Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

UNTUK SUAMIKU YANG BANDEL

Menanti Kabar

"Maaf, lama menunggu ya?"

"Enggak apa, Pak"

"Kamar mandinya bersih yah"

"Ya kan rutin dibersihkan sama saya"

"Heheheheh", tersenyum Pak Warso. Karena lama menunggunya, aku mengisi waktu dengan mencuci piring sisa makan siang. Baru saja aku memulai aktivitas, Pak Warso sudah keluar dari kamar mandi. Terpaksa ia gantian menungguku. Malahan, ia menawarkan bantuan. Aku jawab saja tidak usah dan memintanya duduk kembali saja di ruang tamu. Namun ia kukuh bertahan memperhatikanku dan mengajakku bicara.

Ia bercerita keseharian istrinya di rumah. Dia bilang kendati istrinya rajin serta cekatan, namun seakan dia kurang peduli terhadap Pak Warso. Misalkan, makan malam. Pak Warso pastinya makan malam sendiri. Istrinya sudah menyalip duluan. Diajak makan bersama istrinya mengatakan bahwa mereka bukan lagi pasangan muda, namun tua. Masak ketika mau saja. Apalagi uang makan rutin didapat dari pensiunan Pak Warso atau kiriman anaknya. Pak Warso mengerti ia sudah tak bisa memberikan kebutuhan harta sebanyak dulu lagi kepada istrinya.

"Bisa kebalik begitu yaa....", gumamku mendengar kisah hidup Pak Warso. Aku sudah memberi banyak perhatian kepada suamiku, aku tak perlu hartanya. Terpenting saat ini adalah fokus perhatiannya hanya untukku, tidak yang lain. Yang terjadi kepada Pak Warso justru sebaliknya.

"Yah nasib lelaki, menurut sajalah"
"Hehehe"

"Apakah sudah bicarakan baik-baik dengan ibu?"

"Sudah, saya usahakan berulang-ulang, tetep sama saja, selalu begitu"

"Ooo emm... yang sabar ya Pak. Pasti suatu waktu bakal berubah kok dan ada jalan keluarnya"

"Aaaamiiin"

"Mba Linda sendiri bagaimana?", tanya Pak Warso. Aku sudah cegah agar ia tak perlu repot membantu, ia malah meletakkan satu per satu piring yang kubilas ke rak piring. Di samping itu, aku tak dapat menjawab pertanyaannya perihal rumah tanggaku dan kelakuan Mas Yoyok.

"Ditanya kok diam? Ada masalah ya?"

"Enggak"

"Saya kira diam kamu itu sedang bingung mau pilih masalah yang mana"
"Hehehe"

"Enggak kok, enggak, justru karena lagi mikir aja, ada masalah gak ya"

"Kamu itu loh ya malah bikin gemes", Pak Warso mematung menanti gelas yang aku sedang bilas.

"Heh? Gemes?"

"Hahaha, bercanda Mba. Jangan dianggap bagaimana, bagaimana..."

"Hehehe, iya..."

Terlepas dari pembicaraan kami berdua, aku yakin. Pak Warso menikmati pemandangan tubuhku selagi mencuci piring. Imajinasi mesumnya pasti balik lagi. Kucuri-curi pandang ke arahnya yang berada di sebelahkum Ia kadang meraba selangkangannya. Aku pura-pura tak melihat. Kulirik sekali lagi. Ia masih melakukan hal yang sama. Akan tetapi, ia mulai semakin berani mendekat. Aku khawatir membiarkan situasi seperti ini, menimbulkan ia berbuat nekat. Lantas aku buru-buru mengakhiri

Kemudian aku memutuskan masuk ke kamar mandi untuk mengecek keberadaan BH ku yang diambil diam-diam oleh Pak Warso dan digunakan sebagai bahan onaninya. Setelah menutup pintu kamar mandi rapat-rapat, aku mencari-cari pakaian dalamku, ternyata tidak ada. Tatapanku mengelilingi. Disembunyikan di mana ya? Apa mungkin tadi salah lihat? Namun, bukannya pakaian dalam, yang kutemukan malah hal lain. Cipratan sperma Pak Warso yang menempel di dinding kamar mandi.

"Ya Tuhan..." Sebelum aku membasahi dengan air, ku coba mencolek sedikit dengan agak jijik cairan pekat dan kental tersebut. "lumayan banyak juga yang belum tersiram. Aku rindu ini dari kamu sebetulnya, Mas Yoyok"

"Mba Linda! Mba?! Ada telepon!"

"Iya! Sebentar!", sahutku buru-buru menyiram sisa sperma Pak Warso, lalu keluar kamar mandi.

"Ini ada telepon dari Opik!"

"Iya. Maaf. Mana?", jawabku. Di depan pintu Pak Warso sudah menyambut dan memberikan ponsel yang kutinggal di ruang tamu.

"Ini..."

"halo? Bagaimana sayang?", pak Warso sempat mengangkat panggilan telepon dari si sulung ternyata. Karena tak berkenan ia menguping, aku menjauh dari Pak Warso. Aku berjalan ke kamarku.

Kata Opik, papanya sedang curi waktu duduk semeja berdua dengan perempuan yang kuduga adalah Winda. Selebihnya rekan-rekan kerja Mas Yoyok duduk mengumpul. Foto yang aku kirim itu sudah dibaca, tetapi tak ada reaksi serius dari Mas Yoyok. Aku lalu bilang ke Opik agar tetap memantau gerak-gerik Papanya dan menginfokan hal-hal terbaru kepadaku. Ia boleh pulang setelah papanya pulang. Opik sudah jenuh. Namun aku yakinkan untuk dia betah di sana. Jika Mas Yoyok, belum juga terdesak untuk pulang. Aku harus gunakan inisiatif lain yang dapat menekannya.

Setelah kututup telepon Opik, aku coba menengok Pak Warso kembali yang sudah duduk di ruang tamu. Namun aku sontak terkejut dan menahan diri untuk menemuinya. Aku intip Pak Warso telah menyusupkan salah satu tangannya ke dalam celana pendek yang ia pakai. Ia seolah belum puas onani. Sesuai dugaan, pasti karena ia terangsang mengamati diriku saat mencuci piring tadi. Ia berkhayal lagi tentang diriku dan tubuhku. Apakah selanjutnya Pak Warso akan balik ke kamar mandi lagi? Aku rasa iya. Dengan begitu aku akan tahu di mana ia menyembunyikan pakaian dalamku. Besar juga ya nafsunya Pak Warso. Andai Mas Yoyok...

"Doorrr!!! Hayo ngapain?!

"Aaddduhhh!! Ish, kamu! Pssssttt... Ngagetin Mama aja"

"Hahaha. Nah loh Mama, tetangga kok dibikin begitu, sengaja ya?"
"Aku bilangin papa loh"

"Hussshhh, jangan coba-coba kamu, ya. Atau uang jajan kamu dipotong!"

"Ampun, ampun, ampun...!"

"Yaudah, sekarang, Kamu masuk kamar sana...", Aku mendorong-dorong Aji supaya masuk ke kamarnya.

"Lagian ngapain sih, orang ngaceng diintipin? Heh?"

"Supaya kamu tahu, enggak yang muda, enggak yang tua, laki-laki sama aja"

"Hahahaha", tergelak bungsuku.

"Ppssssssttt, sana masuk kamar!"

"Kan lewat CCTV bisa Maah..."

"Beda", Lalu Aku menengadahkan tangan ke Aji. "Sini hape kamu..."

"Eitsss, enggak, mending aku fotoin"

"Enggak usah, kamu lebih baik masuk ke kamar"

"Beneran nih?", tanya Aji ingin mengintip, namun kutahan. "EHEM! EHEM!", Aji berdeham keras-keras, sengaja mengerjai Pak Warso. Akibatnya kuintip lagi Pak Warso sudah tidak menyusupkan tangannya.

"Iya, beneran, sana masuk..."

Aku kembali mengintip kelakuan Pak Warso. Aku potret aktivitasnya dan mengirim gambar tersebut ke Nely. Aku berharap Nely segera merespon. Apakah melibatkan Pak Warso adalah langkah yang sungguh tepat atau malah meruncing ke arahku. Aku menemui Pak Warso. Ia menanyakan ada apa Opik menghubungiku. Aku beritahukan dia izin pulang malam. Pak Warso pun menyahut,

"Baik, saya sepertinya harus segera pulang, pasti ibu lama sudah menunggu"

"Oh ya, silakan. Enggak mau nunggu Mas Yoyok sebentar lagi pak?", tanyaku berbasa-basi dan tak tahu apa apa.
"Hehe"

"Wah besok pagi saja mungkin. Beritahukan saja ke Mas Yoyok kalau saya mencari"

"Baik, Pak Warso. Nanti saya sampaikan", jawabku mengantarkan Pak Warso ke depan gerbang rumah.

"Kapan-kapan boleh kan saya mampir lagi ke sini?"

"Eh? Boleh dong, tentunya pak. Hehehe"

"Alhamdulillah. Di sini enak adem banyak pohonnya"

"Iya ini dulu saya dan anak-anak yang nanam"

"Baik, saya pulang dulu Mba Linda, oh sebelumnya ya saya mau bilang sesuatu, boleh?"

"Apa ya pak?"

"Eng.... kamu seksi"
"Hehehe"
"Baik saya pamit...", Ujar Pak Warso lekas pergi saat belum kubalas ucapannya.

"Heh?!"

Kepulangan Pak Warso entah harus aku artikan bagaimana, sedangkan aku masih penasaran dengan gelagat nafsunya yang cukup banyak tingkah. Kalimat terakhirnya pun seakan menjadi kesimpulanku atas pertemuan malam ini. Aku berhasil menggodanya. Aku bisa mengandalkannya. Kemudian Aku periksa ponsel, baik Nely dan Opik belum juga membalas. Setelah mengunci pintu rumah, aku mencari lagi pakaian dalamku, di mana kah Pak Warso menyembunyikannya?

Sayangnya Aku harus menyerah dan memutuskan masuk ke kamar untuk beristirahat sembari menunggu kabar terbaru dari Opik. Karena situasi malas, tampaknya gugur niatku mengajak Pak Warso bermalam minggu. Lagipula aku merasa cukup pembicaraan dengan Pak Warso. Aku pun belum perlu cara tersebut untuk memanasi Mas Yoyok, asalkan perilakunya masih dalam taraf dicurigai. Aku buka kembali foto yang aku kirimkan ke Mas Yoyok, pikir-pikir apakah hal semacam ini kurang membuatnya cemburu dan merasa tak terdesak pulang. Ah aku lebih pusing dengan potongan gambar CCTV Pak Warso sedang mengurut kelaminnya yang keras. Ah, mungkin pakaian dalamku dia bawa pulang. Hmmm..

Aku istirahat sampai suami dan Opik tiba di rumah....

"bener itu saja yang dibicarakan?"

"Engh..... iya"

"Coba diinget-inget lagi Maaah, ada yang kelewat mungkin"

"Enggak, aku yakin masalah perumahan dan keseharian yang dibahas, enggak ada ke mana-mana lagi"

"Aku belum yakin", ucap Mas Yoyok tiba di rumah setelah Pak Warso pulang. Aku menyambutnya di kamar. Sambil rebahan, memandanginya berganti pakaian.

"Kalau itu terserah papa, mau percaya atau enggak, aku sudah jelasin semuanya loh"

"Bener enggak ada yang kamu tutupin?"

"Tutupin apa sih, pa? Sekarang lebih baik, giliran papa yang cerita, tadi dengan teman-temannya obrolin apa?"

"Kita bahas yang lucu-lucu, Maah, yang bikin stres kita soal kerjaan hilang"

"Ada Winda ikut?"

"Kan papa bilang yang kumpul laki-laki semua"

"Beneran?"

"Yah benerlah..."

"Dasar bohong!", sahutku dalam hati begitu kesal. "Oh bener. Iya aku percaya, paa"

"Jelas"
"Sebaliknya aku tuh masih belum yakin dengan ceritamu, rasanya ada yang belum kamu ceritakan"

"Sudah semua, sudah semuanya, paaaah. Apa sih yang sebetulnya yang kamu ingin dengarkan? Apa yang ada di benakmu?"

"Emmmm, enggak ada, pikiranku saja barangkali sulit untuk tidak berpikir negatif kalau sudah menyangkut si tua bangka itu"
"Ya sudah, aku mandi dulu. Jangan dibahas lagi"

Mas Yoyok tidak bersikap adil atas diriku. Dia boleh mencurigaiku, sedangkan aku seolah tidak diperkenankan mencurigainya. Malahan, dia berbohong. Aku juga justru mendengar semua cerita yang dilakukan Mas Yoyok ketika bersama kawan-kawannya adalah dari anak pertama kami berdua, Opik. Mas Yoyok bukan hanya berkumpul dengan kawan-kawan prianya, namun mencuri kesempatan untuk bertemu Winda, si genit itu. Sayangnya, Opik tidak bisa menceritakan apa yang dibicarakan ketika papanya bersama Winda, ditambah Mas Yoyok sempat berbicara satu meja berdua dengan Winda dan bisa-bisanya memegang tangan perempuan itu seakan mereka sedang pacaran di tengah-tengah kumpulan kawan.

Opik ingin melabrak ketika papanya memegang tangan Winda. Namun, aku berusaha keras menenangkan Opik karena aku punya rencana lain. Aku meminta si sulung untuk bersabar. Papanya harus dibikin tidak bisa lagi berkilah. Lebih penting lagi, mengalihkan perhatian Mas Yoyok kepadaku, bukan kepada Winda. Harus apa ya.....

"Eeemmmmfffhhh...."

"Duh, papa, ada apa sih?! Tiba-tiba..."

"Kepengen, Maaah...", jawabku yang nyaris tertidur, tiba-tiba Mas Yoyok yang berada di samping menciumi pipiku.

"Isshhh, sebentar,.. tumben banget habis mandi, meluk-meluk"

"Kamu lupa, aku udah lama gak mampir ke sarangmu?"
"Hehe"

"Bukannya lupa, tetapi kan kamunya juga kalau dibujuk cape melulu alasannya"
"Ini dadakan gitu aja", salah satu tangan Mas Yoyok meraba payudaraku, menyusup dengan mudah karena aku masih mengenakan daster yang kupakai saat bertemu Pak Warso.

"Jadi gak boleh nih?"

"Bukan enggak boleh, tetapi kok tiba-tiba kepengennya, biasanya enggak"

"Huffffff....", Mas Yoyok mencumbu tengkuk leherku.
"Kamu juga tumben banget, dasteran tapi BH nyantol"

"Iya supaya susuku tetep kenceng"

"Ooohhh begitttuuuuuhhhh"

"Aaaiihhh, geli aahh papah", sahutku merasakan burung mas yoyo yang sudah tegak berdiri bersentuhan dengan pantatku. "Tumbenan banget..."

"Hehehe, burungnya sudah kangen banget masuk sarangmu, Maaaah"

"Kangen masuk sarang atau pengen minum cucu?"

"Hufffhh, kangen kedua-duanyaaa", Mas Yoyok pelan-pelan meremas payudaraku. Ditubrukkan pula burungnya yang sudah mengeras ke pantatku.

"Aaaaaiihhh"

Mas Yoyok lalu mengurai tali daster sekaligus tali braku. Ia turunkan hingga buah dada sebelah kiri hampir terungkap. Kemudian ia menelentangkan tubuhku. Mata kami saling menatap, kembali ia menurunkan bagian daster dan bra, lalu lekas dihisapnya buah dada bagian kananku yang menyembul dengan pentil yang mulai kencang. Ia jilati pentil susuku hingga seluruh puting sebelah kiri. "Hooopppp" bibirnya melumat seluruh puting susuku. Ah aku sudah rindu disentuh oleh Mas Yoyok. Aku menduga upayaku membuatnya cemburu telah berhasil.

Aku merenyuk-renyuk rambut Mas Yoyok. Tangan kanannya giliran mengurai tali daster dan bra bagian sebelah kanan. Kini bibirnya bermain-main di kedua payudaraku. Ia lahap, lalu berpindah-pindah seolah ia ingin melahap seluruhnya.

"Kocokkin aja ya sayang..."

"Apa? Kenapa gak masukkin sekalian aja mas? Katanya burung kamu pengen masuk sarangku"

"Besok saja kita mainnya, sekarang kamu tuntaskan aku dulu. Kalau main, aku yakin tak bisa bertahan lama"

"Kok bisa? Kenapa? Biasanya enggak begitu kamu, pah..."

"Aku lagi sange, berat, Maaah tolong ngerti, bakal cepet keluar kalau seperti ini"

"Tapi aku pengen dibikin basah sama papa"

"Iya nanti aku bantu..."

"Aku maunya sama ini", ucapku menyentuh batang kemaluan mas Yoyok.

"Besok saja kalau itu"

"Sekarang ajah, paah. Aku mohon...."

"Boleh, tapi kamu jangan kecewa kalau aku tidak bisa lama-lama"

"Harus bisa..."

"Enggak..."

"Harus!"

"Emmmfffffhhhh....", Mas Yoyok menyumpal mulutku dengan bibirnya. Ia menghentikan debat singkat kami berdua. Kami berciuman mesra. Kemudian Ia memelukku sembari salah satu tangannya meraba-raba pahaku, mengelus lalu mendesaknya mengangkang. Aku ingin Mas Yoyok menjamahku malam ini. Aku ingin bercinta dengannya. Tubuhku menghangat. Ia meremas payudaraku lagi. Ditambah jari-jari tangan Mas Yoyok mulai berada di klitorisku. Jari telunjukny lompat mencolek itil vaginaku.
"Aaahhhh..." Aku mau Mas Yoyok copot celana dalamku segera. Aku mau ia menuntas nafsunya denganku, istrinya. Aku tak peduli ia sedang lelah atau tidak.

"Aku bantu colok yah? Pakai alat bagaimana?"

"Enggak mau, maunya pakai punya kamu"

"Aku beneran sedang tidak bisa lama-lama, tolong ngertiin papa kali ini, Maaah"

"Enggak mau, aku mau ini, Paaah", ucapku mencoba membuka celana suami. Lalu meraih burungnya yang sudah tegang.

"Kalau Mama enggak mau, yasudah tidak jadi saja..."

"Paaahhh, ayooo....", bujukku ke Mas Yoyok. Ia memalingkan badan.

"Hilang moodku..."

"Paaah, kok jadi begitu sihhh...."
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd