Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

UNTUK SUAMIKU YANG BANDEL

Malah Yang Lain

Sampai aku di rumah dan beranjak naik ke atas tempat tidur, aku tidak mendapatkan reaksi amarah atau respon Mas Yoyok atas laporan Opik. Apakah mungkin dia belum membaca atau Opik belum melaporkan sama sekali. Mas Yoyok kalem sejak pulang dari kantor. Ia mengatakan sudah makan malam bersama rekannnya sambil lembur bekerja. Mulanya aku tak mempermasalahkan. Namun lagi dan lagi teman lembur Mas Yoyok kebanyakan adalah perempuan, bahkan ada salah satu perempuan yang kuduga sedang cari perhatian dengan suamiku. Aku masih mengawasi dari jauh karena belum bisa membuktikan apa-apa. Kalau sudah aku bilang, pasti ia akan menjawab,


"Maaa, aku dan dia hanya rekan kerja biasa, kamu tidak usah cemburu buta begitu"


Aku tak bisa menyangkal sikap posesifku karena ulah Mas Yoyok yang liar mencari teman obrolan perempuan walaupun sampai detik ini tidak ada yang kesangkut serius. Sikap posesifku bahkan sampai meminta Mas Yoyok memasang CCTV di semua sudut ruangan, termasuk kamar mandi agar kelakuan para penghuninya terekam jelas. Khususnya Mas Yoyok. Siapa tahu dia onani di luar sepengetahuanku, mengkhayalkan perempuan lain. Anak-anak? Aku tak menghiraukan seusia mereka untuk onani. Itu mengapa aku meminta pengawasan CCTV kepada keduanya, Opik dan Aji. Kendati juga aku menyadari selalu alasan Mas Yoyok sekedar ingin tahu saja saling kenal mengenal dengan perempuan yang dilihatnya. Ia boleh menganggap biasa, tetapi aku tidak. Lagipula ia berkenalannya dengan perempuan-perempuan yang usianya jauh lebih muda dariku. Lebih seger. Lebih gesit dan lincah diajak ke mana mana daripada aku yang sudah ribet dengan kehidupan rumah tangga. Aku berusaha mencegah, tetapi tidak ada guna. Aku memarahi, tak kuat alasanku. Aku tidak tahu bagaimana agar Mas Yoyok fokus saja terhadap diriku. Bukan orang lain.


"Paaa, besok olahraga bareng yuuk, kita senam di lapangan komplek atau jalan pagi bareng"


"Duh kamu, tumben-tumbenan olahraga", ketus Mas Yoyok.


"Iya, supaya sehat Paaa, usia kita kan sudah harus mulai hidup sehat", jawabku rebahan bersebahan dengan suamiku.


"Aku tahu. Aku capek tapinya, seharian ini lelah bekerja, apakah salah jika aku tidak mau berolahraga besok?"


"Enggak sih"


"Aku ingin menggunakan akhir pekanku untuk istirahat"


"Hhmmm ya silakan"


"Kamu tadi keluar ke mana? Opik kasih tahu aku kalau kamu pakaian seksi keluar rumah"


"Akhirnya....", gumamku. "Deket sini aja kok paaa, makanya merasa enggak perlu rapi-rapi"


"Ooo begitu"


"Begitu aja?", tanyaku yang ingin respon spontan melabrak dari Mas Yoyok.


"Yaiya begitu, aku harus bilang apalagi?"


"Enggak apa aku pakai pakaian seksi keluar rumah?"


"Karena deket, ya enggak apa"
"Kalau jauh, ya kamu yang udah gak tahu umur namanya hehehehe"


"Egrgrgrhhrhh.....", Aku menggumal dalam hati atas reaksi suamiku barusan.
"Awas kamu!"


"Besok sore aku mau malam mingguan sama temen-temen kantor ya?"


"Katanya capek, kok?"


"Kan sorenya..."
"Tenang Maaa, ini cowok semua, enggak ada perempuannya, kamu enggak usah khawatir"


"Emmmm....."


Esok paginya daripada malu tidak menepati janji kepada seorang teman dan dikatai suami hanya omong doang, aku pergi berangkat senam ke lapangan dekat kantor RW komplek rumahku. Aku tinggalkan Mas Yoyok yang masih mengorok di atas tempat tidur. Di sana aku sudah ditunggu oleh ibu-ibu komplek dan juga Pak Warso yang paling-paling menanti kehadiranku. Ditambah aku berolah raga meski mengenakan celana training panjang, bagian atasku mengenakan kaos lengan pendek. Bedanya pakaianku dengan ibu-ibu yang lain adalah selain mereka kebanyakan mengenakan kaos lengan panjang, payudaraku masih terlihat kencang menarik perhatian mata lelaki. Tak aneh, Pak Warso kebelet mendekatiku. Selebihnya bapak-bapak yang lain di bawah pengawasan istri-istrinya masing-masing, walau ada juga yang sendiri, namun senioritas Pak Warso dianggap dia lebih sepuh, dituakan, layaknya preman ditakuti dan disegani.


Aku tergolong jarang senam pagi di komplek ini. Sekalinya muncul jarang-jarang. Itu pula lebih banyak menghindar Pak Warso. Namun atas saran dari Nely, aku berupaya menggoda Pak Warso kali ini. Siapa tahu dia bisa diandalkan untuk menekan kecuekan Mas Yoyok.


"Kita sekarang berpasang-pasangan yaa....", ucap instruktur membujuk rekannya agar menemani ke depan.


"Nah ini!"


"Huuuuuu......"


"Sendiri-sendiri aja!"


"Punya pasangan kok sendiri, mana binimu?!"


"Saya aja dengan Bu Linda!"


"Ngawur kamu pak! Mau tidur di luar malam ini?!", sahut seorang perempuan kepada teriakan suaminya.


"Hahaahahahahaha", tawa kompak peserta senam.


"Ah hoki banget Pak Warso, besok-besok ajak istrinya senam dong"


"Iya bener...", timpal seorang laki-laki tidak rela Pak Warso berpasangan denganku.


"Istriku itu sama dengan suaminya Mba Linda, ya kan?" tanya Pak Warso menengok ke arahku. "Dia males olahraga"


"Alesaaan ajaaa! Bisaaan banget si bapak"


"Sudah diam! berpasangan dengan suami sendiri, ya syukurilah..."
"Hahahaha", Pak Warso mencandai seorang ibu.


Aku tak segan kali ini senam berpasangan dengan Pak Warso. Aku mau mengetes seberapa bisa dia aku andalkan. Senam pemanasan kami awali dengan berdiri berhadapan. Lalu aku bergeser sedikit ke kanan karena tangan kiriku akan berpegangan dengan tangan kanan Pak Warso. Yang akan kami lakukan adalah sambil berpeganga tangan, kedua kaki kami mengambil posisi setengah jongkok lalu berdiri lagi. Kami akan lakukan selama 10 kali. Ketika tangan kiriku kujulurkan ke arah Pak Warso dengan sedikit ragu dan malu tak memandang tepat wajahnya, ia menangkap cepat dan mengenggam kuat tanganku. Aku bisa rasakan tangannya yang kasar dan panas. Sesekali wajahnya kupandangi, terlihat ia melempar senyum ke arahku sembari jari tangannya mengelitik telapak tanganku. Duh, bener-bener dia kesengsem denganku.


Ketika memulai gerakkan saja, matanya sudah menanti-nanti ayunan buah dadaku sembari aku setengah jongkok lekas berdiri lalu setengah jongkok lagi. Nafasku yang menderu-deru mungkin juga ditafsirkannya seolah-olah begitulah kiranya aku terengah-engah ketika disebadani suami. Aku mencoba membuang pikiran tersebut hingga sesi kedua dan posisi tangan berubah.


"Pak Warso! Dijaga matanya yaaa!"
"Istighfar pak! Nyebut!"


"Hahahahahaha"


"Sudah, sudah, ayo kita mulai lagi!"


"Gantian Pak..., gantian..."
"Hehehe"


Gerakan selanjutnya adalah sit up. Aku meminta giliran Pak Warso yang memulai. Tugasku adalah memegangi kedua telapak kaki Pak Warso agar ketika dia sit up tidak ikut terangkat sedikitpun kedua kakinya. Aku memegangi kedua kaki Pak Warso sembari memerhatikan bulu-bulu yang tumbuh di daerah betis dan tulang keringnya. Aku perhatikan bulu-bulu itu tumbuh merambat sampai sebagian menjalar hingga ke paha Pak Warso karena ia berolah raga hanya mengenakan celana pendek. Selain itu juga, ketika dia rebahan lalu beranjak bangkit berulang kali ada yang menonjol lalu senyap ketika dia rebahan kembali. Apakah itu? Aduh aku tidak boleh berpikir seperti itu pada saat sekarang. Parahnya Pak Warso sempat melirik ke arahku.


Ketika giliranku, bukan main senangnya Pak Warso. Ia memelototi bagian dadaku saat aku menekuk perut. Ditambah aku perlahan-lahan melakukannya. Aduh aku tidak boleh sampai membuat Pak Warso kepedean ini. Kemudian aku lekas meminta istirahat kepada instruktur dengan alasan cape.


"Wah Mba Linda sampai dibikin cape sama Pak Warso"


"Husssshhh bukan!"


"Itu beneran cape..."


"Cape olahraga loh Pak, pikiranmu itu sama aja dengan anak lanangmu"


"Ah ibu, jangan sama-samakan aku dengan si bengal itu", ucap seorang bapak kepada istrinya menanggapi pasangan Pak Warso-Linda.


Aku beristirahat sembari minum sebotol air yang aku bawa dari rumah. Pak Warso menghampiriku, sepertinya dia berhasil kubuat penasaran. "Enggak apa kan tadi ya?"


"Enggak apa kok, enggak apa Pak, hehehe"


Dia lalu memijat lenganku yang barangkali pegal. Namun segera kutepis karena tak enak dilihat orang, pun aku punya suami di rumah dan ia ada istri yang menunggu. Kemudian Aku tak ingin melanjutkan olahraga lagi karena pastinya Pak Warso akan lebih berani atas peluang kuberikan sesekali. Sebelum berpamitan dengan alasan suami memanggilku. Aku meminta kontak Pak Warso diam-diam. Dia tersenyum, menduga aku memberi sinyal positif. Ah biarlah, yang terpenting aku ingin membuat suamiku normal.


Aku mengirim chat ke Nely bahwa dapat dipastikan Pak Warso memendam rasa dan nafsu kepadaku. Dari gerak-geriknya ia sedang mencari celah. Bapak-bapak sedang berkumpul sembari tertawa bercengkerama. Dia justru bicaranya denganku.


"Ehem... kayaknya bentar lagi ada yang dapat kehangatan dari orang lain nih


"Ngaco kamu, Nel. Gak akan mungkin"


"Beneran gak kecebur sekalian aja, hihihi"


"Bukan tipeku"


"Tapi dia naksir kamu loh"


"Naksir apa nafsu?"


"Hemmm, gaya kamu, Lin. Palingan kesenggol dikit aja nanti kamu juga ketagihan"


"Amit amit ih jangan sampai"


"Yang senior biasanya lebih pinter"


"Heh? Pinter apa?"


"Pinter ngangetin... Hahaha"


Nely menyangka yang tidak-tidak ke depanny ihwal hubunganku dengan Pak Warso yang belum terjalin apa-apa. Bagaimana kuceritakan bahwa aku sempat melihat kelamin Pak Warso ngaceng ketika kami senam berpasangan. Pikiran Nely sudah lebay pasti. Setelah aku memutuskan pulang usai kegiatan senam pagi. Aku belum mau menghubungi Pak Warso ketika kontaknya sudah kudapatkan. Sementara itu suamiku hendak berangkat janjian sore bertemu teman-temannya di sebuah cafe. Mereka mau bermalam minggu. Rencanaku juga adalah bepergian malam minggu dengan ditemani Pak Warso, pastinya dia mau.


"Kamu beneran jalan sama temen kamu kan?"


"Bener! Sumpah! Masa aku bohong..."


"Awas ya kalau kamu bohong!"


"Kamu ini yaa, masih saja tidak yakin"


"Bukan enggak yakin, tetapi gelagat papa yang model begini ya harus diawasin, rentan selingkuh! Tahu?!"


"Aduh Mama, Mama..... Gak seburuk itu Aku..."


"Udah... Udah... Buru berangkat sana....", pintaku ke Mas Yoyok sembari mendorongnya keluar kamar. Sebelum Mas Yoyok pergi, Kini Aku yang berharap mendapat laporan dari Opik. Aku meminta Opik membuntuti aktivitas papanya hari ini. Di samping itu, supaya rencanaku dengan Pak Warso jalan bersama masuk akal. Aku punya maksud menggandeng Pak Warso seandai kutemui suamiku betul-betul ada main dengan perempuan di luar sana. Karena tak kunjung mendapatkan kabar dari Opik, aku merasa tak perlu menghubungi Pak Warso. Aku habiskan waktuku menonton televisi.


Beberapa jam kemudian, saat sudah mengantuk, Opik mengabarkan kalau benar Papanya sedang kumpul dengan teman prianya, hanya segelintir perempuan yang hadir di sana. Salah satu di antara mereka adalah Winda yang sedang gencar mendapatkan simpati hati dari suamiku. Dari segi umur, Winda lebih muda. Ia juga belum menikah. Ditambah Ia adalah tipikal bodi perempuan yang sering dilirik suamiku ketika jalan bersama, seperti artis Maria Vania. Yang mungil, namun berisi, bikin laki-laki berdecak-decak, susah memalingkan muka.


"Iya lebih banyak ngobrolnya sama yang namanya Winda itu, Maa. Kalau dari foto yang mama kasih ya"
"Tapi, Aku harus nunggu berapa lama lagi ini?"
"Udah ngantuk", ujar Opik mengawasi dari kejauhan sembari duduk di kafe yang sama.


"Sabar, mama mau mastiin, papa kamu bikin ulah gak di luar sana"
"Beberapa kali ngakunya malam minggu sama temen-temennya, tumben-tumbenan aja, pasti ada sesuatu. Curi-curi kesempatan supaya bisa lebih dekat dengan itu perempuan"


"Oke deh, untung aja aku dikasih ongkos. Kalau gak, aku udah cabut dari sini"


"Maaf ya sayang, ini kan demi kamu juga. Supaya kamu lihat kelakuan papa kamu di luar bener apa enggak"


"Iyaaa, Maaa"


Sambil menunggu info lanjutan dari Opik, tiba-tiba Aji datang kepadaku, memberitahukan bahwa ada tamu di luar sana, yaitu Pak Warso. Aaduh. Aku heran kok bisa dia datang kemari, sedangkan aku belum bicara apapun dengannya, termasuk mengajaknya bermalam minggu. Apakah karena kegiatan senam tadi memancingnya kemari sehingga merasa percaya diri. Aku bingung harus bagaimana. Apakah aku minta Aji bilang kalau aku sudah tidur? Mendadak aku teringat pembicaraanku dengan Nely. Hal ini bisa dimanfaatkan untuk mengetes kecemburuan suamiku. Apakah dia memutuskan pulang atau tidak.


Aku meminta Aji mempersilakan Pak Warso masuk ke ruang tamu rumahku. Aku lekas berganti pakaian untuk Pak Warso yang berkunjung dengan baju kaos berkerah dan celana pendek yang mungkin dikiranya ini hanyalah kunjungan santai. Andai dia kuajak bermalam minggu, mungkin jauh lebih rapi.


"Ji, nanti fotoin Mama dan Pak Warso lagi ngobrol ya?"


"Heh mau ngapain?"


"Udah nurut aja, kamu pegang hape kamu, terus pas mama kasih sinyal untuk foto, kamu foto. Oke yah? Fotonya sembunyi-sembunyi aja.


"Ada-ada aja sih Mama, mau ngapain sih?"


"Jangan banyak tanya, udah nurut aja"


"Iya deh, iyaaaa"


Setelah menyampaikan pesan ke Aji, aku masuk ke kamar untuk berganti pakaian. Aku bukannya membalas penampilan Pak Warso yang ala kadarnya dengan lebih baik dan sopan, malah lebih gila lagi, yang seakan berusaha menggoda Pak Warso.





"Etsssss, Mama, kok begitu pakaiannya?"


"Udah diem! kamu cukup dengerin perintah mama aja"
"Habis kamu foto, kamu kirim ke mama, lalu tetep pegang hape, tunggu perintah mama selanjutnya. Jangan banyak tanya"


"Iya"


Dengan sedikit gugup aku menuju Pak Warso yang sudah menunggu kedatanganku. Inu bukan pertama kali aku menyambut tamu dengan pakaian tidur. Selebihnya memang tidak disengaja untuk sekedar mempersilakan masuk, lalu aku berganti pakaian yang lebih sopan. Kalau ini, terbalik. Aku duduk berseberangan dengan Pak Warso. Kami berhadapan, namun ditengahi meja yang mebentang vertikal. Di sisi kananku ada sofa yang kapanpun pastinya seandai Pak Warso makin gelisah, ia akan berpindah duduk ke sofa tersebut.


Ketika aku berdiri menyalami Pak Warso, ia lama menggenggam tanganku. Kemudian kami tersenyum karena Pak Warso mengatakan genggaman tangannya lama karena teringat senam tadi pagi.


"Ada apa ya kemari, pak? Eh iya mau minum apa?"


"Aduh baru datang, saya udah merepotkan, maaf tidak usah saja Mba Linda. Saya tidak berlama lama juga kok di sini"


"Jangan begitu dong, pak. Saya yang jadi gak enak. Ada tamu masa enggak dikasih minum"


"Hehehe, ya sudah apa adanya saja"


"Kopi ya?"


"Boleh, supaya gak ngantuk juga, repot kalau sampai ketiduran di sini. Hehehe"


"Hehehe ya jangan dong pak, siapa yang gotong nanti"


"Oke. aku bikinin dulu ya", ucapku memerhatikan sorotan mata Pak Warso yang berbinar-binar melihat penampilanku. Aku menduga sepulang dari sini, ia lekas menubruk istrinya. Gelagatnya saja mulai gregetan. Ah mungkin nanti kulihat lagi ada tonjolan dari celananya. Ketika secangkir kopi sudah siap dihidangkan, aku mengambil hapeku dan menemui Aji untuk meminta tolong supaya fotokan diriku saat menghidangkan secangkirnya kepada Pak Warso. Aji menggeleng-geleng tak berkomentar.


Setelah yakin Aji mengiyakan, aku lalu mengantarkan kopi hangat tersebut dan meletakkannya di sisi meja dekat Pak Warso. Aku menaruhnya sembari membungkukkan badanku, sengaja memperlihatkan bagian leher daster yang kendor, dan memamerkan belahan dadaku kepada Pak Warso. Aku berharap Aji menjalankan tugasnya dan mengabadikan momen krusial ini. Di sisi lain, Aku tak perlu merasa khawatir karena aku masih mengenakan bra agar Pak Warso tak benar-benar melihat payudaraku.


"Silakan diminum pak, enggak panas kok"


"Iya, sepertinya saya yang justru kepanasan. Hehehe"


"Oh panas ya? Saya bukakan jendelanya ya?"


"Woalah bukan, bukan..."


"Terus?"


"Iya kaos berkerah yang saya kenakan ini bahannya bikin gerah"


"Emmm begitu", untuk kedua kalinya aku dapati tonjolan dari selangkangan Pak Warso. Sekarang aku membuka ponselku, menanti kiriman gambar dari Aji.


"Mas Yoyok kemana ya? Enggak kelihatan"


"Sedang keluar, cari makan"


"Oh cari makan"


"Bapak cari mas yoyok, ya?"


"Enggak, memang niatnya bertamu aja kemari. Sering berpapasan dengan kalian berdua, tetapi nyaris tidak pernah bertamu. Aneh rasanya"
"Anak-anakmu?"


"Ada kok Pak di kamarnya"


"Owwwhh......"


Aku memerhatikan ia benar-benar kegerahan dari dahinya yang berkeringat. Dari rambut hitam agak beruban menetes keringat yang ia biarkan mengalir lewat pipi hingga leher, jatuh ke tubuhnya dan terserap oleh bajunya yang tentu bertambah panas. Aku inisiatif berdiri membuka gorden dan jendela yang dipunggungi Pak Warso. Kulihat Pak Warso sempat mengintip ketiakku dan mengamati bokongku. Ah, kuharap tanpa disuruh Aji merekam momen ini. Salah satu bagian terpenting.


Kemudian Pak Warso berdiri menghindar, memberi ruang kepadaku untuk membuka gorden lebih sedikit lebar.


"Gapapa kelihatan orang dari luar dalamnya rumah ini?"


"Enggak kelihatan kok, ketutupan pohon sama tanaman di depan, pak"


"Owhhh, adem sebetulnya ini ya. Karena lagi musim kemarau aja mungkin jadinya gerah"


"Iya bener pak"


"Gak aneh juga dari daster yang kamu kenakan minim banget heheheh"


"Hahaahahah bapak ngerti aja"


"Kamunya adem, suami kamu kepanasan kali ya melihatnya"


"Maksudnya?", tanyaku puta-pura tak mengerti.


Kemudian pesan dari Aji masuk ke ponselku. Aha! Si bungsu memberi yang kumau. Dia juga mengabadikan momen aku membuka gorden. Aku amati kedua mata Pak Warso melongok ke bagian belahan dadaku, itu mengapa aku sengaja menaruh secangkir kopi hangat tanpa menatap Pak Warso. Di samping itu, kuamati saat membuka gorden, selain melirik ke arah ketiakku. Tangannya ancang-ancang menyentuh bokongku, namun turun tak jadi. Setelah foto-foto itu kurasa cukup. Aku meminta Aji mengirimkan ke papanya dengan kalimat.


"Paaa, dicariin Pak Warso, aku sempet foto ini diem-diem"
"Mama terpaksa nemuin karena papa gak ada di rumah"


Sekarang aku berharap balasan dan reaksi dari Mas Yoyok, apakah dia lantas segera pulang atau sekadar meneleponku.


"Rumahnya luas kelihatannya ya?"


"Ah enggak juga pak.."


"Boleh lihat ke dalam?"


"Iya silakan.."


Pak Warso masuk ke ruang tengah rumahku. Ia melihat foto foto terpajang. Hiasan dinding. Dapur yang berantakan karena aku berencana cuci piring besok. Aku mengira juga Pak Warso hendak menonton televisi, ternyata tidak. Ia berjalan melihat rumahku yang terdiri atas dua lantai. Namun dia sungkan untuk menaikki lantai 2 dan memilih berjalan ke halaman belakang yang terdapat taman di sana dan sebuah bangunan tempat rehat sejenak, sejenis gazebo, namun tidak ada kursi di sana. Hanya bangunan yang ditinggikan, lalu digelar tikar di sana untuk duduk bersantai.


"Ini kamar siapa?"


"Kamar pembantu pak, karena anak-anak udah gede dan mandiri, jadi gak perlu pembantu lagi"


"Emhhh"


"Mau ke taman?"


"Enggak usah, udah malam, banyak pohon juga di sana. Kalau ketemunya yang lain. Kan gak bagus juga hehehe"


"Ah enggak ada hantu kok, amaan"


"Bukan hantu maksud saya, bisa nyamuk menggigit, apalagi kamu pakaiannya seperti ini"


"Hehehe"


Pak Warso mengamati beberapa jemuran yang kupindahkan ke dapur. Aku gantung di sana, terutama pakaian dalam. Kendati ada pakaian dalam suami dan anak-anak. Ia menatap jemuran BRAku yang tergantung. Pasti ia sedang membayangkan bentuk dan ukuran payudaraku. Karena tak mau memandangiku lama dengan daster ini, sedangkan ia bisa mengkhayalkannya dengan penampilanku sekarang, ada kekhawatiran barangkali akan membuatku curiga. Sementara aku yakin burungnya Pak Warso sudah tegang di balik celananya.


"Kamar mandinya mana?"


"Di sebelah sini pak"


"Oke, saya mau buang air kecil dulu"


"Iya silakan, saya ke depan duluan ya..."


Aku buru-buru memeriksa ponselku. Mas Yoyok menghubungiku, namun tak terjawab. Ia juga mengirim pesan, memaksaku agar jangan lama-lama berbicara dengan Pak Warso. Mendesakku juga agar segera ganti pakaian. Aku tak mau membalas atau meneleponnya balik. Aku ingin suamiku gelisah di sana dan segera pulang cepat. Aku bersyukur Pak Warso datang ke sini. Jadi aku tak perlu repot-repot keluar mengajaknya bermalam minggu. Namun, ketika aku sibuk dengan ponselku dan melaporkan kepada Nely apa yang barusan terjadi. Aji mengirim pesan lagi.


"Maaa, ada yang ketinggalan nih"
"Ada yang buang kotoran di sini"
"Uhuk"


Aku tercengang, ketika Aji melampirkan foto Pak Warso diam-diam setelah aku tinggalkan. Ia tampak mengambil BRA ku. Lalu masuk ke kamar mandi. Bukan Mas Yoyok atau anak-anak, kini aku justru memperoleh rekaman Pak Warso onani di kamar mandiku.


"Haduh...."
 
Bimabet
Duh bikin penasaran suhu. Perubahan yg dialami suami/istri, kecurigaan2, nakal tipis2, kesukaan tipe cerita yg ane suka bgt suhu. Apalagi kalo nanti, suaminya kena NTR. Makin makin dah.
Mudah2an ada NTR nya hu
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd