CHAPTER 86: REVEALED (2)
Hari terakhir di Rumah Eyang.
Om Minmon menjadi satu-satunya Penjuru yang masih di Rumah Eyang. Para Penjuru lainnya sudah kembali ke tempat masing-masing satu hari sebelumnya. Kini dia duduk di depan halaman bersama sang empunya rumah. Di hadapannya terletak satu teko berisi teh Da Hong Pao, salah satu teh langka yang menjadi favoritnya kalau datang ke rumah Eyang.
“Enak yah, Eyang, punya rumah di sini. Bangun pagi bisa langsung merasakan kesegaran seperti ini.”
“Kamu mau tinggal di sini?” Eyang menoleh sambil tersenyum menggodanya. “Kalo kamu mau, biar saya ajarkan cara berkomunikasi dengan para warga penghuni hutan belakang bukit.”
“Eh ga jadi deh Eyang terima kasih.” Jawab Om Minmon cepat-cepat, yang disambut tawa terbahak Eyang.
“Eyang…”
“Ya?”
“Anggoro masih marah ke saya?”
“Kalaupun masih marah, wajar. Kamu sudah mengambil harta berharganya.”
Om Minmon terdiam. Eyang mengatakan hal yang sama dengan yang di pikirannya.
“Tetapi saya sudah mengatakan kepadanya, apa yang hilang, akan kembali. Apa yang diambil, akan diberi. Semuanya seimbang.”
“Itu berarti… apa yang saya ambil, akan hilang?”
“Keseimbangan itu banyak caranya, Saka. Walaupun kamu belum mengambil, takdir bisa saja terlebih dahulu mengambil darimu.” Mendadak Om Minmon teringat Melody. Apa yang dikatakan Eyang benar adanya.
“Tentang gadis itu, Garis Kehidupan sudah menariknya kepada darma yang sebenarnya. Dia akan membantu Bagus. Saya yakin akan banyak yang bersedih, namun bukankah kehidupan ini seperti itu? Ada yang datang, ada yang pergi. Hanya waktu yang bisa melepaskan.”
Om Minmon manggut-manggut membenarkannya. Eyang kembali menyesap tehnya.
“Eyang… saya boleh cerita sedikit?”
“Waktumu tak terbatas di rumah ini, Saka.”
“Mmm… tahun lalu saat saya dengan yakin mengatakan ingin meninggalkan darma Penjuru Manusia ini dan siap untuk dihapus ingatannya, ada dua alasan besar. Yang pertama, saya merasa tidak pantas menjalankan darma ini. Saya sering mempermainkan wanita. Dengan kuasa yang saya punya, saya juga sering mempermainkan hak orang lain.”
Eyang mengisi kembali teh di gelasnya yang sudah habis, “Kalau pengemban darma Penjuru harus manusia yang murni dari dosa, siapakah yang layak? Tidak ada yang luput dari dosa dunia ini, Saka. Saya yakin di balik segala yang kau lakukan, kau tetap menjalankan kebajikan yang sudah tertanam lama di hati pikiranmu. Dan ke depannya, kebajikan itu akan mengalahkan nafsu duniawimu. Alasan lainnya?”
“Alasan lain karena saya tidak tahan sendirian menjalankan tugas ini, Eyang. Sementara Penjuru lain punya ‘pasukan’. Bahkan Penjuru Alam punya ratusan bawahan. Walaupun Penjaga Penjuru Manusia membantu saya, saya rasa kami tetap kewalahan. Karena itu, Eyang, walaupun saya siap menjalankan tugas ini kembali, hal itu masih mengganjal di pikiran saya.”
Eyang menepuk bahu Om Minmon pelan, “Dari zaman lalu, tanpa menafikan peran Penjuru lain, darma Penjuru Manusia selalu menarik perhatian saya. Karena tugasnya yang cukup berat, namun dilakukan oleh satu orang tanpa bala bantuan. Oleh karena itu, pencarian pengemban darma Penjuru Manusia memakan waktu yang jauh lebih lama dari Penjuru lainnya.”
“Namun seiring berjalannya waktu dan semakin rumitnya Garis Kehidupan, saya melihat bahwa sudah saatnya darma Penjuru Manusia tidak diemban oleh satu orang lagi. Dia harus memiliki pasukan, seperti Penjuru lain.”
Om Minmon sedikit terkejut, “Itu artinya…”
“Empat. Empat orang yang akan membantumu menjalankan darma ini. Empat orang yang jalinan takdirnya sudah terhubung dan keberaniannya sudah teruji. Garis Kehidupan mereka sangat panjang. Kau hanya perlu mengasah mereka. Menempah mereka sampai akhirnya mereka siap terjun.”
“Eyang… ini serius? Siapa mereka?”
Eyang tersenyum simpul, “Cari tahu sendiri. Yang pasti, saat ini mereka sudah berkumpul.”
***
Buuooonng!
Suara sangkakala hitam menggema memenuhi ruangan altar. Ratusan pria berjubah hitam berbaris rapi sambil berlutut. Kepala mereka menunduk sambil mulut mereka komat-kamit merapalkan mantra.
“Kamu… tidak takut?”
“Aneh. Aku merasa seperti sudah lama berada di sini.”
Bapak tersenyum, “Melody, sebentar lagi kita akan memulai ritualnya. Kehidupanmu akan berubah setelah ini. Kamu… siap?”
“Kok Bapak sang penguasa Tengkorak Hitam ngomongnya ga meyakinkan gini sih.”
“Hahaha aku hanya ingin memastikan. Karena setelah ini, kamu akan menjadi seseorang yang tidak lagi sama. Kehidupanmu pun akan sangat berbeda."
Melody tiba-tiba memegang kedua pipi Bapak, “Kalo kamu mau lanjut, aku ikut kamu.”
“Oke, kalo begitu ayo.”
Merekapun berjalan ke balik tirai di depan. Kini di hadapan mereka, di bawah sana, kidung pemujaan dari semua pasukan Tengkorak Hitam menggema. Tangan mereka serentak terangkat. Dentuman tongkat mengiringi kidung dengan ritme lambat.
Di hadapan Melody, seorang wanita tua berjubah hitam berdiri sambil memegang wadah dan belati.
“Apakah kau sudah siap?”
“Saya siap, Penjaga Penjuru Gaib.”
“Terimalah Garis Kehidupan ini, Samudera. Takdirmu bersama Bintang Kejora sebagai Penjuru Gaib kini terwujud.” Belati bergagangkan tengkorak mulai menyayat satu garis lurus vertikal di kening Melody. Dia merasakan aura hitam nan pekat memenuhi tubuhnya. Dadanya terasa penuh. Bola matanya menghitam.
Melody tanpa sadar berlutut, merentangkan tangannya ke atas dan mulai merapalkan mantra yang tak pernah dihapalnya. Sampai akhirnya mulutnya berhenti merapal, yang disusul berhentinya kidung ritual dan dentuman tongkat. Bapak meraih tangannya dan membantunya berdiri.
“Selamat datang di Penjuru Gaib, Samudera. Kini kau bagian dari kami.”
***
“Sampe kapan sih ni cewek kita jagain?”
“Ga tau. Udeh turutin aja. Toh dibayar mahal.”
“Ya kalo emang ga dipake lagi biar gue pake gitu hahaha.”
“Heh jangan
ngadi-ngadi deh lu, lu mau mati apa? Lu kagak tau siapa yang nyuruh kita?”
“Hah kagak tau. Gua akan ikut elu.”
Suara genit dari balik kandang besi menghentikan debat mereka.
“Mas… Mau pake aku? Pake aja sini. Ntar aku ga bilang siapa-siapa deh.”
“Eh anjir dia kok bisa ngomong? Eh lu lupa masang ngiket mulutnya ya? Ah bego lu. Ntar kita dimarahin Bos lho!”
“Eh iya lupa gue, mampus. Yaudah bentar gue iket lagi.”
Pria jangkung itu cepat-cepat membuka gembok kandang besi itu, kemudian meraih kain di dekat kakinya. Namun wanita itu berbisik,
“Kamu ga perlu buka rantai kaki dan tanganku. Kamu cuma perlu buka penutup mataku. Gelap. Tolong kasihani aku. Aku teriksa tidak bisa melihat seperti ini.”
“Ngga. Saya nerima perintah untuk tetap tutup mata kamu.”
“Apa yang bisa aku lakukan kalau kaki tanganku diborgol kencang seperti ini. Hanya penutup mata ini saja. Tolong aku. Aku ini korban penculikan mereka. Aku janji tidak akan berbuat apa-apa.”
“…Bahkan kamu bisa menikmati tubuhku. Aku tidak akan melawan. Toh kamu memegang kuncinya. Aku ga akan bilang siapa-siapa. Bagaimana?”
Glek. Pria jangkung itu menelan ludah. Ya, tidak mungkin dia bisa lepas hanya karena penutup matanya dilepas.
“Yaudah, agak maleman. Janji jangan macam-macam. Gue juga dari kemaren sange ngeliat elu.”
“Oke, sayang. Janji. Aku ga akan macam-macam.” Wanita yang diborgol itu tersenyum jahat.
***
Malam pun tiba.
Jeglek! Bunyi gembok pintu gudang terbuka. Wanita di dalam kandang besi itu tersenyum.
Kena kau! Kini aku akan bebas.
Saat langkah kaki makin dekat, dia semakin tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya.
“Sebentar ya Mbak.” Suara pria jangkung terdengar di sampingnya.
“Garrh.” Sumpalan dan ikatan di mulutnya membuatnya tidak bisa berkata jelas.
Kleng! Gembok kandang besipun terbuka. Wanita itu siap-siap menerkam penjaga itu dan menyerap saripatinya. Dia akan kabur dalam hitungan detik.
Hahaha aku akan menghilang dari sini!
Pengikat mulutnya dilepas dan sumpal dikeluarkan dari dalam mulutnya.
“Terima kasih sayang. Cepat nikmatin aku. Tapi buka dulu penutup mataku.”
Penutup matanya pun terbuka.
“Akhi-“
Dryad bengong. Di hadapannya bukan hanya seorang penjaga yang tadi sore dia goda, tetapi juga dua orang yang dia kenal.
“Bagaimana, Gus?”
“Oh yang ini. Bisa, Pak Mino. Dia cuma iblis kecil hasil ritual Saktia sepuluh tahun lalu. Bisa saya
handle.”
“Brengsek! Apa mau kalian!” Dryad langsung menyentak. Namun gertakannya tidak berarti apa-apa.
“Tadi sore kamu godain anak buah saya ya? Hahaha dasar Iblis.”
“Kamu! Kamu pemimpin Tengkorak Hitam! Aku tau kamu! Jangan macam-macam! Kekuatanmu tidak ada apa-apanya!”
“Ya terserah. Saya sedang berbicara dengan siapa sekarang? Dryad atau Saktia?”
“Diam kamu!”
Anak buah Bapak kemudian melepas ujung borgol dari kandang besi kemudian mengaitkannya kembali ke pergelangan tangan Saktia. Begitu juga dengan kakinya.
“Bikin cepat aja, Gus.”
“Baik, Pak Mino.”
Plasma hitam mendadak muncul di telapak tangan Bapak. Mulutnya merapalkan mantra sementara plasma hitam itu semakin membesar.
“Apa yang kamu lakukan?! Mau apa kamu! Jangan! Jangan! Lepaskan sayaa!”
Bapak perlahan mendekatkan telapaknya ke dahi Dryad. Sedetik kemudian lengkingan kesakitan paling memilukan menggema di gudang itu.
“Sudah? Begitu saja?”
“Iblis ini tergolong lemah, Pak. Dia hanya menghisap energi, bukan jiwa. Dan itu hanya untuk kekuatan sementara. Tidak ada perlawanan yang berarti. Dia sudah hancur.”
“Ini artinya?”
“Silahkan, Pak. Sekarang sudah kembali ke empunya jiwa sebenarnya.”
Wanita didepan Om Minmon mengerang kesakitan. Suaranya kembali seperti yang Om Minmon kenal.
“Saktia?”
“O-omm ergghh. Sakiitt… Tolong aku…”
Melihat Saktia yang menahan sakit di sekujur tubuhnya, Om Minmon menoleh ke Bapak, “Yasudah, kamu bisa tinggalkan kami? Tunggu di luar aja, Gus. Kalo udah kelar aku panggil lagi.”
“Baik, Pak. Ayo.” Bapak dan anak buahnya yang jangkung pun pergi.
***
“Hai, Saktia. Apa kabar? Sudah lama kita ga berbincang seperti ini.”
Saktia disandarkan di tiang besi. Om Minmon kemudian mendekatkan ujung botol air mineral ke mulutnya untuk membantunya minum. Kucuran air keluar dari mulutnya dan membasahi pakaian kumalnya.
“Bagaimana rasanya kembali ke tubuh sendiri?”
Saktia belum juga menjawab.
“Jadi yang kemaren jadi dalang kerusuhan itu, kamu atau Dryad?”
Pelan-pelan akhirnya Saktia menjawab, “Dr-yad, Om…”
“Fiuh untunglah. Om udah takut kalo itu kamu.”
“Bukan, Om. Om… tolong ampuni aku… Aku mengaku salah…”
“Yeah,
you should. Kalo Tristan emang udah nyerahin perkara ini ke aku. Dia ga mau tau lagi urusan kamu. Tapi kalo saya,” Om Minmon tersenyum penuh arti, “saya orangnya fleksibel dan penuh kompromi kok.”
“Terima kasih Om. Tolong aku Om, tolong ampuni aku.” Saktia yang sudah sedikit pulih tentu tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia yakin Om Minmon masih menyayanginya.
“Sejak insiden itu, jadwal Pil Ultimate menjadi terganggu dan tertunda. Tapi dari awal, saya sudah mengatakan bahwa setiap Pegawai Terpilih mendapat jatah satu Pil Ultimate…”
“…bahkan ketika dia tidak menjadi Pegawai Terpilih lagi.”
Dengan gerakan cepat Om Minmon membenamkan telapak tangannya ke mulut Saktia, untuk memaksanya menelan Pil Ultimate. Saktia yang tidak menyangka gerakan itu hanya bisa tersedak. Tubuhnya masih terlalu lemah untuk melawan. Om Minmon kemudian membenamkan botol air mineral untuk semakin memaksa Pil Ultimate itu masuk ke dalam tubuhnya.
“Saya orang baik, bukan? Apa yang menjadi hakmu tetap kau dapatkan.”
Beberapa detik kemudian Pil Ultimate bekerja. Tubuh Saktia mendadak panas. Dia merasa ada sesuatu yang akan meledak dari dalam tubuhnya. Dia dapat merasakan kulitnya berasap tipis. Giginya menggeretak menahan sensasi itu.
“Grrhhhhhahhhh O-oommm engghhh!”
“Iyap, nikmatilah.”
Tubuhnya meringkuk menahan rasa panas itu selama beberapa menit. Om Minmon yang menyaksikan proses itu hanya tersenyum.
Salah. Jalan yang kamu ambil salah, Saktia. Dan seperti kata Eyang, setiap pilihan ada konsekuensinya. Jalani konsekuensimu.
Setelah beberapa menit akhirnya sensasi itu berhenti. Saktia terengah-engah kelelahan. Namun dia merasakan suatu sensasi baru di tubuhnya. Tubuhnya seperti menagih untuk dipuaskan. Libidonya melonjak. Cepat-cepat dia bangun untuk meraih Om Minmon.
“Om! Om! Tolong! Puaskan aku! Entot aku, Om! Nikmati memekku!”
“Bukain dong celanaku.” Om Minmon berjalan ke arah kursi besi yang tak jauh dari situ.
Dengan kesetananan Saktia mengejar Om Minmon. Dia membuka ikat pinggang dan kancing celana saat Om Minmon sudah duduk, kemudian meraih batang penis Om Minmon dari dalam celananya. Tanpa aba-aba Saktia langsung melumat penis Om Minmon. Tak pernah dia rasakan penis Bos-nya segurih ini. Dengan buru-buru dia menjilat dan menyedot penis Om Minmon sambil tangannya mengocok pangkal penis Om Minmon.
“Hmmmphh enak banget Om! Enak!”
Tak lupa dia menyedot buah zakar untuk menaikkan libido Om Minmon. Liurnya menetes-netes membasahi penis dan zakar. Om Minmon terhibur dengan gundiknya yang kesetanan meminta dipuaskan.
“Sudah siap?”
“Sudah! Sudah Om! Entot aku! Genjot memekku Om!”
“Hahaha dasar perek murahan!”
“Iyah! Iyah! Aku perekmu Om! Aku ga akan melawan!”
“Bagus. Sini,” Om Minmon menjambak Saktia yang justru menikmatinya, kemudian menunggingkannya di kursi besi itu.
Sambil menggosok-gosokkan kepala penisnya ke klitoris Saktia, Om Minmon memandangnya dengan penuh arti.
Saat kamu dulu hampir mati aku menyelamatkanmu. Dan ini balasanmu? Tapi kalau memang ini pilihanmu, jalanilah akibatnya.
“Ngghhh iyaahhh!” Rasa perih di liang vagina Saktia tidak dipedulikannya, saat penis Om Minmon memaksa masuk ke dalam lubang selangkangannya yang masih kering. Liang vaginanya mencoba melawan dengan menjepit penis Om Minmon, namun penis itu terlalu gahar untuk dilawan. Labia Majora vaginanya semakin melebar menyesuaikan ukuran penis Om Minmon.
“Gimana, Via? Enak?”
“Enakh! Enak! Lagi Om! Keluarkan semua maninya!”
“Khehehehe.”
Om Minmon mulai menggoyang pinggulnya maju mundur. Sambil menggenjot, tanpa ampun dia menampar bokong putih Saktia sampai memerah.
“Iyah Om! Saktia nakal! Saktia harus dikasi hukuman! Erghh!”
“Termasuk hukuman ini?” Om Minmon memasukkan tiga jarinya sekaligus ke lubang pantat Saktia. Rasa sakit menggerayangi tubuh Saktia, namun tidak digubrisnya. Libidonya semakin menggelora seiring Om Minmon mengorek-ngorek lubang anusnya.
“Hahaha! Enak! Genjot duburku juga, Om! Duburku juga sempit! Ergh! Yeah! Yeah!”
“
As you wish, bitch!”
Om Minmon mencabut penisnya dari vagina dan tanpa ampun menyorongkannya ke lubang pantat Saktia. Bola mata Saktia memutih. Rasa enak ini tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Saktia merasakan sakit yang amat sangat, namun dibarengi dengan rasa nikmat yang merayap ke seluruh tubuhnya. Penis yang memaksa masuk ke liang pembuangannya justru menggetarkan tubuhnya untuk meraih orgasme perdananya.
“Iyah engggghhhhh Oooomm aku keluarrrghhh!” Cairan bening menyembur-nyembur dari balik liang vaginanya. Pahanya bergetar hebat. Saktia seakan tidak bisa berkuasa atas tubuhnya sendiri saat vaginanya belum juga berhenti memuncratkan cairan bening. Om Minmon hanya terkekeh saat melihat celananya basah oleh
squirting Saktia. Tak sedikitpun dia mengendurkan genjotan penisnya di lubang anus Saktia.
“Yes! Yes! Kamu bener Saktia! Anusmu sempit banget! Enak banget anjing hahaha!”
“Iyah, Bos! Iyah! Entot Saktia sepuasmu Bos! Saktia akan patuh!”
Om Minmon menjambak rambut Saktia sampai dia berdiri, “Kalo patuh kamu tau apa yang aku butuh!” Kemudian menerjangnya sampai terjembab. Om Minmon kemudian duduk sambil terengah-engah.
Saktia yang paham langsung mengambil posisi mengangkang dan memasukkan penis Om Minmon ke dalam vaginanya. Om Minmon yang melihat itu langsung menampar pipinya bertubi-tubi.
“Siapa yang suruh masukin ke memekmu?! Hah?!” Plak! “Kamu kira memekmu itu enak hah?!” Plak! “Jauh lebih enak memek lonte murahan di pinggir jalan, anjing!” Plak! Pipi Saktia merah, namun sedikitpun tidak terpikir untuk melawan. Cepat-cepat dikeluarkannya penis Om Minmon dari vaginanya kemudian ditanamkan ke dalam lubang anusnya.
“Iyah! Cuma itu yang enak dari tubuhmu! Tubuh sampah! Genjot! Mana genjotanmu?! Anjing!” kembali Om Minmon menampar dan kali ini menghantam hidung Saktia. Darah keluar dari lubang hidungnya.
“Apa?! Kalo kamu mimisan jadinya udah selesai?! Gitu?!”
“Ng-ngga, Bos…”
“Ngga apanya?!” Plak! Sekali lagi tamparan mendarat di pipinya. “Siapa suruh kamu berhenti. Anjing sampah! Anak perek! Begini hasil didikanku?!”
Saktia terus fokus menggenjot untuk menggesek penis di dalam lubang anusnya, sementara wajahnya habis ditampar dan dipukul Om Minmon.
“Ngga enak, Saktia! Penisku ga dapat kenikmatan! Brengsek!” Om Minmon meraung. Dia mencengkram pinggul Saktia kemudian dengan kasar dia menaikturunkan tubuh Saktia.
“Belum mentok! Harus kamu bikin mentok! Tolol!”
“I-iyah, Bos. Ma-af.” Wajah Saktia sudah lebam. Pandangannya kabur, namun dia tidak boleh mengecewakan Bosnya. Dia memaksa tubuhnya untuk tetap menggenjot sedalam mungkin, walau itu berarti duburnya sangat perih.
“En-enakh, Bos? Ampuni Saktia. Ampun, Bos. Saktia janj-“ Plak! Kali ini hantaman mendarat di mulutnya.
“Siapa yang suruh lo ngomong hah?”
“Ampu-“ Plak!
“Siapa yang suruh lo ngomong?!”
Saktia terdiam. Dia tidak berani meringis saat rasa perih semakin menggelora di selangkangannya. Saktia bisa merasakan darah mengalir keluar dari lubang anusnya.
“Saktia.” Om Minmon memanggilnya.
“I-i-iya, Om.” Saktia bergetar menahan tangis.
“Kamu tau ga, beginilah kondisimu saat kami selamatkan di basement parkiran mall beberapa tahun lalu. Dokter bilang, kalo saya dan Simon terlambat menyelamatkanmu semenit saja, kamu sudah tidak ada lagi di dunia ini.”
“Ng-nghh-nghhuhuhu…” Saat itulah Saktia merasa sangat terpukul. Dia baru tersadar bahwa apa yang dilakukannya selama ini benar-benar salah. Genjotannya berhenti, namun Om Minmon tidak mempedulikannya.
“
After all we did for you, ini balasanmu? Dari mana pikiranmu untuk menghancurkan Valkyrie?”
“Ampu-un Om huuhuhuhu. Saya benar-benar menyesal. Saya ber-s-sedia menanggung kh-kh-hukumannya O-om…” Om Minmon kemudian mengangkat tubuh Saktia dan membiarkannya di lantai. Saktia menyembah Om Minmon sambil memegang mata kakinya, memohon untuk diampuni.
“Saya harus berhutang kepada Sang Leluhur dan dua Penjuru untuk membersihkan kotoran yang kau buat.”
Om Minmon memasang kembali celana dan ikat pinggangnya, kemudian berjalan keluar gudang.
“Prik, angkat tuh cewek.”
“Baik, Pak.”
“Kita sekarang kemana, Pak Mino?” Namun Om Minmon hanya tersenyum.
***
“Woy! Angkat kesini!”
“Anjing, mana nih materialnya?”
“Salah nomor itu kotaknya!”
“Kontainer hijau maju!”
Pelabuhan jam 1 dini hari. Tidak ada perbedaan yang berarti dibanding siang hari. Aktivitas tetap sama. Lot barang-barang tetap mengantri untuk dipindah. Namun rasa lelah memang tidak bisa dibohongi. Beberapa pekerja mulai duduk sembari menunggu angkutan barang yang baru.
“Aduh capek gue. Pengen pulang. Enak banget sekarang tidur di kasur dikelonin istri.”
“Haha iya bener. Mana gue sange lagi. Di sini ga ada tempat begituan ya.”
“Tauk nih, gue dengar di pelabuhan Selatan aja banyak warung remang-remangnya. Makanya gue males kerja di sini.”
Seakan mendengar keinginan pekerja itu, mobil sedan hitam meluncur mulus masuk ke komplek pelabuhan dan berhenti tepat di tengah-tengah. Semua orang di situ melihatnya. Siapa ini?
Dari pintu supir, keluarlah pria berpakaian hitam dan berjalan ke belakang mobil untuk membuka bagasi. Dari dalam bagasi dia mengangkat sesosok tubuh berbalutkan selimut coklat lusuh dan meletakkannya begitu saja di samping mobil.
Kaca mobil turun, menampakkan Om Minmon yang memegang toa.
“Teman-teman semua, saya paham saat ini, di malam ini, kalian semua sudah lelah. Pekerjaan tidak ada habisnya. Sini, mendekat ke saya. Saya mau memberikan sesuatu untuk kalian.”
Rasa penasaran membuat belasan pekerja mendekati mobil sedan hitam itu. Saat mendekat, mereka terkesiap melihat apa yang baru saja diangkat dari dalam mobil itu.
“Saat ini, saya mempunyai seorang wanita yang haus kepuasan batin. Dan itu tentu saja sesuai dengan kebutuhan teman-teman di sini. Maka dari itu, saya akan memberikannya untuk kalian. Bebas. Dia milik kalian. Silahkan lakukan yang kalian inginkan. Dia akan melayani kalian sekuat mungkin. Jangan rebutan. Semua pasti akan dapat gilirannya. Tapi kalo mau dikeroyok silahkan hahaha!”
Beberapa orang memastikan bahwa yang dibalik selimut itu adalah wanita. Dan ternyata benar. Apalagi saat mereka mendengar wanita itu berujar lemah, “Puaskan aku… Puaskan…”
Seperti serigala yang diberi daging, beberapa pria langsung mengangkatnya sambil terkekeh.
“Gila! Mimpi apa aku? Sering-sering kek. Bos! Makasih Bos!” Teriakan pria itu dibalas lambaian tangan.
“Anjing! Abis ini gue!”
“Udeh barengan aja! Ini banyak kok lobangnya hahaha!”
“Bener juga! Gue mau pake berkali-kali! Ampe besok!”
“Mesti jadi peliharaan di sini nih! Harus dikasi makan hahaha!”
Kerumunan tadi berpindah dari tengah lapangan pelabuhan menuju basecamp yang terletak di pinggir. Tawa dan teriakan mengiringi para pria penuh nafsu itu. Sesampainya di pondok basecamp, mereka langsung membuka selimut dan tampaklah seorang wanita telanjang dengan wajah lebam. Namun wajah itu tidak menyurutkan libido mereka yang sudah di ubun-ubun. Rintihan pelan dari wanita itu jelas mereka dengar.
“Tolong.. Entot aku.. Puaskan aku..”
“Gila nih cewek. Sangean! Oke gue puasin lu hahaha!”
Serempak mereka membuka celana. Mereka mulai mengocok penis mereka untuk menegangkan dan tidak butuh waktu lama. Seorang pria berjanggut tebal yang tampaknya adalah bos di pelabuhan itu mendekat,
“Heh siapa nama lu?”
“S-saktia B-bang…”
“Oke, Neng Saktia, Abang bakal bikin kamu jadi budak seks di sini. Udah lama kami ga dapat barang bagus kayak gini hahaha! Kamu bakal jadi peliharaan di sini. Kita bakal bikin tarif! Hahaha!”
“Iya Bang, badannya bagus. Putih! Singset! Hajar bang! Cepetan biar gantian!”
Tanpa aba-aba pria itu menyorongkan penisnya yang sudah menegang maksimal. Jleb. Pria itu menganga. Sudah lama dia tidak merasakan kenikmatan seperti ini. Dia langsung menggoyang selangkangan Saktia sekencang mungkin. Tangannya mengangkat paha Saktia dan mencengkramnya.
Sementara pria lain mengambil inisiatif, “Mulutnya nganggur nih. Bang, gue pake yang ini ya.”
Tidak ada jawaban. Pria brewok itu tampak asyik menikmati vagina Saktia. Sementara yang lain mencoba membujuknya,
“Bang, gue mau genjot pantatnya. Balik dong Bang…”
“Ah ganggu aja lu!” Tapi benar. Tidak ada bedanya. Dia tetap bisa menikmati memek Saktia. Maka pria brewok itu pun mengambil posisi rebah sambil mengangkat Saktia ke atasnya. Dengan sekali gerakan, dia memasukkan lagi penisnya ke dalam vagina Saktia. Sementara pria lain mengambil posisi di belakang pantat Saktia. Bles! Dua penis kini menikmati gurihnya selangkangan Saktia yang melebar.
“Khh! Ekhh! Ohokkhh!” Saktia tersedak saat satu penis memaksa masuk mulutnya.
“Heh sedot nih! Isep, bangsat!”
Saktia dengan patuh mengisap penis yang masuk ke mulutnya walau wajahnya masih terasa sangat perih. Dengan pandangannya yang kabur karena matanya yang lebam Saktia sekilas menghitung berapa pria yang kini ada di sekelilingnya. Tujuh, delapan, sembilan. Kira-kira sebelas pria bersiap menikmati tubuhnya. Herannya Saktia merasa senang banyak penis yang akan masuk menikmati tubuhnya. Libidonya melonjak. Dia merasa sanggup memuaskan mereka semua, karena tubuhnya sendiri pun menagih untuk dipuaskan.
Tapi di balik itu semua, di hati kecilnya, ada kesedihan yang sangat mendalam. Kesedihan yang datang dari kenyataan bahwa dia tidak akan bisa lagi kembali ke kehidupannya yang dulu. Kenyamanan, kesenangan dan harta melimpah. Semua karena nafsu dan ambisi yang tidak bisa dia kendalikan. Kini, tidak ada pilihan lagi selain menjalani kehidupannya sebagai pemuas nafsu para lelaki pekerja di pelabuhan.
Hidupnya cuma sampai di situ.
Dan mobil sedan hitam itu pun sudah menghilang meninggalkannya saat para pekerja pelabuhan itu mengangkat tubuhnya ke basecamp.
***