Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT VALKYRIE Management

HALO SUHU-SUHU SEMUA! WAH TERIMA KASIH ANSTUSIASMENYA YANG SUDAH TERUS MENGINGATKAN NUBI UNTUK MENYELESAIKAN CERITA INI.
BAIKLAH, PADA HARI INI NUBI AKAN MENGUPLOAD EPISODE-EPISODE PAMUNGKAS. SELAMAT MENIKMATI.


CHAPTER 83: AFTERWARDS


Dan kini, semua sudah selesai…

Seminggu setelah insiden Gloomy Valkyrie, begitu warganet menamakannya, Valkyrie belum bisa kembali beraktivitas seperti biasa. Begitu banyak kerusakan yang terjadi baik di dalam maupun di lingkungan luar gedung. Tim medis bekerja keras sampai 3 hari untuk dapat mengevakuasi orang-orang yang masih selamat juga jenazah yang bergelimpangan. Para polisi dan detektif bahkan harus bolak-balik untuk mendapat kronologis lengkap dari peristiwa besar ini.

Namun sekeras apapun mereka bekerja menyelesaikan insiden ini, beberapa hal seperti ditkdirkan tidak akan pernah terungkap…

***

“Bagaimana Bos beberapa hari tinggal di sini? Menyenangkan bukan? Segala yang Bos butuhkan untuk sekarang ini, bisa kami sediakan. Keamanan tidak perlu dihawatirkan. Tuan sudah menyediakan semua ini, jauh sebelum Bos memulai rencana.”

Shania tersenyum tipis mendengarnya. Benar sekali. Dia adalah anak emas dari Tuan. Aset berharga yang tidak bisa disentuh bahkan oleh segaris luka pun. Tuan akan sigap melindunginya, termasuk ketika Saktia dan The Turncoat di luar dugaannya kalah dan tidak bisa menyelesaikan misi ambisiusnya.

Tak apa. Banyak cara dia dapat lakukan untuk menaklukkan Tristan.

Setidaknya sampai saat itu.

Brak! Suara pintu diterjang mengagetkan mereka, diikuti suara derap sepatu. Seketika Shania mengejang. Apa yang terjadi? Siapa itu? Saat dia masuk ke ruang tengah besar di villa pinggir pantai itu, pertanyaannya terjawab. Satu pasukan anti-teroris lengkap dengan senjata memenuhi ruangan itu. Shania hanya bisa terpaku. Kemana semua penjaga? Bagaimana bisa mereka dengan gampang masuk dan akan menangkapnya?

“Shania Junianatha, Anda kami tangkap atas tuduhan dalang peristiwa penjarahan yang terjadi di gedung Valkyrie beberapa hari lalu. Sekarang ikut kami untuk proses interogasi lebih lanjut. Dimohon kerja samanya…”

Instruksi komandan pasukan itu tidak lagi didengar Shania. Pandangannya kabur. Kakinya lemas. Sebelum dia pingsan, satu pertanyaan mencuat di dalam pikirannya: bagaimana mereka mengetahui lokasi dia bersembunyi?

***

Tit. Tit. Mesin pengukur detak jantung dengan stabil berbunyi pelan. Satu-satunya bunyi yang memecah keheningan di ruang pasien itu. Beberapa orang yang daritadi duduk pun tidak mengeluarkan suara.

Namun keheningan itu pecah saat pasien yang terbaring tiba-tiba membuka matanya dan langsung meronta.

“Gracia! Nabilah! Melody! Dimana mereka?! Dimana?!”

“Dok, pasien sudah sadar!”

“Bos, tenang Bos! Kami disini!”

“Dimana yang lain?! Jawab aku!”

“Suster! Suntik bius kadar ringan!”

Jarum kecil dengan cepat menembus kulit Bos Titan. Beberapa perban terlepas dan mengeluarkan sedikit darah akibat gerakannya yang mendadak tadi. Kini Bos Titan lemas dan kembali ke posisi berbaring. Suster yang menjaganya menghembuskan nafas lega.

“Bos Titan akhirnya sadar…”

“Dok, apakah kondisi Bos udah stabil?”

“Sudah, Mbak. Namun kami tidak menyangka respon beliau akan seperti itu.”

Dokter itu mengambil laporan pemeriksaan dari suster, “Masih tidak habis kagum saya, bos kalian ini dikaruniai fisik yang hebat. Orang biasa tidak akan bisa bertahan dengan luka separah dan sebanyak ini…”

Ayana dengan lembut membelai kening Bos Titan yang sedikit berkeringat, “Bahkan ketika dia terbangun, dia langsung bertanya dimana wanitanya.”

“Tanpa Bos sadari, selama ini Bos tidak pernah mempedulikan dirinya. Yang di pikirannya hanyalah kehidupan orang-orang yang disayanginya.” Nabilah menimpali.

“Ternyata Mas Titan sekarang masih seperti Mas Titan yang dulu ya…” sambil tersenyum tipis Viny terus memandangi Bos Titan yang tertidur.

“Iyap. A man with greatful love…

***

“Begitulah hasil kajian dan kalkulasi kami atas kerusakan yang terjadi di gedung kita, Bos.”

Di ruang rapat besar yang luput dari penjarahan, Om Minmon dan direksi yang beberapa di antaranya diisi para Pegawai Terpilih melaksanakan rapat untuk merespon cepat peristiwa besar yang baru saja menimpa perusahaan mereka. Valkyrie harus cepat kembali berjalan. Begitu banyak kegiatan yang tertunda. Walaupun industri showbiz bersepakat untuk berkompromi atas kondisi Valkyrie Management, mereka tetap tidak bisa berleha-leha menunda kegiatan.

“Oke. Dari kajian yang sudah dipaparkan dan diskusi yang kita lakukan, saya putuskan beberapa divisi berkegiatan di gedung terpisah yang akan disewa untuk setahun ini. Untuk detailnya, Riskha dan Pak Anton tolong dibuatkan draft opsinya.”

“Baik, Bos.” Riskha dan Pak Anton menjawab serempak.

“Baik Pak. Berikutnya ada yang mau disampaikan, Pak?”

Om Minmon kemudian memandangi satu persatu pegawainya yang hadir di ruangan itu, tanpa terkecuali. Semuanya diam, menunggu apa yang akan dikatakan salah satu founder perusahaan itu.

“Satu lagi hal yang belum saya sampaikan. Beberapa dari kita mungkin sudah tahu, dan saya akan kasih tahu ke semua. Dari insiden kemarin, beberapa pegawai kita ditemukan melakukan kecurangan dengan menjual data dan melakukan hal-hal yang merugikan perusahaan kita. Dan saat ini, kondisi tersebut sudah dapat diatasi. Semua orang yang terlibat sudah diamankan. Dan tidak sedikit menemui ajalnya.”

“Saya dan Tristan membangun perusahaan ini dari nol. Perusahaan yang sepuluh tahun lalu dipandang sebelah mata. Tidak sedikit pengorbanan, keringat dan air mata untuk menumbuhkan perusahaan yang kami anggap rumah ini.”

“Dan kami mendapati, bahwa perusahaan yang hebat adalah perusahaan yang peduli dengan kesejahteraan pegawainya, sampai pegawai di level paling bawah. Dari situ lah kami bertekad, siapapun pegawai yang berkualifikasi untuk bekerja disini akan kami jamin kesejahteraannya.”

“Poin penting saya adalah, jangan pernah berpikir untuk mengkhianati perusahaan ini. Dan ketika Anda semua bekerja di sini, di Valkyrie Management, maka berikan semua yang Anda bisa untuk perusahaan ini. Dan saya pastikan, hidup Anda semua akan sejahtera.”

Riskha perlahan bangkit dan mulai bertepuk tangan, diikuti semua pegawai yang hadir. Ya, kini semuanya harus benar-benar bersih, tanpa ada lagi serigala berbulu domba.

***

Restoran hotel Grandika.

“Kamu sudah siap, Cantik?”

“Aduh gimana ya Bian, kalo mereka nanti ternyata masih marah sama aku?”

Apose sih! Udinda dehh! Kamu nyadar ga sih, kamu itu hampir metong lho demi nyelamatin perusahaan kita ini. Dan kamu udah terbukti ga bersalah. Trus kamu ngapain takut mereka masih marah? Sini tunjukin siapa yang marah biar Bianca jitak satu-satu!”

Veranda pun tertawa mendengar omelan Bianca. Tawa pertama sejak insiden besar itu. Tak bisa dibohonginya, perasaan lega kini memenuhi dirinya. Veranda merasa sangat bersyukur ketika mengingat bahwa dia tidak sendiri bertarung dan berjuang demi membawa kebenaran. Veranda punya teman-teman yang menolong dan membantunya untuk memberikan dokumen itu kepada Bos Titan dan Om Minmon.

Ingatannya kembali ke Rio. Dan pemakamannya yang akan dijadwalkan besok. Selamanya dia akan mengenang rekan kerjanya itu. Rekan kerja yang pendiam namun sangat baik.

“Cin hayuukk. Telat ntar eike. Hari ini kan rapat kordinasi semua divisi.”

“Eh iya, Bianca. Ayuk.”

“Udah siap? Ga takut lagi?” Bianca mengerling menggodanya.

Veranda tersenyum mantap. Dia tak sabar menemui rekan-rekannya. “Kalo mereka ternyata marah, kamu siap-siap jitak ya?”

Tawa mereka pun mengiringi langkah keluar hotel.

***

Langkah Veranda terhenti di depan rumah bercat biru muda di pinggir jalan. Di beberapa sudut dinding cat biru muda tersebut memudar dan mengelupas. Tak jauh dari rumah itu Veranda melihat beberapa mobil yang familiar. Iyap, tidak salah lagi. Grim Tattoo. Studio tato yang cukup terkenal di Ibukota, bahkan bagi orang awam seperti Veranda yang tidak pernah terbersit untuk membiarkan tubuhnya dirajah jarum bertinta itu.

Walaupun tadi Veranda mengatakan siap untuk bertemu kembali, kini jantungnya berdegup kencang. Ya, bagaimana kalau teman-teman memang belum bisa menerimaku? Jangan-jangan ada yang masih menganggapku adalah pengkhianat Valkyrie. Banyak kejadian yang belum aku sempat ceritakan kepada mereka terkait insiden Gloomy Valkyrie ini. Apalagi sebelum kejadian ini aku sempat bikin masalah dengan Nabilah, Melody, Yona… Aduh, bagaimana ini…

Satu tepukan halus membuyarkan lamunannya. Bianca, yang tersenyum lebar di belakangnya, sedikit mendorong punggung Veranda untuk menyuruhnya maju, “Aku sudah bertahun-tahun bekerja dengan mereka. Aku tahu sifat mereka. Tentu kamu juga tahu. Ga usah takut. Ayo masuk.” Ucapan Bianca yang teduh dan tidak seperti biasanya menenangkan Veranda.

Veranda pun berjalan dan membuka pintunya.

Ruang tunggu yang cukup besar untuk ukuran studio tato. Suasana cukup ramai dengan obrolan dari orang-orang di ruangan itu.

“…lho yang nungguin Bos Titan siapa?”

“Tenang aja, Tim Elite udah pulih kok. Aman.”

“…eh bang Simon gimana keadaannya…”

“Salut ngeliat Bang Simon… Baru siuman besoknya udah stand by di depan kamar VIP Bos Titan…”

“Iya Tim Elite jug- eh-“

Semua obrolan terhenti ketika melihat siapa yang baru saja membuka pintu. Veranda menunduk canggung ketika melihat semua mata tertuju padanya. Semua Pegawai Terpilih ternyada berada di situ. Ditambah Om Minmon. Dia kemudian memaksakan senyum, yang sedetik kemudian disesalinya. Veranda terlihat seperti orang aneh yang seharusnya tidak berada di situ. Kini dia memutuskan dengan mantap untuk berbalik dan menutup kembali pintu itu.

“Lama banget sih lu, Kak.” Satu suara menghentikan langkah memutarnya. Seseorang mendekatinya.

“Tauk, nih. Ga biasa tidur di hotel ya hahaha!” Satu orang lagi ikut berdiri.

“Om, kita nginep di hotelnya bisa ampe setahun ga sih? Nanggung sih kalo cuma tiga bulan.” Yang lain juga ikut mendekati Veranda. Sampai akhirnya hanya Om Minmon yang masih duduk memandangi mereka berkumpul mendekati Veranda.

Veranda kaget ketika dia melihat Nabilah, Naomi, Ayana dan Riskha berjalan mendekatinya. Dia lebih terkejut lagi ketika empat dekapan erat memeluk tubuh semampainya. Sedetik kemudian dadanya terasa sesak oleh haru. Tubuhnya sedikit bergetar. Veranda berusaha menahan tangisnya, namun dia tetap tidak mampu. Ternyata apa yang ditakutkannya sedikitpun tidak terjadi. Tangis Veranda semakin kencang.

Di sela airmatanya, Veranda dapat melihat jelas bekas luka dan perban yang menempel di lengan Riskha, Nabilah, Ayana dan Naomi. Dan itu yang membuatnya sedih. Tidak seharusnya mereka sampai terluka sebanyak itu hanya karena membantunya. Veranda kini gantian memeluk mereka berempat.

“Maaf… maafkan aku…” Tangisnya belum juga reda saat meminta maaf kepada mereka.

“Ternyata kak Ve kalo nangis jelek ya. Kirain kalo bidadari nangis tetep cantik.” Sambil berkaca-kaca Nabilah mencoba mencairkan suasana.

“Tapi tenang aja Bil, foundation-nya Ve mahal. Ga akan luntur lah kalo cuma air mata doang heheheh.” Naomi membenamkan kepalanya di dada Veranda dan semakin mengencangkan dekapannya.

Ayana mengambil sapu tangan dari dalam tas tangannya kemudian menyeka pelan pipi Veranda, “Waduh kalo maskaranya kak Ve sampe berantakan, bisa dijitak nih aku.”

“Kalo tugas ngejitakin elu, udah jadi bagian gue.” sambar Bianca di belakang.

Tawa mereka berenam membahana, menghilangkan suasana sendu di ruang tunggu itu.

Riskha melepas pelukannya dan kini menatap Veranda dalam-dalam. Riskha kembali teringat pertemuannya di kamarnya malam itu, ketika Veranda sama sekali tidak meminta untuk ditolong. Veranda hanya memintanya untuk percaya, bahwa apa yang dilakukannya adalah hal yang benar. Riskha tersenyum, “Tidak ada sedikitpun kesalahanmu, Kak. Justru kami yang harusnya minta maaf kepadamu Kak.”

“Dan juga kepadamu, Bil.” Riskha kini menatap Nabilah.

Dari tempat mereka berdiri, Riskha, Ayana dan Naomi berlutut, kemudian menundukkan kepalanya hingga dahi mereka menyentuh lantai. Tidak peduli rok ketat mereka sedikit tersingkap, Riskha, Ayana dan Naomi mengambil posisi menyembah di hadapan Nabilah.

Nabilah tentu tidak menyangka akan menerima permohonan maaf sampai seperti itu. Cepat-cepat dia ikut berlutut untuk membangunkan mereka, namun gerakannya ditahan oleh Om Minmon yang ternyata sudah berdiri di belakangnya.

Nope, you deserve this. After these all, you really deserve this, Nabilah. Sudah lama kamu memendam dan menanggung kesalahan yang bahkan tidak pernah terpikirkan untuk kamu lakukan. Terimalah permintaan maaf mereka. Permintaan maaf yang tulus dari hati, untuk apa yang mereka lakukan padamu selama ini.”

Sekarang Nabilah yang gantian menangis terharu. Walaupun dia membenarkan apa yang dikatakan Om Minmon, tetap saja dia merasa tidak layak menerima permintaan maaf yang seperti ini. Dia ingin sekali ikut berlutut untuk membangunkan mereka, namun perintah Om Minmon sudah jelas. Nabilah menguatkan kakinya untuk tetap berdiri.

“Kalian, berdirilah.” Riskha, Ayana dan Naomi pelan-pelan berdiri, kemudian memeluk Nabilah. Veranda pun ikut mendekap Nabilah dari belakang.

“Huh. Dasar wanita.” Om Minmon kembali ke tempat duduknya.

***

“Emangnya… Om Minmon ngasih izin? Aku inget banget Om, waktu aku diterima di Valkyrie, salah satu peraturannya adalah tubuh harus bersih dari tato. Kok Yona boleh?” Veranda sedikit kaget saat mengetahui kenapa dia disuruh datang ke studio tato ini.

Om Minmon hanya tersenyum penuh arti.

“Minta tato naga pula. Ga ngerti aku kak tiba-tiba kak Yona minta ditato.” sambung Nabilah. Mereka pun diam dengan pikiran masing-masing.

Tiba-tiba Veranda merasa ada yang kurang. Kenapa mereka hanya berlima?

“Oia Om, Gracia ke-“

Srek! Tirai dari ruangan sebelah digeser. Keluarlah seorang pria paruh baya yang memakai apron lusuh dan sarung tangan karet, “Pak, mbaknya sudah selesai ditato.”

“Oke, dimana dia?”

“Mbaknya… ketiduran Pak.”

“Yaudah. Bil, bangunin kakakmu itu.”

“Baik, Om.”

Nabilah pun masuk ke ruangan tempat Yona ditato. Ruangan tersebut sedikit gelap namun Nabilah dapat melihat jelas Yona yang terbaring di matras berkaki rendah di tengah ruangan.

“Kak ayo bang-“ Nabilah terkesiap. Di dada Yona yang terlentang dan terlelap, di antara kedua payudaranya, Nabilah tidak melihat tato naga yang dikatakan Yona saat mereka berangkat ke studio, melainkan sebuah ornamen berbentuk lingkaran yang dikelilingi sebaris kalimat dan nama.



***

“Om, Gracia gimana kabarnya? Trus Melody dimana?”

“Gracia lagi dirawat.” Jawab Om Minmon singkat.

“Kalo Melody?”

Tidak ada yang menjawab.

“Ay, Kha, Melody dimana?” Veranda mendesak.

“Ng-sampai hari ini, kita ga tau kak Mel dimana, Kak. Kak Mel… menghilang.”

***
 
Terakhir diubah:
CHAPTER 84: AFTERWARDS (2)


“Untuk biaya perawatan dan perbaikan gedung memakan biaya cukup besar Pak,” Riskha menunjuk sebaris nominal di layar laptopnya. Pak Anton di sampingnya manggut-manggut. Sementara Para Pegawai Terpilih lain duduk dengan ponsel masing-masing di sofa panjang ruang kerja Om Minmon.

“Untuk opsi penyewaan gedung, kami sudah kirimkan proposal dan semua menyetujuinya, Pak.”

“Oke, kalo begitu kamu cek yang mana yang paling sesuai kebutuhan divisi, ajukan penawaran. Laporan follow up nya saya minta tiga hari ini harus sudah ada progress. Bisa, Kha?”

“Bisa, Pak.”

“Oke. Terima kasih.”

“Pak, saya izin menyampaikan sesuatu.”

“Apa itu, Pak Anton?”

Pak Anton terdiam sebentar, menimbang bagaimana cara untuk menyampaikan sesuatu yang mengganjal di pikirannya.

“Begini Pak, tentang perbaikan dan perawatan gedung Valkyrie, saya yakin tidak ada masalah. Walaupun memakan biaya yang besar, prosesnya akan berjalan dengan cepat dan sesuai dengan keinginan kita. Tapi,” nada bicara Pak Anton menggantung. Om Minmon hanya diam menunggu.

“Tapi, apakah ke depannya gedung kantor kita ini masih seperti dulu? Begitu banyak darah dan memori yang tidak akan bisa hilang. Juga begitu banyak nyawa yang gugur di sini. Terjadi banyak pembunuhan dan pembantaian. Apakah… gedung kita ini bisa kembali seperti semula, Pak?”

Para Pegawai Terpilih yang mendengar itu diam-diam membenarkannya. Tempat tinggal mereka sekarang dipindahkan untuk sementara ke Hotel Grandhika. Namun ketika akhirnya mereka kembali lagi ke rumah mereka ini, apakah suasana bisa kembali seperti dulu? Mereka tidak akan bisa menghapus ingatan di banyak tempat saat mereka menebas dan membasmi para preman. Dan juga kamar Saktia tidak akan bisa berpindah. Perlahan mereka menghela nafas berat. Para Pegawai Terpilih sudah menduga ini akan pelik.

“Untuk masalah itu, serahkan ke saya.” Seorang wanita tua berbaju putih tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu kaca ruang kerja Om Minmon. Parasnya yang cantik dan tenang membuat mereka terpana. Senyumnya yang teduh seakan menghentikan setiap detakan waktu. Semua terpaku melihat Ibu itu, termasuk Yona. Namun dia teringat sesuatu,

“Ibu! Ibu yang kemaren!”

“Hai, Viviyona! Kamu sudah sehat?” Senyum Ibu itu seperti menghipnotis semua yang ada di ruang kerja Om Minmon, tak terkecuali Om Minmon sendiri. Namun bukan senyum Ibu itu yang membuat Om Minmon diam.

“Say-saya sudah sehat, Bu.”

“Baguslah Nak.”

“Semuanya. Keluar sekarang. Saya ada tamu istimewa.”

“Baik, Pak.” Dengan cepat mereka keluar dari ruang kerja Om Minmon, walaupun banyak pertanyaan memenuhi pikiran mereka. Tamu istimewa? Siapa Ibu itu? Dan mengapa Ibu itu terlihat begitu… menenangkan? Darimana dia? Kami belum pernah lihat Om Minmon punya relasi seperti Ibu itu…

Ibu berbaju serba putih itu belum beranjak dari posisinya. Dia hanya tersenyum melihat Om Minmon, seperti seorang Ibu yang tersenyum melihat anaknya yang sedang bermain. Seperti para Pegawai Terpilih, Om Minmon pun punya begitu banyak pertanyaan di pikirannya. Akhirnya dari balik mejanya Om Minmon berdiri,

“…Ibu Sati, silahkan duduk…”

“Akhirnya kamu ngomong juga, Saka.” Suaranya sangat lembut. Suara yang dirindukan Om Minmon.

“Ibu Sati… Ibu kapan sampai di sini? Ibu bukannya… di Tibet?” Pertanyaan yang akan mengawali jawaban semua pertanyaan lain di benak Om Minmon.

Senyum belum juga pudar dari bibir Ibu Sati, “Saya sudah lama di Indonesia. Namun saya tidak memberitahu kamu.”

“Aduh, saya harus tanya darimana ini… Begitu banyak yang saya ingin saya tanyakan…” Om Minmon bingung sendiri.

“Saka, kamu cukup mendengarkan saya. Tentang gedung ini dan kondisinya pasca insiden kemarin, biarkan kami yang mengurusnya. Kami akan ‘membersihkan’ aura gedung ini, sehingga gedung ini akan kembali seperti semula. Memang banyak memori yang tidak akan bisa terhapus dari rumahmu ini, tetapi setidaknya kenyamanan itu akan kembali.”

“ ‘Kami’? Maksudnya siapa, Ibu?”

“Saya membawa beberapa teman dari Tibet.” Om Minmon diam, sebelum tiba-tiba dia teringat seorang Pegawai Terpilihnya. Namun sebelum Om Minmon bertanya, Ibu Sati seperti sudah mengetahui.

“Mengenai Shania Gracia, tenang saja, Saka. Kondisinya sudah stabil. Dalam beberapa hari ini dia akan kembali sehat. Gracia hanya butuh istirahat panjang.”

Om Minmon menghela nafas lega, “Terima kasih, Ibu…”

Mata Ibu Sati menerawang, “Shania Gracia diangurahi bakat dan fisik yang sangat kuat. Jauh lebih kuat dari yang kamu bisa bayangkan, Saka. Namun dia masih belum bisa mengontrol emosinya. Jadi, saya minta izin ke kamu untuk kami dapat membantunya mengontrol jiwanya sepenuhnya. Bagaimana, Pak Saka, apakah boleh?” Ibu Sati tersenyum menggoda Om Minmon.

“Astaga Ibu, kenapa Ibu harus meminta izin? Ibu jauh lebih paham dari saya yang tidak tahu apa-apa ini.”

“Kamu kan Bos-nya hehehe.” Sudah sangat lama Om Minmon tidak melihat Ibu Sati tertawa.

“Untuk perawatan Gracia, saya serahkan ke Ibu Sati. Maafkan saya Ibu, banyak merepotkan Ibu Sati.”

“Tidak apa-apa, Saka. Sudah menjadi tugas kami untuk menjaga Garis Kehidupan tetap berjalan sesuai takdirnya. Apalagi ini memang perintah Sang Leluhur.”

Mendadak Om Minmon mengejang. Sang Leluhur.

“Ibu Sati.” Sambil menunduk Om Minmon memanggil.

“Ya, Saka?”

“Apakah salah satu tujuan Ibu Sati kesini… untuk menagih ‘hutang’ saya?”

Ibu Sati hanya memandang Om Minmon, “Pertama, kamu tidak berhutang apa-apa ke saya. Kedua, kita tidak akan membicarakan janjimu itu di sini. Bukan hak saya juga untuk membicarakan itu. Maka dari itu, minggu depan kamu harus ke sana. Sang Leluhur menunggumu.”

“Baik, Ibu Sati.” Ya, keinginannya sudah dipenuhi. Sekarang dia harus menepati janjinya.

Om Minmon teringat satu orang lagi yang belum dia ketahui kabarnya. Apakah Ibu Sati mengetahuinya?

“Ibu Sati… Ibu tahu dimana Melody?”

Ibu Sati berdiri dan menggeser kursinya, bersiap untuk keluar, “Kamu sudah mengetahuinya. Mengapa bertanya ke saya?”

“Saka, kalau begitu saya pamit dulu ya. Tolong ingat ya Saka. Minggu depan. Sampai bertemu lagi.”

***

Koridor menuju ruang Kepala Sipir terasa dingin dan muram. Langkah kaki menjadi satu-satunya bunyi yang memecahkan kesunyian di koridor itu. Gelap malam yang sudah datang sejam lalu semakin menambah muramnya suasana.

Pintu terbuka. Seorang pria berseragam membawa dokumen dan pelan melatakkannya di meja Kepala Sipir.

“Pak, ini berkas penangkapan dan penahanannya. Masing-masing satu rangkap.”

“Sudah beres semua kan?” Kepala Sipir sedikitpun tidak melihat ke dokumen di mejanya. Matanya fokus ke layar komputer sambil jarinya terus mengetik.

“Sudah, Pak.”

“Dan mereka sudah ‘diamankan’?”

“Sudah, Pak.”

“Oke kalau begitu. Kamu bisa pergi.”

“Pak, izin bertanya. Apa ga apa-apa begitu, Pak?”

Ketikan di keyboard Kepala Sipir itu terhenti. Dia kini menatap bawahannya di seberang meja. Baru pindah ke sini. Dua tahun kerja. Pantas aja.

“Saya dengar, kamu punya pacar di Kota Sebelah? Benar?”

“Betul, Pak.” Si bawahan heran mengapa orang nomor satu di Lembaga Pemasyarakatan itu tiba-tiba menanyakan hal tersebut.

“Di saat ini juga, pacarmu itu bisa diperkosa belasan preman, tubuhnya dilempar ke sungai dan mayatnya ditemukan beberapa hari kemudian. Kamu tahu kenapa? Karena ada kuasa yang tak akan terbayang pikiranmu, yang dapat melakukan hal itu jika mereka mau. Makanya, tidak usah mempertanyakan hal yang kamu tidak mengerti. Lakukan saja perintah yang diberikan dan tugasmu hanya mengerjakan sampai pekerjaan itu beres. Sampai sini kamu mengerti?”

“Me-mengerti, Pak.” Walaupun Kepala Sipir itu sama sekali tidak marah, pegawai itu dapat langsung menyadari bahwa dia baru saja melakukan blunder.

“Ka-lau begitu saya permisi, Pak.” Terbata-bata pegawai itu pamit dan buru-buru keluar dari ruangan Kepala Sipir.

***

“…Berikut adalah penyerahan Surat Keputusan Mutasi dan Promosi Dokter Struktural di Rumah Sakit Umum Daerah…”

Ya ya ya, mengapa aku harus datang ke acara ini.

“…lebih dari sepuluh dokter sudah melaksanakan tugas melayani masyarakat di bidang kesehatan dengan sangat baik dan pantas untuk mendapat tanggung jawab yang lebih besar…”

Dan aku diberhentikan dari kantorku, hanya karena tidak mau menyuntikkan adrenalin. Puas?

“Maka dari itu, penyerahan SK Mutasi dan Promosi pertama…”

Berarti aku mendapat undangan hanya untuk melihat teman-temanku promosi? Baiklah.

“Promosi sebagai Kepala Seksi Pelayanan Medik Rawat Inap, Dokter Atmojo Suhardi, S.Ked. Kepada dr. Atmojo, silahkan maju…”

Hah??? Maksudnya apa ini?

Riuh tepuk tangan memenuhi hall tersebut. Sedangkan dr. Atmojo hanya bisa bengong. Dia menahan diri untuk tidak menampar pipinya karena dia sadar akan terlihat konyol. Bagaimana bisa dia promosi ke posisi itu? Kemarin dia baru saja diberhentikan. Apakah ini bisa terjadi? Apa yang sedang terjadi?

“Pak, silahkan, untuk penerimaan SK dari Kepala Rumah Sakit.”

“E-eh, i-iya Mbak.” Ini mimpi kan? Aku promosi jabatan? Aku yang bukan dokter di Rumah Sakit ini? Bagaimana mungkin?

Di salah satu kursi di bagian sudut timur, seorang pria berjas dan berkacamata serba hitam. Di sekujur tubuhnya sebenarnya masih banyak perban yang menutupi lukanya, namun dia memaksakan untuk menghadiri acara pelantikan dan promosi dokter itu. Ponsel di saku jasnya berdering.

“Halo. Iya, terima kasih banyak ya Dok. Terima kasih untuk bantuannya. Dokter Atmojo tidak akan mengecewakan Anda. Saya paham kualitas dan karakternya. Oke, baik, sekali lagi terima kasih Dok.”

***

“…Dia adalah orang yang baik dan berdedikasi pada pekerjaan. Walaupun terkadang teledor, setiap pekerjaan yang diberikan pasti selalu dikerjakan dengan beres.” Sambil menyeka air mata Pak Abram mundur ke posisinya.

“Pria dengan hati yang tulus dan selalu membantu sesamanya. Rio Saputra, selamat jalan teman…” Veranda pun tidak bisa menahan tangis sedih saat dia melempar segenggam tanah ke tempat istirahat terakhir rekan kerja yang berperan penting dalam menguak kebenaran di Valkyrie Management.

Setelah prosesi pemakaman Rio selesai, para Pegawai Terpilih bersiap kembali ke hotel tempat mereka sementara menginap. Saat akan naik ke mobil, seorang remaja setengah berlari mendekati mobil mereka.

“Kak, Kakak. Kakak yang namanya Ayana kan?”

Ayana yang sudah hendak naik mobil, menapakkan kembali kakinya ke jalan.

“Iya, Dik. Ada apa ya? Kamu… adiknya Rio kan?”

“Iya, betul Kak. Emm… Kak Ayana, begini, kemarin saat saya beres-beres kamar Bang Rio, saya menemukan ini. Saya lihat ada nama Kakak disitu. Dan saya pikir ga ada salahnya saya kasih ke kakak. Saya yakin Bang Rio juga ga keberatan. Kalo gitu saya pamit ya, Kak Ayana.”

Ayana terkejut melihat surat ini. Surat dari Rio? Dengan cepat ia membukanya.

Teruntuk: Ayana

Pada saat aku menulis surat ini, aku tertawa. Tertawa geli sekaligus miris. Geli karena aku menulis surat seperti zaman ayah-ibuku.

Miris karena aku sadar surat ini tak akan pernah kamu baca. Bukan karena aku tidak bisa memberinya.

Tapi karena aku tidak akan berani memberinya.

Kata orang aku berdedikasi pada pekerjaan. Selalu menjadi salah satu orang yang selalu datang pagi dan tidak pernah telat ke kantor. Terkadang aku tertawa sendiri mendengar mereka menyebutku pegawai teladan.

Karena mereka tidak tahu apa sebenarnya motivasiku datang ke kantor, bahkan ketika aku tidak enak badan:

Seorang gadis yang kalau tertawa tidak jaim. Seorang gadis yang kalau mengirim pesan selalu ada yang salah ketik. Seorang gadis yang kalau hari Senin, selalu memakai blazer berwarna cerah. Seorang gadis yang pernah ngomel-ngomel sepanjang hari hanya karena sendok bekal kesayangannya hilang.

Seorang gadis yang kukagumi, namun aku sadar tidak akan pernah bisa menembus dinding besar itu.

Terima kasih sudah menjadi penyemangat hidupku. Terkadang tanpa kita ketahui, kita bisa menjadi sumber kebahagiaan orang lain yang tidak kita sangka-sangka.

Benar kata temanku. Kalau aku menuliskan perasaanku seperti ini, aku setidaknya dapat melepaskan segala perasaanku, walaupun tidak ke orangnya langsung.

Terima kasih Ayana, sudah mengisi ruang cinta di hatiku. (Astaga! Seperti bukan aku aja!)

Aku berharap surat ini kamu baca. Apa aku selipkan saja ya di meja kerjamu?

Sampai jumpa di surat-surat berikutnya. -RS


“Itu… tadi adiknya Rio kan? Surat apa Ay?” Naomi membuka kaca mobil.

“Kamu punya selingkuhan ga Mik?” Pertanyaan Naomi tidak mendapat jawaban.

“Hah apaan sih pertanyaan lo Ay. Aneh-aneh aja. Ngga dong, aku kan kesayangannya Bos Titan bwek.”

“Kalah dong sama aku. Aku punya selingkuhan. Bwek.” Ayana dengan cuek naik ke mobil.

“Hah maksud lo? Heh hati-hati ya kalo ngomong! Gue aduin ke Bos Titan lo! Heh Ay! Maksud lo apa?! Woy!”

Dan mobil mereka pun meninggalkan area pemakaman itu.

***

Esoknya.

“Untuk opsi pemindahan kantor sementara sudah diputuskan di rapat kemaren. Laporan follow up-nya juga sudah dikirim. Kegiatan produksi sudah kembali jalan, syukurlah. Talent-talent sudah kembali beraktivitas kayak biasanya. Iklan, film, video klip, semua progressnya sudah bisa disusul. Kita harus bayar kompensasi sih, tapi hitungannya masih masuk anggaran.”

Sedikitpun Naomi tidak menoleh ke Riskha yang sudah panjang lebar menjelaskan progress pekerjaannya. Riskha juga tidak menyadari hal tersebut karena pandangannya fokus ke layar ponselnya.

“Eh by the way Tania Dara apa kabar ya, Mik?”

“Ng- Hah? Oh tuh orang? Masuk rehab. Ternyata pas masih di sini udah ngobat anaknya. Gila emang.”

“Oow, untung Neo Girls ga kenapa-kenapa ya.”

“Iya. Mereka juga cerita ga betah di sana. Hah dasar Detourne terkutuk! Mampus tuh, udah bangkrut sekarang. Talentnya pada pindah semua.”

“Dua dajjal itu gimana sekarang?”

“Hah? Oh maksud lo Shania ama Saktia?”

“Ewwhh ga usah nyebut nama mereka deh. Jijik gue.”

“Haha gue denger sih terakhir masuk penjara, nunggu proses pengadilan. Eh Kha, kirimin laporan follow up ke gue, biar gue tanda tangan.”

“Hah kok elu? Om Minmon lah.”

“Lah lu ga tau? Om Minmon kan cuti per hari ini. Jadi pejabat harian-nya dikasi ke gue.”

“Hah? Masa sih? Kok ga bilang gue? Tau gitu gue ajak satu babak semalam.”

***

Om Minmon menarik retsleting kopernya. Tuntas sudah. Kini dia bersiap ke bawah. Mobil di lobi sudah siap mengantarnya ke bandara.

“Ehem.”

Om Minmon menoleh ke pintu. Bos Tristan bersandar ke kusen, sementara tangan kanannya memainkan tongkat bantu jalan.

“Heh udah sehat? Jangan banyak gerak dulu biar cepat sembuh.”

“Mau kemana Mon? Kok sampe hari ini gue ga dikasitau.”

“Ya rahasia lah. Me time ini. Masa gue kasitau.”

“Halah biasanya kalo lu mau ke toilet aja kasitau gue.”

“Bedalah, Tan. Lu kan sadar, setelah semuanya ini sebenarnya kita itu butuh refreshing. Lu juga. Butuh recovery time. Jangan terlalu diporsir lah. Kan tiap kerjaan udah ada yang ngatur. Apa gunanya kita gaji mereka kalo kita terus yang repot?”

“Berapa lama Mon?”

“Hmm mungkin dua tiga minggu. Dan gue harap, setelah gue sampe sini lagi, lo udah kembali sehat, jalannya ga pake tongkat itu lagi. Udah bisa ngentotin selir-selirmu lagi.”

“Heh omongan lo! Sialan.”

“Hahaha iya-iya maaf.”

“Mon.” Suasana langsung berubah menjadi lebih serius.

“Apa lagi? Gue berangkat dulu ya. Dua jam lagi gue boarding lho. Ini jam macet parah.”

“Lo ga bisa pergi, tanpa jawab pertanyaan gue.”

“Apa lagi sih Tan? Ga bisa pas gue balik aja?”

“Ngga.”

“Yaudah apaan?”

“Sekarang lu kasitau gue, siapa sebenarnya Purnama, Toni dan John itu.”

***
 
Terakhir diubah:
CHAPTER 85: AFTERWARDS (3)


Nining melangkahkan kakinya dengan pelan dan sungkan. Selama beberapa bulan dia ditempah di Pasar Malam, baru kali ini dia akan masuk ke dalam ruang pribadi orang nomor satu di Pasar Malam, Bunda Erin. Ruangan yang tidak bisa dimasukin oleh sembarang orang.

“Silahkan.” Pria tegap di depan pintu menyambutnya dan membukakan pintu.

Saat Nining masuk, dia terpana melihat keindahan ruang pribadi Bunda Erin. Meja kayu jati berukiran dipadu dengan sofa coklat muda berbahan nilon. Dinding yang dicat kuning amber di bagian atas dilengkapi marmer di bagian bawah. Tak lupa beberapa lukisan menghias dua sisi dinding. Tirai dan guci pun diatur sedemikan rupa agar senada dengan ruangan tersebut. Sangat kontras dengan kondisi di luar.

“Tidak heran, setiap orang yang baru pertama kali masuk ruangan pribadi saya ini pasti terdiam karena kagum.” Bunda Erin sedikit memutar kursinya.

“I-iya Bunda. Bagus banget. Nining takjub.”

“Gimana tugasmu minggu lalu?”

Nining mendadak tersadar dengan maksud tujuan dia disuruh masuk ke ruangan Bunda Erin.

“Ma-maaf, Bunda. Saya sudah melakukan apa yang ditugaskan ke saya. Saya sudah masuk ke lantai tiga, melemparkan bubuk yang diberikan ke saya, dan sudah menjadi umpan seperti yang ditugaskan Om Minmon kepada saya.”

“Itu kan menurut kamu. Kalo menurut Om Minmon ternyata tidak seperti itu?”

“Saya bersedia menjalankan hukuman seperti yang Bunda katakan.”

“Menjadi budak seks para pekerja di pelabuhan?”

“Betul, Bunda.”

“Oke, kalau begitu” Bunda Erin membuka layar ponselnya dan menggulir pesan, “saya akan tunjukkan ke kamu pesan yang dikirimkan Om Minmon ke saya.”

“Dan ternyata,” Bunda Erin menunjukkan layar ponselnya tepat di depan wajah Nining, “apa yang disampaikan Om Minmon ke saya tidak sesuai dengan apa yang kamu barusan sampaikan.”

Nining terkejut. Dia tidak menyangka Om Minmon tidak suka dengan hasil penugasannya. Padahal Nining yakin dia menjalankan dengan baik. Dia menunduk lesu. Habislah sudah hidupnya. Dia akan dibuang ke pelabuhan.

“Ba-baik, Bunda….”

“Sesuai kesepakatan, kamu keluar dari Pasar Malam, dilempar ke pelabuhan. Sudah siap?”

Nining menahan tangisnya, mencoba tegar, “Ka-kalau begitu, saya siap, Bunda…”

“Oke. Pengawal! Antar orang ini! Dia udah ga berguna lagi di sini!”

“Baik, Bu!”

Nining benar-benar pasrah, bahkan saat penjaga itu melilitkan kain hitam di matanya dan membebat telinganya sampai tidak bisa mendengar sekitar, seperti seorang yang akan dihukum mati. Mulutnya tidak bisa menahan tangis, sementara sebentar saja kain hitam itu sudah basah oleh airmatanya.

Setelah keluar kamar penjaga itu membuka sedikit penutup telinganya dan berbisik, “Terima nasibmu. Pasar Malam bukan tempatmu.”

Nining dapat merasakan dirinya didorong hingga naik ke mobil. Selamat tinggal, Pasar Malam. Semoga aku bisa bertahan menjalani hukumanku yang entah sampai kapan.

Sepanjang perjalanan Nining hanya bisa menangis dan berdoa, sampai akhirnya dia menyadari dia hanyalah remah kecil yang berada dalam permainan orang-orang besar, yang hanya bisa pasrah untuk bisa menunjukkan kesetiaannya. Dan saat ini, dia benar-benar mengharapkan Bunda Erin masih mau menerimanya.

Setelah 45 menit perjalanan, Nining akhirnya mendapati mobil yang ditumpanginya berhenti. Aku sampai. Tuhan tolong aku. Agar aku bisa tetap hidup menghadapi apapun di depanku.

Saat lilitan penutup matanya dibukapun, rapalan doa Nining belum juga berhenti. Mulutnya komat kamit sementara dahinya basah oleh keringat.

Tuhan, tolong aku. Tuhan, tolong aku. Aku tidak mau mati. Aku tidak ma-

“Eh?”

Tak ada pelabuhan seperti yang dibayangkannya. Nining mendapati dia sedang berada di depan lobi hotel. Banyak orang lalu lalang sambil memperhatikannya namun dengan cepat mengabaikannya. Dia mendongak ke atas. Tiga patung menghiasi bagian atas hotel mewah tersebut. Saat kebingungannya belum hilang, dua orang wanita berseragam hitam mendekatinya dan tersenyum, “Siang Mbak. Mbak yang namanya Nining?”

“Ng- Hah? Mbak kok tau namaku? Kita pernah kenalan?”

“Hehe mari Mbak ikut kami. Kamarnya sudah disiapkan.”

Nining menoleh ke penjaga yang melepas lilitan penutup matanya untuk meminta penjelasan.

“Kan sudah saya bilang, Pasar Malam itu bukan tempatmu lagi. Di sini lah tempatmu sekarang.” Penjaga itu mengusap kepala Nining, “Kamu adalah wanita yang setia dan berani. Selamat menjalani kehidupan yang baru ya, Ning. Oh iya, Bunda tadi menitipkan ini.” Nining menerima amplop coklat berukuran tebal.

“Mas! Mas-e!”

Penjaga itu masuk ke dalam mobilnya. Sekejap mobil itu menghilang dari pandangannya. Kini Nining tidak punya pilihan selain mengikuti wanita pegawai hotel itu. Di dalam lift Nining membuka amplop coklat tersebut dan terpana. Segepok uang kertas, buku tabungan atas namanya dan satu helai surat. Cepat-cepat dia membukanya.

Bunda sama sekali tidak mau melepasmu kalau bukan Om Minmon yang minta. Sekarang kamu sudah menjadi milik Om Minmon. Patuhi dia. Jangan pernah melawan. Jadilah selir yang baik dan bisa diandalkan. Dan jaga dirimu. Karena yang bisa menjaga dirimu hanya kamu sendiri. Bunda sayang kamu.

“Waduh, Mbak. Mbak. Kenapa nangis? Waduh kenapa ini?” Dua pegawai hotel yang menemani Ningsih bingung saat mendapati tamunya tiba-tiba menangis lagi. Tangis ketakutan beberapa menit lalu berubah menjadi tangis haru saat menyadari apa yang sebenarnya terjadi.

***

“Perang Revolusi… terjadi di tahun 1775… sampai tahun 1783… antara Amerika Serikat… dengan Inggris… atau nama lainnya… Britania Raya…”

Siang hari yang terik. Pelajaran yang membosankan. Kembali ke kehidupan sekolah.

Yoriko menoleh ke belakang. Penyejuk ruangan tidak bisa mengalahkan gerahnya kelas tapi bisa-bisanya Sevira tidur lelap. Sementara Beby menatap malas Pak Suyitno sambil bertanya-tanya kenapa guru setua itu belum juga pensiun.

Pasca insiden Gloomy Valkyrie, Yoriko, Beby dan Sevira diperintahkan untuk kembali beraktivitas seperti biasa, karena hal di luar itu menjadi urusan Om Minmon. Yoriko masih memandang kosong ke depan. Masih terbayang di benaknya bagaimana seminggu lebih yang lalu dia hampir mati ditebas golok. Dia kemudian memandang ke sekitarnya. Sekarang ini dia ingin berteriak kalau dia berperan penting dalam melumpuhkan penjarah di gedung Valkyrie, agar semua teman-temannya tahu.

“Terus kami kapan bisa ketemu Om lagi?” tanya Beby saat itu.

“Tunggu perintahku. Jangan hubungi Om dulu. Berbahaya buat kalian.” Ergh. Itu mah akal-akalan Om Minmon aja buat jauhin kami. Mana kami belum sempat nagih janjinya lagi. Yoriko manyun tiap ingat obrolan mereka terakhir itu.

Tok tok tok.

“Permisi, Pak Suyitno. Maaf ganggu sebentar.”

“Iya Bu… Kenapa…”

“Ini Pak, ada surat panggilan untuk murid. Untuk Yoriko, Beby dan Sevira.”

Mendadak kelas riuh, “Oalahhh lu bikin onar apa lagi sih Koo!” Kata Sadewa, si ketua kelas, yang ditimpali tawa teman sekalas yang lain.

“Hah? Lu bikin masalah Beb?”

“Hah enak aja. Elu kali.”

“Gue kali yak?” Sevira belum mengumpulkan kesadarannya.

“Cepat. Cepat. Ke ruang BP.” suruh staff BP itu.

Sambil berjalan Yoriko berpikir. Dia merasa mereka tidak melakukan apa-apa setelah insiden itu. Surat panggilan apa ini? Apa ada hubungannya dengan Om Minmon? Tidak mungkin. Om Minmon bisa dengan mudah menghubungi mereka dengan telepon atau pesan singkat. Jadi ada apa ini?

Sesampainya di ruang BP, mereka mendapati tiga pucuk surat berwarna coklat terletak di atas meja.

“Tadi wali kalian datang untuk memberi amplop ini. Pesannya, dari awal langsung pulang ke rumah. Oke, kalau begitu saya keluar dulu.”

Yoriko langsung merobek ujung amplop dan mengeluarkan isinya. Begitu juga dengan Beby dan Sevira. Mereka mengernyitkan alis saat melihat isi ketiga surat itu.

Setiap surat berisi tanggal, gambar dan huruf. Di surat Yoriko, tertera tanggal 23 Juli dengan gambar sayap di atasnya. Di bagian bawah surat, terdapat tabel dengan kode-kode yang familiar. Di surat Beby, terdapat tanggal 23 Agustus dengan gambar sayap yang sama dengan surat Yoriko. Di bagian bawah surat, terdapat gambar foto kelas mereka. Dan di surat Sevira, terdapat tanggal 07 Agustus lagi-lagi dengan sayap di atasnya. Kali ini di bagian bawah suratnya ada gambar buku pelajaran.

Mata Yoriko berbinar, “Ngga salah lagi, ini dari Om Minmon! Om pengen kita pecahin kode ini!”

“Ah elu, On Minmon mulu. Iya gue sih kangen juga. Tapi masa setiap hal mesti dihubungkan ke dia. Ga mungkin lah Om Minmon seiseng ini.”

“Iya ko, ke kantin aja yuk.” Sevira merengek.

“Ga mau! Lo harus bantu gue mecahin kode ini. Awas lo kalo keluar dari ruangan ini. Mending ga usah temenan lagi.”

“Ah elu Ko, maennya gitu.”

“Makanya cepetan bantuin gue!” Mau tak mau Beby dan Sevira pun membantu Yoriko. Dengan malas mereka memandangi ketiga surat itu, berharap mendapatkan ilham untuk memecahkannya.

“Heh! Kok diem! Bantu dong!”

“Gimana gue mau bantu Koo hadoh laper gue! Itu tanggal dan bulan ga pake tahun! Udah puas? Udah bantu kan gue?”

Oh iya, Beby tersadar. Kalau ada tahunnya, mungkin mereka bisa mencari hari apa di tanggal tersebut. Tapi ini tidak ada. Kemana arahnya ini?

“Gini nih kalo Taurus! Suka maksa orang! Makanya kadang gue males nongkrong ama lu Ko! Hahhh makin laper gue!”

Yoriko membelalak tersadar.

“Naahh iya bener Vir! Waduh makasih sayangku! Bener! Coba kita cek!” Beby dan Yoriko saling pandang. Mereka bingung mengapa tiba-tiba Yoriko berteriak sendiri.

“Zodiak Vir, Beb! Coba cari zodiak apa di tanggal-tanggal ini.” Mereka pun membuka ponsel untuk mencari tahu.

“Tanggal di gue zodiaknya Leo.”

“Gue juga.”

“Lah gue juga.”

Mereka kembali saling pandang. Kini Beby dan Sevira mengesampingkan rasa laparnya demi rasa penasaran apakah arah analisa mereka tepat.

“Kalo semua Leo, kenapa mesti dibeda-bedain? Dan apa maksudnya sayap ini?”

“Leo.. Leo.. Hm… Sayap...”

“Mungkin maksudnya… singa bersayap, ‘kali?”

“Hah?”

“Iya, kan Leo lambangnya singa, trus ini ada sayapnya. Nah jadinya singa bersayap.”

“Nah trus itu artinya apa?”

Mereka kembali diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Entah pikiran untuk mencari jawaban surat itu, atau pikiran mau makan apa di kantin nanti. Beby kali ini menyerah,

“Udah deh Ko, terserah lo deh. Gue laper. Gue pengen makan di kantin. Sekantin-kantinnya.”

“Iya Ko, gue juga laper. Ayo!”

“Iya. Gini ya Yoriko yang cantik, kalo beneran Om Minmon, dia bakal nelpon kita, atua setidaknya ngirim pesan. Trus ngajak kita makan di restoran mahal. Atau nginep di hotel. Yang pasti enaklah! Ih kangen gue makan sama Om.”

Tapi Yoriko hanya diam, memikirkan sesuatu, sampai akhirnya bersuara, “Lo berdua bener-bener ya.”

“Apaan lagi. Ah ga mau tau gue-“

“Lo bilang laper lah, apa lah. Tapi dari tadi lo berdua yang ngartiin kodenya.”

“Hah maksud lo?”

“Tadi si Sevira buka kode tentang zodiak. Nah sekarang lo Beb, tadi lo bilang apa?”

“Hah gue? Apa? Om Minmon? Makan? Enak? Ngewe?”

“Lo tadi ga ada bilang ngewe, ******!”

“Jadi apa dong? Resto- eh,” Beby teringat, “hotel? Maksud lo hotel?”

Exactly! Lo berdua tau dong kebiasaan Om Minmon nginep di hotel?”

“Iya, tau. Terus?”

Yoriko mengangkat ketiga kertas itu, “Di surat gue, ada Zodiak leo dikasi sayap. Surat lo juga. Surat lo juga. Lo tau artinya apa?”

“Apaan Ko?” desak Sevira tidak sabar.

“Tiga singa bersayap! Lo tau artinya?”

Beby paham maksud Yoriko, “Hotel dengan tiga singa bersayap. Grand Paradise Hotel! Astaga! Beneran nih artinya gitu?”

“Bisa jadi Beb! Dan sekarang kalo petunjuknya hotel, gue rasa kita tinggal cari nomor kamarnya!”

“Ya tinggal telepon hotelnya aja. Tanya nomor kamar yang atas nama Om Minmon.”

“Beby yang manis, pertama, pihak hotel ga mau sembarang ngasi data kayak nomor kamar ke sembarang orang kayak kita, Sayang. Kedua, kalo mereka mau ngasi, kita nanya kamar atas nama siapa? Emang lu tau nama asli Om Minmon?”

Beby terdiam, “Bener juga lu…”

“Udah, ini tinggal dikit lagi, lu berdua bantu gue dulu, ntar kalo udah dapet arti kodenya, gue traktir lo berdua, sampe ke abang-abangnya.”

“Abangnya gue entot maksud lo?”

“Eh taik lu dari tadi mesum mulu ya! Gue sumpel mulut lo ntar ya!”

“Ye kan bercanda!”

Mereka kembali ke tiga surat itu. Ada foto tabel, kelas mereka dan buku pelajaran.

“Eh Beb, ini kan tabel… jadwal pelajaran kan? MTK, BI, BING, OL. Ini kan singkatan pelajaran. Berarti ini jadwal pelajaran dong.”

“Eh iya bener. Dan lagi, ini foto kelas kita. Siapa ya yang bisa-bisanya fotoin kelas kita?”

“Ya banyaklah yang bisa Beb. Teman-teman kita juga bisa.”

“Dan kenapa harus kelas kita?”

“Ini artinya buku pelajaran apa pula?”

Untuk kesekian kalinya, mereka terdiam. Sampai ketika Ibu Hani, guru Bahasa, masuk ke ruang BP.

“Lho kok pada di sini? Kok ga masuk kelas?”

“Eh-ng, maaf Bu, tadi kami dipanggil staff BP ke sini.” Kata Yoriko sambil cepat-cepat menyembunyikan suratnya.

“Iya Bu kami-“

“Staff BP? Didik maksud kalian?”

“Bukan Bu yang satu lagi. Kalo Mas Didik mah kami tau hehe.”

“Hah? Satu lagi? Staffnya Bu Marisa cuma Mas Didik. Hayo kalian tadi dipanggil siapa? Hantu?”

“Hah?” Mereka kaget. Jadi siapa yang memanggil mereka tadi?

“Yang berhijab lho Bu, yang agak pendek orangnya. Tadi pake hijab hitam.”

“Kayaknya tadi kalian beneran liat hantu deh, Ko. Mana ada yang pake hijab hitam hari ini. Ibu aja tadi pas masuk kantor liat semua guru dan staff kok. Ini kan selasa, harusnya pake hijab hijau.”

“Ayo cepet, kalian harus masuk kelas. Ayo.” Mereka terpaksa keluar ruang BP untuk naik ke lantai atas. Yoriko berpikir keras. Dia tentu tidak mau masuk kelas sebelum kode surat ini terpecahkan. Namun langkah mereka mengantarkan sampai ke depan kelas. Mereka kompak menunduk.

“Sini aja deh, males gue masuk kelas.”

“Iya sama, sini aja deh.” Mereka mengambil posisi berjongkok di balik pot besar.

Siapa wanita tadi? Apa arti ketiga gambar ini? Tabel jadwal, kelas kami, dan buku pelajaran.

Sayup-sayup mereka mendengar suara pelan Pak Suyitno, “Pesta Teh Boston… Amerika Serikat… pada tahun… Prancis… Belanda…”

“Beb… Vir…” sambil berpikir Yoriko pelan-pelan memanggil, “tadi… apa yang dibilang… si staff gadungan itu?”

“Kok lu sekarang ngomongnya kayak Pak Suyitno?” Tapi Yoriko hanya diam, sambil memandangi ketiga gambar itu.

Pelajaran. Kelas kami. Jadwal.

Kelas kami. Jadwal. Pelajaran.

Kelas kami. Pelajaran. Jadwal.

Jadwal. Pelajaran. Kelas Kami.

“Eh! Masa sih…” kata Yoriko. Sevira bingung melihatnya Yoriko berbicara sendiri. Beby teringat perkataan staff itu,

“Oia Vir, tadi katanya ‘Tadi wali kalian datang untuk memberi amplop ini.... Pesannya... aduh apa ya langsung pulang ke rumah. Oke, kalau begitu saya keluar dulu.”

“Bukan! Tadi katanya, dari awal langsung pulang ke rumah!”

“Yee, ga nyambung lo. Dari awal apanya? Dari awal pelajaran? Yaudah gue pulang nih kalo gitu.”

“Ssstt! Nanti ketahuan! Sevira bener! Gue juga tadi ngerasa agak janggal. Dia tadi bilang, dari awal langsung pulang ke rumah… Pelajaran kami… dari awal…” Kembali Yoriko diam sambil mendengar suara Pak Suyitno.

“Amerika Serikat… Inggris… berperang…”

“Beb, Vir! Ini pelajaran tentang apa?”

“Waduh ga tau gue. Tadi gue tidur.”

“Dasar lo emang. Beb?”

“Tentang Perang Revolusi, Ko. Kenapa emang?”

Got it! Semoga bener! Tadi si staff gadungan bilang, dari awal langsung pulang ke rumah. Nyambung ga kalimatnya? Ngga. Karena yang mau dikasitau itu kode ‘dari awal’. Dan ketiga gambar ini artinya adalah pelajaran sekarang di kelas kita. Sejarah. Tentang Perang Revolusi. Dari awal + Perang Revolusi. Buka hape lo, perang revolusi awalnya tahun berapa?”

“Ga usah buka hape. Hapal gue. Cuma gue yang merhatiin ke depan. Bukan kayak elu berdua.” Beby melipat tangan.

“Ya cepetan. Tahun berapa?”

“1775.”

“Masuk akal! Hotel Grand Paradise Hotel itu lebih dari 30 tingkat, berarti kemungkinan ada kamar nomor 1775 di lantai 17! Pulang sekolah kita kesitu! Kode surat ini terpecahkan yeay!”

“Yah Ko, jadi makan ga ini? Laper gue… lo kan janji…” Seakan mendengar keluh Sevira, bel pelajaran selesai berbunyi nyaring yang langsung disambut sorakan nyaring mereka.

***

“1792… berarti di kiri Beb, kanan yang genap.”

“Wanjir ini hotel gede banget ya. Sampe nomor hotelnya sembilan puluhan…”

“1781… 1777… Ko, Vir! Ketemu! Akhirnya ketemu Om Minmon!”

“Gimana ya… kalo bukan Om Minmon…”

“Iya ya…”

“Ga mungkin. Salah satu kodenya menyasar ke kebiasaan Om Minmon. Pasti ini dari Om Minmon. Om pasti ada di balik pintu ini.” Dengan yakin Yoriko menekan bel pintu kamar itu. Ting tong.

Jantung mereka berdegup. Apakah mereka akan bertemu Om kesayangan mereka, atau mendapati bahwa mereka dikerjai?

Jleg. Pintu terbuka. Yoriko, Beby dan Sevira serempak memiringkan kepala untuk melihat siapa di balik pintu.

“Eh, sampeyan kudu asmane Beby, Sevira karo Yoriko kan?”

Trio SMA bengong. Siapa wanita ini? Logatnya yang kental dan pakaiannya yang seperti gadis desa.

“Mb-bak, siapa? Om Minmon mana?”

“Lhooalah, sampeyan kenal Om Minmon juga. Nah ini, aku juga nungguin tapi ga ada kabar.”

Trio SMA lemas. Tidak ada Om Minmon seperti perkiraan mereka. Tapi setidaknya arah mereka sudah tepat, walaupun belum paham apa sebenarnya maksud Om kesayangan mereka itu.

***

Sebulan lalu…

“Lapor, Komandan Satu. Kami sudah mendarat di Tanah Timur. Sekarang aku ditinggal di hotel. Mereka baru saja bergerak ke rumah.”

“Oke, yang lain udah bersiap. Tetap kabari keadaan di sana.”

“Baik, Komandan. Laksanakan.”

“Kamu ngga diapa-apain kan di sana?”

“Pasti diapa-apain dong. Tapi Bunda udah latih saya kok. Ga usah khawatir.”

“Kalo kamu sampe lecet segaris aja, habis tuh orang sama saya.”

“Hahaha santai Komandan. Demi tugas dari Bunda saya rela diapa-apain. Tapi tenang saja, saya cuma disuruh memuaskan selangkangannya kok. Habis itu saya dibiarin.”

“Oke, dengan jarak hotel ke lokasi hanya 10 menit dan pengecekan diprediksi 10-15 menit, tak lama lagi mereka akan kembali ke hotel. Sembunyikan semua peralatanmu. Jangan sampai ketahuan. Mengerti?”

“Siap, mengerti Komandan.”

I know I can rely on you.” Tit. Telepon pun diputus. Gadis cilik itu cepat-cepat menyembunyikan alat komunikasi dan perlengkapan lainnya.

Dan benar saja, tak lama kemudian seorang pria penuh nafsu sudah kembali ke kamarnya, untuk menikmati jatahnya siang itu.

“Cindy Yuviaaa dimana kamuu? Mas Arman udah sange nihhh hahahah!”

***
 
CHAPTER 86: REVEALED (1)


“…Oh kasih, pujaanku hatiku… Jabatlah rasa rindu…”

Lagu sendu itu mengiringi mobil berwarna merah yang pelan menyusuri jalan berbatu dan sedikit terjal. Gelap langit subuh membuat mobil itu hanya bisa mengandalkan penerangan dari lampu sorotnya. Sesekali orang di bangku supir mobil itu mengaduh.

“Errghh bagian yang paling tidak kusukai. Harus nyetir sendiri. Begini nih kalo udah biasa disetirin. Mana jalannya berbatu lagi.”

Namun pada akhirnya, mobil sewaan itu sampai di tujuan. Sebuah rumah bercat putih yang memiliki atap menjulang tinggi dan dikelilingi halaman yang luas nan asri. Berbagai macam tanaman tersusun namun tidak membuatnya semarak. Di samping halaman itu berjejer rapi mobil para tamu yang duluan sampai. Tidak ada yang berubah dari terakhir dia mengunjungi rumah itu.

“Saka Darmino.”

Si empunya nama menoleh ke sumber suara. Mulutnya menganga, matanya membelalak. Beberapa kali dia datang ke rumah ini, dia selalu disambut pelayan yang membantunya memasukkan barang. Namun kali ini, tak disangka, sang empunya rumah langsung turun dari tangga teras untuk menyambutnya.

Mampus aku. Apakah kesalahanku sudah terlalu fatal sampai disambut seperti ini?

“Mari, saya bantu…”

“Eyang, biar saya saja…” Dia tentu sadar, tidak seharusnya pria berumur itu turun dan membantunya mengangkat kopernya. Saat Eyang mendekat, dia bisa dengan jelas melihat guratan di wajahnya semakin banyak. Tubuhnya semakin terlihat ringkih namun gerakannya tetap gesit.

“Eyang, maaf, biar saya saja yang angkat koper saya.”

“Saka,” Eyang dengan tenang mengambil koper yang terletak di sampingnya dengan tangan kirinya, “saya setiap hari mengangkat batu seukuran badanmu sambil berjalan ke atas bukit di belakang rumah ini. Kopermu ini tidak ada apa-apanya khehehehe.” Eyang masih seperti yang dulu. Dan akan selalu menjadi Eyang yang dikenalnya. Santun, ramah dan senang bercanda.

“Oh iya, di lingkunganmu kau panggilannya apa? Saya lupa.”

“M-minmon, Eyang.”

“Nah iya. Minmon. Hahaha. Sudah bagus-bagus orang tuamu memberi nama Saka, malah jadi Minmon.” Om Minmon hanya bisa menggaruk-garuk botaknya yang tidak gatal.

“Nak, tolong ini ditaruh di kamar atas ya.”

“Baik, Eyang.” Pelayan yang seharusnya menyambut Om Minmon di depan dengan cekatan mengambil kopernya dan naik ke lantai dua.

Om Minmon memandang ke sekeliling. Interior serba kayu bernada coklat yang minimalis tidak pernah gagal membuatnya merasa damai setiap kali dia mengunjungi rumah itu. Benar-benar tidak ada yang berubah dari rumah itu. Bahkan letak rak dan meja kecil masih diingatnya saat terakhir kali Om Minmon datang.

“Mari, Saka. Yang lain sudah menunggu.”

“Baik, Eyang. Maaf saya agak telat, Eyang.”

“Kita hanya menyepakati harinya, bukan jamnya, ‘kan?”

“I-iya, Eyang.”

Sreg. Eyang menggeser pintu ke samping untuk masuk ke ruangan besar yang diisi meja kayu bulat berkaki rendah. Ternyata semuanya sudah datang. Saat masuk ruangan itu Om Minmon disambut aroma perpohonan pinus yang meneduhkan.

“Gimana perasaannya Mas Saka, disambut langsung sama Eyang?” Wanita berkulit gelap di sisi kiri meja menahan tawa.

“Wina, saya menyambut kalian semua sama. Tidak perlu seperti itu.”

“Hehe maaf Eyang. Saya hanya ingin menggoda Saka.”

Matahari seperti menunggu Eyang bersila di bantal duduknya yang sedikit lebih tinggi sebelum akhirnya muncul dan memancarkan sinarnya masuk ke dinding kaca bulat di atas mereka. Seketika ruangan itu cerah dan menggantikan suasana yang tadinya teduh.

Di depan mereka bertujuh, Eyang seperti bersinar. Matanya memejam dan mulutnya tipis merapalkan doa. Tubuh kurusnya mengeluarkan aura putih, yang membuat Eyang semakin terlihat bercahaya. Sudah sering mereka menyaksikan, namun mereka selalu takjub dan terpana melihat fenomena ini.

Tidak ada yang tahu berapa umur Eyang. Namun mereka yakin, Eyang sudah berumur lebih dari satu abad. Tidak ada pula yang tahu asal-usulnya. Yang mereka bertujuh pahami, Eyang adalah Sang Leluhur yang menjaga Garis Kehidupan Negeri dan mereka bertugas untuk membantunya.

Cahaya matahari mulai memudar. Sang Leluhur, yang biasa mereka panggil Eyang, membuka matanya. Kini mereka bertujuh tidak ada yang berani membuka mulut. Eyang yang sekarang berbeda dengan Eyang yang menyambut mereka tadi pagi.

“Terima kasih untuk kedatangan kalian semua, Tujuh Penjuru.”

“Kemudian,” Eyang melanjutkan, “Saka Darmino, setelah keinginanmu tercapai, apakah kamu sekarang bisa menepati janji?”

***

Om Minmon menunduk, tidak berani menatap Sang Leluhur.

“Demi keinginanmu, ratusan manusia harus berperang dan menderita. Tidak sedikit yang harus menemui ajalnya.”

“Demi keinginanmu, Anggoro Saputra harus mengorbankan asetnya, menjadi sasaran kebencian rakyat dan harus menjadi pesakitan. Dan yang paling utama, dia akhirnya menyerahkan harta berharganya yang kamu inginkan.” Seorang pria berjas merah marun di sebelah kiri Sang leluhur memandang Om Minmon sambil manggut-manggut.

“Demi keinginanmu, Bagus Cahyadi harus merancang skenario dan hampir saja membunuh pegawaimu. Dan yang paling utama, dia harus mengkhianati Mata Telinga-nya.” Seorang pria tepat di samping Om Minmon ikut menunduk sambil berbisik, “Tidak apa-apa, Pak.”

“Demi keinginanmu, Penjaga Penjuru Gaib harus turun tangan membantu Bagus Cahyadi untuk meluruskan garis takdir yang sedikit melenceng.”

“Dan demi keinginanmu, Penjaga Penjuru Manusia menghentikan perjalanan spritualnya di Tibet dan kembali ke Indonesia untuk membersihkan aura kekacauan di tempatmu sekaligus memulihkan Shania Gracia, dimana itu akan memakan waktu yang lama.”

Sang Leluhur berkata pelan dan lirih, namun dengan tepat menusuk hati Om Minmon, “Semuanya demi keinginanmu.”

Semuanya sudah jelas. Om Minmon kini seperti narapidana yang menunggu dijatuhi hukuman. Para Penjuru lainnya dengan was-was menunggu titah Sang Leluhur. Mereka yakin Sang Leluhur akan menghapus ingatan Om Minmon dan mengeluarkannya dari Tujuh Penjuru. Apa lagi kemungkinan selain itu? Apa yang terjadi sudah di luar batas toleransi. Pria berjas merah marun di sebelah kiri Sang Leluhur tersenyum penuh kemenangan sambil menatap Om Minmon yang masih tertunduk.

“Namun tidak ada yang salah. Garis kehidupan memang harus berjalan seperti itu.”

Semuanya terkejut, namun tidak ada yang berani berkomentar. Termasuk pria berjas merah marun. Apa-apaan ini? Bukankah ini di luar batas kewajaran? Bagaimana bisa Sang Leluhur mengatakannya begitu saja?

Seperti membaca isi hati pria itu, Sang Leluhur menoleh ke arahnya, “Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Tidak ada pula yang luput dari dosa. Walaupun begitu, semuanya sudah mempunyai tugas dan bagian masing-masing. Bukan begitu… Tuan?”

Pria berjas merah langsung menundukkan kepalanya, “Maafkan saya, Leluhur. Saya tidak layak dipanggil seperti itu.”

Sang Leluhur tersenyum, kemudian kembali menatap ke depan, “Namun begitu, semua pilihan ada konsekuensinya. Saka Darmino, ke depannya perjuanganmu akan panjang. Kau harus membereskan sisa-sisa kekacauan ini. Selain itu, kau juga berhutang budi dengan beberapa orang di ruangan ini.”

“Dan yang paling penting,” Om Minmon merasa seperti harus menegakkan kepalanya. Perlahan dia menatap wajah Sang Leluhur yang damai dan menenenangkan, “tidak ada yang pantas untuk melaksanakan Darma ini selain kau.”

“Baik, Sang Leluhur. Saya akan menepati janji. Sekarang saya siap melaksanakan titah ini.”

Sang Leluhur tersenyum kemudian berdiri, yang diikuti enam Penjuru. Sang Leluhur kemudian berjalan mendekati Om Minmon dan menariknya bangkit,

“Selamat datang kembali, Penjuru Manusia.” Sang Leluhur sudah kembali menjadi Eyang yang mereka kenal santun dan ramah.

“Terima kasih untuk kebaikan dan kemurahan Anda, Eyang. Saya sangat menghargainya.”

***

Plek.

“Fiuhhhh…”

Om Minmon menghembuskan nafas lega saat tubuh tambunnya menyentuh kasur putih yang empuk di kamar yang sudah disediakan untuknya. Perjalanan panjang menuju ke rumah Eyang sangat melelahkan. Apalagi di pertemuan tadi dia berpikir hal buruk akan terjadi. Namun Eyang adalah orang yang pemaaf dan bermurah hati. Apa yang baru saja terjadi di luar prediksinya. Kini dia kembali menjalankan darma-nya sebagai Penjuru Manusia.

Tok tok.

“Siapa?”

“Ini saya Bagus, Pak Mino.”

“Eh silahkan masuk.”

Masuklah seorang pria mudah berpakaian serba hitam. Senyumnya sumringah melihat Om Minmon, seperti seorang anak yang sudah lama tidak bertemu orang tuanya. Dia mengambil posisi duduk bersila di dekat Om Minmon.

“Bagus! Kamu apa kabar? Maaf tadi saya langsung masuk kamar setelah pertemuan tadi selesai. Ngg.. Eyang dimana?”

“Eyang sudah istirahat, Pak, tadi diantar pelayan.”

“Oh begitu.”

Mereka duduk diam. Masing-masing ingin menanyakan apa yang belakangan ini mengganjal di pikiran mereka.

“Anggoro… tentu masih marah kepada saya?”

“Tenang, Pak Mino. Wejangan Eyang pasti bisa meluluhkannya.”

“Semoga.”

Kembali mereka diam. Namun kali ini Om Minmon tidak mau berlama-lama. Dia menepuk lutut Bagus,

“Bagaimana kabar Melody?”

***
 
CHAPTER 86: REVEALED (2)


Hari terakhir di Rumah Eyang.

Om Minmon menjadi satu-satunya Penjuru yang masih di Rumah Eyang. Para Penjuru lainnya sudah kembali ke tempat masing-masing satu hari sebelumnya. Kini dia duduk di depan halaman bersama sang empunya rumah. Di hadapannya terletak satu teko berisi teh Da Hong Pao, salah satu teh langka yang menjadi favoritnya kalau datang ke rumah Eyang.

“Enak yah, Eyang, punya rumah di sini. Bangun pagi bisa langsung merasakan kesegaran seperti ini.”

“Kamu mau tinggal di sini?” Eyang menoleh sambil tersenyum menggodanya. “Kalo kamu mau, biar saya ajarkan cara berkomunikasi dengan para warga penghuni hutan belakang bukit.”

“Eh ga jadi deh Eyang terima kasih.” Jawab Om Minmon cepat-cepat, yang disambut tawa terbahak Eyang.

“Eyang…”

“Ya?”

“Anggoro masih marah ke saya?”

“Kalaupun masih marah, wajar. Kamu sudah mengambil harta berharganya.”

Om Minmon terdiam. Eyang mengatakan hal yang sama dengan yang di pikirannya.

“Tetapi saya sudah mengatakan kepadanya, apa yang hilang, akan kembali. Apa yang diambil, akan diberi. Semuanya seimbang.”

“Itu berarti… apa yang saya ambil, akan hilang?”

“Keseimbangan itu banyak caranya, Saka. Walaupun kamu belum mengambil, takdir bisa saja terlebih dahulu mengambil darimu.” Mendadak Om Minmon teringat Melody. Apa yang dikatakan Eyang benar adanya.

“Tentang gadis itu, Garis Kehidupan sudah menariknya kepada darma yang sebenarnya. Dia akan membantu Bagus. Saya yakin akan banyak yang bersedih, namun bukankah kehidupan ini seperti itu? Ada yang datang, ada yang pergi. Hanya waktu yang bisa melepaskan.”

Om Minmon manggut-manggut membenarkannya. Eyang kembali menyesap tehnya.

“Eyang… saya boleh cerita sedikit?”

“Waktumu tak terbatas di rumah ini, Saka.”

“Mmm… tahun lalu saat saya dengan yakin mengatakan ingin meninggalkan darma Penjuru Manusia ini dan siap untuk dihapus ingatannya, ada dua alasan besar. Yang pertama, saya merasa tidak pantas menjalankan darma ini. Saya sering mempermainkan wanita. Dengan kuasa yang saya punya, saya juga sering mempermainkan hak orang lain.”

Eyang mengisi kembali teh di gelasnya yang sudah habis, “Kalau pengemban darma Penjuru harus manusia yang murni dari dosa, siapakah yang layak? Tidak ada yang luput dari dosa dunia ini, Saka. Saya yakin di balik segala yang kau lakukan, kau tetap menjalankan kebajikan yang sudah tertanam lama di hati pikiranmu. Dan ke depannya, kebajikan itu akan mengalahkan nafsu duniawimu. Alasan lainnya?”

“Alasan lain karena saya tidak tahan sendirian menjalankan tugas ini, Eyang. Sementara Penjuru lain punya ‘pasukan’. Bahkan Penjuru Alam punya ratusan bawahan. Walaupun Penjaga Penjuru Manusia membantu saya, saya rasa kami tetap kewalahan. Karena itu, Eyang, walaupun saya siap menjalankan tugas ini kembali, hal itu masih mengganjal di pikiran saya.”

Eyang menepuk bahu Om Minmon pelan, “Dari zaman lalu, tanpa menafikan peran Penjuru lain, darma Penjuru Manusia selalu menarik perhatian saya. Karena tugasnya yang cukup berat, namun dilakukan oleh satu orang tanpa bala bantuan. Oleh karena itu, pencarian pengemban darma Penjuru Manusia memakan waktu yang jauh lebih lama dari Penjuru lainnya.”

“Namun seiring berjalannya waktu dan semakin rumitnya Garis Kehidupan, saya melihat bahwa sudah saatnya darma Penjuru Manusia tidak diemban oleh satu orang lagi. Dia harus memiliki pasukan, seperti Penjuru lain.”

Om Minmon sedikit terkejut, “Itu artinya…”

“Empat. Empat orang yang akan membantumu menjalankan darma ini. Empat orang yang jalinan takdirnya sudah terhubung dan keberaniannya sudah teruji. Garis Kehidupan mereka sangat panjang. Kau hanya perlu mengasah mereka. Menempah mereka sampai akhirnya mereka siap terjun.”

“Eyang… ini serius? Siapa mereka?”

Eyang tersenyum simpul, “Cari tahu sendiri. Yang pasti, saat ini mereka sudah berkumpul.”

***

Buuooonng!

Suara sangkakala hitam menggema memenuhi ruangan altar. Ratusan pria berjubah hitam berbaris rapi sambil berlutut. Kepala mereka menunduk sambil mulut mereka komat-kamit merapalkan mantra.

“Kamu… tidak takut?”

“Aneh. Aku merasa seperti sudah lama berada di sini.”

Bapak tersenyum, “Melody, sebentar lagi kita akan memulai ritualnya. Kehidupanmu akan berubah setelah ini. Kamu… siap?”

“Kok Bapak sang penguasa Tengkorak Hitam ngomongnya ga meyakinkan gini sih.”

“Hahaha aku hanya ingin memastikan. Karena setelah ini, kamu akan menjadi seseorang yang tidak lagi sama. Kehidupanmu pun akan sangat berbeda."

Melody tiba-tiba memegang kedua pipi Bapak, “Kalo kamu mau lanjut, aku ikut kamu.”

“Oke, kalo begitu ayo.”

Merekapun berjalan ke balik tirai di depan. Kini di hadapan mereka, di bawah sana, kidung pemujaan dari semua pasukan Tengkorak Hitam menggema. Tangan mereka serentak terangkat. Dentuman tongkat mengiringi kidung dengan ritme lambat.

Di hadapan Melody, seorang wanita tua berjubah hitam berdiri sambil memegang wadah dan belati.

“Apakah kau sudah siap?”

“Saya siap, Penjaga Penjuru Gaib.”

“Terimalah Garis Kehidupan ini, Samudera. Takdirmu bersama Bintang Kejora sebagai Penjuru Gaib kini terwujud.” Belati bergagangkan tengkorak mulai menyayat satu garis lurus vertikal di kening Melody. Dia merasakan aura hitam nan pekat memenuhi tubuhnya. Dadanya terasa penuh. Bola matanya menghitam.

Melody tanpa sadar berlutut, merentangkan tangannya ke atas dan mulai merapalkan mantra yang tak pernah dihapalnya. Sampai akhirnya mulutnya berhenti merapal, yang disusul berhentinya kidung ritual dan dentuman tongkat. Bapak meraih tangannya dan membantunya berdiri.

“Selamat datang di Penjuru Gaib, Samudera. Kini kau bagian dari kami.”

***

“Sampe kapan sih ni cewek kita jagain?”

“Ga tau. Udeh turutin aja. Toh dibayar mahal.”

“Ya kalo emang ga dipake lagi biar gue pake gitu hahaha.”

“Heh jangan ngadi-ngadi deh lu, lu mau mati apa? Lu kagak tau siapa yang nyuruh kita?”

“Hah kagak tau. Gua akan ikut elu.”

Suara genit dari balik kandang besi menghentikan debat mereka.

“Mas… Mau pake aku? Pake aja sini. Ntar aku ga bilang siapa-siapa deh.”

“Eh anjir dia kok bisa ngomong? Eh lu lupa masang ngiket mulutnya ya? Ah bego lu. Ntar kita dimarahin Bos lho!”

“Eh iya lupa gue, mampus. Yaudah bentar gue iket lagi.”

Pria jangkung itu cepat-cepat membuka gembok kandang besi itu, kemudian meraih kain di dekat kakinya. Namun wanita itu berbisik,

“Kamu ga perlu buka rantai kaki dan tanganku. Kamu cuma perlu buka penutup mataku. Gelap. Tolong kasihani aku. Aku teriksa tidak bisa melihat seperti ini.”

“Ngga. Saya nerima perintah untuk tetap tutup mata kamu.”

“Apa yang bisa aku lakukan kalau kaki tanganku diborgol kencang seperti ini. Hanya penutup mata ini saja. Tolong aku. Aku ini korban penculikan mereka. Aku janji tidak akan berbuat apa-apa.”

“…Bahkan kamu bisa menikmati tubuhku. Aku tidak akan melawan. Toh kamu memegang kuncinya. Aku ga akan bilang siapa-siapa. Bagaimana?”

Glek. Pria jangkung itu menelan ludah. Ya, tidak mungkin dia bisa lepas hanya karena penutup matanya dilepas.

“Yaudah, agak maleman. Janji jangan macam-macam. Gue juga dari kemaren sange ngeliat elu.”

“Oke, sayang. Janji. Aku ga akan macam-macam.” Wanita yang diborgol itu tersenyum jahat.

***

Malam pun tiba.

Jeglek! Bunyi gembok pintu gudang terbuka. Wanita di dalam kandang besi itu tersenyum. Kena kau! Kini aku akan bebas.

Saat langkah kaki makin dekat, dia semakin tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya.

“Sebentar ya Mbak.” Suara pria jangkung terdengar di sampingnya.

“Garrh.” Sumpalan dan ikatan di mulutnya membuatnya tidak bisa berkata jelas.

Kleng! Gembok kandang besipun terbuka. Wanita itu siap-siap menerkam penjaga itu dan menyerap saripatinya. Dia akan kabur dalam hitungan detik. Hahaha aku akan menghilang dari sini!

Pengikat mulutnya dilepas dan sumpal dikeluarkan dari dalam mulutnya.

“Terima kasih sayang. Cepat nikmatin aku. Tapi buka dulu penutup mataku.”

Penutup matanya pun terbuka.

“Akhi-“

Dryad bengong. Di hadapannya bukan hanya seorang penjaga yang tadi sore dia goda, tetapi juga dua orang yang dia kenal.

“Bagaimana, Gus?”

“Oh yang ini. Bisa, Pak Mino. Dia cuma iblis kecil hasil ritual Saktia sepuluh tahun lalu. Bisa saya handle.”

“Brengsek! Apa mau kalian!” Dryad langsung menyentak. Namun gertakannya tidak berarti apa-apa.

“Tadi sore kamu godain anak buah saya ya? Hahaha dasar Iblis.”

“Kamu! Kamu pemimpin Tengkorak Hitam! Aku tau kamu! Jangan macam-macam! Kekuatanmu tidak ada apa-apanya!”

“Ya terserah. Saya sedang berbicara dengan siapa sekarang? Dryad atau Saktia?”

“Diam kamu!”

Anak buah Bapak kemudian melepas ujung borgol dari kandang besi kemudian mengaitkannya kembali ke pergelangan tangan Saktia. Begitu juga dengan kakinya.

“Bikin cepat aja, Gus.”

“Baik, Pak Mino.”

Plasma hitam mendadak muncul di telapak tangan Bapak. Mulutnya merapalkan mantra sementara plasma hitam itu semakin membesar.

“Apa yang kamu lakukan?! Mau apa kamu! Jangan! Jangan! Lepaskan sayaa!”

Bapak perlahan mendekatkan telapaknya ke dahi Dryad. Sedetik kemudian lengkingan kesakitan paling memilukan menggema di gudang itu.

“Sudah? Begitu saja?”

“Iblis ini tergolong lemah, Pak. Dia hanya menghisap energi, bukan jiwa. Dan itu hanya untuk kekuatan sementara. Tidak ada perlawanan yang berarti. Dia sudah hancur.”

“Ini artinya?”

“Silahkan, Pak. Sekarang sudah kembali ke empunya jiwa sebenarnya.”

Wanita didepan Om Minmon mengerang kesakitan. Suaranya kembali seperti yang Om Minmon kenal.

“Saktia?”

“O-omm ergghh. Sakiitt… Tolong aku…”

Melihat Saktia yang menahan sakit di sekujur tubuhnya, Om Minmon menoleh ke Bapak, “Yasudah, kamu bisa tinggalkan kami? Tunggu di luar aja, Gus. Kalo udah kelar aku panggil lagi.”

“Baik, Pak. Ayo.” Bapak dan anak buahnya yang jangkung pun pergi.

***

“Hai, Saktia. Apa kabar? Sudah lama kita ga berbincang seperti ini.”

Saktia disandarkan di tiang besi. Om Minmon kemudian mendekatkan ujung botol air mineral ke mulutnya untuk membantunya minum. Kucuran air keluar dari mulutnya dan membasahi pakaian kumalnya.

“Bagaimana rasanya kembali ke tubuh sendiri?”

Saktia belum juga menjawab.

“Jadi yang kemaren jadi dalang kerusuhan itu, kamu atau Dryad?”

Pelan-pelan akhirnya Saktia menjawab, “Dr-yad, Om…”

“Fiuh untunglah. Om udah takut kalo itu kamu.”

“Bukan, Om. Om… tolong ampuni aku… Aku mengaku salah…”

“Yeah, you should. Kalo Tristan emang udah nyerahin perkara ini ke aku. Dia ga mau tau lagi urusan kamu. Tapi kalo saya,” Om Minmon tersenyum penuh arti, “saya orangnya fleksibel dan penuh kompromi kok.”

“Terima kasih Om. Tolong aku Om, tolong ampuni aku.” Saktia yang sudah sedikit pulih tentu tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia yakin Om Minmon masih menyayanginya.

“Sejak insiden itu, jadwal Pil Ultimate menjadi terganggu dan tertunda. Tapi dari awal, saya sudah mengatakan bahwa setiap Pegawai Terpilih mendapat jatah satu Pil Ultimate…”

“…bahkan ketika dia tidak menjadi Pegawai Terpilih lagi.”

Dengan gerakan cepat Om Minmon membenamkan telapak tangannya ke mulut Saktia, untuk memaksanya menelan Pil Ultimate. Saktia yang tidak menyangka gerakan itu hanya bisa tersedak. Tubuhnya masih terlalu lemah untuk melawan. Om Minmon kemudian membenamkan botol air mineral untuk semakin memaksa Pil Ultimate itu masuk ke dalam tubuhnya.

“Saya orang baik, bukan? Apa yang menjadi hakmu tetap kau dapatkan.”

Beberapa detik kemudian Pil Ultimate bekerja. Tubuh Saktia mendadak panas. Dia merasa ada sesuatu yang akan meledak dari dalam tubuhnya. Dia dapat merasakan kulitnya berasap tipis. Giginya menggeretak menahan sensasi itu.

“Grrhhhhhahhhh O-oommm engghhh!”

“Iyap, nikmatilah.”

Tubuhnya meringkuk menahan rasa panas itu selama beberapa menit. Om Minmon yang menyaksikan proses itu hanya tersenyum. Salah. Jalan yang kamu ambil salah, Saktia. Dan seperti kata Eyang, setiap pilihan ada konsekuensinya. Jalani konsekuensimu.

Setelah beberapa menit akhirnya sensasi itu berhenti. Saktia terengah-engah kelelahan. Namun dia merasakan suatu sensasi baru di tubuhnya. Tubuhnya seperti menagih untuk dipuaskan. Libidonya melonjak. Cepat-cepat dia bangun untuk meraih Om Minmon.

“Om! Om! Tolong! Puaskan aku! Entot aku, Om! Nikmati memekku!”

“Bukain dong celanaku.” Om Minmon berjalan ke arah kursi besi yang tak jauh dari situ.

Dengan kesetananan Saktia mengejar Om Minmon. Dia membuka ikat pinggang dan kancing celana saat Om Minmon sudah duduk, kemudian meraih batang penis Om Minmon dari dalam celananya. Tanpa aba-aba Saktia langsung melumat penis Om Minmon. Tak pernah dia rasakan penis Bos-nya segurih ini. Dengan buru-buru dia menjilat dan menyedot penis Om Minmon sambil tangannya mengocok pangkal penis Om Minmon.

“Hmmmphh enak banget Om! Enak!”

Tak lupa dia menyedot buah zakar untuk menaikkan libido Om Minmon. Liurnya menetes-netes membasahi penis dan zakar. Om Minmon terhibur dengan gundiknya yang kesetanan meminta dipuaskan.

“Sudah siap?”

“Sudah! Sudah Om! Entot aku! Genjot memekku Om!”

“Hahaha dasar perek murahan!”

“Iyah! Iyah! Aku perekmu Om! Aku ga akan melawan!”

“Bagus. Sini,” Om Minmon menjambak Saktia yang justru menikmatinya, kemudian menunggingkannya di kursi besi itu.

Sambil menggosok-gosokkan kepala penisnya ke klitoris Saktia, Om Minmon memandangnya dengan penuh arti. Saat kamu dulu hampir mati aku menyelamatkanmu. Dan ini balasanmu? Tapi kalau memang ini pilihanmu, jalanilah akibatnya.

“Ngghhh iyaahhh!” Rasa perih di liang vagina Saktia tidak dipedulikannya, saat penis Om Minmon memaksa masuk ke dalam lubang selangkangannya yang masih kering. Liang vaginanya mencoba melawan dengan menjepit penis Om Minmon, namun penis itu terlalu gahar untuk dilawan. Labia Majora vaginanya semakin melebar menyesuaikan ukuran penis Om Minmon.

“Gimana, Via? Enak?”

“Enakh! Enak! Lagi Om! Keluarkan semua maninya!”

“Khehehehe.”

Om Minmon mulai menggoyang pinggulnya maju mundur. Sambil menggenjot, tanpa ampun dia menampar bokong putih Saktia sampai memerah.

“Iyah Om! Saktia nakal! Saktia harus dikasi hukuman! Erghh!”

“Termasuk hukuman ini?” Om Minmon memasukkan tiga jarinya sekaligus ke lubang pantat Saktia. Rasa sakit menggerayangi tubuh Saktia, namun tidak digubrisnya. Libidonya semakin menggelora seiring Om Minmon mengorek-ngorek lubang anusnya.

“Hahaha! Enak! Genjot duburku juga, Om! Duburku juga sempit! Ergh! Yeah! Yeah!”

As you wish, bitch!”

Om Minmon mencabut penisnya dari vagina dan tanpa ampun menyorongkannya ke lubang pantat Saktia. Bola mata Saktia memutih. Rasa enak ini tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Saktia merasakan sakit yang amat sangat, namun dibarengi dengan rasa nikmat yang merayap ke seluruh tubuhnya. Penis yang memaksa masuk ke liang pembuangannya justru menggetarkan tubuhnya untuk meraih orgasme perdananya.

“Iyah engggghhhhh Oooomm aku keluarrrghhh!” Cairan bening menyembur-nyembur dari balik liang vaginanya. Pahanya bergetar hebat. Saktia seakan tidak bisa berkuasa atas tubuhnya sendiri saat vaginanya belum juga berhenti memuncratkan cairan bening. Om Minmon hanya terkekeh saat melihat celananya basah oleh squirting Saktia. Tak sedikitpun dia mengendurkan genjotan penisnya di lubang anus Saktia.

“Yes! Yes! Kamu bener Saktia! Anusmu sempit banget! Enak banget anjing hahaha!”

“Iyah, Bos! Iyah! Entot Saktia sepuasmu Bos! Saktia akan patuh!”

Om Minmon menjambak rambut Saktia sampai dia berdiri, “Kalo patuh kamu tau apa yang aku butuh!” Kemudian menerjangnya sampai terjembab. Om Minmon kemudian duduk sambil terengah-engah.

Saktia yang paham langsung mengambil posisi mengangkang dan memasukkan penis Om Minmon ke dalam vaginanya. Om Minmon yang melihat itu langsung menampar pipinya bertubi-tubi.

“Siapa yang suruh masukin ke memekmu?! Hah?!” Plak! “Kamu kira memekmu itu enak hah?!” Plak! “Jauh lebih enak memek lonte murahan di pinggir jalan, anjing!” Plak! Pipi Saktia merah, namun sedikitpun tidak terpikir untuk melawan. Cepat-cepat dikeluarkannya penis Om Minmon dari vaginanya kemudian ditanamkan ke dalam lubang anusnya.

“Iyah! Cuma itu yang enak dari tubuhmu! Tubuh sampah! Genjot! Mana genjotanmu?! Anjing!” kembali Om Minmon menampar dan kali ini menghantam hidung Saktia. Darah keluar dari lubang hidungnya.

“Apa?! Kalo kamu mimisan jadinya udah selesai?! Gitu?!”

“Ng-ngga, Bos…”

“Ngga apanya?!” Plak! Sekali lagi tamparan mendarat di pipinya. “Siapa suruh kamu berhenti. Anjing sampah! Anak perek! Begini hasil didikanku?!”

Saktia terus fokus menggenjot untuk menggesek penis di dalam lubang anusnya, sementara wajahnya habis ditampar dan dipukul Om Minmon.

“Ngga enak, Saktia! Penisku ga dapat kenikmatan! Brengsek!” Om Minmon meraung. Dia mencengkram pinggul Saktia kemudian dengan kasar dia menaikturunkan tubuh Saktia.

“Belum mentok! Harus kamu bikin mentok! Tolol!”

“I-iyah, Bos. Ma-af.” Wajah Saktia sudah lebam. Pandangannya kabur, namun dia tidak boleh mengecewakan Bosnya. Dia memaksa tubuhnya untuk tetap menggenjot sedalam mungkin, walau itu berarti duburnya sangat perih.

“En-enakh, Bos? Ampuni Saktia. Ampun, Bos. Saktia janj-“ Plak! Kali ini hantaman mendarat di mulutnya.

“Siapa yang suruh lo ngomong hah?”

“Ampu-“ Plak!

“Siapa yang suruh lo ngomong?!”

Saktia terdiam. Dia tidak berani meringis saat rasa perih semakin menggelora di selangkangannya. Saktia bisa merasakan darah mengalir keluar dari lubang anusnya.

“Saktia.” Om Minmon memanggilnya.

“I-i-iya, Om.” Saktia bergetar menahan tangis.

“Kamu tau ga, beginilah kondisimu saat kami selamatkan di basement parkiran mall beberapa tahun lalu. Dokter bilang, kalo saya dan Simon terlambat menyelamatkanmu semenit saja, kamu sudah tidak ada lagi di dunia ini.”

“Ng-nghh-nghhuhuhu…” Saat itulah Saktia merasa sangat terpukul. Dia baru tersadar bahwa apa yang dilakukannya selama ini benar-benar salah. Genjotannya berhenti, namun Om Minmon tidak mempedulikannya.

After all we did for you, ini balasanmu? Dari mana pikiranmu untuk menghancurkan Valkyrie?”

“Ampu-un Om huuhuhuhu. Saya benar-benar menyesal. Saya ber-s-sedia menanggung kh-kh-hukumannya O-om…” Om Minmon kemudian mengangkat tubuh Saktia dan membiarkannya di lantai. Saktia menyembah Om Minmon sambil memegang mata kakinya, memohon untuk diampuni.

“Saya harus berhutang kepada Sang Leluhur dan dua Penjuru untuk membersihkan kotoran yang kau buat.”

Om Minmon memasang kembali celana dan ikat pinggangnya, kemudian berjalan keluar gudang.

“Prik, angkat tuh cewek.”

“Baik, Pak.”

“Kita sekarang kemana, Pak Mino?” Namun Om Minmon hanya tersenyum.

***

“Woy! Angkat kesini!”

“Anjing, mana nih materialnya?”

“Salah nomor itu kotaknya!”

“Kontainer hijau maju!”

Pelabuhan jam 1 dini hari. Tidak ada perbedaan yang berarti dibanding siang hari. Aktivitas tetap sama. Lot barang-barang tetap mengantri untuk dipindah. Namun rasa lelah memang tidak bisa dibohongi. Beberapa pekerja mulai duduk sembari menunggu angkutan barang yang baru.

“Aduh capek gue. Pengen pulang. Enak banget sekarang tidur di kasur dikelonin istri.”

“Haha iya bener. Mana gue sange lagi. Di sini ga ada tempat begituan ya.”

“Tauk nih, gue dengar di pelabuhan Selatan aja banyak warung remang-remangnya. Makanya gue males kerja di sini.”

Seakan mendengar keinginan pekerja itu, mobil sedan hitam meluncur mulus masuk ke komplek pelabuhan dan berhenti tepat di tengah-tengah. Semua orang di situ melihatnya. Siapa ini?

Dari pintu supir, keluarlah pria berpakaian hitam dan berjalan ke belakang mobil untuk membuka bagasi. Dari dalam bagasi dia mengangkat sesosok tubuh berbalutkan selimut coklat lusuh dan meletakkannya begitu saja di samping mobil.

Kaca mobil turun, menampakkan Om Minmon yang memegang toa.

“Teman-teman semua, saya paham saat ini, di malam ini, kalian semua sudah lelah. Pekerjaan tidak ada habisnya. Sini, mendekat ke saya. Saya mau memberikan sesuatu untuk kalian.”

Rasa penasaran membuat belasan pekerja mendekati mobil sedan hitam itu. Saat mendekat, mereka terkesiap melihat apa yang baru saja diangkat dari dalam mobil itu.

“Saat ini, saya mempunyai seorang wanita yang haus kepuasan batin. Dan itu tentu saja sesuai dengan kebutuhan teman-teman di sini. Maka dari itu, saya akan memberikannya untuk kalian. Bebas. Dia milik kalian. Silahkan lakukan yang kalian inginkan. Dia akan melayani kalian sekuat mungkin. Jangan rebutan. Semua pasti akan dapat gilirannya. Tapi kalo mau dikeroyok silahkan hahaha!”

Beberapa orang memastikan bahwa yang dibalik selimut itu adalah wanita. Dan ternyata benar. Apalagi saat mereka mendengar wanita itu berujar lemah, “Puaskan aku… Puaskan…”

Seperti serigala yang diberi daging, beberapa pria langsung mengangkatnya sambil terkekeh.

“Gila! Mimpi apa aku? Sering-sering kek. Bos! Makasih Bos!” Teriakan pria itu dibalas lambaian tangan.

“Anjing! Abis ini gue!”

“Udeh barengan aja! Ini banyak kok lobangnya hahaha!”

“Bener juga! Gue mau pake berkali-kali! Ampe besok!”

“Mesti jadi peliharaan di sini nih! Harus dikasi makan hahaha!”

Kerumunan tadi berpindah dari tengah lapangan pelabuhan menuju basecamp yang terletak di pinggir. Tawa dan teriakan mengiringi para pria penuh nafsu itu. Sesampainya di pondok basecamp, mereka langsung membuka selimut dan tampaklah seorang wanita telanjang dengan wajah lebam. Namun wajah itu tidak menyurutkan libido mereka yang sudah di ubun-ubun. Rintihan pelan dari wanita itu jelas mereka dengar.

“Tolong.. Entot aku.. Puaskan aku..”

“Gila nih cewek. Sangean! Oke gue puasin lu hahaha!”

Serempak mereka membuka celana. Mereka mulai mengocok penis mereka untuk menegangkan dan tidak butuh waktu lama. Seorang pria berjanggut tebal yang tampaknya adalah bos di pelabuhan itu mendekat,

“Heh siapa nama lu?”

“S-saktia B-bang…”

“Oke, Neng Saktia, Abang bakal bikin kamu jadi budak seks di sini. Udah lama kami ga dapat barang bagus kayak gini hahaha! Kamu bakal jadi peliharaan di sini. Kita bakal bikin tarif! Hahaha!”

“Iya Bang, badannya bagus. Putih! Singset! Hajar bang! Cepetan biar gantian!”

Tanpa aba-aba pria itu menyorongkan penisnya yang sudah menegang maksimal. Jleb. Pria itu menganga. Sudah lama dia tidak merasakan kenikmatan seperti ini. Dia langsung menggoyang selangkangan Saktia sekencang mungkin. Tangannya mengangkat paha Saktia dan mencengkramnya.

Sementara pria lain mengambil inisiatif, “Mulutnya nganggur nih. Bang, gue pake yang ini ya.”

Tidak ada jawaban. Pria brewok itu tampak asyik menikmati vagina Saktia. Sementara yang lain mencoba membujuknya,

“Bang, gue mau genjot pantatnya. Balik dong Bang…”

“Ah ganggu aja lu!” Tapi benar. Tidak ada bedanya. Dia tetap bisa menikmati memek Saktia. Maka pria brewok itu pun mengambil posisi rebah sambil mengangkat Saktia ke atasnya. Dengan sekali gerakan, dia memasukkan lagi penisnya ke dalam vagina Saktia. Sementara pria lain mengambil posisi di belakang pantat Saktia. Bles! Dua penis kini menikmati gurihnya selangkangan Saktia yang melebar.

“Khh! Ekhh! Ohokkhh!” Saktia tersedak saat satu penis memaksa masuk mulutnya.

“Heh sedot nih! Isep, bangsat!”

Saktia dengan patuh mengisap penis yang masuk ke mulutnya walau wajahnya masih terasa sangat perih. Dengan pandangannya yang kabur karena matanya yang lebam Saktia sekilas menghitung berapa pria yang kini ada di sekelilingnya. Tujuh, delapan, sembilan. Kira-kira sebelas pria bersiap menikmati tubuhnya. Herannya Saktia merasa senang banyak penis yang akan masuk menikmati tubuhnya. Libidonya melonjak. Dia merasa sanggup memuaskan mereka semua, karena tubuhnya sendiri pun menagih untuk dipuaskan.

Tapi di balik itu semua, di hati kecilnya, ada kesedihan yang sangat mendalam. Kesedihan yang datang dari kenyataan bahwa dia tidak akan bisa lagi kembali ke kehidupannya yang dulu. Kenyamanan, kesenangan dan harta melimpah. Semua karena nafsu dan ambisi yang tidak bisa dia kendalikan. Kini, tidak ada pilihan lagi selain menjalani kehidupannya sebagai pemuas nafsu para lelaki pekerja di pelabuhan.

Hidupnya cuma sampai di situ.

Dan mobil sedan hitam itu pun sudah menghilang meninggalkannya saat para pekerja pelabuhan itu mengangkat tubuhnya ke basecamp.

***
 
Terakhir diubah:
ENDGAME


Harta Berharga.

Begitu sebutannya.

Sebutan untuk seorang manusia istimewa yang diberi anugerah

untuk menjadi bagian dari Tujuh Penjuru.

Namun,

Perjalanan Harta Berharga tidak selalu baik.

Bahkan terkadang menjadi penyebab kehancuran dan keretakan Garis Kehidupan.

Setiap zaman memiliki cerita sendiri.

Dan pada zaman ini,

Sehingga Sang Leluhur harus merahasiakan Harta Berharga.

Bahkan kepada para Penjuru-nya.



Tit. Tit. Tit. Klang!

Tuas pintu besi itu berputar setelah beberapa angka di bagian kenopnya ditekan.

Dua orang pria kekar berbaju hitam masuk ke kamar yang didesain seperti suite hotel, diikuti seorang wanita dan seorang pria. Udara sejuk langsung menyambut mereka, setelah gerah menghantam saat mereka berjalan menuju kamar itu.

“Silahkan, Bos.”

“Kalian boleh pergi.”

“Baik, Bos. Kami permisi.”

Di depan mereka, di ranjang yang besar, seorang wanita tampak rebah dengan borgol yang mengikat satu tangannya. Wajah kesal wanita itu berubah menjadi rasa terkejut saat melihat siapa yang datang. Dia tidak percaya bahwa alasan dia dipindah adalah karena pria di depannya ini.

“K-kau! Brengsek! Lepaskan aku!”

Pria botak itu hanya tersenyum melihat kemarahannya. Dia mendekat dan duduk di ujung ranjang.

“Apa kabar, Cantik? Kamu semakin cantik dari terakhir kita bertemu. Mereka melayani dengan baik ‘kan di sini?”

“Jadi ini perbuatanmu?! Lepaskan aku! Mino jahanam!”

Pria itu berbalik, menoleh ke empunya istana. Bunda Erin teringat perkataan Om Minmon saat mereka berada di lift.

“Siap-siap Rin. Kamu akan melihat fenomena yang takkan bisa kau lupakan.”

***

“Minta kunci borgolnya, Rin.”

“Hah serius Mon? Dia bisa menyerang-“

“Percaya deh samaku. Tidak sepatutnya seorang diva diperlakukan seperti ini.”

Bunda Erin melihat ke sekitar untuk memastikan tidak ada benda yang berpotensi menjadi senjata kalau wanita di depannya ini menyerang. Kamar yang khusus disediakan untuk wanita ini memang dirancang tidak memiliki banyak barang, namun harus tetap senyaman mungkin, sesuai permintaan sahabatnya.

“Maafkan saya, Shan. Kami tidak memperlakukanmu dengan baik.”

“Lepas! Cepat lepaskan aku! Banyak omong! Cuh!” Shania Junianatha, wanita yang menjadi tawanan Om Minmon di kamar itu meludah saat Om Minmon mendekat untuk melepas borgolnya. Saat borgolnya terlepas, Shania langsung menerjang Om Minmon. Mereka berdua terjembab di pinggir ranjang. Shania dengan kesetanan memukul dada dan kepala pria tambun di bawahnya.

“Mon! Astaga! Aku panggil-“

“Rin! Tidak apa-apa! Saya memang pantas dipukul seperti ini!” Di sela-sela pukulan bertubi-tubi Om Minmon masih sanggup menjawab.

Shania masih memukul dengan penuh emosi sampai akhirnya Om Minmon berhasil mencengkram kedua pergelangan tangannya. Shania masih berteriak-teriak meronta.

“Keparat! Kau menghancurkan hidupku! Brengsek! Tuan pasti akan menemukanku! Dan akan membunuhmu!”

“Iya, Shania. Betul. Saya bersalah. Maafkan saya.”

Akhirnya Shania lemas. Berteriak sambil meronta menguras tenaganya. Om Minmon yang melihat itu merengganggkan genggamannya kemudian duduk di samping Shania.

“Rin.”

Bunda Erin mengambil segelas minuman dekat pintu masuk, lalu memberinya ke Om Minmon. Om Minmon pun menyodorkan gelas itu ke Shania. Bunda Erin juga memberi map hijau yang dari tadi dipegangnya.

“Ini, kamu minum dulu.”

“Ngga! Pasti kau udah racuni itu!”

“Astaga! Saya tidak akan pernah terpikir hal itu, Shan.”

“Apa itu?!” Shania lebih tertarik dengan map yang dipegang Om Minmon.

“Tidak. Saya tidak akan memberitahu ini sebelum kamu minum dulu.”

Akhirnya dengan enggan Shania meminum air putih dingin itu. Tak bisa dibohongi air itu menghilangkan dahaga dan letihnya. Dengan cepat dia menenggak tuntas segelas air putih itu.

“Ini. Kamu lihat sendiri.” Shania meraih map dari tangan Om Minmon dengan kasar.

“Seperti yang kamu lihat, Detourne sudah bangkrut. Mereka kalah di pengadilan dan harus membayar ganti rugi yang-”

“Bohong! Tuan tidak mungkin kalah! Kau tidak tahu sekuat apa pengaruhnya! Semua artikel berita ini bohong!”

Om Minmon mengambil ponsel dari saku celananya, “Bagaimana dengan ini? Apakah mungkin saya memanipulasi berita media digital?”

…pasca kejadian ini seluruh aset Detourne disita guna pemeriksaan lebih lanjut dan harus membayar denda sebesar…

Shania terdiam. Dia tetap ingin menyanggah itu semua namun hati kecilnya kini membenarkan. Dia sadar kegagalan rencananya berakibat sangat fatal dan kerugian yang ditimbulkan sangat besar. Kini Shania bertanya-tanya apakah Tuan masih mau memaafkannya dengan begitu banyak kerugian yang diderita.

“Dan dari info yang saya dengar, benar seperti katamu, kini dia mencarimu. Tapi bukan untuk menyelamatkanmu. Ini.” Om Minmon mengambil sehelai foto yang teselip di bagian belakang lembaran kertas koran di map hijau.

“Kamu lihat? Sekarang seseorang yang kamu panggil Tuan itu bekerja sama dengan Tengkorak Hitam untuk mencarimu. Dan kamu pikir jika kamu di penjara maka kehidupanmu akan aman-aman saja? Kamu tahu kan bagaimana sepak terjang Tengkorak Hitam?”

Shania semakin sulit berkata-kata. Sekarang dia sadar siapa yang menyelamatkannya. Namun dia tidak bisa mempercayainya begitu saja.

“Apa maumu?”

“Pertanyaan itu harusnya bukan keluar dari mulut kamu. Saya yang harusnya bertanya itu. Shan, kamu maunya apa sekarang?”

Shania terkejut mendengarnya. Om Minmon memberiku penawaran? Dengan situasi seperti itu? Apa yang aku punya sampai aku diberi kesempatan emas seperti itu?

“…maksud Om?”

“Saya usahakan bisa memberi apa yang kamu mau. Tapi kalo kamu maunya keluar dari sini, cuma dua kemungkinannya. Saya tidak bisa penuhi, atau nyawamu di luar sana tidak lama akan hilang.”

“Jadi aku selamanya aku terkurung di sini?”

“Tidak. Ada waktunya. Nantinya saya akan mengatur supaya kamu bisa keluar dengan aman. Penjaga, mobil, pengintai, semuanya akan saya sediakan.”

Shania terhenyak. Bagaimana mungkin dia yang sudah membelot mengkhianati Valkyrie, menyebabkan kerugian besar, mendapatkan penawaran ini langsung dari seorang empunya Valkyrie?

“Aku tanya sekali lagi, apa maumu? Dan kenapa dari tadi kau berbahasa sopan seperti? Kayak bukan Mino yang aku tahu.”

“Kita semestinya berbicara sesuai dengan siapa lawan bicara kita. Dan tidak mungkin saya bicara tidak sopan kepada seorang wanita pemimpin bermartabat tinggi.”

“Jangan bicarakan Detourne. Kau tidak ingat apa yang sudah kulakukan kepada Valkyrie-mu?”

“Sedikitpun hal itu tidak mengurangi rasa hormatku padamu, Shan.”

Betul. Shania teringat, dari semua media yang dia lihat kala itu, Bos Titan dan semua Pegawai Terpilih menyatakan akan melawan dan tidak akan memaafkan perbuatannya. Hanya Om Minmon yang menolak berkomentar dan bahkan cenderung netral. Apakah ini berarti… selama ini aku salah memilih musuh?

Kembali Shania mengenang saat dia masih mengabdi di Valkyrie. Om Minmon yang selalu mendukungnya dan berusaha menyediakan apa yang dia butuhkan. Om Minmon yang selalu mengajarkannya banyak hal untuk membuat dia berkembang. Menempahnya untuk bisa menjaga diri mengikuti kemajuan zaman sekarang.

“Om Minmon maafkan aku!”

Shania langsung melompat dan memeluk Om Minmon. Tangisnya tidak terbendung. Dinding keangkuhannya runtuh tidak bersisa. Dia tersadar bahwa ada seseorang yang selama ini memperhatikannya dari jauh, bahkan ketika mereka berseberangan. Dan kini seseorang itu terbukti menyelamatkannya di saat dia tidak sadar sedang dalam bahaya. Shania sangat berterimakasih kepada pria di depannya ini.

It’s okay, Shan. No need to sorry. Semuanya sudah terjadi. Di mataku kamu tidak pernah salah…”

Mendengar itu tangis Shania semakin kencang. Dia kini yakin sudah berada di kubu yang tepat. Dia tidak mau mengulangi kesalahan yang sama. Shania tidak mau lagi mengikuti ambisi dan keinginannya sendiri. Ada visi lebih besar yang menyadarkannya. Kondisinya pun saat ini sedang tidak aman. Dan Om Minmon lah yang diyakininya menjadi jawaban atas semua itu.

Shania mencengkram lengan Om Minmon, “Om! Aku akan ikut denganmu! Aku akan menjadi hambamu. Apapun yang kau butuhkan aku bisa kerjakan! Apapun yang kau inginkan aku akan berikan! Tubuhku? Nyawaku? Aku kan berikan semuanya, Om!”

Satu janji telah terikat.

***

“Benarkah?”

“Dengan apa aku bisa buktikan, Om? Sebutkan apa yang Om mau. Aku akan penuhi!”

“Bahkan jika tubuhmu saya pakai?”

Everything you want, Om! As you wish! Dan tolong jangan berbicara sesopan itu kepada hambamu, Om!” Shania berlutut di pangkuan Om Minmon. Dia merasa tidak layak dan menyesal telah memaki bahkan meludahi Om Minmon.

“Oke, kalau begitu aku ingin membuat perjanjian denganmu.”

“Baik, Om.”

“Rin, bawa pisau kan?”

Shania bergidik. Mau apa Om Minmon dengan pisau? Tapi dia yakin dengan keputusannya. Om Minmon tidak akan melukainya. Bunda Erin kemudian menyerahkan pisaunya ke Om Minmon.

“Kamu siap?”

“Siap, Om.”

Om Minmon mengangkat tangan kanan Shania dan meraih ibu jarinya. Dengan cepat Om Minmon menyayat ibu jari Shania. Sret! Shania meringis. Namun apa yang dilihatnya membuatnya bingung. Dia jelas melihat Om Minmon menyayat ibu jarinya, tapi mengapa tidak ada darah yang keluar?

“Om, kenapa ini? Kenapa tidak ada darah keluar?”

Om Minmon tidak menjawab pertanyaan Shania. Benar, dialah orangnya, yang disebutkan Eyang.

“Tahan sedikit.” Om Minmon mengiris semakin dalam ibu jari Shania sampai dia mengaduh. Kali ini setitik darah kental keluar dari balik luka irisan. Om Minmon cepat-cepat mengiris ibu jarinya. Srek! Kini jempol mereka mengeluarkan darah.

“Ayo, kita satukan.”

“Baik, Om.”

Ketika dua jempol itu bersentuhan, terjadinya hembusan angin kecil yang meledak di antara Om Minmon dan Shania. Setelah itu Shania ambruk. Dia pingsan.

“Eh Mon, kenapa ini? Kok dia pingsan?”

“Gapapa Rin, sebentar lagi dia akan sadar. Rin, seperti yang aku bilang tadi, apapun yang kamu lihat sekarang, jangan pernah memberitahunya kepada siapapun. Siapapun. Ada waktunya akan menjelaskan semuanya kepadamu. Kamu bisa mengerti kan, Rin?”

“Bisa, Mon. Aku janji.”

Seperti yang dikatakan Om Minmon, Shania siuman dan bangkit dari rebahnya.

“Dia sadar, Mon. Eh jempolnya… kenapa berwarna ungu?”

“Shania sudah mengikat janji denganku…”

Tanpa bersuara Shania naik ke ranjang, membuka bajunya sampai tidak sehelai benangpun menutupi tubuh indahnya. Kemudian dia menoleh ke Om Minmon.

“Penjuru Manusia, kesayanganku, silahkan nikmati tubuhku. Aku akan melayanimu sampai kau merasa puas…”

***

“Apa yang-“ Bunda Erin terdiam. Dia sadar akan ada waktunya Om Minmon untuk memberitahunya segala hal di luar nalar yang dilihatnya hari ini. Dia pun memilih untuk diam melihat apa yang akan terjadi. Walau begitu banyak pertanyaan yang menggelayut di pikirannya.

Tiba-tiba aroma harum semerbak memenuhi ruangan itu. Om Minmon naik ke ranjang sambil tetap melihat wajah Shania yang tersenyum manis. Shania merentangkan tangannya, meraih tubuh Om Minmon untuk melepaskan satu persatu pakaiannya.

Dan kini, dua manusia telanjang duduk berhadapan di ranjang besar itu. Paras Shania yang sedikit bercahaya membuatnya sangat berbeda dengan beberapa menit lalu. Dia berbisik halus,

“Akhirnya aku bertemu denganmu, belahan jiwaku.”

“Setiap lekuk tubuhku adalah milikmu. Setiap aliran darahku adalah kedaulatanmu. Setiap detik hidupku kau yang berkuasa. Melayanimu adalah darma-ku yang kucinta. Aku akan melayanimu sampai waktuku habis dan keberadaanku sirna.”

“Dan kini, izinkan aku melakukan pelayanan pertamaku…”

Shania memeluk lembut tubuh Om Minmon kemudian menariknya sehingga mereka berdua rebah. Om Minmon menatap setiap inci tubuh Shania yang berubah menjadi mulus dan lebih cerah. Tidak ada setitik nodapun yang mengotori tubuh sempurnanya. Parasnya sangat rupawan sampai-sampai Om Minmon hampir tidak mengenalinya. Buah dadanya yang kencang dan mengacung sangat menggiurkan. Senyumnya yang menawan membuat Om Minmon terpana. Keindahan tiada tara dan tidak terbandingkan.

“Nikmati keperawananku, Sayang…”

Om Minmon mulai menciumi tubuh Shania dari leher hingga telapak kaki. Tidak seincipun dia ingin melepas tubuh Shania walau hanya sedetik saja. Rasa manis memenuhi mulutnya kala lidah Om Minmon beradu dengan kulit Shania yang sangat lembut nan gurih. Setiap sentuhan jari Shania di tubuh Om Minmon membuat libido Om Minmon perlahan naik. Sensasi kenikmatan perlahan menggerayangi tubuh tambun Om Minmon. Om Minmon terhenyak sampai memejamkan mata. Inikah anugrah kenikmatan nirwana itu?

Tak terasa setengah jam berlalu saat Om Minmon menikmati tubuh Shania. Kini Shania berinisiatif mengambil alih. Perlahan wajahnya mendekati wajah Om Minmon. Bibirnya langsung memagut bibir pria dambaannya itu sampai Om Minmon rebah di kasur. Penisnya menegang maksimal. Bahkan saat belum menikmati vagina Shania, Om Minmon sudah merasakan kenikmatan menjalar di sepanjang batang penisnya.

Shania kini berada di atas tubuh Om Minmon, menikmati bibir dan liurnya. Rasa manis bercampur gurih penuh mengisi setiap sisi lidahnya, membuat nafsu Om Minmon semakin terbakar. Kini sudah saatnya dia merasakan kenikmatan itu, yang berada di bawah perut Shania. Dan Shania sudah mengerti kemauan tuannya,

“Silahkan nikmati kebahagiaan ini, Sayang. Keperawananku kupersembahkan untukmu…”

Saktia mengangkang ke atas wajah Om Minmon dan pelan-pelan menurunkan pinggulnya. Om Minmon dapat melihat dengan jelas tidak ada sehelai bulu pun di vagina Shania yang bersih. Saat mulutnya menyentuh kulit dan klitoris vaginanya, Om Minmon membelalak. Dia terhenyak sampai tidak bergerak sedikitpun. Shania yang melihat itu hanya tersenyum sambil menggesek pelan vaginanya.

“Tidak apa-apa… Aku tidak akan kemana-mana… Kamu bisa membiasakan diri dengan kenikmatan ini, Sayang… Kapanpun kau mau… Aku akan membaktikan seluruh kebahagiaan ini, yang tidak akan dapat diberikan oleh wanita manapun…”

Kesadaran Om Minmon perlahan pulih. Tanpa ampun dia menyedot kencang vagina dan klitoris Shania. Tenggorokannya menggelegak, menelan semua kenikmatan yang keluar dari lubang sempit vagina Shania.

“Yeshhh! Yahhh! Enghh! Yah sayangghh!” Shania ikut menikmati kenikmatan di selangkangannya. Tanpa sadar dia semakin kencang menggoyang pinggulnya dan menggesek vaginanya di mulut Om Minmon. Sementara di belakang Shania, penis Om Minmon memerah dan mengeras sempurna.

Kini Om Minmon tidak tahan lagi. Dia cepat-cepat ingin menikmati sensasi yang tidak akan pernah dia dapatkan dari wanita manapun. Dengan gesit dia bangun dan menidurkan Shania di hadapannya. Namun, Shania duduk dan memeluk Om Minmon,

“Sayang, aku tidak mau siapapun melihat hubungan intim kita yang sempurna ini. Maka itu…” Hembusan angin pelan menerpa Bunda Erin, membuatnya lunglai di tempatnya duduk. Bunda Erin kehilangan kesadarannya.

“Tidak ada satupun manusia yang layak menyaksikan kebahagiaan ini, Sayang…”

“Apapun yang kau inginkan…”

“Dan kini… inilah waktu yang aku tunggu dari lama, Sayang. Ketika batang penis ini…” Shania menggenggam dan mulai mengocok penis Om Minmon sampai dia menganga, “menghujam vaginaku…”

Shania kini terlentang pasrah. Jari-jarinya menggenggam di sela jari-jari Om Minmon. Senyum manisnya mengembang kala melihat Om Minmon mulai menempelkan kepala penis ke klitorisnya.

Untuk kesekian kalinya Om Minmon terpana. Kali ini dia ambruk ke dalam pelukan Shania. Dia benar-benar tidak sanggup menerima kenikmatan ini. Kenikmatan yang tingkatnya jauh berbeda dengan yang dia rasakan bersama wanita lain. Hal ini di luar akalnya. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Bagaimana mungkin manusia berdarma Penjuru bisa mendapatkan hal membahagiakan seperti ini?

Shania membelai lembut kepala Om Minmon, “Tidak apa-apa, Sayang… Biasakan dirimu… Kamu pantas mendapatkan ini… Anugrah ini memang hanya untukmu… Ayo… Nikmati aku…”

Om Minmon menguatkan dirinya melawan sensasi nikmat yang amat besar ini. Perlahan dia mendorong pinggulnya. Rasa enak itu merayap dan mengisi setiap relung di tubuhnya. Seluruh energi dikerahkan Om Minmon namun tidak dapat mengalahkan kenikmatan ini. Tubuhnya menegang hebat saat berusaha menerima sensasi dari Shania.

“Nggghhhh Shaann aku g-ga bi-ssaa menerima inirghhh…”

“Bisa, Sayang… Kamu bisa… Penjuru Manusia adalah makhluk terkuat yang aku tahu…” Shania kini berinisiatif. Dia mencengkram pantat Om Minmon kemudian menariknya sekuat tenaga. Bles! Perlahan penis Om Minmon mulai masuk menembus lapisan selaput daranya.

“Iyah… Iyah.. Ayo…”

“Ergghh!” Kesadaran Om Minmon mulai pudar. Namun dia melawannya. Tidak. Aku harus bisa menaklukannya. Ini di luar akal dan nalarku. Tapi aku pasti bisa mengalahkan rasa nikmat ini. Rasa nikmat yang akan kukuasai.

“Yesshh…! Iyaahhh…!” Shania kini juga ikut menggelinjang. Tanpa sadar dia meremas pantat Om Minmon untuk semakin memasukkan penisnya ke dalam liang vaginanya. Labia Majoranya kini mulai melebar mengikuti ukuran penis Om Minmon. Di saat penetrasi seperti itu, Shania menatap dalam-dalam wajah kekasihnya,

“Iya, Sayang… Nikmati tubuhku… Tanpa bantuan dari teman-temanmu pun… Penismu bisa menaklukkan vaginaku ini… Karena vaginaku ini dipersembahkan hanya untukmu…”

Setengah batang penis Om Minmon sudah merasakan liang vagina Shania. Kenikmatan makin menjadi-jadi, namun Om Minmon sudah terbiasa. Dia semakin menekan pinggulnya ke depan, sementara kaki jenjang Shania kini saling mengait, membantu pinggul Om Minmon maju.

“Gila! Gila! Kenikmatan tiada tara!”

“Iya hahaha! Benar, Sayang! Nikmatilah! Jangan lepaskan walau sedetik saja!”

Dan saat itulah, Om Minmon mulai merasakan energi tubuhnya meningkat. Om Minmon terkejut dengan sensasi baru ini. Tubuhnya kembali menegang hebat namun entah kenapa dengan mudah dapat dia kendalikan. Staminanya seperti kembali diisi penuh. Tubuhnya terasa mengencang. Gelambir di beberapa bagian tubuhnya mengempes seperti dibakar. Om Minmon merasa seperti kembali muda.

“Kekasihku, kini saatnya dirimu menerima ini… Dari tubuhku…”

Bles! Saat penis Om Minmon tertanam sepenuhnya ke dalam liang selangkangan Shania, di saat itulah bola matanya bersinar. Aura tubuhnya yang tadinya tertahan kini menggelora. Kekuatannya terasa seperti membara.

“Argghh! Ergghhh!” Om Minmon meraung. Jari-jarinya mengepal keras. Seluruh ototnya mencuat kencang. Bak seekor gorila, tubuh Om Minmon bergetar memancarkan kekuatan dan keganasan. Kini dia sudah bisa mengendalikan tubuh Shania. Tidak ada lagi yang bisa menghalanginya. Kenikmatan tubuh Shania dalam genggamannya.

Om Minmon mulai mengangkat dan mencengkram paha Shania. Dengan stamina baru, dia menggenjot kencang selangkangan Shania sampai Shania mendesah hebat. Om Minmon menggeram seiring vagina Shania menyedot dan menggigit penisnya. Om Minmon tidak mau kalah. Penisnya semakin menegang dan sedikit membesar hingga memaksa liang vagina kekasihnya semakin melebar.

“Enghh! Engghhh! Iyesshh! Sayang! Sudah beratus tahun aku menantikan ini! Iyahh! Iyahh! Genjot aku sayang! Lagihh!”

Goyangan Om Minmon semakin kencang. Shania semakin menggelinjang dan kini merangkul Om Minmon. Om Minmon rebah dan menimpa tubuh ranum Shania. Shania langsung memagut bibir Om Minmon. Bibirnya menyedot kencang saat selangkangannya kini berganti menerima setiap lelehan kenikmatan dari penis Om Minmon yang ganas. Panas akibat gesekan penis sama sekali tidak digubrisnya. Yang Shania inginkan hanyalah kepuasan kekasihnya saat menikmati tubuhnya.

Persetubuhan itu semakin memanas kala Om Minmon merasakan sensasi lain di tubuhnya. Sensasi saat dia merasa kenikmatan di penisnya mulai menanjak menuju klimaks. Om Minmon menggeram seiring semakin melonjaknya kenikmatan itu. Dan saat itulah, dia dapat merasakan vagina Shania mulai menyedot penisnya semakin dalam dan semakin dalam.

“Sh-shann erghhh! Ken-napa inirghh!”

“Persembahan tubuhku kepadamu, Kekasihku! Nikmatilah kebahagiaan ini. Setetespun cairan kelahiran itu tidak ada akan terbuang percuma. Inilah kenikmatan puncak yang akan kamu terima, Sayang! Bersiap-siaplah!”

Benar saja. Sensasi yang dipikir Om Minmon sudah dia taklukkan, kini kembali menggelora. Penisnya semakin disedot, menghasilkan kenikmatan di tingkat yang baru. Saat dia merasakan cairan ejakulasinya semakin dekat ke lubang kencingnya, Om Minmon tidak tahan lagi. Mulutnya menganga. Bola matanya memutih.

“Iyeessshhhhh!” Shania menjerit. Dia dapat merasakan penis keras nan ganas Om Minmon menyemburkan dengan kencang cairan kental yang melimpah. Dengan cepat vaginanya menyedot dan mengisap cairan itu sampai tidak berbekas. Liang vaginanya semakin memijit dan menjepit penis Om Minmon, seakan tidak rela melepasnya sebelum penis Om Minmon benar-benar mengeluarkan semua cairan kelahiran itu. Sampai akhirnya penis Om Minmon berhenti mengejang, kenikmatan itu tidak akan pernah selesai.

“Kekasihku…”

“Sayangku…”

Om Minmon mencium bibir Shania dengan begitu lembut. Perasaannya kini tenang. Berbagai pertanyaan yang tidak bisa dijawabnya kini sudah terkuak. Tentang perasaannya dari pertama kali melihat Shania sampai sekarang, tentang darma-nya, tentang Garis Kehidupan, dan semua hal yang saling berhubungan ini.

Setelah sekian lama dia menantikan momen ini, akhirnya kenikmatan tiada tara itu dapat mereka nikmati berdua. Sepasang kekasih yang sudah memadu cinta selama ribuan tahun itu akhirnya mendapat tubuh baru dan layak. Penjuru Manusia dan Harta Berharga kini kembali bertemu untuk menjalan tugas dan darma-nya di zaman ini.

***

“Aku akan tinggal.”

“Serius? Aku sudah menyusun rencana untukmu ke depannya.”

Shania tersenyum, “Kekasihku, sudah menjadi tugas dan darma-ku untuk menemanimu. Rencana tidak selalu sesuai dengan Garis Kehidupan. Kita hanya perlu mengaturnya kembali kemudian menyesuaikannya.”

Om Minmon terdiam memandang kekasihnya itu. Shania membelai lembut pipinya.

“Akan begitu banyak jalan terjal yang kita hadapi. Namun kini, kamu sudah punya aku. Aku akan membantumu hingga ujung nyawaku. Dan juga,” Shania bersandar di dada Om Minmon, “kini kamu punya empat Pasukan. Saatnya kita mencari mereka.”

“Nikmati kehidupanmu sebagai manusia, Sayang. Kalau memang keinginan manusiawimu ingin menikmati wanita lain, aku tidak akan marah. Karena selamanya Barang Berharga berada di bawah kuasa Penjuru Manusia.”

“Mengapa kau berkata begitu?”

“Karena di balik semua darma dan Garis Kehidupan ini, kau tetaplah manusia.”

Om Minmon mendekap sambil membelai tubuh Shania.

“Dari gambaran yang diberikan Sang Leluhur, ke depannya Garis Kehidupan akan semakin rumit. Akan banyak terjadi keretakan dan perpecahan. Dari semua itu, yang paling menarik perhatianku,” Shania bangun. Dia menatap mata Om Minmon dalam-dalam, “adalah keretakan antar Penjuru.”

“Keretakan? Mengapa kau tahu sampai sejauh itu?”

“Karena penyebab keretakan itu…”

“Apa?”

Shania memalingkan wajahnya dan diam. Om Minmon menunggunya menjawab.

“…adalah Aku.”

“Bersiaplah Sayang, kali ini lawanmu bukan hanya Kaum Bawah, tetapi sesama Penjuru.”

TAMAT
 
Terakhir diubah:
JULI 2017 - SEPTEMBER 2020
TIGA TAHUN DUA BULAN
WAKTU YANG DIBUTUHKAN UNTUK MENYELESAIKAN CERITA INI

TERIMA KASIH UNTUK SUHU-SUHU SEMUA YANG SELAMA TIGA TAHUN DUA BULAN INI
SUDAH MENYEMANGATI NUBI
DARI LIKE DAN REPLY
SAMPAI ADA YANG SELALU REPLY UNTUK NAIKIN KE PAGE 1
TERIMA KASIH! TERIMA KASIH!

DALAM PROSES PENULISAN CERITA INI
NUBI SANGAT PUAS
PENGEMBANGAN KARAKTER, MAPPING HUBUNGAN ANTAR TOKOH,
RISET KECIL-KECILAN TENTANG BEBERAPA HAL YANG DIPERLUKAN,
SAMPAI PEMILIHAN BEBERAPA OPSI JALAN CERITA
BERASA PENULIS BENERAN NUBI HAHAHA!

SEKARANG BEGITU BANYAK IDE CERITA
YANG PENGEN BANGET NUBI TULIS
TAPI NUBI TAKUT
PENGERJAANNYA BAKAL MEMAKAN WAKTU LAMA
SEPERTI CERITA VALKYRIE MANAGEMENT INI

MAKA DARI ITU,
NUBI RASA CUKUP DULU DALAM MENULIS CERITA
BIARLAH SATU CERITA INI
MENJADI SALAH SATU PENYEMANGAT
BUAT SUHU SEKALIAN
DALAM MEMBUKA FORUM 46

UNTUK SEGALA SALAH KATA DAN PROSES YANG LAMA
SAMPAI MEMBUAT PARA SUHU MENUNGGU
YANG MUNGKIN MEMBUAT BEBERAPA SUHU
NYERAH DAN GA NGIKUTIN CERITA INI LAGI
NUBI MOHON MAAF SEBESAR-BESARNYA

AKHIR KATA,
KALAU GARIS KEHIDUPAN MENGIZINKAN DARMA ITU MUNCUL,
NUBI AKAN BUAT CERITA BARU LAGI
TOLONG DIDUKUNG YA SUHU-SUHU SEKALIAN

TERIMA KASIH!
 
terimakasih buat suhu @jokokojo15 yang sudah menyediakan waktu dan tenaga untuk menyajikan cerita yang menarik ini sampai tamat, ditunggu kisah-kisah menarik yang lainnya.

tetap berkarya dan sehat selalu :beer:
 
terima kasih salah satu cerita member JKT48 yang menyenangkan, selamat karena telah menyelesaikan cerita yang mantap ini huu
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd