Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT VALKYRIE Management

CHAPTER 73: AMUKAN


“Kamu yakin, Gre?” Yona tidak berani membalas tatapan Gracia. Dia terus memperhatikan darah yang kini merembes ke bagian belakang kemeja Gracia.

“Dengan kondisi seperti ini, aku ngga akan bisa sampe bawah. Aku cuma bakal jadi beban.”

“Tapi kita bakal ngantar ke klinik.”

“Trus kamu biarin aku di klinik sementara kalian berperang ngelawan bandit-bandit jahanam ini?”

“Lagian lukanya ga terlalu dalam. Aku bisa.” Yona tahu itu hanyalah omong kosong untuk menenangkannya. Tapi mau tak mau Yona menuruti Gracia.

Yona selalu melihat Gracia sebagai wanita yang ramah dan cepat akrab, namun dia sama sekali tidak menyangka bakal melihat momen ini. Momen yang disebut Om Minmon sebagai momen amukan Gracia. Momen yang akan menguak sisi lain Gracia. Yona, bersama Melody dan Naomi, melihat sendiri rekaman amatir bagaimana Gracia menghajar habis pria yang berperawakan jauh lebih besar darinya. Dan kini, dia akan melihatnya langsung.

Turuti aja apa yang dimintanya, Yona ingat betul pesan Om Minmon kala itu.

“Kalo kamu mau nyusul yang lain, cepat. Bagianku cuma sampe di sini.”

“Pfftt! Kamu becanda? Aku bakal ninggalin partner sex favoritku? Gila apa.”

Gracia melepas pelukan Yona dan mengambil golok yang terletak di samping preman yang pingsan. Yona pun mengambil tongkat kayu yang tadi sempat dilepasnya. Mereka bersama menghitung musuh. Kartika. Arman. Enam preman. Total delapan.

“Empat-empat?” Yona menoleh sambil tersenyum.

Namun Gracia tetap berekspresi datar, “Kamu urus aja si jalang itu. Aku sisanya.”

Arman yang akhirnya berhasil bangkit berdiri, berteriak marah, “Ngapain lo bisik-bisik disitu?! Sini lo maju, Anjing! Ayo serbuu!”

“MAJUU!!”

***




“Ayo cepat!”

“Ve! Kita ga bisa terus dari tangga darurat! Kalo mereka masuk kita bisa dengan mudah tertangkap!”

Benar juga, pikir Veranda.

“Ayo kita masuk ruangan kantor!”

Lantai 4, lantai kantor divisi Personalia, General Affair dan CPR. Lantai kantor Veranda bekerja. Saat membuka pintu darurat, kembali rasa haru hinggap di diri Veranda, kala mendapati ruangan besar yang sudah lama tidak dia lihat. Namun dia sadar tidak bisa berlama-lama bernostalgia. Veranda harus cepat mengantar dokumen ini.

Aneh. Tidak ada orang. Baik pegawai maupun perusuh. Terlalu kosong untuk ruangan kantor. Kemana semua orang?

Saat mereka pelan-pelan menyusuri jalan di tengah ruangan, tiba-tiba terdengar suara seperti tuas digeser. Jeglekkk! Lampu-lampu menyala, diikuti dengan layar LED di dinding dan semua perangkat komputer di meja kantor.

“Listrik udah nyala lagi.” Riskha berseru lega.

“Ayo cepat! Kita bisa dari lift!”

“Ayoo-“

Di detik itu, tidak ada yang siap, juga tidak ada yang menyangka, saat energi tidak terlihat dengan cepat dan keras menghantam mereka. Tidak terkecuali. Bruak! Perangkat komputer dan tumpukan berkas beterbangan saat tubuh Veranda, para Pegawai Terpilih dan Trio SMA menghantam meja kantor dan rak tinggi.

“Kyaahh!”

“Ergghh!”

Namun seakan tidak memperdulikan teriakan kesakitan mereka, energi tidak terlihat itu sekali lagi menerbangkan mereka ke arah sebaliknya. Yoriko yang tadi sempat mencoba berdiri, kembali terlempar. Kali ini kepalanya tepat menghantam pilar di seberangnya. Keningnya berdarah. Dia pun pingsan. Begitu juga dengan Beby dan Sevira saat tubuh lemah mereka menghantam rak yang berisi perlengkapan kantor.

Para Pegawai Terpilih pun tidak jauh beda. Badan mereka terlalu sakit untuk sekedar digerakkan. Dalam hitungan detik, para Pegawai Terpilih dan Trio SMA dilumpuhkan oleh tenaga tidak kasat mata.

Anehnya Veranda tidak separah yang lain. Dia juga memang terlempar, namun tenaga itu seperti sekadar menolaknya agar tidak mencapai lift. Energi itu seperti membiarkan dirinya menyaksikan teman-temannya terkapar tidak berdaya. Energi itu mengejeknya dan menyadarkannya bahwa ada perbedaan kekuatan yang jauh di ruangan itu.

“M-Mik. Kh-a! Ko-Ergh!” Di tengah rintihan sakitnya Veranda mencoba memanggil teman-temannya. Namun tidak ada yang merespon.

“Mereka semua sudah pingsan, Sayang. Hihihi. Kalo aku mau, aku bisa bunuh mereka sekarang juga.” Tawa itu lagi. Veranda menutup mata. Bangsat! Belum mati dia rupanya.

“Kamu kira bisa kalahkan aku, Veranda?” Veranda mendengar suara langkah mendekat. Aroma ini. Aroma kegelapan yang sempat dia rasakan di lantai Kamar Pegawai. Dia mendongak, melihat wanita bermata hitam menyeringai. Di belakangnya, dari ruangan belakang dan tangga darurat, segerombolan perusuh kembali datang. Kali ini jumlahnya mencapai belasan. Berapa jumlah orang ini. Mengapa tidak habis-habis, batin Veranda putus asa.

“Jangan pernah mengutus seekor beo untuk melakukan tugas seekor elang. Hihihi. Memang harus aku yang turun tangan supaya ini beres.” Dryad berjongkok di depan Veranda kemudian menjambak rambutnya. Veranda mengaduh. Wajah lusuhnya berhadapan langsung dengan wajah Dryad.

“Kali ini, kau benar-benar tidak bisa kabur lagi, Brengsek. Hahaha!”

Jauh di dalam hatinya, Veranda membenarkan omongan wanita jahat di depannya itu. Siapa lagi yang bisa menyelamatkannya. Dan untuk pertama kalinya, firasat itu datang. Firasat yang mengatakan bahwa ajalnya sudah mendekatinya.

***
Jeglekk! Denggg!

Listrik kembali menyala. Ini saatnya, batin wanita itu. Dengan tergesa dia memencet-mencet tombol buka lift barang. Saat pintu lift barang terbuka, wanita itu langsung masuk dan memencet tombol tutup. Jantungnya berdegup kencang. Apapun bisa terjadi. Dia bisa tertangkap kapanpun. Saat sampai di atas, atau bahkan saat sekarang ini. Aduh kenapa harus aku. Kenapa aku. Kalo tertangkap aku bisa mati. Kalo berhasil pun aku belum tentu selamat. Wanita itu hampir menangis saat membayangkan apa yang mungkin terjadi. Membayangkan skenario yang akan dia jalankan.

Oh Tuhan, selamatkan nyawaku.

***
 
Terakhir diubah:
CHAPTER 74: AKU SAMPAI DI SINI


Habis. Habis sudah. Ternyata cuma sampai sini…

Veranda menatap nanar Dryad dan segorombolan anak buahnya. Tanpa sadar air matanya meleleh.

Valkyrie akan hancur, gara-gara aku gagal…

Veranda perlahan melihat sekitar, ke arah teman-temannya yang terkapar pingsan.

Naomi. Riskha. Nabilah. Beby. Maafkan aku. Gara-gara aku… Kalian…

Ingatan akan keluarga, teman-teman dan Valkyrie tiba-tiba memenuhi pikirannya.

Iya, aku pernah dengar ini. Ketika seseorang akan mati, semua kenangan akan teringat jelas…

“Ekkhh!” Jari-jari lentik Saktia mencekik kencang leher Veranda, kemudian mengangkat tubuh Veranda naik sampai ke atas kepalanya. Para preman yang menyaksikan itu terpana. Bagaimana mungkin seorang wanita bisa mengangkat orang lain hanya dengan satu tangannya? Pasti dia berilmu. Pantas saja dia bisa jadi Bos, pikir mereka.

“Hidupmu, sampai di sini saja hihihi.”

Srakk! Dengan satu gerakan tangan, tali ransel yang disandang Veranda diputuskan oleh energi tak terlihat.

“Kamu kira bisa menghentikan aku hanya dengan dokumen sialan ini?”

Sekali lagi, energi tak terlihat mengoyak sisi belakang ransel itu dan menceraiberaikan isinya ke udara. Beberapa kertas di dokumen merah itu robek.

“Kamu lihat? Aku bahkan tidak peduli isi berkas itu. Saktia bodoh. Kenapa kau harus menyimpan dosamu sendiri? Khehehehe.”

Dryad mendekatkan wajahnya ke hadapan Veranda. Mata hitamnya terlihat jelas. Penuh amarah dan kegelapan yang menyeramkan.

“Tubuhmu akan aku lahap tanpa sisa.”

Veranda merinding ketakutan dan memalingkan wajahnya, melihat ke samping. Dari balik para preman yang mengerumuninya, Veranda dapat melihat jelas lift jauh di belakang mereka. Lift yang sebelumnya menjadi penyelamatnya. Lift tempat keluarnya Trio SMA yang bertugas melindunginya.

Apa tidak ada lagi kejaiban dari sana? Tolong, Seseorang tolong.

Seperti mendengar seruan minta tolongnya, angka di atas lift bergerak. Dari lantai 8.

***


Yona terduduk. Sekujur tubuhnya merinding. Tak pernah dia merasa setakut ini. Kerasnya kehidupan jalanan yang dia alami dulu sebelum bergabung dangan Valkyrie, tidak ada apa-apanya dibanding apa yang dia saksikan sekarang.

Lautan darah memenuhi lantai kantor Management Talent. Belasan tubuh, yang beberapa di antaranya sudah menjadi mayat, bergelimpangan. Rintihan kesakitan dan teriakan menggema di ruangan besar itu.

Di tengah suasana itu, seorang wanita berdiri. Satu-satunya yang masih berdiri setelah dua puluh menit lalu terjadi pertempuran hebat. Pertempuran dua melawan banyak. Bajunya compang camping berhias bekas sabetan, darah dan memar. Kepalanya menunduk dan matanya terpejam. Wajahnya sedikitpun tidak berekspresi. Seakan semua yang terjadi di sekitarnya adalah hal yang biasa.

“Kamu ini… siapa sebenarnya?” Yona berbisik sambil terisak. Dia seakan tidak mengenal wanita yang menjadi rekan kerja dan partner di ranjang.

Beberapa meter dari posisi Yona, Kartika susah payah mencoba bersandar di kaki meja sambil meringis kesakitan. Tusukan golok mengoyak ligamen bahunya. Keringat bercampur darah mengucur. Dia sama sekali tidak menyangka. Gracia, pegawai divisi CPR yang dia kenal lembut dan senang membantu, benar-benar berubah menjadi orang lain. Yang kejam dan tanpa ampun. Dia menoleh ke samping. Arman tidak jauh berbeda kondisinya. Lututnya habis dihajar tongkat besi Yona dan perutnya berdarah diterjang golok Gracia.

“Brengsek! Gila!” jerit Kartika penuh putus asa.

Gracia yang mendengar itu, berbalik badan kemudian berjalan pelan ke arahnya. Kartika merinding.

“Jangan… Jangan! Jangan!”

Masih tanpa ekspresi, Gracia jongkok dan mencondongkan badannya ke arah Kartika. Tatapannya kosong namun terasa mengerikan. Kartika dapat merasakan hawa membunuh Gracia dengan jarak sedekat ini. Badan Kartika menggigil membayangkan apa yang bisa terjadi padanya.

“Kamu… kenapa sampai begini… huhuhu…maaf aku telah menusukmu… maaf…” sambil terisak Kartika menunduk, tidak berani menatap Gracia.

“Kenapa?” Gracia akhirnya bersuara, “Kenapa? Kamu tanya kenapa? Kenapa?” Gracia terus mengulang dengan nada yang sama seperti kaset rekaman.


“Kenapa?,” kali ini Gracia meletakkan ujung golok di leher Kartika, “kamu kira kesalahanmu karena menusukku?”

“Kamu tanya kenapa? Kesalahanmu adalah…" Gracia berbisik sepatah dan perlahan, “kamu berani mengkhianati… merusak… bahkan melukai keluargaku Valkyrie…”

“Kau… dan orang-orangmu… berani mengganggu… ketentraman… rumahku… yang telah… memberimu kehidupan…”

“Dan tidak ada…” Gracia pelan-pelan mulai menyayat leher Kartika, “ampun untuk… pengkhianat… keluarga ini…”

“Ekhhh! Ohokkhh! Kkhhh” Kartika tersedak saat darah muncrat dari lehernya, menyemprot wajah Gracia yang masih tanpa ekspresi menontonnya kesakitan dan perlahan menemui ajalnya. Matanya memutih. Tangannya keras mencengkram lehernya. Kartika mengejang, seperti ikan yang menggelepar di darat.

“Tidak ada tempat… di dunia ini… untuk orang seperti kalian…”

***


Lantai 7. Lift itu berhenti.

Ayolah. Cepat. Tolong aku.

Lantai 6. Lift itu juga berhenti. Seakan seseorang di dalamnya ingin memeriksa setiap lantai.

“Apa yang kau lihat? Owh! Lift! Mari kita lihat siapa ya datang!” Dryad berseru girang.

Lantai 5. Sekali lagi lift itu berhenti agak lama.

Ayolah. Bang Simon. Bos Titan. Om Minmon. Tim Elite Keamanan. Siapapun.

Tring! Akhirnya lift tersebut sampai di lantai 4.

“Mari kita lihat siapa yang datang.” Dryad menyeringai, “kalau yang datang adalah temanmu, maka aku,” Dryad menjilati bibir dan giginya, “akan membunuhnya di depan matamu hahaha!”

Tidak. Kau tidak akan semudah itu membunuh Bang Simon dan tim nya! Mereka kuat! Mereka…

Tring! Pintu terbuka. Harapan Veranda melambung. Pasti penyelamatnya datang. Bos Titan. Atau Bang Simon. Atau bahkan polisi…

Namun ketika pintu lift terbuka, harapan Veranda yang sudah tinggi langsung buyar saat tubuh lemah dan kering, berbaju compang camping dan berjalan dengan tertatih, keluar dari lift tersebut.

“Hahahahaha! Ini kah penyelamatmu?! Hahaha astaga! Mengharukan sekali! Kau menaruh harapan pada… Rio?! Orang yang sudah aku lahap?!”

Selesai. Sudah. Kali ini aku pasti mati.

***

Beberapa preman yang tadi merintih kesakitan kini tidak bersuara. Entah mereka pingsan, atau menemui ajal. Yona bangkit berdiri dan mulai mendekati Gracia yang berjalan ke balik pilar besar. Apa yang akan dilakukannya kali ini?

Jantung Yona berdegup kencang. Apakah kali ini aku aman untuk mendekatinya? Namun ketika menyadari kondisi Gracia dan kondisinya saat ini membutuhkan pertolongan medis, Yona bergegas berjalan menuju balik pilar.

Saat dia melihat ke balik pilar, dia mendapati Gracia mengambil posisi bersila. Kepalanya tegak dan tangannya bertumpu di atas lututnya yang ditekuk. Matanya terpejam. Dengan kondisi penuh luka dan menuju kritis seperti ini, tentu tidak baik berdiam diri. Mereka harus mencari bantuan.

“Gre…” Tidak ada jawaban.

“Gre…” Sekali lagi Yona memanggil, “kondisimu… kamu butuh pertolongan. Ayo, aku bantu kamu. Kita cari med-“

“Yon.” Yona terdiam.

“Aku disini saja. Aku sampai di sini. Tenang, aku tidak akan mati.”

“Ya. Dia tidak akan mati.” Tiba-tiba, dari belakang mereka, entah datang dari mana, muncullah sosok perempuan berumur berbaju serba putih, tersenyum ke arah Yona. Parasnya yang cantik dan auranya yang menenangkan, membuat Yona terpana tidak bisa berkata apa-apa.

“Dia akan aman bersama saya. Kamu ke bawah saja, Viviyona. Saat ini ada yang lebih membutuhkan pertolonganmu.” Senyum wanita berumur itu seperti menghipnotis Yona, membuatnya berdiri dan tanpa berkata apa-apa bergegas menuju tangga darurat, untuk menolong teman-temannya.

“Nak,” wanita itu mengusap rambut Gracia, “lihat apa yang kamu lakukan. Kamu tidak perlu lagi seperti ini ya…”

***
 
Terakhir diubah:
CHAPTER 75: AKU CINTA PADAMU


Rio keluar lift dengan susah payah. Jalannya pincang hampir jatuh mencoba mendekati kerumunan jauh di depannya.

“Saktia… tolong… aku…”

Dryad melepas cengkramannya di leher Veranda. Veranda terbatuk dan langsung menghirup nafas dalam-dalam. Dryad memandang sosok pria lemah di depannya dengan bosan. Apa lagi yang bisa kau beri padaku?

“Saktia… Bawa aku… Aku cinta… Aku.. cinta… padamu…”

Dryad tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Cinta? Padanya?

“Hahaha! Astaga aku udah capek ketawa untuk hari ini! Lelucon apa lagi ini?! Brengsek! Kau cuma buang-buang waktu saja!” Kini Dryad yang berjalan mendekati Rio, diikuti para anak buahnya. Sementara Veranda melihat dokumen yang tercerai berai di dekatnya. Banyak lembar yang masih utuh dan bisa diselamatkan.

“Apa maumu hah?! Udah mau mati masih banyak tingkah!” Makian Dryad disambut gelak tawa anak buahnya.

“Tolong… bawa aku.. kemanapun… kamu pergi.. Saktia… Aku ingin… bersamamu…”

“Saktia sudah mati! Orang yang kau cari sudah mati! Aku bukan Saktia! Dengar?! AKU BUKAN SAKTIA!”

“Tidak…” Rio kini berhasil menggapai tumit Dryad. Dia membungkuk, memohon belas kasihan Dryad, “kau tetap… Saktia… yang kucintai…” Susah payah dia mengucapkan tiap kata.

“Jangan… tinggalkan.. aku…” Kali ini Rio berhasil bertumpu pada lututnya. Para perusuh tidak berani bersuara. Mereka memandang satu sama lain. Momen seperti ini jelas tidak ada dalam bayangan mereka. Mereka pun diam menunggu respon Dryad.

Dryad sama sekali tidak tertarik dengan apapun yang diucapkan Rio. Dia pun menendang dada Rio. Duak! Rio terbatuk-batuk sambil tangannya tetap berusaha memegang kaki Dryad.

“Uohok! Ohokkhh! Saktia! Tolong! Aku hanya ingin! Ohokhh! Bersamamu!”

“Enyah, Brengsek!”

Veranda yang menyaksikan itu membuang mukanya. Dia tidak tahan melihat Rio yang lemah tak berdaya masih harus menerima perlakuan seperti itu. Sudah, Rio. Kau hanya mengulur waktu. Sudahlah. Kita akan bernasib sama.

Tapi melalui celah sempit di antara kerumunan para preman yang mengerumuni Rio, sekilas Veranda melihat tatapan Rio padanya. Tatapan penuh arti. Dan kali ini, Rio berbisik kepada Veranda. Bisikan yang cepat dan tentu tidak terdengar, namun Veranda dapat membaca dari gerak bibir Rio,

Terima kasih.

“Sudah! Mati saja!” Dryad menggoyang kasar kakinya, mencoba melepas pelukan Rio.

“Iya Saktia… Aku… mati saja…” Rio melepas dekapannya dan perlahan meraih sesuatu dari balik punggungnya. Dengan satu gerakan kilat yang tak seorangpun menyangka, Rio mencabut sesuatu dengan dua tangannya di balik kemeja lusuhnya, kemudian memeluk kembali kaki Dryad, kali ini dengan jauh lebih kencang, sampai Saktia terkejut melihat kekuatan pelukan Rio di kakinya. Bagimana dia bisa memeluk sekencang ini…

Sejenak mereka mendengar suara dentingan besi. Kemudian dua bola kecil jatuh dan bergulir dari balik badan Rio. Mereka membelalak ketika menyadari apa benda tersebut…

“Aku mati. Bersamamu.” Rio memandang Dryad sambil tersenyum.

“GRANAT! LARIII!”

Dryad dengan gusar dan panik menendang tubuh Rio. Namun dekapan Rio seperti terkunci. Dryad kemudian mengerahkan energi yang cukup besar untuk menolak tubuh Rio. Kali ini Rio tertolak. Pelukannya terlepas. Ternyata Rio dengan cepat memeluk erat kembali. Dryad mendapati ekspresi Rio yang sangat berbeda dengan saat dia keluar dari lift. Tatapan Rio penuh amarah bersama sisa tenaga yang bisa dia kumpulkan. Brengsek! Ternyata anak ini hanya pura-pura lemah! Dryad sadar telah ditipu.

“Graaahhh!” Kali ini energi Dryad berhasil melempar tubuh Rio. Rio langsung terpelanting sejauh empat meter. Namun energi Dryad tidak sempat melempar dua buah granat yang terjatuh di depannya. Sementara anak buahnya belum sempat berlari jauh…

Setiap detik dirasakan Veranda seperti melambat. Setiap detik di mana dia menyaksikan dua granat itu meledak dan menghantam tubuh Dryad dengan jarak yang begitu dekat. Pun dengan anak buahnya. Tubuh mereka melayang seperti adegan lambat yang biasa Veranda saksikan di film. Veranda bahkan dapat melihat luka bakar yang menghujam setiap mereka. Dan asap hitam yang membumbung dari ledakan tersebut.

Rio pun tidak luput dari ledakan tersebut. Tubuhnya terpelanting semakin jauh. Kepalanya dihantam kepingan besi dan kayu. Rio sudah pasrah. Dia sadar dia hanya bisa membantu sejauh itu.

Birowo… Ini kan maksud kamu… Meledakkan Valkyrie… Aku turuti permintaanmu…

Veranda… Terima kasih untuk bantuanmu… kalau tidak ada kamu mungkin aku sudah mati di atas sana… Sekarang izinkan aku membalas jasa…


“Rioooo…!” Veranda berteriak dengan penuh rasa bersalah. Rio yang dipikirnya hanya mengulur waktu, ternyata berhasil melumpuhkan Dryad yang saat ini terlempar dengan kondisi yang menyedihkan. Sebagian rambutnya terbakar, bagian depan bajunya tidak bersisa, dan yang paling mengenaskan, tangan kanannya hancur juga kaki kirinya hampir putus. Veranda dapat dengan jelas menyaksikan kondisi Dryad yang mendarat di depannya. Para anak buah Dryad juga tidak luput dari ledakan itu. Semuanya terkapar kesakitan dan tak sadarkan diri. Suasana di lantai 4 hancur berantakan. Untunglah para Pegawai Terpilih dan Trio SMA yang pingsan jauh dari ledakan itu.

Beberapa titik api mulai melahap beberapa kertas yang berhamburan dan meja kantor yang terbuat dari kayu. Veranda yang sudah mengumpulkan tenaganya langsung berdiri dan berlari menuju kotak APAR. Dia memecahkan kaca kotak itu dan menyemprotkan pemadam ke beberapa titik api. Kemudian Veranda berlari menuju Rio yang tergeletak di dekat lift.

“Rio! Rio! Ayo bangun!” Veranda menepuk pelan pipi Rio yang hitam terkena asap ledakan.

Rio pun tersadar, dan tak lama kembali pingsan. Tetapi Veranda dapat jelas mendengar bisikan lemah Rio, “San...na...” Veranda terisak menangis. Bagaimana dia bisa meninggalkan teman-temannya di kondisi seperti ini? Bagaimana jika dia tidak bisa menyelematkan mereka?

“Kak Ve!” Teriakan di belakang Veranda mengangetkannya. Ternyata Riskha. Kali ini Veranda berlari mendekati Riskha yang sudah sadar. Sambil merintih kesakitan Riskha mencoba bangun. Veranda langsung membantunya duduk.

“Kak… Cepat! Temui Bos! Beritahu dia semuanya! Ergh-jangan hiraukan kami! Kami gapapa!”

“Tapi Kha…-“

“Cepat Kak! Cuma kakak yang bisa! Ohokkh! Ekhh!” Riskha berteriak sampai terbatuk. Mau tak mau Veranda harus turun ke bawah. Dengan berat hati dia berdiri dan berlari mengumpulkan berkas-berkas dokumen yang masih bisa diselamatkan. Sialnya, beberapa dokumen hangus terkena api ledakan.

Semoga kita semua selamat, batinnya sambil berlari ke bawah. Melewati lantai 3.

***
 
Terakhir diubah:
Bimabet
Terima kasih untuk Suhu yang sudah menunggu bahkan mengingatkan untuk melanjutkan cerita ini. Enjoy Valkyrie Management!

Sebelumnya, di Valkyrie Management:
Harapan kecil berdampak besar. Rio yang dianggap remeh oleh Dryad dan komplotannya, bahkan juga oleh Veranda, justru berhasil melumpuhkan Dryad dengan satu rencana cerdik. Kini tidak ada yang bisa menemani Veranda, untuk menemui Bos Titan.

CHAPTER 76: BLACK MELODY


Cepat. Harus cepat. Harusnya udah aman. Aku bisa ketemu pegawai lain.

Veranda berlari menyusuri tangga darurat menuju lantai dasar. Namun saat langkahnya menapak di dasar tangga lantai 3, Veranda berjengit kaget saat melihat beberapa orang berjubah hitam berdiri di tengah tangga turun menuju lantai 2. Wajah mereka tertutup lebarnya tudung jubah. Kepala mereka menunduk. Beberapa makhluk itu hanya diam, namun Veranda tentu paham mereka tidak akan diam saja jika dia melewatinya.

Siapa lagi mereka ini? Anak buah Dryad?

Tampaknya Veranda tidak ditakdirkan untuk dapat turun dengan cepat dari tangga darurat. Setiap lantai ada saja yang menghambat. Mau tidak mau Veranda harus membuka lagi pintu tangga darurat untuk menghindar.

Setidaknya aku bisa bertemu pegawai lain. Aku bisa meminta bantuan mereka.

Brak. Veranda membuka pintu tangga darurat. Dia melongo.

Ruangan besar tempat beberapa divisi bekerja, seperti Divisi Keuangan, Administrasi, General Affair, kosong melompong seperti sudah lama ditinggalkan. Seperti lantai 4, tidak ada satupun pegawai terlihat. Beberapa kertas dan dokumen bertebaran namun yang lain tampak normal.

Astaga! Kemana semua orang-orang?

“Kamu nyari siapa?”

Veranda membelalak mendengar suara seseorang di belakangnya. Suara yang sangat dikenalnya. Salah satu orang yang sangat ingin ditemuinya saat ini, walaupun dia ingat hubungan mereka kurang baik.

“Mel!”


Baru saja Veranda mau berlari menuju Melody dan memeluknya, namun setelah membalikkan badan langkahnya langsung terhenti. Melody tengah duduk di salah satu kursi kerja. Tubuh rampingnya dibalut pakaian kerja serba hitam, dari ujung kaki ke ujung kepala. Namun yang membuat Veranda terkejut, makhluk-makhluk berjubah hitam yang tadi Veranda lihat di tangga darurat, berbaris rapi di belakang Melody. Firasat Veranda tidak enak. Para makhluk itu seperti… menghipnotis Melody.

“Kak… Siapa mereka…”

Tanpa menggubris pertanyaan Veranda, Melody melipat tangannya dan memerintah tanpa menoleh ke para pria berjubah itu, “Tugas kalian sudah selesai. Dari sini aku yang ngurus.”

Veranda menelan ludah. Setelah berdarah-darah mengalahkan Dryad si Jahat sampai harus mengorbankan Rio dan para Pegawai Terpilih, apa lagi yang akan dihadapinya saat ini? Tidak bisa kah gedung ini membiarkannya bertemu Bos Titan atau Om Minmon lima menit saja?

“Kalian bisa pulang ke markas kalian.”

“Bapak memerintahkan kami untuk memastikan Ibu menyelesaikan urusan Ibu.”

“Terserah.” Melody tidak peduli lagi dengan keberadaan mereka. Kini apa yang dicarinya sudah muncul di hadapannya. Semua berjalan dengan rencananya. Melody tidak perlu capek-capek mencari Veranda karena salah seorang pesuruhnya memberitahu bahwa Veranda sedang berjuang menuju ke bawah. Emosinya membara melihat seseorang yang menurutnya merupakan dalang dari kerusuhan pada hari ini kini ada di depannya. Seseorang yang menurut Melody sudah meluluh-lantakkan Valkyrie yang dengan susah payah sudah dibangun oleh Bosnya. Kecintaan Melody kepada perusahaan tempat dia bernaung berubah menjadi amarah tatkala melihat Veranda si anak baru yang dengan tidak tahu malu berkhianat di depan mukanya.

Kini tidak ada lagi yang menghalangi mereka. Semua pegawai sudah diamankan ke lantai bawah. Melody bangkit dari duduknya. Saat akan berjalan mendekati Veranda, salah seorang pria berjubah memanggilnya pelan,

“Ibu…”

“Apa lagi?”

“Bapak menitipkan sesuatu.”

Dari belakang, pria berjubah hitam tersebut menepuk pelan punggung Melody. Sedetik kemudian, tubuh Melody mengejang. Dia merasa ada energi besar yang dipaksa masuk ke dalam tubuhnya. Anehnya, tidak sedikitpun ada rasa sakit. Malah Melody merasa tubuhnya menjadi lebih ringan. Pandangannya pun terasa lebih tajam.

Kejadian itu berlangsung hanya beberapa detik. Melody kini merasa seperti kembali lahir. Sensasi ini bahkan terasa lebih hebat dari sensasi pada saat dia menelan Pil Ultimate. Melody dapat merasakan suatu energi tak terlihat bergumpal di telapak tangannya.

“Hey.” Melody memanggil pria yang tadi menepuk punggungnya.

“Iya, Ibu?”

“Lain kali kalau mau menyentuhku… MINTA IZIN DULU!” Melody menghentakkan lengannya ke arah pria itu. Tak diduga, pria itu terlempar jauh menghantam dinding yang berjarak beberapa meter di belakangnya.

Semua yang melihat kejadian itu terkejut, tidak terkecuali para pasukan Tengkorak Hitam. Setahu mereka Bapak hanya menitipkan energi, tapi mengapa jadi semengerikan ini?

“Hah hahahaha! Boleh juga Bosmu! Kenapa ngga dari tadi kalian berikan?! Aku bisa menyelesaikan semuanya ini sendiri kalo begini!”

Kini Melody menatap kembali buruannya. Dengan tangannya yang terkepal geram, Melody kini berjalan menuju Veranda yang refleks mundur.

“Mampus kau. Kau pasti mati di tanganku.”

***

“Ergh… Kha…”

“Ay! Ay! Kamu bisa bangun?”

“Akh.. Ohok! Ohok!” Ayana mencoba bangun, namun nafasnya sesak sampai dia terbatuk.


“Jangan dipaksakan Ay. Kamu diem aja dulu! Kit-“ Omongan Riskha tiba-tiba terhenti.

Ayana yang belum bisa bangun menyadari perubahan mendadak Riskha, “Kha.. Ada apa? Kha…”

Ayana menggoyang-goyang tubah Riskha, namun Riskha bergeming. Pandangannya kosong ke depan.

“Kha! Kenapa kamu diem?”

Tanpa diduga, satu pukulan menghantam pipi Ayana. Pukulan dari tangan Riskha.

“Kha…” Ayana meringis sakit menahan perih di pipinya.

“Kha… Kenapa…”

***

“Menghindar!”

Prang! Vas bunga kaca yang menjadi penghias lobi tengah mendarat tepat di kening salah satu perusuh. Komandan Hary refleks melihat pelempar di balik dinding kaca. Melempar dengan timing seperti itu dan tepat mengenai sasaran berukuran kecil jelas bukan keahlian biasa.

“Anda…”

“Kamu siapa?” Pria gundul berkulit coklat gelap terengah mendekati Komandan Hary, diikuti dua pria lain di belakangnya.

“Saya Hary, ketua tim Gugus Tempur Reserse Kriminal.”

Pria di depannya tiba-tiba ambruk. Komandan Hary dan dua pria di belakangnya dengan sigap membopongnya untuk bersandar.

“Pak! Pak! Anda gapapa?!” Komandan Hary sedikit panik.

“Baru kali ini…” Pria itu tersenyum, “saya ketemu sekutu. Ah iya, saya Simon. Ketua tim elite keamanan Valkyrie...”

Setelah selesai memperkenalkan diri, kepala Bang Simon menunduk lemas.

“Pak! Pak Simon!”

“Bang!”

Bang Simon tidak tahan lagi. Dia sudah tidak dapat menahan seluruh rasa sakit di sekujur tubuh yang dari tadi ditahannya. Namun Bang Simon memang membiarkan tubuhnya menerima seluruh rasa sakitnya sekarang, karena untuk kali pertama di hari itu, dia merasa lega. Seluruh perusuh sudah berhasil mereka lumpuhkan.

***
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd