Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TRJBK NSTLG

Bimabet
Gegara awal baca karya suhu ajay, gw jd terobsesi sm raisa
 
Terakhir diubah:
"Liz.... Umm..."

"Apa?"

"E-enggak.. nggak jadi.. enggak apa-apa."

"Huu, ngomong nggak jadi.."

"Liz..."

"Yah?"

"Beha-nya bagus yah." Aku menunjuk ke jemuran kost-kostan cewek di sebelah.

Sore itu kami duduk di teras kost-kostan ku. Sebenarnya hari itu aku bertekad untuk mengungkapkan perasaanku kepada Liz.

Maka hari ini, di hari berbahagia ini, aku mengumpulkan segenap keberanianku untuk berkata:

"Liz, sebenarnya...."

Liz menatapku dalam-dalam.

"Sebenarnya, weteng inyong kencot.... makan yuk..." aku berkata, kebetulan ada dagang nasi goreng lewat depan rumah. Kami membeli dua piring, sebelum aku melanjutkan kalimatku.

"Liz sebenarnya aku sayang sama kamu," kataku pada akhirnya, sambil mengunyah nasi goreng.

"Hehehehe.. aku juga sayang kamu kok Jay," Liz menyahut jenaka, dengan mulut yang penuh kerupuk. Yak, peluang di depan gawang sodara-sodara!

"Liz... ehem... k-kamu mau nggak, j-jadi pacar aku?"

Liz terdiam, menyelesaikan menelan kerupuknya.

"Aku pengen kita begini aja."

"M-maksud... mu?"

"Jay, dari dulu aku sudah sayang sama kamu, tahu... tapi..."

Jantungku dag-dig-dug tak karuan.

"Pacaran itu...," ia terdiam sebentar, "... menyakitkan, Jay."

Memang, tapi indah juga kan?

Liz menggenggam tanganku. "Jay, kamu itu spesial, lebih spesial dari Bang Igo atau yang lain... aku cuma nggak pengin kehilangan kamu kalau nantinya kita putus."

"J-jadi.... a-ane d-ditolak?" Nasib....jadi jomblo kadaluarsa...

Liz menggeleng dan tersenyum, diraihnya kepalaku pelan, hingga bibir kami yang penuh minyak dan kerupuk saling menempel.

"Mudah-mudahan ini bisa menjawab pertanyaanmu...," ucapnya sambil tersenyum, cantik sekali, dan Liz tidak menolak ketika aku kembali meraih dagunya, mengecup bibirnya lembut.

Kami berciuman di bawah langit sore, diiringi suara penjual Sari Roti yang lewat di depan rumah. "tiroti roti sariroti."

Begitulah, akhirnya hubungan kami hanya berakhir sebagai TTM. Part Time Lover, Full Time Friend.

= = = = = = = = = = = = = = = = =

Fragmen 6
Kontjo Mesra


Rasa cinta yang dulu telah hilang
Kini bersemi kembali...


Telah kau coba lupakan dirinya,
Hapus cerita lalu
...

Dan lihatlah, dirimu bagai
bunga di musim semi


Yang tersenyum
menatap indahnya dunia
Yang seiring menyambut
jawaban segala
gundahmu


Sebenarnya aneh juga, aku dan Liz kini leluasa bermesraan meski tanpa embel-embel pacaran. "Buat apa sih status? Cuma sebagai papan nama doang? Buat gaya-gayaan di wall FB?" begitu kilah Liz. "Yang penting saling cinta, saling sayang," tandasnya lagi.

Mungkin Liz ada benarnya juga, tanpa embel-embel status-pun, aku sudah sangat bahagia bisa bersama Liz. Seperti saat malam berikutnya kami berjalan- jalan ke Alun-alun Kidul Yogyakarta.

Seperti layaknya pasangan baru, kami berjalan dengan bergandengan erat. Liz menyandarkan kepalanya di lenganku, kami berputar-putar mengelilingi tempat itu, melewati penjual mainan dengan dekorasi lampu yang melingkar-lingkar membentuk hati.

"Jay, senyum!" ucap Liz, sambil mengambil foto kami dengan kamera ponselnya.

Malam itu kami menikmati hangatnya ronde di alun-alun kidul, sambil memandangi pohon beringin kembar dan kerlap-kerlip sepeda tandem yang dihiasi dengan lampu LED (Light Emitting Diode) sehingga lapangan itu dipenuhi dengan warna-warni yang indah. Sampai di tempat yang menjual gula-gula, aku membelikan Liz setangkai gula-gula kapas yang besar.

Mata Liz berbinar-binar saat aku menyodorkan manisan gula itu. Dikecupnya pipiku penuh sayang.

"Jay, kamu so sweet banget sih? Hehehe..."

"Ya iyalah, Ajay Vijay Hotahai, jejaka idaman sekecamatan gituh."

"Hehehe.. kenapa sih Jay, kamu baru nembak aku sekarang?"

"Gimana dong, waktu itu kan aku masih jadi homo."

"Huuu... Coba nembaknya dari kemaren-kemaren. Coba kamu nembak aku... sebelum Bang Igo." Liz tersenyum getir ketika menyebut nama mantan pacar yang telah memerawaninya. "Cobaaaa aku jatuh cintanya sama kamu aja, Jay. Pasti pacarannya asyik kali, ya... kamu seru... lucu... agak-agak miring dikit.... hehehe..."

"Hehehe... makanya terima atuh cinta aku...."

Liz hanya tertawa renyah, dikecupnya pipiku sekali. Sementara seorang pengamen datang dan menyanyikan lagunya Jikustik tak jauh dari tempat kami berdiri.

"Bila, kau sanggup untuk melupakan dia / izinkan aku hadir dan menata ruang hati yang tertutup lama..."

"Jika kau masih ragu untuk menerima / biarkan hari kecilmu bicara....// karena kuyakin kan datang saatnya / kau jadi bagian hidupku... kau jadi bagian hidupkuuuu...."

"Tak kan pernah berhenti, untuk saling percaya / walau harus menunggu seribu tahun lamanya // Biarkanlah terjadi, wajar apa adanya / walau harus menunggu 1000 tahun lamanya...."

Asli, romantis abis. Sayangnya pengamennya banci.

= = = = = = = = = = = = = = = =​

Malam yang semakin menua mengarahkan motorku kembali ke arah perkampungan padat tempat rumah kostku berada. Seperti malam-malam sebelumnya, malam itu Liz pulang ke kosku. (Sepertinya aku harus mulai rajin memberi upeti kepada Slamet dkk, agar mereka tidak comel, dan cerita yang aneh-aneh!)

Karena belum mengantuk, aku dan Liz menonton TV melalui TV tuner yang dihubungkan ke monitor PC-ku. Kalau tidak salah, waktu itu acaranya sinetron laga yang di-dubbing.

Liz menggelendot manja di dadaku, lengannya yang mungil memeluk perutku, Menyaksikan tayangan absurd tentang tongkat yang bisa berbicara, serta Puteri Kerajaan yang mengenakan behel.

"Jay, tahu nggak. Sebenarnya dari aku naksir kamu dari waktu semester satu, tahu," Liz berkata tiba-tiba. Entah kenapa.

"S-sama. A-aku juga naksir kamu dari dulu... he... he... hehe..."

"Bohong. Waktu itu kamu kan masih ngejar-ngejar Senja."

"Hahahaha ungkiiit teruuuuus," ucapku sambil mencubit Liz, sekalian curi-curi mencium pipinya.

Liz mengekeh lucu. "Genit, ih."

"Hehehe, habisnya kamu cantik banget sih." Aku mencubit pipinya yang lucu.

"Huuuuu gombal! Kain pel gombaaaal!!!" Liz meronta jenaka sambil tertawa-tawa. "Sekarang kutanya, cantik mana aku sama Senja?"

"Cantik kamu, lah!"

Liz mencubitku. "Kalau Senja yang nanya pasti beda lagi jawabannya," cewek tomboy itu memonyongkan bibirnya mengejekku, dan langung saja kusosor bibir itu.

Liz meronta sambil terkikik-kikik, namun di detik-detik terakhir ia membalas ciumanku dengan tak kalah ganas. Kami berpagut, sambil melengguh dan membelai tubuh masing-masing. Hingga akhirnya Liz terkikik lucu, menyadari ada sesuatu yang mengeras di bawah sana.

"Emang ya, dasar bandar bokep. belum apa-apa udah berdiri."

"Ya iyalah! Make out sama cewek seksi gini gimana nggak berdiri coba? Kalau nggak berdiri itu malah nggak normal!" ucapku sambil nyengir, memperbaiki posisi 'Si Jay-HO' yang sudah berniat melakukan pemberontakan di dalam celana

Sekilas kuperhatikan mata Liz mencuri lirik pada tonjolan di balik celanaku. Pipinya sedikit memerah dan napasnya bertambah cepat satu ketukan.

Aku membelai wajah Liz, dan Ia hanya tersenyum sambil balas menatapku hangat, kembali menggelendot manja di dadaku. Tak bisa aku berhenti memandangi wajah itu, potongan rambutnya yang pendek itu membuatnya begitu seksi, mirip Emma Watson. Sementara pipinya menyembul gembil, seperti punyanya Gita Gutawa. Entah kenapa, sepertinya ia kelebihan zat kolagen di bagian itu.

"Waktu itu kita gila yah, Jay," gumam Liz pelan.

"Ngapain ngomongin itu? Kamu pengin lagi? Yuk."

"Huuuu.. emang ya, dasar cowok.. maunya itu aja."

"Hehehe... namanya juga usaha." Aku cuma nyengir, mengecup kening Liz.

Wajah Liz sedikit bersemu. "Tapi jangan sekarang, ya Jay. Malam ini aku cuma kepengin disayang-sayang sampai pagi sama kamu. " Bisiknya sambil mencium pipiku, menangkupkan selimut ke atas tubuh kami.

Tanpa harus dihiasi percumbuan yang menggelora, malam itu kami hanya cudling-cudling berdua. Kelonan sambil saling belai mesra dan terkadang diselingi kecupan lucu pada kening atau pipi.

"Kita sudah kayak suami istri ya," Liz terkekeh, mengomentari posisi kami yang berpelukan mesra di bawah selimut.

"Iya, padahal baru bulan lalu masih becanda- becandaan sama Slamet, Buluk, Gugun, Heru..."

"Kok bisa ya, aku sama kamu... hehehe."

"Hehehe, iya... berawal dari teman, berakhir di ranjang." Kami saling bercekikikan sambil saling menggelitik. Lucu. "Eh, Liz..." ucapku lagi.

"Apa?"

"Pengin deh punya istri kayak kamu," kataku tiba- tiba, entah kenapa.

Liz terdiam lama, wajahnya seperti berpikir.

"Iya, mudah-mudahan kamu dapat istri yang kaya aku, Jay sayang."
(Waktu itu aku belum memahami maksud tersirat dari kata-kata Liz ini.)

Aku mendekatkan wajahku, sehingga hidung kami bersentuhan. Liz menggerak-gerakkan kepalanya, memainkan hidungku - dengan hidungnya, hingga Liz jadi tertawa sendiri, dan pipinya tampak semakin menggemaskan.

"Aku sayang kamu, Liz," bisikku sambil mendaratkan ciuman tipis di bibirnya. Lebih dari yang kamu tahu.

"Aku juga, Jay."

Aku menatap mata Liz dalam-dalam, sebelum ia memejamkan mata, membiarkan aku mengecup bibirnya yang lembut, sangat lembut. Sampai akhirnya Liz menyambut ciumanku, melumat bibirku pelan.

Suara lengguhan terdengar samar di balik suara kipas angin busuk. Aku membelai wajah Liz, dan perlahan mulai tercium harum nafasnya yang memburu di wajahku seiring remasan yang kudaratkan di dadanya. Bibirnya yang tipis, membelai bibirku. Sayup namun samar, kurasakan lidahnya bergerak mencari jalan masuk.
"Mmmmhh... hhhh...." Kembali kami melengguh saat lidah kami saling membelai di dalam sana.

Aku meremas payudara Liz yang masih tertutup bra, membuat Liz mendesah dalam ciuman kami. Diremasnya pantatku, dan dibelai-belainya kejantananku dari balik celana seolah tak mau kalah, membuatku semakin berani menyusupkan tangan ke balik celana batik longgar yang dikenakan Liz.

"Jay.... sssshhhh...." desahnya sambil menggeliat resah. Jariku bergerak membelai kewanitaan Liz dari balik celana dalamnya, membelai belahan basah yang lembab di bawah situ.

"L-Liz...." bisikku bergetar di telinganya.

"A-apa.. Jay..." Liz tersengal dengan nafas naik turun, karena tanganku membelai kewanitaannya dari balik lapisan kain nylon yang telah basah sempurna.

"K-kalau sekarang... Udah b-boleh, nggak?"

"B-boleh... a-apa?"

"ML."

Liz tersenyum sayu, "pelan-pelan ya."

Sip, Lampu hijau menyala!

Bergemetaran, aku melepas kausku, dan Liz pun segera melepas kaus yang dikenakannya, sekaligus BH yang menutupi payudara indahnya. Satu persatu penutup tubuh kami berserakan di lantai. Sampai akhirnya hanya terdengar hanyalah enggahan napas yang ditingkahi desahan dan erangan kami. Sama-sama telanjang, kami saling meremas dan saling membelai. Mesra, tapi juga penuh gairah.

Liz mengerling manja, membalikkan tubuhnya dan merangkak di atas lutut dan siku. "Jay... kamu... bisa?" ucapnya dengan nada menggoda sambil menunggingkan pantat.

Aku menelan ludah, sepasang pantat Liz yang bulat sekal terpampang indah di depan mataku, dan kewanitaannya yang tembem nampak basah dan merekah.

"A-anal?" jawabku pelan.

"Dasar mantan homo." Liz terkekeh.

Widih, doggy style boook....

Hati-hati aku berlutut di belakangnya. Mengarahkan ujung tumpulku ke belahan Liz yang membuka, Liz melengguh pelan saat aku mendorong kejantananku. Licin, batangku terpeleset ke pangkal pahanya.

"Lho... eh?" Liz mengernyit.
Aku nyengir, mendorong lagi. Kejantananku menggesek di belahannya yang membanjir licin, hingga meluncur-luncur di lembah cinta dan, menggeseki bagian sensitifnya, "slllllph...... sleppppph....."

"Mmmh... oooh... masukin...Jay!"

"I-iya... Ummh...."

"Sssssssh.... Ohhh.. ohhh.. . eh... eh? eh?" Liz mengernyit, penisku terlepas lagi.

Aku mulai menyodok lagi, kali ini lebih mantap, dengan semangat 45.

"Aaaaaaaa!!!" Liz menjerit keras..

Bajindul, salah lubang cuk!

Tengsin.... Tengsin.... Tengsin....

Tengsin....

Para pembaca nan budiman, ternyata praktikum lebih sulit daripada teori. Kesimpulannya posisi Doggy Style ini masih terlalu susah untuk seorang nubie.

Liz tersenyum, dan berbalik. Aku cuma nyengir, dan menjawab dengan jawaban standar: "maklum masih nubie hehe."

= = = = = = = = = = = = = = = =
Liz mendorong tubuhku sehingga telentang, ia menatapku dengan senyuman yang menggoda. Cewek berambut pendek itu kemudian duduk di atas perutku mengambil posisi woman on top. Seperti biasa, aku hanya bisa menelan ludah.

Liz membimbing kejantananku memasuki kewanitaannya. Liz tersenyum dengan wajah sendu ketika perlahan kami bergabung menjadi satu tubuh. Sepasang matanya memejam sejenak, sebelum memasang senyum termanis yang pernah kulihat..

Liz tersenyum dengan wajah sayu, kejantananku tertancap di dalam tubuhnya. Malam itu wajahnya sangat cantik, tertimpa temaram lampu tidur dengan kedua buah dadanya tergantung di atasku, indah.

Liz mengecup leherku yang berpeluh, bibirnya berbisik merdu, "rileks aja, sayang...."

Aku mengangguk gugup, menelan ludah.

Sungguh pemandangan yang kontras: rambut pendek seperti lelaki bersanding dengan tubuh seksi yang berada di atas tubuhku.

Liz mulai menggerakkan pinggulnya, otot perutnya yang rata terlihat berkontraksi saat ia menggoyangkan tubuhnya di atasku.

Liz tersenyum, tangannya bertumpu di atas dadaku. Perlahan-lahan ia mempercepat gerakannya, sehingga dadanya berguncang-guncang hebat, disertai erangan-erangan nikmat saat ia memejamkan mata dengan wajah yang merona merah, cantik sekali.

Yang terjadi berikutnya adalah tarian surgawi di mana tubuh Liz meliuk dan menggelinjang indah di atas tubuhku. Payudaranya menggeletar berkilat-kilat oleh peluh yang membasahi. Adalah birahi yang pegang kendali, yang menggerakkan sepasang tubuh telanjang insan yang dimabuk asmara untuk saling melumat, menggeliat, mengerang. Menggapai puncak kenikmatan yang datang dalam jerit bersahut-sahutan.

= = = = = = = = = = = = = = = =​

Terdengar suara kipas angin rongsokan. Terdengar suara nafas kami yang terenggah, sebelum Liz menyadari benih kental yang meleleh keluar dari belahan intimnya.

"Ajay jeleeeek! Kok dikeluarin di dalem?!!!"

"Huhuhuhu... maafkan aku.... habisnya meki ente peret banget..."

"Huuu... dasar edi tansil...."

"Terus... gimana, dong...? kalau kamu....?"

"Hu-uh... tapi kayanya sih bukan lagi masa subur aku," Liz berkata, "mudah-mudahan...."

"Yaah... jangan nakut-nakutin gitu, dong."

"Hehehe... makanya kuliah cepet dikelarin atuh... " Liz cepat tersenyum. "Udah, deh... nggak usah dibahas... keluar aja yuk... cari makan gitu...?"

"Yuk. Jangan yang mahal-mahal tapi."

Kami segera berpakaian, dan aku tidak bisa melupakan wajah Liz yang tersipu saat aku memakaikan sweater-ku agar dia tidak kedinginan.

= = = = = = = = = = = = = = = =​

Saat itu hampir jam 1 malam. Jam-jam segitu, dagang makanan yang buka hanya Angkringan, Burjo, Gudeg Basah, McD, dan Circle K. Dua pilihan terakhir dicoret, karena tidak ekonomis bagi mahasiswa di akhir Bulan.

Akhirnya kami makan di Angkringan di daerah Seturan. Kami duduk bangku kayu, menikmati teh hangat, dan nasi kucing yang porsinya sekecil upil. Meski begitu, aku dan Liz saling menyuapi denganmesra. Ah, senangnya

Setelah makan , aku memasuki Circle K yang terletak tidak jauh di sana.

"Mau beli Apa?"

"Kondom, biar nggak cepet muncrat. Kamu mau rasa apa, Liz?"

"Iiiih Jay mesum!" Liz mencubit lenganku.

Aku menghindar dan berlari, kami hingga kami berkejaran di trotoar yang sepi.

"Jay!"

"Apa?"

"Aku mau rasa duren!"

"Rasa jengkol aja Liz!"

"Ahahahahaha!!!!"

Tawa Liz berderai keras, dan di mataku malam belum pernah seindah itu.

= = = = = = = = = = = = = = =​

Aku memarkir motorku hati-hati ketika kembali ke kostan.

"Jay, ngobrol di tempat lain, yuk."

"Hah? Memang mau kemana?"

"Aku pengin ngobrol-ngobrol aja, kalau di kamar ntar jadinya yang aneh-aneh hehe..." Liz mengekeh, sambil menggandeng tanganku keluar kamar.

Kali ini, aku mendapat ide yang bagus.

Aku mengambil gitar bolong murahan dari atas lemariku. Aku mengajaknya naik ke lantai 3 yang tak beratap - yang digunakan sebagai tempat jemuran -rooftop istilah kerennya.

"Yang romantis dikit napa lagunya?" kata Liz saat aku memainkan lagu 'Iwak Peyek'.

Akhirnya aku memainkan lagu-lagu lama saja, seperti lagunya Barry Mannilow, The Carpenters, sampai Eric Clapton.

"Kamu ternyata jago juga maen gitar...," kata Liz.

"Hehe... masa sih?"

"Iya, suaranya bagus lagi." Liz memujiku.

Aku salah tingkah mendengarnya. Slamet dan teman- temanku memang mengatakan suaraku mirip John Mayer, tapi dengan logat ngapak.

Liz senyum-senyum melihatku yang salah tingkah.

Ah, wajahnya cantik sekali.

Aku memandangi mata Liz lekat-lekat, meraih dagunya. Mata Liz terpejam, aku mengecup bibirnya.

Lembut, sangat lembut.

Malam itu, aku dan Liz memandangi langit Jogja yang tak berawan. Milyaran bintang berkelap-kelip dengan indah di tengah belantara semesta. Liz bersandar di pundakku, ia tersenyum. Indah, jauh lebih indah dari semua bintang itu. Aku menghela nafas, belum pernah aku sebahagia ini.

"Liz, aku cinta kamu," tanpa sadar, kata-kata ini keluar dari mulutku.

"Aku... juga."

"Pengin deh, kayak gini terus," kataku sambil

memandangi wajah Liz dengan latar belakang bintang-bintang.

"Iya." Jawab Liz sambil tersenyum

"Pengen deh, punya istri kayak kamu."

Dalam imaji-ku terkilas bayangan tentang aku, Liz dan anak-anak kami.

Liz terdiam, lama. Suasana mulai tidak enak.

"Liz?"

"Jay, kamu sebaiknya jangan terlalu banyak berharap..." kata Liz akhirnya.

Perih, mendengarnya

"Sorry, Jay.. tapi.... aku cuma takut ngecewain kamu..."

"Takut ngecewain... kenapa?"

"Jay.... sebenernya..."

"Sebenernya, dulu kamu cowok? Wah gawat!" aku mencoba melucu untuk mencairkan suasana.

"Aku serius nie!" Nadanya terdengar tidak senang.

Ditatapnya wajahku dengan padangan berkaca-kaca,

"Aku.. aku.... sebenarnya sayaaang banget sama kamu.. tapi.. tapi..." kalimatnya tak selesai, Liz malah menangis sesengukan.

Aku mendekapnya. Sekali lagi, Liz menangis dalam pelukanku. Mencurahkan segala rasa sakit yang ada di hatinya.

Aku tahu, jauh di relung hati Liz tersimpan pilu yang sangat. Sembilu yang teramat, karena dikhianati oleh orang yang pernah dicintainya.

"Sampai kapan kamu mau kaya gini?"

Liz tidak menjawab, tetap menangis, dan membiarkan aku membelai rambutnya.

Sudahlah, aku tidak akan memaksanya lagi. Mungkin belum saatnya. Lama aku memeluknya sampai ia berhenti menangis. Ia terdiam, lama. Aku pun diam saja, bingung harus berkata apa lagi.

= = = = = = = = = = = = = = = = = = =​

Malam semakin dingin.

Karena suasana tidak enak, aku berinisiatif memainkan gitar, menyanyikan lagu untuk Liz.

"Akademia Jogja, Lagu berikut ini dikirim dari Jay buat TTM-nya tersayang." kataku memberi preambule, meniru penyiar Radio ternama di Jogja.

Aku melirik Liz, ada senyum di sudut bibirnya yang tadinya mewek.

Jariku bergerak lincah pada fret-fret gitar, memainkan intro versi akustik lagu "Time Like These" dari Foo Fighters. Temponya lambat, jauh lebih lambat dari versi full band-nya.

"I.. I am a one way motorway... I'm the road that drives away.. Then follows you back home..." Suaraku mengalun pelan, lirih.

"It's times like these you learn to live again... It's times like these you give and give again...

It's times like these you learn to love again... It's times like these time and time again..."

Pada bagian refrain pertama, suaraku begitu rendah. Mengulang-ulang kata "It's times like these" seperti mantra.

Liz menutup mulutnya seperti hendak menangis.

"I... I am a new day rising!

I'm a brand new sky!

To hang the stars upon tonight!"

Aku menekankan intonasi pada kata 'new day; dan 'brand new sky'. Ya, aku ingin menjadi hari yang baru, aku ingin menjadi langit yang baru bagi Liz!

Tempo kocokan gitarku semakin cepat.

"It's times like these you learn to live again! It's times like these you give and give again!"

Pada refrain kedua, suaraku seperti setengah berteriak. Mengeluarkan segala emosi dari dalam dadaku.

"It's times like these you learn to love again! It's times like these time and time again!"

Aku begitu emosional menyanyikan bagian ini, sampai-sampai bulu kudukku ikut merinding.

Liz sesengukan lagi, ia menutup mulutnya, terisak pelan, "kamu jahat, Jay..."

"M-maksudmu?"

"Kamu jahat... kamu... kamu."

Aku meletakkan gitarku, dan memeluk Liz erat-erat. Mulai saat ini aku bersumpah akan mengobati luka di hatinya.

Aku akan menjadi hari yang baru, aku akan menjadi langit yang baru bagi Liz!
 
Terakhir diubah:
Mantap suhu..... salut, salut.

baper nih bacanya, senyum, ketawa sendiri.... inget jaman kuliah dulu..

lanjut hu.... :mantap:
 
emg kalo udah penulis master bin lejen gini, mau rilis ulang pun pasti rame ya :papi:
kalo boleh rikue suhu Jay Sup, menimbang ss dg beragam versi sudah bertebaran di Paradiso maupun Naked Adv, alangkah indahnya jika disini lebih fokus ke drama dramanya, sesuai judul lah :ampun:
 
Bimabet
Emang bener om. Status pacaran itu tak penting, karna cuma label saja. Lebih penting lagi kalo si om cepet update. :jempol:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd