- Daftar
- 5 Jul 2018
- Post
- 149
- Like diterima
- 46
Bias mentari sore menembus kubah kaca mosaik kuil penyembuhan Haelis, membuat sebagian rambut pirangku yang tak tertutup kerudung berkilau keemasan. Tongkat berhias ornamen sayap kupegang tegak, menunjukan bahwa diriku tak gentar dengan dua pria di depanku yang berusaha mendominasi.
“Dengan segala hormat, Lady Theressa… jika anda mau memurnikannya, dunia ini mungkin akan punya sumber energi sihir tak terbatas seperti kristal sihir sang raja iblis!”
Kuremas tongkatku kuat-kuat mendengar kata-kata pria bertubuh bongkok tersebut. Tak bisa lagi kusembunyikan rasa terkejut sekaligus marah atas pengakuannya.
“Tuan Gopher! Sadarkah apa yang anda katakan barusan?! Selama berabad-abad dunia kita diteror dalam ketakutan, apakah kemewahan istana membuatmu lupa akan itu semua?!”
Laki-laki bermantel merah di sebelahnya menatapku tajam, “kau terlalu paranoid, High Priestess! Menggunakan teknologi dari dunia iblis bukan berarti raja iblis akan bangkit kembali, kan?”
“Memang, tapi aku takut ada iblis baru yang tercipta, iblis berwajah manusia dan dibutakan pada keserakahan.”
“Kau menuduhku sebagai iblis, huh?!” geram lelaki itu sambil menarik kerah gaunku.
“Aaah! Tuan Muda Roullard… tolong hentikan, jika anda menyakiti salah satu pahlawan legendaris, istana yang akan kena masalah!” lerai Gopher panik.
“Keputusan saya sudah bulat, Pangeran Roullard. Pada pertemuan besok, proyek anda dihentikan!”
“Sundal… Kau tak punya hak untuk melakukan itu, aku ini adalah pangeran kedua Erexian!! Berani sekali wanita sepertimu menentangku?”
Aku hanya menghela napas sambil melepaskan cengkeraman Roullard. Kubersihkan jubah dan gaun satin putih yang menjadi seragam kebesaran seorang healer tingkat lima. Senyumku mengembang, melihat bocah arogan yang merasa uang dan kekuasaan adalah kekuatan sebenarnya. Aku tahu orang seperti apa dia, aku sudah banyak makan asam garam selama petualanganku bersama Arthan untuk mengalahkan raja iblis sepuluh tahun lalu.
“Maaf jika saya lancang, Pangeran Roullard. Tapi ini adalah Kuil Penyembuhan Haelis, di atas tanah bangunan ini adalah daerah istimewa yang sifatnya netral. Yurisdiksi kerajaan anda berhenti hingga depan pintu gerbang,” terangku, “dan untuk segala hal yang berkaitan dengan dunia iblis, Kuil Penyembuhan memiliki hak veto untuk membatalkan sebuah kebijakan jika dirasa itu mengancam keseimbangan dua semesta.”
“Ck! Gopher, kita kembali!” bentak Roullard sambil mengibaskan mantelnya kasar.
Wajahnya terlihat begitu kesal, malu karena harga dirinya sebagai pangeran kuhancurkan dengan halus. Ketika berbalik, di hadapanku sudah ada sepasang healer pemula. Saudara kembar berambut almond yang menatapku dengan mata berbinar.
“Whoaaa!! Itu tadi keren banget, Lady Theressa!” seru yang perempuan.
Si laki-laki juga tak kalah takjub, “benar, aku gak ngerti apa-apa soal politik, tapi anda seperti melakukan skakmat pada Pangeran Roullard!”
“Ah jadi kalian melihatnya ya, Sister Rachell, Brother Raphael? Malu sekali…” gumamku seraya memegangi pipi, “apa aku terlalu keras padanya? Tadi itu aku termakan emosi.”
“Eee? Tidak… tidak… tidak! Justru orang-orang macam Pangeran Roullard itu harus dikerasin biar kapok!” tampik Rachell dengan gaya bicara cepat khasnya.
“Begitukah?”
Derap langkah memburu menggema dari ujung lorong, melintasi pilar-pilar di lantai paving berukir yang membelah taman.
“Sister Rachell, Brother Raphael! Kalian bolos lagi, ya?!” bentak healer berkacamata tebal dengan rambut disanggul.
Rachell tersentak lalu menarik gaunnya hingga selutut, “Ah sial! Sister Maria marah besar! Ayo Raphael!”
“Lady Theressa, kami kabur dulu!” sambung Raphael enteng.
Keduanya lari sekuat tenaga sambil mengangkat seragam healer yang tentu saja sangat merepotkan. Aku hanya terkekeh melihat dua penyembuh muda yang begitu semangat, menjalani hidup dengan optimis dan gembira.
Benar.
Inilah dunia yang Arthan impikan, sebuah dunia damai dimana orang-orang bisa menjalani hidup tanpa takut akan kegelapan, takut akan monster-monster yang memporak-porakan desa juga kota. Dunia dimana semua anak bisa tumbuh bersama orang tua yang lengkap, dan orang tua yang tak meratapi makam tanpa nama seperti sepuluh tahun lalu.
“Mereka itu… padahal sudah dibaptis menjadi healer, tapi tingkahnya masih kekanak-kanakan!” gerutu Maria sambil membenarkan posisi kacamata bulat besar yang bertengger di hidungnya.
“Jangan terlalu keras pada mereka, Sister Maria… toh era para petualang telah usai.”
“Anda terlalu memanjakan generasi baru, Lady Theressa! Aku hanya ingin mereka bisa jadi healer yang berguna jika dibutuhkan,” gumam Maria sambil mendengus kesal.
Napas terengah kurasakan dari belakang punggung healer tingkat tiga itu, untaian rambut perak dengan bando besar menatanya agar rapi. Gadis itu mengenakan mantel putih yang serupa dengan Maria juga Rachell, mantel seorang healer.
“Uh… La-Lady Theressa… ada surat dari Sister Irma dan Sister Rose…” ujarnya ngos-ngosan.
“Ah akhirnya datang juga… terima kasih sudah mengingatkan, Sister Elizabeth.”
“Apakah laporan tentang logistik untuk kuil di desa Northwell? Mereka sedang sedang mengabdi di sana, kan?” tanya Maria penasaran.
Aku hanya tersenyum lalu berpamitan pada Maria. Elizabeth mengikutiku hingga akhirnya kami sampai di ruang kerjaku.
“Anu… Lady Theressa, kenapa anda tidak mengatakan yang sebenarnya pada Sister Maria?”
“Mungkin terdengar dangkal tapi ini semua tentang kemampuan sihir suci para healer,” terangku, “walau sister Maria selaku healer tingkat tiga juga boleh melakukan praktek eksorsisme, tapi penyelidikannya harus dilakukan oleh healer tingkat karena misi ini sangat berbahaya, oleh karena itu akses informasi tentang penyelidikan hanya bisa diberikan pada tingkat empat keatas.”
“Lalu kenapa anda memberitahu segalanya pada saya, tentang misi Sister Rose dan Sister Irma, bahkan tentang kristal iblis itu, padahal saya hanya healer tingkat dua.”
“Hmm… karena kau spesial, Elizabeth” gumamku sambil terkekeh.
Tentu saja Elizabeth tak puas dengan jawaban yang selalu sama ketika dia menanyakan tentang perlakuan khusus yang kuberikan padanya. Hanya saja sekarang belum saatnya, tapi nanti, ketika momennya tepat dan dirinya telah siap, aku pasti memberi tahu kebenarannya.
Kubuka lembaran surat tanpa nama di hadapanku, alisku mengkerut membaca isinya. Entah kenapa perasaan ini tidak enak.
“Ada apa, Lady Theressa?” tanya Elizabeth.
“Tiga bulan terakhir, informasi yang mereka berikan selalu sama… proyek pemurnian kristal raja iblis mengalami jalan buntu.”
“Ah, jadi itu sebabnya belakangan orang kerajaan datang kepada anda.”
“Yang mencurigakan sebenarnya, enam bulan lalu Gopher dikabarkan pergi ke Blair’s Pandorum.”
“Lady Theressa… apa yang sebenarnya ada di Blair’s Pandorum?”
Aku menoleh ke arah ornamen ukiran di salah satu tembok ruanganku. Sesosok kesatria yang mewakili Arthan melawan sepasukan undead milik raja iblis.
“Necromancer Kastrelus,” bisikku.
“Maksud anda… pengkhianat itu?! Manusia yang jadi pengikut raja iblis?!”
Senyumku mengembang tipis, “tenang saja, aku sudah mengabari Sigmund dari kesatuan Paladin perihal ini.”
“Paladin Sigmund itu, tunangannya Sister Irma kan?” tanya Elizabeth.
“Iya, tahun depan mereka akan menikah dan pensiun lebih dini, setahuku mereka membeli rumah di pinggir kerajaan.”
“Menikah ya… mereka beruntung bisa bertemu di sini ya.”
“Ya… sangat beruntung…” bisikku sambil melirik ke lukisan wajah Arthan.
Langit merah senja yang menemani kami perlahan memudar, berganti dinginnya gelap malam. Aku memutuskan mengikuti Elizabeth membasuh diri di pemandian komunal.
“Apa keberadaanku mengusikmu, Sister Elizabeth?” ujarku ketika kami menanggalkan pakaian di ruang ganti.
“E-eh?! Ti-tidak! Bukan begitu, hanya saja saya sedikit kaget Lady Theressa mau bergabung bersama kami.”
Kami memasuki area pemandian wanita, udara hangat yang tebal dan lembab langsung menerpa wajah diiringi suara beberapa wanita lainnya.
“Sister Rachell jangan berlarian, ini bukan tempat bermain!”
“Eeeh, kau gak asik ah, Sister Maria!” sahut Rachell sambil berlari ke arahku, “Elizabeeeeth…”
“Hyaah!”
Aku menjerit ketika Rachell menampar pantatku keras. Keseimbanganku hampir goyah karenanya, bekas merah berbentuk telapak juga mulai tampak di atas bongkahan daging bulat itu.
“Raaachell! Itu bukan aku!!!” jerit Elizabeth panik.
“Eh?”
Maria dan Rachell kaget bukan kepalang ketika uap memudar dan bisa melihatku dengan jelas.
“Sister Rachell! Minta maaf sekarang!” bentak Maria, “maafkan saya, Lady Theressa… saya telah gagal mendidik Sister Rachell.”
Rachell bersujud padaku sambil memohon maaf berkali-kali. Aku sendiri tak terlalu mempermasalahkannya.
“Hahaha… tidak apa-apa, Maria. Lagipula Sister Rachell masih anak-anak… berapa umurnya? lima belas?”
“Delapan belas tahun.”
“Eh? Anak itu sudah delapan belas tahun?” tanyaku terkejut.
“Sister Rachell dan Brother Raphael segelintir dari mereka yang kehilangan masa kanak-kanaknya karena raja iblis.”
Aku berendam di samping Maria sambil memperhatikan dua gadis muda yang tengah bermain air di ujung kolam. Saat aku berpetualang, kuil penyembuhan banyak menampung orang-orang sakit dan yatim piatu. Beberapa dari mereka memutuskan tetap tinggal dan mengabdi di sini.
Kulirik Maria yang tak melepas pandangannya dari Rachell dan Elizabeth. Wanita ini mungkin tak punya kemampuan penyembuhan yang hebat, tapi semua orang menghormatinya, bahkan bagi healer dengan tingkatan yang lebih tinggi. Karena Maria adalah sosok ibu bagi semua yatim piatu yang pernah dirawat di kuil ini.
“Hey… hey… Elizabeth bilang ingin tahu cara supaya buah dadanya bisa sebesar punya kalian.”
Elizabeth yang panik langsung membungkam mulut sahabatnya itu.
“Si-Sister Rachell!” bentak Maria lalu berdiri, “kau akan dihukum untuk membersihkan toilet selama seminggu jika bertingkah kurang ajar lagi!”
“Hmm… mungkin banyak-banyak makanan bergizi dan selalu diurut sebelum tidur?” jawabku.
“Lady Theressa, tolong jangan ditanggapi!”
“Hahaha… Sister Maria, mau bagaimanapun juga mereka tetaplah wanita, kan? Merawat dan membuat penampilan jadi menarik itu sudah kodratnya.”
Rachell cengengesan, matanya tertuju ke arah perut kami lalu tersenyum sinis.
“Dengarkan kata-kata Lady Theressa… Sister Maria juga paling enggak harus merawat penampilan, jika bulu kemaluanmu dibiarkan lebat begitu bisa-bisa jadi sarang kutu.”
Tak kuasa aku menahan tawa mendengar sindiran Rachell yang begitu blak-blakan dan polos. Wajah Maria memerah, tentu saja darahnya mendidih karena malu dan marah karena kelakuan anak ini.
“Apa tubuh ini mengganggumu, Sister Elizabeth?” tanyaku ketika menyadari gadis berambut perak itu tak berhenti memperhatikan sekujur badanku.
Elizabeth menggeleng panik, tak tahu harus berkata apa. Aku berdiri, tangan ini membelai puting merah jambu di ujung onggokan lemak besar. Mengikuti alur lekuk perut putih merona hingga akhirnya berhenti di gundukan empuk yang kesan, tepat dibawah rambut kemaluan berwarna pirang. Di antara kami, aku memang yang palig berisi dan tinggi, dengan lekuk tubuh yang bagi sebagian besar pria mungkin akan sangat menggoda. Tapi bukan berarti tubuh ini sempurna.
“Jika telanjang begini, semuanya terlihat… setiap sayatan, tusukan, semua bekas luka ini berisi kenangan dan perjuangan kami,” gumamku pelan, “itu yang membuatku tiap malam gemetar dalam rasa takut, ingatan itu juga yang membuatku memperjuangkan dunia yang telah diciptakan Arthan ini.”
Suasana pemandian manjadi hening setelah mereka mendengar kata-kataku. Tak ada lagi tawa dan canda.
“Tuan Arthan itu… orang seperti apa?” tanya Elizabeth.
“Kurang lebih seperti Rachell, hahaha… Apa adanya, blak-blakan, mesum…” terangku, “walau begitu dia adalah seseorang yang setia dan berhati baja.”
Malam itu menjadi renungan bagi kami. Mengingat tragedi yang tak akan pernah bisa dilupakan umat manusia, dan alasan kenapa kami tak boleh bermain-main dengan apapun dari dunia iblis. Sebuah malam yang panjang untuk mengenang apa bayaran untuk kedamaian yang kami rasakan kini.
Riuh terdengar dari seluruh penjuru kuil. Mulai dari dapur, aula tengah, sampai ruang rapat. Semua petugas bersiap untuk menyambut anggota dewan empat kerajaan.
Tiga ketukan pelan terdengar dari pintu ruanganku, “Lady Theressa, Kapten Sigmund dari kesatuan Paladin ingin bertemu.”
“Masuk saja.”
Pintu dibuka, dari pantulan cermin aku bisa melihat seorang pria gagah berzirah putih berjalan di samping Maria.
“Ada apa, Sigmund?” tanyaku sambil menorehkan gincu di bibir.
“Theressa, kita ada masalah!” ujarnya dengan suara berat, “para pengawal bersenjata memaksa masuk ke area kuil.”
Aku berbalik, “kuil adalah tempat suci, jika mereka ingin masuk mereka harus menanggalkan senjatanya! Para Paladin sudah cukup untuk mengawal pertemuan ini.”
“Aku sudah mengatakan hal itu, tapi para pangeran bersikeras.”
“Pangeran? Bukan para raja dan ratu?”
“Perwakilan dewan yang datang secara kebetulan adalah pangeran dari empat kerajaan.”
“Aku takut ini bukan kebetulan… dimana mereka?”
“Sudah di ruang rapat.”
Kuraih tongkatku lalu bergegas keluar. Begitu terburu-buru hingga aku lupa mengenakan kerudung High Priestess yang seharusnya kupakai pada acara resmi seperti ini. Bersama Maria dan Sigmund, aku memasuki ruang rapat. Ruangan berbentuk lingkaran dengan kubah mosaik sebagai atapnya itu sudah dipenuhi beberapa lelaki muda dengan pakaian bagus bersama Gopher, ajudan Roullard.
“Apa maksudnya ini? Dimana raja dan ratu yang dulu menandatangani perjanjian empat kerajaan?” geramku.
“Hahaha, tenanglah Lady High Priestess… ayahku sedang ada urusan penting, jadi aku yang mewakilinya.”
Seorang lelaki gemuk mendaratkan tangannya di pantatku, mengelus-ngelus tubuhku seakan aku pelacur pribadinya. Sungguh kurang ajar, aku ini lebih tua dari mereka, statusku sebagai High Priestess, seorang pemuka agama tertinggi juga diabaikan. Terlebih orang ini melakukannya di hadapan Sigmund, seorang anggota Paladin, kesatria suci kuil. Apa dia cari mati?
Tentu saja Sigmund langsung mencengkeram lengan pria gemuk di sampingku, begitu kuat hingga laki-laki itu tak bisa menyembunyikan rasa sakitnya.
Aku menghela napas, “pangeran Willow dari Kerajaan Deildan, Pangeran Girth dari Kekaisaran Xangian, Pangeran Peston dari Kerajaan Anola, juga Pangeran Roullard dari Kerajaan Erexian… segala pembahasan yang melibatkan dunia iblis hanya boleh dilakukan oleh pemegang, atau pewaris tahta utama untuk mencapai kesepakatan.”
“Tapi kau akan tetap menggunakan hak veto bodohmu untuk mencegah dunia ini maju, bukan?”
Roullard yang sedari tadi duduk dengan kaki di atas meja akhirnya angkat suara. Pemuda itu berjalan sambil menyisir rambut merahnya yang terlihat seperti api membara lalu tersenyum remeh padaku.
“Saya mengerti anda telah mengucurkan banyak dana dan waktu untuk proyek ini, Pangeran Roullard, tapi itu harus berhenti sekarang, sekelompok pangeran yang bahkan bukan pewaris tahta tak bisa berunding di pertemuan ini!”
“Hohoho… kurasa kau salah paham, Theressa… kami kemari bukan untuk berunding,” cibir Roullard diiringi tawa dan cemoohan pangeran lainnya, “lagipula, proyek pemurniannya sudah dimulai.”
“Apa maksud-“
Belum selesai aku bertanya, Roullard menarik pinggul dan langsung mencumbu bibirku. Aku yang tak sempat menghindar hanya melotot ketika lidah orang itu menari dalam rongga mulutku. Maria melihat pemandangan mengejutkan itu terjadi dua kali berturut-turut.
“Hentikan itu anak muda! Apa kau sadar bahwa dia adalah High Priestess?! Lady Theressa adalah pemimpin tertinggi para Healer! Terlebih dia adalah pahlawan yang menyelamatkan anak-anak manja seperti kalian dari ancaman para iblis!” teriak Maria marah, “Tuan Sigmund! Kenapa kau tak melakukan sesuatu?!”
Maria menghampiri Sigmund tapi laki-laki itu mematung, ekspresinya murka seperti ingin menjotos wajah Roullard namun entah kenapa seperti ada yang menghalanginya.
“Tubuh…ku… tak bisa… ber… gerak…” bisik Sigmund berat.
Itu sihir pelumpuh! Aku meronta sekuat tenaga sampai akhirnya mendapatkan celah untuk mengayunkan tongkatku. Roullard melepas bibirnya, benang transparan yang terbuat dari liur menghubungkan bibir kami. Tanpa ba-bi-bu langsung kutampar lelaki busuk itu.
“Sister Maria! Perintahkan semua Paladin untuk menangkap orang-orang sesat ini!”
“Hmpph!”
Ketika aku berbalik kulihat seseorang membekap Maria, jemari berkuku panjang dan kotor menggerayangi tubuhnya, meremas buah dada yang masih berbalut seragam seorang pelayan Dewi Haelis. Aku berusaha berlari ke arah Maria, tapi Roullard kembali menarik perutku.
“Tuan Gopher lepaskan dia!” bentakku marah.
Gopher tersenyum lebar, matanya berubah merah dan kulitnya perlahan mengelupas seperti batang kayu tua, menunjukan wujud asli di balik topeng ajudan setia Pangeran Roullard.
“Ooh Theressa, aku sungguh… sunguh merindukamu!” sahut orang berjubah kumal itu sambil menjilati pipi Maria.
“Kau… Kastrelus si Necromancer? Jadi benar kata informanku, kalian bersekutu dengan pengikut raja iblis…” geramku, “mau sejauh mana kau tenggelam dalam kegelapan, Roullard?!”
“Hey… hey… dia hanya rekan bisnis kami, tidak lebih…” sahut Roullard enteng.
Pangeran Girth di belakang Roullard duduk sambil memainkan cangkirnya, “kami tak berniat membangkitkan raja iblis… kami hanya sekelompok pengusaha yang ingin kekuatannya dunia itu.”
“Bahkan jika kalian menyiksaku, tak akan kumurnikan kristal-kristal itu!” erangku marah.
Suara jeritan dan besi yang beradu membuatku menoleh ke ujung jendela. Biasanya Paladin tak akan kalah dengan prajurit kerajaan biasa, tapi orang-orang ini punya penyihir tingkat tinggi seperti Kastrelus di pihaknya! Teriakan minta tolong gadis dan laki-laki muda bertalu-talu dari arah altar.
Pangeran-pangeran lain tertawa ketika melihatku akhirnya sadar bahwa kuil telah dikuasai. Para Paladin berhasil dilumpuhkan dengan sihir Kastrelus sehingga prajurit lain bisa mengalahkan mereka, healer-healer tingkat satu dan dua dijadikan sandera dan dikumpulkan entah kemana.
“Ah… tenang saja, kami sudah punya metodenya… yang kami butuhkan energi yang lebih kuat dan segar dari yang sebelumnya,” bisik Roullard sambil berusaha menciumku lagi.
Kastrelus mendorong Maria hingga terjerembab di sampingku. Secara refleks langsung kutopang badannya yang gemetaran karena takut.
“Ooooh Lady Theressa, aku yakin kau akan terkejut, takjub akan metode pemurnian yang kutemukan, begitu revolusioner, begitu indah, begitu penuh hasrat!”
Suara penyihir itu mendayu namun memekakan telinga, seolah membaca prosa yang ditujukan padaku. Kastrelus menepuk tangannya hingga bergema, beberapa prajurit merangsek dan menarik dua sosok berkalung rantai layaknya hewan.
“Ouhh… Pangeran Roullard, kami aku sudah tak tahan lagi… ahh!”
“Tolong masukan sesuatu, apapun, aku tak peduli… hnnghh…”
Wanita-wanita melenguh, mendesah sambil mengekspos ketelanjangan, memamerkan kulit kumal dan rambut tubuh tak terurus tanpa menunjukan sedikitpun ekspresi malu. Payudaranya besar secara abnormal dengan areola hitam dan besar yang penuh tindikan. Puting susu salah satu wanita yang sedang hamil bahkan menganga karena sebuah kristal ungu dijejalkan di organ suci seorang ibu itu.
“Si-Sister Irma… Sister Rose… a-apa yang terjadi?”
Kakiku terasa lemas hingga jatuh bersimpuh, Maria bahkan hingga menutup mulutnya dan berusaha memalingkan wajah, tak ingin mengakui bahwa ini adalah realita. Bahuku gemetar tak percaya melihat dua orang yang begitu kukenal kini datang dengan wujud yang sangat menyedihkan.
“TERKUTUK!!! APA YANG KAU LAKUKAN PADA IRMA!!!” teriak Sigmund yang masih terbelit kutukan pelumpuh di sisi kami.
“Ahhh! Sigmund, maafkan aku karena melanggar janji kita, bahkan hingga hamil seperti ini… apa kau masih ingin menikahiku?”
Irma merangkak ke arah kami. Payudaranya diseret karena terlalu besar, begitu juga perutnya yang hamil tua. Aroma keringat dan pesing begitu menyengat. Seperti tak peduli dengan sekitarnya, Irma langsung melucuti bagian bawah zirah hingga penis Sigmund terlihat.
“Oi… oi… ternyata sundal ini tunangan si kapten Paladin, hahaha! Ironis sekali!” ledek Girth.
“Tahukah, kapten? Pacarmu suka banget ngentot, hingga semua orang di tempat kami bosan padanya. Akhirnya dia melacurkan diri di gang-gang kecil dengan imbalan sekeping uang perak,” terang Pangeran Peston diikuti tawa empat pangeran lainnya.
“Gyahahaha… kami bahkan tak tahu siapa ayah dari anak dalam perutnya!”
Prajurit lain ikut tertawa merendahkan. Sungguh ini penghujahan besar terhadap kuil, dua orang healer terhormat kini tak ada bedanya dengan hewan yang hanya peduli akan seks. Semua karena permainan menjijikan orang-orang busuk ini. Kini terjawab sudah kenapa belakangan tak ada kabar berarti dari mereka, Sister Irma dan Sister Rose sudah tertangkap dan disiksa!
Irma dengan lemah menjilati penis Sigmund hingga berdiri tegak, ukurannya cukup besar setidaknya dari pengetahuanku yang terbatas ini.
“Sigmund, memek dan duburku sudah longgar, tak mungkin bisa memuaskanmu,” ujar Irma lantang, “tapi tenang saja, masih ada satu lubang yang masih perawan, kau bisa memilikinya…”
Ekspresiku berubah ngeri melihat bagian dalam vagina Irma. Bukan hanya kepala bayi yang ada di rahimnya mulai terlihat, tapi juga fakta bahwa perempuan itu sedang mengarahkan kejantanan sang tunangan menuju lubang kencingnya.
“HENTIKAN ITU, IRMA!” jeritku panik, “SESEORANG HENTIKAN DIA, BAYINYA SUDAH MAU LAHIR, SISTER IRMA SEDANG DALAM PROSES MELAHIRKAN!!!”
“Gyahahaa! Hey, panggil yang lain! Kita punya tontonan menarik!”
Otot-ototku terasa lemas, tak ingin percaya dengan apa yang barusan kudengar. Semua terasa bergerak lambat ketika aku menoleh ke belakang. Roullard yang membekapku terlihat begitu bersemangat, begitu juga dengan pangeran-pangeran lain, menyoraki Irma yang tengah berjuang dan seorang kesatria suci di bawahnya yang kini akhirnya menangis.
Pangeran-pangeran ini masih muda, bahkan tak punya pengalaman di medan tempur, apa yang membuat mereka tega melakukan ini? Menonton, menyoraki seseorang dalam tragedi. Aku telah bertarung dengan berbagai macam iblis, tapi tak pernah ada yang sekejam ini.
“Sister Irma, Sister Rose! Sadarlah! Ingatlah jalan Dewi Haelis!” teriak Maria di sampingku, berusaha meronta dan melawan hingga Girth harus menendang perutnya.
“Maria! Kau tidak apa-apa?!”
Wanita berkacamata itu terbaring dengan mulut menganga, matanya terbuka tapi tak menanggapiku.
Peston mendekat dan mengangkat wajah Maria, “hahaha, sister kacamata ini sampai pingsan! Jangan-jangan kau menendangnya tepat di ovarium!”
“Kalian monster… bahkan jauh lebih mengerikan dari iblis!”
Kata-kataku tak terdengar di antara tawa para pangeran yang tak berperasaan, genjotan daging dua insan yang tengah tersiksa dan rintihan seorang kesatria yang menyayat hati. Walau terlihat lemah dan pucat, Irma memaksakan kontol besar Sigmund masuk ke dalam lubang kencingnya sedikit demi sedikit. Wanita itu mengemut pentil payudaranya sendiri untuk menahan rasa sakit sampai akhirnya Pangeran Peston mendekat dan menggenggam bahu Irma lalu menekannya sekuat tenaga.
“Auhhh!!!”
Sigmund dan Irma mengejan hebat, penis sang Paladin amblas masuk ke dalam urethra tunangannya hingga cairan kuning bening berhamburan kemana-mana. Irma langsung jatuh lunglai, tampak begitu kelelahan, begitu kesakitan.
“Bravo! Bravo! Seorang paladin dan healer, saling mengencingi satu sama lain, kuil ini memang terbaik!” seru Peston tanpa rasa bersalah, diikuti tawa pangeran dan prajurit lainnya.
“La… dy…. Theresh… sha…”
Aku menoleh ke arah Irma yang kembali menggenjot penis Sigmund dengan lemah bak orang sekarat. Kencing tak berhenti keluar dari saluran urethra yang kini telah sobek. Air ketubannya juga telah pecah dan mengalami pendarahan.
“Kumohon! Biarkan aku menyembuhkannya, jika dibiarkan Sister Irma bisa mati!” pintaku, tapi Roullard membekap makin keras, memaksaku menonton.
Irma hanya tersenyum, “sebelum… mati… aku ingin… menikah…”
Hatiku hancur, sedari awal Irma sadar bahwa dirinya telah jatuh hingga tak bisa diselamatkan. Irma tak berharap untuk disembuhkan karena dia tahu sudah tak bisa kembali seperti dulu lagi. Ini adalah permintaan terakhirnya. Sigmund yang terbaring kaku juga menatapku yakin.
“Kumohon… jangan berkata demikian,” pintaku, “jangan menyerah pada kehidupan…”
Irma hanya tersenyum, bahkan ketika darah keluar dari hidung dan mulutnya, wanita itu tak berhenti melayani calon suaminya dengan hal spesial yang tersisa darinya.
“Ini… sudah waktuku…” bisik Irma lirih.
Dengan berat hati kuturuti permintaannya, “I-Irma Weinsberg, apa kau bersedia menerima pria ini sebagai suamimu..?”
“Aku… ber… sedia… hnghh!”
Mendadak suasana ruangan menjadi hening ketika aku mengutarakan kalimat perjanjian. Akupun masih tak percaya harus menikahkan dua pasangan dengan kondisi yang sangat tak pantas.
“Sigmund Ford, apa kau bersedia menerima wanita ini sebagai istrimu?”
“A-ku! Ber-sedia!”
“Atas nama dan ijin Dewi Haelis, dengan ini kalian telah diberkati sebagai suami istri,” bisikku, “k-kau… boleh mencium pasanganmu.”
Bersamaan ketika Irma menyentuh pipi Sigmund dan membungkukan badan, kepala bayi yang dikandungnya keluar. Irma telah menahan rasa sakit demi bisa mencapai impiannya untuk menikah dengan Sigmund, bahkan jika harus dalam kondisi mengerikan seperti ini.
Bibir mereka berdua menyatu diikuti sorak sorai semua laki-laki bejat dalam ruangan. Ini pertama kali aku melihat sebuah pernikahan yang dipenuhi duka dan ironi. Hingga akhirnya tangan wanita itu jatuh lunglai di lantai bersamaaan dengan hembusan napas terakhirnya.
Irma akhirnya meninggal di tengah proses persalinan yang mengerikan. Bahkan lubang kencingnya masih tersangkut pada kemaluan sang suami.
“Hahaha! Bayinya juga mati, bagaimana rasanya jadi suami sekaligus ayah hanya dalam beberapa detik, Kapten Sigmund?”
Hinaan-hinaan tak pantas terus keluar dari mulut sampah pangeran-pangeran keji ini.
Rose berdiri di depanku, wajahku sejajar dengan bibir vagina menggelambir dipenuhi tindikan. Wanita itu berjongkok membuatku bisa melihat bagian dalamnya dengan lebih jelas, sesuatu yang berkilau ada di dalam sana, kontras dengan kulit kecoklatan yang dekil.
“Tenang saja Lady Theressa…” bisik Rose.
Bibirnya menunjukan senyum kecil, namun air mata berlinang di pipinya.
“Sister Rose… kumohon, jangan lakukan ini lagi…”
“Jika anda tak bersedia, healer-healer muda itu yang akan memurnikan kristal ini.”
Aku terbelalak melihat Rose mengejan kuat, pelan-pelan benda seperti kaca menyembul keluar dari kemaluannya, dan akhirnya jatuh ke lantai bersama cairan kental berwarna ungu.
Kastrelus lalu mengambil butiran kaca itu, “ini sudah didalam selama dua hari tapi belum matang juga, Pangeran Roullard… sungguh disayangkan memang, sepertinya berkat Haelis dalam tubuh mereka sudah habis, mereka sudah tidak suci lagi.”
cairan ungu gelap yang masih mengalir dari vagina Rose, kristal ungu yang menyembsul dari puting susu Irma. Kini semuanya jelas!
“Metode pemurniannya… jangan-jangan?!”
“Yeah… fragmen kristal raja iblis mentah akan berubah jadi murni di dalam tubuh seorang healer” bisik Roullard sambil mencumbu leherku.
Salah seorang pangeran menarik kristal yang ada di mayat Irma, “yang ini juga setengah matang!”
“Hey, bagaimana kalau sekarang kita gunakan dia saja?” ujar Peston sambil meremas payudara besar Maria yang masih berbalut gaun putih.
Rasa panas bergejolak di jantungku, “jangan coba-coba kau menyentuh healer lainnya!”
Roullard merangkulku, mencengkeram dada kiriku kuat sambil tersenyum mengerikan, “jika kau menuruti permainan kami, mungkin akan kupertimbangkan.”
Pelan-palan aku berdiri, Roullard juga sudah melepas bekapannya walau beberapa prajurit langsung bersiaga. Kulihat sekeliling ruangan ini lalu sekelibat aurora aneh dari kaca jendela. Kuil telah dikelilingi dengan beberapa lapis sihir hitam yang sangat kukenal, mustahil aku melenyapkan sihir ini tanpa ketahuan.
Kastrelus berjalan lunglai ke arahku bak orang mabuk, “Ooh Theressa yang rupawan, tidakkah sihir indahku ini mengingatkanmu pada masa-masa indah kita? Nostalgia yang begitu romantis, bukan?”
“Baiklah, lakukan sesukamu,” bisikku lirih, sadar aku tak bisa melawan mereka.
Aku digiring menuju altar bersama Maria yang masih sempoyongan. Belasan healer-healer muda penghuni kuil menangis dan meronta marah. Yang laki-laki babak belur karena dijadikan samsak bagi puluhan prajurit yang menyandera kami, sementara yang perempuan digerayangi tubuhnya.
Beberapa prajurit bergerombol di salah satu sudut aula, semuanya tertawa dan melontarkan lelucon vulgar. Ketika seorang prajurit keluar dari kerumunan dengan penis menggantung, aku langsung sadar apa yang terjadi. Samar-samar kulihat kilau rambut perak dari celah zirah kelompok itu.
“SISTER ELIZABETH!!!”
Segera aku merangsek ke kerumunan, memukul dan mendorong prajurit-prajurit cabul yang memaksa Elizabeth mengocok kontol mereka. Aku bahkan sampai harus mengayunkan tongkatku berkali-kali agar mereka memberi jarak.
“La-Lady Theressa…” isaknya lirih.
Langsung kupeluk Elizabeth, kutenangkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Healer tingkat dua Elizabeth memang salah satu gadis yang paling cantik di kuil ini. Kulitnya putih bersih dengan rambut perak berkilau, tubuhnya ramping dengan payudara kecil namun pas dengan proporsinya, tentu saja dia langsung menarik mata bagi orang-orang mesum. Gadis itu terbatuk dan memuntahkan sperma yang tertahan di dalam mulut.
“Elizabeth, apa mereka melukaimu? Apa mereka memperkosamu?”
“Mereka memaksaku mengocok dan menghisap kemaluannya…”
“Sungguh hina! Sudah kubilang jangan sentuh healer lainnya, Roullard!!!” jeritku murka.
Roullard mengangkat tangannya tinggi-tinggi, “semuanya hentikan, jangan sentuh ikan-ikan kecil itu karena kita sudah dapat tangkapan besar! Lady High Priestess sendiri yang akan melayani kita!”
“Wooooahh!!!”
Sorakan dan tepuk tangan riuh para prajurit menggema. Eskpresi syok tampak jelas di wajah healer-healer lainnya, begitu juga dengan Elizabeth yang menatapku tak percaya.
“Lady Theressa… tolong jangan lakukan ini…”
“Aku tak punya pilihan, Elizabeth… terkadang kau harus berkorban untuk menyelamatkan apa yang lebih penting.”
“Tarian erotis! Tarian erotis! Tarian erotis!”
Para prajurit mengelu-elukan permintaannya, menginginkan tontonan sensual yang dilakukan oleh seorang kepala kuil yang terhormat.
“Kau dengar itu, Theressa… mereka ingin kau menari,” gumam Roullard.
Tanpa berkata apapun aku berdiri, meninggalkan Elizabeth yang berusaha menarik ujung gaunku agar tak pergi. Pun begitu aku harus melakukan ini, aku tak ingin healer-healer muda ini disiksa dan berakhir seperti Irma dan Rose. Menjaga masa depan dunia ini adalah kewajibanku, itu artinya aku harus membuka masa depan bagi pemuda-pemudi yang ada dalam tanggung jawabku.
Dari atas altar aku bisa merasakan semua mata tertuju padaku. Altar di aula utama adalah tempat untuk berkhotbah yang biasa kulakukan tiap sabtu pagi. Jemaat akan duduk di kursi-kursi kayu yang telah disediakan, namun kini kursi itu disusun, ditumpuk hingga tingginya setara dengan altar dan membentuk jalan ke arah pintu masuk aula. Tujuannya apa lagi sebagai ekstensi panggung layaknya seorang penari eksotis yang berlenggok ke arah penonton.
“Kami menunggu!” celetuk seseorang dari belakang.
Jujur saja aku tak begitu tahu seperti apa tarian erotis seperti yang mereka lakukan di rumah pelesiran, hal yang paling mendekati mungkin tarian perut pada festival yang kulihat kami berada di kekaisaran Xangian.
Pelan-pelan kugoyangkan pinggul ke belakang, kucondongkan dada lalu menariknya lembut hingga membentuk gerakan gelombang. Sama seperti apa yang dilakukan para penari Xangian. Tongkat emas High Priestess kujadikan titik pusat keseimbangan tubuhku, aku bergelayut, merangkul hingga mengapit tongkat itu di antara payudaraku. Para healer tak berani melihat, semuanya memalingkan wajah karena tak terima sosok pemimpin mereka dilecehkan hingga sejauh ini.
Maria juga kini didorong hingga naik oleh Girth agar bisa menari bersamaku. Sorakan makin keras melihat dua healer senior bertubuh molek di atas panggung. Orang-orang di sisi meja berusaha mengintip ke bawah gaun yang tersingkap seiring lenggokan pinggulku. Satu demi satu, prajurit yang menjaga para sandra mendekati altar.
Pelan-pelan kutarik ujung gaun yang membelah di samping hingga kaki berbalut stoking putih terekspos, semua orang makin bersemangat dan mulai melempari koin perak sebagai saweran. Kuhampiri Maria yang masih takut, bingung dan gemetaran tak tahu harus berbuat apa.
Buah dada kami berhimpitan, sepertinya Maria masih tak percaya aku mau melakukan serendah ini untuk menghibur penyerang kuil. Kupeluk wanita itu, daguku bersandar di bahunya.
“Neur Lux Fahr Ocura.”
Maria terbelalak, dia akhirnya menyadari apa yang kulakukan saat mendengar rapalan mantra suci yang kubisikan. Aku hanya mengangguk kecil dengan tatapan mantap. Menyembunyikan jari yang bercahaya karena sedang membentuk lingkaran sihir di antara perut kami, jadi Kastrelus juga semua prajurit tak ada yang menyadarinya karena fokus melihat tarian seksi ini.
“Lady Theressa, apa yang bisa saya bantu?” bisik Maria.
“Aku akan menghancurkan lapisan sihir penghalang pintu utama, buat anak-anak berkumpul di sana!”
“Bagaimana caranya?”
“Kau adalah sister mentor, mereka tumbuh dalam pengawasanmu, mereka pasti mengerti.”
Aku berbalik dengan tangan kanan yang memegang tongkat kusembunyikan di belakang punggung. Kusibakan gaun bagian bawah hingga paha dan celana dalamku terlihat. Sementara Maria melotot ke arah Rachell dan Raphael yang saling berpelukan.
Saudara kembar itu melihat gerak-gerik sang sister mentor dan menangkap pesan Maria. Secara diam-diam, mereka menggiring kawan-kawannya ke arah pintu utama. Elizabeth yang menyadari tindakan si kembar juga ikut membantu.
Beberapa penjaga mendengar suara dari belakang langsung menoleh. Tentu saja Rachell dan lainnya langsung diam. Seperti bermain Red Light, Green Light dimana mereka berjalan ketika orang yang berjaga tak melihat.
“Kita masih kurang menarik perhatian, jika penjaga menyadari Rachell dan lainnya, maka selesai sudah…”
“Saya tak tak tahu caranya menari…”
“Sister Maria, keluarkan payudaraku.”
“Eh? Ta-tapi Lady Maria!”
“Laki-laki itu makhluk yang sederhana, perlihatkan mereka payudara wanita, maka matanya akan terpacak bagai kuda.”
Dengan berat hati, Maria menarik turun bagian atas gaunku yang menopang dada. Sepasang daging lembut perlahan menyembul, berbalut brocade transparan dari kain sutra yang tipis membuat pemandangan ini justru terkesan makin erotis.
Semua pria bersorak sorai melihat areola merah jambu di balik brocade gaun kebesaran High Priestess. Maria memainkan putingku, rasanya geli karena tergesek kain dengan serat yang cukup lebar.
“Indah! Bahkan puting susumu terlihat bak karya seni, wahai sayangku Theressa!” jerit Kastrelus seperti orang mabuk.
Aku menahan rasa malu yang terakumulasi begitu besar saat Maria meremas-remasnya, memberikan tontonan semenarik mungkin bagi buaya kelaparan di bawah kami. Tinggal sedikit lagi sampai segel sihirnya terbentuk sempurna sampai akhirnya bisa kurasakan semua lingkaran sihir tersambung. Maria langsung mundur, memberiku jarak.
Kuputar tongkat dan kuhentakan tepat di depan tubuhku, berdiri sejajar hingga cahaya yang berputar di tanganku menyebar. Membentuk lingkaran berukir cahaya di atas kepalaku. Semua orang berhenti bersorak, termasuk keempat pangeran juga si necromancer Kastrelus. Mereka terkejut melihat lingkaran sihir raksasa yang datang entah dari mana ini.
“QUASSO LUMENIS!”
Cahaya itu berpendar cepat ke arah yang kutuju, memecahkan pelindung sihir tebal seolah itu kaca. Serpihannya jatuh dan membaur bersama angin.
“LARI! SELAMATKAN DIRI KALIAN!”
Para healer langsung mendobrak pintu dan berlarian ke luar. Para penjaga juga langsung mengejar mereka, namun dihalau oleh Raphael yang bersenjatakan tempat lilin.
“Cepat pergi! Serahkan mereka padaku!” teriaknya sok kuat.
Maria yang melihat itu langsung merangsek ke kerumunan, “Raphael! Apa yang kau lakukan?! Pergi dari sini!”
“Kami ga akan pergi tanpa kalian!!” timpal Rachell.
“Tangkap mereka, jika melawan bunuh saja! Jangan sampai ada saksi mata!” perintah Roullard panik.
Dibantu Elizabeth keduanya menahan beberapa prajurit dengan papan kayu. Walau begitu usaha mereka tak lebih hanya demi mengulur waktu, ketiganya akhirnya melarikan diri ke arah belakang diikuti beberapa prajurit yang mengejar mereka.
Roullard naik ke altar, memukul perut lalu menjambak rambutku hingga jatuh berlutut di kakinya.
“Lady Theressa!” pekik Maria.
“Wanita berengsek!” geram lelaki itu gusar, “gara-gara kau rencana kami kacau!”
Sebagai healer, kami tak punya sihir untuk menyakiti manusia, terlebih kemampuan fisik kami juga pasti ada di bawah para prajurit. Satu-satunya harapan adalah Kapten Paladin Sigmund, namun pria itu terkena kutukan pelumpuh.
Keempat pangeran terlihat resah dan panik, saling menyalahkan satu sama lain hingga akhirnya Kastrelus menepuk tangannya ke atas, meminta perhatian pangeran-pangeran licik itu.
“Tenang saja, tuan-tuan sekalian… sihirku ini adalah sihir labirin waktu, sihir dari dunia iblis,” terangnya, “satu hari di dalam sini sebanding dengan satu detik di luar sana, aku yakin Lady Theressa sayangku paham, kan? Karena ini bukan pertamakalinya dia masuk ke labirin waktu.”
Willow yang sudah keringatan mendekati Kastrelus, “a-apa kau dungu?! Setelah semuanya selesai di sini, kita tetap akan jadi penjahat, kita akan dipancung atau jadi orang buangan karena telah menyerang High Pri-“
Darah terciprat ke lantai dan tembok, membentuk pola kerucut begitu luas. Setengah tubuh bagian bawah pangeran Willow masih berdiri, namun dari perut ke atas sudah lenyap entah kemana. Semua tampak bingung, tak ada yang tahu apa yang terjadi, tak ada yang bisa mengikuti betapa cepatnya sesuatu yang melenyapkan. Namun aku tahu betul apa yang dihadapi, sesuatu yang jauh lebih menakutkan dari pangeran-pangeran gila harta ini.
“Jangan ada yang memanggilku dungu, paham?” bisik Kastrelus serius.
Pangeran Girth terjatuh, kakinya gemetaran, “Ka-Kastrelus… kau… yang membunuhnya?”
“Hayah… hayah… maafkan saya untuk yang barusan, tuan-tuan… mari kita memanen kristal raja iblis sambil menikmati wanita-wanita ini selagi bisa, bukan begitu?”
Kastrelus Sang Necromancer, bahkan pada era petualang, namanya begitu ditakuti. Aku dan Arthan berkali-kali berhadapan dengannya, dengan tipu daya dan sihir-sihir mengerikan yang dia pinjam dari raja iblis. Jika seorang healer adalah pengguna sihir yang membawa kehidupan, maka necromancer adalah penyihir yang bermain-main dengan kematian.
Itulah kenapa aku dan Kastrelus sudah seperti musuh bebuyutan. Walaupun pria bermata besar itu selalu memuji dan berusaha menggodaku, tapi aku tahu betul intensi di balik kata-katanya adalah sesuatu yang sadis dan mengerikan.
“Kastrelus… haruskah kita kita masukan sekarang cairannya?” tanya Roullard sambil menjaga jarak.
“Masih banyak waktu… masih banyak waktu… sekarang mari kita biarkan mereka beristirahat, Lady Theressa ku tak boleh sampai kelelahan, hehe.”
Kamar asrama yang sehari-hari ditinggali para healer tingkat satu kini serasa penjara, mungkin lebih ketat. Paling tidak ada dua orang yang berjaga, satu di dalam kamar bersamaku, satu lagi di luar.
Aku dan Maria ditempatkan di kamar terpisah. Mungkin aku tak tahu banyak tentang industri pelacuran, tapi aku bukan orang bodoh. Aku tahu pangeran-pangeran biadab itu melihat kami para healer tak lebih dari seorang pendayang. Seseorang… tidak, sesuatu yang digunakan sebagai pemuas hasrat mereka.
Aku hanya duduk di tempat tidur kayu, merapatkan pahaku layaknya wanita bermartabat karena prajurit yang berjaga terus menatapku dengan penuh nafsu. Pintu akhirnya dibuka, sepasang jari panjang dan bengkok berlumur mencengkeram daun pintu. Pria dengan bola mata bagai buah plum menyeringai lebar ke arahku.
Walau telah berkali-kali bertarung melawannya, walau sejak tadi melihatnya. Berhadapan langsung dengan Kastrelus tak pernah membuatku berhenti merinding. Penjaga yang pertamakali melihatnya datang bahkan sampai jatuh gemetaran lalu merangkak keluar.
“Sudah lama aku tak makan janin selezat itu, hehe,” oceh Kartelis sambil menjilati sela jemari.
Mataku melotot setelah sadar tindakan biadab yang dilakukan penyihir ini, “berengsek! Kau memakan jasad bayi Irma?!”
Sudah meluap darahku hingga ke ubun-ubun. Dengan cepat kuayunkan tongkat ke arahnya, namun penyihir tersebut berhasil menghalaunya, bahkan memukulkan tapaknya di perutku. Aku terjerembab hingga akhirnya berbaring di kasur seiring Kastrelus yang terus mendorong. Tanganya tak lepas dari perutku bahkan ketika berkali-kali kupukul punggungnya.
Uh? Apa ini?
Ketika Kastrelus meracau kata-kata yang bahkan tak bisa diutarakan pita suara manusia, aku merasa sesuatu mengisi organ dalamku. Hangat, makin panas seolah rahimku bagai dipenuhi air mendidih.
“AAARRRHH!! A-APA YANG- GUHHH!!”
Aku mengejan tepat ketika Kastrelus mengangkat tangannya, bagian bawah gaunku basah karena semburan cairan lengket yang kuantitasnya abnormal. Staminaku seperti disedot keluar dari kemaluan, namun aku berusaha berdiri. Meremas erat tongkat emas yang kuarahkan padanya.
“Lumens Deus Xillia-“
Sensasi itu kembali muncul tepat ketika lingkaran sihir terbentuk. Cairan kewanitaanku muncrat di sela-sela paha, cukup kuat untuk membuatku jatuh bertekuk lutut di lantai. Apa yang sebenarnya terjadi? Aku orgasme ketika menggunakan sihir? Ini pasti ulah Kastrelus, pria itu menanamkan kutukan dalam tubuhku!
“Jangan begitu Lady Theresa ku sayang, kau bisa mati lemas jika memaksakan diri,” ujar Kastrelus dengan suara melengking khasnya, “tapi kalaupun kau mati, kau akan mati dalam kenikmatan tiada tara.”
“Bedebah… ini kutukan Succubus?!”
“Anda memang cerdas Lady Theressa, saat ini hasrat para healer sama besarnya dengan macan gunung di musim kawin.”
“Jangan bilang kau menanamkan kutukan ini pada yang lainnya?”
“Tentu saja, aku tak tega membiarkan kalian hanya merasakan sakit ketika mengerami kristal raja iblis, aku ingin kalian juga menikmatinya.”
“Menjijikan! Kau sungguh menjijikan!!!”
Kastrelus tersenyum lebar, “aku suka tatapan itu, melihatmu dari kejauhan sambil bermesra-mesraan dengan bocah Arthan itu sungguh membuatku cemburu… aku selalu menyukaimu, Lady Theressa…”
Kuludahi wajahnya, namun orang itu justru menjilat liurku dengan lidah panjang bak bunglon. Tubuhku dibaringkan di atas kasur, Kastrelus memaku bahu dan pahaku dengan badannya hingga tak bisa melawan balik. Tanpa basa-basi, Kastrelus melucuti pakaianku dimulai dari membuka ikatan korset, melepas jubah dan akhirnya menanggalkan gaunku. Kini aku terbaring telanjang bulat, tak sehelai kainpun menutupi lekuk tubuh.
“Tubuhmu bagai lukisan, Lady Theressa… kulit putih penuh goresan yang masing-masing memiliki cerita, sungguh luar biasa!!” teriak Kastrelus histeris, “suatu kehormatan bagi orang-orang yang bisa menyetubuhimu.”
“Sampai mati aku tak sudi menyerahkan tubuh ini pada necromancer sepertimu!” geramku.
“Ahh… tenang saja, saya tak akan berani, lagipula…” bisik Kastrelus seraya membelai rambut kemaluanku, “anda punya berkat dari Dewi Haelis yang begitu besar, tubuh anda sangat cocok untuk mengerami kristal raja iblis.”
“A-apa maksudmu?”
Kastrelus mengeluarkan benda lembek berwarna hitam transparan dari balik jubahnya, “ini adalah kristal mentah yang tersisa dari istana raja iblis dulu, manusia tak bisa memanfaatkan kekuatannya, akan tetapi…”
Perlahan Kastrelus memasukan benda itu ke dalam mulutku, mendorongnya dengan jari panjangnya. Tentu saja aku berusaha melawan, tapi bekapan necromancer itu terlalu kuat. Teksturnya seperti agar-agar yang pecah dan mengeluarkan cairan getir bagai empedu. Aku terbatuk dan berusaha memuntahkan kristal mentah yang kutelan tadi, tapi tak ada yang keluar.
“Apakah anda tahu, Lady Theressa? Bahwa seorang healer bisa dikatakan sebagai kuil berjalan, tubuh mereka memiliki aura suci yang sama dengan kuil ini. Terlebih mereka adalah makhluk hidup, mereka bisa memproduksi banyak sekali sekresi yang masih memiliki kesucian Haelis. Dengan mengkonsumsi itu semua, kristal akan semakin besar dan berharga.
Aku terbelalak tak percaya mendengar penjelasan Kastrelus, “kalian para iblis sungguh menjijikan! Kau mau bilang kalau kristal ini dibuat dari feses seorang healer?!”
“Hahaha, itu tidak salah, pada dasarnya tai mu memang bisa digunakan untuk proses kristalisasi. Maksudku adalah segala yang ada dalam tubuh kalian bisa dijadikan kristal, termasuk daging, darah dan sel-sel lainnya. Tapi itu akan sia-sia bukan? Jika dibunuh hanya bisa membuat satu kristal, jadi lebih baik memanfaatkan apa yang kalian buang.”
“Kau sakit, Kastrelus!” geramku.
“Hweheheh, terimakasih atas pujiannya, Lady Theressa,“ ujar Kastrelus sambil membungkuk.
Laki-laki itu menghampiri pintu dan berbicara sebentar dengan seseorang di sana. Aku masih melihat sekeliling, berusaha mencari sesuatu yang bisa kugunakan sebagai senjata membela diri hingga akhirnya suara riuh menarik perhatianku kembali. Kastrelus keluar digantikan empat orang lainnya.
“Lepaskan aku! Tidakkah kalian malu melakukan hal tak senonoh ini di dalam kuil?!”
Itu suara Maria, dia dibawa ke sini?
Sosoknya muncul dari balik pintu bersama tiga pangeran yang tersisa, masih mengenakan pakaian lengkap, namun kini Maria tak memakai tudungnya. Masing-masing melihat kami dengan pandangan penuh birahi, tentu saja secara refleks tanganku bergerak menutupi ketelanjangan ini. Maria yang melihatnya begitu murka.
“Ini sudah kelewatan! Kalian akan bisa dihukum mati karena ini semua!”
Langkah Maria terhenti ketika setetes darah mengalir dari lehernya, kuku tajam jari tengah Roullard diarahkan dekat tenggorokan. Jarinya, urat-urat tangannya, semuanya terlihat abnormal, tak seperti tangan seorang manusia.
Aku terbelalak, “Roullard… tangan itu… jangan bilang?”
Roullard tersenyum sambil menjilat sedikit darah Maria di jarinya, “heheh, ini tangan iblis…”
“Tidakkah kau sadar atas kalau kau tak akan bisa kembali hidup sebagai manusia?!”
Roullard mendorong Maria ke arahku, langsung kutangkap dan peluk wanita berkacamata itu. Maria terisak, mungkinkah dia juga dipaksa menelan kristal mentah itu? Kami hanya melirik ke arah para pangeran dengan wajah marah.
“Theressa, sedari menurutmu apa rencana kami?”
“Awalnya kupikir kau hanya bocah haus pengakuan, bereksperimen dengan kristal raja iblis demi mendapat pengaruh lebih besar di istana,” geramku, “tapi setelah melihat apa yang terjadi di sini… Roullard, kau ingin memiliki kekuatan raja iblis, bukan?”
“A-apa..? Lady Theressa… Apa itu mungkin terjadi?”
“Jika Kastrelus berada di balik semua ini, maka itu mungkin saja…”
“Bukan hanya kekuatannya, jejaknya, warisannya, aku akan jadi raja iblis yang baru!” terang Roullard blak-blakan, “untuk itulah kalian para healer diperlukan, seagai inkubator sumber kekuatan kami!”
“He-hey… Roullard, apa kau yakin kami juga harus melakukannya?” tanya Girth ragu, ekspresi Peston juga jelas terlihat kalau dia sedang ketakutan.
“Sudah terlambat kalau mau ingin mundur sekarang, kalian mau bernasib seperti si bodoh Willow?” ancam Roullard sambil menyerahkan sesuatu pada keduanya.
Girth dan Peston menelan ludah mengingat kehororan yang terjadi di altar. Masing-masing menggenggam kristal ungu seperti apa yang menancap pada puting susu Irma dan vagina Rose. Sambil memejamkan mata keduanya langsung menelan kristal itu.
Sinar ungu memancar dari mulut dan mata keduanya, Peston dan Girth mengerang, urat-urat di wajahnya membesar, begitu juga di leher dan tangannya. Napas keduanya terengah melihat ke arah kami, Peston berjalan pelan lalu menjambak Maria.
“Ahhh! Lepaskan! Lepaskan!”
Wanita itu meronta, akupun berkali-kali berusaha memukul si pangeran, namun kekuatannya jauh di atas kami berdua. Girth dan Roullard juga bergabung ke atas kasur, meraba dan membelai tubuh kami.
“Aku tak tahan lagi!” bisik para pangeran cepat.
Mereka langsung menanggalkan pakaiannya, Girth dan Peston juga melepas seragam healer Maria dengan paksa. Kini di atas kasur kecil itu sudah terbaring lima orang bugil yang siap bersetubuh kapanpun.
“Hentikan! Kumohon!”
Teriakanku tak digubris tiga anak muda itu, saat ini mereka sudah dibutakan nafsu hingga ingin memperkosa wanita yang mungkin sepuluh tahun lebih tua dari ketiganya.
“Heh! Kau tahu apa yang dibutuhkan untuk membuat kristal iblis yang bagus, Lady Theressa?” bisik Roullard, “berkat surga para malaikat yang ada dalam tubuh kalian… dan bibit neraka para iblis dari sperma kami!”
“Hyaahh!” Maria menjerit saat kedua lututnya disingkap oleh Peston.
Girth yang memeganginya dari belakang bersandar di tembok, bersebelahan denganku sambil terus meremas payudaranya. Puting kecoklatan wanita itu terlihat mulai mengeras karena stimulasi erotis dua pangeran bejat ini.
“Heheheh… bahkan seorang healer sepertimu bisa horny juga ya…” goda Peston.
Aku meringis sakit saat Roullard menggigit pentilku, mengulum lalu menyedotnya seperti bayi. Perlahan kepalanya turun sambil terus mengecupi sekujur kulitku yang dipenuhi guratan bekas luka. Mencium bagian bawah payudara, turun hingga ke perut, pusar, hingga akhirnya membenamkan wajahnya di antara pahaku.
“Auhhh!!!” erangku ketika Roullard mengeluarkan kelentit dari kulupnya.
Dua pangeran lain tertawa terbahak-bahak melihat kami menggelinjang seperti cacing. Girth menyangga punggungku dan Maria, kedua tangannya bermain dengan payudara kami dan mulutnya silih berganti mencumbu areola bak ceri di puncak cake putih.
Sedangkan Peston dan Roullard mengobok-obok vagina kami berdua. Bisa kurasakan lidahnya menjilati liang peranakanku, bahkan naik hingga ke arah urethra. Kupegang erat tangan Maria yang tak henti bergelinjang karena Peston mengemut dan menarik ulur kulit labia minor elastis miliknya dengan liar.
“Sister Maria… kau harusnya merawat area kewanitaanmu seperti Lady Theressa, jembutmu ini sudah seperti hutan saja, terlebih aromanya sangat menyegat!”
Ledekan Peston diikuti gelak tawa pangeran lainnya, sementara wajah sister Maria memerah, air mulai menggenang di pelupuk matanya karena pelecehan verbal yang begitu menusuk hati.
“Heheh, sudah saatnya kan?”
Roullard dan Peston membuka paha kami lebar, daging besar dengan urat yang berkedut ditepuk-tepukan di pintu kemaluan kami. Aku dan Maria hanya bisa melotot melihat betapa mengerikannya penis itu. Ukurannya hampir sebesar tanganku!
“Tunggu! Jika kalian memasukan itu, kemaluanku bisa hancur!” jeritku ngeri.
“Kalian ini healer, bukan? Masa memperbaiki memek sendiri tidak bisa?”
“Gyahhhh!”
Teriakan Maria menggema hingga ke lorong, matanya melotot dengan mulut menganga. Napasnya memburu sesekali tertahan karena rasa sakit yang harus diderita.
“Hey, baru segitu saja udah teriak-teriak, kontolku bahkan belum masuk setengahnya!”
Aku ingin merangsek dan mencakar wajah Peston yang menghina penderitaan Maria, tapi Roullard memaku bahuku dengan kuat. Bisa kurasakan sesuatu melejit di dinding vaginaku. Daging dan lemak mengunduk di bawah pusar ini berkedut ketika penis Roullard menyeruak paksa. Kuremas kasur sprei putih yang menjadi alas kami, bahuku bergerak tak pasti.
Mengerikan.
Sungguh mengerikan!
Rasanya bagai tombak yang perlahan-lahan diputar untuk menembus rahimku.
“Heh?! Apa ini? Sang High Priestess bukanlah seorang perawan?”
“Hahaha, aku yakin ketika dia berpetualang dulu pasti hobi banget ngentot!” timpal Girth sambil memelukku erat.
“Hahaha, kau dengar itu Sister Maria? High Priestess yang kalian agungkan bukanlah wanita baik-baik seperti yang kau kira!”
Maria menatapku tak percaya, sementara aku masih berusaha menahan sakit dari penis Roullard yang menusuk perlahan makin dalam.
Kami tersentak ketika akhirnya penis berukuran besar itu amblas secara penuh. Rasa sakit yang awalnya kurasakan perlahan memudar dan berubah menjadi sensasi geli dan nikmat. Baik Roullard dan Peston mulai menggerakan pinggulnya perlahan, menggenjot vagina kami hingga membuatku dan Maria merasa melayang di surga dunia.
“Kalian menikmatinya, bukan?” bisik Peston.
Maria menggeleng kuat, matanya terpejam menyembunyikan ekspresi nikmat yang penuh hasrat.
“Hahahah! Lihatlah wanita ini, dia menggeleng, bilangnya tak menikmati tapi pantatnya ikut bergerak maju dan mundur!”
Maria terbelalak, “tidak… itu tidak benar! Aku adalah pelayan setia Dewi Haelis, tak mungkin menikmati hal penuh dosa seperti ini!”
Roullard tersenyum puas, “sebelum menjadi healer, kau ini tetaplah wanita biasa, bukan? Bahkan Sang High Priestess meyukai seks, bukan begitu, Theressa? Pasti banyak pria kaya yang sudah menjamah tubuh seksi ini, kan?”
Laki-laki itu membelai pipiku, sekuat tenaga kutahan ekspresi wajahku agar tetap datar dan berwibawa, tak akan termakan oleh hinaan-hinaan kotor para pangeran cabul ini. Walau begitu aku tak bisa mengabaikan mental Maria yang terus menerus dipermalukan oleh mereka.
Kutarik napasku dalam, “ya… aku sudah melakukan hubungan seks beberapa kali sebelumnya, tapi kami terikat dalam niatan yang suci dan murni… kami melakukannya atas dasar cinta!”
“Huh? Jangan berikan aku omong kosong itu!”
“Laki-laki itu jauh lebih baik, jauh lebih bermartabat dan jauh lebih terhormat daripada kalian,” tambahku datar, “kalian semua tak lebih dari sekelompok goblin kotor yang memperkosa wanita-wanita malang, tak layak disamakan dengan Arthan Sang Pahlawan!”
Baik Maria dan tiga pangeran terlihat syok mendengar pengakuanku, Maria mungkin sudah tahu kalau aku memendam rasa pada Arthan, tapi tak tahu jika hubungan kami sudah sejauh itu.
“Inilah kenapa aku benci para petualang… merasa diri mereka spesial dan merendahkan mereka yang tak punya kekuatan!” geram Roullard.
Kurasakan penisnya membengkak, membesar dalam kemaluanku. Tak mampu lagi kupertahankan wajah datar ini sampai akhirnya mataku melotot, berputar karena rasa sakit dan nikmat bercampur menjadi satu sensasi yang tak dapat dijelaskan.
“Hey! Kalian dari tadi bersenang-senang, punyaku nganggur nih!” seru Girth yang mulai bosan memainkan payudara kami.
“Tenang saja Girth, wanita itu punya beberapa lubang yang bisa kau gunakan,” sahut Peston dan menyodorkan pantat Maria.
“Tu-tunggu! Itu untuk membuang hajat! Jika sesuatu sebesar itu dimasukan…”
“Hehehe… kuharap kau sudah cebok dengan benar, Sister Maria…”
Maria menjerit, mengerang kesakitan saat Girth menyodominya. Gas tubuh terus keluar ketika pangeran berkulit hitam itu menarik penisnya. Bagi mereka, mempermalukan harga diri kami adalah sebuah hiburan.
“Dasar wanita tak tahu terima kasih, sudah kuberi kenikmatan malah kentut sembarangan!”
“Maafkan aku… maafkan aku… maafkan aku!”
“Kalau begitu makan ini!”
Sekali ayunan, Girth menanamkan seluruh tongkatnya ke dalam dubur Maria. Healer tingkat tiga itu langsung menengadah, matanya terbelalak karena syok namun tak sedikitpun suara terdengar. Sebagai gantinya mulutnya mulai berbuih, busa berwarna putih keluar bak sabun cucian dan mengalir di pipinya.
“Maria! Kuatkan dirimu!” teriakku panik.
Kupeluk Maria untuk menenangkannya, setidaknya yang kami punya satu sama lain untuk saling berjaga.
“Tidak apa-apa Maria… Yang penting junior kita tak perlu mengalami ini semua… pengorbananmu akan dibalaskan.”
Tampaknya semua ini terlalu berat baginya hingga akhirnya pingsan tak sadarkan diri. Walau begitu tiga pangeran tak bermoral itu terus memperkosa kami sampai akhirnya kurasakan sesuatu yang hangat memenuhi rahimku, bercampur dengan cairan kewanitaan yang membanjiri selangkangan kami sedari tadi.
“Hahahaha… siapa sangka healer-healer ini memang daging segar berkualitas! Kalian harusnya jadi pendayang kami di istana!”
Roullard mencabut penisnya, diikuti Peston dan Girth. Cairan putih kental mengalir dari lubang bekas persetubuhan kami. Darah segar juga tercampur dari kemaluan Maria, Peston dan Girth telah merengut keperawanan vagina dan analnya.
“Kuharap kalian mengerami kristal-kristal itu dengan baik, kami akan kembali memberi asupan pejuh iblis ini.”
Ketiganya keluar meninggalkan kami, sementara aku sibuk mengorek liang peranakanku dan Maria agar air mani yang bercampur kekuatan dari dunia iblis tak masuk sepenuhnya.
“Lady… Lady Theressa… aku sudah tak pantas menjadi pelayan Dewi Haelis lagi…” isak Maria, “kesucianku… mereka mengotoriku hingga jatuh begitu dalam.”
“Hentikan itu, Maria… kesucian wanita tak hanya diukur dari keperawanannya!”
Aku berusaha menghiburnya seraya mengaliri sihir penyembuhan pada vagina dan anus Maria yang telah sobek dan menganga. Tentu saja kutukan Succubus milik Kastrelus membuat mani mengalir deras dari ovariumku, tapi aku terus bertahan agar lingkaran sihirnya tak pecah, setidaknya sampai kemaluan Maria pulih.
“Tapi tadi itu… tadi itu, tubuhku menikmatinya!”
Maria menangis, menutupi wajahnya karena malu akan apa yang telah diperbuatnya. Aku yang sudah terlalu lelah langsung ambruk di perutnya.
“Lady Theressa! Apa yang terjadi?!”
“Uhh… maafkan aku… Kastrelus menanam kutukan pada tubuhku…” bisikku ngosngosan, “aku tak bisa menggunakan sihir… ahhh!”
Cairan kental muncrat dari selangkanganku, melesat hingga menetes ke lantai yang cukup jauh dari kami.
“Astaga… jangan memaksakan diri lagi, Lady Theressa!”
“Selaput daramu… sudah kembali… itu penting untukmu, bukan? Berikanlah pada laki-laki spesial yang kau cintai dari lubuk hati terdalam, Maria…”
Maria memeluk tubuhku yang telah lunglai, rasanya hangat dan lembut. Kami sudah terlalu lelah bahkan hanya untuk berpikir melarikan diri.
Entah sudah berapa lama kami dikurung, mungkin dua hari. Itu hanya berjalan dua detik di luar kubah sihir Kastrelus, kan? Selama itu pula Roullard dan pangeran lain silih berganti datang untuk menyetubuhi kami. Hari ini kurasa giliran Girth.
Suara hantaman keras membangunkanku dan Maria yang telah terlelap kelelahan. Seseorang memukul pintu kamar kami, sepertinya dengan sebuah benda besi yang keras.
Tapi siapa?
“Kau terlalu berisik, penjaga yang lain bisa mendengar!”
Bisikan dari suara yang familiar bagiku merembes dari tembok batu, seorang perempuan. Gerendel pintu akhirnya patah dan tiga orang berpakaian putih-putih melompat hingga jatuh saling timpa di lantai. Dengan cepat mereka mengambil posisi siaga, seorang gadis berambut perak dan sepasang saudara kembar mengacungkan teflon, wajan dan pisau dapur ke arah kami.
“Lady Theressa, Sister Maria! Kami datang untuk menyelamatkan kalian!”
Hening melanda selama beberapa detik ketika ketiganya melihat kami berpelukan telanjang bulat.
“Waaah!! Raphael tutup mata mu!”
Rachell langsung menghalangi wajah saudaranya dengan wajan, sementara Elizabeth mengambil pakaian kami dan menyodorkannya dengan wajah semerah tomat.
“Apa yang kalian lakukan di sini?!” bentakku marah, “kupikir kalian sudah melarikan diri dari kuil ini!”
“Maafkan kami, Lady Theressa...” ujar Elizabeth lirih.
“Kami tidak bisa diam saja saat kalian diperlakukan seperti tadi!” timpal Rachell.
Aku dan Maria akhirnya selesai mengenakan pakaian, dari senjata yang mereka bawa, sepertinya ketiganya sempat bersembunyi di dapur ketika dikejar para penjaga. Aku mengintip ke lorong, dua prajurit yang berjaga sudah pingsan karena dihajar tiga anak bandel ini. Selebihnya tak terlihat penjaga lain sepanjang lorong.
“Lady Theressa, maaf jika ini sedikit lancang, tapi kenapa kalian telanjang?”
“Raphael!!” seru Rachell dan Elizabeth bersamaan.
Maria menunduk sedih, begitu malu mengakui aib yang baru saja terjadi, tapi informasi ini mungkin akan sangat krusial mengingat Elizabeth dan Rachell juga seorang wanita. Terlebih kami semua adalah healer, jadi bahkan Raphael mungkin tak akan lepas dari ancaman harus mengerami kristal raja iblis.
“Kami diperkosa…” bisikku.
Ketiganya tersentak tak percaya, kujelaskan segalanya dari awal, dari misi yang kuberikan pada Irma dan Rose, tentang proses kristalisasi kristal iblis, hingga rencana Roullard dan Kastrelus. Mereka kini tertunduk galau, tak berani melihat kami karena membayangkan semua kengeriannya.
“Aku tak percaya… hal sejahat itu… hiks…”
Raphael langsung memeluk dan membelai rambut saudarinya yang menangis. Elizabeth juga mulai terisak, tatapan matanya seperti orang yang telah menyerah pada kemanusiaan. Aku dan Maria saling tatap, inilah sebenarnya yang kukatakan pada Maria. Healer-healer muda ini tak tahu seberapa kejamnya manusia di luar sana, mengorbankan tubuh kami demi menyelamatkan generasi muda adalah harga yang pantas, sepertinya Maria mulai menyadari itu. Kami berlima berpelukan di lorong, menghangatkan hati satu sama lain.
“Kita akan keluar dari sini… aku janji…”
Terakhir diubah: