Dalam suite hotel di Los Angeles yang berdekorasi meriah, Johnny Fontane mabuk karena cemburu seperti suami biasa lain. Terkapar di sofa merah, ia menenggak scotch langsung dari botol yang dipegangnya, kemudian menghilangkan rasanya dengan memasukkan mulut ke mangkok kristal berisi es batu dan air. Saat itu pukul empat pagi dan ia mengembangkan khayalan mabuk di mana ia membunuh istrinya yang jalang waktu wanita itu pulang. Kalau istrinya pulang.
Sudah terlambat untuk menelepon istri pertamanya dan menanyakan kabar anak-anak, dan ia merasa aneh kalau menelepon teman-temannya sekarang setelah kariernya merosot. Ada saat ketika mereka merasa senang, tersanjung, kalau ia menelepon mereka pada pukul empat pagi, tapi sekarang ia akan membuat mereka bosan. Ia bahkan bisa tersenyum sedikit sewaktu berpikir bahwa saat kariernya menanjak, kesulitan yang dihadapi Johnny Fontane malah mempesona beberapa aktris terbesar di Amerika.
Sewaktu meneguk minuman dari botol, ia akhirnya mendengar suara istrinya memutar kunci pintu, tetapi ia terus minum hingga istrinya berjalan masuk ke kamar dan berdiri di hadapannya. Bagi Johnny, istrinya sangat cantik, dengan wajah bidadari, mata ungu yang sendu, tubuh mungil tapi dengan bentuk yang sempurna. Di layar putih kecantikannya makin jadi, bagai diberi sentuhan spiritual. Ratusan juta pria di seluruh dunia jatuh cinta pada wajah Margot Ashton. Dan mereka bersedia membayar untuk melihatnya di layar putih.
"Sialan, dari mana saja kau?" tanya Johnny Fontane.
"Main seks," jawabnya. Ia keliru menilai kemabukan suaminya.
Johnny melompati meja minuman dan mencengkeram leher istrinya. Tetapi sangat dekat dengan wajah yang begitu magis, mata ungu yang indah, Johnny kehilangan amarah dan menjadi tidak berdaya lagi. Margot melakukan kesalahan dengan tersenyum mengejek, melihat suaminya mengayunkan tinju. Ia menjerit, "Johnny, jangan di wajah, aku sedang membuat film!"
Margot tertawa. Johnny memukul perutnya dan Margot roboh ke lantai. Johnny menindihnya. Ia bisa mencium napas yang harum saat istrinya tersengal-sengal kehabisan napas. Johnny memukuli lengan dan otot paha di kaki yang mulus kecokelatan itu. Johnny memukulinya seperti ia dahulu memukuli anak-anak lebih kecil waktu ia remaja jagoan di Hell's Kitchen New York. Hukuman menyakitkan tanpa meninggalkan bekas yang lama seperti gigi copot atau hidung patah.
Tapi ia tidak cukup keras memukuli istrinya. Ia tidak mampu. Dan istrinya menertawakan dirinya. Telentang di lantai, gaun brokatnya tersingkap hingga keatas paha, Margot menggoda sambil tertawa-tawa. "Ayo, masukkan. Masukkanlah, Johnny. Itu yang sebenarnya kauinginkan."
Johnny Fontane berdiri. Ia membenci wanita di lantai itu, tapi kecantikan wanita tersebut merupakan perisai ajaib. Margot berguling menyingkir, dan dengan loncatan selincah penari, ia berdiri menghadapinya. Seperti anak kecil, Margot menari-nari mengejek dan bernyanyi, "Johnny tidak bisa menyakitiku, Johnny tidak bisa menyakitiku." Kemudian, dengan ekspresi hampir sedih dan kecantikan yang sendu ia berkata, "Kau bangsat tolol sialan, membuatku pegal-pegal seperti anak kecil. Ah, Johnny, kau akan selalu menjadi kelinci tolol yang romantis, kau bahkan bercinta seperti anak-anak. Kau masih beranggapan seks sama seperti lagu-lagu cengeng yang kaunyanyikan." Margot menggeleng-geleng dan berkata, "Johnny yang malang. Selamat tinggal, Johnny."
Ia berjalan masuk ke kamar tidur dan mengunci pintu. Johnny duduk di lantai, menutupi wajah dengan kedua tangannya. Keputusasaan yang menyakitkan dan penuh penghinaan menguasai dirinya. Kemudian, ketangguhan sebagai anak jalanan yang membantunya bertahan hidup di rimba Hollywood mendorongnya mengangkat telepon dan memanggil mobil untuk mengantarkan dirinya ke bandara. Ada satu orang yang bisa menyelamatkan dirinya. Ia akan kembali ke New York. Ia harus kembali menemui satu-satunya orang yang memiliki kekuasaan dan kebijaksanaan yang diperlukannya, dan cinta kasih yang masih dipercayainya. Godfather Corleone,ayah baptisnya.
***
Si tukang roti, Nazorine, gemuk dan berlemak seperti roti Italia lezat buatannya, dengan tubuh masih berlumuran tepung, mengerutkan wajah ke arah istrinya, ke arah putrinya yang telah pantas dinikahkan, Katherine, dan pembantunya sebagai tukang roti, Enzo. Enzo sudah berganti pakaian dengan seragam tawanan perang dengan pita lengan bertulisan hijau, dan ngeri keributan ini akan menyebabkan ia terlambat melapor ke Governors Island. Sebagai salah satu dari beribu-ribu tentara Angkatan Bersenjata Italia yang ditawan, yang mendapat pembebasan bersyarat setiap hari untuk bekerja dalam perekonomian Amerika, ia terus dicekam ketakutan pembebasan bersyaratnya dicabut. Jadi komedi kecil yang tengah berlangsung ini baginya merupakan urusan yang serius.
Nazorine bertanya bengis, "Apakah kau sudah menodai kehormatan keluargaku? Apakah kau memberi putriku paket kecil untuk mengingatkannya pada dirimu sesudah perang berakhir sekarang dan kau tahu Amerika akan mendepakmu kembali ke desamu yang kotor di Sisilia?"
Enzo, pemuda yang bertubuh sangat pendek dan tegap, meletakkan tangan di atas jantungnya dan menjawab sambil nyaris menangis, namun dengan cerdik, "Padrone, aku bersumpah demi Perawan Kudus bahwa aku tidak pernah menyalahgunakan kebaikan hatimu. Aku mencintai putrimu dengan segenap rasa hormat. Aku meminangnya dengan penuh hormat. Aku tahu aku tidak berhak, tapi kalau mereka mengirimku kembali ke Italia, aku tidak akan bisa kembali ke Amerika lagi. Aku tidak akan bisa menikah dengan Katherine."
Istri Nazorine, Filomena, berbicara tanpa tedeng aling-aling. "Hentikan semua ketololan ini," katanya pada suaminya yang gemuk. "Kau tahu apa yang harus kaulakukan. Pertahankan Enzo di sini, sembunyikan ia di rumah sepupu kita di Long Island."
Katherine menangis. Tubuhnya mulai gemuk, tampangnya seperti ibu-ibu, dan kumis tipisnya mulai tumbuh. Ia tidak akan pernah mendapatkan suami setampan Enzo, tidak akan pernah menemukan pria lain yang mau menyentuh tubuhnya di tempat-tempat rahasia dengan rasa cinta yang begitu penuh penghormatan. "Aku akan pergi dan tinggal di Italia," teriaknya kepada ayahnya. "Aku akan lari kalau kau tidak mau menahan Enzo di sini."
Nazorine melirik putrinya dengan ekspresi paham. Putrinya ini sedang "panas-panasnya". Ia pernah melihat Katherine menggeserkan bokongnya yang montok ke bagian depan Enzo ketika pembantunya itu melewati tempat sempit di belakang Katherine untuk mengisi keranjang-keranjang di konter dengan roti panas dari oven. 'Roti panas bajingan muda itu akan dimasukkannya ke oven anakku, pikir Nazorine kesal, kalau tidak diambil tindakan yang semestinya.
Enzo harus dipertahankan di Amerika dan dijadikan warga negara Amerika. Dan hanya satu orang yang bisa membereskan urusan seperti itu. Godfather. Don Corleone.
***
Semua orang ini dan banyak yang lainnya menerima undangan berhuruf ukir untuk menghadiri pernikahan Miss Constanzia Corleone, yang akan diselenggarakan pada hari Sabtu terakhir bulan Agustus 1945. Ayah pengantin wanita, Don Vito Corleone, tidak pernah melupakan para teman dan tetangga lama sekalipun ia sekarang tinggal di rumah yang megah di Long Island. Resepsi akan diselenggarakan di rumah itu dan pestanya berlangsung sepanjang hari. Tidak diragukan lagi pernikahan tersebut akan menjadi peristiwa yang penuh kenangan. Perang dengan Jepang baru saja berakhir sehingga tidak akan ada ketakutan yang mengganggu karena putra mereka tengah bertempur di Angkatan Bersenjata. Pesta pernikahan merupakan acara yang tepat untuk memperlihatkan kegembiraan mereka.
Dan begitulah, pada pagi hari Sabtu itu teman-teman Don Corleone berduyun-duyun keluar dari New York City untuk menyampaikan penghormatan padanya. Mereka masing-masing membawa amplop krem penuh uang tunai sebagai hadiah bagi pengantin, tidak ada yang memberi cek. Di dalam setiap amplop ada kartu nama untuk menunjukkan identitas pemberi hadiah dan tanda rasa hormat pada Godfather. Rasa hormat yang sudah selayaknya.
Don Vito Corleone adalah orang yang didatangi siapa saja untuk dimintai bantuan, dan mereka tidak pernah kecewa. Ia tidak pernah memberikan janji kosong, atau berdalih tangannya terikat kekuatan yang lebih besar daripada kekuatannya sendiri di dunia. Orang tidak perlu menjadi temannya, bahkan tidak penting apakah orang itu memiliki cara untuk membalas budinya atau tidak. Hanya satu hal yang diperlukan. Yaitu orang itu, orang itu sendiri, menyatakan persahabatannya. Kemudian, tidak peduli semiskin atau selemah apa pun orang yang meminta bantuan, Don Corleone akan memasukkan kesulitan orang itu ke hatinya. Dan ia akan menerjang apa saja yang menghalanginya mengatasi kesulitan tersebut. Imbalannya? Persahabatan, gelar "Don" yang terhormat, dan terkadang panggilan yang lebih penuh kasih, "Godfather".
Dan mungkin, hanya untuk menunjukkan rasa hormat, tidak pernah demi keuntungan, ada hadiah sederhana -segalon anggur buatan sendiri atau sekeranjang taralle berlada yang dipanggang khusus untuk menyemarakkan hidangan Natal. Maka orang pun memahami, hanya untuk menunjukkan ia tahu etiket, bahwa ia sebaiknya menyatakan berutang budi pada Don dan bahwa Don Corleone berhak memanggilnya kapan saja untuk membayar utangnya dengan suatu jasa kecil.
Kini pada hari besar itu, hari pernikahan putrinya, Don Vito Corleone berdiri di ambang pintu rumahnya di Long Beach untuk menyambut para tamu, yang seluruhnya dikenalnya, seluruhnya dipercayanya. Banyak di antara mereka yang mendapat harta kekayaan dalam hidupnya berkat jasa Don, dan pada kesempatan yang akrab ini merasa boleh memanggil "Godfather" langsung di depannya. Bahkan orang-orang yang melayani dalam pesta itu juga para sahabatnya. Bartender-nya, teman lama yang memberi hadiah berupa semua anggur yang disajikan dalam pesta pernikahan tersebut dan keahliannya sendiri. Para pelayan adalah teman-teman ketiga putra Don Corleone. Hidangan di meja piknik di taman dimasak istri Don dan teman-temannya, dan hiasan di taman yang seluas satu ekar itu ditangani gadis-gadis teman pengantin wanita.
Don Corleone menerima setiap orang-kaya dan miskin, berkuasa dan sederhana dengan menunjukkan kasih sayang yang setara. Ia tidak meremehkan siapa pun. Itulah siratnya. Dan tamu-tamu menyatakan betapa bagus penampilannya dengan setelan jas, sehingga para kenalan baru mungkin saja akan keliru menduga Don Corleone-lah si pengantin pria yang beruntung. Ia berdiri di pintu bersama dua dari tiga putranya. Yang tertua, dengan nama baptis Santino tapi dipanggil Sonny oleh setiap orang kecuali ayahnya, dipandang agak aneh oleh orang-orang Italia yang lebih tua, tapi dikagumi yang lebih muda. Sonny Corleone jangkung untuk ukuran generasi pertama orang Amerika keturunan Italia, hampir enam kaki tingginya, dan rambutnya yang ikal lebat menyebabkan ia tampak lebih jangkung lagi. Wajahnya mirip wajah Cupido yang gemuk, rautnya biasa saja tapi bibirnya berbentuk busur tebal dan sensual, dengan dagu belah. Perawakannya kekar seperti banteng, dan merupakan rahasia umum bahwa alam menganugerahinya kekuatan berlimpah hingga istrinya yang malang takut menghadapi malam pengantinnya, seperti orang kafir dulu takut terhadap cambuk. Banyak orang berbisik-bisik bahwa ketika ia mengunjungi rumah bordil waktu masih muda, putain yang paling berpengalaman dan tidak kenal takut sekalipun meminta bayaran dua kali lipat setelah melihat "alat"-nya.
Di pesta pernikahan ini, beberapa ibu muda, dengan pinggul besar, bibir lebar, memandang Sonny Corleone dengan tatapan penuh keyakinan diri. Tapi khusus hari ini mereka hanya membuang waktu.
Sonny Corleone, walaupun telah memiliki istri dan tiga anak yang masih kecil, memiliki rencana terhadap gadis pengiring adiknya, Lucy Mancini. Gadis muda ini, yang sepenuhnya menyadari minat Sonny, duduk menghadapi meja taman dengan mengenakan gaun resmi berwarna merah jambu, karangan bunga memahkotai rambutnya yang hitam mengilap. Ia main mata dengan Sonny minggu lalu sewaktu gladi resik dan meremas tangannya tadi pagi di altar. Gadis yang masih perawan tidak bisa berbuat lebih daripada itu.
Lucy tak peduli Sonny tidak akan menjadi orang besar sebagaimana ayahnya. Sonny Corleone memiliki kekuatan, juga keberanian. Ia dermawan dan hatinya diakui sebesar "alat"-nya. Tapi ia tidak memiliki kerendahan hati sang ayah, temperamennya panas dan pemarah, yang menyebabkan ia sering salah menilai. Walaupun ia sangat membantu bisnis ayahnya, banyak orang meragukan ia akan mewarisi usaha sang ayah.
Putra kedua, Frederico, dipanggil Fred atau Fredo, adalah anak yang diminta setiap orangtua dalam doanya kepada orang kudus. Bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas, setia, selalu siap melayani ayahnya, masih tinggal bersama orangtuanya di usia tiga puluh tahun. Tubuhnya gemuk pendek, tidak tampan tapi memiliki kepala Cupido yang menjadi ciri khas keluarga, dengan rambut ikal di kepala yang bulat dan bibir berbentuk busur yang sensual. Hanya saja, pada Fred, bibirnya tidak tampak sensual, tapi keras seperti batu granit. Anak yang cenderung berwajah muram ini masih menjadi sandaran ayahnya, tidak pernah menentang, tidak pernah mempermalukan sang ayah dengan skandal wanita. Meski memiliki semua sifat itu, ia tidak memiliki magnet pribadi, kekuatan hewani, yang sangat diperlukan untuk menjadi pemimpin, dan ia juga tidak diharapkan mewarisi bisnis keluarga.
Putra ketiga, Michael Corleone, tidak berdiri bersama ayah dan kedua kakaknya, melainkan duduk di meja sudut taman yang paling terpencil. Tapi bahkan di sana pun ia tidak luput dari perhatian sahabat-sahabat keluarga. Michael Corleone putra bungsu Don dan satu-satunya anak yang menolak arahan ayahnya. Wajahnya tidak gemuk seperti Cupido, sebagaimana kakak-kakaknya, dan rambutnya yang hitam legam lurus, bukan keriting. Kulitnya yang cokelat muda zaitun akan disebut rupawan kalau dimiliki anak perempuan. Ia tampan dengan gaya yang halus. Don memang pernah mengkhawatirkan maskulinitas putra bungsunya ini. Tetapi kekhawatiran itu lenyap setelah Michael Corleone berusia tujuh belas tahun.
Sekarang putra bungsunya tersebut duduk di meja sudut taman yang paling jauh untuk menyatakan keterasingan yang memang diinginkannya dari ayah dan keluarganya. Di sisinya duduk gadis Amerika yang keberadaannya telah didengar setiap orang tapi baru hari ini mereka lihat. Tentu saja Michael memperlihatkan rasa hormat yang semestinya dan memperkenalkan gadis itu kepada setiap tamu pesta pernikahan, termasuk keluarganya. Mereka tak terkesan dengan gadis tersebut. Ia terlalu kurus, rambutnya terlalu pirang, wajahnya terlalu tajam dan cerdik untuk ukuran wanita, kelakuannya terlalu bebas untuk ukuran anak gadis. Namanya juga asing di telinga mereka; ia menyebut dirinya Kay Adams. Seandainya ia mengatakan kepada mereka bahwa keluarganya sudah menetap di Amerika sejak dua ratus tahun yang lalu dan namanya adalah nama yang umum, mereka pasti cuma akan mengangkat bahu.
Setiap tamu menyadari Don tidak memberikan perhatian khusus pada putra ketiganya. Michael merupakan putra kesayangan sebelum perang dan jelas sekali merupakan ahli waris terpilih untuk mengelola bisnis keluarga bila saat yang tepat tiba. Ia memiliki kekuatan dan kecerdasan ayahnya yang hebat, naluri alamiah untuk bertindak sedemikian rupa sehingga mau tidak mau orang menghormati dirinya. Tapi sewaktu Perang Dunia II pecah, Michael Corleone secara sukarela mendaftarkan diri ke Korps Marinir.
Ia menentang ayahnya dengan berbuat begitu. Don Corleone tidak ingin, tidak berniat, membiarkan putranya tewas membela kekuatan yang asing baginya. Dokter-dokter disuap, tindakan rahasia diatur. Banyak sekali uang yang dikeluarkan untuk melakukan pencegahan yang diperlukan. Tapi Michael berusia dua puluh satu tahun dan tidak ada yang bisa dilakukan untuk menentang keinginannya sendiri. Ia mendaftar dan bertempur di Samudra Pasifik. Ia menjadi kapten dan dianugerahi beberapa medali. Pada tahun 1944, fotonya dimuat di majalah Life dengan berbagai gambar mengenai tindakannya dalam pertempuran. Seorang teman memperlihatkan majalah itu pada Don Corleone (karena keluarganya sendiri tidak berani), dan Don menggerutu kesal serta berkata, "Ia melakukan semua keajaiban itu untuk orang asing."
Ketika Michael Corleone dibebastugaskan pada awal tahun 1945 untuk memulihkan kesehatan akibat luka yang cukup parah, ia sama sekali tidak mengetahui bahwa ayahnyalah yang mengatur pembebastugasannya. Ia tinggal di rumah beberapa minggu, kemudian, tanpa berunding dengan siapa pun, mendaftar di Darthmouth College di Hanover, New Hampshire, dan dengan begitu meninggalkan rumah sang ayah. Dan ia baru pulang pada hari pernikahan adik perempuannya untuk memperkenalkan sang calon istri pada mereka, gadis Amerika yang tak menarik.
Michael Corleone menghibur Kay Adams dengan cerita-cerita singkat mengenai beberapa tamu yang lebih seru di pesta pernikahan ini. Michael geli karena Kay menganggap orang-orang itu eksotis, dan seperti biasa terpesona karena perhatian Kay yang besar terhadap apa saja yang baru dan asing menurut pengalamannya. Akhirnya perhatian Kay tertarik pada sekelompok kecil pria yang mengerumuni tong kayu berisi anggur buatan sendiri. Mereka adalah Amerigo Bonasera, Nazorine si Tukang Roti, Anthony Coppola, dan Luca Brasi. Dengan kecerdasannya yang tajam seperti biasa, Kay mengomentari kenyataan bahwa keempat pria tersebut tidak tampak gembira. Michael tersenyum. "Ya, memang tidak," katanya. "Mereka menunggu kesempatan bertemu dengan ayahku secara pribadi. Mereka mau meminta bantuan."
Dan memang mudah terlihat bahwa keempat orang itu terus mengikuti Don dengan pandangan mereka.
Sementara Don Corleone berdiri menyambut para tamu, mobil sedan Chevrolet hitam berhenti di seberang lapangan berlapis beton. Dua pria di kursi depan mencabut buku catatan dari saku jas, dan tanpa berusaha bersikap sembunyi-sembunyi, mencatat nomor pelat mobil-mobil di lapangan parkir.
Sonny berpaling pada ayahnya dan berkata, "Orang-orang itu pasti polisi."
Don Corleone mengangkat bahu. "Aku bukan pemilik jalan. Mereka boleh bertindak sesuka hati."
Wajah Cupido Sonny yang gemuk memerah marah. "Keparat-keparat busuk itu tidak menghormati apa pun."
Ia meninggalkan tangga rumah dan menyeberangi lapangan ke tempat sedan hitam itu diparkir. Ia mendekatkan wajahnya yang marah ke wajah pengemudi, yang tidak takut dan membuka dompet untuk memperlihatkan kartu identitas berwarna hijau. Sonny mundur tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia meludah hingga air liurnya mengenai pintu belakang mobil dan berlalu. Ia berharap pengemudi itu turun dari mobil dan mengejarnya, di lapangan, tapi tidak ada kejadian apa pun.
Setelah tiba di tangga kembali, ia berkata pada ayahnya, "Mereka dari FBI. Mereka mencatat semua nomor pelat mobil. Keparat sialan."