Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG U G I (Lelaki Pendiam Bermata Teduh)

Bagian Satu
What’s a Gentleman Style


SATU
====

Seluruh warga kampung Cikamiri sekarang mengetahui bahwa Ugi yang dulu dengan Ugi yang sekarang adalah dua orang yang sama sekali berbeda. Dulu, 10 tahun yang lalu, Ugi adalah anak yang sangat kurus, bermata cekung, berrambut pirang karena kepanasan dan selalu terlihat kucel. Ia adalah bahan ledekan abadi teman-teman sekolah dan tetangganya. Anak-anak gadis yang baru gede banyak yang membuang muka bila Ugi menyapa. Teteh-teteh cantik yang sudah pandai berdandan selalu menghina Ugi dengan sebutan anak monyet yang kesasar. Untungnya Ugi tidak baperan. Anak lelaki kecil itu hanya tersenyum dan tak menganggap apa pun semua hinaan dan ledekan itu.

Meskipun terlihat sangat kurus, namun sesungguhnya Ugi memiliki bentuk tubuh yang sangat bagus. Tulang-tulang rangkanya tampak kokoh dan tenaganya juga kuat. Nek Ijah, neneknya Ugi, sering menyombong bahwa tidak ada satu pun anak yang berumur 15 tahun di Cikamiri yang lebih tinggi dari Ugi dan tidak satu pun yang sanggup mengalahkannya lomba lari. Tapi dari semua yang dibanggakan oleh Nek Ijah, kecerdasan otak Ugi-lah yang sering diagul-agulkannya. Nilai-nilai Ugi di sekolah selalu yang paling unggul, terutama nilai matematika dan IPA.

Tentu saja warga kampung banyak yang tidak menggubris kebanggaan janda tua miskin berumur 55 tahun itu. Ia bisa ngomong apa pun dan membanggakan apa pun, tapi itu takkan mengembalikan suami dan menantunya dari liang kubur. Mereka juga mentertawakan kebanggaan Nek Ijah kepada cucunya itu. Sehebat apa pun kebanggaan sang nenek, tidak akan mengubah kemiskinan yang mencekik menjadi kehidupan berkecukupan yang menyenangkan.

Nek Ijah tidak pernah bekerja selama hidupnya. Ia hanya seorang ibu rumah tangga biasa yang menggantungkan hidupnya kepada suaminya, menantunya dan kemudian kepada kiriman uang anak perempuan semata wayangnya yang menjadi babu di Jakarta. Walau kiriman uang itu tidak besar, tapi cukup untuk menopang kehidupan sehari-harinya yang sederhana.

Setelah Ugi lulus SMP, ia pergi sendirian ke Jakarta menyusul ibunya dan tidak pernah pulang lagi ke Cikamiri. Sejak itu, Nek Ijah tak pernah mengagul-agulkan lagi cucunya dan selalu diam membisu jika ditanya tentang Sumarni, anaknya. Ia tak pernah setuju Ugi pergi ke Jakarta. Tapi anak itu keras kepala seperti kakeknya. Kepergiannya tak bisa dicegah.

Setelah 10 tahun berlalu, nek Ijah hidup dalam kesendirian. Ia pun kemudian sakit-sakitan dan akhirnya meninggal karena stroke. Setelah kurir pengirim uang cash tiga kali balik lagi karena tidak menemukan orang yang dituju, akhirnya pada pertengahan Agustus 2020 yang lalu, seorang pemuda tinggi gagah mendatangi rumah nek Ijah. Dialah Ugi. Cucu nek Ijah yang selama 10 tahun tidak pulang-pulang.


DUA
====

Pertengahan tahun 2020 adalah saat-saat yang sulit bagi siapa saja. Pandemi Covid 19 yang meruyak ke seluruh sendi-sendi perekonomian telah melumpuhkan ribuan perusahaan yang bergerak di berbagai sektor. Merumahkan ratusan ribu bahkan jutaan pekerja dan meningkatkan angka kemiskinan secara meluas di wilayah perdesaan dan perkotaan. Kampung Cikamiri yang memang terkenal sebagai kampung yang miskin tentu saja menjadi semakin miskin. 80% warganya menganggur. Hidup mereka tergantung dari belas kasihan bantuan dan santunan pemerintah. Demikian juga dengan kampung-kampung sekitarnya di Desa Cibodas yang terletak di perbatasan Kabupaten Bandung, Kabupaten Sumedang dan kota Bandung.

Pada saat Ugi turun dari taksi di jalan desa, menjinjing tas besar dan memanggul ransel, orang-orang memandangnya keheranan. Mereka bertanya-tanya, siapakah pemuda itu yang kelihatannya berasal dari kota? Ia berjalan kaki memasuki gang kampung yang miskin dan kotor, dengan langkah percaya diri. Namun beberapa teman masa kecilnya yang kebetulan berpasan dan mengenali Ugi, mereka pun cengengesan melihat perubahan yang terjadi pada Ugi. Teteh-teteh yang dulu merasa sok cantik dan suka menghina Ugi, terkesima menerima senyuman ramah pemuda itu. Para abg yang dulu membuang muka ketika disapa, memperlihatkan sikap malu-malu genit. Mereka semua kini telah menikah dan setengahnya menjadi janda karena pandemi.

Ugi tidak tampil mencolok. Dia hanya mengenakan kaos biru polos, celana jeans dan sepatu sport biasa berwarna hitam. Tetapi potongan rambutnya rapi, kulitnya bersih dan hidung mancungnya tampak sedap dipandang para wanita. Sekarang tentu usianya sudah 25 tahun. Usia yang sangat matang bagi seorang pria untuk memiliki istri. Oh, apakah dia sudah menikah?

Menurut cerita Bu RT, Ugi masih bujangan. Setidaknya demikianlah menurut KTP yang diperlihatkannya ketika melapor. KTP-nya ternyata KTP Kota Medan. Pekerjaan yang tercantum, karyawan swasta. Nama lengkapnya Ugi Pangestu Wijaya. Kedatangannya ke kampung asalnya ini adalah untuk menetap. Dia dirumahkan oleh perusahaannya dan tidak berniat untuk kembali. Pendidikannya, ternyata Ugi adalah sarjana akuntansi.

Menurut cerita Bu RT, Ugi meminta kepada Pak RT untuk menguruskan semua dokumen kependudukan yang diperlukan. Tentu saja Pak RT menyambut dengan senang hati niat Ugi tersebut dan meminta bayaran 500 ribu rupiah untuk jasanya. Ugi membayar permintaan Pak RT tanpa banyak cingcong. Pak RT menerima uang itu dengan seringai senang dan mata berbinar.
“Kalau ada kekurangan apa-apa… Pak RT tinggal bilang.”
“Oh, siap. Siap.”

Setelah menyelesaikan urusan dokumen kependudukan, Ugi kemudian bertamu ke rumah Abah Ujang, tukang bangunan paling senior di kampung itu, memintanya memimpin renovasi beberapa bagian rumah. Mengganti genteng yang sudah tua dan pecah, memperbaiki pagar bambu yang mengelilingi rumah, mengubah lantai plesteran semen dengan keramik, menghubungi petugas PLN untuk meningkatkan daya listrik dari 450 watt menjadi 1200, mengecat dinding dan lain sebagainya. Sebulan kemudian, rumah itu berubah menjadi lebih keren dan lebih nyaman untuk ditinggali.

Teman-teman yang dulu selalu meledek dan melecehkan Ugi, kini selalu mencari-cari alasan untuk bisa bertamu dan mengobrol ringan. Namun Ugi tak pernah memberi kesempatan siapa pun bahwa dia bisa mudah didekati. Tatapannya yang tak acuh dan sikapnya yang dingin adalah benteng tembok yang tinggi, yang sulit dijangkau, yang menjaga jarak dengan siapa pun yang ingin mendekatinya.

Beberapa gadis, abg dan janda, mulai sering lalu lalang di depan rumah Ugi. Mereka sengaja melakukan hal itu dan berharap bisa sekilas bertemu, bertatapan, lalu berkenalan. Siapa tahu anak muda itu bisa kesengsem. Tapi tampaknya mereka harus sedikit kecewa, soalnya, meski mereka bisa melihat Ugi sedang mengatur penggantian perabotan-perabotan lama milik nenek dengan perabotan-perabotan baru, tapi Ugi bersikap tak acuh. Bahkan Iis, janda muda tanpa anak yang sebaya dengan Ugi, sengaja menyapa dan tersenyum. Tapi anak muda itu bersikap seperti orang yang tak memiliki telinga. Iis menyapa berkali-kali hingga akhirnya berteriak. Ugi menoleh dan bertanya, “ada apa Is?”
“Enggak ada apa-apa, Gi, cuma nyapa doang.”
“Oh.” Sahut Ugi pendek, dia lalu membalikkan badan dan masuk ke dalam rumah. Tampaknya anak muda itu tidak berminat untuk berbasa-basi.

Sekarang semua orang tahu bahwa Ugi tidak seperti dulu. Dulu ia jelek dan miskin. Sekarang ia ganteng dan kaya.


TIGA
====

Sore itu mendung menggantung di langit Cikamiri. Ugi duduk di teras belakang rumah ditemani kretek favorit, secangkir kopi dan laptop saat bel pintu depan berdentang. Ia bangkit dan melangkah melewati dapur kemudian ruang tengah yang luas, lalu membuka pintu. Ia tidak terkejut ketika Iwan Setiawan, berdiri di teras rumahnya sambil membawa sebuah karung goni berwarna coklat pias.

Ugi ingat, dulu Iwan adalah orang yang paling getol menghinanya.
“Eh, kamu Wan. Ada apa?”
“Aku bawa kopi beras (green bean) 50 kilo, jenis arabika kualitas terbaik. Lihat!” kata Iwan sambil membuka mulut karung dan meperlihatkan kopi beras kehijauan. Tangannya meraup segenggam biji-biji kopi dan memperlihatkannya kepada Ugi. Anak muda itu dengan cermat mengamati dan mengangguk.
“Ini kopi bagus.” Kata Ugi.
“Di pasaran harganya bisa mencapai 200 atau 300 ribu per kilo. Tapi aku akan menjualnya kepadamu dengan harga 150.”
“Aku tidak berminat, Wan, saat ini tampaknya orang lebih suka membeli beras daripada kopi.”
“Baiklah, 100 ribu. Kau bisa mengemasnya dan menjualnya secara online. Bukankah kamu sedang merintis jualan online?”
“Aku sudah lama berjualan online, tapi bukan jualan kopi.” Kata Ugi.
“Baiklah 50 ribu. Aku sedang butuh uang, Gi.”

Ugi terdiam sebentar.

“Kamu yakin semuanya 50 kilo, Wan?”
“Yakin, aku sudah menimbangnya. Jadi?” Tanya Iwan dengan tatapan licik.
“Ya, sudah. Berapa semuanya?”
“Dua juta setengah, Gi.”
“Baiklah.” Berkata begitu Ugi merogoh dompetnya yang tebal dan mengeluarkan uang sebanyak yang diminta. Pada saat Ugi menyerahkan uang, Minarni lewat di depan gang dan tersentak melihat Ugi menyerahkan uang yang cukup banyak kepada Iwan.

Minarni adalah tetangga sebelah, seorang janda kembang yang baru satu bulan bercerai, tepatnya berpisah dengan suaminya karena pandemi. Atang, sang suami, bekerja di sebuah rumah makan di Jatinangor, tak jauh dari Kampus IPDN, Unpad dan ITB. Tugas Atang yang spesifik adalah sebagai tukang cuci piring. Begitu pandemi meruyak dan ada beberapa mahasiswa yang tersuspek virus, segera saja pihak kampus melakukan lockdown lalu memutuskan melaksanakan Perkuliahan Jarak Jauh. Maka satu demi satu, para mahasiswa yang merupakan 75% penghuni kecamatan itu, pulang ke rumahnya masing-masing. Jatinangor pun sepi. Kamar-kamar kontrakan kosong. Warung-warung tegal dan rumah-rumah makan tutup karena tak ada pembeli. Atang pun kehilangan pekerjaan.

Tinggal di rumah mertua sebagai penganggur tentu bukan hal yang menyenangkan. Apalagi Minarni memiliki 4 orang adik, 2 nenek dan 2 orang bibi yang semuanya butuh makan. Atang merasa tidak enak, bagaimana pun, dia adalah seorang pengangguran. Akhirnya dia pulang ke kampung halamannya di Garut, tapi di sana dia bertemu dengan janda STW yang cukup kaya dan Atang menikahinya secara diam-diam atas saran orangtuanya. Namun sebulan kemudian, hal itu diketahui Minarni dari Usep, temannya Atang yang sengaja mampir ke Garut untuk sekedar ngobrol. Tentu saja Minarni kecewa dan melalui aplikasi whatsapp ia meminta cerai. Atang menanggapinya dengan santai, “boleh.” Katanya.

Meski pun Minarni dan Iwan sudah berpisah, yang secara jujur diakui Minarni dalam hatinya bahwa perpisahan itu membuatnya merasa lega, namun itu bukan berarti ia membenci Atang. Tidak. Mereka menikah karena berbagai alasan, tapi cinta bukanlah salah satu alasannya.

Bagi Minar, menginjak usia 23 pada 2 tahun kemarin, adalah suatu beban. Ia diledek-ledek sebagai perawan tua yang tidak laku-laku. Itulah sebabnya ketika ia bertemu dengan Atang di alun-alun Cicalengka, ia bersedia berkenalan dengannya, berpacaran sebentar dan akhirnya menikah. Semuanya didasarkan bukan karena cinta. Setelah 2 tahun menikah, Minar mulai merasakan betapa banyaknya kebiasaan jelek Atang. Tapi kebiasaan jelek yang paling buruk adalah bahwa Atang seorang pemalas dan tak memiliki ambisi untuk hidup lebih baik. Atang juga pengentot yang payah, nyelup sebentar langsung ngecrot. Cih!

Ia sekarang merasa lega. Keputusannya dulu menikahi Atang adalah sebuah kesalahan tapi itu semua sudah berlalu.

Usai melihat Iwan ke luar dari pintu pagar dan melangkah dengan sangat cepat ke ujung gang, Minar pun masuk ke halaman rumah Ugi. Langkah kakinya yang kecil ditatap oleh sepasang mata elang pemuda yang tak disangka akan berubah menjadi saganteng itu.
“Aku tidak membutuhkan jasamu lagi, Min.” Kata Ugi dengan nada datar.
“Aku datang bukan untuk memasak, tapi melihatmu tadi membayar Iwan dengan uang banyak, aku yakin kamu pasti rugi. Iwan adalah seorang penipu.” Kata Minar dengan wajah kesal, “kalau kamu mau jualan kopi, aku bisa membantumu sebagai penakar.”
“Penakar?” Ugi mengernyitkan kening.
“Ya, penakar. Aku sudah berpengalaman bekerja di bidang ini dengan emak. Lihatlah.” Berkata demikian Minar mendekati karung yang terbuka, dia mencecabkan tangannya masuk hingga dalam ke dalam karung lalu ke luar lagi dengan menggenggam biji-biji kopi berwarna coklat, “ini kopi sampah.” Kata Minar. “Kamu tertipu.”

Ugi terdiam. Ia masih ragu akan kebenaran ucapan Minarni.

“Sebaiknya kita keluarkan semuanya.” Ugi berkata sambil menyeret karung melewati ruang tengah dan dapur. Ia berhenti di teras belakang.
“Kamu akan membayarku 50 ribu untuk pekerjaan ini.” Kata Minar sambil meraih gulungan karpet plastik yang akan dibuang Ugi, menghamparkannya di teras. “Dedahkan semua kopinya, Gi.”

Anak muda itu mendedahkan isi karung hingga habis.

“Tuh kan, kopi berasnya cuma ada di permukaan karung. Kamu tertipu.” Kata Minar sambil pergi ke dapur dan mengambil baskom plastik besar. Ia lalu duduk di lantai dan memilih biji-biji kopi yang berwarna hijau dan memasukkannya ke dalam baskom. Wajah Ugi sejenak memerah bara, lalu kembali seperti biasa. Ia meneruskan pekerjaannya bertekun dengan laptop.
“50 ribu, Gi, jangan lupa.”
“Oke, Min. Kalem.” Kata Ugi dengan nada datar. Sebelum ia menghempaskan diri ke kursi, mendadak bel pintu berbunyi lagi, kali ini yang datang adalah Miranti. Adik bungsu Minarni. Ugi berdiri di ambang pintu sambil memegangi pinggiran daun pintu.

“Teteh ada, A?” tanya gadis imut berumur 15 tahun itu dengan sepasang mata berbinar menatap Ugi.
“Ada, Ran. Lagi milihin kopi di belakang.”
“Boleh Ranti masuk?”

Ugi menatap gadis itu selama beberapa detik, lalu berkata. “Karena kamu cantik jadi boleh masuk.”

Wajah Miranti merah karena jengah. Ia buru-buru masuk dan dengan setengah berlari pergi ke teras belakang. Ranti menemukan Minar sedang bertekun memilih kopi.
“Teh Minar… berasnya ditunggu emak.” Bisik Ranti dengan setengah keras.
“I ya tunggu sebentar, teteh kerja dulu.”
“Emak bilang kasbon dulu aja ke warung…”
“Sssst. Berisik kamu, ayo bantuin biar cepet beres.”
“Emang ini dibayar?”

Minar mengangguk sambil menyeringai senang.
“50 ribu.”
“Wow, A Ugi baik banget.”
“Diam kamu, tuh orangnya datang.”

Pemuda jangkung itu datang dengan langkah tenang, namun baru saja pantatnya menemukan permukaan bantal kursi, bel pintu berdentang lagi. Ugi hendak bangkit namun pintu mendadak terbuka dan seorang gadis berumur 17 tahun masuk. Namanya Marina, dia kakaknya Miranti.
“Teh Minar ditunggu emak…”
“I ya tahu. Sini bantuin dulu.”

Ketiga perempuan itu saling bertukar pandang lalu menunduk sambil cekikikan.

Sore sudah larut benar ketika pekerjaan itu selesai. Minar menerima upahnya dan langsung pergi ke warung untuk membeli beras dan ikan asin, sementara Ranti dengan enggan meninggalkan rumah itu untuk pulang. Ia mengajak Rina.
“Teh Rina ayo pulang, udah mau malem.”
“Kamu aja duluan, aku mau ngobrol dulu sama A Ugi.”
“Ngobrol apaan?”
“Udah sana kamu duluan.” Kata Rina sambil mendorong punggung Ranti menuju pintu depan, ia sendiri berbalik menuju teras belakang. Mendekati Ugi dari belakang lalu duduk di samping pemuda itu sambil memeluk tangan Ugi yang panjang, lembut namun kokoh. Memeluknya erat ke sepasang payudaranya yang sudah mekar.
“Aa lagi ngapain sih, serius amat.” Suara Rina terdengar manja.
“Jangan ganggu Rin, aku lagi konsentrasi.”
“Aa…”
“Apaan sih!” Ugi berkata kesal dengan nada keras. Ia menyentakkan tangannya dari pelukan Rina. Wajah Rina langsung berubah seperti ingin menangis, namun Ugi cepat berbisik, “Rina, itu adik kamu lagi ngintip. Jangan berbuat macam-macam.”

Marina sedikit tersentak dan sadar apa maksud Ugi.

“Segitu aja Aa kesal!” kata Rina sambil berdiri, “udah aku pulang aja.”
“Ya, udah pulang sana.”

Sekilas Rina melihat sebuah bayangan melesat ke pintu depan, itu adalah bayangan Ranti, adiknya.

“Aa…” ia berbalik memeluk Ugi, wajahnya mendongak, matanya sayu. Ugi hanya tersenyum. Ketika kedua tangan Rina menggantung di lehernya, kedua tangan Ugi menangkup sepasang pantat Rina yang kecil, kenyal dan sangat nyaman untuk diremas. Menariknya ke atas hingga ujung kaki Rina melayang beberapa senti di atas lantai. Rina meraup bibir Ugi dengan bibirnya, melumatnya dengan rakus.
“Sudah.” Bisik Ugi, “nanti saudaramu yang lain curiga.” Ia melepaskan tangannya dari pantat Rina. Gadis 17 tahun bermata jeli itu pun merosot. Wajahnya merah karena gejolak nafsu. Jantungnya berdebar dan celana dalamnya basah.
“Masih pengen.”
“Udah jangan banyak-banyak, entar kamu enggak tahan. Lagi pula Aa lagi sibuk, banyak kerjaan.”
“Kapan Aa mau ngajarin Rina komputer?”
“Cepat atau lambat Aa pasti ajarin… sabar ya.”

Rina menatap Ugi seperti meminta kepastian, tapi Ugi membuang tatapannya ke arah laptop. Ia lalu duduk dan membiarkan Rina pergi menuju pintu depan.


EMPAT
======

Yaya Sukarya memanggul potongan-potongan kayu bekas bahan bangunan yang dibuang. Ia telah pergi ke luar desa dan memasuki proyek kompleks perumahan yang pembangunannya dihentikan sementara waktu. Tak ada satpam yang berjaga dan tak ada kuli bangunan yang mengata-ngatainya jika ia memunguti kayu-kayu bekas itu. Ia bebas mengumpulkan kayu-kayu itu tanpa dihantui rasa khawatir ketahuan. Saat melangkah menyusuri gang, beberapa tetangga menyapanya basa-basi. Ia membalas sekadarnya. Tiba di gang yang menuju ke rumahnya, ia melihat Rina, anak ke-empatnya, baru saja melangkah memasuki pintu rumah.

Yaya mempercepat langkah. Ia berharap istrinya sudah mendapatkan beras dan mereka tidak akan kelaparan malam ini. Tiba di halaman, ia sudah mencium asap dapur yang mengepul. Ia terkekeh senang.

“Banyak bener kayunya, Pak.” Seorang gadis berrambut panjang sepinggang ke luar dari pintu samping dan menyambutnya. Namanya Martina, anak ke duanya. Martina sudah bertunangan dengan Rudi Sutarman, seorang cleaning service, yang bekerja di sebuah instansi pemerintahan di Bandung.
“Bapak beruntung… kompleks itu sepi dan bapak bisa memunguti kayu sebanyak ini.” Katanya sambil menurunkan bawaannya dengan cara dilempar sehingga tali rapia yang mengikatnya putus dan kayu-kayu itu jatuh berserakan, “ambilkan golok, bapak mau belahin biar jadi potongan kecil.”
“Besok bapak mau ngojeg engga?” tanya Tina.
“Ya ngojeglah, masa si Jaja terus yang narik. Itu kan motor bersama.” Kata lelaki berusia setengah abad itu, “cepet ambilkan golok.”
“Anter Tina ke rumah Rudi ya Pak, mau bantu-bantu masak.” Kata Martina sambil melangkah ke belakang rumah, di situ dia berkata dengan agak keras. “Sanda, kamu pake golok bapak enggak?”
“I ya, buat motongin singkong.”
“Itu bapak udah pulang, mau pake.”
“Buat apa?”
“Belahin kayu.”

Seorang gadis cantik berambut pendek ke luar dari rerimbunan kebun. Kulitnya kuning langsat, hidungnya bangir dan tubuhnya ramping.
“Biar Marsanda aja yang belahin, Pak.” Katanya sambil melangkah ke arah halaman samping, tangannya menggenggam golok kelimis dan langsung berjongkok di dekat kayu yang berserakan.
“Potongannya kecil-kecil ya biar gampang terbakar.” Kata Yaya sambil memasuki rumah lewat pintu samping.
“Siap, Bos.” Jawab Marsanda santai.


LIMA
====

Selalu ada secercah kebanggaan yang terselip di dalam dirinya saat dikelilingi anak-anak, istri, adik-adik ipar, ibu dan mertuanya. Yaya tersenyum kepada Munaroh yang berjalan dari arah dapur beralas tanah dengan kaki terpincang. Itu adalah akibat penyakit folio yang menyerang Munaroh ketika kecil, masih untung hanya satu kaki yang kena, kalau dua-duanya tentu Munaroh takkan bisa berjalan tanpa bantuan tongkat. Dan Yaya mungkin takkan menikahinya.

Ia membawa cobek besar berisi sambal yang dibuat secara dadakan, lalu meletakkannya di atas tikar, di tengah rumah. Adik-adiknya, Sutinah dan Kokom, baru saja mandi, duduk berendengan membicarakan biji-biji kopi luwak yang mereka kumpulkan selama lebih dari satu bulan dari kaki gunung, yang sudah mencapai satu kilo. Mereka berdiskusi soal harga. Berapa harganya sekarang? Dulu, ketika pertama kali ngetrend, kopi luwak pernah dihargai 1 juta rupiah per kilo. Sekarang?

Minarni datang menyusul membawa bakul besar berisi nasi panas yang mengepul, wajahnya yang bulat telur tampak “glowing” akibat uap kepulan nasi panas. Di belakangnya ada Rina dengan dengan membawa piring alumunium berisi ikan asin bakar serta baskon plastik berisi lalapan daun singkong yang direbus.

Sementara dua orang perempuan berusia lebih dari 60-an, datang beringsut dari arah kamar tidur. Dari arah pintu samping Ranti masuk dengan rambut basah kuyup bekas keramas diikuti Marsanda yang juga kelihatannya baru selesai mandi, ia memakai kaos gombor tanpa BH juga tanpa celana pendek. Tak ada yang tahu apakah gadis setengah tomboy itu memakai celana dalam atau tidak, sebab tidak yang memperhatikan. Semua fokus pada bakul yang terbuat dari anyaman bambu itu yang berisi nasi panas mengepul yang menggoda. Orang terakhir yang datang ke ruang tengah itu adalah Martina.

“Kayaknya nasinya pulen benerrr.” Kata Yaya dengan suara lantang gembira, “ini pasti beli. Kalau dapat kasbon biasanya agak bau, siapa yang beli Mak?”
“Minar, tadi dia dapat 50 ribu dari Ugi.” Jawab Munaroh sambil menyerahkan sebuah piring kepada Minarni.
“Disuruh ngerjain apa? Mijitin ya?”
“Ah, bapak kerjaannya cuma curiga melulu.” Jawab Minarni dengan wajah memberengut, ia menerima piring dari ibunya dan menyendok nasi dengan centong plastik, “siapa dulu?”
“Aku!” teriak Ranti, “tambah secentong lagi teh.”
“Ini udah banyak.” Kata Minar tegas, ia menerima piring berikutnya dan mengisinya dengan nasi. Begitu terus sehingga semua orang mendapat jatah sepiring nasi. Sementara Rina memotong-motong ikan asin sehingga jumlahnya mencukupi untuk 10 orang.

Hanya sambal dan lalapan saja yang tidak dibagi-bagi. Semua bebas mengambil sebanyak-banyak. Kalau kurang, tinggal pergi ke belakang dan memetiknya lagi di kebun.

Mereka makan bersama dengan lahap walau dengan lauk sederhana apa adanya. Tapi mereka bergembira. Sambil berbincang dan bercengkrama. Mendadak topik pembicaraan mengerucut pada pemuda itu, Ugi. Hal yang agak aneh terjadi ketika Rina berbicara panjang lebar tentang Ugi. Semua orang terdiam. Ia sudah diajari sedikit cara menggunakan laptop, cara membuka words dan mengetik. Ranti segera menyela, sejak pemuda itu datang, ia bisa mengikuti Pembelajaran Jarak Jauh dengan meminjam tablet milik pemuda itu.
“A Ugi punya 2 tablet, 1 smartphone dan 1 laptop, ia enggak keberatan waktu Ranti nebeng PJJ, biasanya kan Ranti nebeng di Neng Wulan atau pinjem HP teh Minar yang jarang ada pulsanya.”

Di antara semua anak-anaknya, Yaya tahu persis, hanya Ranti yang masih bertahan sekolah, ia kelas 3 SMP sekarang. Jika tahun ini lulus, kemungkinan besar Ranti akan mengikuti jejak kakak-kakaknya, tidak meneruskan ke SMA.

Selama pembicaraan itu, hanya Marsanda dan Martina saja yang membisu tak berkomentar.

ENAM
=====

Martina ingat Ugi pernah menyukainya. Dulu, ketika pemuda itu masih ingusan dan jelek. Ia menolak mentah-mentah cinta monyet Ugi. Bahkan pemuda itu diledeknya habis-habisan. Siapa yang menyangka jika sekarang Ugi berubah menjadi pemuda yang sangat ganteng. Padahal sebetulnya pada saat itu, Tina juga sempat melihat bahwa sesungguhnya Ugi itu memang memiliki modal untuk menjadi ganteng. Dari bentuk tubuhnya, hidungnya dan giginya yang selalu bersih. Tapi cewek mana yang mau pacaran dengan anak yang miskin? Yang hidup dengan neneknya yang sombong tapi tak punya kekayaan apa-apa?

Seandainya dulu ia menerima Ugi sebagai pacarnya, tentu ia akan berselingkuh dengan Rudi sebagai cadangan kalau-kalau Ugi pergi selamanya. Tapi masalahnya ia sudah menolak Ugi dan bahkan meledeknya. Pemuda itu jelas sakit hati.

“Tapi mungkinkah Ugi masih menyimpan hati kepadaku?” tanya Martina dalam hatinya, “bila masih, aku bisa berselingkuh dengannya dan…akhhh… entahlah…”

Malam semakin larut ketika Martina semakin terbuai dalam ayunan khayal dan fantasi, hingga akhirnya terbawa ke alam mimpi. Ia tidur meringkuk sambil menjepit lengannya dengan kedua pahanya.


(Bersambung)
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd