malam ini.

Gue tau ini pasti baru sebentar, tapi rasanya kayak udah lama banget.

Entah kenapa ada rasa penasaran yang bener-bener hilang sekarang. Rasa penasaran yang mungkin ada di dalam benak gue, kini udah ilang, walau gak tau itu perasaan apa. Rasa awkward dan malu-malu dikit tiap ngeliat Shania bergerak kini kok rasanya ilang, bener-bener ilang.

Badannya berkeringat, karena adegan panas yang terjadi di atas kasur ini.

Mulutnya mengeluarkan suara-suara yang menggemaskan, karena aku terus merangsangnya tanpa henti.

Tangannya memeluk badan gue dengan erat, karena dia pengen ngerasain panasnya badan ini.

Dan, saat itu, ada yang tidak bisa ditahan lagi.

“Hnn….” Shania mengerang pelan, dia tampak tercekat ketika gue keluar di dalam tubuhnya.

“Ah!” gue kaget, karena gak seharusnya selesai di dalam sana. Dan dengan otomatis, pasti gue mundur kebelakang, berusaha untuk menghentikan sesuatu yang terlambat itu.

“Just.. Stop… Putra…. Shh…..” Shania bernafas dengan berat, dia menarik tubuh gue, supaya gue gak nyabut tubuh gue dari tubuhnya. Bisa gue rasain, rasa hangat yang mengalir di dalam area kewanitaannya. Shania sama sekali gak ngomong apa-apa. Dia cuma tersenyum, ngerasain rasa nyaman yang menjalar dari bawah sana ke seluruh tubuhnya.

Gue gak bisa ngomong apa-apa, karena gue baru aja keluar di dalam tubuhnya. Ada perasaan aneh yang mencekat, dan gue mulai berpikir macam-macam. Tapi Shania kayaknya enggak, dia langsung melumat bibir gue, dan kami mulai berguling pelan, sambil berciuman. Shania seakan gak peduli sama apapun yang baru aja kejadian.

Dan sayangnya, gue langsung larut dalam suasana itu, dan gue sama sekali gak bisa mikir apa apa lagi.

Literally.

------------------------------
------------------------------
------------------------------

cockta11.jpg

Ingatan gue tetep tertinggal di kamar hotel itu. Entah gimana, Gue dan Shania yang sudah bertahun-tahun lebih gak bermesraan, di kamar itu kita menjadi satu. Setelah kejadian gila, dimana gue menyelesaikannya di dalam dirinya, kita kayak gak sadarkan diri, dan hilang sampai pagi.

Dan pagi itu pun, gue bangun sendirian.

Yang tertinggal dari Shania cuma pesan pendek di sosial media, yang bilang kalau dia pulang duluan dan terimakasih karena udah nemenin dia semalam suntuk. Gue gak mampu membalasnya dengan kata-kata panjang. Gue cuma mampu bilang “oke” ditemani dengan emoticon senyum yang kalau dipikir-pikir lagi, ada kesan ngehe di dalam sana.

Ah, malam itu gila, dan sejak pesan terakhir itu, gak ada lagi kabar dari Shania, sampai….

“Putra!”
“Eh?”

“Ngelamun aja, itu makanan kok gak lu makan-makan sih?”
“Eh…. Gapapa” senyum gue pun terkembang, berusaha nutupin apapun yang gue pikirin sebelumnya.

“Ngelamun mentang-mentang ada di kawinan mantan pacar ya?” tawa temanku itu.
“Ah, apaan sih… Hahahaha” tawaku keluar dengan otomatis. Gak tau itu ketawa beneran atau boong-boongan, yang penting kedengarannya natural.

“Tapi cakep banget ya dia, make up nya natural banget, gak kayak orang kawinan biasa yang menor sampe gak bisa dikenalin lagi”
“Cowok macem apa lo, bisa nilai make up kayak gitu” canda gue sambil tetep ketawa.
“Hahaha, tapi emang cakep kan?”

“Kalo gak cakep….”
“Kalo gak capek apa?”
“Ah, gapapa”

Gue tersenyum, sadar kalau apapun kalimat yang gue keluarin abis itu, rasanya kesannya salah. Jadi gue nutup mulut aja, sambil makan, ninggalin temen gue yang kepo itu melongo sendirian, karena nunggu kata-kata yang mungkin gak bakal keluar dari mulut ini.

Dan dari kejauhan, gue mandang Shania, yang ada di pelaminan, dengan sinar yang kayaknya keluar dari wajahnya.

Sejak malam itu, kepala gue selalu berputar-putar di seputar Shania. Dan sekarang, Shania ada di sana, udah sejak lama ninggalin gue, dan ya udah, gue ga bisa berbuat apa-apa lagi.

Yang gue bisa sekarang cuma…. Kembali malingin muka, sambil terus mengingat malam itu. Malam dimana sebuah kegiatan rutin reunian, berubah menjadi sebuah puisi epik yang terus terngiang-ngiang. Ya, Rhapsody, alias puisi epik. Entahlah. Yang pasti, malam itu gak akan pernah bisa lepas dari ingatan gue, setidaknya sampai sekarang.

Sampai sekarang.

------------------------------

TAMAT
 
hm,,,, series rhapsody masih dilanjut apa ini yang terakhir?
 
Lanjut lagi, mastahh. Selagi masih bisa nyemprot, kita ramaikan sf cerbung. Sehat selalu
 
epic banget, motongnya pas, jadi bisa buat ane mikir terusannya hehehe
 
Penantian panjang..kirain ada twist Shania akan balikan dengan Putra lagi..haha
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd